Sunteți pe pagina 1din 131

MODUL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

KEGAWATAN MATERNITAS (INTRANATAL)

DOSEN PENGAMPU: Ibu Yenita Agus, M.Kep, Sp.Mat, PhD

Disusun Oleh :
Kelompok 2 PSIK 2016 Kelas A
Dee Sinta 11161040000001
Nadia Ikhwani P. 11161040000011
Irma Hardiyanti SN 11161040000012
Annisa Putri U 11161040000013
Vina Ayu Wardani 11161040000018
Mia Nurjanah 11161040000021
Rizkiyah Ayu W 11161040000025
Monalisa Putri 11161040000028
Tsana Hanifah 11161040000032
Fitri Fadila 11161040000036
Dwi Nur Royha 11161040000079
Akromul Ikhsan B. 11161040000082
Izzah Amalina 11161040000083

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NOVEMBER/2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb.


Alhamdulillah hirobbil’alamin. Kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam penyusunan makalah ini kami banyak mendapat hambatan dan
pembelajaran yang sangat bermanfaat. Namun, berkat dorongan dan motivasi yang
tinggi dari berbagai pihak, hambatan tersebut dapat kami atasi. Maka dari itu, berkat
bantuan mereka kami ucapkan terimakasih.

Dengan segala hormat ucapan kami tujukan kepada:


1. Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep. selaku dosen pembimbing Modul Keperawatan
Gawat Darurat dan Kritis
2. Orang tua yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
motivasi.
4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang langsung
maupun tidak langsung turut andil dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya. Kami juga berharap semoga
makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama para
pembaca.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.


Ciputat, 2 November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 5
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................. 5
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Emboli Ketuban .................................................................................... 6
2.2 Distosia Bahu ........................................................................................ 14
2.3 Persalinan Sungsang ............................................................................. 37
2.4 Partus Lama .......................................................................................... 45
2.5 Preeklamsia ........................................................................................... 63
2.6 Atonia Uteri .......................................................................................... 70
2.7 Retensio Plasenta .................................................................................. 90
2.8 Robekan Jalan Lahir ............................................................................. 97
2.9 Perdarahan PP Primer ........................................................................... 104
2.10 Syok Obstetrik.................................................................................... 119
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 129
3.2 Saran ..................................................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 131

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal merupakan suatu kondisi yang dapat
mengancam jiwa seseorang, hal ini dapatterjadi selama kehamilan, ketika kelahiran
bahkan saat hamil. Sangat banyak sekali penyakit serta gangguan selama kehamilan
yang bisamengancam keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan.
Kegawatan tersebut harus segera ditangani, karena jika lambat dalam menangani
akan menyebabkan kematian pada ibu dan bayi baru lahir (Walyani & Purwoastuti,
2015).
Kejadian kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan
yang sangat penting yang dihadapi di Negara-negara berkembang.Berdasarkan riset
World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 Angka Kematian Ibu (AKI)
di dunia masih tinggi dengan jumlah 289.000 jiwa. Beberapa Negara berkembang
AKI yang cukup tinggi seperti di Afrika Sub-Saharan sebanyak 179.000 jiwa, Asia
Selatan sebanyak 69.000 jiwa, dandi Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa. AKI di
Negara –Negara Asia Tenggara salah satunya di Indonesia sebanyak 190 per
100.000 kelahiran hidup, Vietnam sebanyak49 per 100.000 kelahiran hidup,
Thailand sebanyak 26 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei sebanyak 27 per
100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per 100.000 kelahiran hidup
(WHO, 2017).
Menurut data diatas, bahwa AKI di Indonesia masih sangat tinggi, dan
kebanyakan kasus ini terjadi karena komplikasi pada saat melahirkan seperti,
Distosia, Preeklamsia atau Eklamsia, dll. Oleh karena itu, sebagai seorang perawat
harus bisa mengetahui tentang kegawatan yang terjadi pada ibu hamil dan
melahirkan, agar angka kematian Ibu dan Anak dapat diminimalisir.

4
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Emboli Ketuban?
2. Apa yang dimaksud dengan Distosia Bahu?
3. Apa yang dimaksud dengan Persalinan Sungsang?
4. Apa yang dimaksud dengan Partus Lama?
5. Apa yang dimaksud dengan Preeklamsia?
6. Apa yang dimaksud dengan Atonia Uteri?
7. Apa yang dimaksud dengan Retensio Plasenta?
8. Apa yang dimaksud dengan Robekan Jalan Lahir?
9. Apa yang dimaksud dengan Perdarahan PP Primer?
10. Apa yang dimaksud dengan Syok Obstetrik?

1.3.Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Emboli Ketuban
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Distosia Bahu
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Persalinan Sungsang
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Partus Lama
5. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Preeklamsia
6. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Atonia Uteri
7. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Retensio Plasenta
8. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Robekan Jalan Lahir
9. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Perdarahan PP Primer
10. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Syok Obstetrik

5
BAB II
PEMBAHASAN

2. Kegawatan Maternitas Intranatal


2.1. Kala 1 dan 2
2.1.1. EMBOLI KETUBAN
A. Pengertian
Emboli cairan amnion merupakan sindrom dimana sejumlah
besar cairan ketuban memasuki sirkulasi darah maternal,tiba-tiba
terjadi gangguan pernapasan yang akut dan shock. 25% wanita yang
menderita keadaan ini meninggal dunia dalam waktu 1 jam. Emboli
cairan amnion jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak
terdiagnosis,diagnosis yang dibuat adalah shock obstetric,
pendarahan postpartum atau edema pulmoner akut.
Emboli cairan amnion ditemukan oleh Meyer pada tahun 1926
dari hasil pemeriksaan postmortem. Pada tahun 1947 diuraikan
sindrom klinisnya oleh Steiner dan Lusbaugh. Mereka
memperlihatkan bahwa masuknya cairan ketuban dalam jumlah
yang cukup banyak secara mendadak ke dalam sirkulasi darah
maternal akan membawa kematian ( fatal).
B. Etiologi
1.) Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa
diduga pada wanita yang proses persalinanya sulit atau baru saja
menyelesaikan persalinan yang sulit . Khususnya kalau wanita
itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar ,
mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan
ketuban, harus menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini
( emboli cairan ketuban )

6
2.) Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga
cairan ketubanpun dapat masuk melalui pembuluh darah.
3.) Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga
kemungkinan besar akan ketuban pecah dan memasuki
pembuluh darah ibu, dan akan menyumbat aliran darah ibu,
sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan
pernapasan karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru,
yang lama kelamaan akan menyumbat aliran darah ke jantung,
dengan ini bila tidak ditangani dengan segera dapat
menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.
4.) Menconium dalam cairan ketuban
5.) Kontraksi uterus yang kuat
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan
terjadinya laserasi atau rupture uteri, hal ini juga
menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan vena,
maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah
ibu, yang nantinya akan menyumbat aliran darah, yang
mengakibatkan hipoksia, dispnue dan akan terjadi gangguan
pola pernapasan pada ibu.
C. Faktor Risiko

1) Meningkatnya usia ibu


2) Multiparitas (banyak anak)
3) Adanya menconeum
4) Laserasi serviks
5) Kematian janin dalam kandungan
6) Kontraksi yang terlalu kuat
7) Persalinan singkat

7
8) Plasenta akreta
9) Air Ketuban yang banyak
10) Robeknya rahim
11) Adanya riwayat alergi pada ibu
12) Adanya infeksi pada selaput ketuban
13) Bayi besar

D. Tanda dan Gejala


Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli
cairan ketuban:
1) Ketika mencapai paru – paru akan menyebabkan penyumbatan
kapiler paru-paru yang menyebabkan gangguan pada proses
respirasi, dengan gejala dispnea, takipnea, nyeri dada, sianosis,
edema paru, dan syok.
2) Dapat menyebabkan spasme kuat pembuluh kapiler paru lalu
terjadi pengurangan cardiac output, hipertensi, bradikardi, serta
nantinya akan berlanjut ke gagal jantung kanan akut dan
hipoksemia.
3) Berlanjut menjadi hilang kesadaran, hal ini sekitar 25-50%
dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam pertama
(kematian mendadak).
4) Kematian sering terjadi pada emboli cairan amnion yang
banyak mengandung debris partikel, misalnya: cairan
amnion.Cepat lambatnya ibu meninggal bergantung pada
jumlah cairan ketuban yang masuk ke sirkulasi ibu.
5) Reaksi anafilaktik mungkin terjadi emboli yang berasal dari
fetus merupakan benda asing di dalam tubuh ibu.
6) Pendarahan hebat (HPP) akibat darah sulit membeku,karena
adanya unsure tromboplastik dalam cairan amnion.Khususnya

8
pendarahan pada traktus genetalis dan daerah yang mengalami
trauma.
7) Trombositopenia berat timbul dan khasnya darah sulit
membeku bila diberi thrombin atau maksimal membentuk
bekuan kecil lalu segera mengalami lisis sempurna.
8) Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya
diastolik pada saat pengukuran (Hipotensi )
9) Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat
dari hipoksia.
10) Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut
jantung janin dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per
menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama 10 menit
atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau
kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia
terminal.
11) Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan
pendarahan yang berlebihan setelah melahirkan. Kegagalan
rahim untuk menjadi perusahaan dengan pijat bimanual
diagnostik.
12) Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya
penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.)
E. Patofisiologi
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas,
mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi
serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus
bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah
dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan
yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air
ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam
sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi

9
darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat
terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang
sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air
ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan
sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat
aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus,
yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari
menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri
koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah
ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia
myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan
pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin
memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan
pendarahan besar dengan rahim atony dan Coagulation
Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder
mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian
awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion
mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari
embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-
sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
F. Penatalaksanaan
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion
terjadi hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara.
Wanita yang dapat bertahan hidup setelah menjakani resusitasi
jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan untuk
oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan.
Tindakan yang menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan
komponen darah sangat penting dikerjakan. Belum ada data yang
menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat memperbaiki
prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum

10
melahirkan dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan
untuk melakukan tindakan seksio caesaria perimortem darurat
sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang
hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti
jantung, pengambilan keputusan yang seperti itu menjadi semakin
rumit.

1) Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi


, koreksi defek yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
2) Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk
mengkoreksi hipovolemia & perdarahan .
3) Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu
penanganan atonia uteri.
4) Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan
ancietas .
5) Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular
dengan menghambat proses perbekuan.
6) Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila
ada bronkospasme .
7) Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos
bronkus, dan peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat
ini di berikan perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong
tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg.
8) Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
9) Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler
dengan menghambat proses pembekuan.
10) Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
11) Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma
beku segar dan sedian trombosit.

11
12) Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin
/ fibrinogen.
13) Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah;
perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pembebanan
berlebihan dalam sirkulasi darah.
14) Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.

G. Komplikasi

1) Edema paru yang luas dan akhirnya mengakibatkan kegagalan


dan payah jantung kanan.
2) iskemik
3) Ganguan pembekuan darah.

H. Konsep Asuhan Keperawatan


1) Pengkajian
a) Sirkulasi
I. Tekanan darah menurun/hipotensi.
II. Jantung melambat pada respons terhadap curah jantung.
III. Bisa terjadi syok.
IV. Gagal jantung kanan akut dan edema paru.
V. Sianosis.
b) Makanan cairan
I. Kehilangan darah normal akibat pendarahan.
II. Nyeri dan ketidaknyamanan,khususnya nyeri dada.
III. Gangguan pernapasan,takipnea.
c) Keamanan
I. Dapat mengalami pecah ketuban spontan tanpa
berkontraksi.
II. Peningkatan suhu (infeksi pada adanya pecah ketuban
lama).

12
III. Cairan amnion kehijauan karena ada mekonium.
IV. Perluasan episiotomi atau laserasi jalan lahir.
V. Peningkatan tekanan intrauterus.
VI. Merupakan penyebab utama kematian ibu intrapartum.
d) Genetalia
I. Darah berwarna hitam dari vagina
II. Peningkatan pendarahan vagina dan tempat yang
mengalami trauma pada saat melahirkan.
e) Pemeriksaan Diagnostic
I. Penggunaan kateter Swan Ganz intraarterial untuk
memudahkan pengukuran tekanan darah dan memperoleh
sampel darah serta instrument untuk mencatat tekanan
darah sistemik,tekanan arteriapulmonalis,cardiac
output,dan oksigenasi darah.
II. Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia
dan infeksi.
III. Cek golongan darah dan factor Rh.
IV. Rasio lestin terhadap spingomielin (rasio L/S):
menentukan maturitas janin.
V. Ph kulit kepala menandakan derajat hipoksia.
VI. Ultrasonografi : menentukan usia gestasi,ukuran
janin,gerakan jantung,janin,dan lokasi plasenta.
2) Diagnosis Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Resiko Setelah dilakukan Pencegahan Syok
Syok dd Asuhan Keperawatan 1) Identifikasi profile darah
Perdarahan 1×15 menit 2) Identifikasi status koagulasi
masiv diharapkan syok tidak 3) Monitor TTV
4) Monitor perdarahan

13
terjadi dengan Kriteria 5) Monitor status
Hasil : cardiopulmonary

1) TTV normal 6) Kolaborasi pemberian

2) Status cardio- Oksigen

pulmonary normal 7) Kolaborasi pemberian

3) Menunjukan profil transfusi

darah dan
pemeriksaan
koagulasi normal.
4) Mempertahankan
pengeluaran urine.

Penurunan Setelah dilakukan Perawatan Jantung


Curah Asuhan Keperawatan 1) Identifikasi adanya
Jantung bd 1×15 menit edema pulmonar
perubahan diharapkan curah 2) Monitor TTV
preload jaantung membaik 3) Monitor dyspnea
dengan Kriteria Hasil : 4) Monitor MAP

1) Tidak terjadi 5) Monitor adanya tanda

dyspnea penurunan curah jantung

2) Perfusi 6) Kolaborasi pemberian

jaringan baik Heparin

2.1.2. DISTOSIA BAHU

1. Definisi
Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya tambahan
maneuver obsterik oleh karena dengan tarikan biasa kearah belakang

14
pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi (Sarwono,
2009).
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat
dilahirkan setelah kepala janin dilahirkan (Sujiatini, 2011)
2. Etiologi
Distosia bahu penyebab utamanya deformatas panggul,
kegagalan bahu untuk “melipat” ke dalam panggul (misalnya:
makrosomnia), fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada
multipara (Sarwono, 2010)
3. Manifestasi Klinis
a) Kecurigaan bayi besar
b) Kemajuan lambat dari 7 sampai 10 cm, meskipun kontraksinya
baik.
c) Kemajuan lambat pada kala II
d) Kelahiran instrumental
e) Kemajuan lambat dan crowning serta kelahiran kepala lambat
f) Kepala seperti tertahan di dalam vagina.
g) Kepala lahir tetapi tidak terjadi putaran paksi luar.
h) Kepala sempat keluar tetapi tertarik kembali ke dalam vagina
(turtle sign)
4. Klasifikasi
1. Distosia karena Kelainan Kekuatan (Persalinan
Disfungsional)
Persalinan disfungsional adalah kontraksi uterus abnormal
yang menghambat kemajuan dilatasi serviks normal, kemajuan
pendataran/effacement (kekuatan primer), dan atau kemajuan
penurunan (kekuatan sekunder).
2. Distosia karena Kelainan Struktur Pelvis
Distosia pelvis dapat terjadi bila ada kontraktur diameter
pelvis yang mengurangi kapasitas tulang panggul, termasuk

15
pelvis inlet (pintu atas panggul), pelvis bagian tengah,pelvis
outlet (pintu bawah panggul), atau kombinasi dari ketiganya.
Disproporsi pelvis merupakan penyebab umum dari
distosia. Kontraktur pelvis mungkin disebabkan oleh ketidak
normalan kongenital, malnutrisi maternal, neoplasma atau
kelainan tulang belakang. Ketidakmatangan ukuran
pembentukan pelvis pada beberapa ibu muda dapat
menyebabkan distosia pelvis, yaitu:
a) Kesempitan pada pintu atas panggul
Kontraktur pintu atas panggul terdiagnosis jika
diagonal konjugata kurang dari 11,5 cm. Insiden pada
bentuk wajah dan bahu meningkat. Karena bentuk interfere
dengan engagement dan bayi turun, sehingga beresiko
terhadap prolaps tali pusat.
b) Kesempitan panggul tengah
Pada panggul tengah yang sempit, lebih sering
ditemukan posisi oksipitalis posterior persisten atau posisi
kepaladalam posisi lintang tetap.
c) Kesempitan pintu bawah panggul
Agar kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang
lebih besar pada bagian belakang pintu bawah panggul.
Dengan distansi tuberum bersama dengan diameter
sagittalis posterior kurang dari 15 cm, timbul kemacetan
pada kelahiran janin ukuran normal.
3. Distosia karena kelainan letak dan bentuk janin
a) Kelainan letak, presentasi atau posisi
1) Posisi oksipitalis posterior persisten
Pada persalinan persentasi belakang kepala, kepala
janin turun melalui pintu atas panggul dengan sutura
sagittalis melintang atau miring sehingga ubun-ubun kecil

16
dapat berada di kiri melintang, kanan melintang, kiri depan,
kanan depan, kiri belakang atau kanan belakang. Namun
keadaan ini pada umumnya tidak akan terjadi kesulitan
perputarannya kedepan, yaitu bila keadaan kepala janin
dalam keadaan fleksi dan panggul mempunyai bentuk serta
ukuran normal.
Penyebab terjadinya posisi oksipitalis posterior
persisten ialah usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk
dan ukuran panggul.
2) Presentasi puncak kepala
Kondisi ini kepala dalam keaadaan defleksi.
Berdasarkan derajat defleksinya maka dapat terjadi
presentasi puncak kepala, presentasi dahi atau
presentasimuka. Presentasi puncak kepala (presentasi
sinsiput) terjadi apabila derajat defleksinya ringan sehingga
ubun-ubun besar berada dibawah. Keadaan ini merupakan
kedudukan sementara yang kemudian berubah menjadi
presentasi belakang kepala.
3) Presentasi muka
Persentasi muka terjadi bila derajat defleksi kepala
maksimal sehingga muka bagian terendah. Kondisi ini dapat
terjadi pada panggul sempit atau janin besar. Multiparitas
dan perut gantung juga merupakan faktor yang
menyebabkan persentasi muka.
4) Presentasi dahi
Presentasi dahi adalah bila derajat defleksi kepalanya
lebih berat, sehingga dahi merupakan bagian yang paling
rendah. Kondisi ini merupakan kedudukan yang bersifat
sementara yang kemudian berubah menjadi presentasi muka

17
atau presentasi belakang kepala. Penyebab terjadinya
kondisi ini sama dengan presentasi muka.
5) Letak sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin
terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan
bokong berada dibawah cavum uteri. Beberapa jenis letak
sungsang yakni:
a) Presentasi bokong: Pada presentasi bokong, akibat ekstensi
kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat keatas sehingga
ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Sehingga
pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong.
b) Presentasi bokong kaki sempurna: disamping bokong dapat
diraba kedua kaki.
c) Presentasi bokong kaki tidak sempurna: Hanya terdapat satu
kaki disamping bokong sedangkan kaki yang lain terangkat
keatas.
d) Presentasi kaki: Pada presentasi kaki bagian paling rendah
adalah satu atau dua kaki.
6) Presentasi ganda
Keadaan dimana disamping kepala janin di dalam
rongga panggul dijumpai tangan, lengan/kaki, atau keadaan
dimana disamping bokong janin dijumpai tangan.
b) Kelainan bentuk janin
1) Pertumbuhan janin yang berlebihan
Yang dinamakan bayi besar ialah bila berat badannya
lebih dari 4000 gram. Kepala dan bahu tidak mampu
menyesuaikannya ke pelvis, selain itu distensi uterus oleh
janin yang besar mengurangi kekuatan kontraksi selama
persalinan dan kelahirannya. Pada panggul normal, janin

18
dengan berat badan 4000-5000 gram pada umumnya tidak
mengalami kesulitan dalam melahirkannya.
2) Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah keadaan dimana terjadi
penimbunan cairan serebrospinal dalam ventrikel otak,
sehingga kepala menjadi besar sehingga terjadi pelebaran
sutura-sutura dan ubun-ubun. Hidrosefalus akan
menyebabkan disproporsi sefalopelvic
3) Kelainan bentuk janin yang lain
a. Janin kembar melekat(double master)
Torakopagus( pelekatan pada dada) merupakan janin
kembar melekat yang paling sering menimbulkan kesukaran
persalinan.
b. Janin dengan perut besar
Pembesaran perut yang menyebabkan distocia, akibat dari
asites atau tumor hati, limpa, ginjal dan ovarium jarang
sekali dijumpai.
4) Prolaksus funikuli
Keadaan dimana tali pusat berada disamping atau
melewati bagian terendah janin didalam jalan lahir setelah
ketuban pecah. Pada presentasi kepala, prolaksus funikuli
sangat berbahaya bagi janin, karena setiap saat tali pusat
dapat terjepit antara bagian terendah janin dengan jalan lahir
dengan akibat gangguan oksigenasi.
Prolaksus funikuli dan turunnya tali pusat disebabkan
oleh gangguan adaptasi bagian bawah janin terhadap
panggul, sehingga pintu atas panggul tidak tertutup oleh
bagian bawah janin.
4. Distosia karena Kelainan Posisi Ibu

19
Posisi bisa menimbulkan dampak positif dan negatif pada
persalinan, dimana efek gravitasi dan bagian tubuh memiliki
hubungan yang penting untuk kemajuan proses persalinan.
Misalnya posisi tangan dan lutut, posisi oksiput posterior lebih
efektif dari pada posisi lintang. Posisi duduk dan jongkok
membantu mendorong janin turun dan memperpendek proses
kala II (Terry et al, 2006). Posisi recumbent dan litotomy bisa
membantu pergerakan janin ke arah bawah. Apabila distosia
karena kelainan posisi ibu ini terjadi, tindakan yang harus segera
dilakukan pada proses persalinan adalah seksio sesaria atau
vakum.
5. Distosia karena respon psikologis
Stress yang diakibatkan oleh hormon dan neurotransmitter
(seperti catecholamines) dapat menyebabkan distosia. Sumber
stress pada setiap wanita bervariasi, tetapi nyeri dan tidak adanya
dukungan dari seseorang merupakan faktor penyebab stress.
Cemas yang berlebihan dapat menghambat dilatasi servik
secara normal, persalinan berlangsung lama, dan nyeri
meningkat. Cemas juga menyebabkan peningkatan level strees
yang berkaitan dengan hormon (seperti: β endorphin,
adrenokortikotropik, kortisol, dan epinephrine). Hormon ini
dapat menyebabkan distosia karena penurunan kontraksi uterus.
6. Pola persalinan tidak normal
Pola persalinan yang tidak normal diidentifikasi dan
diklasifikasikan oleh Riedman (1989) berdasarkan sifat dilasi
servikal dan penurunan janin.
Persalinan normal
a) Dilasi (pembukaan) berlanjut
1) Fase laten: <4 cm dan low slope
2) Fase aktif: > 5 cm dan high slope

20
3) Fase deselerasi: ≥ 9 cm
b) Penurunan: aktif pada dilasi ≥ 9 cm
Persalinan tidak normal

7. Distosia karena kelainan traktus genitalis


a) Vulva
Kelainan pada vulva yang menyebabkan distosia adalah
edema, stenosis, dan tumor. Edema biasanya timbul sebagai
gejala preeklampsia dan terkadang karena gangguan gizi.
Pada persalinan jika ibu dibiarkan mengejan terus jika
dibiarkan dapat juga mengakibatkan edema. Stenosis pada
vulva terjadi akibat perlukaan dan peradangan yang
menyebabkan ulkus dan sembuh dengan parut-parut yang
menimbulkan kesulitan. Tumor dalam neoplasma jarang
ditemukan. Yang sering ditemukan kondilomata akuminata,
kista, atau abses glandula bartholin.
b) Vagina
Yang sering ditemukan pada vagina adalah septum
vagina, dimana septum ini memisahkan vagina secara
lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kanan dan bagian
kiri. Septum lengkap biasanya tidak menimbulkan distosia
karena bagian vagina yang satu umumnya cukup lebar, baik

21
untuk koitus maupun untuk lahirnya janin. Septum tidak
lengkap kadang-kadang menahan turunnya kepala janin
pada persalinan dan harus dipotong terlebih dahulu.
Stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan
merupakan halangan untuk lahirnya bayi, perlu
dipertimbangkan seksio sesaria. Tumor vagina dapat
menjadi rintangan pada lahirnya janin per vaginam
c) Servik uteri
Konglutinasio orivisii externi merupakan keadaan
dimana pada kala I servik uteri menipis akan tetapi
pembukaan tidak terjadi, sehingga merupakan lembaran
kertas dibawah kepala janin. Karsinoma servisis uteri,
merupakan keadaan yang menyebabkan distosia.
d) Uterus
Mioma uteri merupakan tumor pada uteri yang dapat
menyebabkan distosia apabila mioma uteri menghalangi
lahirnya janin pervaginam, adanya kelainan letak janin yang
berhubungan dengan mioma uteri, dan inersia uteri yang
berhubungan dengan mioma uteri.
e) Ovarium
Distosia karena tumor ovarium terjadi apabila
menghalangi lahirnya janin pervaginam. Dimana tumor ini
terletak pada cavum douglas. Membiarkan persalinan
berlangsung lama mengandung bahaya pecahnya tumor atau
ruptura uteri atau infeksi intrapartum.

22
5. Patofisiologi

6. Komplikasi
1. Pada Ibu
a) Partus lama yang disertai pecahnya ketuban pada pembukaan
kecil, dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis dan infeksi
intrapartum.
b) Dengan his yang kuat, sedangkan janin dalam jalan lahir
tertahan, dapat menimbulkan regangan segmen bawah uterus
dan pembentukan lingkaran retraksi patologis.
c) Dengan persalinan yang tidak maju karena disproporsi
sefalopelvik, jalan lahir pada suatu tempat mengalami tekanan
yang lama antara kepala janin dan tulang panggul.

23
2. Pada Bayi
a) Partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal apalagi jika
ditambah dengan infeksi intrapartum.
b) Propalus funikuli, apabila terjadi mengandung bahaya yang
sangat besar bagi janin dan memerlukan kelahirannya dengan
segera apabila ia masih hidup.
c) Dengan adanya disproporsi sefalopelvik kepala melewati
rintangan pada panggul dengan mengadakan moulge.
d) Selanjutnya tekanan oleh promontarium atau kadang-kadang
oleh simfisis pada panggul picak menyebabkan perlukaan pada
jaringan diatas tulang kepala janin, malahan dapat pula
menimbulkan fraktur pada os parietalis (Hanifah, 2002).
7. Penatalaksanaan
Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktek
obstetrik harus mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan
penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini.
Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran
badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan
traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong
ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau
leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius
pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas
dan idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya
adalah membersihkan mulut dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan
tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk
membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah
simfisis pubis ibu:
3. Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten
sementara dilakukan traksi ke bawah terhadap kepala bayi.

24
Gambar 2.2. Manuver Massanti
4. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983)
dan dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang
mempopulerkan penggunaannya di University of Texas di Houston.
Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada
kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen.
Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan
pelvimetri radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang
menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal,
bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang
menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski
manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke
arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit.
Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif
pada model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini
mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin.

25
Gambar 2.3. Manuver McRoberts
5. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang
secara progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti
membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan.
Tindakan ini sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.

Gambar 2.4. Corkscrew-Woods Manuver


6. Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin
secara hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran
lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah
satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.
Tindakan ini disebut sebagai maneuver Jacquimer.

26
Gambar 2.5. Manuver Jacquimer
7. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu
janin diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan
pada abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di
panggul meraih bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian
didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan
menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan
menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari
belakang simfisis pubis.

Gambar 2.6. Manuver Rubin


8. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin
ke arah rektum ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat

27
bahu depan dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan
pada saat yang salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu
depan. Gross dan rekan (1987) melaporkan bahwa penekanan fundus
tanpa disertai maneuver lain akan "menyebabkan angka komplikasi
sebesar 77 persen dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik
dan neurologik (janin)."
9. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk
mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian
melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah
mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput
posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut.
Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan
mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan
pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 m g, subkutan) diberikan
untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian
meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.
Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada
semua kasus terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada
janin biasa terjadi pada keadaan-keadaan sulit yang menerapkan
manuver Zavanelli; terdapat delapan kasus kematian neonatal, enam
kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur
uteri juga pernah dilaporkan.

28
Gambar 2.7. Manuver Zavanelli
10. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara
menekan klavikula anterior terhadap ramus pubis dapat dilakukan
untuk membebaskan bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya,
sulit mematahkan klavikula secara sengaja pada bayi besar. Fraktur
klavikula biasanya akan sembuh dengan cepat, dan tidak seserius
cedera nervus brakhialis, asfiksia atau kematian.
11. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda
tajam lain, dan biasanya dilakukan pada janin mati.
12. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses,
seperti dijelaskan oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997)
melaporkan tiga kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah
manuver Zavanelli gagal— ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas
ibu yang signifikan akibat cedera traktus urinarius.
Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam
mengatasi distosia bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P.
1. Manajemen ALARMER
a. Ask for help (Minta bantuan)
b. Lift/hyperflex Legs

29
Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu
pada umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70%
kasus.
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan
pervaginam dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk
mempermudah aspek bahu belakang (yaitu dengan mendorong
ke arah dada) sehingga akan menghasilkan diameter terkecil
(Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang
sehingga menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang
secara manual/ Manuver Jacquemier)
f. Episiotomi
g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver
Gaskin)

2. Hindari 4 P
a. Panic (Panik)
b. Pulling (Menarik)

30
c. Pushing (Mendorong)
d. Pivot
Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum
teratasi maka dapat dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi

8. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian umum
a. Identitas Klien
b. Keluhan masa lalu :
1) Pengkajian psikologi klien, apakah sering mengalami
stres pada saat kehamilan dan bagaimana persiapan
dalam menghadapi persalinannya.
2) Kaji kapan terjadi pecah ketuban.
3) Tanyakan pada klien gerakan aktif janin dalam 24 jam
c. Keluhan sekarang: “ Klien merasa mulas dan nyeri pada
pinggang serta telah mengeluarkan air pada vaginanya”
2. Pengkajian pola fungsional
a) Aktifitas/istirahat: Melaporkan keletihan,kurang
energi,letargi,penurunan penampilan

31
b) Sirkulasi: Tekanan darah dapat meningkat,mungkin
menerima magnesium sulfat untu hipertensi karena
kehamilan
c) Eliminasi: Distensi usus atau kandng kemih yang mungkin
menyertai
d) Integritas ego: Mungkin sangat cemas dan ketakutan
e) Nyeri atau ketidaknyamanan: Mungkin menerima narkotika
atau anastesi pada awal proses kehamilan,kontraksi
jarang,dengan intensitas ingan sampa sedang,dapat terjadi
sebelum awitan persalinan atau sesudah persalinan
terjadi,fase laten dapat memanjang,
f) Keamanan: Serviks mungkin kaku atau tidak
siap,pemerisaan vagina dapat menunjukkan janin dalam
malposisi,penurunan janin mungkin kurang dari 1 cm/jam
pada nulipara atau kurang dari 2 cm/jam pada mutipara
bahkan tidak ada kemajuan.,dapat mengalami versi
eksternal setelah getasi 34 minggu dalam upaya untuk
mengubah presentasi bokong menjadi presentasi kepala.
g) Seksualitas: Dapat primigravida atau grand multipara,uterus
mungkin distensi berlebihan karena hidramnion,gestasi
multipel.janin besar atau grand multiparis.
3. Pengkajian fisik
Pengkajian dapat dilakukan dengan pengkajian Tanda-
tanda vital, pada pengkajian fisik tekanan darah, denyut
jantung, suhu, pernapasan biasanya meningkat, hal ini
dipengaruhi oleh nyeri yang dirasakan oleh klien. Selain itu
pengkajian fisik dapat juga dilakukan dengan palpasi yaitu
palpasi letak janin dalam kandungan, apakah normal atau
malposisi.

32
4. Prosedur diagnostik
a) Tes pranatal : dapat memastikan polihidramnion,janin
besar atau gestasi multipel.
b) Tes stres kontraksi/tes nonstres : mengkaji kesejahteraan
janin.
c) Ultrasound atau pelvimetri sinar X : mengevaluasi
arsitektur pelvis,presentase janin,posisi dan formasi.
d) Pengambilan sampel kulit kepala janin : mendeteksi atau
mengesampingkan asidosis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Cedera, resiko tinggi terhadap maternal (ibu) b/d penurunan
tonus otot/pola kontraksi otot, obstruksi mekanis pada
penurunan janin, keletihan maternal.
2. Cedera resiko tinggi terhadap janin b/d persalinan lama,
malpresentasi janin, hipoksia/asidosis jaringan,
abnormalitas pelvis ibu.
3. Kekurangan volume cairan b/d status hipermetabolik,
muntah, diaforesis hebat, pembatasan masukan oral,
diuresis ringan berhubungan dengan pemberian oksitosin.
C. Intervensi Keperawatan
DX NOC NIC
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Tinjau ulang riwayat
keperawatan 1x24 jam persalinan, awitan dan
diharapkan dapat mencegah durasi.
adanya resiko cedera pada ibu 2. Evaluasi tingkat keletihan
yang menyertai,serta
aktifitas dan
istirahat,sebelum awitan
persalinan.

33
3. Kaji pola kontraksi uterus
secara manual atau secara
elektronik.
4. Catat kondisi serviks.pantau
tanda amnionitis.catat
peningkatan suhu atau
jumlah sel darah putih;catat
bau dan rabas vagina.
5. Catat penonjolan, posisi
janin dan presentase janin
6. Anjurkan klien berkemih
setiap 1-2 jam. kaji terhadap
penuhan kandung kemih
diatas simfisis pubis.
7. Tempatkan klien pada
posisirekumben lateral dan
anjurkan tirah baring atau
ambulasi sesuai toleransi.
8. Bantu dengan persiapan
seksio sesaria sesuai indikasi
untuk malposisi, CPD atau
cincin bandl.
9. Siapkan untuk melahirkan
dengan forsep (bila perlu)
2 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji denyut jantung janin
keperawatan 1x24 jam secara manual dan
diharapkan dapat mencegah elektronik,dan kaji irama
adanya resiko cedera pada bayi jantung janin.

34
2. Perhatikan tekanan uterus
selama istirahat dan fase
kontraksi melalui kateter
tekanan intrauterus bila
tersedia.
3. Kaji malposisi dengan
menggunakan manuver
Leopold dan temuan
pemeriksaan internal.tinjau
ulang hasil USG.
4. Pantau penurunan janin pada
jalan lahir dalam
hubungannya dengan
kolumna vertebralis iskial.
5. Perhatikan warna dan jumlah
cairan amnion bila pecah
ketuban.
6. Perhatikan bau dan
perubahan warna cairan
amnion pada pecah ketuban
lama. Dapatkan kultur bila
temuan abnormal.
7. Berikan antibiotik pada klien
sesuai indikasi.
8. Siapkan untuk melahirkan
pada posisi posterior,bila
janin gagal memutar dari
oksiput posterior ke anterior.

35
9. Siapkan untuk kelahiran
secara sesaria bila presentasi
bokong terjadi
3 Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau masukan dan
keperawatan 1x24 jam keluaran cairan.
diharapkan dapat 2. Lakukan tes urine untuk
mempertahankan mengetahui adanya keton.
keseimbangan cairan dan bebas 3. Pantau tanda vital. Catat
dari komplikasi laporan pusing pada
perubahan posisi.
4. Kaji elastisitas kulit.
5. Kaji bibir dan membran
mukosa oral dan derajat
saliva.
6. Perhatikan respon denyut
jantung janin yang abnormal.
7. Berikan masukan cairan
adekuat melalui pemberian
minuman > 2500 liter.
8. Berikan cairan secara
intravena.
9. Tinjau ulang hemoglobin
dan hematocrit.
10. Tinjau ulang kadar elektrolit
serum dan glukosa serum.

36
2.1.3. PERSALINAN LETAK SUNGSANG
A. Definisi
Definisi dari kelainan letak sungsang adalah kondisi dimana
presentasi janin dalam uterus terutama bokong janin lebih dulu
memasuki rongga panggul, terletak memanjang dengan kepala di
fundus uteri dan bokong berada di bawah kavum uteri.
B. Klasifikasi
Presentasi bokong dapat diklasifikasikan dengan bagian tubuh janin
berdasarkan presentasi dan posisi janin.
1) Presentasi bokong murni ( Frank Breech )

Bagian terbawah (presenting part) dari fetus adalah bokong, kedua


tungkai dalam fleksi dan sejajar toraks (lutut ekstensi).
2) Complete Breech ( Presentasi bokong sempurna)

Fetus berada dalam posisi duduk dalam jalan lahir tetapi bokong
masih merupakan presenting part. Seluruh anggota gerak janin
fleksi sempurna (tungkai dan lutut fleksi).
3) Presentasi kaki ( footlink breech atau incomplete breech)

37
Yaitu salah satu atau kedua kaki lebih inferior dibandingkan
bokong dan akan menjadi bagian pertama yang lahir.
C. Etiologi
1) Faktor janin
a. Gemeli (kehamilan ganda)
Kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam rahim,
sehingga menyebabkan terjadinya perebutan tempat, setiap
janin berusaha mencari tempat yang lebih nyaman, sehingga
ada kemungkinan bagian tubuh yang lebih besar (yakni
bokong janin) berada di bagian bawah rahim.
b. Hidramnion
Yaitu jummlah air ketuban melebihi normal (>2000 cc)
sehingga hal ini bisa menyebabkan janin bergerak lebih
leluasa walaupun sudah memasuki trimester ketiga.
c. Hidrocepalus
d. Keadaan dimana terjadi penimbunan cairan serebrospinalis
dlam ventrikel otak, sehingga kepala menjadi besar serta
terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun. Karena
ukuran kepala janin terlalu besar dan tidak dapat
berakomodasi di bagian bawah uterus, maka sering
ditemukan dalam letak sungsang.

38
2) Faktor ibu
a. Plasenta previa
Keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga
menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
(osteum uteri internal). Akibatnya keadaan ini menghalangi
turunnya kepala janin ke dalam pintu atas panggul sehingga
janin berusaha mencari tempat yang lebih luas yakni di
bagian atas rahim.
b. Panggul sempit
Sempitnya ruang panggul mendorong janin mengubah
posisinya menjadi sungsang.
c. Multiparitas
Yaitu ibu/wanita yang pernah melahirkan bayi beberapa
kali (>4 kali), sehingga rahimnya sudahb sangat elastis,
keadaan ini membuat janin berpeluang besar untuk
berputar hingga minggu ke-37 dan seterusnya.
d. Kelainan uterus (seperti uterus arkuatus, uterus bikornis,
mioma uteri)
Adanya kelainan di dalam uterus akan mempengaruhi
posisi dan letak janin dalam rahim, janin akan berusaha
mencari ruang/tempat yang nyaman.
D. Komplikasi
Komplikasi persalinan letak sungsang dapat dibagi sebagai berikut :
1. Komplikasi pada ibu
Trias komlpikasi bayi : perdarahan, robekan jalan lahir, dan
infeksi
2. Komplikasi pada bayi
Trias komplikasi bayi :
a. Asfiksia bayi

39
Dapat disebabkan oleh :
1) Kemacetan persalinan kepala : aspirasi air ketuban –
lender
2) Perdarahan atau oedema jaringan otak
3) Kerusakan medulla oblongata
4) Kerusakan persendian tulang leher
5) Kematian bayi karena asfiksia berat
b. Trauma persalinan
1) Dislokasi – fraktura persendian, tulang ekstremitas
2) Kerusakan alat vital: lien, hati, paru – paru atau jantung
3) Dislokasi fraktura persendian tulang leher : fraktura tulang
dasar kepala, fraktura tulang kepala, kerusakan pada mata,
hidung atau telinga, kerusakan pada jaringan otak.
c. Infeksi dapat terjadi karena :
1) Persalinan berlangsung lama
2) Ketuban pecah pada pembukaan kecil
3) Manipulasi dengan pemeriksaan dalam
1. Penatalaksanaan

40
E. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a. Aktifitas / Istirahat : Melaporkan keletihan, kurang energy.
b. Sirkulasi : Tekanan darah dapat meningkat
c. Eliminasi : Distensi usus atau kandung kencing mungkin ada
d. Integritas ego : Mungkin sangat cemas dan ketakutan
e. Nyeri / Ketidaknyamanan :
1. Dapat terjadi sebelum awitan(disfungsi fase laten primer)
atau setelah persalinan terjadi (disfungsi fase aktif
sekunder).

41
2. Fase laten persalinan dapat memanjang : 20 jam atau lebih
lama pada nulipara (rata- rata adalah 8 ½ jam), atau 14 jam
pada multipara (rata – rata adalah 5 ½ jam).
f. Keamanan :
1. Dapat mengalami versi eksternal setelah gestasi 34minggu
dalam upaya untuk mengubah presentasi bokong menjadi
presentasi kepala
2. Pemeriksaan vagina dapat menunjukkan janin dalam
malposisi (mis.,dagu wajah, atau posisi bokong)
3. Penurunan janin mungkin kurang dari 1 cm/jam
padanulipara atau kurang dari 2 cm/jam pada multipara
g. Seksualitas :
1. Dapat primigravida atau grand multipara
2. Uterus mungkin distensi berlebihan karena hidramnion,
gestasi multipel,janin besar atau grand multiparitas.
2) Pemeriksaan Diagnosis
a) Tes pranatal : dapat memastikan polihidramnion, janin besar
atau gestasi multiple
b) Ultrasound atau pelvimetri sinar X : Mengevaluasi arsitektur
pelvis, presentasi janin, posisi dan formasi.
3) Diagnose keperawatan
a) Resiko cedera pada ibu d.d malposisi janin
b) Resiko cedera pada janin d.d malposisi janin
4) Rencana keperawatan
Dx Outcame Intervensi
Resiko Setelah dilakukan 1) Tinjau ulang riwayat
cedera tindakan persalinan, awitan,
pada ibu keperawatan dan durasi
d.d diharapkan ibu

42
malposisi terhindar dari resiko 2) Evaluasi tingkat
janin cedera, dengan keletihan yang
criteria hasil : menyertai,serta
1) Tidak ada aktifitas dan istirahat
cedera pada sebelum awitan
ibu persalinan

3) Kaji pola kontraksi


uterus secara manual
atau secara elektronik

4) Catat penonjolan ,
posisi janin dan
presentasi janin

5) Tempat klien pada


posisi rekumben
lateral dan anjurkan
tirah baring dan
ambulasi sesuai
toleransi

6) Gunakan rangsang
putting untuk
menghasilkan
oksitosin endogen.

7) Kolaborasi : Bantu
untuk persiapan
seksio sesaria sesuai

43
indikasi,untuk
malposisi
Resiko Setelah dilakukan 1) Kaji DDJ secara

cedera tindakan manual atau

pada keperawatan elektronik,perhatikan

janin d.d diharapkan ibu variabilitas,perubahan

malposisi terhindar dari resiko periodik dan

janin cedera : frekuensi dasar.

1) Menunjukan 2) Perhatikan tekanan

DJJ dalam uterus selamaistirahat

batas normal dan fase kontraksi

dengan melalui kateter

variabilitas tekanan intrauterus

baik tidak bila tersedia

ada
3) Kolaborasi :
deselerasi
Perhatikan frekuenasi
lambat
kontraksi

uterus.beritahu dokter

bila frekuensi 2 menit

atau kurang

44
4) Siapkan untuk metode

melahirkanyang

paling layak, bilabayi

dalam presentasi

bokong

5) Atur pemindahan pada

lingkungan perawatan

akut bila malposisi

dideteksi klien

dengan PKA

2.1.4. PARTUS LAMA


A. Pengertian
Persalinan lama didefinisikan sebagai persalinan dengan
kemajuan yang lama, yaitu ibu mengalami kontraksi teratur lebih
lama dari 12 jam misalnya, atau persalinan yang membutuhkan
operasi cesar darurat, bantuan forseps, atau vakum. Para peneliti
menemukan bahwa rasa sakit merupakan hal yang utama diutarakan
oleh para ibu baru, terutama mereka yang mengalami persalinan
lama.
Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah
berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di
kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin, 2002). Persalianan

45
lama disebut juga “distosia”, didefinisikan sebagai persalinan yang
abnormal atau sulit.
Partus Lama merupakan salah satu dari beberapa penyebab
kematian ibu dan bayi baru lahir. Partus Lama adalah persalinan yang
berlangsung lebih dari 12 jam yang dimulai dari tanda-tanda
persalinan. Partus lama akan menyebabkan infeksi, kehabisan
tenaga, dehidrasi pada ibu, kadang dapat terjadi pendarahan post
partum yang dapat menyebabkan kematian ibu. Pada janin akan
terjadi infeksi, cedera dan asfiksia yang dapat meningkatkan
kematian bayi. Para ibu baru yang menjalani persalinan pertamanya
dengan sulit dan lama mengatakan bahwa pengalaman tersebut akan
mempengaruhi mereka untuk selamanya.
Secara keseluruhan, 60 persen wanita yang menjalani persalinan
sulit mengatakan bahwa pengalaman tersebut akan meninggalkan
kesan pada mereka sepanjang hidupnya. Persalinan yang lama biasa
terjadi terutama pada wanita yang baru menjalani persalinan anak
pertama.
B. Etiologi
1) Kelainan tenaga/his tidak efisien (adekuat)
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap
persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalaami
hambatan atau kemacetan.
2) Kelainan janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar)
Persalinan dapat mengalami ganagguan atau kemacetan karena
kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.
3) Kelainan jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina,
tumor)
Kelaianan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi
kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.

46
C. Faktor Resiko
1) Umur kurang dari 16 tahun akan terjadi persalinan macet karna
jalan lahir/tempat keluar janin belum berkembamg
sempurna/masih kecil.
2) Tinggi badan kurang dari 140 cm dikuatirkan akan terjadi
persalinan macet karna tulang panggul sempit
3) Kehamilan pertama dikuatirkan akan terjadi disproporsi janin
dalam panggul sehingga akan membahayakan keselamatan janin.
4) Adanya riwayat persalinan sulit ditakutkan akan terjadi lagi pada
kehamilan yang selanjutnya.
D. Manifestasi Klinis
1) Dehidrasi
2) Tanda Infeksi
a) Temperature tinggi
b)Nadi dan pernafasan
c) Abdomen meteorismus
3) Pemeriksaan Abdomen
a) Meteorismus
b) Lingkaran bandle tinggi
c) Nyeri segmen bawah rahim
4) Pemeriksaan Local Vulva-Vagina
a) Edema vulva
b) Cairan ketuban berbau
c) Cairan ketuban bercampur mekonium
5) Pemeriksaan Dalam
a) Edema serviks
b) Bagian terendah sulit didorong ke atas
c) Terdapat kaput pada bagian terendah
6) Keadaan Janin dalam Rahim
a) Asfiksia sampai terjadi kematian

47
7) Akhir dari Persalinan Lama
a) Rupture uteri imminen sampai rupture uteri
b) Kematian karena perdarahan dan atau infeksi
8) Pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada
partograf
9) Pembukaan serviks kurang dari 1 cm per jam
10) Frekuensi kontraksi kurang dari 2 kali dalam 10 menit dan
lamanya kurang dari 40 detik
E. Jenis-jenis HIS
1) Inersia uteri
Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dahulu dari pada bagian-bagian lain, peranan
fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi
uterus lebih aman, singkat, dan jarang daripada biasa. Keadaan
umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama
ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu
maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama; dalam
hal terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin baik. Keadaan ini
dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction.
Kalau timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yang lama,
dan hal itu dinamakan inersia uteri sekunder. Dalam menghadapi
inersia uteri, harus diadakan penilaian yang seksama untuk
menentukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan tindakan
yang tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat
diberikan waktu yang pasti, yang dapat dipakai sebagai pegangan
untuk membuat diagnosis inersia uteri atau untuk mamulai terapi
aktif.
2) His terlampau kuat
His terlampau kuat atau disebut juga hypertonic uterine
contraction. Golongan coordinated hypertonic uterine contraction

48
bukan merupakan penyebab distosia. His yang terlalu kuat dan
terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang
sangat sinagkat. Partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam
dinamakan partus presipitatus yang ditandai oleh sifat his yang
normal, tonus otot di luar his juga biasa, kelaiannya pada kekuatan
his. Bahaya partus presipitataus bagi ibu ialah terjadinya perlukaaan
luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan perineum. Bayi bisa
mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut
mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat.
3) Incoordinate uterine action
Di sini sifat his berubah. Tonus otot terus meningkat, juga di luar
his, dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak
ada sinkronisasi antara kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya
koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah
menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan. Di
samping itu tonus otot uterus yang menarik menyebabkan rasa nyeri
yang lebih keras dan lama bagi ibu dan dapat pula menyebabkan
hipoksia pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai uncoordinated
hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang pada persalinan
lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini
menyebabkan spasmus sirkuler setempat, sehingga terjadi
penyempitan kavumuteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran
kontraksi atau lingkaran konstriksi. Kelainan ini bisa primer atau
sekunder. Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak
membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubung dengan
incoordinate uterine action. Penderita biasanya seorang
primigravida. Kala I menjadi lama, dan dapat diraba jelas pinggir
serviks yang kaku. Kalau keadaaan ini dibiarkan, maka tekanan
kepala terus menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks
dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks secara

49
sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh kelainan
organik pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau karena
karsinoma. Dengan his kuat serviks bisa robek, dan robekan ini
dapat menjalar ke bagian bawah uterus.

F. Kelainan Kala Pada Partus Lama


1) Kelainan kala I
a) Fase Laten Memanjang
Fase laten terjadi bersamaan dengan persepsi ibu yang
bersangkutan akan adanya his teratur yang disertai oleh
pembukaan serviks yang progresif, walaupun lambat, dan
berakhir pada pembukaan 3-5 cm. Ibu diklasifikasikan barada
dalam persalianan aktif apabila dilatasi mencapai 5 cm (Rosen).
Lama fase laten sebesar 20 jam pada ibu nulipara dan 14
jam pada ibu multipara mencerminkan nilai maksimum secara
statistic. Durasi rata-ratanya adalah 8,6 jam dan rentangnya dari
1-44 jam (Friedman & Sachtelben). Faktor-faktor yang
mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah lama
anesthesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks
yang buruk (missal tebal, tidak mengalami pendataran, atau
tidak membuka), persalianan palsu.
Friedman mengklaim bahwa istirahat atau stimulasi
oksitoksin sama efektif dan amannya dalam memperbaiki fase
laten yang berkepanjangan. istirahat lebih disarankan karena
persalinan palsu sering tidak disadari. Menurut Friedman,
memanjangnya fase laten tidak memperburuk morbiditas atau
mortalitas janin dan ibu, tetapi Chelmow membantah anggapan
tersebut.

50
b) Fase Aktif Memanjang
Friedman membagi fase aktif menjadi
gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larut)
dan arrest (macet/tak maju). Ia mendefinisikan protraksi sebagai
kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat, yang untuk
nulipara adalah kecepatan pembukaan < 1,2 cm/jam atau
penurunan <1cm/jam. untuk multipara, protraksi didefinisukan
sebagai kecepatan pembukaan < 1.5 cm/jam atau penurunan <
2cm/jam. Ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya secara
total pembukaan atau penurunan; kemacetan pembukaan (arrest
of dilatation) didefinisikan sebagai tidak adanya perubahan
serviks dalam 2 jam,dan kemacetan penurunan (arrest of
descent) sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam.
Keterkaitan atau factor lain yang berperan dalam
persalinan yang berkepanjangan dan macet adalah sedasi
berlebihan, anesthesia regional, dan malposisi janin, misalnya
oksiput posterior persisten. Pada persalinan ini Friedman
menganjurkan pemeriksaan Fetopelviks untuk mendiagnosis
disproporsi sefalopelviks. terapi yang dianjurkan adalah
penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitoksin dianjurkan
untuk persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelviks.
2) Kelainan kala II
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan
berakhir dengan keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit
untuk nulipara dan 20 menit untuk multipara, tetapi angka ini juga
sangat bervariasi. pada ibu dengan paritas tinggi liang vagina dan
perineumnya sudah melebar, 2 atau 3 kali usaha mengejan setelah
pembukaan lengkap mengkin cukup untuk mengeluarkan janin.
Sebaliknya, pada seorang ibu dengan panggul sempit atau janin
besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anesthesia

51
regional atau sedasi yanag berat, maka kala II dapat sangat
memanjang. Kilpatrick dan Laros melaporkan bahwa rata-rata
persalinan kala II, sebelum pengeluaran janin spontan, memanjang
sekitar 25 menit oleh anastesi regional. Tahap panggul atau
penurunan janin pada persalinan umumnya berlangsung setelah
pembukaan lengkap. Selain itu, kala II melibatkan banyak gerakan
pokok yang penting agar janin dapat melewati jalan lahir. Kala II
persalinan pada nulipara dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3
jam apabila digunakan analgesi regional. Untuk multipara 1 jam
adalah batasnya, diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan
analgesi regional.
G. Dampak Persalinan Lama Pada Ibu-Janin
1) Infeksi Intrapartum
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan
janinnya pada partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban.
Bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi
desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan
sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi
cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri
vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama
persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama.
2) Ruptura Uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya
serius selama partus lama, terutama pada ibu dengan parietas tinggi
dan pada mereka dengan riwayat SC. Apabila disproporsi antara
kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak
cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus
menjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan ruptura.
Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang

52
dapat diraba sebagai sebuah Krista transversal atau oblik yang
berjalan melintang di uterus antara simpisis dan umbilicus. Apabila
dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominan
segera.

3) Cincin Retraksi Patologi


Walaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin
local uterus pada persalianan yang berkepanjangan. Tipe yang
paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu
pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini
sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai peregangan
dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi
semacam ini identasi abdomen dan menandakan ancaman akan
rupturnya SBR. Konstriksi uterus local jarang dijumpai saat ini
karena terlambatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi
dibiarkan. Konstriksi local ini kadang-kadang masih terjadi sebagai
konstriksi jam pasir (hourglass constriction) uterus setelah lahirnya
kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-
kadang dapat dilemaskan dengan anesthesia umum yang sesuai dan
janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang SC yang
dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik
bagi kembar kedua.
4) Pembentukan Fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke PAP, tetapi
tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir
yang terletak di antaranya dan dinding panggul dapat mengalami
tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi
nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan
dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau
retrovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada
persalinan kala II yang berkepanjangan.

53
5) Cidera Otot-otot Dasar Panggul
Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung
dari kepala janin serta tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu.
Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul
sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf, dan
jaringan ikat. Efek-efek ini bisa menyebabkan inkontinensia urin
dan alvi serta prolaps organ panggul.
6) Kaput Suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput
suksedaneum yng besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini
dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan
diagnostic yang serius. Kaput hampir dapat mencapai dasar panggul
sementara kepala sendiri belum cakap.
7) Molase kepala Janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang
tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura
besar, suatu proses yang disebut molase. Biasanya batas median
tulang parietal yang berkontak dengan promontorium bertumpang
tindih dengan tulang di sebelahnya; hal yang sama terjadi pada
tulang-tulang frontal. Namun, tulang oksipital terdorong ke bawah
tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa
menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi
yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan
tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan
intracranial pada janin.

H. Penatalaksanaan
Menurut Saifudin (2007), penatalaksanaan partus lama yaitu:

1) Fase labor (Persalinan Palsu/Belum inpartu)

54
Bila his belum teratur dan porsio masih tertutup, pasien boleh pulang.
Periksa adanya infeksi saluran kencing, KPD dan bila didapatkan
adanya infeksi obati secara adekuat. Bila tidak pasien boleh rawat
jalan.
2) Prolonged laten phase (fase laten yang memanjang)
Bila his berhenti disebut persalinan palsu atau belum inpartu. Bila
kontraksi makin teratur dan pembukaan bertambah sampai 3 cm
disebut fase laten. Apabila ibu berada dalam fase laten lebih dari 8
jam dan tak ada kemajuan, lakukan pemeriksaan dengan jalan
melakukan pemeriksaan serviks. :
a) Bila didapat perubahan dalam penipisan dan pembukaan serviks,
lakukan drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau
NaCl) mulai dengan 8 tetes permenit, setiap 30 menit ditambah 4
tetes sampai his adekuat (maksimal 40 tetes/menit) atau berikan
prostaglandin, lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak
masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian oksitosin, lakukan
sectio sesarea.
b) Bila tidak ada perubahan dalam penapisan dan pembukaan serviks
serta tak didapat tanda gawat janin, kaji ulang diagnosisnya
kemungkinan ibu belum dalam keadaan inpartu.
c) Bila didapatkan tanda adanya amnionitis, berikan induksi dengan
oksitosin 5U dan 500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai dengan 8
tetes permenit, setiap 15 menit ditambah 4 tetes sampai adekuat
(maksimal 40 tetes/menit) atau berikan prostaglandin, serta obati
infeksi dengan ampisilin 2 gr IV sebagai dosis awal dan 1 gr IV
setiap 6 jam dan gentamicin 2x80 mg.
3) Prolonged active phase (fase aktif memanjang)
Bila tidak didapatkan tanda adanya CPD (chepalo Pelvic
Disporportion) atau adanya obstruksi :

55
a) Berikan penanganan umum yang kemungkinan akan memperbaiki
kontraksi dan mempercepat kemajuan persalinan
b) Bila ketuban intak, pecahkan ketuban. Bila kecepatan pembukaan
serviks pada waktu fase aktif kurang dari 1 cm/jam, lakukan
penilaian kontraksi uterusnya.
4) Kontraksi uterus adekuat
Bila kontraksi uterus adekuat (3 dalam 10 menit dan lamanya lebih
dari 40 detik) pertimbangkan adanya kemungkinan CPD, obstruksi,
malposisi atau malpresentasi.
5) Chefalo Pelvic Disporpotion (CPD)
CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis kecil. Bila dalam
persalinan terjadi CPD akan didapatkan persalinan yang lama.
a) Bila diagnosis CPD ditegakkan, lahirkan bayi dengan SC
b) Bila bayi mati lakukan kraniotomi atau embriotomi (bila tidak
mungkin lakukan SC)
6) Obstruksi
Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi :
a) Bayi hidup lahirkan dengan SC
b) Bayi mati lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.
7) Malposisi/Malpresentasi
Bila tejadi malposisi atau malpresentasi pada janin secara umum :
a) Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu (TTV)
b) Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila air ketuban pecah lihat
warna air ketuban :
I. Bila didapatkan mekonium awasi yang ketat atau intervensi
II. Tidak ada cairan ketuban pada saat ketuban pecah menandakan
adanya pengurangan jumlah air ketuban yang ada
hubungannya dengan gawat janin.
III. Pemberian bantuan secara umum pada ibu inpartu akan
memperbaiki kontraksi atau kemajuan persalinan

56
IV. Lakukan penilaian kemajuan persalinan memakai partograf
V. Bila terjadi partus lama lakukan penatalaksanaan secar spesifik
sesuai dengan keadaan malposisi atau malpresentasi yang
didapatkan (Saifudin, 2007).
8) Kala II memanjang (prolonged explosive phase)
Upaya mengejan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi
jumlah oksigen ke plasenta, maka dari itu sebaiknya dianjurkan
mengedan secara spontan, mengedan dan menahan nafas yang terlalu
lama tidak dianjurkan. Perhatikan DJJ, bradikardi yang lama
mungkin terjadi akibat lilitan tali pusat. Dalam hal ini dilakukan
ekstraksi vakum / forcep bila syarat memenuhi.
Bila malpresentasi dan tanda obstruksi bisa diatasi, berikan oksitosin
drip. Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam,
lahirkan dengan bantuan ekstraksi vacuum / forcep bila persyaratan
terpenuhi.
I. Asuhan Keperawatan
1) Anamnesa

a) Biodata meliputi:
Nama, umur untuk mengetahui usia ibu apakah termasuk resiko
tinggi / tidak (terlalu muda apabila < 20 tahun atau terlalu tua >
35 tahun), pendidikan, pekerjaan.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya klien mengeluh nyeri pada daerah pinggang
menjalar ke perut, adanya his yang makin sering, teratur,
keluarnya lendir dan darah, perasaan selalu ingin buang air kemih,
bila buang air kemih hanya sedikit-sedikit.
c) Riwayat penyakit sekarang
Hal yang dikaji meliputi riwayat kehamilan dan tanda-tanda
menjelang persalinan yaitu nyeri pada daerah pinggang menjalar

57
ke perut, his makin sering, teratur, kuat, adanya pengeluaran darah
bercampur lendir, kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, TBC,
Hepatitis, penyakit kelamin, pembedahan yang pernah dialami
dapat memperberat persalinan.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, keturunan
hamil kembar pada klien, TBC, hepatitis, penyakit kelamin,
memungkinkan penyakit tersebut ditularkan pada klien, sehingga
memperberat persalinannya.
f) Riwayat Obstetri
I. Riwayat haid
Meliputi menarche, lama haid, dismenorrhe, siklus, dan fluor
albus
II. Riwayat kebidanan
Persalinan yang lalu dan kehamilan sekarang yang meliputi
HPHT, HPL, ANC, keluhan saat hamil, imunisasi dan
konsumsi jamu atau vitamin selama hamil
g) Pola Kebutuhan sehari-hari.
I. Nutrisi
Adanya his berpengaruh terhadap keinginan atau selera
makan yang menurun.
II. Istirahat tidur.
III. Klien dapat tidur terlentang, miring ke kanan / kiri tergantung
pada letak punggung janin, klien sulit tidur terutama kala I –
IV.
IV. Aktivitas.
Klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, terbatas

58
pada aktivitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak,
tidak membuat klien cepat lelah, capek, lesu.
V. Eliminasi.
Adanya perasaan sering / susah kencing selama kehamilan
dan proses persalinan. Pada akhir trimester III dapat terjadi
konstipasi.
VI. Personal Hygiene
VII. Menjaga kebersihan tubuh. Baju hendaknya yang longgar dan
mudah dipakai, sepatu / alas kaki tidak menggunakan yang
tinggi.
VIII. Seksual
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan
seksual / fungsi dari sex yang tidak adekuat karena adanya
proses persalinan dan nifas.
2) Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan fisik umum : head to toe
I. Keadaan umum
1. Apakah tampak sakit
2. Bagaimana kesadarannya
3. Apakah tampak pucat ( anemis )
II. Pemeriksaan tanda-tanda vital
b) Pemeriksaan khusus abdomen
1. Inspeksi
Bentuk abdomen, adanya garis striae dan linea, keadaan
umbilicus, ada tidaknya luka bekas operasi
2. Palpasi
Pemeriksaan Leopold I : Tinggi Fundus Uteri
Leopold II : Letak punggung janin
Leopold III: Bagian terendah janin
Leopold IV: Penurunan bagian terendah janin

59
3. Auskultasi
Pemeriksaan DJJ
I. DJJ normal antara 120-160x/menit
II. Keteraturan
4. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam sebaiknya dilakukan setiap 4 jam selama
kala I pada persalinan, dan setelah selaput ketuban pecah.
a. Pada setiap pemeriksaan dalam yang perlu dikaji yaitu:
Pembukaan, efficement, keadaan ketuban, bagian
terendah janin, penurunan bagian terendah janin, molase,
hodge.
b. Jika serviks belum membuka pada pemeriksaan dalam
pertama, diagnosis inpartum belum dapat ditegakkan.
Jika terdapat kontraksi yanag menetap, periksa ulang
setelah 4 jam untuk melihat perubahan pada serviks. Pada
tahap ini, jika serviks terasa tipis dan terbuka, maka
berada dalam keadaan inpartu, jika tidak terdapat
perubahan, maka diagnosisnya adalah persalinan palsu.
3) Diagnosa Keperawatan
I. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kontraksi
uterus
II. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
persalinan
III. Resiko tinggi cidera maternal berhubungan dengan kerusakan
jaringan lunak karena partus lama
IV. Resiko tinggi cidera janin berhubungan dengan penekanan
kepala pada panggul, partus lama
4) Rencana Keperawatan
I. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kontraksi
uterus

60
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, rasa
nyeri berkurang
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
TD :120/80 mm Hg
N : 60-120 X/menit
1.Nyeri berkurang
2.Pasien tampak rileks
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Kaji sifat, lokasi, dan durasi nyeri
3. Kaji tingkat nyeri klien
4. Kaji kontraksi uterus, haemoragic, dan nyeri tekan
abdomen
5. Ajarkan klien teknik relaksasi nafas dalam
6. Berikan posisi yang nyaman

II. Resiko tinggi cidera janin berhubungan dengan penekanan kepala


pada panggul, partus lama
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, cidera
pada janin dapat dihindari.
Kriteria hasil:
a. DJJ janin dalam batas normal: 120-160x/menit
b. Janin tidak menunjukkan hipoksia
Intervensi :
a. Lakukan maneuver leopold untuk menentukan posisi janin
dan presentasi
b. Kaji DJJ secara manual dan atau elektronik

61
c. Kaji adanya infeksi perineum pada ibu
d. Catat kemajuan persalinan
e. Catat DJJ bila ketuban pecah setelah 15 menit
f. Posisikan klien pada posisi punggung janin
III. Resiko tinggi cidera maternal berhubungan dengan kerusakan
jaringan lunak karena partus lama
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, cidera
maternal dapat dihindari.
Kriteria hasil:
a. DJJ janin dalam batas normal: 120-160x/menit
b. Kemajuan persalinan baik
Intervensi :
a. Kaji DJJ secara manual dan atau elektronik
b. Periksa leopold
c. Kaji adanya infeksi perineum pada ibu
d. Catat kemajuan persalinan
e. Posisikan klien pada posisi punggung janin

IV. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


persalinan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×2 jam di
harapkan ansietas pasien teratasi.
Kriteria hasil:
a. Pasien tidak cemas
b. Pasien sudah mengetahui tentang kondisinya saat ini
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan pasien
2. Anjurkan pasien untuk istirahat

62
3. Jelaskan kondisi pasien saat ini
4. Ajarkan keluarga untuk memberikan dukungan emosional
pasien
5. Berikan pasien lingkungan yang nyaman

2.1.5. PREEKLAMSIA
A. Defenisi dan Tanda Gejala
Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang
sebelumnya normotensi. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan
tekanan darah (140/90 mmHg) yangdisertai oleh proteinuria.
Kriteria gejala preeklampsia yang diadopsi dari The Working of
the National High Blood Pressure Education Program 2000 dapat
ditegakkan bila ditemukan tanda-tanda di bawah ini:
a. Tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik > 90
mmHg
b. Proteinuria > 0,3 g/24 jam atau +1 pada pemeriksaan kualitatif
c. Timbulnya hipertensi setelah usia kehamilan 20 minggu pada
wanita yang sebelumnya normotensi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
Proteinuria adalah penanda penting preeklampsia. Definisi
proteinuria adalah terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin
24 jam atau 30 mg/dL (+1 pada dipstik) secara menetap pada sampel
urin acak.
Proteinuria terjadi karena terdapat lesi pada glomerulus. Baik
keadaan proteinuria maupun kelainan histologi glomerulus terjadi
pada tahap lanjut hipertensi dalam kehamilan. Pada kenyataannya,
preeklampsia secara klinis mulai tampak hanya menjelang akhir suatu
proses patofisiologi yang mungkin sudah dimulai pada 3 sampai 4

63
bulan sebelum timbulnya hipertensi.
Disebut dengan preeklampsia berat pada penderita preeklampsia bila
didapatkan salah satu gejala berikut: Tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan tekanan darah diastolik > 110 mmHg, Proteinuria > 5
gr/jumlah urin selama 24 jam, Oliguria, Peningkatan kadar kreatinin
serum (> 1,2 mg/dL), Edema paru dan sianosis, Gangguan visus dan
serebral disertai sakit kepala yang menetap, Nyeri epigastrium yang
menetap, Peningkatan enzim hepar (alanin aminotransferase [ALT]
atau aspartate aminotransferase [AST]), Sindroma HELLP
B. Etiologi dan Faktor Resiko
1) Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeclampsia hampir 2
kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih
2) Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hamper 3 kali lipat
3) Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,
memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan
sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia
hampir sama dengan nulipara
4) Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan
faktor risiko utama. Menurut Duckitt risiko meningkat 7 kali lipat.
5) Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat,
preeklampsia onset dan dampak perinatal yang buruk
6) Kehamilan multipel
Sebuah studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil
menunjukkan kehamilan kembar meningkatkan risiko
preeklampsia hampir 3 kali lipat.

64
Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau
donor embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis
yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun.
7) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko
semakin besar dengan semakin besarnya IMT (Indeks Massa
Tubuh). Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin,
yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia
8) Hipertensi kronik
Chappell meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik,
didapatkan insiden preeklampsia suprimosed sebesar 22% dan
hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34
minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih
buruk Chappell juga menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko
yang dapat dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya
preeklampsia suprimosed pada wanita hamil dengan hipertensi
kronik yaitu:
• Riwayat preeklampsia sebelumnya
• Penyakit ginjal kronis
• Merokok
• Obesitas
• Diastolik > 80 mmHg
• Sistolik > 130 mmHg

C. Kriteria Diagnosis Preeklampsia


1. Kriteria Minimal Preeklampsia:
a. TD > 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
b. Ekskresi protein dalam urin > 300 mg/24 jam atau > +1
dipstik, rasio protein:kreatinin > 30 mg/mmol

65
2. Kriteria Preeklampsia Berat:
a. TD > 160/110 mmHg
b. Proteinuria > 5 g/24 jam atau > +2 dipstik
c. Ada keterlibatan organ lain
1) Hematologi: Trombositopeni (< 100.000/ul)
2) Hepar: Peningkatan SGOT dan SGPT dan nyeri epigastrik
3) Neurologis: Sakit kepala persisten
4) Janin: Oligohidramnion
5) Paru: Edema paru atau gagal jantung kongestif
6) Ginjal: Oliguria (< 500 ml/24 jam)
D. Patofisiologi
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis
uterus, mengganti lapisan endothelial dari arteri tersebut dengan
merusak jaringan elastis medial, muskular, dan neural secara
berurutan. Sebelum trimester kedua kehamilan berakhir, arteri spiralis
uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel endothelial tidak lagi ada pada
bagian endometrium atau bagian superfisial dari miometrium. Proses
remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan sistem
arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai
volume darah yang signifikan untuk kebutuhan pertumbuhan janin.
Pada preeklampsia, invasi arteri spiralis uteri hanya terbatas pada
bagian desidua proksimal, dengan 30% sampai dengan 50% arteri
spiralis dari placental bed luput dari proses remodeling trofoblas
endovaskuler. Segmen miometrium dari arteri tersebut secara
anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal
dari arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali
lebih kecil dari diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa
komplikasi. Kegagalan dalam proses remodeling vaskuler ini
menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan suplai darah janin
yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi integrin

66
yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat
menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi pada
preeklampsia.
Kegagalan invasi trofobas pada preeklampsia menyebabkan
penurunan perfusi uteroplasenta, sehingga menghasilkan plasenta
yang mengalami iskemi progresif selama kehamilan. Selain itu,
plasenta pada ibu dengan preeklampsia menunjukkan peningkatan
frekuensi infark plasenta dan perubahan morfologi yang dibuktikan
dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak normal. Bukti empiris lain
yang mendukung gagasan bahwa plasenta merupakan etiologi dari
preeklampsia adalah periode penyembuhan pasien yang cepat setelah
melahirkan.
Jaringan endotel vaskuler memiliki beberapa fungsi penting,
termasuk di antaranya adalah fungsi pengontrolan tonus otot polos
melalui pelepasan substansi vasokonstriktor dan vasodilator, serta
regulasi fungsi anti koagulan, anti platelet, fibrinolisis melalui
pelepasan faktor yang berbeda. Hal ini menyebabkan munculnya
gagasan bahwa pelepasan faktor dari plasenta yang merupakan respon
dari iskemi menyebabkan disfungsi endotel pada sirkulasi maternal.
Data dari hasil penelitian mengenai disfungsi endotel sebagai
patogenesis awal preeklampsia menunjukkan bahwa hal tersebut
kemungkinan merupakan penyebab dari preeklampsia, dan bukan
efek dari gangguan kehamilan tersebut. Selanjutnya, pada ibu dengan
preeklampsia, faktor gangguan kesehatan pada ibu yang sudah ada
sebelumnya seperti hipertensi kronis, diabetes, dan hiperlipidemia
dapat menjadi faktor predisposisi atas kerusakan endotel maternal
yang lebih lanjut.

67
E. Penatalaksanaan

F. Diagnosa
1. Perubahan perfusi jaringan b/d Hipertensi, Vasospasme siklik,
Edema serebral.
2. Resiko tinggi cedera pada janin b/d fetal distress.

68
G. Intervensi
1. DX 1 :
Noc :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Tidak terjadi
vasospasme dan perfusi jaringan dengan
k/h:
- klien akan mengalami vasodilatasi ditandai dengan diuresis,
penurunan tekanan darah, edema.
Nic :
1. Monitor intake dan outout setiap hari.
2. Kontrol tetesan infus MgSO4.
3. Monitor oedema yang tampak.
4. Anjuran klien untuk istirahat atau tidur dengan posisi berbaring
pada salah satu sisi tubuhnya.
5. Kontrol Vital Sign secara Berkala.

2. Dx 2 :
Noc :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi fetal distress
pada janin dengan Kriteria hasil :
- tidak terjadi cedera pada klien
Nic :
1. Monitor DJJ sesuai indikasi.
2. Kaji tentang pertumbuhan janin.
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut,
perdarahan, rahim tegang, aktifitas janin turun ).
4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM.
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST.

69
2.2. Kala 2 dan 3
2.2.1. ATONIA UTERI
A. Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak
berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus
uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal,
Depkes Jakarta ; 2002).
Setelah plasenta lahir, fundus harus selalu di palpasi untuk
memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Kegagalan
uterus untuk berkontraksi setelah melahiirkan sering menjadi
penyebab perdarahan obstetris. Faktor predisposisi atonia uteri
diperlihatkan di Tabel 56-1. Pembedahan antara perdarahan
akibat atonia uterus dan akibat laserasi secara tentatif di dasarkan
pada kondisi uterus. Uterus yang atoniik akanlembek dan tidak
keras pada palpasi. Jika tetap terjadi perdarahan meskipun uterus
berkontraksi dengan kuat, kausa perdarahanya kemungkinan
besar adalah laserasi. Darah yang merah segar juga
mengisyaratkan laserasi. Uuntuk memastikan peran laserasi
sebagai kausa perdarahan, harus dillakukan pemeriksaan yang
cermat terhadap vagina, serviks dan uterus.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh atonia dan
trauma, terutama setelah pelahiran operatif mayor. Secara umum,
setelah setiap kelahiran harus dilakukan inspeksi terhadap
inspeksi terhadap serviks dan vagina untuk mengidentifkasi
perdarahan akibat laserasi. Anestesi harus adekuat untuk
mencegah rasa tidak nyaman selama pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ringga uterus, serviks dan seluruh vagina
merupakan hal yang esensial setelah ekstraksi bokong, setelah
versi podalik iinterna, dan setelah persalinan pervaginam pada
seorang wanita dengan riwayat sesar. (Leveno, Kennethj. 2009.)

70
B. Etiologi
Overdistensi uterus,baik absolut maupuun relatif,
merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri.
Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda,
janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin
(misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun plasenta lahir.
Lemahnya kontraksi moimetrium merupakan akibat dari
kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga
besar, terutama biila mendapatkan stimmulasi.
Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari iinhibisi
kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen
anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta simpatomimetik dan
nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat
hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan
hipotermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas
bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya
perdarahan postpartum.(Buku Ajar Obstetri, 2010).
Faktor penyebab terjadinya atonia uteri adalah :
1) Atonia Uteri
a. Umur : Umur yang terlalu muda atau tua
b. Paritas : Sering dijumpai para multipara dan
grandemultipara
c. Partus lama dan partus terlantar
d. Obstein operatif dan narkosa

71
e. Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli,
hidramnion, atau janin besar
f. Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair
pada solusio plasenta.
g. Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
2) Sisa plasenta dan selaput ketuban
3) Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, famiks dan
rahim.
4) Penyakit darah
5) Kelainan pembekuan darah misalnya hipofibrinogenemia
6) Perdarahan yang banyak
7) Solusio plasenta
8) Kematian janin yang lama dalam kandungan
9) Pre-eklamsi dan eklamsi
10)Infeksi, hepatitis dan septik syok
C. Patofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan
uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah pelahiran.
Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan
jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat
menyebabkan perdarahan postpartum anatara lain pelahiran
janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps,
setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan
pervaginam setelah seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus
lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat
diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen
dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan relaksasi uterus
(Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan
besar mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan

72
demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau
hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri.
Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai contoh, rata-
rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard,
1965). Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang
terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan kemuungkinan
mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah
melahirkan.
Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu
dengan oksitosin lebih rentan mengalami atonia uteri dan
perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas tinggi mungkin
berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985)
melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau
lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan
postpartum sebesar 2,7 persen pada para wanita ini meningkat
empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum.
Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan
postpartum sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas
rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para 4 atau lebih.
Risiko lain adalah wanita yang bersangkutan perbah
mengalami perdarahan postpartum. Akhirnya, kesalahan
penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya untuk
mempercepat pelahiran plasenta selain dari pada
mengeluarkannya secara manual. Pemijatan dan penekanan
secara terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi
dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta
sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran
darah meningkat.

73
D. Tanda dan Gejala
1) perdarahan pervaginam
2) Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes.
Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar
disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak
mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
3) konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang
lainnya.
4) fundus uteri naik
5) terdapat tanda-tanda syok
a. Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90
mmhg
c. Pucat
d. Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. Pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek
dan perdarahan segera setelah anak lahir ( perdarahan post
partum primer ).
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terleppasnya
sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum ; karena
perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atonia uteri
merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang
lama ; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil
seperti pada hamil kembar atau janin besar ; persalinan yang serin

74
( multiparitas ) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat
terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dan mendorng
rahim ke bawah sementara plasenta belum epas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat
segera diketahui. Tapi bila ada perdarahan sedikit dalam waktu
lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah
sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan atonia
uteri, rahim membesar dan lembek.
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada
kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun
dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia.
Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum,
persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan yang
lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan
dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari
dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir
dilakukan supaya penghentian perdarahan sepecap mungkin dan
mengatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan
atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke
dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan
dalam waktu singkat dilakukan kompresi baimanual pada rahim,
bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan
tampon kasa ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh.
Pada perdarahan postpartum ada kemungkinan dilakukan
pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau
pengangkatan rahim.

75
E. Penatalaksanaan
1) Kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
2) Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena,
bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin
dilanjutkan perinfus.
3) Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan
kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini
berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4) Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui
dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua
belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi
diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali
berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal.
5) Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak
tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina
untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium
(sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan
perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bla
perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus
berkontraksi kembali. Apabia perdarahan tetap terjadi, coba
kompresi aorta abdominalis.
6) Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan
ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam
tangan kanan kemuadian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna
vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau

76
sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil
kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7) Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap
oksitosin/ergometrin, bisa dicoba prostaglandin f2a (250 mg)
secara intramuskular atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang
dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
8) Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek dan perdarahan
yang terjadi tetap>200 ml/jam. Tujuan laparotomi adalah
meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk
penderita yang belum punya anak atau muda sekali).
9) Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
F. Pencegahan
1) Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi
risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah.
2) Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri
yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan
tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu
pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter
IV drip 100-150 cc/jam.
3) Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang
diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi
perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-

77
acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di
Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus
IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi
sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin
G. Asuhan Keperawatan
1) Anamnesa
a) Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan,
pendidikan, alamat, medical record dan lain – lain.
b) Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal
kronik, hemofilia, riwayat pre eklampsia, trauma
jalan lahir, kegagalan kompresi pembuluh darah,
tempat implantasi plasenta, retensi sisa plasenta.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan
darah dalam jumlah banyak (>500ml), Nadi lemah,
pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing, gelisah,
letih, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, dan
mual.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang
menderita hipertensi, penyakit jantung, dan pre
eklampsia, penyakit keturunan hemopilia dan
penyakit menular.
c) Riwayat obstetric
1. Riwayat menstruasi meliputi: Menarche, lamanya
siklus, banyaknya, baunya , keluhan waktu haid, HPHT

78
2. Riwayat perkawinan meliputi : Usia kawin, kawin yang
keberapa, Usia mulai hamil
3. Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu
d) Riwayat hamil meliputi: Waktu hamil muda, hamil tua,
apakah ada abortus, retensi plasenta.
1. Riwayat persalinan meliputi: Tua kehamilan, cara
persalinan, penolong, tempat bersalin, apakah ada
kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati, berat
badan anak waktu lahir, panjang waktu lahir.
2. Riwayat nifas meliputi: Keadaan lochea, apakah ada
pendarahan, ASI cukup atau tidak dan kondisi ibu saat
nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi
3. Riwayat Kehamilan sekarang
Hamil muda, keluhan selama hamil muda
Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan
berat badan, tinggi badan, suhu, nadi, pernafasan,
peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual,
keluhan lain
e) Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat
pelayanan, beberapa kali, perawatan serta pengobatannya
yang didapat
f) Pola aktifitas sehari-hari.
1. Makan dan minum, meliputi komposisi makanan,
frekuensi, baik sebelum dirawat maupun selama
dirawat. Adapun makan dan minum pada masa nifas
harus bermutu dan bergizi, cukup kalori, makanan
yang mengandung protein, banyak cairan, sayur-
sayuran dan buah – buahan.
2. Eliminasi, meliputi pola dan defekasi, jumlah warna,
konsistensi. Adanya perubahan pola miksi dan

79
defeksi. BAB harus ada 3-4 hari post partum
sedangkan miksi hendaklah secepatnya dilakukan
sendiri (Rustam Mukthar, 1995 )
3. Istirahat atau tidur meliputi gangguan pola tidur
karena perubahan peran dan melaporkan kelelahan
yang berlebihan.
4. Personal hygiene meliputi : Pola atau frekuensi mandi,
menggosok gigi, keramas, baik sebelum dan selama
dirawat serta perawatan mengganti balutan atau duk.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Mulut : bibir pucat
Payudara : hyperpigmentasi, hipervaskularisasi,
simetris
Abdomen : terdapat pembesaran abdomen
Genetalia : terdapat perdarahan pervaginam
Ekstremitas : dingin
b) Palpasi
Abdomen : uterus teraba lembek, TFU lebih kecil
daripada UK, nyeri tekan, perut teraba tegang, messa pada
adnexa.
Genetalia : Nyeri goyang porsio, kavum douglas
menonjol.
c) Auskultasi
Abdomen : bising usus (+), DJJ (-)
d) Perkusi
Ekstremitas : reflek patella + / +

80
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan
silang
b) Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak
hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak
hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat
tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
c) Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca
partum
d) Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
e) Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar
fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin
memanjang pada KID
f) Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang
tertahan

4) Diagnosa
a) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
vaskuler yang berlebihan
b) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovelemia
c) Ansietas berhungan dengan krisis situasi, ancaman perubahan
pada status kesehatan atau kematian, respon fisiologis
d) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan, Stasis cairan tubuh, penurunan Hb
e) Resiko tinggi terhadap nyeri berhubungan dengan trauma/
distensi jaringan

81
f) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan
atau tidak mengenal sumber informasi
5) Intervensi Keperawatan
a) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan vaskuler yang
berlebihan
Intervensi :
1. Tinjau ulang catatan kehamilan dan persalinan/kelahiran,
perhatikan faktor-faktor penyebab atau pemberat pada situasi
hemoragi (misalnya laserasi, fragmen plasenta tertahan,
sepsis, abrupsio plasenta, emboli cairan amnion atau retensi
janin mati selama lebih dari 5 minggu)
Rasional : Membantu dalam membuat rencana perawatan
yang tepat dan memberikan kesempatan untuk mencegah dan
membatasi terjadinya komplikasi.
2. Kaji dan catat jumlah, tipe dan sisi perdarahan; timbang dan
hitung pembalut, simpan bekuan dan jaringan untuk dievaluasi
oleh perawat.
Rasional : Perkiraan kehilangan darah, arteial versus vena,
dan adanya bekuan-bekuan membantu membuat diagnosa
banding dan menentukan kebutuhan penggantian.
3. Kaji lokasi uterus dan derajat kontraksilitas uterus. Dengan
perlahan masase penonjolan uterus dengan satu tangan sambil
menempatkan tangan kedua diatas simpisis pubis.
Rasional : Derajat kontraktilitas uterus membantu dalam
diagnosa banding. Peningkatan kontraktilitas miometrium
dapat menurunkan kehilangan darah. Penempatan satu tangan
diatas simphisis pubis mencegah kemungkinan inversi uterus
selama masase.
4. Perhatikan hipotensi atau takikardi, perlambatan pengisian
kapiler atau sianosis dasar kuku, membran mukosa dan bibir.

82
Rasional : Tanda-tanda ini menunjukan hipovolemi dan
terjadinya syok. Perubahan pada tekanan darah tidak dapat
dideteksi sampai volume cairan telah menurun sampai 30 -
50%. Sianosis adalah tanda akhir dari hipoksia.
5. Pantau parameter hemodinamik seperti tekanan vena sentral
atau tekanan baji arteri pulmonal bila ada.
Rasional : Memberikan pengukuran lebih langsung dari
volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.
6. Lakukan tirah baring dengan kaki ditinggikan 20-30 derajat
dan tubuh horizontal.
Rasional : Perdarahan dapat menurunkan atau menghentikan
reduksi aktivitas. Pengubahan posisi yang tepat meningkatkan
aliran balik vena, menjamin persediaan darah keotak dan
organ vital lainnya lebih besar.
7. Pertahankan aturan puasa saat menentuka status/kebutuhan
klien.
Rasional : Mencegah aspirasi isi lambung dalam kejadian
dimana sensorium berubah dan/atau intervensi pembedahan
diperlukan.
8. Pantau masukan dan keluaran, perhatikan berat jenis urin.
Rasional : Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi
kehilangan cairan. Volume perfusi/sirkulasi adekuat
ditunjukan dengan keluaran 30 – 50 ml/jam atau lebih besar.
9. Hindari pengulangan/gunakan kewaspadaan bila melakukan
pemeriksaan vagina dan/atau rektal
Rasional : Dapat meningkatkan hemoragi bila laserasi
servikal, vaginal atau perineal atau hematoma terjadi.
10. Berikan lingkungan yang tenang dan dukungan psikologis
Rasional : Meningkatkan relaksasi, menurunkan ancietas
dan kebutuhan metabolik.

83
11. Kaji nyeri perineal menetap atau perasaan penuh pada
vagina. Berikan tekanan balik pada laserasi labial atau
perineal.
Rasional : Haematoma sering merupakan akibat dari
perdarahan lanjut pada laserasi jalan lahir.
12. Pantau klien dengan plasenta acreta (penetrasi sedikit dari
myometrium dengan jaringan plasenta), HKK atau abrupsio
placenta terhadap tanda-tanda KID
Rasional : Tromboplastin dilepaskan selama upaya
pengangkatan placenta secara manual yang dapat
mengakibatkan koagulopati.
13. Mulai Infus I atau 2 i.v dari cairan isotonik atau elektrolit
dengan kateter !8 G atau melalui jalur vena sentral. Berikan
darah lengkap atau produk darah (plasma, kriopresipitat,
trombosit) sesuai indikasi.
Rasional : Perlu untuk infus cepat atau multipel dari cairan
atau produk darah untuk meningkatkan volume sirkulasi dan
mencegah pembekuan.
14. Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
Oksitoksin, Metilergononovin maleat, Prostaglandin F2
alfa.
Rasional : Meningkatkan kontraktilitas dari uterus yang
menonjol dan miometrium, menutup sinus vena yang
terpajan, dan menghentikan hemoragi pada adanya atonia.
Magnesium sulfat
Rasional : Beberapa penelitian melaporkan penggunaan
MGSO4 memudahkan relaksasi uterus selama pemeriksaan
manual.
Terapi Antibiotik.

84
Rasional : Antibiotok bertindak secara profilaktik untuk
mencegah infeksi atau mungkin perlu diperlukan untuk
infeksi yang disebabkan atau diperberat pada subinvolusi
uterus atau hemoragi.
15. Pantau pemeriksaan laboratotium sesuai indikasi : Hb dan Ht.
Rasional : Membantu dalam menentukan kehilangan darah.
Setiap ml darah membawa 0,5 mg Hb.

b) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan


hipovalemia
Intervensi :
1. Perhatikan Hb/Ht sebelum dan sesudah kehilangan darah. Kaji
status nutrisi, tinggi dan berat badan.
Rasional : Nilai bandingan membantu menentukan beratnya
kehilangan darah. Status yang ada sebelumnya dari kesehatan
yang buruk meningkatkan luasnya cedera dari kekurangan
oksigen.
2. Pantau tanda vital; catat derajat dan durasi episode
hipovolemik
Rasional : Luasnya keterlibatan hipofisis dapat dihubungkan
dengan derajat dan durasi hipotensi. Peningkatan frekuensi
pernapasan dapat menunjukan upaya untuk mengatasi asidosis
metabolik.
3. Perhatikan tingkat kesadaran dan adanya perubahan prilaku.
Rasional : Perubahan sensorium adalah indikator dini dari
hipoksia, sianosis, tanda lanjut dan mungkin tidak tampak
sampai kadar PO2 turun dibawah 50 mmHg.
4. Kaji warna dasar kuku, mukosa mulut, gusi dan lidah,
perhatikan suhu kulit.

85
Rasional : Pada kompensasi vasokontriksi dan pirau organ
vital, sirkulasii pada pembuluh darah perifer diperlukan yang
mengakibatkan sianosis dan suhu kulit dingin.
5. Beri terapi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : Memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk
transpor sirkulasi kejaringan.
6. Pasang jalan napas; penghisap sesuai indikasi
Rasional : Memudahkan pemberian oksigen.

c) Ancietas b.d ancaman perubahan pada status kesehatan


atau kematian.
Intervensi :
1. Evaluasi respon psikologis serta persepsi klien terhadap
kejadian hemoragi pasca partum. Klarifikasi kesalahan
koinsep.
Rasional : Membantu dalam menentukan rencana perawatan.
Persepsi klien tentang kejadian mungkin menyimpang,
memperberat ancietasnya
2. Evaluasi respon fisiologis pada hemoragik pasca partum;
misalnya tachikardi, tachipnea, gelisah atau iritabilitas.
Rasional : Meskipun perubahan pada tanda vital mungkin
karena respon fisiologis, ini dapat diperberat atau
dikomplikasi oleh faktor-faktor psikologis.
3. Sampaikan sikap tenang, empati dan mendukung.
Rasional : Dapat membantu klien mempertahankan kontrol
emosional dalam berespon terhadap perubahan status
fisiologis. Membantu dalam menurunkan tranmisi ansietas
antar pribadi.
4. Bantu klien dalam mengidentifikasi perasaan ancietas, berikan
kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.

86
Rasional : Pengungkapan memberikan kesempatan untuk
memperjelas informasi, memperbaiki kesalahan konsep, dan
meningkatkan perspektif, memudahkan proses pemecahan
masalah.

d) Nyeri berhubungan dengan trauma atau distensi jaringan.


Intervensi :
1. Tentukan karakteristik, tipe, lokasi, dan durasi nyeri. Kaji
klien terhadap nyeri perineal yang menetap, perasaan penuh
pada vagina, kontraksi uterus atau nyeri tekan abdomen.
Rasional : Membantu dalam diagnosa banding dan pemilihan
metode tindakan. Ketidaknyamanan berkenaan dengan
hematoma, karena tekanan dari hemaoragik tersembunyi
kevagina atau jaringan perineal. Nyeri tekan abdominal
mungkin sebagai akibat dari atonia uterus atau tertahannya
bagian-bagian placenta. Nyeri berat, baik pada uterus dan
abdomen, dapat terjadi dengan inversio uterus.
2. Kaji kemungkinan penyebab psikologis dari
ketidaknyamanan.
Rasional : Situasi darurat dapat mencetuskan rasa takut dan
ansietas, yang memperberat persepsi ketidaknyamanan
3. Berikan tindakan kenyamanan seperti pemberian kompres es
pada perineum atau lampu pemanas pada penyembungan
episiotomi.
Rasional : Kompres dingan meminimalkan edema, dan
menurunkan hematoma serta sensasi nyeri, panas
meningkatkan vasodilatasi yang memudahkan resorbsi
hematoma.
4. Berikan analgesik, narkotik, atau sedativa sesuai indikasi

87
Rasional : Menurunkan nyeri dan ancietas, meningkatkan
relaksasi.

e) Resiko tinggi terjadi Infeksi berhubungan dengan trauma


jaringan.
Intervensi :
1. Demonstrasikan mencuci tangan yang tepat dan teknik
perawatan diri. Tinjau ulang cara yang tepat untuk menangani
dan membuang material yang terkontaminasi misalnya
pembalut, tissue, dan balutan.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang / penyebaran
organinisme infeksious.
2. Perhatikan perubahan pada tanda vital atau jumlah SDP
Rasional : Peningkatan suhu dari 100,4 ºF (38ºC) pada dua hari
beturut-turut (tidak menghitung 24 jam pertama pasca
partum), tachikardia, atau leukositosis dengan perpindahan
kekiri menandakan infeksi.
3. Perhatikan gejala malaise, mengigil, anoreksia, nyeri tekan
uterus atau nyeri pelvis.
Rasional : Gejala-gejala ini menandakan keterlibatan
sistemik, kemungkinan menimbulkan bakterimia, shock, dan
kematian bila tidak teratasi.
4. Selidiki sumber potensial lain dari infeksi, seperti pernapasan
(perubahan pada bunyi napas, batuk produktif, sputum
purulent), mastitis (bengkak, eritema, nyeri), atau infeksi
saluran kemih (urine keruh, bau busuk, dorongan, frekuensi,
nyeri).
Rasional : Diagnosa banding adalah penting untuk
pengobatan yang efektif.

88
5. Kaji keadaan Hb atau Ht. Berikan suplemen zat besi sesuai
indikasi.
Rasional : Anemia sering menyertai infeksi, memperlambat
pemulihan dan merusak sistem imun.

f) Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya


informasi.
Intervensi :
1. Jelaskan faktor predisposisi atau penyebab dan tindakan
khusus terhadap penyebab hemoragi.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu
klien/pasangan memahami dan mengatasi situasi.
2. Kaji tingkat pengetahuan klien, kesiapan dan kemampuan
klien untuk belajar. Dengarkan, bicarakan dengan tenang, dan
berikan waktu untuk bertanya dan meninjau materi.
Rasional : Memberikan informasi yang perlu untuk
mengembangkan rencana perawatan individu. Menurunkan
stress dan ancietas, yang menghambat pembelajaran, dan
memberikan klarifikasi dan pengulangan untuk meningkatkan
pemahaman.
3. Diskusikan implikasi jangka pendek dari hemoragi pasca
partum, seperti perlambatan atau intrupsi pada proses
kedekatan ibu-bayi (klien tidak mampu melakukan perawatan
terhadap diri dan bayinya segera sesuai keinginannya).
Rasional : Menurunkan ansietas dan memberikan kerangka
waktu yang realistis untuk melakukan ikatan serta aktivitas-
aktivitas perawatan bayi.
4. Diskusikan implikasi jangka panjang hemoragi pasca partum
dengan tepat, misalnya resiko hemoragi pasca partum pada
kehamilan selanjutnya, atonia uterus, atau ketidakmampuan

89
untuk melahirkan anak pada masa datang bila histerektomie
dilakukan.
Rasional : Memungkinan klien untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi dan mulai mengatasi perasaan tentang
kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang.

2.2.2. RETENSIO PLASENTA


A. Definisi
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama
setengah jam setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2005)
Retensio plasenta merupakan sisa plasenta dan ketuban yang
msih tertinggal dalam rongga rahim. Hal ini dapat menimbulkan
perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat
(6-10 hari) pasca postpartum.
B. Etiologi
Menurut Rustam Muchtar dalam bukunya Sinopsis Obstetri
(1998) penyebab rentensio plasenta adalah :
1) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh
terlalu melekat lebih dalam, berdasarkan tingkat
perlekatannya dibagi menjadi:
a) Plasenta adhesive, yang melekat pada desidua
endometrium lebih dalam. Kontraksi uterus kurang kuat
untuk melepaskan plasenta.
b) Plasentaa akreta, implantasi jonjot khorion memasuki
sebagian miometriun
c) Plasenta inkreta, implantasi menembus hingga
miometriun
d) Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau
peritoneum dinding rahim. Plasenta normal biasanya
menanamkan diri sampai batas atas lapisan miometrium.

90
2) Plasenta sudah lepas tapi belum keluar, karena :
a) Atonia uteri adalah ketidak mampuan uterus untuk
berkontraksi setelah bayi lahir. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan yang banyak
b) Adanya lingkaran kontriksi pada bagian rahim akibat
kesalahan penanganan kala III sehingga menghalangi
plasenta keluar (plasenta inkarserata)

Manipulasi uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya


pelepasan plasenta dapat menyebabkan kontraksi yang tidak
ritmik, pemberian uterotonika tidak tepat pada waktunya
juga akan dapat menyebabkan serviks berkontraksi dan
menahan plasenta. Selain itu pemberian anastesi yang dapat
melemahkan kontraksi uterus juga akan menghambat
pelepasan plasenta.

Lingkaran kontriksi ini juga berhubungan dengan his. His


yang tidak efektif yaitu his yang tidak ada relaksasinya
maka segmen bawah rahim akan tegang terus sehingga
plasenta tidak dapat keluar karena tertahan segmen bawah
rahim tersebut.

3) Penyebab lain : Kandung kemih penuh atau rectum penuh


Hal-hal diatas akan memenuhi ruang pelvis sehingga dapat
menghalangi terjadinya kontraksi uterus yang efisien.
Karena itu keduanya harus dikosongkan.Bila plasenta belum
lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila
sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini
merupakan indikasi untuk segera dikeluarkan.

91
C. Tanda dan Gejala
a) Plasenta belum lahir setelah 30 menit
b) Perdarahan segera (P3)
c) Uterus berkontraski dan keras, gejala lainnya antara lain
d) Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
e) Inversio uteri akibat tarikan dan Perdarahan lanjutan
D. Patofisiologi

E. Penatalaksanaan
1) Resusitasi, pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV – line
dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan
kristaloid (sodium klorida isotonic atau larutan ringer laktat
yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Tranfusi darah apabila
diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.

92
2) Drip oksitosin ( oxytocin drips ) 20 IU dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0,9% ( normal saline ) sampai uterus
berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan
uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual
plasenta. Indikasi manual plasenta adalah perdarahan pada kala
tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah
30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan
dapat dikeluarkan dengan tang ( cunam ) abortus dilanjutkan
kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta
dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah
sakit dengan hati – hati karena dinding rahim relative tipis
dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per
oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda – tanda infeksi dan
untuk pencegahan infeksi sekunder
F. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam asuhan keperawatan
pada ibudengan retensio placenta adalah sebagai berikut :
Identitas klien
Data biologis/fisiologis meliputi; keluhan utama,
riwayatkesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga,

93
riwayat obstetrik (GPA,riwayat kehamilan, persalinan, dan
nifas), dan pola kegiatan sehari-harisebagai berikut :
a) Sirkulasi :
II. Perubahan tekanan darah dan nadi (mungkintidak
tejadi sampaikehilangan darah bermakna).
III. Pelambatan pengisian kapiler.
IV. kulit dingin/lembab.
V. Vena gelap dari uterus ada secara eksternal
(placentaatertahan).
VI. Dapat mengalami perdarahan vagina berlebihan.
VII. Haemoragi berat atau gejala syock diluar proporsi
jumlah kehilangan darah.
b) Eliminasi : Kesulitan berkemih dapat menunjukan
haematoma dari porsi atas vagina
c) Nyeri/Ketidaknyamanan : Sensasi nyeri terbakar/robekan
(laserasi),nyeri tekan abdominal (fragmen placenta
tertahan) dan nyeri uteruslateral.
d) Keamanan : Laserasi jalan lahir: darah memang terang
sedikit menetap (mungkin tersembunyi) dengan uterus
keras, uterus berkontraksi baik;robekan terlihat pada labia
mayora/labia minora, dari muara vagina ke perineum;
robekan luas dari episiotomie, ekstensi episiotomi
kedalam kubah vagina, atau robekan pada serviks.
e) Seksualitas : Uterus kuat; kontraksi baik atau kontraksi
parsial, dan agakmenonjol (fragmen placenta yang
tertahan). Kehamilan baru dapat mempengaruhi
overdistensi uterus (gestasimultipel, polihidramnion,
makrosomia), abrupsio placenta,placenta previa

2) Pemeriksaan fisik meliputi; keadaan umum, tanda


vital,pemeriksaan obstetrik (inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi)
3) Pemeriksaan laboratorium. (Hb 10 gr%).
4) Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
I. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
II. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
III. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur
invasif

94
DX SLKI SIKI
Dx1 Setelah diberikan askep 1x15
menit diharapkan hipovolemi pervaginam
pasien dapat teratasi dengan Observasi
KH: 1. Identifikasi keluhan
ibu ( mis: keluar darah
 Nadi dalam rentang banyak, pusing,
normal (60-100x/mnt) pandangan kabur)
 Tekanan darah rentang 2. Monitor keadaan
normal 120/80 mmhg uterus dan abdomen
 Kesadaran membaik (mis: TFU diatas
 Akral kembali hangat umbilicus, teraba
 CRT<3 detik lembek, benjolan)
 Perdarahan berhenti 3. Monitor kesadaran
dan tanda vital
4. Monitor kehilangan
darah
5. Monitor kadar Hb
Terapeutik
1. Pasang oksimetri nadi
2. Berikan oksigen via
nasal kanul 3 l/menit
3. Pasang IV line dengan
selang set transfuse
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
uterotonika dan
antikoagulan jika
perlu
Dx. Setelah dilakukan tindakan
2 keperawatan selama 1x15 menit Obervasi :
diharapkan tingkat nyeri
1. Kaji lokasi,
berkurang dengan kriteria hasil :
karakteristik , durasi ,
frekuensi kualitas dan
intensitas nyeri klien
1. Keluhan nyeri berkurang
2. Kaji respon nyeri non
2. Tidak terlihat meringis verbal
3. TTV normal terapeutik
1. Berikan teknik non
farmakologi untuk

95
mengurangi nyeri
(TND, hypnosis,
kompres hangat pada
daerah nyeri)

2. Fasilitasi istirahat dan


tidur

3. Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
dan antibiotik.

Dx. Setelah dilakukan tindakan


3 keperawatan selama 1x30 menit Observasi :
diharapkan tidak terjadi infeksi 1. Monitor tanda dan
dengan kriteria hasil : gejala infeksi local
dan sistemik
Terapeutik
1. Tidak ada demam 1. Berikan perawatan
2. Tidak ada cairan berbau kulit pada area edema
busuk 2. Cuci tangan sebelum
3. Tidak ada kemerahan dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
3. Pertahankan teknik
aseptic
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara menuci
tangan yang benar
3. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka
4. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi dan cairan

96
2.2.3. ROBEKAN JALAN LAHIR
A. Definisi
Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina,
cincin selaput dara, serviks, portio septum rektovaginalis akibat
dari tekanan benda tumpul (Wiknjosastro : 2010)
B. Etiologi
Robekan jalan lahir disebabkan oleh 3 hal, antara lain :
1) Robekan Vagina
Robekan vagina sering terjadi sewaktu melahirkan janin
dengan cunam/alat, ekstraksi bokong/presentasi bokong,
ekstraksi vakum, reposisi presentasi kepala janin. Robekan
dinding vagina dapat timbul akibat rotasi forceps, penurunan
kepala yang cepat, dan persalinan yang cepat.
2) Robekan Perineum
Robekan perineum disebabkan oleh kepala janin lahir terlalu
cepat, persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya,
distosia bahu, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa
sehingga kepala janin lahir lebih ke belakang daripada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran
yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito
bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginal. (Sarwono : 2009). Tingkat perlukaan pada Perineum
a. Derajat 1
Luasnya robekan hanya sampai mukosa vagina,
komisura posterior tanpa mengenai kulit perineum.
Tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan posisi
luka baik.
b. Derajat 2
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan

97
otot perineum. Jahit menggunakan teknik penjahitan
laserasi perineum.
c. Derajat 3
Robekan yang terjadi mengenai mukosa vagina,
komisura posterior, kulit perineum, otot perineum
hingga otot sfingter ani.
d. Derajat 4
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot
sfingter ani sampai kedinding depan rectum.

e. Robekan Servik
Robekan serviks dapat terjadi karena partus presipatus
(persalinan cepat), trauma karena pemakaian alat-alat
operasi (cunam, perforator, vakum ekstraktor),
melahirkan kepala janin pada letak sungsang secara
paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap,
partus lama, telah terjadi serviks edema sehingga
jaringan serviks sudah menjadi rapuh. Pada robekan
serviks sering terjadi komplikasi dan perdarahan yang
sangat banyak sehingga dapat menimbulkan syok
bahkan kematian.
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada robekan jalan lahir, antara lain :
1) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
2) Uterus kontraksi dan keras
3) Plasenta lengkap, dengan gejala lain
4) Pucat, lemah, dan menggigil (Ida, K : 2016)

98
Berdasarkan ketenangan :
1) Dramatis : Nyeri tajam pada abdomen bawah, perdarahan
vagina, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan
nafas pendek, janin dapat tereposisi secara dramatis dalam
abdomen ibu, gerakan janin dapat menjadi kuat hingga tidak
ada sama sekali.
2) Tenang : Nyeri tekan meningkat di seluruh abdomen, nyeri
berat pada suprapubis, perasaan ingin pingsan, perdarahan
vagina.
D. Patofisiologi

99
E. Penatalaksanaan
1) Robekan Vagina
Perdarahan biasanya banyak dan mudah diatasi dengan
jahitan. Apabila ligamentum latum terbuka dan cabang -
cabang arteri uterina terputus, timbul banyak perdarahan
yang membahayakan jiwa penderita. Apabila perdarahan
tersebut sulit dikuasai dari bawah, terpaksa dilakukan
laparotomi dan ligamentum latum dibuka untuk
menghentikan perdarahan, jika hal terakhir ini tidak berhasil,
arteria hipogastrika yang bersangkutan perlu diikat. (Sarwono
: 2009)
2) Robekan Perineum
Penatalaksanaan pada masing-masing tingkat robekan
adalah sebagai berikut :
a. Robekan perineum tingkat I
Pada robekan perineum tingkat 1 dilakukan dengan cut gut
secara jelujur atau jahitan angka delapan (figure of
eight).
b. Robekan perineum tingkat II
Jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau
bergerigi, harus diratakan lebih dahulu
Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan dijepit dengan
klem kemudian digunting
Otot dijahit dengan catgut, selaput lendir vagina dengan
catgut secara terputus-putus atau jelujur.
Jahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan,
sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut
secara jelujur.
c. Robekan perineum tingkat III (Kewenangan dokter)
i. Dinding depan rektum yang robek dijahit

100
ii. Fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal
dijahit dengan catgut kromik
iii. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat
robekan dijepit dengan klem, kemudian dijahit
dengan 2-3 jahitan catgut kromik
iv. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti
menjahit robekan perineum tingkat II.
d. Robekan perineum tingkat IV (Kewenangan dokter)
Dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan
rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di rumah
sakit kabupaten/kota. (Ika, D : 2016)
3) Robekan Serviks
Apabila ada robekan memanjang, serviks perlu ditarik keluar
dengan beberapa cunam ovum, supaya batas antara robekan
dapat dilihat dengan baik. Jahitan pertama dilakukan pada
ujung atas luka, baru kemudian diadakan jahitan terus ke
bawah. Robekan serviks harus dijahit jika berdarah atau lebih
besar dari 1 cm.
Pada robekan serviks yang berbentuk melingkar, diperiksa
dahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak.
Jika belum lepas, bagian yang belum lepas itu dipotong dari
serviks. Jika yang lepas hanya sebagian kecil saja itu dijahit lagi
pada serviks. Perlukaan dirawat untuk menghentikan perdarahan.
(Sarwono : 2009)

F. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Periksa ABCD
b) Pengkajian khusus :

101
I. Sirkulasi : Rembesan kontinu atau perdarahan tiba-
tiba. Wajah tampak pucat, anemik.
II. Ketidaknyamanan : Nyeri tekan uterus (fragmen-
fragmenplasenta tertahan), ketidaknyamanan
vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma)
III. Keamanan : Pecah ketuban dini
IV. Seksuaitas : Tinggi fundus atau badan uterus gagal
kembali pada ukuran dan fungsi kehamilan
(Subinvorusi), leukorea mungkin ada.
2) Diagnosa Keperawatan
No Data Diagnosa Keperawatan
1. DO : Perdarahan masif, Resiko syok dd Kekurangan
tekanan darah menurun, nadi volume cairan
meningkat, napas pendek,
pucat.
2. DS : Pasien mengeluh nyeri Nyeri akut b/d Agen pencedera
pada abdomen bawah. fisik : trauma
DO : Tampak gelisah, pucat,
nyeri tekan uterus.

3) Intervensi Keperawatan

102
Dx SLKI SIKI

1 Tingkat syok, dengan KH : 1. Pencegahan syok


a. Output urine Observasi
meningkat a. Monitor status
b. Pucat menurun kardiopulmmonal
c. Tekanan nadi b. Monitor status oksigenasi
membaik c. Monitor status cairan
d. Frekuensi napas Terapeutik
membaik a. Pasang IV
e. Tekanan darah b. Berikan oksigen
membaik c. Pasang kateter urine
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, factor
resiko, dan tanda gejala syok
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV
2. Manajemen hipovolemia
Observasi
a. Periksa tanda dan gejala
hipovolemia (nadi
meningkat, TD menurun,
volume urin menurun, Ht
meningkat, haus, dan lemah)
b. Monitor intake dan output
cairan
Terapeutik
a. Posisikan ekstremitas lebih
tinggi
b. Pasang IV line

103
c. Berikan asupan cairan oral
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian koloid
dan produk darah
2 Kontrol nyeri, dengan KH : Manajemen nyeri
a. Melaporkan nyeri Observasi
terkontrol meningkat a. Monitor efek samping
b. Keluhan nyeri menurun penggunaan analgesik
c. Penggunaan analgesik Terapeutik
menurun a. Berikan teknik
d. Kemampuan nonfarmakologis untuk
menggunakan teknik mengurangi rasa nyeri
nonfarmakologis b. Kontrol lingkungan yang
meningkat memperberat rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu.
2.2.4. PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER
A. Definisi
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan
500 ml atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau
1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria (Leveno, 2009;
WHO, 2012).
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum
yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama
perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio
plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
B. Etiologi
Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena :
1) Atonia Uteri

104
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya
miometrium untuk berkontraksi setelah plasenta lahir.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di
sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
perlengketan plasenta (Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium
dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta
syok hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat
diakibatkan oleh kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang.
Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan
nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen
bawah rahim, korioamnionitis, endomiometritis,
septikemia, hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia
karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP,
hingga sekitar 70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah
persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan
abdominal. Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia
uteri lebih tinggi pada persalinan abdominal dibandingkan
dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).
2) Laserasi jalan lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin
manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan
lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada
saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir

105
biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum,
trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu
(Rohani, Saswita dan Marisah, 2011):
a. Derajat satu
Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
b. Derajat dua
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot
perineum.
c. Derajat tiga
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, dan otot sfingter ani eksternal.
d. Derajat empat
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa
rektum.
3) Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga
atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini
disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio
plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari perdarahan
postpartum (20% - 30% kasus).
Kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena
retensio plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk
diagnosis utama sehingga dapat membuat kesalahan
diagnosis. Pada retensioplasenta, resiko untuk mengalami
PPP 6 kali lipat pada persalinan normal (Ramadhani, 2011).

106
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saifuddin, 2002)
:
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot
korion plasenta sehingga menyebabkan mekanisme
separasi fisiologis
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
yang menembus lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
yang menembus serosa dinding uterus.
Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam
kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

5) Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena
kelainan pada pembekuan darah. Penyebab tersering PPP
adalah atonia uteri, yang disusul dengan tertinggalnya
sebagian plasenta. Namun, gangguan pembekuan darah dapat
pula menyebabkan PPP. Hal ini disebabkan karena defisiensi
faktor pembekuan dan penghancuran fibrin yang berlebihan.
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa
penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan pembekuan
darah dapat berupa hipofibrinogenemia,trombositopenia,
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), HELLP
syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count), Disseminated Intravaskuler Coagulation
(DIC),dan Dilutional coagulopathy (Wiknjosastro, 2006;
Prawirohardjo, 2010).

107
Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan
beberapa kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta,
preeklampsia, septikemia dan sepsis intrauteri, kematian
janin lama, emboli air ketuban, transfusi darah inkompatibel,
aborsi dengan NaCl hipertonik dan gangguan koagulasi yang
sudah diderita sebelumnya. Penyebab yang potensial
menimbulkan gangguan koagulasi sudah dapat diantisipasi
sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah terjadinya
PPP dapat dilakukan sebelumnya (Anderson, 2008).
C. Tanda dan Gejala
Gejala klinis yang mungkin terjadi adalah kehilangan darah
dalam jumlah banyak (500 ml), nadi lemah, haus, pucat,
lochea warna merah, gelisah, letih, tekanan darah rendah
ekstremitas dingin, dapat pula terjadi syok hemorogik
1. Menurut Mochtar (2001) gejala klinik berdasarkan
penyebab ada lima yaitu :
a) Antonia Uteri
Uterus berkontraksi lembek , terjadi perdarahan segera
setelah lahir
b) Robekan jalan lahi
Terjadi perdarahan segera, darah segar mengalir segera
setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, plasenta baik.
Gejala yang kadang-kadang timbul pucat, lemah,
menggigil.
c) Retensio plasenta
Plasenta belum lahir selama 30 menit, perdarahan
segera, kontraksi uterus baik
d) Tertinggalnya sisa plasenta
Selaput yang mengandung pembuluh darah ada yang
tertinggal, perdarahan segera. Gejala yang kadang-

108
kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tinggi
fundus tidak berkurang.
2) Inversio uterus
Uterus tidak teraba, lumen vagina berisi massa,
perdarahan segera, nyeri berat.
Terjadi perdarahan rembes atau mengucur, saat kontraksi
uterus keras, darah berwarna merah muda, bila
perdarahan hebat timbul syok, pada pemeriksaan
inspekulo terdapat ronekan pada vagina, serviks atau
varises pecah dan sisa plasenta tertinggal. (purwadianto,
dkk, 2000).

D. Penatalaksanaan
Penanganan pasien dengan PPP memiliki dua komponen utama
yaitu resusitasi dan pengelolaan perdarahan obstetri yang
mungkin disertai syok hipovolemik dan identifikasi serta
pengelolaan penyebab dari perdarahan. Keberhasilan
pengelolaan perdarahan postpartum mengharuskan kedua
komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi, 2013).

109
Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama)
memainkan peran sentral dalam penatalaksanaan perdarahan
postpartum. Pijat rahim disarankan segera setelah diagnosis dan
resusitasi cairan kristaloid isotonik juga dianjurkan. Penggunaan
asam traneksamat disarankan pada kasus perdarahan yang sulit
diatasi atau perdarahan tetap terkait trauma. Jika terdapat
perdarahan yang terus-menerus dan sumber perdarahan
diketahui, embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika
kala tiga berlangsung lebih dari 30 menit, peregangan tali pusat
terkendali dan pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat
digunakan untuk menangani retensio plasenta. Jika perdarahan
berlanjut, meskipun penanganan dengan uterotonika dan
intervensi konservatif lainnya telah dilakukan, intervensi bedah
harus dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012).
Mengenai penanganan perdarahan post partum berdasarkan
penyebab adalah sebagai berikut (Wuryanti, 2010)

110
E. Patofisiologi

F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian focus
Pengkajian fokus pada perdarahan post portum meurut
Dongoes dan Marylin E, (2001) sebagai berikut :
a. Alasan dan keluhan pertama masuk Rumah Sakit
Apa yang dirasakan saat itu ditujukan untuk mengenali
tanda atau gajala yng berkaitan dengan perdarahan post
portum misalnya antonio uteri, retensio plasenta robekan
jalan lahir, vagina, perineum, adanya sisa selaput plsenta
dan biasanya ibu nampak perdarahan banyak > 500 CC
b. Riwayat kesehatan sekarang
Dikaji untuk mengetahui apakah seorang ibu menderita
penyakit yang bisa menyebabkan perdarahan post portum
seperti aspek fisiologis dan psikososialnya.

111
c. Riwayat kesehatan dahulu
Dikaji untuk mengrtahui apakah seorang ibu perah
menderita penyakit yang lain yang menyertai dan bisa
memperburuk keadaan atau mempersulit penyambuhan.
Seperti penyakit diabetus melitus dan jantung
d. Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah
keluarga pasien ada yang mempunyai riwayat yang sama
Pola pengkajian kesehatan menurut (Dongoes dan
Marilyn E,2001) Sebagai berikut :
1) Aktivitas istirahat
Insomia mungkin teramat.
2) Sirkulasi
kehilangan darah selama proses post portum
3) Integritas ego
Peka rangsang, takut atau menangis sering terlihat
kira-kira 3hari setelah melahirkan “post portum blues”
e. Eliminasi
BAK tidak teratur sampai hari ke 2dan ke 5
f. Makan dan cairan
Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan kira-kira
sampai hari ke 5
g. Persepsi sensori
Tidak ada gerakan dan sensori
h. Nyeri dan ketidaknyamanan
Nyeri tekan payudara dan pembesaran dapat terjadi
diantara hari ke 3 sampai hari ke 5 post partum
i. Seksualitas
1) Uterus diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran
menurun satu jari setiap harinya

112
2) Lochea rubra berlanjut sampai hari ke 2
3) Payudara produksi kolostrum 24 jam pertama
j. Pengkajian Psikologis
1) Apakah pasien dalam keadaan stabil
2) Apakah pasien biasanya cemas sebelum persalinan dan
masa penyembuhan
k. Data pemeriksaan Penunjang, meliputi : pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit darah, leukosit.
2. Pengkajian Dasar Data Klien
a. Sirkulasi : Rembesan kontinu atau perdarahan tiba-tiba.
Dapat tampak pucat, anemik.
b. Ketidaknyamanan : Nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen
plasenta tertahan) Ketidaknyamanan vagina/pelvis, sakit
punggung (hematoma)
c. Keamanan : Pecah ketuban dini
d. Seksuaitas : Tinggi fundus atau baan uterus gagal kembali
pada ukuran dan fungsi kehamilan (Subinvorusi) Leukorea
mungkin ada Terus terlepasnya jaringan
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Golongan darah : Menentukan Rh, golongan ABO dan
pencocokan silang
b. Jumlah darah lengkap
c. Kultur uterus dan vaginal : Mengesampingkan infeksi
pasca partum
d. Urinalisis : Memastikan kerusakan kandung kemih
e. Profil koagulasi : Peningkatan degeradasi kadar produk
fibrin/ produk spilit fibrin (SDP/FSP)
f. Sonografi : Menentukan adanya jaringan plasenta yang
tertahan
4. Analisa Data

113
DO DS
 Uterus berkontraksi  Pasien
lembek mengatkan nyeri
hebat
 terjadi perdarahan
segera setelah lahir

 Robekan jalan lahir

 Terjadi perdarahan
segera, darah segar
mengalir segera setelah
bayi lahir,.

 pucat, lemah,
menggigil.

 Retensio plasenta :
Plasenta belum lahir
selama 30 menit

 Tertinggalnya sisa
plasenta

 Inversio uterus: Uterus


tidak teraba, lumen
vagina berisi massa,

 perdarahan segera,
nyeri berat.

 Terjadi perdarahan
rembes atau mengucur,

114
saat kontraksi uterus
keras,

 darah berwarna merah


muda,

 pada pemeriksaan
inspekulo terdapat
ronekan pada vagina,
serviks atau varises
pecah.

5. Diagnosa keperawatan
a. Risiko syok b.d kekurangan volume cairan
b. Nyeri b.d Agen Pencedera Fisiologis

6. Intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
Resiko syok b.d Setelah diberikan  Pencegahan
kekurangan volume askep 1x15 menit Syok
cairan diharapkan Risiko Tindakan
pasien dapat teratasi 1) Observasi status
dengan KH: kardiopulmonal (
 Tingkat syok frekuensi dan
dan status kekuatan nadi,
cairan

115
Status cairan frekuensi nafas,
1) Nadi dalam TD )
rentang 2) Monitor status
normal (60- okssigenasi (
100x/mnt) oksimetri nadi,
2) Tekanan darah AGD )
rentang 3) Monitor status
normal 120/80 cairan ( masukan
mmhg dan haluaran,
3) Kesadaran turgor kulit,
membaik CRT)
4) Akral kembali 4) Monitor tingkat
hangat kesadran dan
5) CRT<3 detik responsi pupil
6) Perdarahan 5) Periksa riwayat
berhenti alergi
Teraupetik
 Tingkat 1) Berikan oksigen
infeksi untuk
1) Tidak mempertahankan
ada saturasi oksigen
demam , >94
suhu 2) Pasang jalur IV
tubuh Kolaborasi
normal 1) Kolaborasi
2) Tidak pemberian IV
ada 2) Kolaborasi
kemerah pemberian
an transfusi darah

116
3) Tidak 3) Kolaborasi
ada nyeri pemeberian anti
4) Tidak inflamasi
ada
pembeng  Manajemen
kakan perdarahan
pervaginam
Observasi
6. Identifikasi
keluhan ibu (
mis: keluar darah
banyak, pusing,
pandangan
kabur)
7. Monitor keadaan
uterus dan
abdomen (mis:
TFU diatas
umbilicus, teraba
lembek,
benjolan)
8. Monitor
kesadaran dan
tanda vital
9. Monitor
kehilangan darah
10. Monitor kadar
Hb
Terapeutik

117
4. Pasang oksimetri
nadi
5. Berikan oksigen
via nasal kanul 3
l/menit
6. Pasang IV line
dengan selang set
transfuse
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
uterotonika dan
antikoagulan jika perlu

 Nyeri b.d Agen Setelah dilakukan


Pencedera tindakan keperawatan Obervasi :
Fisiologis selama 1x15 menit
3. Kaji lokasi,
diharapkan tingkat
karakteristik ,
nyeri berkurang
durasi , frekuensi
dengan kriteria hasil :
kualitas dan
intensitas nyeri
klien
4. Keluhan nyeri
4. Kaji respon nyeri
berkurang
non verbal
5. Tidak terlihat
terapeutik
meringis
4. Berikan teknik
6. TTV normal
non farmakologi
untuk
mengurangi

118
nyeri (TND,
hypnosis,
kompres hangat
pada daerah
nyeri)

5. Fasilitasi
istirahat dan tidur

6. Kolaborasi
dalam pemberian
analgetik dan
antibiotik.

2.2.5. SYOK OBSTETRI


A. Definisi
Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi
darah ke dalam jaringan sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu
mengeluarkan hasil metabolism.
B. Etiologi
1) Syok Hemoragik
Syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus,
kehamilan ektopik dan penyakit trofoblas (mola
hidatidosa); perdarahan antepartum seperti plasenta previa,
solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca
persalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

119
2) Syok Neurogenik
Disebabkan oleh kehamilan ektopik yang terganggu, solusio
plasenta, persalinan dengan forceps atau persalinan letak
sungsang di mana pembukaan serviks belum lengkap, versi
dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri,
inversio uteri yang akut, pengosongan uterus yang terlalu
cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan penurunan
tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan
tiba-tiba tumor ovarium yang sangat besar.
3) Syok Kardiogenik
Terjadi karena kontraksi otot jantung yang tidak efektif
yang disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan
jantung. Sering dijumpai pada penyakit-penyakit katup
jantung.
4) Syok Endotoksik / Septic
Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah
disebabkan oleh lepasnya toksin. Penyebab utama adalah
infeksi bakteri gram nagatif. Sering dijumpai pada abortus
septic, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan
5) Syok Anafilatik
Terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan
C. Manifestasi
Manifestasi Klinis syok pada umumnya sama pada semua jenis
syok antara lain:
1.) Tekanan darah menurun,
2.) Nadi cepat, dan
3.) Lemah akibat perdarahan.

Jika terjadi vasokontriksi pembuluh darah kulit menjadi pucat,


keringat dingin, sianosis jari-jari kemudian diikuti sesak nafas,

120
pengelihatan kabur, gelisah dan oligouria/anuria dan akhirnya
dapat menyebabkan kematian ibu.

D. Patofisiologi
1.) Syok Hipovolemik terjadi karena volume cairan darah
intravaskula berkurang dalam jumlah yang banyak dan
dalam waktu yang singkat. Penyebab utama adalah
pendarahan akut. 20% volume darah total.
2.) Syok septik. Sering terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas dan pada usia tua. Akibat dari reaksi tubuh
melawan infeksi, bakteri mati dan mengeluarkan
Endotaksin melalui mekanisme yang belum jelas
mempengaruhi metabolisme sel dan merusak sel jaringan di
sekitarnya. Sel yang di rusak ini mengeluarkan enzim
usosom dan Histamin. Enzim usosom masuk peredaran
darah sampai ke jaringan lain dan menyebabkan kerusakan
sel lebih banyak lagi serta sebagai pemicu dikeluarkannya
Bradikinin. Bradikinin dan Histamin menyebabkan
vasodilasi pembulu darah tepi secara masif dan
meningkatkan permeabilitas kapler ( fase hangat syok septik
).
E. Penatalaksanaan
1) Syok Hemoragik
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus
dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan
kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps
terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan,
ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada
peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru,

121
terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan
sampai terjadi kelebihan cairan
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan
kecepatan infus:
a. Nadi. nadi yang cepat menunjukkan adanya
hipovolemia.
b. Tekanan darah. Bila tekanan darah < 90 mmHg pada
pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg
pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya
transfusi cairan.
c. Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan
untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus
dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang,
menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan
sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik,
produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-
40 mg untuk mempertahankan produksi urine.
Dopamin 2--5 µg/kg/menit bisa juga digunakan
pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12
cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien
seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas
dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
2) Syok Neurogenik
Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok
neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia.
Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral
akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang
meragukan.
3) Syok Kardiogenik

122
B. Bila mungkin pasang CVP.
C. Dopamin 10--20 µg/kg/menit, meningkatkan kekuatan,
dan kecepatan kontraksi jantung serta meningkatkan
aliran darah ginjal.
4) Syok Endotoksik / Septic
5) Syok Anafilatik
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan
tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan
gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat
bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat
mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan
waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat
organ tubuh menetap.
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah
kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
b. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
c. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung
paru, yaitu:
2. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas
harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak
jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu

123
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
3. Breathing support, segera memberikan bantuan
napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan
jalan napas total, harus segera ditolong dengan
lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
4. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi
pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian
terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol
resusitasi jantung paru.
d. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 :
1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg
untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2--4 ug/menit.

124
e. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana
pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB
intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
f. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau
syok yang membandel.
g. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan
pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan
akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan
jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler.
Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya,
pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi,
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma

125
protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
h. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila
penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit,
karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-
cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4
jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus
dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
F. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas Klien : nama, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan & alamat
b) Identitas penanggung jawab : nama, usia, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat & hub dengan
klien
c) Riwayat kesehatan
d) Alasan masuk
e) Keluhan utama
f) Riwayat kesehatan sekarang
g) Pola kognitif dan persepsi
2) Analisa Data

126
DO: Tekanan darah menurun, nadi cepat, keringat dingin,
pucat, oliguria, sianosis jari-jari, & gelisah
DS: sesak napas, & penglihatan kabur
3) Diagnosa
Dx. Resiko Syok d.d perdarahan, anafilaksis, & kekurangan
volume cairan
4) Intervensi
SIKI SLKI
1. Tingkat syok 1. Pencegahan syok
a. Output urine meningkat Observasi
b. Pucat menurun a. Monitor status
c. Tekanan nadi membaik kardiopulmmonal
d. Frekuensi napas b. Monitor status oksigenasi
membaik c. Monitor status cairan
e. Tekanan darah Terapeutik
membaik a. Pasang IV
b. Berikan oksigen
c. Pasang kateter urine
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, factor
resiko, dan tanda gejala syok
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV
2. Manajemen hipovolemia
Observasi
a. Periksa tanda dan gejala
hipovolemia (nadi
meningkat, TD menurun,

127
volume urin menurun, Ht
meningkat, haus, dan lemah)
b. Monitor intake dan output
cairan
Terapeutik
a. Posisikan ekstremitas lebih
tinggi
b. Pasang IV line
c. Berikan asupan cairan oral
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian koloid
dan produk darah

128
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpilan
 Emboli cairan amnion merupakan sindrom dimana sejumlah besar cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal,tiba-tiba terjadi gangguan
pernapasan yang akut dan shock. 25% wanita yang menderita keadaan ini
meninggal dunia dalam waktu 1 jam.
 Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya tambahan maneuver
obsterik oleh karena dengan tarikan biasa kearah belakang pada kepala bayi
tidak berhasil untuk melahirkan bayi.
 Letak sungsang adalah kondisi dimana presentasi janin dalam uterus
terutama bokong janin lebih dulu memasuki rongga panggul, terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bawah
kavum uteri.
 Persalinan lama didefinisikan sebagai persalinan dengan kemajuan yang
lama, yaitu ibu mengalami kontraksi teratur lebih lama dari 12 jam
misalnya, atau persalinan yang membutuhkan operasi cesar darurat,
bantuan forseps, atau vakum.
 Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang terjadi
setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya
normotensi. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan tekanan darah (140/90
mmHg) yangdisertai oleh proteinuria.
 Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir.
 Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah
jam setelah bayi lahir.
 Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina, cincin
selaput dara, serviks, portio septum rektovaginalis akibat dari tekanan
benda tumpul.

129
 Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau
lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah
seksio sesaria.
 Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah ke dalam
jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolism.

3.2.Saran
Penulis mengharapkan agar mekalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan mahasiswa keperawatan lainnya.

130
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner & Suddarth. 2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
2. Cunningham, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta : EGC
3. Didien, Ika. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.
Jakarta : Depkes RI
4. Firdaus, Nadya.2010.Keperawatan Maternitas.Jakarta:Salemba Medika
5. Ika, D. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Jakarta :
Kemenkes RI.
6. Manjoer, Arif, dkk. 2009. Kapita Selekta Edisi Ketiga Jilid Ketiga.Jakarta: Media
7. Manuaba, IBG. 2010 . Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
8. Mitayani.2009.Asuhan Keperawatan Maternitas.Jakarta:Medica
9. PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI
10. PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI
11. PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI
12. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
13. Prawirohardjo, S. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hlm. M-47 sd
M-58.
14. Price, Silvia A, 2009. Patofisiologi, volume 2, Jakarta: Buku kedokteran EGC
15. Sri wahyuningsih. 2019. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Post Partum . Sleman :
Deepublis Publisher.
16. Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka.
17. Walyani, E.S. 2015. Asuhan Kebidanan pada kehamilan. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.

131

S-ar putea să vă placă și