Sunteți pe pagina 1din 7

Konsep Managemen Cairan dan diet

Manajemen cairan

Mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama bagi pasien dialisis karena
dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibandingkan
dengan makanan.Namun, bagi pasien GGK harus melakukan pembatasan asupan cairan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Mayoritas pasien yang menjalani hemodialisis di indonesia
menjalani terapi 2 kali seminggu antara 4-5 jam pertindakan, itu artinya tubuh harus menanggung
kelebihan cairan diantara dua waktu terapi (PERNEFRI, 2011)
Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan akan menumpuk di
dalam tubuh sehingga berat badan meningkat. Peningkatan berat badan akibat asupan cairan pasien
yang tidak terkontrol tersebut menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi, edema (bengkak)
pada paru dan kaki. Pasien juga tidak akan merasa nyaman karena sesak nafas, lelah dan lemas.

Penambahan Berat Badan Interdialisis


Penambahan berat badan interdialisis adalah penambahan berat badan pasien diantara dua
waktu dialisis yang merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan
peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama
periode interdialitik (Arnold, 2008). Penambahan berat badan interdialisis biasanya berkaitan
dengan kelebihan beban natrium dan air dan merupakan faktor penting terjadinya hipertensi arteri
saat dialisis (Lopez-Gomez, 2005).Peningkatan berat badan selama periode interdialisis
mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang sangat membahayakan pasien karena pada saat
periode interdialisis pasien berada dirumah tanpa pengawasan dari petugas kesehatan. Sebanyak
60%-80% pasien meninggal akibat kelebihan intake cairan dan makanan pada periode interdialisis
(Istanti, 2009).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penambahan Berat Badan Interdialisis


Beberapa faktor spesifik yang mempengaruhi penambahan berat badan diantara waktu dialisis
antara lain faktor dari pasien itu sendiri dan juga keluarga serta beberapa faktor psikososial antara
lain faktor demografi, masukan cairan, rasa haus, social support, self efficacy dan stress (Sonnier,
2000).
1. Faktor Demografi
Beberapa penelitian membuktikan bahwa faktor demografi dan psikososial berpengaruh
terhadap peningkatan berat badan interdialisis dan mempengaruhi kemampuan pasien dalam
mengontrol asupan natrium dan cairan (Abuelo,1999). Yang termasuk data demografi adalah usia,
jenis kelamin, serta pendidikan pasien. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Linberg et al.(2009)
mengatakan ciri-ciri pasien yang berhubungan dengan kelebihan cairan interdialisis adalah usia
yang lebih muda, indeks massa tubuh yang lebih rendah, lebih lama menjalani HD. Usia
mempengaruhi distribusi cairan tubuh seseorang, penambahan cairan terjadi secara normal seiring
dengan perubahan perkembangan seseorang. Abuelo (1999) menyatakan bahwa psien yang berusia
lanjut mengalami penurunan rasa haus sehingga asupan cairan pun menurun yang dapat
menyebabkan penambahan berat badan intersialisis pun tidak berat. Jenis kelamin akan
mempengaruhi cairan dan berat badan seseorang dimana wanita mempunyai air tubuh lebih sedikit
karena lebih banyak mengandung lemak dibandingkan pria. Lemak tidak mengandung air,
sehingga pasien yang gemuk memiliki proporsi air sedikit dibandingkan yang kurus. Pendidikan
juga berpengaruh dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisis, dimana pendidikan
berkaitan dengan kepatuhan pasien dalam membatasi cairan.
2. Asupan Cairan
Asupan cairan berperan penting dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisis
dimana asupan cairan yang berlebihan akan menyebabkan penambahan berat badan interdialisis
yang tidak terkontrol. Membatasi asupan cairan 1 liter perhari adalah penting untuk mengurangi
resiko kelebihan volume cairan antara perawatan dialisis (Abuelo, 1999). Pemahaman dan
kemampuan
pasien mengatur pemasukan cairan yang mendekati kebutuhan cairan tubuh diperlukan untuk
menghindari akibat kelebihan cairan. Asupan harian yang dianjurkan pada pasien yang menjalani
hemodialisis adalah dibatasi hanya sebanyak insensible water losses ditambah urin (Smeltzer &
Bare, 2008). Banyak cairan yang dikonsumsi oleh pasien dalam menelan makanan atau menelan
obat (Abuelo, 1999).
3. Rasa Haus
Pasien PGK meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami rasa haus yang
berlebihan yang merupakan salah satu stimulus timbulnya sensasi haus. Merespon rasa haus
normalnya adalah dengan natrium, tetapi pasien PGK tidak diizinkan untuk berespon dengan cara
normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus atau keinginan untuk minum
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya masukan sodium, kadar sodium yang tinggi,
penurunan kadar posatium, angiotensin II, peningkatan urea plasma, hipovolemia post dialisis dan
faktor psikologis (Istanti, 2009).
4. Dukungan Sosial dan Keluarga
Tindakan hemodialisis pada pasien PGK dapat menimbulkan stress bagi pasien. Dukungan
keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan keluarga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dan berhubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalani terapi (Sonnier,
2000).
5. Self Efficacy
Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif
melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self Efficacydapat mempengaruhi rasa
percaya diri pasien dalam menjalani terapinya (hemodiaisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan
untuk memunculkan motivasi dari diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan dengan
baik, sehingga dapat mencegah peningkatan berat badan interdialisis (Istanti, 2009).
6. Stress
Stress dapat mempengaruhi keseimbagan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Stress
meningkatkan kadar`aldosteron dan glukorkortiroid, menyebabkan retensi natrium dan garam.
Respon stress dapat meningkatkan volume cairan akibat curah jantung, tekanan darah, dan perfusi
jaringan menurun. Cairan merupakan salah satu stressor utama yang dialami oleh pasien yang
menjalani hemodialisis (potter & perry, 2006). Stress pada pasien HD dapat menyebabkan pasien
berhenti memonitoring asupan cairan, bahkan ada juga yang berhenti melakukan terapi
hemodialisis, kejadian ini secara lansung dapat berakibat pada penambahan berat badan (Istanti,
2009).

Cara Mengukur Penambahan Berat Badan Interdialisis


Penambahan berat badan interdialisis merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan
asupan cairan. Penambahan berat badan interdialisis diukur berdasarkan dry weight(berat badan
kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat
badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah
yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005). Cara menghitung
penambahan berat badan interdialisis adalah berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum
dan sesudah hemodialisis. Berat badan pasien setelah (post) HD periode hemodialisis pertama
(pengukuran I). Periode hemodiaisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD
(pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I
dibagi Pengukuran II dikali 100%. Misalnya, BB pasien HD ke I adalah 54 kg, BB pre HD ke II
adalah 58 kg. Presentase IDWG (58-54) : 58 x 100= 6,8 % (Istanti, 2009). Panduan perhitungan
penambahan berat badan pasien antara dua waktu dialisis :
1. Hitung berat badan pasien sebelum dilakukan hemodialisis saat sekarang
2. Hitung berat badan post hemodialisis sebelumnya
3. Hitung selisih penambahan berat badan antara berat post hemodialisis pada periode
sebelumnya dengan berat badan sebelum hemodialisis saat sekarang
4. Hitung penambahan berat badan dengan rumus berat badan pasien sebelum HD saat
sekarang dikurang berat badan post hemodialisis periode sebelumnya dibagi berat badan
sebelum HD saat sekarang dikali dengan 100%. Yetti (2001) mengelompokkan
pertambahan berat badan diantara dua waktu dialisis menjadi 3 kelompok, yaitu :
penambahan <4% adalah penambahan ringan, penambahan 4-6% adalah penambahan rat-
rata, dan >6% merupakan penambahan bahaya.

Manajemen Diet

Berikut akan dijelaskan mengenai manajemen diet nutrisi pada pasien hemodialisa (PERNEFRI,
2014) ;
Tujuan terapi diet
Bagi pasien gagal ginjal kronik dalam mengendalikan keseimbangan cairan dan mengeluarkan
berbagai produk limbah. Dalam diet ini harus dipertimbangkan kandungan protein, natrium,
kalium pada makanana. Jumlah unsur-unsur gizi tersebut dikurangi bila eksresi terganggu dan
ditingkatkan bila terjadi kehilangan yang abnormal lewat urine.
Prinsip Diet Nutrisi pada Pasien Hemodialisis
Diet memegang peranan penting dalam penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisis. Diet
yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan secara berkala diperlukan
penyesuaian mengingat perjalanan penyakit yang progresif (PERNEFRI, 2014).
a) Pertimbangan pasokan energi Masukan energi yang memadai untuk mencegah terjadinya
pemecahan protein jaringan
b) Ekskresi
Pasien mungkin mengeksresikan atau mengeluarkan air, natrium dan kalium dengan jumlah yang
sanga banyak. Kehilangan ini harus diimbangi dan masukannya harus berdasarkan pada
pengeluarannya. Jika pasien menderita hipertensi dan edema atau bengkak, jumlah garam mungkin
harus dibatasi. Sebagian pasien akan menahan kalium hingga taraf yang tidak proporsional
sehingga diperlukan pembatasan kalium Masukan kalium dapat diatur dengan mempelajari
kandungan kalium pada berbagai jenis makanan. Apabila jumlah natrium harus
dibatasi, makanan harus dimasak tanpa penambahan garam dan juga makanan yang disajikan tidak
boleh dibubuhi garam. Makanan yang asin jelas harus dihindari. Pemakaian bahan pengganti
garam hanya diperbolehkan dengan seijin dokter karena bahan tersebut mengandung
kalium dalam jumlah yang tinggi.
c) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang baik. Jika Anda sedang menjalani diet rendah protein,
Anda dapat mengganti kalori protein dengan buah-buahan, roti, biji-bijian dan sayuran. Makanan
ini memberikan energi, serta serat, mineral, dan vitamin. Terdapat juga daftar sumber makanan
lainnya seperti permen, gula, madu, dan jelly. Jika diperlukan, Anda bahkan bisa mengkonsumsi
makanan penutup berkalori tinggi seperti kue, selama Anda tetap membatasi makanan penutup
yang dibuat dari susu, coklat, kacang,atau pisang.
d) Lemak
Lemak bisa menjadi sumber kalori yang baik. Pastikan untuk menggunakan monounsaturated dan
polyunsaturated lemak (minyak zaitun, minyak canola, minyak safflower) untuk melindungi
kesehatan jantung.

e) Protein
Masukan protein harus dikurangi sampai suatu taraf tertentu dan pengurangan ini berdasarkan
kepada kemampuan ginjal untuk mengeksresikan atau mengeluarkan bahan nitrogen serta garam
yang ada hubungannya dengan metabolisme protein. Kemungkinan pasien dapat mentolerir diet
rendah protein yang memberikan 40 gram protein sehari untuk permulaannya. Apabila keadaan
uremia berlanjut sampai tahap yang menyebabkan hilangnya selera makan, nausea dan pasien
menjadi lemah, harus mempertimbangkan diet rendah protein dengan protein 20 gram/hari. Setelah
mulai dialisis, pasien perlu makan lebih banyak protein. Diet tinggi protein dengan ikan, unggas,
atau telur setiap kali makan. Ini akan membantu untuk mengganti otot dan jaringan lain yang
hilang. Pasien yang menjalani dialisis harus makan 8-10 ons makanan tinggi protein setiap hari.
Dokter, ahli diet atau perawat akan menyarankan untuk menambahkan putih telur, telur
bubuk putih, atau bubuk protein. Menurut Giordano-Giovanetti, dalam sehari hanya 20 gram
protein yang diberikan kepada pasien lewat diet tersebut. Jumlah ini mencukupi untuk suatu waktu
yang terbatas asalkan semua asam amino esensial terdapat dalam diet tersebut dan jumlah
kalorinya juga mencukupi. Hilangnya protein lewat urine harus diimbangi dengan peningkatan
masukan protein yang sesuai. Berbagai derajat pembatasan garam diperlukan. Sebagai contoh,
makanan yang dimasak dan disajikan tanpa penambahan garam, dan menghindari makanan
bergaram termasuk margarin atau mentega biasa, tetapi menggunakan roti rendah protein yang
mengandung natrium (dibuat dengan soda kue), akan memberikan masukan natrium sampai
kurang lebih 36 mmol per hari. Selera makan pasien dengan gagal ginjal kronis mengalami
penurunan sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mempertahankan nilai kalori pada diet yang
diberikan. Upaya ini mencakup pemakaian bahan makanan tinggi kalori rendah protein seperti
gula, glukosa, mentega, margarin, minyak dan krim. Jumlah nasi yang merupakan bahan makanan
dengan kandungan protein rendah tetapi mempunyai nilai kalori cukup tinggi dapat ditambah
sesuai dengan kemampuan makan pasien. Makanan khusus, yang meliputi roti dan biskuit rendah
protein, yang dapat dibeli di toko-toko swalayan dan khusus diperuntukkan bagi jenis diet ini. Diet
tersebut juga membutuhkan suplemen vitamin B kompleks dan vitamin C. Mengingat diet ini kaya
akan hidratarang, vitamin yang paling dibutuhkan adalah vitamin B Zat besi juga terkadang
diberikan pada pasien-pasien tersebut. Apabila pasien dapat mematuhi diet, maka kadar ureum
darah akan turun dan akan merasakan kesehatan yang lebih baik dan lebih
nyaman sehingga memotivasi untuk bertahan pada diet tersebut.
1.
Model Common Sense Model Common-Sense
(CSM) menjelaskan cara di mana pasien sadar dan mampu merumuskan intervensi untuk
menyembuhkan ancaman kesehatan mereka. Konsep-konsep model ini termasuk rangsangan
penyakit, representasi penyakit, respons koping, dan penilaian. Stimulus penyakit merujuk pada
kumpulan informasi somatik atau simptomatik yang disimpan dalam memori atau diberikan oleh
sumber eksternal. Atribut kognitif dan emosional membentuk representasi penyakit yang
dijelaskan dalam kaitannya dengan sebab, akibat, kontrol, identitas, dan garis waktu. Strategi
koping termasuk pendekatan koping (mencari saran, bantuan atau obat) secara aktif dan koping
penghindaran (penolakan gejala dan / atau diagnosis dan penolakan untuk mencari bantuan).
Mengikuti penerapan strategi koping, penilaian terjadi ketika individu menentukan bahwa
keseimbangan telah dipulihkan atau ada identifikasi kegagalan dan kebutuhan untuk
mengembangkan dan mengubah strategi koping mereka. Selain itu, umpan balik berkelanjutan
diintegrasikan ke dalam rencana aksi intervensi dan ancaman-perkembangan. Penatalaksanaan
stresor kesehatan bergantung pada bagaimana pasien memandang penyakit mereka karena ini
memengaruhi strategi kognitif dan perilaku. Skema penyakit diinformasikan dengan memahami
kondisi, informasi dari orang lain dan persepsi gejala masa lalu dan saat ini dari kondisi tersebut
telah mengidentifikasi Common-Sense Model sebagai model pengaturan diri yang dinamis yang
menginformasikan pengembangan intervensi manajemen diri. Intervensi yang dikembangkan
menargetkan berbagai perilaku yang mengarah pada peningkatan manajemen dan akibatnya
kualitas hidup pasien CKD. Para penulis yang sama menjelaskan CKD sebagai penyakit progresif
di mana sejumlah besar manifestasi fisik dan klinis terbukti dan ini dilihat oleh pasien sebagai efek
merugikan CKD. Selanjutnya, persepsi penyakit secara langsung terkait dengan metode adaptasi
dan adaptasi maladaptif.

Mengurangi ancaman kesehatan adalah tujuan bersama ketika berusaha mencapai hasil klinis yang
positif; Oleh karena itu pasien CKD perlu mengadopsi berbagai langkah penanganan seperti
perilaku hidup sehat dan dukungan agama. Adopsi gaya hidup sehat dianjurkan mengikuti
pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara CKD dan faktor gaya hidup oleh pasien. Lin
et al. menjelaskan bahwa penurunan laju perkembangan CKD dapat terjadi ketika pasien
mengubah gaya hidup mereka. Clarke et al. menegaskan bahwa perasaan positif tentang kontrol
pribadi di antara pasien CKD dapat mempengaruhi jalannya kondisi mereka. Sementara Vélez ‐
Vélez dan Bosch menggemakan sentimen yang sama, para penulis ini juga mengidentifikasi
perasaan kontrol pribadi yang lebih buruk sebagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap
modalitas pengobatan pasien hemodialisis CKD.
Mckillop dan Joy melakukan penelitian kualitatif yang mengungkapkan rejimen pengobatan yang
kompleks dan efek samping obat sebagai ancaman penyakit dengan konsekuensi dari
ketidakpatuhan pengobatan. Pasien CKD melaporkan kesulitan dalam menghubungkan gejala fisik
mereka dengan CKD mereka dan manifestasi klinis spesifik dari CKD dan penggunaan obat terkait
mempengaruhi perilaku manajemen diri seperti kepatuhan pengobatan dan aktivitas fisik.
O'Connor et al. menilai pemanfaatan Common Sense Model Leventhal dalam prediksi perilaku
perawatan diri diet, obat-obatan dan cairan rezim antara pasien CKD lanjut dan model ditemukan
untuk memprediksi perilaku kepatuhan terkait dengan faktor-faktor ini.

McManus, bagaimanapun, melakukan penelitian untuk membangun hubungan antara persepsi


penyakit dan kepatuhan pengobatan pada pasien dengan CKD dan menentukan bahwa persepsi
penyakit tidak memiliki efek pada kepatuhan pengobatan, yaitu tidak ada hubungan yang
signifikan antara kedua variabel. Alasan untuk hubungan yang tidak signifikan antara kedua faktor
ini adalah penggunaan data miring yang menyebabkan berkurangnya variabilitas dalam distribusi
skor dan akibatnya daya yang tidak cukup untuk mendeteksi korelasi dengan efek kecil dan
menengah. Dengan kata lain, ada pelanggaran terhadap asumsi normalitas. Brandes dan Mullan
juga menemukan hasil yang sama dan menyimpulkan CSM sebagai model yang tidak sesuai untuk
digunakan dalam studi prediksi kepatuhan. Studi lain telah menunjukkan persepsi penyakit sebagai
faktor dalam memprediksi pengobatan, cairan dan kepatuhan diet pada pasien CKD lanjut, namun,
ada kelangkaan informasi tentang seberapa banyak perbedaan persepsi ini dapat mempengaruhi
perilaku patuh pada pasien ini. Karena itu Mullan merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk
mengeksplorasi varians yang dikontribusikan oleh persepsi penyakit pada perilaku tidak patuh
pada pasien dengan CKD.

Meskipun masih belum jelas sampai sejauh mana kognisi bertanggung jawab secara kausal untuk
pengembangan respon emosional, biologis dan perilaku subyektif, atau sejauh mana mereka
merupakan bagian dari proses integratif [Phelps, 2006], evaluasi kognitif merupakan tautan
penting antara keadaan obyektif dari suatu situasi dan respons individu terhadap situasi ini. Dengan
demikian, kognisi dari perspektif perilaku kognitif sangat penting untuk pemahaman fungsional
gangguan mental dan perawatan mereka.
Rekaman psikometrik dari kognisi dalam praktik psikoterapi biasanya dilakukan melalui kuesioner
konfirmasi, di mana keberadaan atau tingkat sebagian besar gangguan kognitif spesifik
dipertanyakan (misalnya kuesioner tentang ketakutan yang berhubungan dengan tubuh, kognisi
dan penghindaran (AKV) [Ehlers et al., 2001]), atau melalui apa yang disebut metode produksi di
mana kognisi khusus situasi, misalnya berdasarkan buku harian atau daftar pemikiran otomatis,
yang dikumpulkan oleh pasien [lih. Hoyer dan Chaker, 2009].

"Appraisal Secondary Appraisal" (PRA) Primer adalah gabungan dari metode-metode di atas,
karena PASA menggunakan kuesioner terstandarisasi untuk membuat kondisi-kondisi yang
spesifik-situasi, tetapi non-interferensi-spesifik, dapat dijalankan. PASA dengan demikian
memungkinkan pencatatan psikometrik dari kognisi stres umum, yang kemudian, misalnya,
memungkinkan perbandingan pra-pasca.

Struktur PASA didasarkan pada teori stres transaksional dari Lazarus dan Folkman [1984], yang
mendalilkan dua aspek penilaian yang berbeda dalam reaksi stres: Dalam penilaian awal (penilaian
primer) kondisi situasional dievaluasi untuk potensi ancaman atau konten tantangan mereka. .
(Evaluasi situasi mengenai potensi kerugian yang disebutkan dalam teori tekanan transaksional
tidak dicatat dalam PASA, karena PASA hanya mengoperasikan proses evaluasi antisipatif).
Penilaian sekunder menilai tingkat peluang mengatasi yang dirasakan. PASA mengoperasionalkan
dua proses evaluasi ini berdasarkan dua sub-skala masing-masing (penilaian awal: "ancaman" dan
"tantangan"; evaluasi kedua: "konsepsi diri atas kemampuan sendiri" dan "keyakinan kontrol").
Total beban individu ("indeks stres") kemudian dapat dihitung dengan menggunakan perbedaan
antara penilaian pertama dan kedua. PASA selalu dapat digunakan jika tingkat tekanan yang
dirasakan secara subyektif dalam kaitannya dengan situasi tertentu akan dinilai dengan cara yang
berbeda. Dalam konteks psikoterapi, ini dimungkinkan, misalnya, dalam implementasi dan
evaluasi individu prosedur konfrontasi, intervensi kognitif dan eksperimen perilaku.
pelaksanaan
PASA dapat digunakan untuk merekam evaluasi kognitif antisipatif dari situasi yang ditentukan.
Dengan demikian, penggunaannya dalam situasi konkret, seperti Eksperimen perilaku, konfrontasi
dan paparan, berguna. Selama implementasi, perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa
situasinya terdefinisi dengan baik dan bahwa pasien juga mengalami aktivasi emosional, misalnya
melalui deskripsi atau imajinasi yang tepat dari situasi yang akan terjadi. PASA adalah alat
penilaian diri dan mencakup 16 item dengan opsi jawaban 6 kali lipat ("sepenuhnya salah" hingga
"cukup benar"). Pengisian memakan waktu maksimal 5 menit

S-ar putea să vă placă și