Sunteți pe pagina 1din 119

POTENSI ANTIOKSIDAN Caulerpa racemosa

DI PERAIRAN TELUK HURUN LAMPUNG

DIINI FITHRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Antioksidan Caulerpa


racemosa di Perairan Teluk Hurun Lampung adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Diini Fithriani
NIM C 252070424
ABSTRACT

DIINI FITHRIANI. Potency Antio xidant of Caulerpa racemosa in Hurun Bay ,


Lampung (under supervision YUSLI WARDIATNO as chairman, and JOKO
SANTOSO as member of the commitee)

Caulerpa racemosa is a green alga which mainly grows in tropical regions.


Caulerpa racemosa is found in coral reef area attributed to the coral substrate or
found in sand-rubble substrate. Caulerpa racemosa is edible, and in Indonesia are
traditionally utilized as fresh vegetable.
The purpose of this research are to investigate effect of location or waters
condition to antioxidant of Caulerpa racemosa and to investigate the content of
total phenol, antioxidant activity and peroxide value of Caulerpa racemosa by
various extracting solvent. Caulerpa racemosa collected from three location or
station in Hurun Gulf, Lampung.
The data was collected in April-July 2009. Caulerpa racemosa in station 1
and 2 live in rope media and Caulerpa racemosa in station 3 live in coral reef
ecosystem. Transect square method and visual observation was used to see
condition of Caulerpa racemosa,. Waters quality analyzed in situ and in
laboratory. Analysis data using univariate analysis and Pearson correlation.
Pearson correlation ana lysis show that nitrat has significant relevance to the
antioxidant activity.
All Caulerpa racemosa in three location in Hurun Bay, Lampung has
potency as antioxidant which the value of antioxidant activity and phenol content
was difference depend on waters condition. Statiun 2 has the highest antioxidant
activity which was significantly different with other statio n, this result estimated
because of high sunlight intencity, low nitrat content, Caulerpa racemosa health
condition and the existence of herbivore. Ethyl acetat extract in fresh form
seaweed that collected from station 1 had the highest content of total phenol
(3.2 %) which was significantly different with other extract at same station, and
and ethyl acetat extract in fresh form of seaweed had highest antioxidant activity
measured by reducting DPPH.

Key Words : antioxidant, Caulerpa racemosa, Hurun Bay


RINGKASAN

DIINI FITHRIANI. Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk


Hurun Lampung. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, dan JOKO
SANTOSO.

Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai substansi apapun


yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah jika dibandingkan dengan
substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat mencegah atau
menghambat oksidasi di dalam substrat tersebut. Caulerpa racemosa adalah satu
dari berbagai spesies rumput laut yang tumbuh secara alami di perairan Indonesia.
Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat koral atau pada pasir dan
pecahan karang. Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi
manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan sebagai sayuran
segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga nelayan atau
masyarakat pesisir.
Seperti tanaman lainnya, Caulerpa racemosa memproduksi metabolit primer
dan sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh tanaman
sebagai respon terhadap rangsangan dari luar. Salah satu jenis metabolit sekunder
adalah antioksidan. Tingkat produksi antioksidan sebagai metabolit sekunder
merupakan fungsi genetik, lingkungan, dan kesehatan tanaman. Kehadiran
senyawa antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, dan saat ini para
ahli pangan banyak melakukan penelitian untuk mencari antioksidan alami.
Penentuan kapasitas antioksidan pada Caulerpa racemosa dapat meningkatkan
nilai manfaat dari rumput laut ini. Namun hingga saat ini pengkajian antioksidan
pada rumput laut Caulerpa racemosa sangat terbatas. Karena itu penelitian
mengenai Caulerpa racemosa perlu dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antioksidan dari
Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun termasuk faktor–faktor yang
mempengaruhinya dan menguraikan karakteristik antioksidan melalui kondisi
sampel dan pelarut yang berbeda Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan dan kadar fenol ekstrak Caulerpa racemosa kering dengan
pelarut etil asetat di perairan Teluk Hurun berbeda-beda tergantung pada kondisi
lingkungan perairannya. Aktivitas antioksidan dan kadar fenol tertinggi dicapai
oleh ekstrak Caulerpa racemosa di stasiun 2 dengan nilai AEAC 23.68 mg
AAE/100 g, IC 50 12.64 mg/ml, persen penghambatan 46.43 % dan total fenol
12.6 %. Lebih tingginya aktivitas antioksidan di stasiun ini diduga dipengaruhi
oleh beberapa faktor. 1) lebih tingginya intensitas cahaya di daerah ini, dimana
hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara
aktivitas antioksidan dan intensitas cahaya dengan nilai r = 0.94. 2) Adanya
herbivora pemangsa yaitu penyu di daerah ini dimana keberadaan herbivora dapat
memicu terbentuknya antioksidan. 3) Kondisi fisik Caulerpa racemosa di stasiun
ini cukup baik dengan buah yang segar, banyaknya rangkaian buah (lebih dari 10)
pada satu frond dan panjang frond 8 cm sehingga dapat melakukan melakukan
mebolisme dengan baik dan menghasilkan antioksidan yang dibutuhkan untuk
melindungi dirinya. 4) Kadar nitrat yang terendah dibandingkan stasiun lainnya
dimana hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat korelasi negatif yang kuat
antara nitrat dan aktivitas antioksidan r = -0.72. Selain aktivitas antioksidan pada
penelitian ini juga diketahui bahwa lokasi juga berpengaruh terhadap total fenol
dimana hasil yang diperoleh seperti halnya aktivitas antioksidan menunjukkan
total fenol tertinggi terdapat di stasiun 2. Hasil evaluasi terhadap uji bilangan
peroksida menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa dari Teluk Hurun memiliki
kemampuan dalam penghambatan oksidasi lemak, yang ditunjukkan dengan lebih
rendahnya bilangan peroksida di ketiga stasiun dengan emulsi minyak tanpa
penambahan ekstrak. Dan hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara emulsi minyak dengan ekstrak dan tanpa ekstrak. Hal ini
mengindikasikan potensi Caulerpa racemosa sebagai antioksidan. Dari pengujian
terhadap sampel Caulerpa racemosa dengan kondisi yang berbeda (basah dan
kering) dan pelarut yang berbeda diketahui karakteristik antioksidan pada
Caulerpa racemosa antara lain adalah antioksidan pada Caulerpa racemosa
didominasi oleh antioksidan yang bersifat semi polar hal ini didukung oleh hasil
penelitian dimana ekstrak etil asetat mempunyai kandungan total fenol tertinggi
dibandingkan ekstrak metanol dan heksana dengan nilai 3.2 % pada sampel segar
dan 2.2 % pada sampel kering. Sedangkan pada Uji aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat pada sampel segar memiliki
aktivitas antioksidan terbaik. Perlakuan sampel yang terbaik untuk optimasi
antioksidan Caulerpa racemosa adalah dengan perlakuan segar dan ekstraksi
menggunakan pelarut etil asetat

Kata kunci : antioxidan, Caulerpa racemosa, Teluk Hurun


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POTENSI ANTIOKSIDAN Caulerpa racemosa
DI PERAIRAN TELUK HURUN LAMPUNG

DIINI FITHRIANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis : Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk


Hurun Lampung
Nama : Diini Fithriani
NIM : C 252070424

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 20 November 2009 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk Hurun Lampung.
Penyusunan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari, bahwa dalam tesis ini masih banyak kekurangan, yang
disebabkan masih terbatasnya ilmu maupun pengalaman yang dimiliki, oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan petunjuk dari berbagai pihak
agar dikemudian hari mampu menyusun karya-karya ilmiah yang lebih baik dan
sempurna.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
3. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah memberikan petunjuk serta pengarahan dalam penyusunan tesis ini.
4. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat bermanfaat.
5. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. yang telah berkenan menjadi dosen penguji.
6. Bapak dan Ibu pengajar di lingkungan Sekolah Pascasarjana Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
7. COREMAP II yang telah memberikan kesempatan belajar melalui program
beasiswa 2007.
8. Kepala Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Bapak Prof. Dr. Ir. Hari Eko
Irianto, Kepala Kelompok Peneliti Rekayasa Alat Bapak Dr. Ir. Bandol
Sediadi Bagus Utomo, MSc, Koordinator Rekayasa Alat Bapak Ir. Jamal
Basmal, MSc dan Bapak Ir. Abdul Sari, MSc, Kepala Bidang Tata
Operasional Dr. Ir. Singgih Wibowo, MSc atas dukungan dan ijin belajar
yang diberikan.
9. Senior dan rekan-rekan kerja di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
10. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung serta Saudara Windika
atas bantuannya dalam pengambilan sampel sehingga penelitian dapat
terlaksana.
11. Ayahanda dan Ibunda yang telah mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih
sayang dan kesabaran.
12. Yang tercinta Suami, Anak serta Adinda yang selalu tulus ikhlas
mendampingi penulis dalam suka maupun duka.
13. Teman-teman Sandwich yang telah banyak membantu penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya penulis mengucapkan semoga kebaikan yang telah diberikan untuk
kepentingan dalam menyusun tesis ini, mendapatkan amal shalih serta ridho dari
Allah SWT dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2009

Diini Fithriani
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Maret 1980 sebagai anak sulung
dari pasangan Djunaedi Abdul Rachim dan Neneng Muslimah.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Teknologi Pangan dan
Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2007,
penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan Pascasarjana
diperoleh dari COREMAP II, Asian Development Bank.
Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Besar Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan. sejak tahun 2004.
Pada tahun 2005 penulis menikah dengan Abdul Mukti dan dikarunia satu
orang anak yaitu Dafi Mubarak Athallah yang kini berusia 3 tahun.
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Ir. Sigid Hariyadi, M.S.c
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 5
2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6
2.1 Antioksidan ....................................................................................... 6
2.1.1 Definisi antioksidan ............................................................... 6
2.1.2 Mekanisme kerja antioksidan................................................. 7
2.1.3 Antioksidan alami bersumber dari tumbuhan ....................... 7
2.1.4 Antioksidan dalam rumput laut ............................................. 10
2.1.5 Metode pengukuran aktifitas antioksidan ............................ 12
2.2 Pengenalan Genus Caulerpa ............................................................ 13
2.3 Pengenalan Species Caulerpa racemosa ......................................... 14
2.3.1 Toleransi lingkungan Caulerpa racemosa ............................ 15
2.3.2 Sistem reproduksi Caulerpa racemosa ................................. 16
2.3.3 Mekanisme pertahanan Caulerpa racemosa ......................... 16
2.3.4 Kontrol alami ........................................................................ 17
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Antioksidan pada Tanaman .. 17
2.4.1 Faktor lingkungan dan genotif ............................................. 17
2.4.2 Faktor waktu pemanenan dan kematangan .......................... 17
2.4.3 Faktor pengolahan makanan dan metode produksi ................ 18
2.5 Ekstraksi ........................................................................................... 18
3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 20
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 20
3.2 Metoda Penelitian ............................................................................ 22
3.2.1 Pra penelitian ....................................................................... 22
3.2.2 Penelitian utama ................................................................... 22
3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ......................................... 31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 34
4.1 Parameter Habitat dan Kondisi Fisik Caulerpa racemosa .............. 34
4.1.1 Media tumbuh Caulerpa racemosa ..................................... 34
4.1.2 Hewan herbivora .................................................................. 39
4.1.3 Parameter fisik kimia perairan ............................................. 41
4.1.4 Kondisi fisik Caulerpa racemosa ........................................ 46

xi
xii

4.2 Properti Antioksidan Ekstrak Caulerpa Racemosa di Perairan


Teluk Hurun, Lampung .................................................................... 47
4.2.1 Total fenol ekstrak Caulerpa racemosa di perairan Teluk
Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ........................... 47
4.2.2 Aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa di perairan
Teluk Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ................ 49
4.2.3 Bilangan peroksida Caulerpa racemosa di perairan Teluk
Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ........................... 53
4.3 Kandungan Fenol, Aktivitas Antioksidan dan Bilangan Peroksida
Ekstrak Caulerpa Racemosa Dengan Pelarut Yang Berbeda .......... 54
4.3.1 Determinasi total fenol ekstrak Caulerpa racemosa ........... 55
4.3.2 Aktivitas antioksidan ekstrak Caulerpa racemosa
metode DPPH ....................................................................... 56
4.3.3 Bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa ................. 60
4.4 Alternatif Pengelolaan ..................................................................... 62
4.4.1 Ketersediaan Caulerpa racemosa ......................................... 62
4.4.2 Potensi antioksidan Caulerpa racemosa .............................. 63
4.4.3 Implementasi pengelolaan Caulerpa racemosa
berkelanjutan ......................................................................... 64
4.4.4 Pengelolaan terumbu karang dalam kaitannya dengan
optimasi antioksidan Caulerpa racemosa ............................. 66

5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 67


5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 67
5.2 Saran ............................................................................................... 69
6 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 70
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Lokasi penelitian di Teluk Hurun, Lampung .......................................... 20
2 Substrat tempat tumbuh Caulerpa racemosa .......................................... 37
3 Komposisi hewan herbivora di setiap stasiun ......................................... 41
4 Data kualitas air di Teluk Hurun 2003 .................................................... 45
5 Kondisi Caulerpa racemosa di ketiga stasiun ......................................... 48
6 Hubungan antara parameter fisik kimia perairan
dengan total fenol .................................................................................... 49
7 Hubungan antara parameter fisik kimia perairan
dengan persen penghambatan ................................................................. 53
8 IC 50 dengan metode DPPH ekstrak rumput laut Caulerpa
racemosa ................................................................................................. 59

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Caulerpa racemosa yang tumbuh pada substrat karang ........................ 8
2 Caulerpa racemosa var. Cylindracea : thallus yang berbeda ................ 8
3 Peta lokasi stasiun 1, 2 dan 3 di Teluk Hurun Lampung ....................... 21
4 Skema transek kuadrat dalam pengamatan kondisi
Caulerpa racemosa ................................................................................ 24
5 Skema pengambilan data parameter air ................................................. 25
6 Caulerpa racemosa di stasiun1 .............................................................. 35
7 Caulerpa racemosa di stasiun 2 ............................................................. 36
8 Caulerpa racemosa di stasiun 3 ............................................................. 36
9 Lamun berasosiasi dengan karang mati ................................................. 37
10 Karang yang rusak di stasiun 3 .............................................................. 39
11 Caulerpa racemosa ditengah komunitas lamun .................................... 40
12 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di
Teluk Hurun, Lampung .......................................................................... 42
13 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di tiga
lokasi di Teluk Hurun Lampung ........................................................... 43
14 Kandungan total fenol pada ketiga lokasi penelitian ............................ 48
15 Aktivitas antioksidan (AEAC) pada ketiga lokasi
dan aktivitas antioksidan (IC 50) pada ketiga lokasi ............................... 52
16 Persen penghambatan radikal bebas pada ketiga lokasi ........................ 52
17 Bilangan peroksida ektrak Caulerpa racemosa di tiga lokasi ............... 55
18 Kandungan fenol pada ekstrak Caulerpa racemosa .............................. 57
19 Grafik hubungan persiapan sampel dan perbedaan pelarut
terhadap aktifitas antioksidan (AEAC) dan persen penghambatan ...... 59
20 Bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa .................................. 63

xiv
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda atau mencegah oksidasi lemak atau molekul lain dengan menghambat
proses inisiasi atau propagasi reaksi rantai oksidatif (Rohman et al. 2006). Akhir-
akhir ini banyak penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, artritis,
diabetes dan liver yang disebabkan karena antioksidan di dalam tubuh tidak
mampu menetralisir peningkatan konsentrasi radikal bebas. Radikal bebas adalah
molekul yang pada orbit terluarnya mempunyai satu atau lebih elektron tidak
berpasangan, sifatnya sangat labil dan sangat reaktif sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada komponen sel seperti DNA, lipida, protein dan karbohidrat.
Kerusakan tersebut dapat menimbulkan berbagai kelainan biologis seperti
arterosklerosis, kanker, diabetes dan penyakit degeneratif lainnya (Chen et al.
1996). Peranan antioksidan sangat penting dalam menetralkan dan
menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan juga
merusak biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipoprotein di dalam tubuh yang
akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung,
artritis, katarak, diabetes dan hati (Silalahi 2002).
Saat ini, perhatian publik mengenai masalah kesehatan manusia yang
disebabkan oleh bahan tambahan membuat para ilmuwan pangan antusias dalam
mencari antioksidan alami dari berbagai sumber. Hingga saat ini ada satu
pemahaman bahwa antioksidan alami adalah senyawa fenolik yang terdapat pada
seluruh bagian tanaman. Antioksidan dari senyawa fenolik yang bersumber dari
tanaman meliputi senyawa flavonoid, asam cinamat, kumarin, tokoferol,
kerotenoid, dan asam polifungsional organik (Shahidi dan Wanasundara 1992).
Caulerpa racemosa adalah salah satu rumput laut hijau yang tumbuh secara
alami di perairan Indonesia. Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat
koral atau pada substrat pasir-pecahan karang. Caulerpa racemosa bersifat edible
atau dapat dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah
dimanfaatkan sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih
terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir. Hal ini sangat berbeda
2

dengan kondisi di negara lain seperti Jepang, Fiji, Filipina atau Thailand. Di
Thailand, Caulerpa racemosa sudah umum ditemukan di Pasar Phuket, dimana
10-20 kg terjual setiap harinya, untuk digunakan sebagai saus pedas. Di Fiji atau
Pulau Pasifik lainnya Caulerpa racemosa juga sudah dijual secara luas di pasar-
pasar untuk dimanfaatkan sebagai sayuran segar. Di Jepang Caulerpa racemosa
diekspor dari Cebu, Filipina dengan harga yang tinggi. Selain sebagai bahan
pangan Caulerpa racemosa dapat digunakan sebagai pakan ternak dan obat untuk
menurunkan tekanan darah tinggi dan obat reumatik (Novaczek 2001 in Chew et
al. 2008).
Seperti jenis tanaman lainnya Caulerpa racemosa memproduksi metabolit
primer dan metabolit sekunder. Menurut Brandt dan Molgaard (2001) metabolit
sekunder adalah berbagai grup alami yang memproduksi senyawa kimiawi, yang
tidak secara nyata memiliki fungsi primer di dalam pertumbuhan sel tanaman.
Metabolit sekunder disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap rangsangan
dari luar dan seringkali memerankan fungsi pengaturan didalam aliran reaksi
fisiologis dan reaksi metabolik terhadap stres, serangan hama atau pengganggu.
Menurut Benbrook (2005) ada hubungan antara tingkat stres tanaman dan
produksi metabolit sekunder, termasuk polifenol dan antioksidan. Ada substansi
yang disetujui oleh ahli fatologi, fisiologi dan entomologi bahwa :
a. Secara relatif lebih banyak antioksidan sebagai metabolit sekunder yang
diproduksi oleh tanaman sebagai respon terhadap tekanan atau stres biotik dan
abiotik.
b. Tingkat produksi antioksidan sebagai metabolit sekunder merupakan fungsi
genetik, metode bertani atau lingkungan dan kesehatan tanaman.
Salah satu hal yang penting dari metabolit sekunder adalah banyak
metabolit sekunder merupakan antioksidan (Benbrook 2005). Pada dekade
terakhir, banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa rumput laut merupakan
sumber yang kaya senyawa antioksidan (Lim et al. 2002; Kuda et al. 2005; Duan
et al. 2006 in Ganesan et al. 2008). Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa
keberadaan antioksidan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Antioksidan
pada bayam dipengaruhi oleh musim tumbuhnya (Howard 2002 in Moore et al.
3

2006) dan antioksidan pada Hypericum brasiliense dipengaruhi oleh suhu,


tekanan air, dan intensitas cahaya (Abreu, 2005 in Moore et al. 2006).
Caulerpa racemosa merupakan salah satu sumberdaya perairan yang
terdapat di Indonesia yang keberadaannya belum dimanfaatkan secara optimal,
padahal menurut Santoso et al. (2002) Caulerpa racemosa dari Indonesia
memiliki kandungan serat makanan tak larut yang lebih tinggi dibandingkan
Caulerpa racemosa dari Jepang.
Disamping itu Caulerpa racemosa memiliki kemampuan menghasilkan
metabolit sekunder yang berpotensi sebagai sumber antioksidan. Sifat Caulerpa
racemosa yang aman dikonsumsi dan telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan
(sayuran) oleh sebagian masyarakat pesisir memungkinkan rumput laut ini untuk
dieksplorasi sebagai sumber antioksidan alami. Penentuan aktivitas antioksidan
pada Caulerpa racemosa dapat meningkatkan nilai manfaat dari rumput laut ini.
Namun hingga saat ini pengkajian antioksidan pada rumput laut Caulerpa
racemosa sangat terbatas. Karena itu dalam penelitian ini karakteristik Caulerpa
racemosa dan pengaruh lingkungan perairan terhadap antioksidan Caulerpa
racemosa akan dipelajari. Dimana pada penelitian ini, Caulerpa racemosa yang
dipelajari berasal dari Teluk Hurun Lampung.

1.2 Perumusan Masalah


Caulerpa racemosa adalah rumput laut hijau yang ditemukan terutama di
daerah tropis dan ada sebagian yang juga ditemukan di daerah subtropis.
Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada daerah terumbu karang, menempel
pada substrat karang, atau pasir-ruble. Caulerpa racemosa bersifat edible atau
dapat dikonsumsi yaitu sebagai sayuran segar atau lalap. Meskipun Caulerpa
racemosa bersifat edible dan terdapat di perairan Indonesia, konsumen Caulerpa
racemosa masih terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir.
Terbatasnya konsumen Caulerpa racemosa di Indonesia mungkin dapat
disebabkan karena kurangnya informasi mengenai Caulerpa racemosa. Padahal
Caulerpa racemosa dari Indonesia memiliki kandungan serat makanan tak larut
yang lebih tinggi dibandingkan Caulerpa racemosa dari Jepang (Santoso et al.
2002). Serat makanan tidak larut mengandung selulosa dan hemiselulosa yang
4

memerankan peran penting dalam mencegah konstipasi, colitis dan haemmorhoid.


Disamping itu Caulerpa racemosa juga dapat menghasilkan metabolit sekunder
termasuk antioksidan. Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia,
antioksidan dapat menghambat atau mencegah kerusakan oksidatif yang terjadi
pada tubuh manusia. Pada tanaman darat diketahui bahwa antioksidan adalah
bagian dari metabolit sekunder yang keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik faktor biotik maupun abiotik. Antioksidan ini umumnya terbentuk
sebagai respon terhadap tekanan lingkungan. Selain oleh lingkungan retensi
antioksidan dalam bahan pangan juga dipengaruhi oleh proses pengolahannya.
Teluk Hurun berada di wilayah pantai barat Teluk Lampung, Sumatera
Selatan. Teluk Hurun merupakan perairan semi tertutup dimana dua buah sungai
mengalir ke perairan ini. Di perairan ini terdapat aktivitas marikultur diantaranya
budidaya kerang mutiara, rumput laut, budidaya kerapu dan ikan lainnya dengan
jaring terapung baik milik perusahaan swasta, masyarakat maupun instansi riset
milik pemerintah. Secara umum perairan ini mendapat tekanan ekologis akibat
pemanfaatan yang semakin meningkat, dan fungsi perairan itu sendiri sebagai
tempat rekreasi dan sarana transportasi. Di Teluk Hurun Caulerpa racemosa
tumbuh secara alami namun tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Keberadaan antioksidan dapat menjadi nilai tambah bagi Caulerpa
racemosa. Terutama pada zaman sekarang ini dimana para ilmuwan menaruh
perhatian besar terhadap antioksidan alami untuk alasan kesehatan. Namun hingga
saat ini penelitian mengenai kandungan antioksidan terutama pada tanaman laut
masih terbatas pada karakteristik antioksidannya, dan penelitian mengenai
hubungan antioksidan dan faktor lingkungan belum banyak dikaji, meskipun pada
tanaman darat diketahui terdapat hubungan yang erat antara antioksidan dan
lingkungan. Hingga saat ini penelitian mengenai Caulerpa racemosa masih
terbatas, padahal rumput laut ini jelas dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan. Penelitian masih didominasi oleh rumput laut yang memiliki kandungan
fikokoloid seperti cotonii atau sargassum. Berdasarkan hal tersebut diatas
diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa pada perairan Teluk
Hurun yang mengalami tekanan ekologis dari manusia.
5

b. Apakah lingkungan perairan mempengaruhi aktivitas antioksidan Caulerpa


racemosa.
c. Bagaimana karakteristik antioksidan Caulerpa racemosa.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari aktivitas antioksidan dari Caulerpa racemosa di perairan Teluk
Hurun termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Mengkarakterisasi antioksidan melalui kondisi sampel segar dan kering dan
ekstraksi dalam pelarut polar (metanol), semipolar (etil asetat), dan nonpolar
(heksana) dalam penelitian ini penentuan kandungan total fenol dan bilangan
peroksida juga dilakukan.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Mengetahui kondisi antioksidan dari Caulerpa racemosa di perairan Teluk
Hurun dan faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Mengetahui karakteristik antioksidan Caulerpa racemosa.
3. Menjadi dasar pertimbangan dalam pengelolaan Caulerpa racemosa.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antioksidan
2.1.1 Definisi antioksidan
Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai substansi apapun
yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah jika dibandingkan dengan
substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat mencegah atau
menghambat oksidasi didalam substrat tersebut (Halliwell dan Gutteridge 1990).
Dalam kata lain antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat oksidasi
dari molekul lain dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi oksidasi rantai
reaksi.
Penelitian menunjukkan bahwa radikal bebas pada manusia dapat
menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap molekul lain seperti lemak, protein,
dan asam nukleat yang merupakan bagian dari fase inisiasi beberapa penyakit
degenaratif. Menyikapi hal tersebut peranan antioksidan menyita banyak
perhatian sebagai kandidat yang dapat menghambat penyakit tertentu dan
mencegah proses penuaan (Slater 1991 in Yee et al. 2007).
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan
dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetis (antioksidan yang diperoleh
dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi
bahan alami)
Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992).

2.1.2 Mekanisme kerja antioksidan


Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom
7

hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk
lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan
lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme
diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal
lipida ke bentuk lebih stabil (Shoaib 2008).
Antioksidan dapat memainkan peran dalam anti oksidasi sebagai
penghambat radikal bebas, agen penghambat, pengkelat, dan atau penghambat
singlet oksigen. Berbagai antioksidan sintetis telah terdaftar, tetapi hanya
beberapa yang diijinkan oleh undang-undang sebagai bahan tambahan makanan
karena adanya efek toksik dan efek lainnya. Beberapa jenis antioksidan sintetis
yang diizinkan sebagai bahan tambahan makanan adalah butylated hydroxy
anisole (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT), pueraria glycoside (PG) dan
tertiary butylatedhydroquinone (TBHQ) (Yuan 2006). Antioksidasi dapat
ditunjukkan dengan rantai reaksi berikut :
R -H R. + H.
R. + O=O ROO.
ROO. + R-H ROOH+R.
R.+R. R-R
Ada dua cara rantai reaksi ini diinisiasi, yang pertama dengan penambahan
reagen yang dapat memperlambat pembentukan radikal bebas dan yang kedua
adalah dengan penambahan antioksidan sebagai penerima radikal bebas (Shoaib
2008).

2.1.3 Antioksidan alami bersumber dari tumbuhan


Metabolit sekunder pada tanaman, termasuk enzim dan protein, diproduksi
oleh tanaman untuk mengatur fisiologi dan pola pertumbuhan (Daniel et al. 1999
in Benbrook 2005). Beberapa metabolit sekunder membantu tanaman mengatasi
kondisi lingkungan yang ekstrim, mencegah serangan serangga, atau merespon
terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hewan pengganggu atau penyakit.
Beberapa metabolit sekunder berperan dalam penyembuhan daun yang luka atau
jaringan buah yang rusak melalui pembentukan pigmen. Ada lebih dari 50.000
8

metabolit sekunder tanaman, dan sekitar 4.000 metabolit sekunder tanaman


merupakan flavonoid, dimana diantaranya adalah antioksidan (Daniel et al. 1999
in Benbrook 2005).
Tanaman memiliki antioksidan sebagai sistem pertahanan yang membantu
penyembuhan penyakit tanaman. Sejumlah antioksidan tanaman menghasilkan
warna yang kaya dan rasa pada buah dan sayuran tertentu di beberapa daerah.
Setelah pemanenan dan selama penyimpanan, buah dan sayuran dengan tingkat
antioksidan yang tinggi cenderung dapat memperlambat serangan infeksi setelah
pemanenan. Antioksidan pada tanaman dapat membantu memperpanjang umur
simpan dan resiko terkena mycotoxin (Daniel et al. 1999 in Benbrook 2005).
Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang
diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan,
Angiosperm memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah
ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan
manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat
dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami
tersebar dibeberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun,
buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt 1992).
Antioksidan alami dan sintesis dapat menghalangi atau menunda proses
oksidasi lemak. Antioksidan mengacu pada berbagai substansi yang hadir dengan
konsentrasi lemah didalam bahan pangan dan dapat secara signifikan mencegah
oksidasi yang dilakukan oleh prooksidan. Prooksidan dapat dikatakan sebagai
sinonim dari spesies oksigen reaktif, yang mengacu kepada berbagai substansi
yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah dalam makanan dapat
menyebabkan atau mempromosikan reaksi oksidatif (Yuan 2006).
Saat ini, perhatian publik mengenai masalah kesehatan manusia yang
disebabkan oleh bahan tambahan membuat para ilmuwan pangan antusias dalam
mencari antioksidan alami dari berbagai sumber. Hingga saat ini ada satu
pemahaman bahwa antioksidan alami adalah senyawa fenolik yang terdapat pada
seluruh bagian tanaman. Antioksidan dari senyawa fenolik yang bersumber dari
tanaman meliputi senyawa flavonoid, asam cinamat, kumarin, tokoferol,
kerotenoid dan asam polifungsional organik (Shahidi dan Wanasundara 1992).
9

Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat


beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam,
(d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Pratt dan Hudson 1990).
Tokoferol sebagai senyawa monofenolik sudah digunakan untuk industri
pangan dalam beberapa dekade. Penggunaan tokoferol berdasarkan pada
kemampuannya dalam mencegah oksidasi dari asam lemak bebas pada makanan
yang mengandung lemak atau minyak (Khan dan Shahidi 2001). Tokoferol adalah
antioksidan fenolik yang secara alami terkandung dalam minyak nabati yang
berfungsi untuk menjaga kualitas minyak dengan melakukan terminasi terhadap
radikal bebas (Evans 2002).
Flavonoid adalah senyawa yang terdapat secara luas di alam dan
dikategorikan menurut struktur kimia kedalam flavonols, flavon, flavonon,
isoflavon, katekin, antosianin dan kalkon (Buhler 2002). Sekitar 2 % dari seluruh
karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa
yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu
golongan fenol alam terbesar. Lebih dari 4.000 flavonoid telah teridentifikasi,
sebagian terkandung pada buah, sayur dan minuman (teh, kopi, bir, anggur dan
minuman sari buah) (Heim et al. 2002).
Flavonoid saat ini menjadi fokus perhatian karena potensinya yang
menguntungkan terhadap kesehatan dan flavonoid dilaporkan mengandung anti
virus, anti alergi, anti platelet, anti inflamasi, anti tumor dan aktivitas antioksidan
(Heim et al. 2002). Menurut Pratt dan Hudson (1990) kebanyakan dari golongan
flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat
antioksidan baik dalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.
Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur
molekulnya. Posisi grup hidroksil dan grup lain dalam struktur kimia flavonoid
sangat penting untuk mencegah radikal bebas. Golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol,
quercetin dan kalkon. Quercetin, flavonols yang jumlahnya terbanyak dalam
makanan adalah antioksidan yang potensial karena memiliki bentuk struktur yang
benar sebagai penghambat aktivitas radikal bebas (Buhler 2002).
10

Asam askorbat adalah antioksidan karena bentuk radikal semi hidro askorbat
dari asam askorbat dan radikal bebas jauh kurang reaktif dibandingkan dengan
pembasmi radikal oleh askorbat (Baskin 1997).
Karotenoid dikategorikan sebagai senyawa alami yang larut lemak yang
tersebar luas di seluruh bagian tanaman. Karotenoid umumnya berlokasi didalam
sistem membran dari sel dimana salah satu fungsi utama dari senyawa tersebut
bersangkutan dengan fotosintesis dan bertanggung jawab terhadap warna merah,
orange, dan kuning pada daun, buah dan bunga (Delgado-Vargas et al. 2000
dalam Yuan 2006). Karotenoid juga ditemukan dalam alga, bakteri fotosintesis,
bakteri non fotosintesis, jamur, dan ragi (Delgado-Vargas et al. 2000 in Yuan
2006).

2.1.4 Antioksidan dalam rumput laut


Berbagai penelitian melaporkan mengenai kemampuan antioksidan rumput
laut dan ekstrak rumput laut (Yan et al. 1999; Duval et al. 2000; Ruperez et al.
2002; Heo et al. 2005; Yuan 2006 in Je et al. 2009; Chandini et al. 2008).
Berbagai ekstrak dengan pelarut berbeda dari Kapaphycus alvarezii
menunjukkan kemampuan penghambatan yang baik pada analisis DPPH,
kekuatan penghambatan, pengkelatan ion besi dan properti antioksidan dalam
sistem asam linoleat (Kumar 2008).
Benzoylated dan acetylated turunan fukoidan dari Laminaria japonica
memiliki aktivitas antioksidan (Wang 2009). Polisakarida terlarut dari Turbinaria
conoides dapat menjadi antioksidan yang baik. Aktivitas antioksidan polisakarida
Turbinaria berdasarkan pada aktivitas donor proton yang dimilikinya
(Chattopadhyay 2009).
Penambahan tiga rumput laut yang umum dikonsumsi yaitu Wakame
(Undaria pinnatifida), Nori (Porphyra umbilicalis) dan Spaghetti laut
(Himanthalia elongata) yang ditambahkan pada sampel daging dengan senyawa
polifenol terlarut mampu menambah kapasitas antioksidan dalam sistem. Pada
sampel yang mengandung Spaghetti laut (Himanthalia elongata) memiliki
kandungan polifenol dan antioksidan tertinggi dibandingkan dengan kedua sampel
lainnya (p < 0.05) (Lopez 2009).
11

Aktivitas antioksidan invitro dari tiga rumput laut merah terpilih yaitu
Eucheuma cotonii, Gracilaria edulis dan Acanthophora spicifera telah dievaluasi.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rumput laut atau makro alga laut
dapat digunakan sebagai antioksidan alami (Ganesan 2008). Aktivitas antioksidan
dari polisakarida alami dari alga hijau Ulva pertusa telah dievaluasi secara
invitro, meliputi aktivitas penghambatan terhadap super oksida dan radikal
hidroksil, kekuatan penghambatan, kemampuan pengkelatan. Hasil analisis
menunjukkan tingginya aktivitas penghambatan terhadap radikal hidroksil dan
kemampuan pengkelatan (Qi et al. 2006).
Penambahan Ulva segar dan Ulva yang diproses terhadap hamsters yang
mengalami atherosklerotis, efektif dalam menurunkan stress oksidatif dengan
meningkatkan aktivitas enzim seperti SOD dan GSHPx, terbatasnya peroksidasi
lemak dan produksi anion superoksida (Godard 2009). Kandungan total fenol,
aktivitas antioksidan, aktivitas antioksidan dan aktivitas antibakteri Ecklonia
stolorifera dan Ecklonia kurome cukup tinggi, dimana setiap properti bervariasi
tergantung pada proses pengolahannya (Kuda 2007).
Polisakarida sulfat larut air panas dari rumput laut berfungsi sebagai
penghambat radikal bebas dan sebagai antioksidan, properti ini sangat penting
dalam mencegah radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan yang
berkontribusi terhadap karsinogenesis (Kwon 2007). Astaxanthin dalam rumput
laut memiliki kemampuan penghambatan melawan paparan ultra violet dan juga
memiliki efek penghambatan melawan pembentukan radikal bebas yang
disebabkan karena efek foto-oxidatif yang disebabkan karena tingginya tingkat
radiasi ultra violet pada sinar matahari. Hawkins (2003) dan Stahl et al. (2000)
dalam Munifah (2007) telah mempelajari efek perlindungan dari astaxanthin, β-
caroten dan retinol melawan efek foto-oxidatif yang disebabkan karena paparan
ultra violet. Hasil penelitian ini membuktikan fakta bahwa astaxanthin sangat
efektif untuk mengurangi kerusakan kulit karena pembentukan senyawa
polyamine.
Organisme laut yang diketahui merupakan sumber astaxanthin yang kaya
adalah rumput laut hijau Haematococcus pluvialis yang juga mengandung
beberapa senyawa bioaktif berupa karoten seperti lutein, likopen dan β-karoten.
12

Kehadiran astaxanthin dalam makro-alga terbentuk sebagai ester dari beberapa


asam lemak, yang memiliki pengaruh signifikan sebagai prekursor untuk
pembentukan karoten yang seringkali terdeteksi sebagai senyawa karoten minor
(terdeteksi sebagai senyawa echinenone atau senyawa cathaxanthin) (Delia 2001
in Munifah 2007).

2.1.5 Metode pengukuran aktivitas antioksidan


Aktivitas antioksidan dapat dievaluasi dengan cara menentukan proteksi
antioksidan terhadap oksidasi lemak atau minyak, dengan kata lain sejauh mana
daya tahan minyak atau lemak tersebut terhadap proses oksidasi. Oksidasi lipid
dipengaruhi oleh suhu, cahaya, oksigen dan adanya ion logam (Tensika 2001).
Penentuan aktivitas antioksidan bisa pada tahap oksidasi yang berbeda, yaitu
tahap awal oksidasi menghasilkan produk primer seperti bilangan peroksida (PV),
diene terkonyugasi. Semua antioksidan alami memiliki fungsi yang berbeda-beda
dalam bahan makanan yang kompleks dan bermacam-macam, dimana
aktivitasnya tidak dapat diuji hanya berdasarkan satu metode saja. Banyak metode
analisis menghasilkan hasil yang tidak konsisten, yang disebabkan karena ketidak
cocokan aplikasi dan spesifikasi kapasitas antioksidan (Prior 2005 in Oufnac
2006).
Analisis DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan salah satu
metode dalam menganalisis aktivitas antioksidan. Molekul 1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazyl dikarakteristik sebagai radikal bebas yang stabil karena ada
dekolisasi elektron cadangan melewati seluruh molekul. Delokalisasi juga
menghasilkan warna ungu yang kuat dikarakterisasi oleh pita absorspsi dalam
larutan etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).
DPPH adalah radikal bebas yang stabil dan menerima elektron dan radikal
hidrogen menjadi molekul diamagnetic stabil (Siddaraju dan Dharmesh 2007 in
Ghimeray 2009). Elektron ganjil pada radikal bebas DPPH menghasilkan
penyerapan kuat maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu.
Warna ungu berubah menjadi kuning ketika elektron ganjil radikal DPPH menjadi
berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan penangkal radikal bebas untuk
membentuk DPPH-H (Prakash 2001). Efek dari senyawa fenolik pada
13

penghambatan radikal DPPH disebabkan karena kemampuannya mendonorkan


hidrogen.

2.2 Pengenalan Genus Caulerpa


Caulerpa adalah salah satu genus alga yang dapat diidentifikasi berdasarkan
bentuk pertumbuhan dan morfologinya (Silva 2002). Semua spesies dan
subspesies Caulerpa hidup di laut, tetapi ada juga yang dapat hidup di laguna
(Silva 2003). Laporan mengenai jumlah spesies Caulerpa bervariasi antara 70
(Meinesz 2002) hingga 100 (Dumay et al. 2002).
Anggota famili Caulerpaceae bersifat invasive (Davis et al. 1997). Beberapa
spesies Caulerpa memiliki bentuk morfologi dan fisiologi yang dapat beradaptasi
dengan lingkungan yang berbeda. Spesies Caulerpa yang bersifat endemis pada
habitat laguna, cenderung memiliki jarak rhizoma antar assimilator yang lebih
panjang, sementara itu Caulerpa yang tumbuh pada ekosistem terumbu karang
dengan energi gelombang yang tinggi, cenderung memperlihatkan bentuk yang
rapi dan tersusun rapat. Caulerpa racemosa dan Caulerpa cupressoides, yang
hidup pada lingkungan dengan intensitas cahaya yang tinggi memiliki kandungan
klorofil yang lebih rendah, dibandingan spesies seperti Caulerpa verticillata yang
beradaptasi untuk tumbuh rapat dengan alga lain atau rumput laut lain (Collado
1999). Beberapa karakteristik biologi spesies Caulerpa meliputi :
1. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi
Jumlah meristem stolon Caulerpa taxifolia yang tumbuh di Pelabuhan
Hutingon, California adalah 555 + 182 per meter persegi. Tingginya kepadatan
meristem ini menunjukkan kemampuan untuk berproliferasi melintasi sedimen
dan melewati organisme lain (Williams 2002).
2. Kemampuan membelah diri
Implikasi ekologi dari reproduksi membelah diri adalah adanya gangguan
seperti badai atau pemangsaan oleh hewan herbivora dapat menghasilkan
fragmen-fragmen yang dapat menyebar dan menjadi Caulerpa yang baru (Smith
1999). Kemampuan spesies untuk membelah diri dapat menjadi keuntungan
dalam berkompetisi dengan makhluk hidup multiselluler yang bereproduksi
secara seksual (Vroom 2001). Kesuksesan penyebaran melalui fragmentasi
14

tampaknya menjadi faktor kritis bagi spesies Caulerpa untuk mengkolonisasi


area yang baru (Smith 1999).
3. Kemampuan mengambil nutrient dari sedimen
Tidak seperti kebanyakan makroalga, yang menempel pada sedimen dan
mengambil nutrient dari kolom air, spesies dari genus Caulerpa memiliki rhizoid
yang dapat masuk ke dalam sedimen dan mengambil nutrient dari sedimen.
Rhizoid dari Caulerpa taxifolia yang menyerupai akar dari tanaman berpembuluh
dapat secara langsung mengikat karbon, nitrogen, dan fosfor dari subrat
(Chisholm et al. 1996). Kemampuan mengakses nutrient dari substrat membuat
Caulerpa menjadi kompetitor unggulan di lingkungan yang miskin nutrient
(Williams 1984).
4. Kemampuan mentoleransi temperatur air yang rendah
Spesies Caulerpa adalah salah satu alga yang dapat menyebar luas baik di
perairan tropis ataupun subtropis (Silva 2003). Kemampuan spesies Caulerpa
untuk bertahan pada temperatur yang relatif rendah menyebabkan spesies ini
dapat mengeksploitasi tempat hidup yang baru jika mereka diintroduksi.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 12 dari 14
spesies Caulerpa yang biasa tersedia untuk diperdagangkan di California Selatan
memiliki distribusi alami yang luas hingga ke perairan tropis (Frish 2003).
5. Sedikitnya konsumen
Vetebrata dan invetebrata di daerah subtropis ditemukan mudah sekali
terkena senyawa toksik dari Caulerpa (caulerpenyne) dan tidak dapat memangsa
Caulerpa (Paul 1986).

2.3 Pengenalan Spesies Caulerpa racemosa


Caulerpa racemosa (Caulerpales, Chlorophyta) (Gambar 1 dan 2) secara
luas terdistribusi di daerah tropis hingga subtropis (Verlaque 2003). Analisis
genetik menunjukkan tidak seperti Caulerpa taxifolia, yang hampir semua berasal
dari satu sumber, populasi Caulerpa racemosa di Laut Mediterania menunjukkan
variasi genetik (Fama et al. 2000).
15

Gambar 1 Caulerpa racemosa yang tumbuh pada substrat karang.

Keterangan : F= frond (frond primer) ; FR= cabang frond (frond sekunder) ; B= branclets
(juga dinamakan ramuli) ; S = stolon ; RP= rhizoidal pillars (percabangan stolon
berbentuk kerucut memiliki sejumlah rhizoid yang tipis); R=rhizoid

Gambar 2 Caulerpa racemosa var. Cylindracea : thallus yang berbeda


(Capiomont 2005).

2.3.1 Toleransi lingkungan Caulerpa racemosa


Caulerpa racemosa ditemukan pada kedalaman 47 meter dengan jarak
penglihatan 27 meter dan temperatur 19 oC di pantai Florida Selatan. Adaptasi
fisiologi dicatat pada Caulerpa racemosa, ketika diperbandingkan dengan sampel
yang ditemukan pada kedalaman 37 meter, yang mana menunjukkan kemampuan
mentoleransi tingkat cahaya yang lebih rendah pada daerah yang lebih dalam
(Riechert 1986).
16

Pertumbuhan Caulerpa racemosa menunjukkan peningkatan ketika


kepadatan meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih rendah dibandingkan
Caulerpa taxifolia (Piazzi 2002). Bagaimanapun, pada penelitian kompetisi
menunjukkan ketika Caulerpa racemosa dan Caulerpa taxifolia hadir bersama-
sama, Caulerpa racemosa akan menjadi spesies yang lebih unggul (Piazi 2002).
Dalam kondisi di laboratorium, Caulerpa racemosa berhenti tumbuh ketika
salinitas turun hingga 20 ppt, tetapi tidak mati hingga dua puluh hari. Caulerpa
racemosa dapat bertahan sebentar ketika terkena paparan salinitas yang lebih
rendah dari 20 ppt (Carruterss et al. 1993).

2.3.2 Sistem reproduksi Caulerpa racemosa


Caulerpa racemosa diketahui bereproduksi secara seksual maupun aseksual
dengan fragmentasi acak (Renocourt 2002). Caulerpa racemosa dapat menyebar
melalui fragmentasi (Smith dan Walters 1999 ; Ceccherelli 2001 in Capiomont
2005). Caulerpa racemosa juga diketahui memproduksi propagula vegetatif yang
dapat menjelaskan menghilangnya hamparan Caulerpa racemosa selama musim
dingin dan kehadirannya pada akhir musim semi (Renocourt 2002 in Capiomont
2005).
Penelitian menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa tidak berkompetisi
dengan Caulerpa taxifolia dan kehadiran Caulerpa taxifolia dapat memfasilitasi
penyebaran Caulerpa racemosa (Ceccherelli 2002). Pada lingkungan yang sama
Caulerpa racemosa memiliki kecepatan penyebaran yang lebih tinggi
dibandingkan Caulerpa taxifolia yang mengindikasikan tingginya potensi
penyebaran dari Caulerpa racemosa (Piazzi et al. 2001).

2.3.3 Mekanisme pertahanan Caulerpa racemosa


Beberapa spesimen Caulerpa racemosa ditemukan mengandung senyawa
pertahanan yang dikenal sebagai caulerpenyne (Cimino 1998 in CWG 2005). Di
Teluk Discovery, Jamaika penelitian menemukan bahwa Caulerpa racemosa
dapat bertahan terhadap pemangsaan ikan karang seperti parrot fish (Scaridae),
tetapi tidak dapat bertahan terhadap pemangsaan bulu babi (Diadema antillarum)
(Morrison 1988 in CWG 2005).
17

2.3.4 Kontrol alami


Sacoglossan mollusk (Lobiger serradifalci) diketahui memangsa Caulerpa
racemosa di pesisir California (Cimino 1998 in CWG 2005). Siput laut Lobiger
serradifalci, memodifikasi senyawa pertahanan dari Caulerpa racemosa menjadi
metabolit oxytocin -1 dan oxytocin-2 yang digunakannya sendiri untuk bertahan
dari pemangsaan (Cimino dan Ghiselin 1998 in CWG 2005). Ikan herbivora di
Mediterrania Boops boops dan Sarpa salpa, melakukan pemangsaan terhadap
Caulerpa racemosa pada akhir musim panas dan awal musim gugur (Ruiton
2006).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Antioksidan pada Tanaman


2.4.1 Faktor lingkungan dan genotif
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi polifenol dan antioksidan
yang diproduksi oleh tanaman. Faktor-faktor ini meliputi tipe tanah dan
komposisi kimia, ketersediaan nitrogen dan tingkat nutrisi pada tanaman, tingkat
kelembaban, temperatur dan tekanan herbivora. Secara umum faktor yang dapat
mendorong stres pada tanaman cenderung mendorong terbentuknya mekanisme
defensif dan mekanisme ini digerakan oleh pembentukan antioksidan (Benbrook
2005).
Terdapat variasi yang sangat berarti dalam tingkat metabolit sekunder
seperti polifenol yang diproduksi oleh tanaman pada kondisi yang berbeda atau
waktu yang berbeda (Benbrook 2005). Belum ada data yang komprehensif, yang
dapat memisahkan efek genotif dan lingkungan dan kuantifikasi kontribusi dari
masing-masing faktor terhadap variasi antioksidan properti (Moore 2006).

2.4.2 Faktor waktu pemanenan dan kematangan


Penelitian terhadap tiga kultivar cabai, menunjukkan bahwa kandungan
polifenol meningkat sejalan dengan kematangan dan cabai mengandung tingkat
vitamin C diatas Recommended Dietary Allowance berdasarkan tipe penyajian
(Howard et al. 2000).
Kandungan fenolik bervariasi antar kultivar dan perubahan bersifat relatif
satu sama lain sebagai fungsi kematangan. Pada penelitian lain flavonoid pada 23
18

cabai diteliti berdasarkan empat tingkat kematangan. Cabai hijau yang belum
matang memiliki kandungan fenol yang tinggi, sementara itu cabai merah yang
belum matang, dan sudah matang memiliki kandungan fenol empat sampai lima
kali lebih rendah. Asam askorbat adalah antioksidan yang dominan dan
konsentrasinya meningkat sejalan dengan kematangan (Marin et al. 2004).

2.4.3 Faktor pengolahan makanan dan metode produksi


Bagaimana makanan diproses, dicampur dengan makanan lain, dimasak,
diawetkan dan disiapkan untuk penyajian akhir dapat secara dramatis
mempengaruhi tingkat antioksidan dan polifenol. Dengan kata lain,
meningkatkan retensi antioksidan dalam makanan ketika mereka diproses dan
disiapkan dapat meningkatkan potensi yang besar meningkatkan masukan
antioksidan, terutama apabila konsumen memiliki perhatian dan mau membayar
lebih untuk suatu pola yang membuat retensi antioksidan menjadi prioritas pada
pengolahan makanan dan industri pengolahan.
Antioksidan larut air cenderung menurun ketika jus buah atau makanan
olahan diperlakukan dengan air, baik itu dengan cara stem, blanching, atau proses
panas yang termasuk pasteurisasi. Teknik pengolahan tanpa panas atau metode
yang menggunakan temperatur yang rendah harus dipelajari lebih lanjut untuk
dapat lebih detail menentukan tingkat antioksidan yang ingin dijaga pada
makanan segar karena pengolahan (Benbrook 2005).

2.5 Ekstraksi
Senyawa antioksidan dapat berupa senyawa larut air, larut lemak, tidak larut
air dan lemak atau menempel pada dinding sel. Karena itu efisiensi ekstraksi
adalah sangat penting dalam mengkuantifikasi aktivitas antioksidan dalam
makanan. Ekstraksi adalah proses pemisahan dari satu atau banyak material baik
solid maupun tidak solid dengan bantuan pelarut. Ada dua macam tipe ekstraksi
yaitu ekstraksi liquid-liquid dan ekstraksi solid liquid. Pada ekstraksi liquid-
liquid, komponen liquid diekstrak kedalam liquid lain. Pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi umumnya adalah larutan yang dapat melarutkan padatan, larutan,
atau substansi gas, yang menghasilkan pembentukan larutan baru (Prakash 2001).
19

Pelarut digunakan untuk mengekstrak senyawa terlarut dari campuran.


Ketika pelarut melarutkan senyawa, hal ini akan membentuk berbagai variasi
interaksi kimia yang lemah dengan terlarut, yang bertujuan untuk melarutkannya.
Interaksi yang umum terjadi adalah meningkatnya kekuatan atau interaksi yang
terdiri atas interaksi dipole, dipole-dipole, dan interaksi ikatan hidrogen (Miller et
al. 1981 in Holiday 2006 ).
Literatur mengenai kapasitas antioksidan dalam rumput laut berdasarkan
ekstraksi yang berbeda masih terbatas. Pertama karena prosedur yang digunakan
dalam mengekstrak antioksidan masih belum lengkap. Pada hampir semua
penelitian ini, pelarut yang digunakan umumnya metanol yang bersifat polar
(Santoso et al 2004, Chew et al 2008 ; Patra 2008; Ganeshan 2008). Metanol dan
air dengan proporsi yang berbeda (Esrig 2001), atau metanol dan kloroform
(Chandini 2008). Ekstraksi solid-liquid bersifat heterogen, multikomponen
meliputi nonsteady transfer terlarut dari padat ke larutan (Diaz et al. 2006 in
Oufnac 2006).
3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan yaitu sejak bulan April-
Juli 2009. Pengambilan data lapangan dilakukan di perairan Teluk Hurun,
Lampung. Teluk Hurun berada dalam wilayah pantai barat Teluk Lampung. Teluk
Hurun berada di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Di
Teluk Hurun bermuara dua buah sungai yaitu Sungai Hurun dan Sungai Hanura.
Persiapan sampel rumput laut dilakukan di Laboratorium Basah Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Analisis parameter kualitas air
dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Balai Besar Pengembangan Budidaya
Laut Lampung. Analisis substrat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian
Tanah, Bogor. Ekstraksi rumput laut Caulerpa racemosa dan analisis total fenol
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Laboratorium Instrument Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Analisis
antioksidan metoda DPPH dan analisis bilangan peroksida dilakukan di
Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Tabel lokasi
pengambilan data lapangan di Teluk Hurun diterakan pada Tabel 1.

Tabel 1 Lokasi penelitian di Teluk Hurun, Lampung


Lokasi Posisi
Stasiun 1 105o 14’ 988” LS dan 050 31‘360 “ BT
Stasiun 2 1050 15 ’657” LS dan 050 31’ 090” BT
Stasiun 3 1050 16’ 98” LS dan 05031’384” BT

Stasiun 1 terletak di Teluk Hurun bagian dalam sekitar 700 m dari daratan.
Stasiun ini berada di perairan yang penuh dengan aktivitas manusia seperti
budidaya ikan laut, tambak udang dan budidaya kerang mutiara. Stasiun 2 terletak
di Teluk Hurun bagian luar, stasiun ini terletak dekat dengan Pulau Tambikil,
tidak seperti stasiun ,1 di stasiun 2 ini tidak terdapat aktivitas seperti budidaya
dan tambak. Stasiun 3 adalah stasiun yang berada di kawasan pesisir antara
Tanjung Suak Butuh dan Tanjung Pandan. Stasiun 3 ini terletak sekitar 1 km dari
budidaya mutiara PT. Kyoko. Peta ketiga stasiun disajikan pada Gambar 3.
18

T. Lampung

T. Hurun

Figure 3 Map of station 1, 2 dan 3 in Hurun Bay, Lampung


22

3.2 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian ini terdiri dari : Pra penelitian yaitu survey lapangan dan
penentuan lokasi stasiun penelitian. Penelitian utama yaitu pengumpulan data
lapangan (pengukuran kualitas air dan pengukuran kondisi Caulerpa racemosa)
dan penelitian analisis antioksidan.

3.2.1 Pra penelitian


Sebelum menentukan lokasi penelitian dilakukan survey pendahuluan
berupa survey peta lokasi untuk mengamati keberadaan Caulerpa racemosa di
Teluk Hurun, Lampung. Selain itu dilakukan wawancara dengan pegawai Balai
Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung yang sehari-hari menangani
rumput laut di kawasan Teluk Hurun Lampung. Dari informasi yang diperoleh
dilakukan penyisiran lapangan dengan penyelaman untuk mengetahui keberadaan
Caulerpa racemosa di Teluk Hurun, Lampung. Berdasarkan hasil survey
lapangan tersebut, maka ditetapkan 3 stasiun penelitian.

3.2.2 Penelitian utama


3.2.2.1 Pengumpulan data lapangan
Dalam pengumpulan data lapangan dilakukan pengamatan terhadap kondisi
Caulerpa racemosa yang meliputi pengamatan terhadap substrat, alga atau lamun
yang berasosiasi dengan Caulerpa racemosa pengukuran biomassa Caulerpa
racemosa, biota yang berperan sebagai pemangsa Caulerpa racemosa dan
pengamatan fisik terhadap Caulerpa racemosa. Selain itu dilakukan pula
pengukuran kualitas air disetiap stasiun.
Pengukuran kualitas perairan dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 28 April
2009 dan pada tanggal 12 Mei 2009, saat pasang dan surut (Gambar 4). Data
pasang surut diperoleh dari data sekunder yang diperoleh dari Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Pengukuran kualitas air diawali dari
stasiun 1 kemudian stasiun 3 dan terakhir di stasiun 2. Dengan selang waktu
pengukuran dari satu stasiun 1 ke stasiun lain + 45 menit.
Pada setiap stasiun penelitian dilakukan pengukuran parameter-parameter
secara in situ yang meliputi suhu, pH, salinitas, kecerahan, kecepatan arus, DO,
23

intensitas cahaya, dan kedalaman. Pengukuran suhu dilakukan dengan


menggunakan TM 6801B digital thermometer. Pengukuran salinitas dilakukan
dengan merode refraksi menggunakan Portable refraktrometer FG 211.
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan sechidish. Pengukuran
kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan alat pengukur arus dari kayu yang
berbentuk silang dan stopwacth. Pengukuran DO dilakukan dengan Ion Catch
SLC DO meter. Pengukuran kedalaman dengan penggaris dan pengukuran
intensitas cahaya dilakukan dengan LUX/FC Light Meter DL-204.

+12.00 WIB +12.00 WIB


11.00-14.00 WIB
11.00-14.00 WIB

16.00-17.30 WIB 16.00-17.30 WIB

+ 18.00 WIB + 18.00 WIB

28-4-2009 12-5-2009

Gambar 4 Skema pengambilan data parameter air

Selain pengamatan secara insitu pada penelitian ini juga dilakukan analisis
parameter air di Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut, Lampung, yang meliputi pengukuran pH, nitrat, phosphat dan
amonia. Pengambilan sampel air untuk analisis dilakukan menggunakan botol
plastik polipropilene 250 ml kemudian sampel dimasukkan kedalam cooler box
untuk kemudian dianalisis.
Pengukuran pH dilakukan dengan metoda elektrometri APHA(1998) 4500
H+ menggunakan Hk-3C Ph Meter. Pengukuran nitrat dilakukan dengan
menggunakan metode brucine (Seameo-biotrop 1998). Pengukuran phosphat
dengan menggunakan metode spektrofotometri (Byod 1979) dan pengukuran
24

amonia dengan menggunakan metode spektrofotometri (APHA 1998). Analisis


amonia, phospat dan nitrat disajikan pada Lampiran 2.
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk pengamatan kondisi
Caulerpa racemosa adalah metode transek plot kuadrat yang berbentuk bujur
sangkar berukuran 1 x 1 m2 (English et al.1994). Metode transek plot kuadrat
dipilih karena metode ini dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat. Tiga garis
transek ditarik tegak lurus terhadap pantai ke arah laut sejauh 100 m dengan jarak
antara titik plot sejauh 50 m, setiap 10 m pada garis transek dibuat menyilang
tegak lurus pantai dan ditempatkan plot kuadrat.
Pada setiap diagram tersebut dihitung jumlah segi empat yang berukuran 50
x 50 cm2 yang ditutupi Caulerpa racemosa, dicatat subtrat dasar dalam plot,
pengambilan substrat, dicatat alga atau lamun yang berasosiasi dengan Caulerpa
racemosa dan biota yang berperan sebagai pemangsa Caulerpa racemosa.
Kegiatan transek dilakukan pada saat surut rendah. Skema mengenai transek
kuadrat disajikan pada Gambar 5.
Rumput laut yang ada pada setiap plot diambil dan dimasukan ke dalam
kantung plastik. Setelah diberi tanda rumput laut ditimbang untuk memperoleh
berat basah. Berat basah ini diperlukan untuk mengetahui biomassa rumput laut.
Biomassa menurut Bower (1977) dalam Atmajaya (1996) adalah berat per total
area studi. Biomassa dihitung dengan B = W/A, B adalah biomassa rumput laut
(g/m2), W adalah jumlah total berat basah spesies ke- i, A adalah total area studi.
Dari rumput laut yang sudah diambil dari masing-masing stasiun dilakukan
pengamatan fisik. Pengamatan fisik Caulerpa racemosa dilakukan dengan cara
visual dimana pada pengamatan fisik ini diamati kesegaran buah Caulerpa
racemosa, bagaimana rangkaian buah, warna buah. Panjang frond diukur dengan
menggunakan penggaris dalam satuan centi meter (cm).
25

1m

1m

Transek

Kuadrat
50m

Garis pantai

Gambar 5 Skema transek kuadrat dalam pengamatan kondisi Caulerpa racemosa

3.2.2.2 Analisis antioksidan


Dalam analisis antioksidan properti antioksidan yang dianalisis adalah
total fenol (AOAC 1990), aktivitas antioksidan metoda DPPH (Molyneoux 2004),
dan bilangan peroksida (Kataren 1986). Dalam penelitian ini dilakukan 2 macam
analisis terhadap properti antioksidan. Analisis yang pertama adalah analisis
antioksidan terhadap Caulerpa racemosa dari tiga lokasi penelitian dimana pada
analisis ini digunakan ekstrak kering Caulerpa racemosa dengan pelarut etil
asetat. Analisis yang kedua adalah analisis antioksidan terhadap Caulerpa
racemosa yang diperoleh dari stasiun 1. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi
26

dengan tiga macam pelarut yaitu pelarut polar (metanol), semi polar (etil asetat)
dan non polar (heksana) dan sampel digunakan dalam dua bentuk yaitu segar dan
kering.

a. Persiapan rumput laut (Santoso et al. 2009)


Persiapan rumput laut dilakukan di laboratorium basah Budidaya Balai
Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Tahap persiapan rumput laut
diawali dengan pembersihan dan pencucian rumput laut segar menggunakan air
laut untuk menghilangkan berbagai macam kotoran yang menempel pada rumput
laut, seperti batu-batuan, kerikil, lumpur, kulit kerang, kayu, ranting, rumput laut
jenis lain dan benda-benda asing lainnya. Rumput laut ditiriskan dan ditimbang
masing-masing ± 100 g, kemudian disimpan dalam kondisi beku (frozen) pada
suhu -20 oC untuk digunakan pada tahap selanjutnya.
Sementara itu untuk sampel kering, rumput laut segar yang sudah dicuci
dengan air laut, ditiriskan kemudian dipotong-potong dan diperkecil ukurannnya
dengan gunting serta dikeringkan hingga kering. Setelah kering, rumput laut
dihaluskan dengan blender dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup.

b. Ekstraksi (Santoso et al. 2009 yang dimodifikasi)


Tahapan ekstraksi dilakukan di laboratorium Balai Besar Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Ekstraksi yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Pada analisis antioksidan terhadap
ekstrak kering etil asetat dari tiga lokasi penelitian, ekstraksi sampel kering
dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan 6 erlenmeyer bervolume 1000 ml
untuk sampel kering. Sampel untuk tiap lokasi menggunakan 2 erlenmeyer.
Masing-masing sampel yang ditimbang untuk diekstrak dalam erlenmeyer adalah
sebanyak ± 4.50 g.
Tahapan ekstraksi diawali dengan sonikasi pertama selama 30 menit,
dilanjutkan dengan maserasi selama 24 jam dan sonikasi kedua yang dilakukan
selama 30 menit menggunakan sonikator. Pada ekstraksi ini digunakan pelarut etil
asetat. Volume masing-masing pelarut dalam tiap erlenmeyer untuk sonikasi
pertama adalah 350 ml. Kemudian pada tahap maserasi pelarut ditambahkan ke
27

dalam tiap erlenmeyer sebanyak 100 ml Setelah maserasi, sonikasi kedua


dilakukan selama 30 menit.
Pada analisis antioksidan dengan pelarut dan kondisi sampel yang berbeda,
ekstraksi sampel segar maupun kering dilakukan dengan terlebih dahulu
menyiapkan 6 erlenmeyer bervolume 500 ml, untuk sampel segar dan 6
erlenmeyer bervolume 1000 ml untuk sampel kering. Sampel untuk tiap jenis
pelarut menggunakan 2 erlenmeyer. Ekstraksi sampel segar (B) diawali proses
penghancuran sampel sebanyak ± 1080 g dengan cawan mortar. Masing-masing
jenis pelarut menggunakan sampel sebanyak ± 180 g dengan dua kali ulangan,
sehingga tiap erlenmeyer ± 180 g sampel. Pada sampel kering (K), sampel yang
ditimbang untuk diekstrak dalam erlenmeyer adalah sebanyak ± 9 g.
Pada proses pengeringan, dari 800 gram sampel segar diperoleh sampel
kering sebanyak + 20 gram. Sehingga perbandingan antara sampel segar dan
kering adalah 40 : 1. Dalam penelitian ini digunakan sampel segar 180 gram dan
sampel kering 9 gram, atau dengan perbandingan 20 : 1. Hal ini menunjukkan
jumlah sampel segar yang digunakan setengah dari jumlah sampel kering yang
digunakan, sehingga jumlah pelarut pada sampel segar adalah setengah dari
jumlah sampel kering yang digunakan, sehingga pelarut pada sampel segar adalah
setengah dari sampel kering. Tahapan ekstraksi diawali dengan sonikasi pertama
selama 30 menit, dilanjutkan dengan maserasi selama 24 jam dan sonikasi kedua
yang dilakukan selama 30 menit menggunakan sonikator. Volume masing-masing
pelarut dalam tiap erlenmeyer untuk sonikasi pertama adalah 700 ml pada sampel
kering dan 350 ml pada sampel segar. Pada tahap maserasi pelarut ditambahkan
ke dalam tiap erlenmeyer sebanyak 200 ml pada sampel kering dan 100 ml pada
sampel segar pada tahap maserasi. Maserasi merupakan ekstraksi yang dilakukan
dengan mengaduk sampel dalam pelarut selama 24 jam menggunakan magnetik
stirer dan meletakkan sampel di atas hot plate tanpa perlakuan panas serta pada
kondisi suhu ruang. Setelah maserasi, sonikasi kedua dilakukan selama 30 menit.
Tahap setelah ekstraksi adalah filtrasi. Pada tahap ini, sampel hasil ekstraksi
disaring dengan kertas saring biasa dengan ukuran tiap sisi 10-15 cm untuk
memisahkan padatan dan dilanjutkan dengan penyaringan kedua dengan kertas
saring Whatman nomor 42. Filtrat ekstrak ditampung dalam botol vial berukuran
28

75 ml. Setelah diperoleh ekstrak hasil penyaringan, pelarut dari setiap ekstrak
diuapkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 40 oC hingga ekstrak
menjadi pasta. Ekstrak kasar yang diperoleh dari masing-masing pelarut baik pada
sampel basah dan kering dilakukan uji aktivitas antioksidan metode DPPH dan
determinasi kandungan total fenol.

c. Kandungan fenol (AOAC 1990)


Sampel rumput laut sebanyak 0.50 - 0.60 g dicampur dengan 30 ml aquades
dan 5 ml larutan NaOH 0.2 N di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian aquades
ditambahkan hingga tanda tera. Dari larutan tersebut sebanyak 25 ml dipipet dan
dituangkan ke dalam erlemenyer 250 ml, kemudian larutan ditambahkan dengan
25 ml bromat bromide 0.20 N, aquades 50 ml dan 5 ml HCL pekat. Larutan
diaduk selama 1 menit kemudian ditambahkan lagi 5 ml KI 5 % dan diaduk
kembali selama 1 menit kemudiam larutan ditambahkan 5 tetes amilum sebagai
indikator dan diaduk kembali selama 1 menit.
Larutan sampel kemudian dititrasi dengan larutan thiosulfat, Na2SO3 0.10 N
(a ml) hingga warna berubah menjadi bening. Untuk blanko semua prosedur
digunakan namun tanpa sampel. Total fenol dihitung berdasarkan rumus berikut :

Total fenol (%) = b-a x N thio x BM fenol/6x 1000


X 100 %
0.1 x sampel (gram)
Keterangan :
a = ml titran larutan thiosulfat dalam sampel
b = ml titran larutan thiosulfat dalam blanko
6 = jumlah atom brom yang digunakan dalam proses bromisasi

d. Aktivitas antioksidan metoda DPPH (Molyneux 2004)


Aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa berdasarkan pada aktivitas
penghambatan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), ditentukan
berdasarkan metode Molyneux 2004 dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 45 µl
ekstrak rumput laut dicampur dengan 1.50 ml buffer asetat 0.10 M pH 7. Larutan
kemudian ditambah dengan 2.905 ml metanol dan 150 µl DPPH yang memiliki
konsentrasi 1 mg/ml. Larutan tersebut tersebut diaduk merata dan didiamkan di
dalam inkubator dengan suhu 37 0C atau ruang gelap selama 20 menit. Asam
askorbat (1-16 mg/ml) digunakan sebagai kontrol positif. Larutan diukur pada
29

absorbansi 517 nm menggunakan UV-Vis spectrophotometer Hitachi U-2800.


Kemampuan ekstrak rumput laut dalam menghambat radikal DPPH dihitung
berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Aktivitas penghambatan (%) = [(A0 – A1 ) / A0)) X 100]

Aktivitas antioksidan juga dapat diekspresikan dalam ascorbic acid


equivalent antioxidant capacity (AEAC) (Leong dan Shui 2002 in Yan 2006)
menggunakan persamaan sebagai berikut :

AEAC = ((AoA1)/(Ao-AA)) x [ ] AA(mg/ml) xvol extract (ml) x (100/g sampel)

Keterangan :
A0 = Absorbansi kontrol
A1 = Absorbansi sampel
AA = Asam Askorbat
AAA = Absorbansi asam askorbat

Perhitungan IC50 atau inhibiton concentration berdasarkan pada persamaan


berikut :

IC50 askorbat / AEAC (mgAA /100 g)


IC50 =
100000

e. Uji bilangan peroksida (Kataren 1986)


Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak (Kataren 1986). analisis ini dilakukan untuk
mengetahui adanya sifat antioksidan pada Caulerpa racemosa. Pada uji bilangan
peroksida, bilangan peroksida dianalisis pada sistem emulsi minyak kelapa.
Minyak yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari parutan kelapa yang
diperas untuk diambil santan kentalnya. Santan kental tersebut dipanaskan dengan
cara direbus untuk memisahkan komponen minyak yang terkandung di dalamnya.
Setelah terpisah kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan minyak dan
ampas parutan kelapa. Filtrat yang dihasilkan disaring lagi dengan kertas
Whatman nomor 42 agar diperoleh minyak kelapa yang bening.
Sistem emulsi minyak dibuat dengan mengacu metode Santoso (2003) yang
dimodifikasi, yaitu dengan menghomogenkan 3 % minyak kelapa dan 97 % air
30

yang mrngandung 0.30 % Tween 20. Sebanyak + 5 g emulsi minyak digunakan


sebagai model untuk mempelajari aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut
Caulerpa rasemosa.
Aplikasi dilakukan dengan menambahkan 16 mg ekstrak rumput laut
kedalam 30 g emulsi minyak kelapa untuk tiap perlakuan. Selanjutnya dari enam
jenis ekstrak tersebut dilakukan penentuan bilangan peroksida terhadap emulsi
minyak kelapa.
Analisis bilangan peroksida dilakukan terhadap sistem emulsi yang telah
ditambahkan ekstrak. Sampel minyak ditimbang sebanyak 5 g di dalam labu
erlenmeyer, kemudian ditambahkan 30 ml pelarut yang terdiri dari 60 % asam
asetat glasial dan 40 % kloroform. Setelah minyak larut ditambahkan 0.50 ml
larutan KI jenuh dan didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil
dikocok. Iod yang terbentuk dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.10 N dengan
indikator pati 1 %. Titrasi dihentikan saat larutan sampel menjadi tidak berwarna.
Hasil pengurangan volume akhir terhadap volume awal larutan Na2S2O3 0.10 N
yang ditunjukkan oleh skala pada burret, merupakan volume total larutan Na2S2O3
0.10 N yang digunakan untuk titrasi sampel. Dengan cara yang sama dibuat juga
untuk penetapan blanko. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dengan miligram
oksigen per 100 g minyak / lemak yaitu dengan rumus sebagai berikut :

(a-b) x N x 8 x100
mg O2/100g sampel =
G

Keterangan :
a = jumlah ml larutan untuk titrasi sampel
b = jumlah ml larutan untuk titrasi blanko
N = normalitas larutan
8 = setengah dari berat atom oksigen
G = berat sampel
31

3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data


3.3.1 Pengaruh perbedaan lokasi terhadap parameter kualitas perairan,
total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida
Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data parameter
fisik kimia perairan, total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida adalah
Rancangan Acak Lengkap. Linear model yang digunakan pada masing-masing
parameter sebagai berikut (Steel and Torrie 1980).

Yij = µ + αi + εij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan pada lokasi ke- i dengan ulangan ke-j
µ = rataan umum
αi = pengaruh nilai pengamatan pada lokasi ke-i
εij = pengaruh galat nilai pengamatan pada lokasi ke-i, dengan ulangan ke-j

Hipotesis terhadap setiap parameter adalah sebagai berikut :


H1 : Lokasi berpengaruh nyata terhadap rataan parameter yang diuji (parameter
fisik kimia perairan, total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida)
(αi ≠ 0).
Jika hasil analisis berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Untuk
parameter air yang berbeda nyata dikorelasikan dengan masing-masing parameter
total fenol, aktivitas antoksidan dan bilangan peroksida (Jika ketiga parameter ini
berbeda nyata) melalui uji korelasi Pearson.

3.3.2 Pengaruh perbedaan pelarut dan kondisi Sampel


Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data determinasi
total fenol, aktivitas antioksidan dan bilangan peroksida dengan dua perlakuan
yaitu kondisi sampel dan jenis pelarut adalah rancangan acak lengkap (RAL)
faktorial dengan model sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij +εijk


Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan kondisi sampel ke-i dan perbedaan
jenis pelarut ke-j pada ulangan ke-k.
µ = rataan umum.
32

αi = pengaruh faktor kondisi sampel ke-i.


βj = pengaruh faktor perbedaan jenis pelarut ke-j.
αβij = pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j pada ulangan
ke – k.
ε ijk = pengaruh galat faktor kondisi sampel ke-i, faktor perbedaan jenis pelarut
ke-j pada ulangan ke-k.

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data total fenol
adalah sebagai berikut :
1. H1 : Kondisi sampel berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan total fenol
ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (αi ≠ 0).
2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan
total fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (βj ≠ 0).
3. H1 : Kondisi sampel dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap
rataan kandungan total fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (βj ≠ 0).
Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan
kondisi sampel (segar dan kering) terhadap kandungan total fenol rumput laut
Caulerpa racemosa dalam satuan %. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata,
maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data aktivitas
antioksidan adalah sebagai berikut :
1. H1 : Kondisi sampel berpengaruh nyata terhadap rataan aktivitas antioksidan
ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (αi ≠ 0).
2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan aktivitas
antioksidan ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (βj ≠ 0).
3. H1 : proses pengeringan dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata
terhadap rataan aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa
(βj ≠ 0).
Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan
kondisi sampel (segar dan kering) terhadap aktivitas antioksidan rumput laut
Caulerpa racemosa. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan.
33

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data bilangan


peroksida adalah sebagai berikut :
1. H1 : proses pengeringan berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan total
fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (αi ≠ 1).
2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan bilangan
peroksida ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa (βj ≠ 0).
3. H1 : Proses pengeringan dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata
terhadap rataan bilangan peroksida ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa
(βj ≠ 0).
Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan
kondisi sampel (segar dan kering) terhadap bilangan peroksida rumput laut
Caulerpa racemosa dalam satuan mg O2/100g. Jika hasil analisis ragam berbeda
nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
Analisis ragam dan Duncan dilakukan dengan menggunakan software SPSS
13. Analisis Pearson dilakukan dengan software Microsoft office excel 2007.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Habitat dan Kondisi Fisik Caulerpa racemosa


4.1.1 Media tumbuh Caulerpa racemosa
Hal utama yang membedakan stasiun 1, 2 dan 3 adalah media tempat
tumbuh rumput laut Caulerpa racemosa. Stasiun 1 terletak di Teluk Hurun
bagian dalam. Stasiun ini dekat dengan usaha budidaya ikan laut dan tambak
udang. Pada stasiun ini Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada tali-tali sisa
budidaya rumput laut Kapaphycus alvarezii yang tidak tumbuh (Gambar 6). Pada
stasiun ini rumput laut Caulerpa racemosa tumbuh pada media tali dengan
kedalaman 1-2 m.

Gambar 6 Caulerpa racemosa di stasiun 1

Stasiun 2 adalah stasiun yang terletak di Teluk Hurun bagian luar. Seperti
halnya stasiun 1, di stasiun 2 ini Caulerpa racemosa juga tumbuh pada tali-tali
tempat budidaya rumput laut Kaphapycus alvarezii yang tidak tumbuh (Gambar
7). Pada stasiun ini rumput laut Caulerpa racemosa tumbuh pada media tali
dengan kedalaman 1-2 m.
Pada stasiun 1 dan 2, pada media tali yang ditumbuhi komunitas Caulerpa
racemosa tidak ditemukan komunitas makro alga lain. Padahal seyogyanya media
tersebut ditumbuhi oleh rumput laut Kaphapycus alvarezii, karena memang media
tersebut diperuntukkan untuk budidaya Kaphapycus alvarezii. Hal ini
menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa memiliki kemampuan mentoleransi
35

lingkungan yang cukup baik. Menurut Huckle et al. (2000) kemampuan spesies
untuk berkompetisi dan mentoleransi lingkungan lebih penting dari
kemampuannya untuk menjadi “pemenang “ kompetisi interaksi dengan alga-alga
laut lainnya.

Gambar 7 Caulerpa racemosa di stasiun 2

Diantara ketiga stasiun, stasiun 3 adalah yang paling berbeda media


tumbuhnya karena berada di area terumbu karang. Caulerpa racemosa di stasiun
ini ditemukan tumbuh pada substrat liat-pasir- rubble dan karang mati (Gambar
8).

Caulerpa racemosa di substrat liat – ruble (kiri) Caulerpa racemosa di karang mati (kanan).
Gambar 8 Caulerpa racemosa di stasiun 3
36

Caulerpa racemosa yang ditemukan di stasiun 3 lebih banyak tumbuh pada


jarak 20 - 50 m yaitu pada substrat liat-ruble sedangkan pada jarak 50 - 100 m
Caulerpa racemosa sudah mulai menghilang. Secara umum dari pengamatan
transek kuadrat di stasiun 3, diketahui bahwa perubahan cukup signifikan terlihat
antara transek 0 – 40 meter dengan transek 50 – 100 meter. Dimana pada transek
0 – 40 meter substrat didominasi oleh lamun, dan rumput laut sedangkan pada
transek 50-100 m didominasi oleh karang mati. Transek 40-50 meter merupakan
daerah peralihan dimana pada daerah ini komunitas karang sudah mulai tampak
dan lamun juga masih dijumpai (Gambar 9).

Gambar 9 Lamun berasosiasi dengan karang mati

Komposisi substrat tempat hidup Caulerpa racemosa di stasiun 3 dapat


dilihat pada Tabel 2. Dimana pada pengujian ini tampak bahwa komposisi rubble
atau pecahan karang atau kerang lebih tinggi dari pada liat.

Tabel 2 Substrat tempat tumbuh Caulerpa racemosa

Komposisi % Tekstur %
> 2 mm 53 Pecahan karang dan kerang 100
< 2 mm 47 Pasir 2
Debu 43
Liat 55

Pada stasiun 3 selain Caulerpa racemosa, rumput laut yang juga ditemukan
adalah marga Halimeda opuntia dimana keberadaan Halimeda lebih dominan
dibandingkan Caulerpa racemosa. Menurut Kadi (2000) marga Halimeda dan
37

Caulerpa racemosa, termasuk marga yang tumbuh survival di paparan terumbu


pulau-pulau di Teluk Lampung. Pertumbuhan makro alga yang hidup
menancap di pasir dan lumpur pada umumnya lebih mudah untuk
berkembang biak seperti marga Halimeda dan Caulerpa.
Pada stasiun 3 Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat liat-
ruble dan substrat karang mati dengan biomasa 0.6 g/m2. Pertumbuhan Caulerpa
racemosa di ekosistem karang ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
pertumbuhan di media tali, hal ini diduga antara lain karena kehadiran makro
alga di paparan terumbu karang ditentukan oleh struktur substrat yang stabil,
dengan adanya kerusakan terumbu karang di stasiun ini maka kestabilan substrat akan
menurun sehingga Caulerpa racemosa yang tumbuh lebih sedikit dibandingkan
dengan Caulerpa racemosa yang tumbuh pada media tali. Menurut Kadi (2000)
kerusakan terumbu karang dapat berakibat kematian bagi makro alga yang
bersifat seperti tulang rawan (cartilagenous) dari marga Dictyosphaeria,
Peyssonellia dan Lobophora, yakni hilangnya tempat menempel thalli untuk
berkembang biak.
Di Teluk Lampung kehadiran jenis makro alga termasuk rendah, kondisi ini
terjadi akibat dari kerusakan substrat terumbu karang oleh penambang batu
karang yang dilakukan masyarakat setempat untuk digunakan sebagai bahan
bangunan. Apabila kejadian ini dibiarkan terus menerus maka akan terjadi erosi
pantai, serta hilangnya substrat makro alga dan biota lainnya (Kadi 2000).
Kondisi terumbu karang di stasiun 3, seperti halnya di perairan lainnya di
Lampung, didominasi oleh jenis fringing reef. Menurut Nontji (1987) tipe fringing
reef merupakan tipe terumbu karang tepi yang terdapat di sepanjang perairan
pantai dan hampir tidak dijumpai pada daerah pesisir yang banyak sungai
besarnya.
Berdasarkan publikasi Pemerintah Propinsi Lampung (2002), diketahui
bahwa terumbu karang di Lampung dengan tipe fringing reef memiliki
luasan relatif 20-60 meter. Pertumbuhan karang terhenti pada kedalaman 10-17
meter. Di bawah kedalaman itu terdapat lumpur atau hamparan pasir. Dari hasil
survei CRMP (1998) diketahui pula bahwa di kawasan Teluk Lampung penutupan
karang batu cukup besar, yaitu mencapai 75% (Yudha 2008).
38

Paparan terumbu karang yang terdapat di stasiun 3 tergolong cukup lebar.


Paparan terumbu mulai terlihat pada jarak 40 meter dari pantai dan panjang paparan
kurang lebih 100 meter sampai ke tubir. Ujung tubir langsung dalam (drop). Pada
jarak 50 – 100 m kondisi karang didominasi oleh karang mati, pada karang mati
ini tampak beberapa yang tertutup alga (DCA), dengan persentase tutupan antara
10-60 %. Alga yang dominan menutupi karang mati adalah jenis Halimeda
opuntia.
Pada paparan terumbu di stasiun 3 jenis karang yang ditemukan adalah
karang batu (Arcopora) yang meliputi Arcopora bercabang (Arcopora branching),
Arcopora meja dan Arcopora berjari. Disamping itu juga ditemukan karang lunak
(non Arcopora) yang meliputi coral massive, coral encrusting, coral branching,
dan karang api.
Paparan terumbu distasiun 3 tampak mengalami kerusakan terutama oleh
sedimentasi (Gambar 10) dan akibat penangkapan ikan menggunakan bom oleh para
nelayan. Penggunaan bom yang merusak karang tampak pada kondisi di daerah
tubir bagian dalam (inner reef flats), dimana terdapat tumpukan pecahan karang
mati diduga sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan bom.
karang.

Gambar 10 Karang yang rusak di stasiun 3

Pada titik 0 m secara umum dapat dikatakan tidak ada biota biotik yang
tumbuh dan hidup kecuali biota biotik yang terbawa arus pasang surut ke tepi
pantai. Tanda lain kerusakan terumbu karang di stasiun 3 ini tampak berupa
kerusakan fisik. Dimana tipe dasar perairan yang dominan adalah pecahan-pecahan
39

Pada stasiun 3 Caulerpa racemosa selain berasosiasi dengan ekosistem terumbu


karang, Caulerpa racemosa juga berasosiasi dengan lamun. Komunitas padang
lamun memang tidak seindah terumbu karang, tetapi komunitas lamun ini memiliki
peranan yang sama pentingnya dengan ekosistem terumbu karang baik secara
ekologis maupun secara ekonomis. Dan bagi rumput laut seperti Caulerpa komunitas
lamun secara ekologis memiliki fungsi penting yaitu mengikat sedimen dan
menstabilkan subtrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling
menyilang. Dari hasil pengamatan di lapangan pada stasiun 1 dan 2 tidak
ditemukan komunitas lamun sedangkan pada stasiun 3 terdapat komunitas lamun.
Di stasiun 3 lamun jenis Enhalus sp, adalah jenis yang paling dominan. Lamun
ini tampak tumbuh bersama dengan Caulerpa dan juga Halimeda (Gambar 11).

Gambar 11 Caulerpa racemosa ditengah komunitas lamun

4.1.2 Hewan herbivora


Alga laut di perairan akan mempengaruhi eksistensi dan komposisi dari
biota yang bersifat herbivora demikian pula sebaliknya. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa di stasiun 1 dan 2 biota herbivora yang ditemukan
saat pengamatan adalah penyu. Dimana dalam empat kali pengamatan, tiga kali
dilihat kehadiran penyu di stasiun 2 dengan jumlah 2-3 ekor. Sedangkan di
stasiun 1 hanya sekali terlihat penyu dengan jumlah 2 ekor. Kehadiran penyu di
stasiun 1 dan 2, dimana di kedua stasiun ini tidak tumbuh alga lain selain rumput
laut Caulerpa racemosa mengindikasikan bahwa Caulerpa racemosa di stasiun 1
dan 2 merupakan target serangan penyu.
40

Pada stasiun 3 biota herbivora yang ditemukan saat pengamatan lebih


beragam yaitu ikan baronang dan bulu babi. Pada stasiun 3 Caulerpa racemosa
hidup bersama tanaman laut lain, sehingga di stasiun 3 ini Caulerpa racemosa
bukanlah menjadi satu-satunya target utama serangan hewan herbivora.
Pemangsaan oleh hewan herbivora di stasiun ini lebih dimungkinkan oleh faktor
preferensi hewan herbivora. Pemangsaan terhadap komposisi hewan herbivora di
setiap stasiun ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi hewan herbivora di setiap stasiun


Lokasi Jenis hewan herbivora Jumlah
Stasiun 1 Penyu *
Stasiun 2 Penyu **
Stasiun 3 Ikan baronang, bulu babi ***

Kemampuan Caulerpa racemosa untuk menghasilkan zat toxic yaitu


caulerpenyne, membuat Caulerpa racemosa memiliki sedikit pemangsa. Bulu
babi (Diadema antillarum), yang bersifat endemis di Karibia, dapat
mengkomsumsi Caulerpa racemosa (Morrison 1988 in CWG 2005), meskipun itu
bukan makanan yang paling disukainya (Williams 2004). Kematian masal bulu
babi di Teluk Discovery, Jamaika menyebabkan meningkatnya kelimpahan
Caulerpa racemosa di Teluk Discovery ini. Hal ini menunjukkan pentingnya
tekanan herbivora dalam mengatur kelimpahan Caulerpa racemosa (Morrison,
1988 in CWG 2005).
Menurut Paul (1986) ikan tropis seperti parrotfish (Scaridae) dan
surgeonfish (Acanthuridae) telah sukses beradaptasi dalam memangsa beberapa
spesies Caulerpa. begitu pula dengan herbivora invetebrata (Walters 2004).
Sebaliknya vetebrata dan invetebrata di daerah subtropis ditemukan mudah sekali
terkena senyawa toksik dari Caulerpa (caulerpenyne) dan tidak dapat memangsa
Caulerpa (Paul 1986). Keberadaan hewan herbivora berpengaruh terhadap
antioksidan didukung oleh pernyataan Mitchell (2006) proses sebelum
pemanenan yang mempengaruhi antioksidan pada tanaman terbagi menjadi 2
yaitu 1. Faktor Endogenous : genotif, kematangan saat panen, dan distribusi
jaringan 2. Faktor Eksogenous : iklim, paparan sinar matahari, stress pathogen,
hewan herbivora, lingkungan mikro dan praktek agronomi.
41

4.1.3 Parameter fisik kimia perairan


Hasil pengukuran kualitas perairan (faktor fisik dan kimia) di tiga stasiun
penelitian di Teluk Hurun disajikan pada Gambar 12 dan 13. Pada uji Duncan
terhadap parameter fisik kimia perairan beberapa parameter yaitu nitrat (stasiun
1), suhu (stasiun 3), cahaya (stasiun 1,2,3), amonia (stasiun 1) dan kecepatan arus
(stasiun 1,3) memiliki perbedaan saat pasang dan surut yang signifikan pada (p <
0,05). Hal ini menunjukkan kemampuan Caulerpa racemosa mentoleransi
perbedaan pasang surut. Komposisi dan distribusi dari spesies-spesies alga laut
berhubungan dengan kemampuan dari individu spesies mentoleransi kondisi
lingkungan yang juga berhubungan dengan variasi pasang surut (Huckle et al.
2000).

33,5

33
a a
S a l i n i ta s ( P S U )

32,5 0,35
b
0,3
32 b
a 0,25
31,5
Nitrat (mg/l)

0,2
31 0,15

30,5 0,1

30 0,05 a

30
b 0,4
25
0,35 a
kec arus (m/s)

20 a a
ab 0,3
A monia (mg/l)

15 0,25
a
10 0,2
0,15
5
0,1
0
0,05
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun3
0
Lokasi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
pasang surut rata-rata harian
pasang surutLokasirata-rata harian

Keterangan : Tanda Huruf pada histogram rata rata harian yang berbeda (a,b) menunjukkan
berbeda nyata antar stasiun (p < 0,05).

Gambar 12 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di Teluk Hurun,


Lampung
42

8,16

8,14
a a
8,12 7
a a a
8,1 6
b
pH

8,08 5

DO (mg/l)
8,06 4
8,04 3
8,02 2

8 1
0

32

31,6

a a
Suhu ( C )

31,2 a
30,8

30,4

30

0,1
1000
a
800 0,095 a
Pho sph at(m g/l)

a
C ah aya (lu x)

600 b 0,09
a a
400
0,085
200

0 0,08
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

pasang surut rata-rata pasang surut rata-rata harian

Keterangan : Tanda Huruf pada histogram rata rata harian yang berbeda (a,b) menunjukkan
berbeda nyata antar stasiun (p < 0,05).

Gambar 13 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di tiga lokasi di Teluk


Hurun Lampung

Hasil pengukuran rata-rata harian parameter fisik kimia perairan di Teluk


Hurun menunjukkan bahwa variabel kualitas perairan yang tidak berbeda antar
stasiun penelitian adalah pH, suhu, salinitas, amonia dan fosfat.
Pada pengukuran kecerahan, kecerahan di stasiun 3 yang terukur adalah
0.50-1 m atau dasar atau dapat dikatakan cahaya matahari dapat tembus hingga
43

ke dasar substrat, sedangkan kecerahan di stasiun 1 dan 2 masing masing adalah


3.20 meter dan 3.50 meter. Meskipun sedikit berbeda antara stasiun 1 dan 2
namun cahaya matahari sama-sama menembus hingga media tali yang berjarak 2
meter, atau jika media tali dikatakan sebagai dasarnya, maka kecerahan di stasiun
1 dan 2 adalah dasar.
Suhu merupakan faktor penting bagi bagi kehidupan alga laut. Menurut
Kausar dan Ali (1986) in Ravzi (2003) dalam budidaya rumput laut Caulerpa
racemosa sebaiknya temperatur air dikelola pada 27 – 30 0C untuk produksi
yang optimum. Kisaran suhu yang terukur pada ketiga stasiun yaitu 31.2 – 31.7
0
C pada saat pasang dan 30.6 – 30.8 0C pada saat surut. Lebih tingginya suhu ini
dibandingkan suhu yang menunjang bagi pertumbuhan optimum alga laut
menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa memiliki sistem mekanisme defensif
dalam melindungi stress lingkungan termasuk mentoleransi peningkatan suhu.
Perbedaan rata-rata harian variabel kualitas air pada ketiga stasiun saat
pasang surut antara ketiga stasiun yang dinyatakan oleh hasil analisis ragam,
menunjukkan terdapat pengaruh lokasi terhadap nitrat dan cahaya, sedangkan
perbedaan variabel kualitas air yang didasarkan pada perbedaan pasang surut
diketiga lokasi menunjukkan terdapat pengaruh lokasi terhadap cahaya, ammonia,
intensitas cahaya, kecepatan arus dan DO. Perbedaan ini akan menjadi salah satu
dasar dalam menentukan pengaruh lokasi terhadap antioksidan Caulerpa
racemosa pada ketiga lokasi.
Hasil pengukuran nitrat terutama di stasiun 1 dan 3 cukup tinggi, yaitu
lebih dari 0.10 mg/l. Effendi (2003) menyatakaan bahwa kadar nitrat-nitrogen
pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.10 mg/l. Hasil pengukuran
nitrat pada April - Mei 2009 tampak jauh lebih tinggi daripada nilai nitrat pada
tahun 2003 (Tabel 4). Tingginya nilai ini mungkin disebabkan karena di perairan
ini terdapat aktifitas marikultur diantaranya tambak udang, budidaya kerang
mutiara, budidaya kerapu dan ikan lainnya dengan jaring terapung baik milik
perusahaan swasta, masyarakat maupun instansi milik pemerintah.
Pada stasiun 3 disamping kolom airnya mengandung nitrat yang tinggi,
stasiun ini juga memiliki kandungan nitrat yang tinggi pada substratnya yaitu
mencapai 16.70 ppm. Tingginya nitrat pada substrat ini akan mempengaruhi
44

penyerapan nitrat oleh Caulerpa racemosa karena menurut Larned (1998)


Caulerpa racemosa adalah tanaman rhizopitic dimana Caulerpa memiliki akses
langsung terhadap lubang udara pada sedimen yang kaya nutrient. Disamping itu,
Caulerpa racemosa memiliki rhizoidal pillar dengan jumlah yang besar. Jumlah
rhizhoidal pillar yang besar akan memerankan peran yang signifikan dalam
menyerap nutrient dari substratum (Williams,1984 in Capiomont, 2005).

Tabel 4 Data kualitas air di Teluk Hurun 2003 (Yudha, 2007)


BULAN Kesada- DO Orto Nitrat pH Kece- Sali- Suhu
han (ppm) Phosfat (ppm) rahan nitas (°C)
(ppm) (ppm) (m) (‰)
Januari 13.50 5.52 0.0242 0.0408 7.99 4.01 31.00 29.75
Februari 16.00 4.90 0.0114 0.0338 7.55 3.13 30.25 30.80
Maret 4.35 5.46 0.0052 0.0210 7.53 4.10 31.25 29.50
April 12.64 5.12 0.0271 0.0354 7.72 3.68 31.25 29.75
Mei 9.67 4.81 0.0003 0.0350 7.98 2.78 31.00 30.40
Juni 26.35 5.12 0.0240 0.0330 7.66 3.68 31.25 30.30
Juli 27.73 5.20 0.2210 0.0210 7.52 2.50 32.50 29.97
Agustus 29.10 5.69 0.0215 0.0310 7.47 2.80 32.00 29.03
September 28.95 5.11 0.0275 0.0311 7.77 3.60 31.00 29.40
Oktober 27.40 6.06 0.0549 0.0941 7.53 4.51 31.50 29.43
November 30.80 6.12 0.0840 0.0575 7.69 3.96 31.25 29.75
Desember 20.75 6.15 0.0500 0.0575 7.40 4.00 30.50 29.90

Pada pengukuran amonia saat pasang surut, kadar amonia tertinggi berada
pada saat pasang di stasiun 1 dengan nilai 0.34 mg/l. Dan hasil uji Duncan pada
kondisi pasang surut menunjukkan kadar amonia di stasiun ini berbeda dengan
stasiun lainnya pada (p < 0,05). Tingginya ammonia di stasiun 1 ini diduga karena
keberadaan tambak udang dan budidaya ikan laut dimana menurut Yudha (2007)
terjadinya pencemaran laut di pesisir Kecamatan Padang Cermin (Teluk Hurun)
antara lain disebabkan oleh aktivitas tambak udang.
Limbah yang berasal dari tambak udang dapat berupa bahan organik yang
berasal dari sisa pakan ataupun hasil metabolisme udang mengandung unsur
nitrogen yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan budidaya udang
(seperti antibiotik, pestisida, kapur, klorin, ataupun saponin) jika dibuang
langsung ke perairan pantai, maka dapat menyebabkan keseimbangan ekosistem
45

pantai terganggu. Menurut Larned (1999) pada daerah yang diperkaya ammonia
secara signifikan menunjukkan peningkatan thallus.
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) pada ketiga lokasi berkisar antara
5.07 – 6.06. Menurut Zieren (1999) polusi dengan bahan organik dapat ditunjukan
dengan rendahnya nilai oksigen terlarut, rata-rata berkisar antara 4.82-5.17 mg/l
Berdasarkan penggolongan Lee et al. (1978) menyatakan bahwa nilai DO perairan
antara 4.50 - 6.50 mg/l tergolong perairan tercemar ringan, sedangkan nilai DO >
6.50 mg/l tergolong perairan yang tidak tercemar yang berarti masih alami.
Berdasarkan penggolongan tersebut jika rataan DO saat pasang dan surut
dirata-ratakan maka stasiun 1, 2 dan 3 tergolong perairan tercemar ringan dengan
tingkat pencemaran tertinggi terdapat pada stasiun 3, diikuti oleh stasiun 1 dan
stasiun 2. Lebih tingginya pencemaran di stasiun 3 disebabkan karena stasiun 3
berada paling dekat dengan daratan sehingga memperoleh tekanan dari daratan
yang paling tinggi.
Pada pengukuran kecepatan arus (Gambar 12) tampak bahwa stasiun 3
merupakan wilayah dengan kecepatan arus tertinggi dan stasiun 1 merupakan
wilayah dengan kecepatan arus terendah. Lebih tingginya kecepatan arus di
stasiun 3 terutama saat pasang diindikasikan sebagai arus momentum, yang di
pantulkan sejajar garis pantai di sekitar daerah breaker line (dekat stasiun 3), yang
kemudian dibelokan oleh arus massa air teluk dalam, yang hendak keluar teluk
melalui ambang utara (Muchtar 2005).
Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui
aliran air yang melewatinya. Gerakan air atau arus yang cukup akan menghindari
terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah
adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air (Puja 2001).
Faktor terakhir yang berbeda nyata antar stasiun adalah cahaya dimana
intensitas cahaya tertinggi didapat oleh stasiun 2 dimana cahaya pada saat pasang
mencapai 843 lux. Menurut Reyes (2003) cahaya matahari adalah salah satu
bentuk pemicu stress yang dapat meningkatkan biosintesis kandungan senyawa
fenol pada jaringan tanaman. Lebih jauh cahaya matahari memegang peranan
penting dalam anthocyanin biosynthetic pathway.
46

4.1.4 Kondisi fisik Caulerpa racemosa


Menurut Benbrook (2005) kesehatan tanaman merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi antioksidan tanaman, karena itu evaluasi terhadap kondisi
fisik Caulerpa racemosa menjadi penting dilakukan. Perbandingan antara
Caulerpa racemosa di ketiga stasiun disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kondisi Caulerpa racemosa di ketiga stasiun


Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Panjang frond 8 cm 8 cm 6 cm
Kesegaran Segar segar Layu
Warna buah Hijau terang Hijau terang Hijau tua
Bentuk buah Didominasi bentuk bel Didominasi bentuk bel Didominasi bentuk bel
Rangkaian Secara bebas ditutupi Secara bebas ditutupi Secara bebas ditutupi
oleh buah yang oleh buah yang oleh buah yang
terangkai tidak terangkai tidak terangkai tidak
beraturan dengan beraturan dengan beraturan dengan
jumlah buah rata-rata > jumlah buah rata-rata > jumlah buah rata-rata <
10 10 10

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik terdapat pada


stasiun 1. Pada stasiun 1 Caulerpa racemosa tumbuh cukup subur. Caulerpa
racemosa di stasiun 1 ini memiliki panjang frond rata-rata 8 cm, dengan buah
yang tampak hijau segar. Dibandingkan dengan stasiun 1 di stasiun 2, Caulerpa
racemosa pertumbuhannya kurang subur, meskipun begitu kondisi fisiknya
tampak segar dengan panjang frond rata-rata 8 cm dan buah yang tampak hijau
segar. Lebih suburnya Caulerpa racemosa di stasiun 1 dibandingkan stasiun 2
diduga salah satu faktornya disebabkan karena tingginya nitrat di stasiun ini,
dimana tingginya nitrogen dapat menyebabkan eutrofikasi.
Caulerpa racemosa yang ditemukan di stasiun 3 selain pertumbuhannya
tidak banyak dan teragregasi. Kondisi buah Caulerpa racemosa di stasiun 3
cenderung lebih kecil dan tampak tidak segar dibandingkan stasiun 1 dan 2.
Panjang frond rata-rata adalah 6 cm. Bentuk buah Caulerpa racemosa di ketiga
stasiun didominasi oleh bentuk bel. Pada ekosistem terumbu karang biomassa
Caulerpa racemosa yang diukur pada bulan Mei relatif rendah yaitu hanya
mencapai 0.60 g/m2 .
47

4.2 Properti Antioksidan Ekstrak Caulerpa Racemosa di Perairan Teluk


Hurun, Lampung
4.2.1 Total fenol ekstrak Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan
faktor yang mempengaruhinya
Antioksidan utama yang terdapat pada jaringan tanaman adalah senyawa
phenolic, vitamin C dan E dan karotenoid. Akumulasi senyawa fenol pada
jaringan tanaman dapat disebabkan karena berbagai stress abiotik seperti cahaya,
(Reyes, 2003). Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh lokasi perairan
terhadap total fenol Caulerpa racemosa dipergunakan ekstrak Caulerpa
racemosa kering yang diekstrak dengan menggunakan etil asetat.

Keterangan : Angka angka-angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).

Gambar 14 Kandungan total fenol pada ketiga lokasi penelitian

Pada pengukuran kandungan total fenol seperti ditujukkan pada Gambar 14


tampak bahwa kandungan total fenol tertinggi dari sampel kering ekstrak etil
asetat terdapat pada stasiun 2 (12.64 %), diikuti oleh stasiun 3 (3.05 %) dan
stasiun 1 (2.2 %). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lokasi berpengaruh
pada total fenol ekstrak Caulerpa racemosa. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa total fenol pada stasiun 1 dan 3 tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata
dengan stasiun 2.
Berdasarkan uji korelasi antara parameter variabel kualitas air dengan total
fenol, diketahui bahwa variabel amonia dan nitrat memiliki korelasi negatif
sedangkan cahaya, arus dan oksigen terlarut memiliki korelasi positif. Cahaya
48

memiliki korelasi yang sangat kuat dengan total fenol, namun parameter nitrat,
amonia dan oksigen terlarut memiliki korelasi yang lemah dengan total fenol dan
arus memiliki korelasi sangat lemah (Tabel 6 ).

Tabel 6 Hubungan antara parameter fisik kimia perairan dengan total fenol
Pola Hubungan Korelasi Pearson (r)
Cahayavs total fenol 0.98
Amonia vs total fenol -0.513
Nitrat vs total fenol -0.417
Arus vs total fenol 0.005
Oksigen terlarut vs total fenol 0.513

Dari hasil evaluasi terhadap kandungan total fenol di tiga stasiun di Teluk
Hurun, diketahui bahwa total fenol tertinggi diperoleh oleh Caulerpa racemosa di
stasiun 2 yang tumbuh pada media tali. Tingginya total fenol di stasiun 2
berdasarkan hasil observasi terhadap parameter habitatnya diduga didukung oleh 3
faktor yaitu : cahaya matahari, keberadaan herbivor, kondisi atau kesehatan
tanaman.
Pada pengukuran cahaya, stasiun 2 mendapat cahaya tertinggi, dan hasil
pengukuran korelasi Pearson menunjukkan cahaya memiliki korelasi yang sangat
kuat dengan total fenol. Menurut Reyes (2003) cahaya matahari adalah salah satu
bentuk pemicu stress yang dapat meningkatkan biosintesis kandungan senyawa
fenol pada jaringan tanaman. Lebih jauh cahaya matahari memegang peranan
penting dalam anthocyanin biosynthetic pathway.
Keberadaan herbivora sebagai salah satu pendukung tingginya kandungan
total fenol di stasiun 2 didasari oleh pernyataan Smith (1982) in Dixon (1995)
bahwa banyak senyawa phenylpropanoid terbentuk sebagai respon atas luka atau
pemangsaan hewan herbivora. Luka akibat pemangsaan mendorong pembentukan
asam klorogenik, alkil ferulate esters dan ikatan ester fenolik yang dapat
berfungsi sebagai senyawa pertahanan atau dapat menyediakan prekursor untuk
sintesis suberin dan polifenolic barrier (Hahlbrock and Scheel 1989; Bernards and
Lewis 1992 in Dixon 1995).
Pada stasiun 2 hewan herbivora yang ditemukan adalah penyu yang juga
ditemukan di stasiun 1 namun pada saat pengamatan jumlah penyu di stasiun 2
lebih tinggi dibanding stasiun 1 sehingga hal ini diduga menjadi salah satu faktor
49

yang menyebabkan jumlah Caulerpa racemosa di stasiun 2 ini lebih rendah


dibandingkan dengan stasiun 1. Tingginya serangan herbivora distasiun 2
terhadap Caulerpa racemosa juga disebabkan karena pada stasiun ini tidak
terdapat alga kompetitor sehingga menjadi target utama serangan hewan
herbivora.
Faktor lain yang diduga berkaitan dengan lebih tingginya total fenol di
stasiun 2 adalah kondisi fisik atau kesehatan tanaman. Hal ini didasari karena
tumbuhan dapat melakukan metabolisme dengan baik dan melakukan biosistesis
fenol dengan baik apabila kondisi fisiknya mendukung. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa buah pada stasiun 2 tampak segar dengan warna
hijau yang terang dan pada pengukuran frond menunjukkan bahwa panjang frond
Caulerpa racemosa yaitu 8 cm. Hasil ini lebih panjang dibandingkan stasiun 3
yang berukuran 6 cm sehingga kemungkinan lebih sehat dibandingkan stasiun 3.
Pada stasiun 1 kesegaran Caulerpa racemosa dan panjang frond yang
terukur sama dengan stasiun 2 namun total phenolnya berbeda nyata dengan
stasiun 2. Hal ini diduga karena faktor lingkungan di stasiun 1 yang masih pada
batas yang dapat ditoleransi oleh Caulerpa racemosa. Menurut Benbrook (2005).
Ada hubungan yang jelas antara tingkat stress pada tumbuhan dan produksi
metabolit sekunder, termasuk polifenol dan antioksidan.

4.2.2 Aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan


faktor yang mempengaruhinya
Berbagai faktor dapat mempengaruhi antioksidan yang dihasilkan tumbuhan.
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan stres pada tanaman mendorong
tanaman menghasilkan mekanisme defensif, dan mekanisme ini digerakan atau
memerlukan sintesis antioksidan (Benbrook 2005).
Pada penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh lingkungan perairan
terhadap aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa dilakukan uji DPPH dimana
sampel diperoleh dari tiga stasiun, dengan parameter perairan yang berbeda
seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Penghambatan radikal bebas
DPPH dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan waktu
yang relatif singkat dibandingkan metode lain, dan sudah dipergunakan secara
50

luas untuk memprediksi aktivitas antioksidan pada berbagai senyawa (Kuo et al.
2002 in Rohman 2006).
Pada penelitian ini aktivitas antioksidan diekspresikan kedalam Ascorbic
Acid Equivalent Antioksidan Capacity (AEAC) dengan satuan mg AAE/100 g
yang menunjukkan bahwa dalam 100 gram sampel memiliki aktivitas antioksidan
yang besarnya setara dengan aktivitas antioksidan (x) mg asam askorbat. Selain
AEAC pada penelitian ini aktivitas antioksidan juga dinyatakan IC 50 atau
Inhibition Concentration yaitu konsentrasi larutan subtrat atau sampel yang akan
menyebabkan reduksi terhadap aktivitas radikal DPPH sebesar 50 %. Hasil
pengukuran aktivitas antioksidan (AEAC) dan (IC 50) disajikan pada Gambar 14.

Keterangan : Angka angka-angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).

Gambar 15 Aktivitas antioksidan (AEAC) pada ketiga lokasi dan aktivitas


antioksidan (IC 50) pada ketiga lokasi

Rataan aktivitas antioksidan yang dinyatakan (AEAC) tertinggi dari sampel


kering ekstrak etil asetat terdapat pada stasiun 2 (23.68 mg AAE/100g), diikuti
stasiun 3 (19.36 mg AAE/100g) dan stasiun 1 (10.94 mg AAE/100g). Sedangkan
rataan aktifitas antioksidan yang dinyatakan (IC 50) tertinggi dari sampel kering
ekstrak etil asetat terdapat pada stasiun 2 (16.50 mg/ml), diikuti stasiun 3 (20.18
mg/ml) dan stasiun 1 (38.39 mg/ml).
Pada Gambar 15 tampak bahwa semakin tinggi AEAC atau semakin tinggi
aktivitas antioksidan maka semakin rendah IC50. Hal ini disebabkan karena
menurut Molyneux (2004), aktivitas antioksidan yang tinggi ditunjukkan oleh
51

nilai IC 50 rendah. Selain AEAC dan IC 50 aktivitas antioksidan juga dapat


dinyatakan oleh persen penghambatan. Rataan aktivitas antioksidan yang
dinyatakan dalam persen penghambatan dari sampel kering ekstrak etil asetat
terdapat pada stasiun 2 (46.43 %), diikuti oleh stasiun 3 (36.97 %) dan stasiun 1
(20.75 %). Hasil pengukuran aktivitas antioksidan persen penghambatan disajikan
pada Gambar 16.

Keterangan : Angka angka-angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).

Gambar 16 Persen penghambatan radikal bebas pada ketiga lokasi

Hasil analisis ragam untuk ketiga lokasi dengan tiga parameter yaitu AEAC,
IC50, dan persen penghambatan sama-sama menunjukkan, lokasi memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas antioksidan. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan antar stasiun berbeda nyata.
Lokasi atau lingkungan yang berbeda berpengaruh terhadap terhadap
aktivitas antioksidan didukung oleh pernyataan Mitchell (2006) proses sebelum
pemanenan yang mempengaruhi antioksidan pada tanaman terbagi menjadi 2
yaitu 1. Faktor Endogenous : genotype, kematangan saat panen, dan distribusi
jaringan 2. Faktor Eksogenous : iklim, paparan sinar matahari, stress pathogen,
hewan herbivora, lingkungan mikro dan praktek agronomi.
Berdasarkan uji korelasi antara parameter variabel kualitas air dengan
aktivitas antioksidan yang dinyatakan dalam persen penghambatan, yang
ditunjukkan pada tabel 7, diketahui bahwa yang memiliki korelasi yang sangat
kuat adalah cahaya, dan korelasi yang kuat adalah amonia dan nitrat, dimana
52

cahaya memiliki bentuk korelasi positif; sedangkan amonia dan nitrat memiliki
bentuk korelasi negatif. Variabel arus memiliki korelasi positif yang lemah dan
variabel oksigen terlarut memiliki korelasi positif yang sangat lemah.

Tabel 7. Hubungan antara parameter fisik kimia perairan dengan persen


penghambatan
Pola Hubungan Korelasi Pearson (r)
Cahaya 0.94
Amonia vs persen penghambatan -0.72
Arus vs persen penghambatan 0.48
Nitrat vs persen penghambatan -0.82
Oksigen terlarut vs persen 0.17
penghambatan

Adanya korelasi yang negatif antara nitrat dan aktivitas antioksidan


didukung oleh pernyatan Davis et al. (2004) di lapangan dimana tingkat nitrogen
yang tersedia untuk tanaman tinggi, maka cenderung tanaman tumbuh cepat dan
memiliki ukuran yang besar tetapi konsentrasi polifenol antioksidan dan beberapa
vitamin rendah fenomena ini dikenal sebagai dilution effect.
Hasil evaluasi terhadap aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan tertinggi dimiliki oleh Caulerpa racemosa di stasiun 2 yang tumbuh
pada media tali. Berdasarkan hasil observasi terhadap parameter habitatnya
diduga tingginya total fenol didukung oleh 4 faktor yaitu : 1) Nitrat, dimana
kandungan nitrat di stasiun ini lebih rendah dibanding stasiun lainnya. 2)
Keberadaan herbivora, menurut Benbrook (2005) beberapa hubungan antara
stress pada tanaman dan tingkat antioksidan masih menjadi satuan yang kompleks,
variable dan dynamic puzzle. Tetapi tanaman membentuk metabolit sekunder dan
polifenol antioksidan untuk alasan fisiologis dan metabolisme dan juga sebagai
respon terhadap stress dan serangan hewan pengganggu. 3) Kondisi atau
kesehatan tanaman yang baik. Ada kesepakatan substansial antara ahli patologi,
fisiologi dan entomologi tanaman bahwa tingkat antioksidan sebagai metabolit
sekunder tanaman yang tinggi diproduksi sebagai respon terhadap stress biotic
dan abiotik dan tingkat produksi merupakan fungsi genetik, lingkungan
pertumbuhan dan kesehataan tanaman (Benbrook 2005). 4) Cahaya, karena
stasiun ini mendapat cahaya yang paling tinggi dibandingkan stasiun lainnya dan
hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa cahaya memiliki korelasi positif yang
53

sangat kuat dengan aktivitas antioksidan. Keterkaitan cahaya matahari dengan


aktivitas antioksidan didukung oleh pernyataan Halliwell dan Gutteridge ( 1989 ) in
Shiu (2005) paparan sinar ultra violet –B memicu terbentuknya radikal bebas. Untuk
mengkonter toksisitas radikal bebas, sistem pertahanan untuk penangkal radikal bebas
terbentuk pada tanaman melalui sistem enzim ataupun sistem non enzimatik (Noctor
dan Foyer, 1998 ; Asada, 1999 in Shiu 2005). Antioksidan termasuk senyawa larut air :
ascorbat dan gluthathione dan senyawa tidak larut air seperti tokoferol dan karotenoid
diyakini sebagai agen non enzimatis untuk menangkal radikal bebas (Smirnoff dan
Wheeler 2000 in Shiu 2005). Perbandingan aktivitas enzim antioksidan pada makro alga
di Laut Artik menunjukkan bahwa stress oksidatif berkorelasi dengan aktivitas SOD, AP
dan CAT (Aguilera et al. 2002 in Shiu 2005).
Caulerpa racemosa di stasiun 3 yang berada di areal terumbu karang pada
penelitian ini memiliki aktivitas antioksidan dan total fenol lebih rendah
dibandingkan Caulerpa racemosa di stasiun 2 yang tumbuh pada media tali.
Dalam hal ini faktor lingkungan terumbu karang diduga turut berpengaruh pada
aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa. Tekanan terhadap turumbu karang
menyebabkan Caulerpa racemosa kehilangan kestabilan substrat tempat tumbuh,
yang mempengaruhi Caulerpa racemosa mengalami gangguan dalam penyerapan
nutrisi yang seimbang, untuk menghasilkan Caulerpa racemosa yang sehat.
Sehingga pada akhirnya tidak mampu mensintesis antioksidan yang tinggi.

4.2.3 Bilangan peroksida Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan


faktor yang mempengaruhinya
Salah satu metoda awal untuk mengetahui adanya kemungkinan sifat
antioksidan dari tumbuhan adalah dengan uji nilai peroksida. Rataan bilangan
peroksida pada ketiga lokasi dari sampel kering ekstrak etil asetat tertinggi
terdapat pada stasiun 1 (17.75 mgO2/100g ), diikuti stasiun 3 (13.82 mg O2/100 g)
dan stasiun 2 (12.69 mg O2/100 g). Hasil pengukuran bilangan peroksida disajikan
pada Gambar 17.
54

Keterangan : Angka angka-angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).

Gambar 17 Bilangan peroksida ektrak Caulerpa racemosa di tiga lokasi

Hasil evaluasi bilangan peroksida di ketiga lokasi menunjukkan bahwa


Caulerpa racemosa dari ketiga lokasi memiliki kemampuan untuk menghambat
laju oksidasi. Hal ini dicirikan dengan lebih rendahnya nilai bilangan peroksida
dibandingkan emulsi minyak yang tidak diberi ekstrak Caulerpa racemosa yang
memiliki nilai peroksida 68.15 mg O2/100 g (lampiran 10). Kemampuan
menghambat laju oksidasi dapat digunakan sebagai indikator awal adanya
kemungkinan ekstrak tersebut sebagai antioksidan. Antioksidan berperan sangat
penting untuk menjaga sel dan sistem organ di dalam tubuh terhadap reactive
oxygen species (ROS) meskipun secara alami tubuh telah mempunyai sistem
pertahanan yang sangat kompleks (Kaliora et al. 2006 in Praptiwi 2006).

4.3 Kandungan Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Caulerpa


racemosa Dengan pelarut dan Kondisi Sampel yang Berbeda
Disamping dipengaruhi oleh lingkungan, faktor yang mempengaruhi
aktivitas antioksidan adalah bagaimana sumber antioksidan itu diperlakukan
setelah pemanenan hingga sampai ke konsumen. Dalam penelitian ini untuk
melihat pengaruh pelarut dan kondisi sampel terhadap total fenol, aktivitas
antioksidan dan bilangan peroksida rumput laut Caulerpa racemosa digunakan
sampel Caulerpa racemosa dari stasiun 1.
55

4.3.1 Determinasi kandungan total fenol ekstrak Caulerpa racemosa


Senyawa polifenolik atau fenolik adalah komponen bioaktif yang
mempunyai aktivitas antioksidan yang secara alami terdapat dalam buah-buahan,
sayuran atau minuman seperti teh (Astawan 2004). Menurut Santoso (2003)
komponen polifenol yang terkandung dalam Caulerpa racemosa adalah katekol.
Katekol termasuk dalam jenis antioksidan golongan fenol (Yoshie et al. 2002).
Kandungan total fenol tertinggi dari sampel segar terdapat pada ekstrak etil
asetat (3.20 %), diikuti oleh ekstrak metanol (1.60 %) dan ekstrak heksana (0.89
%). Pada sampel kering, ekstrak etil asetat juga memiliki kandungan total fenol
tertinggi (2.22%), diikuti oleh ekstrak metanol (1.77 %) dan ekstrak heksana (0.45
%). Hasil pengukuran total fenol disajikan pada Gambar 18.

Keterangan : Angka -angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b,c) pada masing-
masing kondisi rumput laut menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 18 Kandungan fenol pada ekstrak Caulerpa racemosa

Hasil analisis total fenol menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat mempunyai
kandungan fenol tertinggi dan secara statistik berbeda nyata dengan ekstrak
heksana, baik dalam sampel segar maupun kering. Hal ini menunjukkan bahwa
etil asetat lebih efektif melarutkan senyawa fenol rumput laut Caulerpa racemosa
daripada metanol dan heksana.
Menurut Shahidi dan Naczk (1998) in Adawiyah et al. (2001), kelarutan
senyawa fenol ditentukan oleh polaritas pelarut yang digunakan untuk
mengekstrak dan tingkat polimerisasi senyawa fenol dibandingkan komponen lain
56

untuk bahan pahan. Etil asetat merupakan salah satu pelarut yang sering
digunakan untuk mengekstrak senyawa fenol. Menurut Harwood dan Moody,
(1989) sifat etil asetat yang semi-polar, menyebabkan etil asetat dapat
mengekstrak lebih banyak komponen isoflavon yang aktif sebagai antioksidan
Dalam menentukan pengaruh persiapan sampel segar dan kering terhadap
total fenol maka kita perlu mengkorversi total fenol yang dinyatakan dalam persen
atau mg/gram ekstrak menjadi mg/gram sampel segar. Hal ini diperlukan karena
pada bobot ekstrak yang sama, bobot sampel segar yang diperlukan untuk
memperoleh ekstrak tersebut berbeda. Hasil konversi total fenol menunjukkan
bahwa proses pengeringan menurunkan aktifitas antioksidan pada pelarut metanol
sebesar 48.70 %, pelarut etil asetat sebesar 78.07 % dan pelarut heksana sebesar
94.66 %.
Penurunan total fenol pada persiapan sampel kering didukung oleh
penelitian Kuda et al. (2007) pada rumput laut Ecklonia stolorifera and Ecklonia
kurome. Menurut Kuda et al. (2007) konsentrasi senyawa fungsional seperti
polifenol dan fukoidan, aktivitas antioksidan, dan aktivitas antibakteri E
stolorifera and E. kurome bervariasi tergantung proses persiapannya. Perlu di
ketahui bahwa kandungan senyawa fungsional dan aktivitasnya menurun secara
besar-besaran dalam setiap metode proses dan atau kondisi pengawetan. Aktivitas
E. stolorifera menurun drastis pada sampel kering dan sampel yang mengalami
perebusan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa senyawa fungsional
seperti polifenol terpengaruh atau menurun drastis karena pengeringan atau
perebusan.

4.3.2 Aktivitas antioksidan ekstrak Caulerpa racemosa metode DPPH


DPPH adalah senyawa yang memiliki nitrogen sebagai radikal bebas.
Pengujian dengan DPPH dapat digunakan untuk menguji kemampuan senyawa
antioksidan sebagai proton penangkal senyawa radikal atau donor hidrogen (Singh
dan Rajini 2004). Elektron ganjil pada radikal bebas DPPH menghasilkan
penyerapan kuat maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu.
Warna ungu berubah menjadi kuning ketika elektron ganjil radikal DPPH menjadi
57

berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan penangkal radikal bebas untuk


membentuk DPPH-H (Prakash 2001).
Dalam penentuan aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa digunakan tiga
paramater yaitu AEAC, IC 50 dan persen penghambatan. Hasil pengukuran AEAC
dan persen penghambatan disajikan pada Gambar 19 sedangkan hasil pengukuran
IC 50 disajikan pada Tabel 8.

Keterangan : Angka - angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b,c) pada masing-
masing kondisi rumput laut menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 19 Grafik hubungan persiapan sampel dan perbedaan pelarut terhadap


aktifitas antioksidan (AEAC) dan persen penghambatan

Tabel 8. IC 50 dengan metode DPPH Ekstrak Rumput Laut Caulerpa


racemosa
Variabel Unit Kondisi Pelarut
Sampel metanol Etil heksana
asetat
IC50 mg/ml Segar 17.17 a 11.41a 1186.62 b

IC 50 mg/ml Kering 17.97a 38.39a 1030.23b

Keterangan : Angka angka-angka pada baris yang sama dan diikuti dengan huruf yang berbeda
(a,b) pada masing-masing kondisi sampel menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).

Berdasarkan pengukuran parameter aktivitas antioksidan diketahui bahwa


pada sampel segar, ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antioksidan tertinggi
dengan AEAC 36.78 mg AAE/100 g, persen penghambatan 71.2 % dan IC 50

11.41 mg/ml. Pada sampel kering, ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi dengan AEAC 24.45 mg AAE/100 g, persen penghambatan 46.71 % dan
IC 50 17.97 mg/ml.
58

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa baik jenis pelarut maupun kondisi
sampel berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan. Perbedaan jenis pelarut
yang mempengaruhi aktivitas antioksidan serupa dengan penelitian Duffy dan
Power (2001) yang menggambarkan ekstraksi sampel dengan pelarut yang
berbeda menghasilkan perbedaan potensi antioksidan. Ekstraksi sampel licorice
dengan etanol memiliki potensi antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel yang diesktrak dengan air.
Perbedaan polaritas pelarut yang mempengaruhi aktivitas antioksidan juga
tampak pada penelitian (Ismail 2002) dimana total antioksidan 4 jenis rumput laut
berturut turut dari yang tertinggi hingga terendah pada ekstrak air adalah Kumbu
> Nori > Hijiki > Wakame. Sedangkan pada ekstrak etanol hasilnya berbeda
Wakame > Hijiki > Nori > Kumbu.
Menurut Marinova dan Yanishlivea (1997) in Ismail (2002) aktivitas
penangkal radikal DPPH pada setiap sampel di dalam pelarut yang berbeda, akan
mempengaruhi potensi penangkal radikal. Hal ini disebabkan kerena perbedaan
polaritas masing-masing senyawa group antioksidan yang ada dalam rumput laut.
Berdasarkan pengukuran AEAC, IC 50 dan persen penghambatan. Ekstrak
etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi pada sampel segar dan
secara statistik berbeda nyata dengan ekstrak metanol dan heksana, sedangkan
ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan tertinggi pada sampel kering dan
secara statistik berbeda nyata dengan ekstrak etil asetat dan heksana.
Aktivitas antioksidan yang tinggi pada ekstrak etil asetat sampel segar,
mengindikasikan bahwa etil asetat pada sampel segar mampu menarik substansi
aktif yang berperan sebagai antioksidan. Hasil penelitian Munifah (2008)
menyebutkan bahwa fraksi etil asetat Caulerpa racemosa mengandung
protoklorofilide sebagai salah satu substansi yang aktif sebagai antioksidan.
Protoklorofilide secara struktur merupakan satu molekul klorofil yang terdiri dari
cincin porphirin yang diikat dengan struktur persegi yang rata dengan atom
magnesium ditengahnya yang diikat dengan cincin nitrogen disetiap sisinya
.Senyawa aktif penangkal radikal bebas fraksi protoklorofilid dari Caulerpa
racemosa segar memiliki persen penghambatan 83%.
59

Novaczek (2001) in Chew et al. (2008) menyatakan bahwa Caulerpa


racemosa kaya akan asam folat, asam askorbat, vitamin A dan B1 (thiamin).
Santoso (2003) menyebutkan bahwa komponen polifenol yang terkandung dalam
Caulerpa racemosa adalah katekol. Senyawa aktif penangkal radikal bebas fraksi
karotenoid dari Caulerpa racemosa segar memiliki persen penghambatan 31.82%
(Munifah 2008).
Pada ekstrak sampel kering, ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan
yang tinggi sedangkan ekstrak etil asetat mengalami penurunan. Terjadinya hal
ini disebabkan karena, selain pelarut kondisi sampel pun turut berpengaruh
terhadap aktifitas antioksidan. Sehingga diduga pada ekstrak sampel kering
komponen aktif seperti beta carotene dan protoklorofilid telah mengalami
penurunan aktifitas antioksidan, karena kedua substansi tersebut sangat sensitif
baik pada cahaya maupun pada panas. Sehingga walaupun pelarut etil asetat dapat
menarik kedua senyawa ini, namun kemungkinan aktifitas antioksidannya sudah
berkurang.
Pada sampel kering lebih tingginya antioksidan pada ekstrak metanol
dibandingkan ekstrak etil asetat dan heksana menunjukkan bahwa senyawa
antioksidan pada Caulerpa racemosa didominasi oleh komponen yang polar dan
semi polar. lebih tingginya aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol
dibandingkan ekstrak etil asetat pada sampel kering juga menunjukkan komponen
aktif antioksidan yang polar lebih tahan panas dibandingkan komponen aktif
antioksidan yang semi polar.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kondisi sampel berpengaruh
terhadap aktivitas antioksidan. Untuk mengetahui secara pasti apakah pengaruh
tersebut positif atau negatif maka kita perlu mengkorversi nilai aktivitas
antioksidan yang dinyatakan dalam mg AAE/100 gram ekstrak menjadi mg
AAE/100 gram sampel segar. Hal ini diperlukan karena pada bobot yang sama,
bobot sampel segar yang diperlukan untuk memperoleh ekstrak tersebut berbeda.
Hasil konversi aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa proses pengeringan
menurunkan aktifitas antioksidan pada pelarut metanol sebesar 0.68 %, pelarut etil
asetat sebesar 14.16 % dan pelarut heksana sebesar 649.29 %.
60

Menurunnya aktivitas antioksidan karena pengeringan dimungkinkan karena


pada proses pengeringan, senyawa volatil dapat turut menguap. Menurut Ibanez et
al. (1999) suhu selama pengeringan dan ekstraksi mempengaruhi stabilitas
senyawa berkaitan dengan kerusakan kimia dan enzimatik, kehilangan senyawa
volatil dan dekomposisi akibat panas.
Larrauri et al. (1997) menemukan penurunan yang signifikan pada ekstrak
polifenol dan tannin yang dipekatkan pada anggur merah yang dikeringkan
dengan udara panas pada suhu 100 0C atau lebih. Antioksidan sampel yang
dikeringkan pada 100 0C menurun 28 %, sedangkan pada 140 0C menurun
setengahnya. Escrig (2001) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan rumput laut
fucus dengan uji DPPH menurun 96 % pada pemanasan 50 0C 48 jam sedangkan
pada uji FRAP menurun 77 %. Rumput laut komersial menunjukkan antioksidan
yang lebih rendah dibanding rumput laut segar sehingga dapat dinyatakan bahwa
proses dan penyimpanan dapat menurunkan kapasitas antioksidan. Ragan dan
Glombitza (1986) in Escrig (2001) menyatakan bahwa kandungan polifenol pada
pengeringan rumput laut dengan udara atau oven akan terpengaruh.

4.3.3 Bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa


Nilai peroksida suatu ekstrak tumbuhan menunjukkan kemampuan ekstrak
untuk menghambat laju oksidasi lemak. Lemak dan senyawa-senyawa yang dapat
larut dalam lemak sangat rentan terhadap proses oksidasi. Kemampuan suatu
ekstrak untuk menghambat laju oksidasi yang diindikasikan dengan nilai
peroksida suatu ekstrak kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai suatu bahan
yang dapat bersifat antioksidan (Praptiwi 2006). Aktivitas antioksidan yang tinggi
ditunjukkan dengan rendahnya bilangan peroksida yang terbentuk dalam inkubasi
24 jam.
Kisaran bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa adalah 11.56 mg
O2/100g – 70.50 mg O2/100g. Bilangan peroksida terendah (aktivitas antioksidan
tertinggi) dari sampel segar terdapat pada ekstrak etil asetat (11.56 mg O2/100g),
diikuti ekstrak metanol (12.57 mg O2/100g), dan ekstrak heksana (58.84 mg
O2/100g). Pada sampel kering bilangan peroksida terendah (aktivitas antioksidan
tertinggi) dari sampel segar terdapat pada ekstrak metanol (13.01 mg O2/100g),
61

diikuti ekstrak etil asetat (17.75 mg O2/100g), dan ekstrak heksana (70.50 mg
O2/100g). Hasil pengukuran bilangan peroksida disajikan pada Gambar 20.

Keterangan : Angka - angka pada histogram yang diikuti huruf yang berbeda (a,b,c) pada
masing-masing kondisi rumput laut menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 20 Bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pelarut berpengaruh terhadap


bilangan peroksida. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bilangan
peroksida ekstrak metanol dan etil asetat tidak berbeda nyata namun berbeda
nyata dengan ekstrak heksana. Hasil penelitian Santoso et al. (2009)
menunjukkan bilangan peroksida BHT 200 ppm didalam emulsi minyak kelapa
yang diinkubasi selama 24 jam adalah sebesar 8.53 ± 1.85 mg O2/100 g. Hasil
penelitian ini menunjukkan bilangan peroksida emulsi minyak kelapa tanpa
penambahan antioksidan sebesar 68.15 mg O2/100g. Dari hasil evaluasi terhadap
bilangan peroksida diketahui bahwa ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat baik
pada sampel segar ataupun kering memiliki kemampuan sebagai menghambat
oksidasi lemak. Hal ini dibuktikan dengan lebih rendahnya bilangan peroksida
pada sampel dibandingkan kontrol negatif. Suzuki et al. (2005) menyatakan
bahwa pada inkubasi 3 dan 24 jam, inkubasi Caulerpa Sertularoides memiliki
antioksidan tinggi yang dinyatakan dengan nilai peroksida yang rendah.
Pada ekstrak Caulerpa racemosa dengan pelarut heksana, rendahnya
bilangan peroksida dimungkinkan karena aktivitas antioksidannya yang sangat
rendah, sehingga diduga pada uji bilangan peroksida ini ekstrak heksana pada
konsentrasi yang ditambahkan tidak dapat berfungsi sebagai antioksidan. Nilai
62

rataan bilangan peroksida pada ekstrak kering heksana yang tinggi juga diduga
disebabkan karena ada kandungan senyawa selain antioksidan pada ekstrak, yang
apabila berinteraksi dengan senyawa fenol dapat menghasilkan aktivitas seperti
prooksidan.

4.4 Alternatif Pengelolaan


Di dalam pengelolaan Caulerpa racemosa penulis berpijak pada
pengetahuan bahwa Caulerpa racemosa merupakan sumber daya kelautan yang
bersifat dapat pulih (renewable), karena itu pola pengelolaan sumber daya
Caulerpa racemosa berlandaskan pada pola pengelolaan berkelanjutan. Menurut
Dahuri (2003) paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan hasil tinjauan
pembangunan berdasarkan perspektif kemanusiaan, yang menekankan bahwa
sumberdaya alam tidak hanya digunakan untuk kebutuhan generasi saat ini,
melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan generasi mendatang.
Pada pola pengelolaan berkelanjutan, sumber daya alam yang dipergunakan
harus dievaluasi terlebih sebelum dieksploitasi menyangkut distribusi dan
potensinya. Uraian mengenai distribusi dan potensi Caulerpa racemosa di Teluk
Hurun adalah sebagai berikut :

4.4.1 Ketersediaan Caulerpa racemosa


Pada penelitian di lapangan yang dilakukan pada bulan April - Mei 2009,
rumput laut Caulerpa racemosa ditemukan dalam jumlah yang sedikit di perairan
Teluk Hurun. Jumlah yang terbatas ini, disebabkan karena Caulerpa racemosa
merupakan tanaman musiman. Menurut Puspaningrum (2007) rumput laut dengan
nama lokal Latoh (Caulerpa racemosa) merupakan makro alga hijau yang sering
dimanfaatkan sebagai makanan bagi masyarakat sekitar pantai. Akan tetapi
ketersediaannya masih dalam jumlah yang sangat terbatas dan musiman. Menurut
hasil wawancara dengan peneliti rumput laut di Balai Pengembangan Budidaya
Laut, Lampung Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun tumbuh subur pada
bulan September-Februari.
Pada penelitian ini Caulerpa racemosa pada ekosistem terumbu karang
hanya ditemukan di antara Tanjung Suak Butuh dan Tanjung Padan, sedangkan
63

pada ekosistem terumbu karang lain di Teluk Hurun seperti di dekat Pulau Lahu
atau dekat Teluk Pandan tidak ditemukan Caulerpa racemosa.
Selain pada ekosistem terumbu karang Caulerpa racemosa juga ditemukan
tumbuh secara alami di media tali bekas budidaya rumput laut K. alvarezii. Pada
media tali Caulerpa racemosa tumbuh lebih subur dibandingkan pada ekosistem
terumbu karang, hal ini diduga karena terjadinya kerusakan pada ekosistem
terumbu karang yang mengakibatkan substrat tempat Caulerpa racemosa ini
tumbuh tidak stabil. Pada ekosistem terumbu karang biomassa Caulerpa
racemosa adalah 0.60 g / m2 .

4.4.2 Potensi antioksidan Caulerpa racemosa


Keberadaan antioksidan dalam Caulerpa racemosa dapat diketahui melalui
uji aktivitas antioksidan. Hasil evaluasi terhadap aktivitas antioksidan rumput laut
Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan Caulerpa racemosa berkisar dari 10.94 mg AAE/100g - 23.68 mg
AAE/100g. Hasil uji bilangan peroksida menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa
dari Teluk Hurun memiliki kemampuan dalam penghambatan oksidasi lemak, hal
ini mengindikasikan bahwa Caulerpa racemosa dari perairan Teluk Hurun
memiliki potensi sebagai antioksidan.
Dari hasil evaluasi terhadap aktivitas antioksidan rumput laut di Teluk
Hurun, diketahui bahwa aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa di perairan
Teluk Hurun berbeda-beda dimana aktivitas antioksidan ini dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh antioksidan pada
wilayah yang relatif lebih jauh dari aktivitas manusia. Pada wilayah ini kandungan
nitrat lebih rendah dibandingkan stasiun lain. Disamping itu adanya gangguan dari
herbivora dan baiknya kondisi fisik Caulerpa racemosa, serta kecukupan cahaya
matahari di wilayah ini turut mendukung tingginya aktivitas antioksidan.
Hasil evaluasi antioksidan ini menunjukkan bahwa kondisi perairan dengan
berbagai aktivitas manusia seperti di Teluk Hurun akan mengurangi potensi dari
Caulerpa racemosa sebagai sumber antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan
manusia. Kesuburan perairan dalam hal ini tingginya unsur hara dapat mendorong
64

pertumbuhan rumput laut Caulerpa racemosa namun disisi lain hal ini dapat
mengurangi kandungan antioksidan yang dibutuhkan untuk kesehatan.

4.4.3 Implementasi pengelolaan Caulerpa racemosa berkelanjutan


Berdasarkan informasi potensi dan ketersediaan, maka penulis berpendapat
sistem implementasi dari pengelolaan Caulerpa racemosa yang dapat dilakukan
salah satunya adalah melalui sistem budidaya yang ramah lingkungan. Budidaya
Caulerpa racemosa dapat menjadi salah satu mata pencaharian alternatif
masyarakat pesisir. Menurut Dahuri (2003) potensi pengembangan budidaya laut
untuk berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan rumput laut masing-masing
adalah 3.1 juta ha, 971.000 ha dan 26.700 ha. Dari keseluruhan potensi produk
budi daya laut, sampai saat ini baru sekitar 15 % yang sudah diusahakan.
Sistem budidaya untuk Caulerpa racemosa dipilih karena rumput laut
Caulerpa racemosa merupakan tanaman musiman, sehingga untuk menunjang
kontinuitas produksinya diperlukan usaha budidaya. Usaha budidaya ini ditunjang
kemampuan Caulerpa racemosa yang secara cepat dapat mengkolonisasi area
baru, sehingga area budi daya dapat ditempatkan pada daerah yang agak jauh dari
tempat asalnya. Kemampuan ini ditunjukkan pada penelitian ini dimana
Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada tali-tali sisa budidaya Kapahycus
alvarizii.
Menurut Kausar dan Ali (1986) in Ravzi (2003) budidaya rumput laut
Caulerpa racemosa sebaiknya dilakukan di lokasi yang terlindung dari
gelombang yang kuat. Lokasi sebaiknya bebas dari polusi. Toleransi batas
salinitas adalah 30-32 ppt dan temperatur air dikelola pada 27 – 30 0C untuk
produksi yang optimum. Kedalaman pond sebaiknya 60-100 cm dan pH antara
7-8 untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Kira-kira 50 kg benih cukup untuk
2
pemanenan 625 m pond area. Produksi 5-6 ton/ha setelah 2-3 bulan periode
budidaya dapat diperoleh. Selain budidaya melekat pada substrat, budidaya
rumput laut Caulerpa racemosa pun dapat dilakukan pada tali-tali seperti yang
ditemukan pada penelitian ini.
Dalam penelitian ini antioksidan yang tinggi diperoleh pada daerah yang
relatif lebih jauh dari aktivitas manusia yang diketahui dari kadar nitrat yang lebih
65

rendah, dan tingginya aktivitas antioksidan juga didukung oleh keberadaan


herbivora, kondisi fisik yang baik dan kecukupan cahaya karena itu dalam
budidaya Caulerpa racemosa diduga perlu juga memperhatikan faktor nitrat untuk
pertumbuhan sekaligus aktivitas antioksidan yang optimal. Selain itu perlu juga
diintroduksikan hewan herbivora namun dengan sistem pengawasan yang baik
sehingga kehadirannya hewan herbivore ini sebagai pemicu antioksidan tidak
menghabiskan ketersediaan Caulerpa racemosa.
Pengelolaan Caulerpa racemosa melalui budidaya yang ramah lingkungan
yang juga ditujukan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pesisir dapat
berjalan jika didukung juga oleh pendekatan ekonomi, keberadaan pasar adalah
mutlak diperlukan untuk mendukung budidaya Caulerpa racemosa. Saat ini pasar
internasional yang terbuka untuk Caulerpa adalah Denmark, Jepang dan Filipina.
Namun pasar domestik pun diperlukan untuk kontinuitas budidaya rumput laut ini.
Untuk itu perlu penyebaran informasi oleh instansi terkait melalui workshop,
training, pamphlet, media massa, media elektronik dan lain-lain mengenai
manfaat Caulerpa salah satunya sebagai sumber antioksidan alami pada
masyarakat pada umumnya dan stakeholders perlu dilakukan. Menurut Dahuri
(2003) tingkat partisipasi masyarakat khususnya stakeholders dalam membuat
keputusan, akan berpengaruh pada keberhasilan atau kegagalan implementasi
program aksi. Pendekatan sentralistik yang kurang memberikan ruang konsultasi
bagi masyarakat memiliki resiko kegagalan yang tinggi, karena program aksi
tersebut mungkin tidak dimengerti dan kurang dihargai oleh mereka yang
mengalami kegiatan program tersebut. Namun sebaliknya jika masyarakat lokal
diajak serta dalam proses penyusunan program aksi diharapkan rasa tanggung
jawab mereka terhadap program akan lebih besar, sehingga implementasinya akan
mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat luas. Hal ini akan mendorong
mereka untuk menghargai usaha-usaha yang telah mereka kerjakan, dan pada
akhirnya kontribusi masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati pesisir dan lautan akan semakin besar.
66

4.4.4 Pengelolaan terumbu karang dalam kaitannya dengan optimasi


antioksidan Caulerpa racemosa
Sebagai tanaman yang tumbuh alami di kawasan ekosistem terumbu karang
hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya menjaga ekosistem terumbu karang
dan penataan ruang yang baik untuk mencegah kerusakan ekosistem terumbu
karang. Karena kerusakan terumbu karang juga berpengaruh pada menurunnya
pertumbuhan Caulerpa racemosa terutama kondisi fisiknya, yang pada akhirnya
dapat menurunkan manfaat Caulerpa racemosa sebagai sumber antioksidan
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian terhadap aktivitas antioksidan rumput laut Caulerpa
racemosa di Teluk Hurun, diketahui bahwa aktivitas antioksidan Caulerpa
racemosa di perairan Teluk Hurun berkisar antara 10.94 mg AAE/100g -
23.68 mg AAE/100g. Rataan aktivitas antioksidan yang dinyatakan (AEAC)
tertinggi dari sampel kering ekstrak etil asetat terdapat pada stasiun 2 (23.68
mg AAE/100g), diikuti stasiun 3 (19.36 mg AAE/100gr) dan stasiun 1
(10.94 mg AAE/100g). Sedangkan rataan aktifitas antioksidan yang
dinyatakan (IC 50) tertinggi dari sampel kering ekstrak etil asetat terdapat
pada stasiun 2 (16.50 mg/ml), diikuti stasiun 3 (20.18 mg/ml) dan stasiun 1
(38.39 mg/ml). Rataan aktivitas antioksidan yang dinyatakan dalam persen
penghambatan dari sampel kering ekstrak etil asetat terdapat pada stasiun 2
(46.43 %), diikuti oleh stasiun 3 (36.97 %) dan stasiun 1 (20.75 %). Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa lokasi berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan, Dari pengujian aktivitas antioksidan dapat disimpulkan bahwa
aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh Caulerpa racemosa yang berada
pada stasiun 2 dengan aktivitas antioksidan sebesar 23.68 mg AAE/100g.
Yang mana stasiun 2 ini merupakan wilayah yang berada di Teluk Hurun
bagian luar. Lebih tingginya aktivitas antioksidan di stasiun 2 ini diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor. 1) lebih tingginya intensitas cahaya di
daerah ini, dimana hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi positif
yang sangat kuat antara aktivitas antioksidan dan intensitas cahaya dengan
nilai r = 0.94. 2) Adanya herbivora pemangsa yaitu penyu di daerah ini
dimana keberadaan herbivora dapat memicu terbentuknya antioksidan. 3)
Kondisi fisik Caulerpa racemosa di stasiun ini cukup baik dengan buah
yang segar, banyaknya rangkaian buah (lebih dari 10) pada satu frond dan
panjang frond 8 cm sehingga dapat melakukan melakukan mebolisme
dengan baik dan menghasilkan antioksidan yang dibutuhkan untuk
melindungi dirinya. 4) Kadar nitrat yang terendah dibandingkan stasiun
lainnya dimana hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat korelasi
68

negatif yang kuat antara nitrat dan aktivitas antioksidan r = -0.72. Selain
aktivitas antioksidan pada penelitian ini juga diketahui bahwa lokasi juga
berpengaruh terhadap total fenol dimana hasil yang diperoleh seperti halnya
aktivitas antioksidan menunjukkan total fenol tertinggi terdapat di stasiun 2.
Hasil evaluasi terhadap uji bilangan peroksida menunjukkan bahwa
Caulerpa racemosa dari Teluk Hurun memiliki kemampuan dalam
penghambatan oksidasi lemak, yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya
bilangan peroksida di ketiga stasiun dengan emulsi minyak tanpa
penambahan ekstrak. Dan hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara emulsi minyak dengan ekstrak dan tanpa ekstrak. Hal ini
mengindikasikan bahwa Caulerpa racemosa dari perairan Teluk Hurun
memiliki potensi sebagai antioksidan.
2. Dari pengujian terhadap sampel Caulerpa racemosa dengan kondisi yang
berbeda (basah dan kering ) dan pelarut yang berbeda diketahui karakteristik
antioksidan pada Caulerpa racemosa antara lain adalah antioksidan pada
Caulerpa racemosa didominasi oleh antioksidan yang bersifat semi polar hal
ini didukung oleh hasil penelitian dimana ekstrak etil asetat mempunyai
kandungan total fenol tertinggi dibandingkan ekstrak metanol dan heksana
dengan nilai 3.2 % pada sampel segar dan 2.2 % pada sampel kering.
Sedangkan pada Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH
menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat pada sampel segar memiliki aktivitas
antioksidan terbaik. Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa terdapat
antioksidan yang tahan panas dan tidak tahan panas yang terkandung pada
Caulerpa racemosa hal ini didukung oleh hasil penelitian dimana terjadi
penurunan aktivitas antioksidan pada sampel yang dikeringkan. Perlakuan
sampel yang terbaik untuk optimasi antioksidan Caulerpa racemosa adalah
dengan perlakuan segar dan ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat.

5.2 Saran
1. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai berapa kadar nitrat yang optimal
bagi aktivitas antioksidan sekaligus pertumbuhannya.
2. Melakukan penelitian untuk mengisolasi komponen aktif Caulerpa.
69

3. Melakukan pengelolaan Caulerpa racemosa berkelanjutan dan melakukan


pengelolaan terumbu karang dengan penataan ruang
70

6 DAFTAR PUSTAKA

(APHA) American Public Health Association, American Waterwork Association


and Water Pollution Control Federation.1998. Standard Methods for
Examination of Water and Wastewater 20 thed. Washington DC :
American Public Health Association
(AOAC) Association of Official Analitycal and Chemist. 1995. Official Methods
of Analysis of AOAC International 16 edition. Airlington,Virginia :
AOAC International.
Baskin SI, Salem H. 1997. Oxidants, antioxidants, and free radicals. Washington
DC: Taylor and Francis.
Buhler and Miranda C. 2000. Antioxidant Activities of Flavonoids. Oregon :
Department of Environmental and Molecular Toxicology Oregon State
University.
Benbrook CM. 2005. Elevating Antioxidant Levels in Food through Organic
Farming and Food Processing. New York : Organic Center State of
Science.
Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput Laut
Di Kepulauan Seribu (Studi Kasus Di Gugusan P.Pari) (Tesis). Bogor :
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Brandt K, Molgaard JP. 2001. Organic agriculture: Does it enhance or reduce the
nutritional value of plant foods?. Journal of Science Food Agricultural
81: 924-931.
Brown Al. 1987. Freshwater Ecology. London: Heinemann Educational Books.
Byod CE.1979. Water Quality in Warm Water Fish ponds. Alabama USA :
Auburn University Agricultural Experiment Station.
(CWG) Caulerpa Working Group.2005. National Management Plan for the Genus
Caulerpa. Aquatic Nuisance Species Task Force.

Capiomont A, Breugnot E, Haan M and Meinesz A.2005. Phenology of a deep-


water population of Caulerpa racemosa var. cylindracea in the
northwestern Mediterranean Sea. Botanica Marina 48 : 80–83.
Chew YL, Lim YY, Omar M, Khoo KS. 2008. Antioxidant activity of three edible
seaweeds from two areas in South East Asia. LWT 41 ; 1067–1072.
Chandini SK, Ganesan P, Bhaskar N. 2008.In vitro antioxidant activities of three
selected brown seaweeds of India. Food Chem. 107 : 707–713.
Chattopadhyay N, Ghosh T, Sinha S, Chattopadhyay K, Karmakar P, Ray B.
2009. Polysaccharides from Turbinaria conoides: Structural features and
antioxidant capacity. Food Chem. 42 : 622–630.
71

Carruthers TJB, Walker DI and Huisman JM. 1993. Culture studies on two
morphological types of Caulerpa (Chlorophyta) from Perth, Western
Australia, with a description of a new species. Botanica Marina 36: 589-
596.
Ceccherelli G, Cinelli F .1999. Effects of Posidonia oceanica canopy on Caulerpa
taxifolia size in a northwestern Mediterranean bay. Mar. Biol. and Ecol.
p.19-3.
Ceccherelli, Giulia. 2002. The spread of Caulerpa taxifolia in the Mediterranean:
Dispersal strategy, interactions with native species, and competitive
ability. Proceedings of International Caulerpa taxifolia Conference. San
Diego, 31 Jan – 1Feb 2002. San Diego :C.A USA.
Chisholm JRM, Dauga C, Ageron E, Grimont PAD. and Jaubert JM. 1996.'Roots'
in mixotrophic alga. Nature 381: 382.
Collado-Vides, Liga and Robledo, Daniel. 1999. Morphology and photosynthesis
of Caulerpa (Chlorophyta) in relation to growth form. Journal of
Phycology 35: 325-330.
Collado-Vides L, Ruesink J. 2002a. Morphological plasticity and invasive
potential of some Caulerpa species. Proceedings of International
Caulerpa taxifolia Conference. San Diego, 31 Jan – 1Feb 2002. San
Diego :C.A USA.
Collado-Vides L. 2002b. Clonal architecture in macroalga: ecological and
evolutionary persepectives. Evolutionary Ecology 15: 531-545.
CRMP. 1998. Status Mangrove dan Terumbu Karang di Lampung. Proyek Pesisir
Publication. Tec. Report TE-99/11-I. CRC-URI. Jakarta.
Davis AR, Roberts DE, Cummins SP. 1997. Rapid invasion of a sponge-
dominated deep-reef by Caulerpa scalpelliformis (Chlorophyta) in
Botany Bay, New South Wales; Aust. Journal of Ecology. 22:146-150.
Dahuri R.2003. Keanekaragaman Hayati Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Dixon RA, Paiva NL.1995. Stress-induced phenylpropanoid metabolism. The
Plant Cell 7: 1085-1097.
Dumay O, Pergent G, Pergent-Martini C, Amade P, 2002. Variations in
Caulerpenyne contents in Caulerpa taxifolia and Caulerpa racemosa. J.o.
Chem. Ecol. 28:175-187.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Evans JC, Kodalia, and Addis PB.2002. Optimal tocopherol concentrations to
inhibit soybean oil oxidation. AOCS Press 47 : JAOCS V 79 (1).
Escrig J, Jimenez J, Pulido R, Saura F, Calixto.2001. Antioxidant Activity of
Fresh and Processed edible Seaweed.J.Sci.Food Agric. 81 : 530-534
72

Fama P, Wysor B, Kooistra WHCF, Zuccarello GC. 2002. Molecular phylogeny


of the genus Caulerpa (Caulerpales, Cholorphyta) inferred from the
chloroplast gene.Journal of Phycology 38: 1040-1050.
Frish, Susan M. 2003. Taxonomic Diversity, Geographic Distribution, and
Commercial Availability of Aquarium-Traded Species of Caulerpa
(Chlorophyta, Caulerpaceae) in Southern California, USA (Thesis) .
Fullerton : California State University.
Ganesan P, Kumar CS, Bhaskar N. 2008. Antioxidant properties of metanol
extract and its solvent fractions obtained from selected Indian red
seaweeds. Bioresource Technology 99 : 2717–2723.
Ghimeray AK, Jin CW, Ghimire BK , Cho DH.2009. Antioxidant acivity and
quantitative estimation of azadirachtin and nimbin in Azadirachta indica
A. Juss grown in foothills of nepal. African Journal of Biotechnology 8 :
3084-3091.
Godard M, Décordé K, Ventura E, Soteras G, Baccou JC, Cristol JP, Rouanet
JM. 2009. Polysaccharides from the green alga Ulva rigida improve the
antioxidant status and prevent fatty streak lesions in the high cholesterol
fed hamster, an animal model of nutritionally-induced atherosclerosis.
Food Chem. 115 : 176–180
Howard LR, Talcott ST, Brenes, CH, Villalon B. 2000. Changes in phytochemical
and antioxidant activity of selected pepper cultivars (Capsicum species)
as influenced by maturity. J Agric Food Chem. 48(5): 1713-1720.
Heim, K.E., A. R. Tagliaferro, and D. J. Bobilya. 2002. Flavonoid antioxidants:
chemistry, metabolism and structure-activity relationships. J. Nutr.
Biochem. 13 (10): 572-584.
Holliday DL. 2006. Phenolic Compound And Antioxidant Activity Of Oat Bran
By various Extraction Methods (Thesis). Lousiana : Department of Food
Science Louisiana State University.
Huckle JM, Potter JA, Marrs RH. 2000. Influence of Environmental Factors on
The Growth and Interaction Between Salt MarshPlant : Effect of
Salinity, Sediment and Waterlogging. Journal of Ecology 88 : 492-505.
Je JY , Park PJ , Kim EKb, Park JS , Yoon HD , Kim KR , Ahn CB.2009.
Antioxidant activity of enzymatic extracts from the brown seaweed
Undaria pinnatida by electron spin resonance spectroscopy. LWT - Food
Science and Technology 42 : 874–878.
Kataren S.1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.
Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Press.
Kadi, A. 2000.Makro Alga di Paparan Terumbu Karang Perairan Teluk
Lampung. Pesisir dan Pantai Indonesia V. Jakarta. Pusat
Pengembangan dan Penelitian Oseanologi.Lembaga Ilmu
pengetahuan Indonesia.
73

Khan MA, F. Shahidi. 2001. Effects of natural and synthetic antioxidants on the
oxidative stability of borage and evening primrose triacylglycerols. Food
Chem. 75 (4): 431-437.
Kuda T , Kunii T, Goto H, Suzuki T, Yano T. 2007. Varieties of antioxidant and
antibacterial properties of Ecklonia stolonifera and Ecklonia kurome
products harvested and processed in the Noto peninsula, Japan. Food
Chem. 103 : 900–905.
Kumar K S, Ganesan K, Rao PBS. 2008. Antioxidant potential of solvent
extracts of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty – An edible seaweed.
Food Chem. 107 : 289–295.
Kwon MJ , Nam TJ. 2007. A polysaccharide of the marine alga Capsosiphon
fulvescens induces apoptosis in AGS gastric cancer cells via an IGF-IR-
mediated PI3K/Akt pathway. Cell Biology International 31 : 768 – 775.
Laode MA. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta : Kanisius
Larned ST.1998. Nitrogen- versus phosphorus-limited growth and sources of
nutrients for coral reef macroalga. Mar. Biol. 132: 409- 421.
Leong LP, Shui G. 2002. An investigation of antioxidant capacity of fruits in
Singapore markets. Food Chem. 76: 69–75.
Lee CD, Wang SB, Kuo CL. 1978. Benthic Macro Invetebrates and Fish as
Indicator of Water Quality, with Refference to ommunity Diversity Index
Bull C.Sci.31 : 233-238.
Lim SN, Cheung PCK, Ooi VEC, Ang PO. 2002. Evaluation of Antioxidative
Activity of Extracts from a Brown Seaweed, Sargassum siliquastrum. J.
Agric. Food Chem. 50 : 3862-3866..
Luning K. 1990. Seaweeds Their Environment, Biogeography, and Ecophysiologi.
John Wiley & Sons, Inc.
Marin A, Ferreres F, Tomas-Barberan F A, and Gil MI. 2004.Characterization and
quantitation of antioxidant constituents of sweet pepper (Capsicum
annuum L.). J. Agric. Food Chem. 52 : 3861-3869.
Meyer KD, Paul VJ. 1992. Intraplant variation in secondary metabolite
concentration in three species of Caulerpa (Chlorophyta: Caulerpales)
and its effects on herbivorous fishes. Mar. Ecol. Prog. Ser. 82:249-257
Meinesz, Alexandre. 2002. Introduction for the international Caulerpa taxifolia
conference. Proceedings of International Caulerpa taxifolia Conference.
San Diego, 31 Jan – 1Feb 2002. San Diego :C.A USA.
Mitchell, Alyson. 2006. Sampling Issues Associated with Antioxidant
Measurements in Food Crops. California : Food Science and Technology
University of California.
Munifah I, Suryaningrum T, Krisnawang H. 2007 . The Antioxidant Carotenoid
Constituent from Marine Macro Alga. Diakses dari www.scribd.com
pada juli 2009.
74

Muchtar M. 2005. Penelitian Terpadu Ekologi dan Strain HAB (Harmfull Algal
Blom) di Perairan Teluk Hurun, Lampung. Jakarta: Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Moore J, Liu JG, Zhou K, And Yu L. 2006. Effects of genotype and
environment on the antioxidant properties of hard winter wheat Bran.
J. Agric. Food Chem. 54 :5313-5322.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl
(DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci.
Technol., 26(2) : 211-219.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta : PT. Djambatan.
Oufnac DS. 2006. Determination of Antioxidant Capacity In Corn Germ, Wheat
Germ and Wheat Brand Using Solvent and Microwave- Assisted Solvent
(Thesis).Lousiana. Department of Food Science Louisiana State
University .
Patra JK, Rath SK, Jena K, Rathod VK, Thatoi H.2008. Evaluation of
antioxidant and antimicrobial activity of seaweed ( Sargassum sp.)
Extract: A Study on Inhibition of Glutathione-S-Transferase Activity.
Turk. J. Biol. 32 : 119-125.
Paul VJ, Hay ME. 1986. Seaweed susceptibility to herbivory: chemical and
morphological correlates. Marine Ecology Press Series 33:255-264;
Paul VJ, Fenical W. 1986. Chemical defense in tropical green alga, order
Caulerpales. Mar.Ecol.Prog.Ser. 34:157-169.
Praptiwi, D., Harapini, M. 2006. Nilai peroksida dan aktivitas anti radikal bebas
diphenyl picril hydrazil hydrate (DPPH) ekstrak metanol Knema laurina.
Majalah Farmasi Indonesia 17(1): 32 –36.
Pemerintah Propinsi Lampung. 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir
Lampung. Cetakanke-2. Bandar Lampung : Pemerintah propinsi
Lampung dan Proyek Pesisir PKSPL IPB.
Piazzi L, Ceccherelli, Giulia , Cinelli F. 2001. Threat to macroalgal diversity:
effects of the introduced green alga Caulerpa racemosa in the
Mediterranean. Mar. Ecol. Prog. Ser. 210: 149-159.
Piazzi L, Balata D, Cecchi, Enrico and Cinelli F. 2002. Co-occurrence of
Caulerpa taxifolia and C. racemosa in the Mediterranean Sea:
interspecific interactions and influence on native macroalgal assemblages.
Cryptogamie Algologie 24(3): 233-243.
Puja Y, Sudjiharno, Aditya TW. Teknologi Budidaya Rumput Laut
(Kapphaphicus alvarezi). Lampung. Balai Budidaya Laut Lampung.
Juknis seri : 8.
Praptiwi , Dewi P, dan Harapini M. 2006. Nilai peroksida dan aktivitas anti
radikal bebas diphenyl picril hydrazil hydrate (DPPH) ekstrak metanol
Knema laurina. Majalah Farmasi Indonesia 17(1): 32 –36.
75

Qi H, Zhang Q, Zhao T, Hu R, Zhangc K, & Li Z. 2006 . In vitro antioxidant


activity of acetylated and benzoylated derivatives of polysaccharide
extracted from Ulva pertusa (Chlorophyta). Bio. and Med. Chem. Letters
16(9): 2441–2445.
Reyes LF, Zevallos LC. 2003. Wounding stress increases the phenolic content and
antioxidant capacity of purple-flesh potatoes (Solanum tuberosum L.). J.
Agric. Food Chem. 51: 5296-5300
Riechert R and Dawes CJ. 1986. Acclimation of the green alga Caulerpa
racemosa var. uvifera to light. Botanica Marina 29: 533-537.
Romimohtarto K, Juwana S.2005. Biologi Laut. Jakarta : PT Djambatan.
Rohman A, Riyanto S dan Utari D.2006.Aktivitas antioksidan, kandungan
fenolik total dan kandungan flavonoid total ekstrak etil asetat buah
Mengkudu serta fraksi-fraksinya. Yogyakarta. Majalah Farmasi
Indonesia 17(3) :136– 142
Ruitton, Sandrine , Javel F, Culioli JM, Meinesz A, Pergent G, Verlaque M.
2005. First assessment of the Caulerpa racemosa (Caulerpales,
Chlorophyta) invasion along the French Mediterranean coast. Mar. Pol.
Bull. 50 : 1061–1068
Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T.2002. The distribution and profile of nutrients and
catechin of some Indonesian seaweeds.Fish.Sci.68 (Suppl.) : 1647-1648
Santoso J. 2003. Studies on nutritional component and antioxidant activity in
several Indonesian seaweeds (Disertation). Tokyo : Tokyo University of
Fisheries
Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T.2004. Polifenolic Compound From Seaweeds :
Distribution and Their Antioxidant Effect. Edited by :Morihiko
Sakaguchi.Amsterdam.The Netherland :Elsevier Ltd.
Santoso J, N. Aryudhani, S.H. Suseno. 2009. Kandungan senyawa fenol rumput
laut hijau Caulerpa racemosa dan aktivitas antioksidannya. Jurnal
Kelautan Nasional 2 :100-118
Shahidi F, P K J P D Wanasundara. 1992. Phenolic antioxidants. Critical reviews
in Food Sci. and Nutr.. 32 : 67-103.
Shoaib M. 2008. Antioxidant Activity Evaluation of Metanolic Extracts of
Brassica napus by Different Assays (Thesis).Sarghoda : Department Of
Chemistry University Of Sargodha, Pakistan.
Silva PC. 2002. Overview of the Genus Caulerpa; Herbarium of the Univ. of
California, Berkeley (CA) – USA;
(http://sgnis.org/publicat/silv2002.htm);
Silva, Paul C. 2003. Historical overview of the genus Caulerpa. Cryptogamie
Algologie 24(1):33-50.
76

Shiu CT, TM. Lee. 2005. Ultraviolet-B-induced oxidative stress and responses of the
ascorbate–glutathione cycle in a marine macroalga Ulva fasciata. Journal of
Experimental Botany 56 (421) : 285 1–2865.
Smith, Celia M. and Walters, Linda J. 1999. Fragmentation as a strategy for
Caulerpa species: Fates of fragments and implications for management of
an invasive weed. P.S.Z.N. Mar. Ecol. 20(2-4): 307-319.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedurs of Statistics. A Biometrical
Aproach.New York : McGraw-Hill Co.,Inc.
Suzuki T, Yoshie Y, Santoso J. 2005. Mineral component and antioxidant
activities of tropical seaweed. J Ocean Univ China (Oceanic and Coastal
Sea research) 4 (3) 205-208.
Subagio A. and N. Morita. 2001. Instability of carotenoids is a reason for their
promotion on lipid oxidation. Food research international 34 (2-3): 183-
188.
Vroom P S , Smith C M. 2001. The Challenge of Siphonous Green Alga.
American Scientist 89: 525-531.
Walters, Linda 2004.. Personal communication to David Bergendorf, 25 Agustus,
27 September 2004 . Florida : USFWS, Stockton, CA.
Williams S L. 1984b. Uptake of sediment ammonium and translocation in a
marine green macroalga Caulerpa cupressoides. Limnology and
Oceanography 29(2): 374-379.
Williams, S., Grosholz, E. 2002. Preliminary reports from the Caulerpa taxifolia
invasion in southern California. Mar. Ecol. Prog. Ser. 233: 307-310.
Yan LY, Teng LT, Jhi TJ. 2006. Antioxidant Properties Of Guava Fruit :
Comparison With Some Local Fruits. Sunway Academic Journal 3: 9–20.
Yee LW, Ikram EHK, Jalil AMM and Ismail A. 2007. Antioxidant Capacity and
Phenolic Content of Selected Commercially Available Cruciferous
Vegetables. Malaysia J. Nutr. 13 : 71.
Yuan X. 2006. Evaluation On Antioxidant Activities Of The Soybean Oils And
Gums (Thesis). Lousiana. Department of Food Science Louisiana State
University, Lousiana.
Yudha IG. 2001. Kondisi Pesisir dan laut Provinsi Lampung.Diakses dari
www.scribd.com pada Mei 2009.
Yudha IG. 2007. Karakteristik Biofisik Perairan Dan Permasalahan
Pengembangan Wilayah Pesisir Di Kecamatan Padang Cermin Dan
Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan. Diakses dari
www.scribd.com pada Mei 2009.
Verlaque M, Durandc, Huisman Jm , Franc C¸ Boudouresque Ois, Parco Y
.2003.On the identity and origin of the Mediterranean invasive Caulerpa
racemosa (Caulerpales, Chlorophyta). Eur. J. Phycol. 38: 325 – 339.
Wang J, Liu L, Zhang Q, Zhang Z, Qi H.2009. Pengcheng synthesized
oversulphated, acetylated and benzoylated derivatives of fucoidan
77

extracted from Laminaria japonica and their potential antioxidant activity


in vitro. Food Chem. 114 : 1285–1290.
Zieren M, B. Wiryawan, H.A. Susanto. 1999. Significant Coastal Habitats,
Wildlife and Water Resources in Lampung. Technical Report (TE-
99/07-E). Coastal Resources Management Project Lampung. Coastal
Resources Center, University of Rhode Island, USA. 36 pp.
78

Lampiran 1 Hasil pengukuran kualitas air

HASIL

TEST RESULT
N PARAMETER SATUAN
o STA1.11 STA2.11 STA3.11
PARAMETERS UNIT

Pasang Surut Pasang Surut Pasang Surut

Parameter Fisika kimia

1. pH 8.11+ 0.06 8.12+0.04 8.13 + 0.77 8.12+0.03 8.06+0.02 8.14+0.02

0
2. Suhu C 31.3+0 30.8+0,14 31.2+0 30.75+0.07 31.7+0.57 30.6+0.14

3. Salinitas psu 31.5+2.12 33+0 31.5+2.12 33+0 31+1.14 32+0

4. Kecepatan arus Cm/s 13.73+0,8 5.97+1,98 16.88+1.18 13.21+5.07 28.03+18 20+14

5. Nitrat (NO3) mg/l 0.28 + 0.01 0.29+ 0.01 0.028 + 0 0.02 +0.04 0.21+ 0.02 0.30 + 0.01

5. DO mg/l 5.48+0.31 6+0.42 6.07+0,03 6.05+0 4,39+0.71 5,23+0.47

6. Amonia( NH3) mg/l 0.35 + 0.06 0.29 + 0.12 0.28 + 0.1 0.27 + 0.05 0.28 + 0.04 0.29+ 0.01

7. Phosphat (PO4) mg/l 0.093+0,01 0.099+0,005 0.089+0,01 0.0925+0,01 0.0945+0,01 0.0915+0,02

8 Kecerahan m 3. 3+ 0.1 3.1 + 0 3.6 + 0.2 3.4 + 0.15 Dasar (1-2) Dasar (1-2)

Intensitas cahaya 623+1.2 841+11.39 666.1+5.12


9. lux 57.09+5.1 79+.4.69 29.9+2.56
dasar

Parameter lingkungan

1 Pencemaran ringan ringan Ringan /hampir sedang

Parameter biologi

Komunitas sedang sedang sedang


1
makro alga

Hewan ada ada ada


2
herbivore

3 Terumbu karang - - Ada /rusak

4 Lamun - - ada
79

Lampiran 2 Metoda pengujian parameter nitrat, phosphate dan amonia

Uji Nitrat (NO3) (Seameo-biotrop, 1998).

Sebanyak 5 ml sampel air yang sudah disaring ditambahkan 1 tetes reagen sodium
arsenit, 0.25 ml brucine dan 5 ml asam sulfat. Sampel diaduk dan didiamkan selama
10 menit kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 410
nm.

Uji Phosphat (PO4) (Byod, 1979)

Sebanyak 25 ml sampel air yang sudah disaring ditambahkan 1 ml reagen


ammonium molibdat dan 5 tetes larutan SnCl2. Sampel kemudian diaduk dan
didiamkan selama 10 menit kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 690 nm.

Uji Amonia total (APHA, 1998)

Sebanyak 25 ml air yang sudah disaring ditambahkan 1 ml larutan fenol, 1ml Sod-
Nitroposside dan 2.5 ml oxidizing solution. Sampel diaduk dan didiamkan selama 1
jam dengan ditutup alumuniun foil kemudian diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 640 nm.
80

Lampiran 3. Biomassa Caulerpa racemosa

Stasiun 3
Perhitungan :
Tabel Caulerpa racemosa pada transek kuadrat
Plot St 1 (g) St 2 (g) St 3 (g)
0 50 100 0 50 100 0 50 100
0 - - - - - - - - -
10 - - - - - - - - -
20 - 15 - - 10 - 15 15 -
30 - 5 - 15 - 10 - - -
40 20 - 10 30 - - - - 10
50 - 10 - - - - - 5 -
60 - - - - 20 - - - -
70 - - - - - - - - -
80 - - - - - - - - -
90 - - - - - - - - -
100 - - - - - - - - -

Perhitungan :

Biomassa = Berat Basah / Luas (m2)

B= 20 +15 +5 +10 + 10 = 0.6 g/m2


100

B= 15+30+10+20+10 = 0.85
100

B= 15+15+5+10= 0.45
100
81

Lampiran 4 Foto pengukuran transek kuadrat


82

Lampiran 5 Pengukuran parameter air di lapangan


83

Lampiran 7. IC 50 askorbic acid

Konsentrasi Absorbansi %
(mg/l) sampel penghambatan

1 0.6352 36.3973
2 0.5949 40.4326
4 0.4647 53.4695
8 0.3198 67.9784
16 0.0033 99.6696

Konsentrasi %
(mg/l) (X) penghambatan
(y)

1 36.3973
Grafik Hubungan Konsentrasi (mg/l) dan (%)
2 40.4326 penghabatan
4 53.4695
8 67.9784
16 99.6696

I C 50 Ascorbic acid
50 = 4.182 x +33.65
X = 3.9096
I C 50 = 3.906mg/l
84

Lampiran 8. Nilai konsentrasi dan absorbansi

Konsentrasi
(mg/l) absorbansi

1 0.6351
2 0.5949
4 0.4647
8 0.3198
16 0.0033

untuk x = 3.906

y = - 0.041x+ 0.662

y = 0.5019
85

Lampiran 9. Pengaruh persiapan sampel dan perbedaan pelarut terhadap total fenol
Kode Sampel ml blanko Berat Absorbansi Total Rata-rata mg/g % g kering g basah total fenol %
sampel Sampel Fenol ekstrak rendemen mg/g basah penurunan
(gr) (%)
Basah/metanol 7.6 0.5 6.8 2.332786 1.60379 23.32786 3.3839011 29.55169 0.789391551
7.6 0.5 7.3 0.874795 8.747946 3.3839011 29.55169 0.296021832
Basah/etil
asetat 7.6 0.5 8.6 3.051867 3.20446 30.51867 0.9271978 107.8519 0.282968407
7.6 0.5 6.5 3.357053 33.57053 0.9271978 107.8519 0.311265247
Basah/Heksan 7.6 0.2 7.8 1.4416 0.890499 14.416 0.8782418 113.8639 0.12660731
7.6 0.2 7.65 0.339398 3.39398 0.8782418 113.8639 0.029807348
Kering/metanol 7.6 0.5 6.9 2.065661 1.770567 20.65661 39.201111 2.550948 51.01896 0.404881043 48.7097318
7.6 0.5 7.1 1.475472 14.75472 39.201111 2.550948 51.01896 0.289200745
Kering/etil
asetat 7.6 0.6 7 1.569083 2.222868 15.69083 7.9066667 12.64755 252.9511 0.062031086 78.0784411
7.6 0.6 6.5 2.876652 28.76652 7.9066667 12.64755 252.9511 0.113723658
Kering/heksan 7.6 0.5 7.45 0.45778 0.45778 4.5778 2.9527778 33.86642 677.3283 0.006758613 94.6617513
7.6 0.5 7.45 0.45778 4.5778 2.9527778 33.86642 677.3283 0.006758613
86

Lampiran 10. Pengaruh persiapan sampel dan perbedaan pelarut terhadap aktifitas antioksidan

sampel Berat Absorbansi AEAC Rata-rata IC 50 Rata-rata % Rata-rata


Sampel sampel (mg/100g) (mg/ml) inhibition
(g)
24.7505797 47.281465
Basah/metanol 0.0075 0.5265 1 24.45181159 16.9692995 17.1792062 9 46.71072
24.1530434
0.0075 0.5379 8 17.3891129 46.139982
36.2024044 11.6014393 11.4190784
Basah/etil asetat 0.0077 0.2896 8 36.78993412 5 1 71.002303 71.20256
37.3774637 11.2367174 71.402823
0.0075 0.2856 7 7 7
1165.51319 1186.62756 0.6608591
Basah/Heksan 0.0072 0.9921 0.36035628 0.354056345 6 6 2 0.675879
1207.74193 0.6908981
0.0078 0.9918 0.34775641 5 7
23.2091567 18.0963058 17.9712077 45.519174
Kering/metanol 0.0077 0.5441 9 23.37184892 6 5 9 45.23881
23.5345410 17.8461096
0.0075 0.5497 6 3 44.958446
11.0180166 38.1193832 20.486632
Kering/etil asetat 0.0073 0.7941 8 10.94021543 2 38.3924105 6 20.75698
10.8624141 38.6654377 21.027335
0.0076 0.7887 9 9 5
0.39311594 1068.38709 1030.23041 0.7609892
Kering/heksan 0.0076 0.9911 2 0.408235786 7 5 9 0.801041
992.073732 0.8410934
0.0078 0.9903 0.42335563 7 2
88

Lampiran 11. Pengaruh persiapan sampel dan perbedaan pelarut terhadap


bilangan peroksida
Sampel B ml ml A-B Bil Peroksida Rata-rata
sampel Blanko Titran

Blanko 5.9827 0.4 5.1 4.7 63.28781319 68.14763


5.4069 0.4 5.3 4.9 73.00745344
Basah/metanol 5.7021 0.4 1.3 0.9 12.71531541 12.57131
5.186 0.4 1.2 0.8 12.42730428
Basah/etil asetat 5.3523 0.4 1.1 0.7 10.53603124 11.56592
5.7562 0.4 1.3 0.9 12.59580974
Basah/Heksan 5.0074 0.4 4.2 3.8 61.13512002 58.84519
5.4129 0.4 4.2 3.8 56.55526612
Kering/metanol 5.3149 0.4 1.2 0.8 12.12591018 11.56785
5.8537 0.4 1.2 0.8 11.00978868
Kering/etil asetat 5.3488 0.4 1.7 1.3 19.57971882 17.75133
5.5653 0.4 1.5 1.1 15.92295114
Kering/heksan 5.5184 0.4 5.3 4.9 71.53232821 70.50652
5.5654 0.4 5.2 4.8 69.48072016
89

Lampiran 12 Pengaruh lokasi terhadap aktivitas antioksidan

Kode Berat Absorbansi AEAC Rata-rata IC 50 Rata-rata % Rata-rata


Sampel Sampe sampel (mg/100g) (mg/ml) inhibition
l (g)
Stasiun 1 0.0073 0.7941 11.018017 10.9402154 38.11938 38.392411 20.48663 20.75698
0.0076 0.7887 10.862414 38.66544 21.02734
Stasiun 2 0.0078 0.5387 23.183761 23.6801956 16.848 16.502049 46.05988 46.43036
0.0076 0.5313 24.17663 16.1561 46.80084
Stasiun 3 0.0074 0.6246 19.873605 19.3612397 19.65421 20.188466 37.4587 36.97306
0.0076 0.6343 18.848875 20.72272 36.48743
90

Lampiran 13. Pengaruh lokasi terhadap bilangan peroksida


Sampel Normalita B ml ml A-B Bil Rata-rata
s Na2S20 sampel Blanko Titran Peroksida
Blanko 0.1007 5.9827 0.4 5.1 4.7 63.287813 68.14763
0.1007 5.4069 0.4 5.3 4.9 73.007453
Stasiun 1 0.1007 5.3488 0.4 1.7 1.3 19.579719 17.75133
0.1007 5.5653 0.4 1.5 1.1 15.922951
Stasiun 2 0.1007 5.2128 0.4 1.3 0.9 13.90884 12.69446
0.1007 5.6139 0.4 1.2 0.8 11.480076
Stasiun 3 0.1007 5.3091 0.4 1.3 0.9 13.656552 13.81863
0.1007 5.186 0.4 1.3 0.9 13.980717
91

Lampiran 14. Pengaruh lokasi terhadap total fenol


Kode ml Berat ml Total Rata-rata
Sampel blanko sampel titran Fenol
(gr) (%)
Stasiun
1 7.6 0.6 7 1.56908 2.222868
7.6 0.6 6.5 2.87665
Stasiun
2 7.6 0.3 5 12.8938 12.64586
7.6 0.3 5.1 12.3979
Stasiun
3 7.6 0.5 6.8 2.44149 3.051867
7.6 0.5 6.4 3.66224
92

Lampiran 15 Tabel analisis ragam hasil uji suhu saat pasang surut di tiga lokasi

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 1.724(a) 5 .345 5.668 .028
Intercept 11575.441 1 11575.441 190281.219 .000
Lokasi 1.724 5 .345 5.668 .028
Error .365 6 .061
Total 11577.530 12
Total terkoreksi 2.089 11
a R kuadrat = .825 (Adjusted R Skuadrat = .680)

Hasil uji Duncan hasil uji suhu saat pasang


surut di tiga lokasi
Subset
Lokasi N 1 2 3
3p 2 30.6000
2p 2 30.7500 30.7500
1p 2 30.8000 30.8000
2s 2 31.2000 31.2000 31.2000
1s 2 31.3000 31.3000
3s 2 31.7000
Sig. .060 .078 .098
93

Lampiran 16 Tabel analisis ragam hasil uji DO saat pasang surut di tiga lokasi

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 4.320(a) 5 .864 6.941 .018
Intercept 368.078 1 368.078 2956.843 .000
Lokasi 4.320 5 .864 6.941 .018
Error .747 6 .124
Total 373.145 12
Total terkoreksi 5.067 11

Hasil uji Duncan hasil uji DO saat pasang


surut di tiga lokasi
Subset
Lokasi N 1 2
3p 2 4.3950
3s 2 5.2350 5.2350
1p 2 5.4800
1s 2 6.0000
2s 2 6.0500
2p 2 6.0700
Sig. .055 .067
94

Lampiran 17 Tabel analisis ragam hasil uji arus saat pasang surut di tiga lokasi

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 846.588(a) 5 169.318 1.793 .189
Intercept 4877.427 1 4877.427 51.651 .000
Lokasi 846.588 5 169.318 1.793 .189
Error 1133.170 12 94.431
Total 6857.185 18
Total terkoreksi 1979.758 17

Hasil uji Duncan hasil uji arus saat pasang


surut di tiga lokasi
Subset
Lokasi N 1 2
3s 3 5.9667
2s 3 13.2167 13.2167
3p 3 13.7333 13.7333
2p 3 16.8833 16.8833
1s 3 20.9333 20.9333
1p 3 28.0333
Sig. .110 .114
95

Lampiran 18 Tabel analisis ragam hasil uji amonia saat pasang surut di tiga lokasi

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi .008(a) 5 .002 9.480 .008
Intercept 1.044 1 1.044 6265.800 .000
Lokasi .008 5 .002 9.480 .008
Error .001 6 .000
Total 1.053 12
Total terkoreksi .009 11

Hasil Uji Duncan hasil uji amonia saat pasang


surut di tiga lokasi
Subset
Lokasi N 1 2
2s 2 .2700
3p 2 .2800
2p 2 .2900
1s 2 .2900
3s 2 .2900
1p 2 .3500
Sig. .191 1.000
96

Lampiran 19 Tabel analisis ragam hasil uji cahaya permukaan saat pasang surut di
tiga lokasi

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 1591886.417(a
5 318377.283 5358.383 .000
)
Intercept 2067530.083 1 2067530.083 34797.140 .000
Lokasi 1591886.417 5 318377.283 5358.383 .000
Error 356.500 6 59.417
Total 3659773.000 12
Total terkoreksi 1592242.917 11

Hasil uji Duncan hasil uji cahaya permukaan saat pasang surut di tiga lokasi
Subset
Lokasi N 1 2 3 4 5 6
3s 2 31.0000
1s 2 59.0000
2s 2 80.0000
3p 2 688.5000
1p 2 735.0000
2p 2 897.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
97

Lampiran 20 Tabel analisis ragam hasil uji rata-rata harian nitrat


Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi .083 a 2 .042 28.872 .011


Intercept .215 1 .215 149.467 .001
Lokasi .083 2 .042 28.872 .011
Error .004 3 .001
Total .302 6
Total terkoreksi .087 5
a. R kuadrat = .951 (Adjusted R kuadrat = .918)

Hasil uji Duncan rata-rata harian nitrat


Subset
Lokasi N 1 2
St 2 2 .0240
St 3 2 .2555
St 1 2 .2885

Sig. 1.000 .448


98

Lampiran 21 Tabel analisis ragam IC 50 di tiga lokasi penelitian


Sumber
keragaman JK db KT F hitung Sig.
Model terkoreksi 549.441(a) 2 274.720 859.117 .000
Intercept 3758.297 1 3758.297 11753.109 .000
Lokasi 549.441 2 274.720 859.117 .000
Error .959 3 .320
Total 4308.697 6
Total terkoreksi 550.400 5

Hasil uji Duncan IC 50 di tiga lokasi penelitian


Subset
Lokasi N 1 2 3
st2 2 16.5020
st3 2 20.1885
st1 2 38.3924
Sig. 1.000 1.000 1.000
99

Lampiran 22 Tabel analisis ragam bilangan peroksida di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 4304.392(a) 3 1434.797 100.823 .000
Intercept 6318.236 1 6318.236 443.980 .000
Lokasi 4304.392 3 1434.797 100.823 .000
Error 56.924 4 14.231
Total 10679.551 8
Total terkoreksi 4361.315 7

Hasil uji Duncan bilangan peroksida di tiga


lokasi penelitian
Subset
KODE N 1 2
st2 2 12.6945
st3 2 13.8186
st1 2 17.7513
blanko 2 68.1476
Sig. .257 1.000
100

Lampiran 23 Tabel analisis ragam persen penghambatan di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 674.349(a) 2 337.175 1133.527 .000
Intercept 7232.927 1 7232.927 24315.938 .000
Lokasi 674.349 2 337.175 1133.527 .000
Error .892 3 .297
Total 7908.169 6
Total terkoreksi 675.242 5

Hasil uji Duncan persen penghambatan di tiga lokasi penelitian


Subset
Lokasi N 1 2 3
st1 2 20.7570
st3 2 36.9731
st2 2 46.4304
Sig. 1.000 1.000 1.000
101

Lampiran 24 Tabel analisis ragam AEAC di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 167.916(a) 2 83.958 244.529 .000
Intercept 1942.679 1 1942.679 5658.087 .000
Lokasi 167.916 2 83.958 244.529 .000
Error 1.030 3 .343
Total 2111.625 6
Total terkoreksi 168.946 5

Hasil uji Duncan AEAC di tiga lokasi


penelitian
Subset
KODE N 1 2 3
st1 2 10.9402
st3 2 19.3612
st2 2 23.6802
Sig. 1.000 1.000 1.000
102

Lampiran 25 Tabel analisis ragam aktivitas antioksidan (AEAC)

Sumber Keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 2142.964 5 428.593 2751.838 .000
Intercept 3092.264 1 3092.264 19854.296 .000
KONDISI 240.764 1 240.764 1545.859 .000
PELARUT 1473.587 2 736.793 4730.682 .000
KONDISI * PELARUT 428.613 2 214.307 1375.984 .000
Error .934 6 .156
Total 5236.162 12
Total terkoreksi 2143.899 11
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

Hasil uji Duncan AEAC


PELARUT N Subset
1 2
heksan 4 .3811
Etil ase 4 23.8651
Metanol 4 23.9118
Sig. 1.000 .872

Post hoc test tidak dapat menunjukan kondisi karena kondisi kurang dari 2
103

Lampiran 26 Tabel analisis ragam hasil uji AEAC pada kondisi basah

Sumber Keragaman JK db KT F hitung Sig.


Model terkoreksi 1373.670a 2 686.835 2371.158 .000
Intercept 2529.362 1 2529.362 8732.112 .000
PERLAKUAN 1373.670 2 686.835 2371.158 .000
Error .869 3 .290
Total 3903.900 6
Total terkoreksi 1374.538 5
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)

Hasil uji Duncan AEAC pada kondisi basah


Perlakuan N Subset
1 2 3
Basah
2 .3541
heksan
Basah
2 24.4518
metanol
Basah etil 36.7899
2
ase
Sig. 1.000 1.000 1.000
104

Lampiran 27 Tabel analisis ragam hasil uji AEAC pada kondisi kering
Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.
Model terkoreksi 528.530 a 2 264.265 12103.612 .000
Intercept 803.666 1 803.666 36808.717 .000
Perlakuan 528.530 2 264.265 12103.612 .000
Error .066 3 .022
Total 1332.262 6
Corrected Total 528.596 5
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Hasil uji Duncan AEAC pada kondisi


kering
Perlakuan N Subset
1 2 3
Kering heksan 2 .4082
Kering metanol 2 10.9402
Kering etil ase 2 23.3718
Sig. 1.000 1.000 1.000

S-ar putea să vă placă și