Sunteți pe pagina 1din 16

FIQH JILBAB (MEMBACA DINAMIKA JILBAB DALAM HUKUM ISLAM) Fikria Najitama

1 Abstract: One of the controversy issues about woman is jilbab. Jilbab represent one of the so
much issue generating pro and contra. Controversy of concerning jilbab caused some people of
moslem assume that jilbab as Allah comand given by pass the al-qur'an. Other partly, moslem
and also non-muslim assume as practice which is not civilized. Feminist circle look into the
jilbab as a diffraction of culture patriarkhi and also situated behind sign, subordinasi and grind to
woman. Jilbab also viewed as barrier to woman to make a move in public room, however some
of other assume jilbab as one of the obligation to woman. The Controversy about jilbab also
knock over the academician circle. Partly try to conduct the study jilbab by placing forward text
Qur'an as well as hadis. Other to partly see from in perpective of politics, social as well as
anthropological. Various assume to very attractive elaborated. This article have an eye to explain
opinions from academician circle. Besides congeniality as well as history jilbab also represent
the very important shares for explain of, mentioned meant to strengthen the understanding of
concerning jilbab. Key Words: Veil, Aurat, Controversy, Islamic Law.

Pendahuluan

Salah satu isu kontroversial dalam diskursus perempuan adalah penggunaan jilbab bagi
perempuan. Jilbab merupakan salah satu dari sekian banyak isu yang menimbulkan polemik
dikalangan akademisi, aktifis gender, feminis, kaum muslim dan juga non-muslim. Sebenarnya
polemik mengenai jilbab bukanlah hal yang baru, akan tetapi persoalan tersebut sampai sekarang
masih terus diperdebatkan. Kontroversi mengenai jilbab disebabkan sebagian orang muslim
menganggapnya sebagai perintah Allah yang diberikan lewat al-qur'an. Sebagian lainnya, baik
muslim maupun non-muslim menganggapnya sebagai praktek yang tidak beradab. Kalangan
feminis memandang jilbab sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan,
subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. 2 Jilbab dipandang 1 Mahasiswa S3 Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul
Ulama (STAINU) Kebumen. Fikria_ 2 Pandangan seperti ini banyak berkembang pada kalangan
feminis Barat. Bahkan bagi kalangan Barat, jilbab dipandang sebagai, The most visible marker of
the differentness and inferiority of
2 sebagai penghalang bagi perempuan untuk bergerak di ruang publik. Singkatnya, banyak orang
berpendapat bahwa justifikasi tentang jilbab pada masa lalu tidak mempunyai relevansi sama
sekali dengan zaman ini, tetapi sebagian juga menganggap jilbab sebagai salah satu kewajiban
bagi perempuan. Polemik tentang jilbab bagi perempuan kemudian meluas meliputi semua
kawasan. Tidak hanya dilingkungan Arab, tapi juga di kawasan lain termasuk di Indonesia.
Pemerintah Prancis melarang penggunaan segala atribut keagamaan, dan termasuk diantaranya
penggunaan jilbab, yang kemudian memicu protes keras oleh banyak kalangan. Di Indonesia,
kasus pelarangan penggunaan jiilbab dikalangan instansi pemerintah, perusahaan dan juga
sekolah-sekolah umum juga pernah terjadi pada tahun 1980-an. Namun sekarang berbalik arah.
Di Nangroe Aceh diperlakukan kewajiban atas jilbab bagi kaum muslimat. Selain itu juga di
Padang, muncul kewajiban jilbab dan busana Islami bagi kaum muslim dan anjuran memakainya
untuk kalangan non-muslim. Kontroversi inipun menyisakan pertanyaan, apakah Jilbab
merupakan kewajiban bagi perempuan Muslim? Apakah seorang perempuan muslim yang tidak
berjilbab berarti Islam-nya belum sempurna (kaffah)? Pengertian Jilbab Jilbab secara etimologis
berasal dari akar kata jalaba, yang berarti membawa atau mendatangkan. 3 Louis Ma'luf
menjelaskan jilbab sebagai pakaian atau kain yang luas dan lapang. 4 Sedangkan menurut Ibnu
Abbas dan Qatadah, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun
kedua mata pemakainya terlihat namun tetap menutup dada dan bagaian mukanya. 5 Quraish
Shihab juga mengartikan jilbab sebagai baju longgar dilengkapi kerudung penutup kepala. 6
Dalam bahasa Inggris, jilbab diterjemahkan dengan kata veil, sebagai kata benda dari kata Latin
vela, bentuk jamak dari velum. Makna leksikal yang terkandung dalam Islamic societies-become
the symbol now of both the oppression of woman and the backwardness of Islam. Lihat, Laela
Ahmed, Woman and Gender in Islam, (London: Yale University, 1992), h Ahmad Warson
Munawwir, al-munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h Louis Ma'luf al-yasu'i, al-munjid fi al-lugah (Beirut: al-katulikiyyah, 1965), h
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-ra'yi Upaya Menggali Konsep Wanita dalam al-qur'an, cet. ke-1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), h Quraish Shihab, Wawasan al-qur'an, Tafsir Maudu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11, (Bandung: Mizan, 2000), h. 172.

3 kata ini adalah penutup dalam arti menutupi atau menyembunyikan atau menyamarkan. 7
Menurut Guindi, dengan menggunakan makna ini, cakupan veil dalam menutup bagian tubuh
meliputi tiga tipologis, yakni penutup kepala, penutup muka dan penutup badan. 8 Dengan
merujuk pada Lisan al-'arab, Fatima Mernissi berpendapat bahwa jilbab merupakan konsep yang
samar, karena kata tersebut bisa merujuk pada gamis yang sederhana hingga jubah. Salah satu
definisi dalam kamus tersebut adalah "pakaian yang lebar yang digunakan oleh perempuan",
sementara dalam definisi yang lain mengartikan jilbab sebagai "pakaian yang digunakan wanita
untuk menutup kepala dan dada mereka. 9 Meskipun banyak pendapat yang berkenaan dengan
jilbab, namun semua pendapat itu mengacu pada suatu bentuk pakaian yang digunakan untuk
menutupi tubuh perempuan. 10 Sejarah Munculnya Jilbab Jilbab merupakan sebuah unsur
budaya yang sangat tua. Jika yang dimaksud jilbab adalah penutup kepala (veil) bagi kaum
perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian
berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Assyria (1.500 SM). Pada tahun 500
sebelum masehi, jilbab juga sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di
kawasan kerajaan Persi. 11 Menurut Navabakhsh, seorang penulis Iran, jilbab (cadar) adalah
bagian tradisi yang ditemukan dilingkungan bangsawan kelas menengah atas di Syiria, di
kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen, serta dikalangan orang-orang Sasanid Selain itu,
ketentuan jilbab juga sudah dikenal dibeberapa kota tua seperti Mesopotamia, 7 Lihat Fadwa el
Guindi, Jilbab, antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. Mujiburrahman, (Jakarta:
Serambi, 2003), h Ibid., h Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti,
(Bandung: Pustaka, 1994), h Pendapat Mernissi juga mengisyaratkan bahwa tidak adanya
definisi yang jelas mengenai jilbab. 10 Dalam penelitian Antropologisnya, Guindi menemukan
bahwa jilbab ternyata tidak hanya digunakan oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki yang
kemudian diistilahkan dengan jilbab maskulinitas, lihat, Fadwa el Guindi, Jilbab, h Namun
dalam kajian keislaman hal ini tidak begitu signifikan, karenakonteks ayat "jilbab" terkait dengan
perempuan. 11 Nasaruddin Umar, "Antropologi Jilbab" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 5. vol.
VI. (tahun 1996), h Laela Ahmed, Woman, (London: Yale University, 1992), h. 5.

4 Babylonia dan Asyria. Di Asyria misalnya, menurut Maxime Rodinson seorang Islamolog
Prancis, terdapat larangan berjilbab bagi pelacur Bahkan Louis M. Epstein mencatat adanya
kewajiban penggunaan kerudung bagi isteri, anak perempuan dan juga janda ketika mereka
berpergian atau mengunjungi tempattempat umum Kemudian dalam perkembangan selanjutnya,
jilbab menjadi simbol kelas menengah atas di masyarakat Asyria. Dalam penelitian
Antropologisnya, Guindi menemukan bahwa jilbab mempunyai fungsi dan makna sesuai dengan
kondisi dan budaya yang melingkupinya. Guindi menyimpulkan ada lima pola tradisi kultural
menyangkut penggunaan jilbab di beberapa daerah. Pola-pola tersebut adalah, pertama,
komplementer, sebagaimana di daerah Sumeria. Kedua, ekslusif, sebagaimana di daerah Persia
dan Mesopotamia. Ketiga, egalitarian sebagaimana terjadi di Mesir. Keempat, hierarkis,
sebagaimana dalam kebudayaan Hellenis, dan kelima, seklusionaris, sebagaimana dalam
kebudayaan Byzantium. 15 Kelima pola inilah yang mendasari penggunaan jilbab pada
masyarakat. Jelaslah bahwa penggunaan jilbab dan yang mirip dari segi bentuk dan fungsinya
sudah eksis dalam seluruh kebudayaan yang disebutkan di atas. Sedangkan dalam kepercayaan
keagamaan, semua agama samawi dan umumnya agama-agama yang lain menyerukan kaum
perempuan untuk menggunakan penutup kepala dengan latar belakang dan motivasi yang
berbeda-beda. Dalam literatur Yahudi ditemukan data bahwa penggunaan jilbab berawal dari
peristiwa dosa asal (original sin), yaitu isteri Adam (Hawa) telah berdosa menggoda suaminya
memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta seluruh kaumnya mendapat kutukan lebih
berat. Dalam kitab Talmud dijelaskan sepuluh penderitaan yang harus dialami Hawa dan
kaumnya. Salah satunya ialah Hawa harus menjalani siklus menstruasi yang tidak pernah dialami
sebelumnya. 16 Antropolog, menstruasi mempunyai hubungan erat dengan jilbab. Menurut
mereka, jilbab bersumber dari ketabuan menstruasi (menstrual taboo). Perempuan yang 13 Lihat,
pengantar Andree Feillanrd dalam Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas
Wacana Agama dan Gender, cet. ke-2, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. xix. 14 Nasaruddin Umar,
Kajian Kritis dalam Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik), dalam Siti Ruhaini
Dzuhayatin dkk, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,
(Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga - McGill-ICIHEP, 2002), h Fadwa el Guindi, Jilbab, h
Nasaruddin Umar, "Antropologi, h. 38.

5 sedang mengalami menstruasi dituntut dengan berbagai upacara dan perlakuan khusus. Mereka
dilarang berinteraksi dengan masyarakat, termasuk keluarga. Dilarang berhubungan seks serta
dituntut menggunakan jilbab atau cadar untuk menutup seluruh tubuhnya. Penggunaan ini
semula tidak dimaksudkan sebagai perhiasan, tetapi sebagai sarana tolak bala dan signal of
warning. 17 Namun dalam perkembangannya, jilbab mendapat legitimasi agama. Jilbab menjadi
pakaian wajib (obliged dress) bagi perempuan, khususnya ketika menjalani ritual keagamaan.
Jilbab juga merupakan bagi agama Kristen. Dalam lingkungan agama Kristen, jilbab lebih
dianggap sebagai simbol ideologis dan kesalehan. Bukti-bukti keberadaan jilbab tercantum jelas
dalam Bible yakni pada Kitab Kejadian: Dalam ayat tersebut diceritakan tentang Rebekah yang
menggunakan penutup wajahnya ketika bertemu dengan Issac. Selain itu dalam Corinthians I: 3-
7 juga dijelaskan bahwa seorang perempuan yang berdoa tanpa menggunakan jilbab, berarti
tidaklah menghormati kepalanya. Bagi laki-laki, menutup kepalanya merupakan bayangan
kebanggan Tuhan, tapi perempuan adalah kebanggan laki-laki. 18 Kedua ayat Bible tersebut
menjelaskan bahwa pemakaian jilbab juga telah berlangsung dalam lingkungan tradisi agama
Kristen. Penggunaan jilbab itu lebih terkait dengan nilai kesucian dan aseksual, sehingga
membuka kepala merupakan tindakan yang menyimpang. Dalam agama Hindu, sebagian dari
pemeluknya juga mewajibkan penggunaan jilbab. Kondisi ini tidak jauh beda dengan agama
lainnya, seperti Kitab Mahabarata disebutkan, "jika perempuan belajar Kitab Veda, maka itu
pertanda kehancuran kerajaan". Pada akhirnya sebagian agama Hindu mewajibkan jilbab (hijab)
kepada perempuan dan melarang pemeluknya bergaul dengan perempuan. 19 Para ahli yang
berpendapat bahwa jilbab bukan merupakan budaya Arab, tapi merupakan budaya asing yang
kemudian diadopsi oleh masyarakat Arab. Menurut Hensen sebagaimana dikutip oleh Guindi,
bahwa "pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab. 20 Semula
jilbab merupakan tradisi Mesopotamia -Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan
merupakan tradisi 17 Ibid. 18 Untuk lebih jelasnya, lihat, Muhammad Asmawi, Jilbab Sensual,
Membedah Fenomena Jilbab Trendi, (Yogyakarta: Darussalam, 2003), h Muhammad Syahrur,
Nahwa Usul Jadidah li al-fiqh al-islami, (Damaskus: al-ahaly, 2000), h Fadwa el Guindi, Jilbab,
h. 38.

6 Helenistik-Byzantium. Adapun penyebaran budaya tersebut ke daerah Arab dimulai ketika


terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia. Akibat perang tersebut, rute perdagangan
antar pulau mengalami perubahan. Pesisir jazirah Arab menjadi daerah penting sebagai tempat
transit perdagangan, selain juga sebagai tempat pengungsian. Di masa itulah terjadi globalisasi
peradaban sehingga kultur Hellenis- Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh
jazirah Arab. Jilbab dalam Masyarakat Modern Jilbab merupakan fenomena yang kaya makna
dan penuh nuansa. Ia berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan
budaya, sebuah praktek yang telah hadir dalam sejarah zaman. Menurut Guindi, jilbab
merupakan simbol fundamental yang bemakna ideologis bagi umat Kristen, khusus bagi Katolik
merupakan bagian pandangan kewanitaan dan kesalehan, dan bagi masyarakat Islam merupakan
alat resistensi. 21 Adapun dalam pergerakan Islam, jilbab mempunyai fungsi ganda, yakni
sebagai simbol identitas dan resistensi. Pada masa kini jilbab tampil bukan hanya sebagai mode
dan privacy, tetapi juga tampil sebagai kekuatan, pergerakan, pertahanan, dan proteksi. Oleh
karena itu, jilbab pada masa sekarang memiliki nuansa baru, bukan hanya sebatas penutup aurat
bagi perempuan, tetapi juga memiliki kekuatan politik yang patut diperhitungkan. 22 Dalam
konteks gerakan di beberapa negara Islam, jilbab muncul sebagai sebuah gerakan yang tak
terpisah dari gerakan itu. Pakaian menjadi garis depan pertempuran yang berkecamuk antara
pembela masyarakat Islam melawan ekstrem sekuler. Inilah yang oleh Guindi disebut sebagai
jilbab dalam konteks resistensi. Kekalahan Mesir tahun 1967 dari Israel dan kemenangan Mesir
tahun 1973 dari Israel adalah dua peristiwa sosial politik yang cukup berpengaruh pada gerakan
Islam dan perkembangannya sampai saat ini. Kemenangan Mesir tahun 1973 atas Israel ini
mematahkan mitos Israel tak terkalahkan. 23 Sejalan kemenangan itu, di Mesir terjadi 21 Ibid., h
Sebenarnya fenomena jilbab tidaklah melekat pada faktor politik semata, akan tetapi menjadi
lain ketika ditransformasikan menjadi simbol publik. Hal inilah yang kemudian menjadi salah
satu alasan pemerintah Prancis melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah. Lihat,
Mohammad Abdun Nasir, "the Veil at Crossroads: Muhammad Sa'id al-'ashmawi and the
Discourse on the Hijab in Egypt" dalam Jurnal al-jami'ah, vol. 42, No. 1, 2004, h Fadwa el
Guindi, Jilbab, h. 213.

7 apa yang disebut gerakan religius. Pemuda dan mahasiswa mulai berpakaian secara berbeda,
berperilaku yang lebih konservatif. Mereka menyebut pakaiannya sebagai alziyy al-islami
(pakaian Islami). 24 Namun hal itu tidak membatasi ruang gerak mereka di wilayah publik
Mesir. Dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis, dengan mengutip Fanon, Guindi
menyebutkan bahwa jilbab secara dramatis berperan dalam perjuangan Aljazair untuk
kemerdekaan. 25 Dalam proses mengukuhkan kekuasaannya di Aljazair, salah satu strategi
Prancis adalah asimilasi kelas atas Aljazair dengan mem-pranciskan perempuan Aljazair. Jilbab
menjadi target strategi kolonial untuk mengontrol dan melepaskan - untuk mempengaruhi
perempuan Aljazair agar melepaskan jilbabnya. Penjajah bersikap hormat pada perempuan yang
tidak berjilbab. Taktik ini membuat orang-orang Aljazair menghubungkan proses pelepasan
jilbab perempuan Muslim dengan strategi kolonial untuk menghinakan dan menghancurkan
kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis -
memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan perempuan
Aljazair yang memberikan jilbab vitalitas baru. Sebagai bentuk resistensi, fenomena jilbab dapat
ditemukan dalam revolusi Iran. Syah Reza Pahlevi melarang pengguanaan jilbab pada tahun
1936, sebagai perjuangan westernisasinya, para polisi menahan perempuan yang memakai jilbab
dan memaksa mereka melepasnya. Padahal di Iran, perempuan biasa, muncul dihadapan umum
tanpa memakai tutup kepala sama dengan telanjang. Namun kebijakan ini disambut baik oleh
perempuan maupun laki-laki kelas atas yang telah ter-baratkan yang memandang dalam istilah
liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan hak-hak perempuan. Sejak itu isu jilbab
menjadi luka dalam bagi politik Iran. Setelah Pahlevi turun tahta (tahun 1941), kewajiban
melepas jilbab dicabut. Tahun 1970-an, jilbab dijadikan simbol kebajikan, dan direpresentasikan
untuk menolak kaum Pahlevis berikut undang-undang dan gerakan westernisasinya. 26 Pada
masa sekarang, jilbab masih dipandang sebagai bentuk simbol yang memiliki akar ideologi yang
patut diperhitungkan. Pada tahun 1980-an, Di Mesir yang 24 Ibid., h Untuk lebih lanjut, lihat,
ibid., h Ibid.

8 merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim, muncul isu politik yang berkaitan dengan
jilbab. Penguasa Mesir memandang bahwa pemakaian kerudung sebagai tindakan defensif
terhadap ideologi sekular yang mereka promosikan. 27 Di Prancis juga berkobar kontroversi
mengenai jilbab, hal ini berujung pada seruan untuk mengusir para pekerja asing, serta melarang
penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum dan universitas. 28 Kontroversi jilbab di Prancis
berlarut, hingga pada tahun 2003-an Presiden Jacques Chirac memberlakukan keputusan yang
intinya melarang penggunaan jilbab. Menurut mereka, jilbab merupakan simbol keagamaan yang
berimplikasi pada munculnya fanatisme dan pembedaan etnis dalam masyarakat. 29 Pada tahun
1980-an, di Indonesia juga muncul kasus pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah
umum. Beberapa instansi pemerintah, perusahaan dan sejenisnya juga menolak mempekerjakan
perempuan berjilbab. Akan tetapi, kondisi ini berbalik di tahun 1990-an, pelarangan berjilbab
siswi sekolah-sekolah negeri dicabut dan diberlakukan surat keputusan diperbolehkannya pelajar
putri belajar tanpa meninggalkan jilbabnya. Selain itu, setelah adanya otonomi khusus di
Nangroe Aceh Darussalam, pemerintah setempat juga membuat peraturan tentang kewajiban
penggunaan jilbab bagi kalangan perempuan muslimat. Selain itu yang paling kontroversial
adalah terbitnya Instruksi Walikota Nomor /Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret, di Padang, yang
berisi tentang kewajiban penggunaan jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran
memakainya (untuk non-islam). 30 Kontroversi Jilbab Dalam Hukum Islam 27 Dale F.
Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, (Bandung: Mizan,
1998), h John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah Abdurrahman dan
MISSI, cet. ke-3, (Bandung: Mizan, 1996), h.210. Mengenai kontroversi jilbab dan imbas
politiknya terhadap negara Prancis, lihat, Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi
Politik, h Yusuf al-qaradawi, Larangan Berjilbab Studi Kasus di Prancis, terj. Abdul Hayyie al-
kattanie, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h Fikria Najitama, Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan
Budaya Serta Implikasinya bagi Pembangunan Hukum Islam Khas Indonesia dalam Jurnal Al-
Mawarid Edisi XVII tahun 2007, h

9 Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak berbicara secara detail terkait dengan
bentuk dan motif jilbab. Adapun yang penting aurat 31 tertutupi dan lekak-lekuk yang sensitif
tidak nampak. Ayat yang dijadikan dasar jilbab adalah Al- Ah-zab (33): Ayat tersebut diturunkan
kepada Rasulullah sekitar tahun ke-5 H. Menurut riwayat, ayat ini turun terkait dengan kejadian
dimana perempuan mukminat pada malam hari keluar rumah untuk buang hajat. Di tengah
perjalanan, mereka diganggu oleh orang-orang munafik. Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat
membdakan antara perempuan merdeka (terhormat) dengan budak (sebab model pakaiannya
sama). Sehingga mereka (kaum munafik) bila melihat perempuan memakai penutup kepala,
mereka berkata, "ini perempuan merdeka", lalu mereka biarkan berlalu tanpa diganggu.
Sebaliknya, bila mereka melihat perempuan keluar tanpa penutup kepala, lantas mereka berkata,
"ini seorang budak perempuan", lalu mereka buntuti (dengan tujuan pelecehan). 33 Dalam asba b
an-nuzu l, nampak bahwa ayat tersebut turun bukan terkait dengan konteks menutup aurat, tetapi
lebih pada persoalan identitas, yakni supaya kaum mukminat untuk tidak mendapat gangguan
dari orang-orang jahil. Menurut Umar, asumsi kebenaran asbab an-nuzul di atas juga dikuatkan
dengan kondisi Madinah kala itu yang sedang tidak tentram. Hal tersebut disebabkan situasi
perang yang beruntun dan berkepanjangan. Di samping itu, umat Islam juga baru saja menderita
kekalahan yang beruntun yang menyebabkan populasi janda dan anak yatim membengkak. Kala
itu kaum perempuan yang menggunakan jilbab adalah kaum bangsawan, dan hampir tidak
pernah mendapatkan pelecehan dari laki-laki nakal. 34 Oleh karena itu seruan menggunakan
jilbab kala itu sangat logis dan tepat untuk mengurangi persoalan intern dalam kaum muslim.
Jadi dapt dimaklumi betapa besar fungsi preventif perintah menggunakan jilbab pada kondisi
kala itu. 31 Aurat terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela. Kata ini sama maknanya
dengan sau'at yang berasal dari kata sa-a - yasu-u yang berarti buruk, tidak menyenangkan.
Lihat, Quraish Shihab, Wawasan al-qur'an, h Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-
anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka", yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 33 Lihat,
Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rawa'i al-bayan, Tafsir Ayat al-ahkam min al-qur'an, (Kuwait: Dar
al-qur'an al-karim, 1971), II: Nasaruddin Umar, "Antropologi, h. 41.

10 Setelah turunnya surat al-ahzab (33): 59, kemudian turun lagi ayat yang berkaitan dengan
jilbab, yakni ayat an-nur (24): Ayat tersebut secara tegas meminta kaum perempuan untuk
menjaga kehormatannya dan menutup auratnya dari orang-orang yang tidak boleh melihatnya.
Dalam konteks asbab an-nuzul, menurut Umar ayat di atas selain terkait dengan kondisi Madinah
yang tidak aman, juga terkait dengan peristiwa fitnah keji (haldis} al-ifk) yang dilakukan
Abdullah ibn Saba' dan kaum munafik Madinah terhadap Aisyah. 36 Peristiwa tersebut sangat
menghebohkan penduduk madinah kala itu, dan juga sempat memancing perdebatan dikalangan
para sahabat, dan baru berakhir dengan turunnya lima ayat yaitu Q.S. an-nur (23): Ayat an-nur
(24): 31 menjelaskan tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan dan bagian yang boleh
terbuka adalah "apa yang biasa nampak". Terkait dengan teks ini, para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkannya. Para ulama berpolemik terkait dengan bagian mana dari bagian tubuh
perempuan yang termasuk kategori aurat dan bagian mana yang termasuk kategori "apa yang
biasa nampak". Menurut sebagian ulama, perempuan wajib menutup seluruh bagian tubuhnya
kecuali muka dan telapak tangan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian muka, kedua
telapak tangan dan kedua telapak kaki tidaklah termasuk kategori yang harus ditutupi. 37 Terkait
dengan tidak termasuknya bagian telapak kaki sebagai kategori aurat, Abu Hanifah beralasan
bahwa bagian telapak kaki dipandang lebih menyulitkan daripada telapak tangan, khususnya bagi
perempuan-perempuan miskin 35 Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanitawanita Islam, atau budak- budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. 36 Nasaruddin Umar,
"Antropologi, h. 40. Peristiwa fitnah keji (h{a>dis{ al-ifk) terjadi ketika Aisyah tertinggal dari
rombongan pasukan perang. Hal tersebut dikarenakan dia mencari kalung permatanya. Ketika
sampai dikemahnya, tidak mendapati seorangpun karena seluruh pasukan sudah berangkat
meninggalkan lokasi. Ketika Aisyah sendirian di kemah, datanglah Safwan ibn Mu'attal al-
Sulami dengan untanya dan membawa Aisyah ke Madinah. Peristiwa tersebut kemudian
dimanfaatkan oleh Abdullah ibn Saba' dan kaum munafik Madinah. Maka muncullah isu yang
menggegerkan masyarakat Madinah yang intinya memojokkan Aisyah. 37 Ibn Rusyd, Bidayah
al-mujtahid wa Nihayah al-muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, 1992), I : 83. Lihat juga Quraish
Shihab, Wawasan al-qur'an, h. 176.

11 di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Imam Syafi'i berpendapat bahwa perempuan wajib menutup seluruh tubuhnya, kecuali
kedua telapak tangan dan bagian muka, yang menurutnya tidak termasuk kategori aurat. 38
Senada dengan Imam Syafi'i, Imam Malik juga memandang bahwa kedua telapak tangan dan
muka tidaklah termasuk kategori aurat, oleh sebab itu boleh ditampakkan. 39 Adapun dalam
mazhab Hambali berpendapat lain. Menurut mereka, aurat perempuan merdeka adalah seluruh
anggota tubuh tanpa terkecuali. Hanya pada kondisi shalat dan kepentingan tertentu saja mereka
diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangan. Akan tetapi sebagian dari ulama Hambali
tetap mewajibakan menutup seluruh bagian tubuh termasuk dalam keadaan shalat. 40
Selanjutnya, Muhammad Asad dalam the Message of the Qur'an menyimpulkan lafadz "illa ma
zahara minha" dalam catatan kaki sebagai berikut: Intepretasi saya mengenai kata "secara
pantas" merefleksikan intepretasi frase "illa ma zahara minha" oleh beberapa sarjana Islam awal,
dan khususnya oleh al-qiffal (dikutip oleh Razi), sebagai "yang orang bisa secara terbuka
pertunjukkan sesuai dengan tradisi yang berlaku (al-'adah al-jariyah)". Walaupun contoh
tradisional hukum Islam selama beberapa abad cenderung membatasi definisi "apa yang [biasa]
nampak dari padanya" termasuk muka, tangan dan kaki perempuan -dan kadang-kadang kurang
dari itu- kita dengan aman dapat mengasumsikan bahwa makna "illa ma zahara minha" lebih
luas, dan bahwa ketidakjelasan yang disengaja dari frase ini dimaksudkan untuk membiarkan
selama waktu mengikat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk perkembangan moral dan
social laki-laki. Klausul penting dari perintah di atas merupakan tuntutan, ditujukan dalam
pengertian-pengertian yang identik dengan lakilaki dan juga perempuan, untuk menundukkan
pandangannya dan sadar akan kesuciannya"; dan ini meniscayakan tingkat, pada suatu waktu
tertentu, secara absah - 38 Muh}ammad ibn Idris asy-syafi'i, al-umm, (Beirut: Dar al-fikr, t.t.), I:
Lihat Husain Muhammad, Fiqh Perempuan,h Kesimpulan ini dikutip dari Asghar Ali Engineer,
Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, terj. Akhmad Affandi
dan Muh. Ihsan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 111.

12 sesuai dengan prinsip moralitas Qur'an yang dianggap 'sopan' atau 'tidak sopan' dalam
penampilan luar seseorang. 41 Kontroversi tentang kategori aurat inilah yang akhirnya menyeret
pada perdebatan tentang konsep jilbab bagi perempuan, yang mana jilbab secara fungsional
merupakan instrument untuk menutupi aurat.terkait dengan hukum jilbab dalam hukum Islam,
terdapat dua kutub pandangan yang saling bertentangan. Sebagian masih menganggap bahwa
jilbab merupakan bagian dari kewajiban bagi tiap perempuan muslim, sedangkan sebagian yang
lain menyatakan bahwa jilbab bukan termasuk kewajiban. Ibnu Taymiyyah misalnya,
menyatakan bahwa jilbab termasuk kategori perintah Allah kepada tiap perempuan muslim untuk
menutupi seluruh bagian tubuhnya. Hal ini terkait dengan usaha untuk menjaga pandangan dari
laki-laki yang tidak termasuk bagian dari muhrimnya. 42 Menurut Taymiyyah, jilbab merupakan
baju perempuan yang berukuran panjang. Selain panjang, jilbab menurut Taymiyyah juga harus
mampu untuk menutupi seluruh bagian tubuh perempuan, termasuk kategori muka dan telapak
tangan. Menurutnya, tradisi niqab (cadar) dan qaffaj (kaos tangan) sudah dikenal dikalangan
perempuan yang tidak berihram, artinya perempuan pada zaman nabi menutup muka dan
tangannya. 43 Indikasinya, terdapat Hadis yang melarang perempuan yang sedang berihram
untuk menggunakan cadar. Fenomena tersebutlah yang secara tidak langsung sebagai faktor yang
menghendaki keharusan bagi perempuan untuk menggunakan penutup muka dan kedua tangan.
44 Senada dengan Taymiyyah, Yusuf al-qaradawi, seorang 'ulama dari Mesir, menyatakan
bahwa jilbab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perempuan, dan bukan ijtihad
ahli fiqh ataupun bid'ah yang dibuat oleh umat Islam. Dasar perintah ini didasarkan pada surat
an-nur (24): 31. menurutnya, huruf lam dalam kalimat walyadribana memiliki arti perintah,
sedangkan perintah dalam al- 41 Untuk lebih lanjut, lihat Syaikh Ibnu Taymiyyah dkk, Jilbab
dan Cadar dalam al-qur'an dan as- Sunah, terj. Al-Anshar, cet. ke-1, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1994), h Ibnu Taymiyyah, Tafsir Surat an-nur, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-kutub al-'ilmiyah,
1983), h Secara tidak langsung, pendapat Taymiyyah yang menyatakan tentang kewajiban
menutup muka dan telapak tangan mengindikasikan bahwa kedua bagian tersebut juga termasuk
kategori aurat. Oleh karena itu berarti aurat perempuan bagi Taymiyyah adalah seluruh bagian
tubuh perempuan tanpa terkecuali. 43 Pendapat senada dengan Taymiyyah terkait dengan
kewajiban untuk menutup bagian muka dan kedua tangan juga dipegang oleh al Albani, lihat,
Muhammad Nashiruddin al-albani, Hijab al- Mar'ah al-muslimah fi al-kitab wa as-sunah, cet.
Ke- 8, (Beirut: al-maktabah al-islami, 1987). 44 Yusuf al-qaradawi, Larangan Berjilbab, h. 61.

13 Qur'an menunjukkan kewajiban yang harus dilaksanakan. 45 Pertimbangan perintah ini, yakni
kekhawatiran akan gangguan dari pihak orang-orang fasik dan laki-laki iseng terhadap
perempuan. Menurut al-qaradawi, jilbab adalah pakaian yang lebar semacam baju kurung yang
digunakan oleh perempuan untuk menutupi auratnya. Namun terkait dengan kategori bagian
mana yang harus ditutup, al-qaradawi berseberangan dengan Taymiyyah. Menurut al-qaradawi,
wilayah wajah dan kedua telapak tangan tidak termasuk kategori aurat dan tidak wajib untuk
ditutupi. Hal ini didasarkan pada Surat an-nur (24): 31. Menurutnya, lafal "illa ma zahara minha"
merupakan pengecualian yang berarti meliputi bagian wajah dan kedua telapak tangan, serta
perhiasan lain yang wajar, tidak berlebihan dan tidak bermewah-mewahan, misalnya cincin
ditangan ataupun celak di mata. Pendapat al-qaradawi ini merujuk pada pendapat yang
dikemukakan oleh Sa'ad ibn Jubair, 'Ata, Auza'i dan lainnya. Selain itu al-qaradawi juga merujuk
pada Ibn Hazm, seorang golongan Zahiri yang menyatakan bahwa surat an-nur (24): 31
menunjukkan bolehnya membuka wajah, karena ayat tersebut memerintahkan menutupkan
kerudung ke dada, bukan bukan ke muka. 46 Muhammad Syahrur, seorang pemikir kontemporer
Syiria, mempunyai penafsiran lain terkait dengan jilbab. Menurutnya jilbab merupakan persolan
aib dan malu secara adat daripada persoalan haram dan halal. 47 Dalam hal ini, jilbab merupakan
instrumen untuk menutupi bagian yang apabila ditampakkan dapat menimbulkan gangguan, baik
gangguan alami (al-t{abi'i) ataupun gangguan sosial (al-ijtima'i). 48 Analisis linguistiknya,
Syahrur menyatakan bahwa term jilbab berasal dari kata ja-la-ba, yang memiliki dua arti yakni,
pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang
meliputi dan menutupi sesuatu yang lain. 49 Dari pengertian inilah muncul kata al-jilbab untuk
perlindungan, yakni pakaian luar yang 45 Lihat, Yusuf al-qaradawi, al-halal wa al-haram fi al-
islam, cet. Ke-9, (Kairo: Dar al-ma'rifat, 1985), Yusuf al-qaradawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,
terj. As'ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), I: Pendapat al-qaradawi tersebut juga tak
berbeda dengan pendapat al-ghazali, untuk lebih lanjut lihat, Muhammad al-ghazali, Sunah Nabi
Saw Menurut Ahli Fiqh dan Ahli Hadis, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-qur'an: Qira'ah Mu'asirah, (Damaskus: al-ahaly, 1990), h Muhammad
Syahrur, Nahwa,h Ibid., h ; Muhammad Syahrur, al-kitab,h. 614.

14 berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel dan lain-lain. Jadi menurutnya,
seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk dalam pengertian al-jalabib. Adapun terkait
dengan Surat an-nur (24): 31, Syahrur membaca bahwa perintah Allah kepada perempuan
tersebut untuk menutupi bagian yang terkait dengan kategori al-juyub, yakni dua payudara,
bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. 50 Teori limit yang
dirumuskannya, kategori al-yujub merupakan bagian dari had al-adna, yakni berarti batas
minimal penggunaan pakaian yakni menutupi seluruh bagian tubuh yang termasuk dalam
kategori al-juyub. Sedangkan had al-a'la nya yakni menutup seluruh bagian tubuh perempuan
kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Konsekwensinya, perempuan yang menampakkan
kategori al-juyub ataupun perempuan yang menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah dan kedua
telapak tangan berarti telah melanggar hudud Allah. Adapun Muhammad al-'asymawi setelah
melakukan pembacaan terhadap ayat jilbab dan melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang
terkait dengan jilbab ia menyimpulkan bahwa jilbab bukanlah bagian dari kewajiban agama.
Menurutnya, QS al-nur (24): 31 turun untuk membedakan perempuan mukmin dan perempuan
selainnya. Hal ini disebabkan pada masa itu perempuan rentan dengan tindak pelecehan karena
tidak adanya perbedaan antara perempuan merdeka dan budak. Lebih lanjut, al-asymawi
menjelaskan bahwa produk hukum (tasyri') yang dikeluarkan nabi ada yang bersifat abadi dan
temporal. Dalam hal ini, jilbab merupakan produk hukum yang bersifat temporal (tasri' zamani)
yang khusus merespon kondisi zaman tertentu. Oleh karena itu ayat jilbab sangat terkait dengan
konteks, yang secara tidak langsung bermakna bahwa anjuran jilbab merupakan sesuatu yang
sangat temporal dan tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi. Sedangkan hadis-hadis
terkait dengan jilbab, menurut al-asymawi adalah hadis ahad 50 Menururut Syahrur, al-juyub
berasal dari kata ja-ya-ba. Al-Juyub adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan
satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari kata ja-waba yang memiliki arti
dasar lubang yang terletak pada sesuatu dan juga berarti pengembalian perkataan soal dan jawab.
Istilah al-juyub pada tubuh perempuan berarti bagian yang memiliki dua tingkatan atau dua
tingkatan sekaligus sebuah lobang yang secara rinci berupa, antara kedua payudara, bawah
payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Adapun bagian mulut, hidung, kedua mata
dan telinga, walaupun termasuk al-juyub tidaklah bagian yang menurut Syahrur harus ditutup,
karena bagian tersebut merupakan bagian identitas manusia. Lihat, Muhammad Syahrur, Nahwa,
h. 363.

15 yang tidak dapat dijadikan dasar hukum dan juga bersifat temporal, yakni terkait dengan
kondisi dan zaman tertentu. 51 Sedangkan Quraish Shihab, seorang mufasir Indonesia, memiliki
pandangan yang hampir sama dengan Syahrur. Dengan mengutip pandangan Muhammad Tahir
bin Asyur, ia menyatakan bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh -dalam kedudukannya
sebagai adat- untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
dipaksakan pula terhadap kaum itu sendiri. Contohnya adalah pemakaian jilbab yang
dianggapnya adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-
bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi
mereka) ketentuan ini. Asyur menjelaskan, bahwa cara pemakaian jilbab berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan perempuan dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi
surat al-ahzab 33: 59, yakni "agar mereka dapat dikenal sebagai perempuan muslim yang baik
dan tidak diganggu. 52 Demikian berbagai pandangan yang muncul terkait dengan jilbab yang
digunakan oleh perempuan. Dari hal tersebut nampak secara sederhana terdapat dua kutub
pendapat terkait dengan jilbab, yakni yang menganggap bahwa jilbab merupakan kewajiban yang
diperintahkan Allah, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jilbab merupakan bagian
dari budaya. Penutup Pada bagian ini penulis dapat menyimpulkan bahwa jilbab merupakan
sebuah atribut yang sangat kaya nuansa. Selama ini jilbab diyakini sebagian pihak telah menjadi
simbol keislaman, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama untuk
menutup auratnya. Sebagian pihak lain memandang bahwa perintah jilbab sudah tidak
mempunyai relevansi pada masa sekarang. Jilbab juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap
perempuan Islam menghadapi penindasan patriarkhi, kapitalisme, dan globalisasi. 51 Untuk
analisis lebih lanjut, lihat, Muhammad al-'asymawi, Kritik Atas Jilbab, terj. Novriantoni Kahar
dan Oppie Tj, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan the Asia Foundation, 2003), khususnya
halaman lihat juga, Mohammad Abdun Nasir, "the Veil, h Quraish Shihab, Wawasan al-qur'an, h

16 Tetapi ada stigma salah yang akhir-akhir ini muncul, baik di kalangan Islam maupun
kalangan di luar Islam. Kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas
ketakwaan perempuan berjilbab daripada yang tidak berjilbab. Mereka yang berjilbab besar
memandang bahwa orang yang berkerudung kecil atau tidak berjilbab merupakan bagian dari
kelompok Islam yang belum sempurna (kaffah), Sementara mereka yang tidak berjilbab
memandang orang yang berkerudung besar terlalu berlebihah-lebihan dalam berpakaian dan
dianggap sebagai kelompok sempalan. Stigma negatif juga melanda kalangan luar yang
seringkali memandang kelompok berjilbab sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal,
dan anti-barat. Dalam masyarakat, fenomena yang saling menjustifikasi antara pengguna ataupun
yang tidak menggunakan jilbab sangat tidak tepat dan dapat memicu perpecahan dalam
masyarakat Islam. Persoalan jilbab merupakan persoalan khilafiyah, oleh sebab itu tiap pengguna
ataupun yang tidak menggunakan jilbab dituntut untuk dewasa dan dapat saling menghargai.
Berjilbab atau tidak berjilbab adalah sebuah pilihan, namun yang paling penting adalah
kesadaraan secara arif dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut.

17 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Laela, Woman and Gender in Islam, London: Yale University,
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Hijab al-mar'ah al-muslimah fi al-kitab wa as- Sunah, cet.
Ke- 8, Beirut: al-maktabah al-islami, Asmawi, Muhammad, Jilbab Sensual, Membedah
Fenomena Jilbab trendi, Yogyakarta: Darussalam, 2003 Al-Asymawi, Muhammad, Kritik Atas
Jilbab, terj. Novriantoni Kahar dan Oppie Tj, Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan the Asia
Foundation, Baidan, Nashruddin, Tafsir bi al-ra'yi Upaya Menggali Konsep Wanita dalam al-
qur'an, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi
Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, Bandung: Mizan, Engineer, Asghar Ali, Matinya Perempuan,
Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Lakilaki, terj. Akhmad Affandi dan Muh. Ihsan,
Yogyakarta: IRCiSoD, Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI, cet. ke-3, Bandung: Mizan, Al-Ghazali, Muhammad, Sunah Nabi Saw
Menurut Ahli Fiqh dan Ahli Hadis, Jakarta: Lentera Basritama, Guindi, Fadwa el, Jilbab, Antara
Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. Mujiburrahman, Jakarta: Serambi, Mernissi,
Fatima, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, Muhammad, Husain,
Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. ke-2, Yogyakarta: LKiS,
Munawwir, Ahmad Warson, al-munawwi>r Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, Surabaya:
Pustaka Progressif, Najitama, Fikria, Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Serta
Implikasinya bagi Pembangunan Hukum Islam Khas Indonesia dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi
XVII tahun 2007.
18 Nasir, Mohammad Abdun, "the Veil at Crossroads: Muhammad Sa'id al-'ashmawi and the
Discourse on the Hijab in Egypt" dalam Jurnal al-jami'ah, vol. 42, No. 1, al-qaradawi, Yusuf, al-
h{ala>l wa al-h{ara>m fi al-isla>m, cet. Ke-9, Kairo: Dar al- Ma'rifat, 1985., Larangan Berjilbab
Studi Kasus di Prancis, terj. Abdul Hayyie al-kattanie, Jakarta: Gema Insani, Rusyd, Ibn,
Biday>ah al-mujtah>id wa Nihay>ah al-muqtas>id, Beirut: Dar al-fikr, As-Sabuni, Muhammad
'Ali, Raw>a'i al-bay>an, Tafs>ir Ay>at al-ah}k>am min al- Qur'>an, Kuwait: Dar al-qur'a>n al-
kari>m, Shihab, Quraish, Wawasan al-qur'an, Tafsir Maudu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.
ke- 11, Bandung: Mizan, Asy-Syafi'i, Muhammad ibn Idris, al-umm, Beirut: Dar al-fikr, t.t.
Syahrur, Muhammad, al-kitab wa al-qur'an: Qira'ah Mu'asirah, Damaskus: al-ahaly, 1990.,
Nah}w>a Us}>ul jadid>ah li al-fiqh al-isl>am>i, Damaskus: al-ahaly, Taymiyyah, Ibnu, Tafsir
Surat an-nu>r, cet. ke-1, Beirut: Dar al-kutub al-'ilmiyah, Taymiyyah, Syaikh Ibnu, dkk, Jilbab
dan Cadar dalam al-qur'an dan as- Sunah, terj. Al- Anshar, cet. ke-1, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, Umar, Nasaruddin, "Antropologi Jilbab" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 5. vol. VI.
Tahun 1996., Kajian Kritis dalam Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik) dalam Siti
Ruhaini Dzuhayatin dkk, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,
Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga - McGill-ICIHEP, al-yasu'i, Louis Ma'luf, al-munj>id fi
al-lug>ah, Beirut: al-katulikiyyah, 1965.

S-ar putea să vă placă și