Sunteți pe pagina 1din 10

“Aliran Qadariyah”

A. PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH


Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa
aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

B. SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH


Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-
Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah
Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-
Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan
pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad
bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut
Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari
seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar
kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah,
karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia
memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam
menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh
dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang
yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena
faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat
tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-
perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan
jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut
nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga
merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara lain :
Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar
Tuhan.
Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan
Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia
sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa
kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah
sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli
tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :

         


         
        
   
29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan
air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung
pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan,
bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat
dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
C. CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH
Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.
1. Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan
nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan
Allah SWT.
2. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi
iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
3. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan
D. AJARAN-AJARAN QADARIYAH
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik
atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa
manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan
balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang
telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam
istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya
manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di
lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu
membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan
kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara
dan mendukung paham itu
         
            
      
40. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak
tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik,
ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang
kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah
dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

           
          

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
            
            
            
11. bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan
ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat
ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.

[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka. (QS.Ar-R’d :11)

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.

2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka


bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai
pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap
bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.

3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka
menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.

4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan


pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.

5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.

6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada
penyerupaan (tasybih).

7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'),
selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.

E. EFLEKSI ALIRAN QADARIYAH DAN ALIRAN JABARIYAH (Sebuah


Perbandingan Tentang Musibah)
Dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam khususnya dalam hal aliran-
aliran yang ada di dalamnya, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah selalu dikaitkan, karena aliran
keduanya ini sangatlah berbeda pandangan, di satu sisi Aliran Qadariyah beranggapan bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah artinya segala tingkah laku manusia tidak ada
campur tangan Allah SWT sama sekali, di lain pihak Aliran Jabariyah berbeda pandangan dan
bertolak belakang yaitu aliran Jabariyah beranggapan bahwa segala tingkah laku manusia semuanya
ditentukan oleh Allah, manusia sangat tidak berdaya.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai
kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya
yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan
menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam
paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh
untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional
dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil
naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-
hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah
merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah
biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah.
Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada
kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham
Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah
kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat
besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus
dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan
posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang
Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan
membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup
selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan
tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang
harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang
menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan
yang dilanda musibah

F. KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH


Iman kepada taqdir merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap
muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan
tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk
mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah
menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya."
[Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang
tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun
pasrah dan ridha.” ( Zaadul Masiir VIII/283, Ibnul Jauzi)
Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk berada
dalam kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak memiliki suatu
kekuasaan pun, termasuk terhadap dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun
kemudharatan. Karena itu kita harus yakin bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah. Karena
Dialah yang memberi kepada siapa yang dikehendaki dan mencegah dari siapa yang dikehendaki.
Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya oleh
Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya pada
taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2, Imam
Nawawi) Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.
Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan bahwa
keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang dicintai Rasulullah
ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada hakekatnya berasal dari Allah SWT.
Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya
manusia hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya ada
di tangan Allah SWT. Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.

G. BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH


Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada
sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk. Mereka
berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya. Sebab jika itu
dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan Allah. Kalau ada
seseorang tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan taqdir Allah.
Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam. Kelompok
yang berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang muncul pada akhir masa sahabat.
Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus al-Ashwa
yang mengingkari terhadap penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga berpendapat
bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof Yunani . Menurut
kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk kemaslahatan manusia. Bisa
saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan berbuat begitu. Sebab kalau Dia
mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan menghukum orang tersebut, maka
berarti hilanglah keadilan-Nya. Intinya, menurut kaum Qadariyyah, Allah hanya membuat yang
baik dan tidak yang buruk. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan kecuali yang baik,
karena Allah berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya.
Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di
jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan karena yang
diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku aniaya.
Karena tidak ada milik atau hak orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai paham
Qadariyyah ini Rasulullah bersabda,

‫س ههإذإه الهممإة إإمن همإر ه‬


‫ضوُا فهله تههعوُهدوُههمم هوُإإمن هماَهتوُا فهله ته م‬
‫شهههدوُههمم‬ ‫املقههدإريمةه همهجوُ ه‬
"Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika
mereka mati jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha. disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan

"Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"

Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena
taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua
macam yaitu baik dan buruk.

Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar,
katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok
Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati".

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok


Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap
orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak
mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba
memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan
Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti kehendak
dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
H. Kesimpulan
Bagi aliran Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan
dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Qodariyah
tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Penganut Aliran Qodariyah)
mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud
untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan
berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
2. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
3. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
4. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
5. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah,
2002)
6. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-
Press, 1986), cet ke-5

S-ar putea să vă placă și