Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh
SUMARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 2006
Sumaryanto
965010
Tanggal Lulus:
ABSTRACT
Oleh
SUMARYANTO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGO R
20 0 6
Judul Disertasi : Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen
Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi:
Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Implementasinya
Nama : Sumaryanto
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Anggota Anggota
Mengetahui,
Segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya.
Sesuai dengan profesi, sedikit-demi sejak tahun 1995 penulis secara konsisten
menekuni penelitian di bidang pengelolaan sumberdaya lahan dan air, terutama di
bidang irigasi. Menyadari bahwa semakin banyak yang diketahui semakin banyak
pula yang masih belum diketahui, dalam disertasi ini penulis mengkaji nilai ekonomi
air irigasi dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai instrumen peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya tersebut melalui pendekatan pengelolaan permintaan.
Adalah fakta bahwa penyelesaian disertasi ini berkat dorongan, arahan, dan
bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan penghargaan yang tinggi dan rasa terima kasih yang sangat mendalam
kepada:
2. Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.
3. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing.
5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup.
6. Prof. (R) Dr. Effendi Pasandaran, APU selaku penguji luar komisi pada Ujian
Terbuka.
7. Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, MSc. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.
9. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh pihak pengelola
atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program studi.
10. Dr. Rustam Syarif atas bantuannya dalam penelitian kolaborasi Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian – International Food Policy Research Institute (IFPRI)
– Departemen Kimpraswil – Perum Jasa Tirta I sehingga kelengkapan data untuk
disertasi ini dapat diperoleh.
11. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, APU selaku Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian.
12. Dr. Ir. Achmad Suryana, APU selaku Kepala Badan Litbang Pertanian atas ijin
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja.
13. Rekan-rekan kerja di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
yakni lembaga penelitian tempat penulis bekerja.
14. Jajaran Direksi Perum Jasa Tirta I beserta seluruh staf atas segala bantuannya
selama penulis melakukan penelitian.
Sudah barang tentu, terima kasih yang sangat mendalam penulis sampaikan
kepada istri tercinta Ir. Anggraini Sukmawati, MM atas semua kebaikan, bantuan,
dan dorongan semangat, serta doanya; dan juga kepada anak-anakku tercinta Mita,
Arif, dan Ajeng. Kiranya pada tempatnya pula penulis mengenang Almarhumah
Ir. Puti Rosmeilisa Budi Savithry atas semua kebaikan, kesabaran, dorongan
semangat dan doanya selama Almarhumah mendampingi penulis. Semoga Allah
SWT memberinya tempat yang mulia di sisi-NYA.
Kepada semua pihak yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu penulis dan tak dapat disebutkan namanya satu per satu di sini,
penulis mengucapkan terima kasih. Semoga semuanya itu bernilai sebagai ibadah.
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1.4. Signifikansi Penelitian .......................................................................... 8
1.5. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 9
1.6. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................................... 10
v
Halaman
V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI, DAN
KERAGAAN USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS .......... 128
5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas ............................... 128
5.2. Sumberdaya Air ................................................................................. 129
5.3. Pasokan Air Irigasi ............................................................................. 132
5.4 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi ...................................................... 135
5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan
Irigasi Teknis DAS Brantas ............................................................... 139
5.5.1. Penguasaan Lahan .................................................................. 139
5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi
Teknis DAS Brantas ............................................................... 144
5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani
Komoditas Utama ................................................................... 145
5.5.4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani ........................... 148
vi
Halaman
7.2.3. Kontribusi Pendapatan Dari Usahatani di Lahan Sawah ....... 197
7.2.4. Kualitas Lahan Sawah ........................................................... 198
7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan ............... 198
7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan .................................................. 199
7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan ............................ 200
7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi
Air Irigasi ............................................................................... 201
7.2.9. Karakteristik dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani 203
7.2.10. Luas dan Status Garapan ....................................................... 203
7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi ........................... 204
7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani
Membayar Iuran Irigasi ..................................................................... 205
7.3.1. Indeks Diversitas ................................................................... 207
7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan
Usahatani di Lahan Sawah .................................................... 208
7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan ............................................. 209
7.3.4. Intensitas Tanam .................................................................... 209
7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA ....................................................... 210
7.3.6. Status Garapan ....................................................................... 212
7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier ..................... 213
7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi ........................................................ 214
7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi ......... 214
7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis .................................................... 215
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM ................................ 61
5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin
untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi ............. 85
9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian .............. 127
10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999 ............ 130
12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS
Brantas ................................................................................................... 132
14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992 ......... 135
viii
Nomor Halaman
17. Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000 ............................ 143
18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan
palawija di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 .................................. 146
19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS
Brantas, 1999/2000 ................................................................................ 149
20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok
pemilikan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ...... 150
21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ..... 153
23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada
solusi optimal ......................................................................................... 156
24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya .. 158
25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ... 161
26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam ....... 165
28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani .. 170
29. Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut
kelompok komoditas dan periode pengusahaannya ............................... 173
30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal ............. 175
34. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis DAS Brantas .......................................................... 180
ix
Nomor Halaman
35. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas .......................................... 181
36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas ...................................... 181
37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas .......................................... 182
39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa
skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas . 185
40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah
pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah .............................. 187
41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 ... 189
42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 . 191
46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di
usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ........... 195
50. Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber
pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000 ..................................... 198
x
Nomor Halaman
51. Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola
tanam, 1999/2000 ................................................................................... 199
52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam,
1999/2000 .............................................................................................. 200
53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi
kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000 ...... 201
54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan
garapannya terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000 ........... 202
57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
pola tanam .............................................................................................. 207
58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
kontribusi usahatani padi, 1999/2000 .................................................... 208
59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas
lahan garapannya, 1999/2000 ................................................................ 209
62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status
garapan usahatani, 1999/2000 ................................................................ 213
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Sistematika pendekatan penelitian ......................................................... 44
2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air ..... 46
3. Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh
komoditas yang tercakup ....................................................................... 47
10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian .............. 125
11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999 ................ 129
12. Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas ............................... 130
13. Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996 ............................ 133
14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi .................................... 134
15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas ......................... 142
16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS ................. 144
17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada
solusi optimal ......................................................................................... 157
18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................. 158
xii
Nomor Halaman
20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas ..... 162
21. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi ............. 164
22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani ..... 166
25. Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani pada
solusi optimal ......................................................................................... 175
26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi .. 203
27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam .... 204
28. Hubungan antara Pr_1, Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam partisipasi
membayar iuran irigasi .......................................................................... 215
29. Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan
pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi ............................ 217
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Operasi dan pemeliharaan irigasi ............................................................ 237
3. Lokasi penelitian dalam Peta Daerah Aliran Sungai Brantas .................. 248
9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI ........ 254
12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999 ................. 264
13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................... 265
14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada
solusi optimal .......................................................................................... 274
15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil analisis
pasca optimal perubahan pasokan air irigasi ........................................... 277
xiv
16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Hulu ............................................................................ 278
17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Tengah ........................................................................ 279
18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Hilir ............................................................................ 280
19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ....... 281
xv
I. PENDAHULUAN
Secara historis, sejak pasca perang dunia II upaya sebagian besar negara-
negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan domestiknya ditempuh
melalui investasi pendayagunaan sumberdaya air untuk pertanian secara besar-
besaran. Fenomena yang tampak adalah laju perluasan lahan pertanian beririgasi
berlangsung lebih cepat dari pertumbuhan penduduk. Ini terus berlangsung sampai
tahun 1978. Sejak tahun 1979, laju perluasan lahan irigasi itu cenderung turun,
bahkan dalam periode 20 tahun terakhir ini diperkirakan berkurang sekitar 6 %.
Melambatnya laju perluasan itu menurut Rosegrant and Svendsen (1993)
merupakan akibat simultan dari turunnya investasi pemerintah di bidang irigasi
akibat beban hutang, resistensi politik, meningkatnya biaya riil untuk investasi
irigasi, turunnya harga-harga riil komoditas pangan, dan perluasan perkotaan.
2
Meningkatnya biaya investasi per unit luas areal irigasi dapat disimak dari
beberapa hasil penelitian berikut. Dalam Sampath (1992) maupun Rosegrant and
Svendsen (1993) dinyatakan bahwa dibandingkan tahun 1970, biaya riil investasi
irigasi di Srilangka menjadi 3 kali lipat; di India dan Indonesia menjadi dua kali
lipat; di Filipina meningkat sekitar 50 %; dan di Thailand sekitar 40 %.
peranannya relatif terbatas pada proses produksi yang telah dipilih, peranan air
irigasi mempunyai dimensi yang lebih luas. Sumberdaya ini tidak hanya
mempengaruhi produktivitas tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan
komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh
pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga berimplikasi pada strategi
pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas.
Di Indonesia pada saat ini ada dua agenda pokok permasalahan yang
saling terkait dan perlu segera dipecahkan secara simultan yaitu: (1) peningkatan
efisiensi atau produktivitas irigasi dan (2) peningkatan kemampuan petani untuk
berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Peningkatan
efisiensi irigasi harus dilakukan karena:
4. Perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan dalam
skala yang sangat terbatas.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini kinerja ketersediaan air irigasi semakin
tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang
tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah
yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
1996; Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada
umumnya terlihat dari: (1) pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi
cenderung menyusut dari tahun ke tahun, (2) pada areal yang terairi itu,
ketersediaan air yang cukup di musim kemarau cenderung semakin pendek
rentang waktunya, dan (3) pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi
semakin rentan terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi
adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air
yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya.
Meskipun demikian, mengingat bahwa: (1) air irigasi yang tersedia makin langka,
(2) upaya untuk menambah ketersediaannya semakin sulit, dan (3) kompetisi
penggunaan sumberdaya air antar sektor semakin tinggi, maka pendekatan
tersebut tidak memadai untuk mendorong efisiensi irigasi dan atau produktivitas
irigasi. Pendekatan lain yang diharapkan cukup efektif adalah melalui pengelolaan
permintaan (demand management).
1. Melakukan valuasi air irigasi dan optimasi pola tanam di lahan irigasi.
Dalam penelitian ini, valuasi air irigasi menggunakan salah satu varian
dari Residual Imputation Approach (RIA) yakni Change in Net Income (CINI)
dengan pemrograman matematis. Variasi spatial dan terutama distribusi temporal
ketersediaan dan kebutuhan air irigasi sangat diperhitungkan dalam elaborasi
model. Dengan demikian variasi spatial dan sebaran temporal harga bayangan air
irigasi beserta implikasinya terhadap iuran irigasi berbasis komoditas dapat
diketahui. Selanjutnya, dengan pendekatan positif dilakukan pula analisis faktor-
faktor yang diduga mempengaruhi prospek implementasi sistem iuran tersebut.
9
Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal
itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran
curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar.
Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah
permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan
musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat.
Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum
memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang
cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik.
Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi
sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi
antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan
pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu
di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin
kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick,
1998; Postel, 1994).
Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia
di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai
2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan
akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050
ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di
Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang
berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998).
air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh
kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS
termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori
sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman.
Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri
utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum –
minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun
surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat
22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada
tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya
terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah
sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada
tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16
DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah
adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa
Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa
Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4).
IRB (Wolf et al, 1999 dalam Gleick, 2000). Jumlah IRB terbanyak adalah di
Benua Afrika. Dari keseluruhan IRB, terdapat 19 IRB dimana jumlah negara
pemanfaatnya lebih dari 5 negara per IRB tersebut. Sebagai ilustrasi, di Benua
Asia terdapat 5 IRB dengan karakteristik seperti itu yakni: Tarim yang cakupan
wilayahnya meliputi suatu kawasan sangat luas yang otoritasnya berada di 7
negara yang berbeda (China, Kyrgizstan, Pakistan, Tajikistan, Kazakhstan,
Afganistan, dan India); Ganges/Brahmaputra/Meghna yang mencakup wilayah
yang termasuk dalam 6 negara (India, China, Nepal, Bangladesh, Buthan, dan
Myanmar); Jordan (Jordania, Israel, Syria, West Bank, Lebanon, dan Mesir);
Tigris-Euphrat/Shatt al Arab (Irak, Turki, Iran, Syria, Jordan, dan Saudi Arabia);
Mekong (Laos, Thailand, China, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar).
kasus tertentu terjadi pemindahan komunitas setempat secara paksa. Di sisi yang
lain, keberhasilan peningkatan produksi pangan yang terfokus pada jenis-jenis
komoditas pangan tertentu (terutama beras) mendorong pula terjadinya perubahan
menu konsumsi masyarakat yang berujung pada meningkatnya ketergantungan
yang terlampau tinggi pada komoditas tertentu dan kurang terdiversifikasi. Pada
akhirnya yang terjadi – terutama di negara berkembang – adalah perlombaan
antara laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan laju pertumbuhan pasokan;
dimana laju pertumbuhan pasokan semakin melambat seiring dengan degradasi
fungsi dam-dam tersebut sebagai akibat dari terabaikannya prinsip-prinsip
pelestarian. Di beberapa negara berkembang di wilayah arid dan semi-arid dam-
dam raksasa dan sistem-sistem irigasi skala besar itu fungsinya semakin tidak
memadai; dan karenanya manfaat investasi tidak sesuai harapan semula (Postel
1992 dalam Gleick, 1998).
Pada Bulan Agustus 1996 setelah melalui proses panjang sejak beberapa
tahun sebelumnya, 9 lembaga internasional sepakat membentuk The World Water
Council (WWC). Kesembilan lembaga internasional tersebut adalah: International
Water Resources Association (IWRA), International Commision on Irrigation and
Drainage (ICID), Canadian International Development Agency (CIDA), The
19
Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air
permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal
dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan
dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri
dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah
(subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air
(groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi
dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir)
dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai.
Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya
distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian
memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.
1
Ada tiga istilah penting dalam konteks penggunaan air: water use, withdrawal, dan consumption use.
Interpretasinya (Gleick, 1998) sebagai berikut. Water use merupakan istilah umum untuk penggunaan air, jadi
dapat berupa withdrawal, gross water use, ataupun consumptive use. Withdrawal mengacu pada kegiatan
penyadapan air dari suatu sumber untuk disimpan ataupun digunakan. Consumption use mengacu pada
penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan untuk berlangsungnya suatu proses atau kegiatan sedemikian
rupa sehingga pemanfaatan kembali (reuse) dari (sebagian) air tersebut tidak dapat terjadi dengan segera.
21
drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai
ekonomi bernilai tinggi.
Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah
kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya
sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini
tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan
keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat
dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001,
orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian
organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu,
dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan
petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat.
Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan
kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait
dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini.
Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang
berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi
kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai.
Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut
implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut.
Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang
merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai.
perlu diperhatikan: (1) pada saat ketersediaan air tidak langka (musim hujan), pola
mina-padi perlu memperoleh prioritas pengembangan (dengan demikian
produktivitas air meningkat), (2) efisiensi irigasi harus ditingkatkan, dan (3)
eksistensi lahan sawah produktif harus dipertahankan.
ditentukan oleh kinerja irigasi. Turunnya kinerja irigasi antara lain terlihat dari
semakin pendeknya ketersediaan air yang cukup di musim kemarau dan rentannya
hamparan sawah terhadap bahaya banjir di musim hujan. Penyebab utamanya
adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air
yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya. Memburuknya
kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh: (1) disain jaringan irigasi yang tidak
tepat, (2) sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau (3) kombinasi
dari keduanya (Arif, 1996 dan Osmet, 1996). Sementara itu turunnya pasokan air
yang menjadi sumber untuk irigasi disebabkan oleh degradasi fungsi sungai
maupun daerah tangkapan air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).
yang disponsori oleh Bank Dunia di beberapa negara di Amerika Selatan, Asia
Tengah, Asia Selatan, Afrika Tengah, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa
penegakan hak-hak atas air yang ditindak lanjuti dengan kajian penentuan harga
air (water pricing) ternyata dapat diimplementasikan dan cukup efektif untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi (Johansson, 2000). Di sisi lain,
beberapa studi empiris juga menunjukkan sejumlah hambatan yang dihadapi
dalam aplikasi WP. Sebagai ilustrasi, penelitian Gomez-Limon and Berbel (2000)
di tiga lokasi di Spanyol memperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya biaya
irigasi akibat penerapan WP menyebabkan pendapatan petani turun sehingga
penerapannya mengalami hambatan. Penelitian Ray (2002) di India kawasan barat
memperoleh kesimpulan bahwa peningkatan biaya irigasi akibat penerapan WP,
karena tidak diikuti oleh peningkatan harga komoditas pertanian, mengalami
hambatan politis. Di Mesir, penerapan WP dengan metode volumetric pricing
memang berhasil menurunkan penggunaan air irigasi sebesar 15 %, tetapi
pendapatan petani juga turun 25 % sehingga tidak dapat berkembang karena
dianggap tidak realistis (Perry, 1996). Pelajaran penting yang dapat dipetik dari
hasil-hasil studi tersebut adalah bahwa penerapan water pricing harus
mempertimbangkan aspek yang lebih luas. Secara historis, nilai-nilai yang
tercakup dalam pengembangan sumberdaya air untuk pertanian memang berbeda
dengan apa yang terjadi pada sektor non pertanian. Penerapan water pricing harus
dikemas dalam bentuk kelembagaan yang dapat menampung aspirasi masyarakat
luas karena terkait dengan aspek-aspek sosial, budaya, bahkan aspek politik
sehingga cenderung sensitif (Varela-Ortega et al 1998; Hellegers, 2002).
dikonsumsi melebihi suatu ambang batas tertentu. Pada two-part tariff, biaya air
terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap pertahun yang dikenakan untuk hak
penggunaan air, dan pungutan air yang didasarkan pada didasarkan pada harga
marginal yang tetap untuk setiap unit volume air yang dikonsumsi. Dalam metode
betterment levy, biaya air dipungut per area dimana nilainya didasarkan atas
peningkatan nilai lahan akibat adanya irigasi.
Kemampuan untuk
Skim harga (pricing scheme) Implementasi
mengontrol permintaan
Volumetric pricing Sulit Mudah
Output pricing Relatif mudah Relatif mudah
Per area pricing Paling mudah Sulit
Tiered pricing Relatif sulit Relatif mudah
Two-part tariff Relatif sulit Relatif mudah
Betterment levy Relatif sulit Sulit
Secara empiris metode water pricing yang paling luas diterapkan di bidang
irigasi adalah per unit area (area basis). Hasil penelitian Boss and Walter (1990) di
beberapa negara menunjukkan bahwa pada wilayah irigasi seluas sekitar 12.2 juta
hektar (agregat dari beberapa negara), lebih dari 60 % menerapkan per unit area,
25 % menggunakan volumetric pricing, dan sekitar 15 % menerapkan kombinasi
kedua metode tersebut. Fenomena seperti itu masih terjadi sampai sekarang,
terutama di negara-negara berkembang (Rosegrant et al, 2002).
Sampai saat ini penentuan biaya irigasi yang dibebankan kepada petani di
Indonesia didekati dari sisi penyediaan (supply management) yang didasarkan
pada sistem pengelolaan kemitraan (joint management) pemerintah – petani
sebagaimana yang dimaksudkan dalam PP 23/1982. Kerangka pemikirannya
adalah sebagai berikut. Dengan sasaran akhir petani dapat membiayai operasi dan
pemeliharaan (OP) irigasi secara mandiri maka petani (melalui Perkumpulan
Petani Pemakai Air – P3A) dilatih ikut menanggung biaya OP irigasi di petak
tertier. Untuk itu di wilayah irigasi yang investasi pembangunannya disponsori
oleh pemerintah (irigasi teknis) dan kinerja irigasinya baik, diberlakukan Iuran
Pelayanan Air Irigasi (IPAIR). Jumlah IPAIR per hektar adalah sama dengan
biaya OP di petak tertier ditambah dengan biaya pengumpulannya kemudian
dibagi dengan luas layanan irigasi dalam petak tertier tersebut. Nilai IPAIR/hektar
bervariasi antar daerah. Pada awal perkembangan (1987 – 1992) IPAIR yang
dibebankan ke petani adalah berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 12 000/hektar. Sejak
tahun 1995/1996 meningkat menjadi Rp. 18 000 – Rp. 24 000/hektar.
Dalam praktek, biaya irigasi yang ditanggung petani tidak hanya IPAIR.
Terdapat sejumlah biaya irigasi lainnya seperti iuran P3A, iuran desa (yang
terkait dengan usahatani padi), dan (kadang-kadang) biaya irigasi yang sifatnya
34
informal. Bahkan sebagian petani yang kebutuhan airnya tak dapat dipenuhi dari
irigasi permukaan harus mengeluarkan pula biaya tambahan untuk irigasi pompa.
Secara teoritis, sistem pungutan pelayanan air irigasi yang kondusif untuk
mendorong efisiensi penggunaan air irigasi dapat diciptakan dengan menerapkan
"user's pay principle" (Tiwari and Dinar, 2000). Untuk itu langkah awal yang
harus ditempuh adalah melakukan valuasi yakni suatu upaya yang ditujukan untuk
mengestimasi harga1 sumberdaya tersebut. Valuasi memiliki dua sisi mata uang:
di satu sisi, mensyaratkan berlakunya asumsi bahwa obyek yang dikaji dapat
didekati dengan ilmu ekonomi; di sisi lain mempunyai implikasi bahwa hasil
valuasi relevan untuk menyusun kebijaksanaan di bidang ekonomi yang terkait.
1
Valuation: 1. the act of process of valuing, 2. the estimated or determined market value of a
thing, 3. judgment or appreciation of worth or character (Webster's Ninth New Collegiate
Dictionary).
35
Pendekatan ketiga yakni ACA didasarkan pada sudut pandang bahwa WTP
untuk suatu barang atau jasa publik tidak lebih besar daripada biaya yang
dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa tersebut apabila menggunakan
proses atau teknologi yang lain (alternatif). Pendekatan ini paling sesuai
diaplikasikan dalam valuasi air untuk proyek pengembangan sumberdaya air yang
bersifat sasaran ganda atau multipurpose water projects (Young, et al, 1982).
Aplikasi pendekatan ini membutuhkan data dan informasi yang sangat lengkap.
36
dimana TVP adalah total nilai produk, VMPK, VMPL, VMPR, VMPW masing-
masing adalah nilai produk marginal K, L, R, dan W; sedangkan Q merupakan
kuantitas masing-masing input tersebut. Dengan postulat pertama, maka
TVPY ( PK QK ) ( PL QL ) ( PR QR ) PW QW (3)
Dengan demikian, harga air irigasi dapat ditentukan sebagai berikut:
PW *
TVPY ( PK QK ) ( PL QL ) ( PR QR ) (4)
QW
Salah satu varian pendekatan RIA adalah metode perubahan pendapatan
bersih (change in net income - CINI). Ini merupakan pengembangan lebih lanjut
dari metode RIA yang lazim pula disebut "the Valuation of Productivity Change"
37
atau VPC (Young, 1996). Dengan metode CINI estimasi harga air dari proses
produksi multi-product dengan multi input mudah dilakukan.
m n
Z Yi* Pyi X i* Pxj (5)
i 1 j 1
Dari pembahasan di atas tampak bahwa dalam valuasi air irigasi dalam
pengembangan model water-crop production function (w-cpf) merupakan langkah
pertama yang harus ditempuh. Dalam konteks itu muncul dua jenis permasalahan
konseptual berikut. Pertama, berkaitan dengan kelengkapan daftar masukan yang
digunakan dalam proses produksi. Semakin banyak jumlah variabel (masukan)
yang tidak terikutkan dalam model maka hasil valuasi semakin bias ke atas
(overstated). Ketidak lengkapan jumlah variabel yang dicakup dalam model
umumnya terjadi manakala pendekatan jangka pendek (short run) digunakan
untuk merepresentasikan kondisi jangka panjang (long run) sehingga masukan
38
2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI
1. Data tentang kuantitas air yang digunakan dalam proses produksi pada
umumnya hanya dapat diperoleh dari percobaan. Oleh karena itu sulit digali
dari survey sosial ekonomi.
Secara teoritis, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah kelangkaan sumberdaya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan
sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu, peningkatan efisiensi irigasi mempunyai
peran yang sangat strategis karena:
1. Sektor pertanian merupakan pengguna terbesar (lebih dari 80 %) sehingga
dampaknya terhadap keseluruhan sektor pengguna air sangat tinggi.
2. Secara teoritis peluang peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor
pertanian cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai
masih rendah (kurang dari 70 %).
Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jumlah iuran irigasi yang
ditanggung petani terdiri dari dua komponen yaitu:
1. Komponen utama/pokok yang nilainya kurang lebih setara dengan nilai air
irigasi yang digunakan dalam usahatani. Perhitungannya didasarkan atas
perkiraan volume kebutuhan air irigasi masing-masing komoditas tersebut
dikalikan harga bayangan air irigasi. Oleh karena itu nilainya bervariasi antar
jenis komoditas, antar wilayah maupun antar waktu karena: (1) harga
bayangan air irigasi antar tempat dan antar waktu bervariasi, (2) air irigasi
yang dibutuhkan untuk setiap tanaman bervariasi.
2. Komponen penunjang yaitu biaya pelayanan irigasi yang nilai per hektarnya
tetap (area based) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan petani
dalam rapat pleno P3A. Komponen penunjang diperuntukkan sebagai
insentif pengumpulan iuran irigasi. Jumlah komponen penunjang harus lebih
kecil daripada komponen pokok, karena secara teoritis semakin kecil nilai
komponen penunjang maka semakin besar efek komponen pokok untuk
mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.
Volume air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani ditentukan oleh: (1)
jenis atau kelompok jenis komoditas, (2) periode pengusahaan, dan (3) adanya
pasokan air dari sumber lain, terutama curah hujan. Kebutuhan air antar
komoditas pertanian berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi berbeda, (2) adanya
perbedaan kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan bahkan untuk
jenis komoditas tertentu (misalnya padi) membutuhkan penggenangan. Pada jenis
komoditas yang sama, air yang dibutuhkan juga tidak sama jika periode
pengusahaannya berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi dipengaruhi oleh
42
temperatur dan kelembaban udara, dan (2) adanya perbedaan kebutuhan air antar
fase pertumbuhan tanaman.
Dalam sistem irigasi permukaan, pasokan air irigasi yang tersedia untuk
tanaman tidak ajeg. Ini disebabkan oleh: (1) adanya fluktuasi debit air irigasi yang
dialirkan dari reservoir, (2) adanya kehilangan air irigasi dalam proses penyaluran
dan pada saat pemberian air ke tanaman, dan (3) adanya tambahan air irigasi di
sepanjang saluran ketika musim hujan karena sistem penyaluran menggunakan
saluran terbuka (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).
Mengingat bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas selama ini belum
dikenal maka prospek implementasinya hanya dapat dikaji melalui pendekatan
tidak langsung. Dalam pendekatan tidak langsung ini landasan pemikiran yang
dianut adalah sebagai berikut. Logikanya, petani dapat menekan biaya irigasi dan
atau meningkatkan pendapatan usahataninya jika pola tanam lebih berdiversifikasi
43
ke komoditas hemat air yakni komoditas selain padi. Sementara itu, hambatan
penerapan iuran irigasi berbasis komoditas semestinya lebih kecil jika sebelumnya
petani telah berpengalaman dalam penerapan iuran irigasi meskipun dalam bentuk
yang lain. Dengan demikian ada dua substansi permasalahan pokok yang
menentukan prospek penerapan sistem itu:
n k
Maks Z ij X ij
1
i1 j1
k
, jika i 1
s .t 1 exp( x j m )
A X B pij Pr( y j i) m 2
exp( x j i )
, jika i 1
k
1 exp( x j m )
Rp./m3
pf(q)
f (q) adalah fungsi
produksi; f '(q) f/q
adalah produktivitas
w1 marginal air irigasi, pf(q)
diukur dalam unit Rp.,
pf ' (q) diukur dalam unit
harga (Rp./m3);
sedangkan
p dan w masing-masing
menunjukkan harga
w2 pf' output dan harga air.
Gambar 2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air
p j f j (q j ) wq j
m
j 1
w 1
0 atau f j (q j (w)) sehingga q j ( w) , j 1, 2, , m.
q j p f ( w / p)
Jadi, permintaan terhadap air sebagai input dalam proses produksi tersebut adalah:
m m
1
q ( w) q j ( w)
j 1 j i f j ( w / p )
Ilustrasi grafis untuk kasus 3 komoditas tertera dapat disimak pada Gambar 3.
w
p
f 1( q )
fj'(q) adalah produktivitas
f 2 ( q ) marginal air untuk komoditas
j. Fungsi permintaan dalam
f 3 ( q ) bentuk inverse untuk semua
komoditas merupakan
w1 penjumlahan horizontal
permintaan setiap komoditas
p
Penjumlahan horizontal
f 1, f 1, dan f 3
w2
p
f j ( q ) q air irigasi
q1 ( w1 ) q ( w1 ) q1 ( w1 ) q 2 ( w1 ) q 3 ( w1 )
q 2 ( w1 ) q ( w 2 ) q1 ( w 2 ) q 2 ( w 2 ) q 3 ( w 2 )
q 3 ( w1 )
Gambar 3. Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk
seluruh komoditas yang tercakup
Maka:
m
qi (w) f ij 1 ( w / p ) adalah fungsi permintaan untuk petani–i, sedangkan
j
Sudah barang tentu tambahan jenis input yang lain (lahan, tenaga kerja, modal,
dan lain-lain) dapat diinkorporasikan dalam model tersebut.
48
Sampai saat ini pasar air irigasi pada sistem irigasi permukaan belum
terbentuk. Pasokan air irigasi yang didistribusikan ke petani tidak tergantung pada
tingkat harga tetapi pada kuantitas air yang tersedia dan secara kelembagaan
dialokasikan untuk irigasi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bentuk
fungsi penawarannya inelastis sempurna. Selanjutnya, jika diasumsikan pasokan
air irigasi pada Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah
adalah q1, q2, dan q3; sedangkan fungsi permintaan dari hasil valuasi
p q maka harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III secara
hipotetis dapat dipresentasikan seperti Gambar 4.
p2
p q
p1
D
q3 q2 q1 Q
Misalkan untuk memperoleh pasokan air irigasi tidak ditarik biaya (gratis);
tetapi pasokannya terbatas pada level x. Berapakah petani ingin membayar untuk
memperoleh tambahan sebesar unit? Perhatikan bahwa pada saat volume air
yang digunakan berada di level x maka penerimaannya adalah pf(x). Tambahan
kuantitas air sebanyak menciptakan tambahan revenue sebesar p[f(x+) – f(x)].
49
Dengan kata lain, untuk memperoleh tambahan p[f(x+) – f(x)] petani akan
membayar seharga p f ( x ) f ( x ) untuk tambahan air sebanyak m3 air.
Pada yang cukup kecil harga tersebut sama dengan pf'(x). Dengan
demikian, pf'(x) merupakan (maksimal) harga dimana petani akan membayarnya
untuk melonggarkan kendala per satu (marginal) unit; ini disebut shadow price air
tersebut. Seperti yang kita lihat di atas, pf'(x) adalah inverse water demand.
Terlihat di atas bahwa bila harga air adalah w = pf'(x), maka kuantitas yang
diminta petani adalah x. Jadi, pendekatan ini merupakan bayangan cermin (dual)
dari pendekatan sebelumnya. Dengan cara mengubah kendala x dan menghitung
shadow price ( ) yang bersangkutan, kita memperoleh ( x) pf ( x) fungsi
permintaan inverse turunannya.
dimana q j, z1j dan z2j masing-masing adalah per hektar air, tenaga kerja, dan input
untuk komoditi j, dan Lj adalah lahan yang dialokasikan untuk komoditi j.
Misalkan L dan x melambangkan kendala lahan dan air irigasi, maka maksimisasi
keuntungan adalah:
m
Max L j j
j 1
dengan kendala:
m
L j a1 j x (kendala air)
j 1
m
L j L (kendala lahan)
j 1
Hasil optimasi mencakup alokasi optimal lahan, air irigasi, dan pengganda
Lagrange untuk setiap kendala. Pengganda Lagrange ( ) kendala air irigasi
adalah harga bayangan air irigasi. Harga bayangan inilah yang kemudian dapat
dimanfaatkan untuk menentukan komponen pokok biaya irigasi dalam sistem
iuran irigasi berbasis komoditas yang dimaksud dalam penelitian ini.
Iklim
(terutama curah hujan)
Penguasaan lahan
pertanian
Kondisi
Daerah Ketersediaan tenaga
Pasokan air
Aliran Sungai kerja pertanian
dari curah
hujan
Ketersediaan modal
Sarana & usahatani
Prasarana Pola pengusahaan
Irigasi komoditas pertanian
di lahan irigasi: Kapabilitas
Pasokan Permintaan - jenis komoditas managerial usahatani
air irigasi air irigasi - waktu pengusahaan
Teknologi - skala pengusahaan
Penguasaan teknologi
di bidang - teknik budidaya
usahatani
irigasi - teknik pengairan
Kebijaksanaan pemerintah
53
54
1. Kelebihan pasokan air pada musim hujan dialami oleh semua pihak baik
petani di hulu, tengah, maupun hilir dan cara mengatasinya adalah membuang
ke wilayah yang lebih hilir. Cara ini secara teknis paling mudah dilakukan
karena secara alamiah air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan secara
ekonomi ongkos sosialnya paling murah. Selain itu oleh karena terminal
terakhir pembuangan limpahan adalah wilayah bebas (laut) maka persepsi
tersebut diterima masyarakat luas. Legitimasinya kuat karena hal tersebut juga
dikukuhkan dalam aturan perundang-undangan.
2. Secara historis irigasi dibangun untuk mengatasi kelangkaan air yang
dibutuhkan untuk tanaman. Oleh karena itu substansi permasalahan yang lebih
mengemuka adalah bagaimana mengatur pembagian sumberdaya yang langka
tersebut, bukan membuang kelebihan air.
Kedua hal itu berimplikasi bahwa substansi pokok yang menjadi sumber
ketergantungan adalah persoalan alokasi pasokan. Sifat ketergantungannya
56
asymetric dimana ketergantungan petani di hilir kepada petani yang berada di hulu
jauh lebih tinggi daripada sebaliknya; dan bersifat rekursif dimana pasokan air
irigasi untuk petani yang berada di wilayah yang lebih hilir dipengaruhi oleh
penggunaan air irigasi para petani yang berada di wilayah yang berada di hulu.
2 max py 2 g ( y 2 , y1 ) (2)
y2
dimana fungsi f, g, dan h adalah biaya produksi masing-masing petani P1, P2, dan P3.
Jika masing-masing petani bebas dan tak ada koordinasi (anarchic) maka
solusi optimal yang dihadapi harus memenuhi kondisi derajat pertama berikut:
f ( y1 ) g ( y2 , y1 ) h( y3 , y2 , y1 )
p (4)
y1 y 2 y3
artinya semua petani tersebut menyamakan biaya privat marginal usahataninya
dengan harga. Oleh karena p tetap maka hal itu berarti bahwa semakin banyak air
yang digunakan di hulu maka semakin sedikit air yang tersedia untuk petani di
hilir sehingga produk yang dapat dihasilkan oleh petani yang berada di hilir juga
lebih rendah agar biaya privat marginalnya dapat dipertahankan sama dengan
harga produk (p).
dan kondisi derajat pertama yang harus dipenuhi untuk solusi optimal adalah:
f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
P1 : p (6)
y1 y1 y1
g ( y2 , y1 ) h ( y3 , y2 , y1 )
P2 : p (7)
y 2 y 2
h( y3 , y2 , y1 )
P3 : p (8)
y3
Dari persamaan tersebut tampak bahwa kondisi optimal untuk seluruh
sistem mensyaratkan bahwa petani-petani yang berada di hulu harus peduli
dengan petani yang berada di hilir. Dengan kata lain, petani di hulu harus ikut
menanggung beban petani yang berada di hilir. Biaya sosial marginal potensial
yang harus ditanggung oleh petani di Hulu (P1) dan di Tengah (P2) adalah:
g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
P1 : (9)
y1 y1
h( y3 , y 2 , y1 )
P2 : 10)
y2
(hulu, tengah, dan hilir) relatif sama. Teknisnya adalah dengan cara mengatur
durasi pembukaan (buka – tutup) pintu-pintu air irigasi baik di saluran primer,
sekunder maupun tertier.
Pada sistem irigasi teknis skala besar (large scale surface irrigation)
dimana investasi pembangunan/pengembangannya dilakukan oleh pemerintah,
otoritas distribusi air berada di tangan pemerintah (Dinas Pengairan). Di lapangan,
Aparat Dinas Pengairan yang secara langsung bertugas mengatur distribusi air
irigasi (dari saluran induk sampai tertier) bekerja berdasarkan petunjuk teknis
sistem pembagian air yang merupakan penjabaran operasional dari prinsip
tersebut di atas. Dalam istilah setempat petugas tersebut populer dengan sebutan
Penjaga Pintu Air.
2. Sebagian besar sumber pasokan air irigasi untuk seluruh sistem terletak di
bagian yang lebih hulu, kemudian dialirkan ke arah hilir. Oleh karena itu, air
irigasi yang terdapat di hulu lebih tinggi daripada kebutuhannya, sedangkan
yang di hilir cenderung lebih rendah dari kebutuhan di wilayah tersebut.
3. Secara keseluruhan, total volume air irigasi yang dilepas dari sumber pasokan
lebih tinggi daripada total volume yang sampai di tingkat usahatani karena
adanya kehilangan dalam penyaluran. Meskipun demikian karena ada
tambahan pasokan air dari curah hujan maka ada kalanya total volume air
yang tersedia di hamparan usahatani justru lebih tinggi.
4. Penjatahan air irigasi hanya relevan dilakukan pada periode pasokan air irigasi
langka yang biasanya berlangsung sejak Bulan Juni – November. Pada periode
lainnya (Desember – Mei) tidak diperlukan adanya sistem penjatahan karena:
(1) kebutuhan tanaman terhadap air dari sistem irigasi lebih rendah dari rata-
rata (karena sebagian telah terpebuhi dari curah hujan), dan (2) pasokan air
irigasi lebih banyak dari rata-rata.
5. Sumber pasokan air irigasi cukup banyak dan tersebar di hulu, tengah, maupun
hilir dengan memanfaatkan sumberdaya air dari anak-anak sungai Brantas dan
atau dam-dam setempat. Oleh karena itu, Sub DAS Hilir tidak sepenuhnya
tergantung pada pasokan air irigasi dari Sub DAS Tengah maupun Sub DAS
Hulu; demikianpun halnya pasokan air irigasi untuk Sub DAS Tengah tidak
sepenuhnya tergantung pada pasokan dari Sub DAS Hulu.
60
Pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, alokasi spatial melalui sistem
jatah tersebut telah berlangsung sejak sistem irigasi tersebut beroperasi. Prosedur
teknis tentang tatacara pembagian air dalam operasi dan pemeliharaan irigasi
dapat disimak pada Lampiran 1.
Sebagai salah satu bentuk pendekatan transisi, alokasi spatial air irigasi
melalui MDM perlu mengkombinasikan pendekatan SM dan DM. Salah satu
prinsip yang diadopsi dari pendekatan SM adalah bahwa dalam alokasi air irigasi,
setiap wilayah yang tercakup dalam areal layanan irigasi (command area) berhak
atas pasokan air irigasi sesuai dengan kebutuhan minimalnya. Oleh karena itu,
volume air irigasi yang dialokasikan ke setiap wilayah terdiri dari dua komponen
yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan minimal, dan (2) untuk memenuhi
permintaan dimana alokasinya mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi.
Misalkan air yang terdapat di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub
DAS Hilir masing-masing adalah W1 , W2 , dan W3 ; sedangkan w1min , w2min , dan
Selanjutnya, misalkan air irigasi yang dialokasikan dari Hulu ke Tengah adalah T1
(dengan efisiensi penyaluran c1 ), sedangkan yang dialokasikan dari Tengah ke
Hilir adalah T2 (dengan efisiensi penyaluran c2 ). Maka pasokan air irigasi
(endogen) untuk wilayah irigasi di Sub DAS Hulu ( W1* ), Sub DAS Tengah ( W2* ),
dan Sub DAS Hilir ( W3* ) dengan pendekatan MDM dapat diekspresikan sebagai
berikut (Gambar 6).
62
W 1* W 1 T1
Hulu
dimana:
W1* w1min
W 2* W 2 c1 T1 T2
Tengah dimana:
W2* w2min
W3* W3 c 2 T2
Hilir dimana:
W3* w3min
Keterangan:
Gambar 6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM
63
Air yang tersedia untuk usahatani terutama berasal dari dua sumber yaitu
air hujan dan air irigasi. Pada sistem irigasi permukaan, pasokan air yang berasal
dari irigasi juga dipengaruhi oleh curah hujan. Pada musim hujan, total pasokan
air yang tersedia untuk tanaman sangat berlebih karena: (1) pasokan air dari curah
hujan yang jatuh di lahan petani sangat banyak, (2) pasokan air dari irigasi
meningkat. Sebaliknya pada musim kemarau curah hujan sangat sedikit, bahkan
pada bulan-bulan tertentu tidak ada. Pada musim ini pasokan air irigasi juga
menurun. Dengan demikian, total air yang tersedia untuk tanaman menjadi sangat
terbatas. Secara hipotetis pola sebaran temporal ketersediaan air untuk pertanian
dan implikasinya terhadap nilai ekonomi air irigasi dapat diilustrasikan pada
Gambar 7.
64
Kuantitas Air
Total (irigasi + curah hujan)
Curah hujan
Pasokan air irigasi
Kebutuhan air irigasi
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
SMH
PwMK E MK
PwMH EMH
DAI
Gambar 7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi
terhadap harga bayangannya
pada Bulan April – akhir September air yang dibutuhkan lebih banyak daripada
yang tersedia. Oleh karena itu pada bulan November – Maret harga bayangan air
irigasi sangat rendah sedangkan pada April – September cukup tinggi. Harga
bayangan air irigasi semakin meningkat seiring dengan kelangkaannya dan
diperkirakan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus atau September.
Jika disederhanakan maka penawaran air irigasi pada musim hujan dan
musim kemarau dapat diilustrasikan sebagaimana gambar terbawah. Misalkan
SMH dan SMK masing-masing menggambarkan penawaran air irigasi pada musim
hujan dan musim kemarau. Selanjutnya jika diasumsikan bahwa bentuk fungsi
permintaan air irigasi serupa dengan masukan usahatani lainnya sehingga
elastisitasnya negatif, maka bentuk sederhana grafik fungsi permintaannya adalah
DAI. Dengan asumsi pasar air irigasi berlaku, maka keseimbangan pada musim
hujan terjadi pada EMH dimana jumlah yang diminta adalah QWMH dengan harga
PwMH. Pada musim kemarau, keseimbangan terjadi pada EMK dimana jumlah yang
diminta adalah QWMK , sedangkan harganya adalah PwMK.
Mengacu pada dimensi yang tercakup dalam konsep pola tanam, maka
konsep diversifikasi mencakup dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dimensi
kualitatif mengacu pada jenis atau kelompok jenis komoditas yang diusahakan,
sedangkan dimensi kuantitatif mengacu pada komposisi skala pengusahaan.
ditentukan oleh jumlah jenis dan pangsa masing-masing jenis tersebut terhadap
keseluruhan komoditas yang tercakup dalam unit waktu acuan.
Dalam dimensi kualitatif, secara garis besar ada tiga alternatif pilihan pola
tanam yang lazim diterapkan petani :
1. Tidak berdiversifikasi (monokultur padi),
2. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian yang
tidak bernilai ekonomi tinggi
3. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian
bernilai ekonomi tinggi
keuntungan yang dapat diperoleh dari alternatif (2) lebih tinggi daripada alternatif
(1). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa antar ketiga kategori tersebut tidak
ada jenjang yang konsisten; artinya tidak bersifat berjenjang.
1
k
, jika i 1
1 exp(x j m )
m2
pij Pr(y j i)
exp(x j i )
k
, jika i 1
1 exp(x j m )
m2
dimana:
xj = vektor baris variabel-variabel bebas individu ke-j
m = vektor koefisien untuk outcome m.
1, jika y j i
Ii ( y j )
0, jika lainnya
maka rasio risiko relatif untuk suatu perubahan satu unit dalam xi adalah:
( 2) ( 2) (2)
(1) x1 ( i ) ( xi 1) ( k ) x k ( 2)
e (i )
(2) ( 2) ( 2)
e
(1) x1 (i ) xi ( k ) x k
e
Jadi risiko memilih alternatif 2 daripada laternatif 1 dari suatu perubahan satu unit
variabel tertentu adalah sama dengan nilai eksponensial koefisien tersebut.
70
1. Biaya irigasi yang dilembagakan yang umumnya terdiri dari Iuran Pelayanan
Irigasi (IPAIR) dan Iuran P3A (di Jawa Timur disebut Iuran HIPPA). Secara
umum jumlah IPAIR lebih kecil daripada Iuran HIPPA.
Ditinjau dari sudut pandang kuantitas, total jumlah iuran irigasi alternatif 3
adalah lebih besar dari alternatif 2. Dengan demikian keempat alternatif ini dapat
dikatakan bersifat berjenjang (naturaly ordered) karena jumlah pembayaran untuk
alternatif 4 > 3 > 2 > 1. Oleh karena hubungan antar alternatif bersifat berjenjang
maka estimasi probabilitas petani dalam memilih alternatif tersebut lebih tepat
didekati dengan model ordered logistic (ologit).
Berbeda dengan mlogit, dalam ologit urutan angka ordinal (skor) tertentu
merepresentasikan peringkat dari masing-masing kategori (dalam ologit, istilah
lazim untuk 'alternatif' adalah 'kategori'). Kategori yang diasumsikan memiliki
peringkat yang lebih tinggi dipresentasikan dengan skor yang lebih besar.
Dalam ologit, makna suatu skor diduga sebagai suatu fungsi linier
variabel-variabel tak bebas dan suatu himpunan dari titik-titik potong (cutpoints).
Probabilitas pilihan terhadap kategori i:
Pr(outcome j = i) = Pr(i-1 < 1x1j + 2x2j + … + k xkj + u j i )
pij Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
1 1
1 exp( i x j β) 1 exp( i1 x j β)
Jika partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi yang telah berlaku
adalah sangat baik maka strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat
difokuskan pada upaya mendorong penerapan diversifikasi usahatani. Hasil
72
Unit analisis adalah wilayah. Kasus yang diteliti adalah sistem irigasi
teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Justifikasi adalah sebagai berikut.
Sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah salah satu bentuk modifikasi dari
metode 'volumetric pricing'. Prospeknya lebih baik jika diterapkan pada sistem
irigasi yang telah maju. Secara empiris sistem irigasi teknis di DAS Brantas
adalah paling maju di Indonesia sehingga persyaratan tersebut dapat dipenuhi.
74
1. Meskipun dalam perencanaan distribusi pasokan air irigasi antar Sub DAS
telah diupayakan agar merata, tetapi dalam praktek ternyata berbeda.
temporal kebutuhan air irigasi dan segala implikasinya. Sebagai contoh, dengan
teknik pemberian air ke tanaman yang sama, kebutuhan air irigasi per hektar
untuk menerapkan pola tanam padi – padi – kedele yang awal pengusahaannya
dimulai pada Bulan Oktober berbeda dengan yang dimulai pada Bulan November.
G
m
ij ij
j 1
i m
G
j 1
ij
dimana:
i = rata-rata terbobot keuntungan bersih aktivitas i.
Gij = luas pengusahaan komoditas i yang termasuk kelompok aktivitas j
ij = keuntungan bersih per hektar usahatani komoditas i yang termasuk
kelompok komoditas j
Dalam penelitian ini data tentang sumber modal usahatani yang berasal
dari pinjaman sangat terbatas dan tidak cukup reliable untuk dianalisis. Di sisi
lain, menurut Young (1996), agar hasil valuasi air irigasi tidak bias ke atas (over
estimate) maka semua komponen biaya (termasuk bunga modal usahatani) harus
diperhitungkan. Dengan menyadari keterbatasannya, dalam penelitian ini
diasumsikan bahwa bunga modal pinjaman adalah sekitar 12 persen per tahun,
atau 1 persen per bulan. Nilai penerimaan, biaya, dan keuntungan bersih maupun
tunai usahatani masing-masing kelompok komoditas tertera pada Lampiran 2.
Secara empiris bukan hanya padi yang diusahakan petani di lahan sawah
tetapi juga palawija, sayuran (hortikultura), dan tanaman industri (tebu, tembakau,
dan lain-lain). Bahkan ada juga yang mengusahakan tanaman tahunan seperti
jeruk, mangga, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang diperhitungkan adalah
22 jenis komoditas, yakni komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman
tebu yang secara historis banyak diusahakan oleh petani di lokasi penelitian.
1. Sub DAS Brantas Hulu. Lokasi yang dijadikan contoh adalah Wilayah
Irigasi Lodoyo-Tulungagung dengan luas hamparan 12 321 hektar. Sumber
utama air irigasi adalah dari Dam Wlingi.
2. Sub DAS Brantas Tengah. Lokasi contoh adalah Wilayah Irigasi Mrican
seluas 28 904 hektar yang terdiri dari Mrican Kanan (16 334 Ha) dan Mrican
Kiri (12 570 Ha). Sumber utama air irigasi adalah dari Sungai Brantas yang
mekanisme pengaturannya menggunakan Bendung Gerak (Barrage) Mrican.
78
3. Sub DAS Brantas Hilir. Lokasi yang diambil sebagai contoh adalah Wilayah
Irigasi Delta Brantas dengan luas hamparan 27 362 hektar. Sumber utama air
irigasi adalah dari Dam Lengkong.
1. Kedekatan karakteristik dalam durasi kebutuhan air irigasi untuk satu siklus
usahatani yang dihitung sejak penyiapan lahan sampai dengan panen
2. Kedekatan karakteristik dalam cara pemberian air untuk tanaman yang lazim
diaplikasikan petani. Secara garis besar ada dua macam cara pemberian air ke
tanaman yang dipraktekkan petani yaitu:
Tabel 3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam
model
Dalam konteks spatial, terdapat dua kategori sumberdaya yaitu: (1) bersifat
spesifik wilayah, dan (2) bersifat lintas wilayah. Suatu sumberdaya dikategorikan
bersifat spesifik wilayah jika mobilitas spatialnya sangat kecil atau nol, dan
dikategorikan bersifat lintas wilayah jika mobilitas spatialnya sangat tinggi. Sifat
lintas wilayah dapat dipilah lebih lanjut: (1) satu arah (misalnya air irigasi), dan
(2) dua arah (misalnya tenaga kerja). Dalam penelitian ini ada 4 macam
sumberdaya yang tercakup sebagai kendala dalam maksimisasi keuntungan
usahatani yaitu lahan, air irigasi, modal, dan tenaga kerja. Rincian masing-masing
kendala tersebut adalah sebagai berikut.
4.2.2.1. Lahan
Secara teoritis kendala air irigasi tidak bersifat spesifik lokal per Sub DAS
karena pasokan air irigasi di Sub DAS hulu (yang lebih atas) mempengaruhi
pasokan air irigasi di Sub DAS yang lebih bawah dalam suatu yang sifatnya
hubungan rekursif. Mengingat bahwa model merupakan penyederhanaan dan
abstraksi dunia nyata (Sinaga, 1997) maka model yang baik harus semaksimal
mungkin dapat merefleksikan kondisi empiris.
Secara empiris, alokasi spatial air irigasi pada Sistem Irigasi Teknis DAS
Brantas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management –
SM) dengan pendekatan sistem jatah. Di sisi lain, pada penelitian ini alokasi
82
Tabel 4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di
masing-masing Sub DAS Brantas
(106 m3/Bulan)
Bulan Air irigasi yang tersedia di setiap wilayah contoh*) Kebutuhan minimum**)
Sub DA Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir Hulu Tengah Hilir
(12 321 Ha) (28 904 Ha) (27 362 Ha)
Oktober 26.188 – A10 21.499 + c10.A10 – B10 17.907 + g10.B 10 11.391 24.405 23.091
November 29.655 – A11 31.918 + c11.A11 – B11 26.958 + g11.B 11 15.184 34.918 32.142
Desember** 41.406 65.560 61.862 - - -
Januari** 42.622 68.342 63.572 - - -
Februari** 41.131 64.716 61.251 - - -
Maret** 39.174 60.390 56.905 - - -
April** 35.957 52.347 49.529 - - -
Mei** 31.792 43.304 42.772 - - -
Juni 31.405 – A6 34.745 + c6.A6 – B6 31.822 + g6.B6 16.673 38.919 36.591
Juli 26.684 – A7 22.423 + c7.A7 – B7 18.749 + g7.B7 12.236 26.490 23.907
Agustus 26.077 – A8 21.205 + c8.A8 – B8 17.862 + g8.B8 11.600 24.542 23.280
September 25.186 – A9 20.491 + c9.A9 – B9 16.498 + g9.B9 10.665 23.438 21.656
Keterangan:
At = air yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah pada waktu-t
ct = efisiensi penyaluran At dimana ct < 1
Bt = air yang ditransfer dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir pada waktu-t
gt = efisiensi penyaluran Bt dimana gt < 1
* = sebagian ditransfer ke wilayah lain
** = estimasi kebutuhan minimum air irigasi untuk Bulan Desember – Mei tidak
diperlukan karena secara empiris air irigasi tidak menjadi pembatas.
83
Secara empiris modal tunai merupakan salah satu kendala yang dihadapi
petani dalam berusahatani. Petani yang kemampuan permodalannya sangat
terbatas cenderung menerapkan pola tanam yang hemat kapital. Oleh karena itu
partisipasi petani miskin dalam mengusahakan komoditas-komoditas bernilai
ekonomi tinggi pada umumnya sangat rendah karena pengusahaan komoditas
seperti itu cenderung padat modal meskipun sebenarnya secara potensial dapat
memberikan keuntungan yang lebih besar.
Data tentang ketersediaan modal tunai usahatani pada suatu wilayah tidak
dapat digali secara langsung sehingga perlu diestimasi dengan pendekatan tidak
langsung. Dalam estimasi itu diperlukan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan
kondisi empiris dan kerangka pikir teoritis.
3. Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usahatani
tetapi juga berasal dari bekerja dan atau berusaha pada kegiatan non usahatani
seperti berburuh tani, berburuh/bekerja di sektor non pertanian (termasuk pula
jika yang bersangkutan menjadi pegawai swasta/negeri), berdagang, usaha
industri kecil, dan lain sebagainya; bahkan termasuk pula kiriman dari anggota
rumah tangganya yang bekerja di kota/luar negeri sebagai migran sirkuler.
6. Dalam transaksi kredit, faktor yang berpengaruh adalah lokasi (jarak). Petani
mengandalkan sumber pinjaman dari petani lain yang lokasinya lebih dekat.
1. Jika air irigasi tidak menjadi kendala maka pola tanam yang diterapkan hanya
dibatasi oleh modal yang tersedia.
3. Mobilitas modal usahatani dalam satu Sub DAS sempurna, sedangkan antar
Sub DAS mobilitasnya dianggap nol karena jarak antar Sub DAS relatif jauh
(Peta wilayah pada Lampiran 3).
dapat diproksi dari rata-rata biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani yang
berada di atas garis kemiskinan pada usahatani di persil-persil lahan sawah yang
tidak mengalami kendala air irigasi. Dengan demikian dapat dipresentasikan
sebagai berikut:
CR
MR LR
GR
dimana
M R modal tunai usahatani yang tersedia di Sub DAS R contoh
Tabel 5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk
usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi
Tabel 6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
Tenaga kerja dipilah menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja manusia dan
tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua
jenis yaitu pria dan wanita. Dalam penelitian ini diasumsikan substitusi tenaga
kerja manusia antar kategori adalah sempurna sehingga tenaga kerja wanita yang
tersedia dapat dikonversikan dalam unit pengukuran untuk tenaga kerja pria.
Faktor konversi adalah perbandingan total tingkat upah (termasuk upah dalam
bentuk natura) tenaga kerja wanita terhadap total tingkat upah tenaga kerja pria.
Hal ini disebabkan adanya migrasi tenaga kerja ke kota yang sifatnya musiman.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada penelitian ini ketersediaan tenaga kerja
tidak dipilah menurut Sub DAS tetapi hanya dipilah berdasarkan musim tanam.
Terkait dengan potensi intensitas tanam yang dapat diterapkan, di wilayah
pertanian beririgasi teknis dikenal tiga musim tanam yaitu: (1) Musim Tanam
(MT) I yang umumnya berlangsung pada periode Oktober – Januari, (2) MT II
(Februari – Mei), dan (3) MT III (Juni – September). Selain itu, meskipun
sesungguhnya tidak akurat Musim Tanam I seringkali juga disebut usahatani
Musim Hujan (MH), sedangkan MT II dan MT III masing-masing disebut pula
usahatani Musim Kemarau-1 (MK-1) dan Musim Kemarau-2 (MK-2).
TKPTAN Rm
LR
lR
JARPK R 0.5 JARPBK R
HOKPUSH Rm
HOKPTOTRm
HOKEFm
TKWTAN Rm
LR
lR
JARWK R 0.5 JARWBK R
HOKWUSH Rm
HOKWTOTRm
HOKEFm
dimana:
TKTANRm = jumlah tenaga kerja untuk usahatani di Sub DAS R pada
musim m yang tersedia
TKPTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R
pada musim m yang tersedia
TKWTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R
pada musim m yang tersedia
LR = luas lahan sawah di Sub DAS R
lR = rata-rata luas pemilikan sawah di Sub DAS R
JARPK R = rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria yang bekerja
88
Di lapangan, tenaga kerja mesin yang paling penting adalah untuk kegiatan
pengolahan tanah. Berdasarkan pertimbangan itu, dalam penelitian ini tenaga
kerja mesin yang diperhitungkan adalah traktor. Estimasi ketersediaan tenaga
kerja traktor didasarkan atas data dan atau informasi yang diperoleh dari Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lokasi Penelitian (Tulungagung, Kediri,
Nganjuk, Sidoarjo). Berdasarkan data dan informasi yang tersedia, dapat
diestimasi kapasitas kerja (pengolahan) dari traktor yang tersedia. Satuan
kapasitas olah adalah dalam hektar. Konversi ke satuan Hari Kerja Traktor (HKT)
dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas kerja tersebut dengan rata-rata
kebutuhan per hektar tenaga kerja traktor untuk pengolahan tanah. Hasil estimasi
ketersediaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia tertera pada Tabel 7.
Jika diasumsikan petani adalah rasional, maka pola tanam yang diterapkan
mencerminkan pilihan yang diambil dalam rangka mencapai tujuan. Justifikasinya
adalah bahwa dalam pola tanam tercakup komposisi komoditas yang yang
dimensinya mencakup: jenis komoditas (apa), skala pengusahaan (berapa), dan
waktu pengusahaan (kapan). Ketiga aspek itu merupakan substansi strategis dalam
proses pengambilan keputusan dalam rasionalitas petani untuk memaksimumkan
keuntungan usahataninya berdasarkan sejumlah kendala yang dihadapinya.
Kendala historis pola tanam yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dipresentasikan sebagai berikut:
p
x Ei
i1
BEDRm q EDRm
A
xDj
j 1 Rm
yang dapat pula dituliskan menjadi:
p q
x Ei H EDRm
A
x Dj 0
i1 Rm j 1 Rm
dan
p q
x Ei H EDRm
B
xDj 0
i1 Rm j 1 Rm
91
dimana:
p
x Ei = total luas tanam xi dari kelompok komoditas E di
i 1 Rm Sub DAS R pada musim m
q
x Dj = total luas tanam xj dari kelompok komoditas D di
j 1
Rm Sub DAS R pada musim m
A
H EDRm = nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam
kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam
kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan
luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
B
H EDRm = nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam
kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam
kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan
luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
A
Data perkembangan luas tanam yang digunakan dalam estimasi H EDRm
B
maupun H EDRm adalah data sekunder yang diperoleh dari Seksi-seksi Cabang
Pengairan di lokasi contoh yang dilengkapi dengan data yang diperoleh dari
wawancara dengan Pengurus P3A contoh. Hasil estimasi tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok
komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis
DAS Brantas pada periode 1990 - 2000*)
4.2.4.1. Lahan
2. Aspek sosial ekonomi wilayah. Ini dapat digali dari studi agroekonomi secara
komprehensif. Dalam konteks ini, ada dua gugus informasi yang harus
diketahui yaitu: (1) keragaan sosial ekonomi rumah tangga petani (penguasaan
tanah, struktur pendapatan, aplikasi teknologi usahatani, teknik irigasi yang
diterapkan, dan lain-lain), dan (2) struktur perekonomian wilayah, baik kondisi
aktual maupun perkiraan tentang arah perkembangannya di masa mendatang.
Mulai
Konsep pembangunan pertanian
Studi agroekonomi
Kondisi iklim
Rancangan
Pola Tanam Evapotranspirasi
Koefisien tanaman
Laju perkolasi
Pudding water
Curah hujan efektif
Kebutuhan air
neto
Efisiensi irigasi
Diversi kebutuhan
air = (kebutuhan air neto)/(efisiensi irigasi)
Permintaan air di
area irigasi = (diversi kebutuhan air) – (air dari sumber lain)
Selesai
Kebutuhan air irigasi total (GR) untuk suatu areal tertentu ditentukan oleh
luas areal (A), kebutuhan neto di lapangan (NR), dan efisiensi irigasi (IE).
Formulasinya adalah:
GR A NR IE 1
Sedangkan kebutuhan air irigasi neto di lapangan (net field irrigation requirement
= NR) dipengaruhi oleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah (LR), kebutuhan
tanaman (crop consumptive use of water = Cu), laju perkolasi (PR), kebutuhan air
untuk pesemaian (Nr), dan curah hujan efektif (ER) dengan formula:
NR LR Cu Nr PR ER
95
Kondisi Lahan
Rencana Pola tanam
- Efisiensi penyaluran
Efisiensi Irigasi (IE) = - Efisiensi pengoperasian
- Efisiensi aplikasi di hamparan
Kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dipengaruhi oleh kondisi tanah dan
cara pengolahan tanah. Kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah
yang dipergunakan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode berikut
(Nippon Koei and JICA, 1993):
M e k ( Eo P ) e( M T ) / S
LR
e k 1 e ( M T ) / S 1
dimana:
M = kebutuhan air untuk mengkompensasi evaporasi dan perkolasi
hamparan dalam keadaan jenuh
E0 = evaporasi (untuk pengolahan tanah disetarakan = 1 x ET0)
P = perkolasi
T = periode pengolahan tanah (untuk usahatani padi dihitung 20 hari)
S = kebutuhan untuk penjenuhan (200 mm) ditambah dengan 50 mm
untuk lapisan tanah sehingga S = 200 mm + 50 mm = 250 mm
Kebutuhan air untuk pengolahan tanah yang selama ini dijadikan acuan
dalam sistem irigasi teknis di Indonesia adalah sekitar 16 mm/hasi – 20 mm/hari.
Cu ETo Kc .
Curah hujan efektif yang sering dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis
di DAS Brantas adalah sekitar 50 persen (kisaran 48 - 55 persen) yang dihitung
berdasarkan persamaan:
Re f 151 R
dimana:
f = tingkat curah hujan efektif
Re = curah hujan efektif dalam mm/hari
R = curah hujan tengah bulanan minimum pada siklus lima tahunan
Data yang digunakan untuk mengestimasi biaya tunai berupa data primer
dari hasil survey di tingkat petani. Estimasi koefisien kebutuhan modal tunai
usahatani per hektar untuk masing-masing aktivitas (kelompok komoditas)
menggunakan rata-rata terbobot (weighted average) dimana pembobotnya adalah
skala pengusahaan komoditas yang bersangkutan. Hasil estimasi tertera pada
Lampiran 7.
98
Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani adalah total tenaga kerja yangt
dibutuhkan sejak penyiapan lahan sampai dengan panen. Tenaga kerja dipilah
menjadi dua: (1) tenaga kerja mekanis, dan (2) tenaga kerja manusia. Penggunaan
tenaga kerja mekanis terutama adalah untuk pengolahan tanah. Pada umumnya
yang digunakan adalah traktor roda dua, bukan traktor roda empat karena petakan
sawah pada umumnya kecil-kecil. Penggunaan tenaga kerja ternak sangat kecil
(kurang dari 4 %) sehingga dalam penelitian ini dikelompokkan dalam tenaga
kerja manusia dengan cara mengkonversinya ke tenaga kerja manusia. Basis
konversi adalah ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tenaga kerja ternak.
Lazimnya tenaga kerja manusia dalam usahatani ada tiga kategori: (1) pria,
(2) wanita, dan (3) anak-anak. Tenaga kerja kategori (3) tidak diperhitungkan
karena dalam pasar tenaga kerja tidak ada (tidak ada upah untuk tenaga kerja
anak-anak). Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah dalam setara pria (HOKP).
Dengan asumsi tingkat upah mencerminkan produktivitasnya, maka konversi Hari
Orang Kerja Wanita (HOKW) maupun Hari Kerja Ternak ke HOKP
menggunakan perbandingan tingkat upah. Tingkat upah yang digunakan adalah
dalam nilai upah per jam kerja, dimana didalam upah tersebut tercakup pula upah
yang berbentuk natura (makanan, minuman, rokok/tembakau). Bawon, yakni upah
panen padi dikonversikan dalam rupiah berdasarkan harga gabah kering panen
karena bawon diberikan dalam bentuk gabah kering panen. Hasil estimasi
kebutuhan tenaga kerja masing-masing peubah keputusan (aktivitas) tertera pada
Lampiran 8.
Bentuk umum model valuasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dipresentasikan secara matematis sebagai berikut. Misalkan xi , yi , dan z i
Xit , Yit , Zit : kebutuhan air irigasi per hektar xi , yi , z i pada waktu t
W Xt( I ) , WYt( I ) , WZt( I ) : maksimum air irigasi yang tersedia di Sub DAS Hulu,
Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada waktu t
W Xt( II ) , WYt( II ) , WZt( II ) : jatah air irigasi sesuai kebutuhan minimum di masing-
masing Sub DAS pada waktu t
TXYt , TYZt : air irigasi yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS
Tengah dan dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir
c XYt , cYZt : efisiensi penyaluran air irigasi dari Hulu ke Tengah
dan dari Tengah ke Hilir pada waktu t
v Xi , vYi , v Zi : kebutuhan modal tunai per hektar xi , yi , z i
Maka bentuk umum dari model dapat dipresentasikan secara matematis sebagai
berikut:
Maks F ( Xi , Yi , Zi ; xi , y i , z i ) (1)
xi , y i , z i
dengan kendala:
g X j ( xi ) S X j (2)
g Y j ( yi ) S Y j (3)
100
g Z j ( zi ) S Z j (4)
rX (v Xi , xi ) V X (11)
rY (vYi , yi ) VY (12)
rZ (v Zi , zi ) VZ (13)
xi 0 (16)
yi 0 (17)
zi 0 (18)
multiplier). Semua konstanta dan fungsi yang tertulis pada persamaan (19) adalah
vektor fungsi-fungsi kendala sebagaimana tertulis pada persamaan (2) sampai
dengan (18) tersebut di atas.
L F J g X j T
h Xt
gX j hXt
xi xi j 1 xi t 1 xi
T
j Xt T
kYt T
l
jXt kYt lYt Yt
t 1 xi t 1 xi t 1 xi
T
p Zt T
q R
r
pZt qZt Zt rX X
t 1 xi t 1 xi r 1 xi
J s Aj J s Bj
SAj SBj 0 , i = 1, 2, … , n (20)
j 1 xi j 1 xi
n
L n F J g X j T
h
i 1 xi
xi
i 1 x i
j 1
gX j
xi
t 1
hXt Xt
xi
T
j Xt T
k T
l
jXt kYt Yt lYt Yt
t 1 xi t 1 xi t 1 xi
T
p Zt T
q R
r
pZt qZt Zt rX X
t 1 xi t 1 xi r 1 xi
J s Aj J s Bj
SAj SBj xi 0 (21)
j 1 xi j 1 xi
xi 0 , i = 1, 2, … , n (22)
L F J g Y j T
h Xt
gY j hXt
yi y i j 1 yi t 1 yi
T
j Xt T
k T
l
jXt kYt Yt lYt Yt
t 1 yi t 1 y i t 1 yi
T
p Zt T
q Zt R
r
pZt qZt rY Y
t 1 yi t 1 yi r 1 yi
J s J s
SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n (23)
j 1 yi j 1 yi
102
n
L n F J gY j T
h Xt
y yi y gY j
yi
hXt
yi
i 1 i i i j 1 t 1
T
j Xt k T
l T
jXt kYt Yt lYt Yt
t 1 yi t 1 y i t 1 yi
T
p Zt T
q Zt R
r
pZt qZt rY Y
t 1 yi t 1 yi r 1 yi
J s Aj J s Bj
SAj SBj yi 0 (24)
j 1 yi j 1 y i
yi 0 , i = 1, 2, … , n (25)
L F J g Z j T
h Xt
gZ j hXt
zi zi j 1 z i t 1 zi
T
j Xt T
k T
l
jXt kYt Yt lYt Yt
t 1 z i t 1 zi t 1 zi
T
p Zt T
q Zt R
r
pZt qZt rZ Z
t 1 zi t 1 zi r 1 zi
J s J s
SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n (26)
j 1 zi j 1 zi
n
L n F J g Z j T
h Xt
z zi z gZ j
z i
hXt
zi
i 1 i i 1 i j 1 t 1
T
j Xt k TT
l
jXt kYt Yt lYt Yt
t 1 z i t 1 zi t 1 zi
T
p Zt T
q Zt R
r
pZt qZt rZ Z
t 1 zi t 1 zi r 1 zi
J s Aj J s Bj
SAj SBj zi 0 (27)
j 1 zi j 1 z i
zi 0 , i = 1, 2, … , n (28)
L
S X j g X j () 0 (29)
gX j
L
S g Xj () 0
J J
j 1
gX j
gX j
j 1
gX j Xj (30)
gX j 0 , j = 1, 2, …, J (31)
L
SY j g Y j () 0 (32)
gY j
103
L
S g Yj () 0
J J
gY j
j 1 gY j
j 1
gY j Yj (33)
gY j 0 , j = 1, 2, …, J (34)
L
S Z j g Z j () 0 (35)
gZ j
L
gZ j S Zj g Zj () 0
J J
gZ j
j 1 gZ j j 1
(36)
gZ j 0 , j = 1, 2, …, J (37)
L
W Xt( I ) hX t () 0 (38)
hX t
W
T
L T
hX t
t 1 hX t
t 1
hX t
(I )
Xt hX t () 0 (39)
hX t 0 , t = 1, 2, …, T (40)
L
W Xt( II ) j X t () 0 (41)
jX t
W
T
L T
jX t
t 1 jX t
t 1
jX t
( II )
Xt j X t () 0 (42)
jX t 0 , t = 1, 2, …, T (43)
L
WYt( I ) kYt () 0 (44)
kY t
L
T T
kY t
t 1
kY t WYt( I ) kYt () 0
kY t t 1
(45)
kY t 0 , t = 1, 2, …, T (46)
L
WYt( II ) lY t () 0 (47)
lY t
W
T
L T
lY t
t 1 lY t
t 1
lY t
( II )
Yt lYt () 0 (48)
lY t 0 , t = 1, 2, …, T (49)
L
WZt( I ) p Zt () 0 (50)
pZ t
104
W
T
L T
pZ t
t 1 pZ t
t 1
pZ t
(I )
Zt pZt () 0 (51)
pZ t 0 , t = 1, 2, …, T (52)
L
WZt( II ) q Zt () 0 (53)
qZ t
W
T
L T
qZ t
t 1 qZ t
t 1
qZ t
( II )
Zt q Zt () 0 (54)
lY t 0 , t = 1, 2, …, T (55)
L
V X rX () 0 (56)
rX
L
rX rX (V X rX () 0 (57)
rX
rX 0 (58)
L
VY rY () 0 (59)
rY
L
rY rY (VY rY () 0 (60)
rY
rY 0 (61)
L
VZ rZ () 0 (62)
rZ
L
rZ rZ (VZ rZ () 0 (63)
rZ
rZ 0 (64)
L
AXYZ j s A j () 0 (65)
SA j
L
A s A j () 0
J J
j 1
SA j
SA j
j 1
SA j XYZ j (66)
SA j 0 , j = 1, 2, …, J (67)
L
B XYZ j s B j () 0 (68)
SB j
105
L
B s B j () 0
J J
SB j
j 1 SB j
j 1
SB j XYZ j (69)
SB j 0 , j = 1, 2, …, J (70)
ketersediaan air irigasi di Sub DAS tersebut pada bulan yang bersangkutan; tetapi
dipengaruhi pula oleh ketebutuhan dan ketersediaan air irigasi pada bulan yang
lain, baik di Sub DAS itu sendiri maupun di Sub DAS Tengah (akibat adanya
transfer air irigasi dari Sub DAS Tengah). Di sisi lain mengingat ketersediaan air
irigasi di Sub DAS Tengah juga dipengaruhi oleh air irigasi yang dapat ditransfer
dari Sub DAS Hulu maka secara tidak langsung harga bayangan air irigasi di Sub
DAS Hilir tersebut juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan pasokan air irigasi di Sub
DAS Hulu. Selain dipengaruhi oleh kendala air irigasi, harga bayangan air irigasi
tersebut juga dipengaruhi oleh kendala sumberdaya lainnya (lahan, modal, dan
tenaga kerja) karena nilai aktivitas-aktivitas xi, yi, maupun zi dipengaruhi oleh
ketersediaan sumberdaya secara keseluruhan; dimana nilai suatu aktivitas juga
tergantung satu sama lain karena fungsi tujuan adalah memaksimumkan xi, yi,
maupun zi secara bersamaan.
fungsi kendala) yang tak lain adalah harga bayangan (shadow price) sumberdaya.
Metode pembuktiannya dapat diikuti dalam Intriligator (1971) halaman 28 – 39.
Dengan demikian bentuk spesifik model yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dipresentasikan sebagai berikut:
n n n
Maks i xi i y i i z i
i 1 i 1 i 1
(1)
dengan kendala:
107
x
i 1
ij SX j , j = MH, MK-1, MK2 (2)
k p
x
i 1
ij 1 xij 0
i l
(3)
y
i 1
ij SY j , j = MH, MK-1, MK2 (4)
k p
yij1 yij 0
i 1 i l
(5)
z
i 1
ij SZ j , j = MH, MK-1, MK2 (6)
k p
zij 1 zij 0
i 1 i l
(7)
2. Kendala air irigasi (per sub DAS, per bulan, dan ada transfer dari Sub DAS
Hulu ke Sub DAS Tengah serta dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir):
n
i 1
Xit xit TXYt W1t (8)
i 1
Xit xit w1t t = Okt, Nov, … Sep (9)
i 1
Yit yit TYXt TYZt W2t (10)
i 1
Yit yit w2t t = Okt, Nov, … Sep (12)
i 1
Zit z it TZYt W3t (13)
i 1
Zit z it w3t t = Okt, Nov, … Sep (15)
108
v x
i 1
i i VX (16)
v y
i 1
i i VY (17)
v z
i 1
i i VZ (18)
a
i 1
Xij xij aYij y ij a Zij zij AXYZ j
i 1 i 1
(19)
m m
x
i 1
(P)
ij hj( BqpX ) x hj( Q ) 0
h 1
(22)
m m
y
i 1
(P)
ij hj( AqpY ) y hj( Q ) 0
h 1
(23)
m m
i 1
y ij( P ) hj( BqpY ) y hj( Q ) 0
h 1
(24)
m m
z
i 1
(P )
ij hj( AqpZ ) z hj( Q ) 0
h 1
(25)
m m
Fungsi permintaan normatif air irigasi dapat diperoleh dari analisis pasca
optimal (post optimality analysis) perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996).
Sudah barang tentu, mengingat bahwa hasil post optimality analysis itu berupa
inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan
tersebut dapat diperoleh dari inversinya. Dalam analisis pasca optimal, skenario
perubahan ketersediaan air irigasi yang dipergunakan adalah proporsional.
Dengan demikian misalkan skenario perubahan adalah satu persen maka
perubahan tersebut berlaku untuk Bulan Januari – Desember.
Iuran irigasi berbasis komoditas adalah sistem pungutan (tarif) air irigasi
dimana komponen utamanya dihitung berdasarkan harga bayangan dan volume air
irigasi yang digunakan dalam usahatani. Sebagaimana dinyatakan di muka, Iuran
Irigasi Berbasis Komoditas terdiri dari dua komponen yaitu: (1) komponen utama,
dan (2) komponen penunjang. Formulanya adalah sebagai berikut:
t
PW ij CW ( wT AijT )
T 1
Komponen pokok
Komponen penunjang
dimana:
PWij = Nilai iuran irigasi berbasis komoditas untuk kelompok
komoditas-i yang diusahakan pada periode-j.
CW = biaya irigasi dari komponen penunjang yang nilai per hektarnya
tetap; ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan kelompok (P3A).
wT = harga bayangan air irigasi pada bulan T
AijT = air irigasi yang digunakan pada bulan T dalam usahatani
kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j
t = periode pengusahaan untuk satu siklus produksi (unit waktu
adalah bulan)
111
Dari formula tersebut tampak bahwa: (1) semakin langka air irigasi
semakin besar biaya irigasi karena harga bayangannya semakin tinggi, dan (2)
biaya irigasi untuk usahatani komoditas yang banyak mengkonsumsi air (padi)
adalah lebih besar daripada komoditas yang membutuhkan air yang lebih sedikit.
1
untuk i 1
15
(2) 15
1 exp
n 1
x n n
exp x n n( 3 )
n 1
15
exp x n n( 2 )
n 1 untuk i 2
Pr( y i ) 15 15
1 exp
n 1
x
n n
(2)
exp
n 1
x n n( 3 )
15
exp x n n( 3 )
n 1 untuk i 3
15
(2) 15
1 exp
n 1
x n n
exp x n n( 3 )
n 1
dimana:
x1 = tingkat efisiensi teknis (te) yang dicapai petani dalam usahatani padi
x2 = jumlah persil lahan sawah garapan
x3 = luas lahan sawah garapan (hektar)
x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik
x5 = jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu kerja dalam usahatani
x6 = umur kepala keluarga (tahun)
x7 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah)
x8 = rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga
x9 = pangsa pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total
pendapatan rumah tangga
x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier
x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter
x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air
x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan)
x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan)
x15 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi
(0 = tidak memiliki, 1= memiliki)
113
Secara garis besar iuran irigasi yang ditanggung oleh petani terdiri atas dua
komponen yaitu:
1. Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR) yaitu biaya irigasi yang dibebankan
kepada petani (P3A) yang sistemnya ditentukan oleh pemerintah. Dana IPAIR
ditujukan untuk menambah dana operasi dan pemeliharaan irigasi.
Pengelolaan IPAIR dikoordinasikan oleh Pemerintah (Dinas Pengairan). Pada
tahun 1999/2000 (waktu penelitian) tarif IPAIR sekitar Rp. 22 000/Ha/Th dan
berkisar antara Rp. 18 000/Ha – Rp. 25 000/Ha per tahun.
2. Iuran P3A yaitu iuran irigasi yang ditentukan oleh organisasi P3A. Pada tahun
1999/2000, rata-rata Iuran P3A adalah sekitar Rp. 35 000/hektar/tahun.
Dalam praktek, biaya irigasi yang dikeluarkan petani tidak hanya terdiri
dari dua komponen tersebut karena ada komponen lain yang sifatnya insidentil
yaitu: "biaya irigasi pompa" dan biaya irigasi "informal". Dalam penelitian ini,
tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi dievaluasi berdasarkan
kepatuhannya dalam membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Sebagaimana dijelaskan
di muka, ada empat varian yang berdasarkan besaran maupun kaitannya dengan
kualitas pelayanan irigasi yang dapat dinikmati petani dapat diasumsikan bersifat
berjenjang (kategori 4 > 3 > 2 > 1):
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
1 1
;
17
17
1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n
n 1 n 1
0 dan k
114
dimana:
x1 = indeks diversifikasi usahatani (E)
x2 = jumlah persil lahan sawah garapan
x3 = luas lahan sawah garapan (hektar)
x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik
x5 = umur kepala keluarga
x6 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah)
x7 = pendapatan per kapita per tahun
x8 = kontribusi usahatani padi terhadap total pendapatan usahatani sawah
x9 = kontribusi pendapatan dari luar pertanian
x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier
x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter
x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air
x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan)
x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan)
x15 = indeks tanam (total luas garapan dibagi total luas baku lahan)
x16 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki,
1=memiliki)
x17 = kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang,
4=baik, 5=sangat baik).
1. Kategori 1 (P_1) : pola tanam adalah monokultur padi dan kualitas partisipasi
dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik
2. Kategori 2 (P_2) : pola tanam monokultur adalah padi dan kualitas partisipasi
dalam membayar iuran irigasi adalah baik
Mengacu pada sasaran yang ingin dicapai maka pilihan yang paling
diharapkan adalah P_4, sedangkan yang terburuk adalah P_1. Selanjutnya dengan
alasan bahwa yang diutamakan adalah perubahan pola tanam yang mengarah pada
diversifikasi maka P_3 lebih diinginkan daripada P_2. Dengan demikian jenjang
keempat kategori pilihan tersebut jika diurutkan dari yang tertinggi (paling
diinginkan) ke yang terendah adalah P_4 > P_3 > P_2 > P_1. Selanjutnya,
sebagaimana dijelaskan di atas (Sub Bab 4.5.2) pendekatan yang sesuai untuk
menganalisis persoalan seperti ini dapat menggunakan model ologit. Model yang
digunakan adalah:
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
1 1
11
11
1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n
n 1 n 1
0 dan k
116
dimana:
dimana (5) dengan cara apa, dan (6) akan dijual kapan dan dalam bentuk apa serta
dimana. Aspek (1) sampai dengan (4) lazimnya menentukan pola tanam, aspek (5)
berkaitan dengan teknik budidaya (pra panen dan pasca panen), sedangkan aspek
(6) berkaitan dengan masalah pemasaran produk yang dihasilkannya.
4.5.4.2. Keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun
Keuntungan usahatani padi merupakan salah satu tolok ukur dari tingkat
keberhasilan petani dalam mengelola usahatani dalam mencapai tujuannya untuk
memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi. Jika petani hanya
mengusahakan komoditas padi maka secara teoritis ada korelasi yang kuat antara
tingkat efisiensi teknis (TE) tersebut di atas dengan keuntungan usahatani. Akan
tetapi secara empiris sangat banyak petani yang tidak hanya berusahatani padi
tetapi juga komoditas lainnya.
Dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh petani bukan hanya berasal
dari usahatani padi tetapi juga usahatani komoditas yang lain; dan merupakan
hasil penjumlahan dari 2, 3, atau bahkan 4 siklus usahatani, tergantung pada
intensitas tanam yang diterapkan petani. Secara tunai, keuntungan usahatani per
unit luas garapan per tahun adalah sama dengan total penerimaan yang diperoleh
dari usahatani itu selama satu tahun dikurangi dengan total biaya tunai usahatani
yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut.
Dalam batas-batas tertentu total keuntungan usahatani per luas garapan per
tahun dapat dipandang sebagai produktivitas usahatani (komposit) lahan sawah.
Oleh karena itu diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk
berdiversifikasi; dan merupakan berpengaruh positif pula terhadap tingkat
partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.
Petani dengan status garapan milik diduga cenderung memilih pola tanam
berdiversifikasi. Variabel ini diduga merupakan faktor positif pula untuk
mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.
Tingkat kecukupan air irigasi di suatu lahan garapan dipengaruhi oleh: (1)
aksesibilitasnya terhadap saluran irigasi, (2) kondisi pasokan air irigasi di saluran
tertier maupun kuarter, (3) posisi vertikal relatif lahan tersebut terhadap hamparan
lahan garapan petani lain maupun permukaan air di saluran pemasok air irigasi,
dan (3) sistem distribusi air irigasi. Ada dua variabel yang dapat digunakan
sebagai proksi tingkat kecukupan air irigasi di lahan garapan yaitu:
1. Luas lahan garapan yang sering mengalami kekurangan air. Ini diproksi dari
luas (bagian) hamparan lahan yang pada musim kemarau-1 kebutuhan air
irigasinya tidak dapat terpenuhi dari pasokan air irigasi permukaan. Diduga
pangsa luas lahan cukup air irigasi merupakan faktor negatif terhadap
probabilitas memilih pola tanam berdiversifikasi, tetapi merupakan faktor
positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi.
123
2. Intensitas kekeringan. Ini diproksi dari durasi (berapa hari) lahan garapan
tersebut tidak memperoleh pasokan air irigasi yang cukup sehingga petani
harus menanggulanginya dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan
irigasi pompa. Diduga variabel ini merupakan faktor negatif terhadap
probabilitas petani untuk berdiversifikasi, maupun partisipasi petani untuk
membayar iuran irigasi yang berkualitas.
Kualitas lahan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecukupan air tetapi
juga kesuburannya, aksesibilitasnya terhadap prasarana transportasi dan
sebagainya. Di wilayah agraris, untuk tipe lahan yang sejenis maka kualitas lahan
berkorelasi positif dengan harga lahan tersebut. Akan tetapi dalam penelitian ini
data tentang harga lahan garapan tidak lengkap sebagian besar petani (hampir 50
persen) tidak dapat menaksir dengan baik harga lahan garapannya, sedangkan data
harga lahan dari sistem administrasi desa tidak tersedia. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan tersebut. Diduga, nilai
lahan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani dalam memilih pola
tanam berdiversifikasi maupun tingkat partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi.
Valuasi air irigasi membutuhkan data pasokan air irigasi yang terukur
dengan baik dan data usahatani yang lengkap. Selain itu, aspek lain yang sangat
penting dipertimbangkan adalah tingkat apresiasi petani terhadap peranan air
irigasi. Apresiasi petani terhadap peranan air irigasi dapat dilihat dari pola tanam,
pendayagunaan sumberdaya air untuk irigasi dan mekanisme alokasinya.
Logikanya, pendekatan teori ekonomi untuk memecahkan masalah semakin
relevan jika apresiasi petani terhadap sumberdaya tersebut lebih banyak
berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
irigasi sampai di pintu air tertier pada sistem irigasi teknis di lokasi ini dilakukan
setiap sepuluh ("Dasarian"). Selain data debit, data lain yang dipantau adalah
"data tanaman" yaitu luas tanam padi, palawija (jagung, kedele, dan sebagainya,
serta tebu). Pencatatan data dilakukan oleh Aparat Seksi Cabang Pengairan dan
kemudian dikumpulkan di Kantor Seksi Cabang Pengairan setempat.
Luas DAS ini adalah 11800 Km2. Total lahan yang dapat diusahakan untuk
pertanian (arable land) adalah 636 000 Ha. Sekitar 324 000 Ha diantaranya adalah
lahan pertanian beririgasi (pesawahan) dimana 316 000 Ha diantaranya
memperoleh pasokan utama air irigasi dari Sungai Brantas dan anak-anak
sungainya. Dari segi ekonomi regional, kontribusi GDP wilayah yang tercakup di
DAS Brantas terhadap total GDP Jawa Timur mencapai 65 persen (JICA, 1998).
Total jumlah blok tertier contoh ada 12. Jumlah di setiap Sub DAS adalah
proporsional dengan luas wilayah irigasi dan populasi petani. Oleh karena itu
jumlah Blok Tertier Contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS
Hilir masing-masing adalah 3, 5, dan 4.
125
dam Wlingi
(16334 Ha )
Bunder II dam
Bunder I 175 Ha
159 Ha
Kediri
30287 Ha
( 12321 Ha )
Lodoagung
Mrican barrage
Nganjuk Trenggalek
38668 Ha 12373 Ha
Gambar 10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian
126
2. Pemilihan rumah tangga contoh. Ini dilakukan dengan metode acak berlapis
(stratified random sampling). Dasar stratifikasi adalah luas sawah garapan
dengan alasan luas garapan mempengaruhi perilaku rumah tangga petani
dalam pengambilan keputusan petani dalam memilih pola tanam yang
diterapkan. Batasan masing-masing strata adalah sebagai berikut:
dimana avg adalah rata-rata (arithmatic mean) luas garapan petani contoh,
sedangkan std adalah galat bakunya.
3. Selain stratifikasi menurut luas garapan, pemilihan rumah tangga contoh juga
mempertimbangkan lokasi relatif lahan garapan petani (depan, tengah,
belakang) terhadap pintu tertier yang merupakan sumber pasokan air irigasi
ke hamparan sawah blok tertier contoh tersebut.
Jumlah rumah tangga petani contoh di setiap blok tertier adalah 40.
Dengan demikian, jumlah rumah tangga petani contoh di Sub DAS Hulu, Sub
DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 120, 200, dan 160;
sehingga untuk seluruh DAS terdapat 480 rumah tangga contoh (Tabel 9)
127
Keterangan Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir
Sumber sadapan Dam Wlingi Bendung Gerak Mrican Dam Lengkong
Wilayah irigasi contoh Lodoyo-Tulungagung 1. Mrican Kanan (16 334 Ha) Delta Brantas
(12 321 Ha) 2. Mrican Kiri (12 570 Ha) (27 362 Ha)
1
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebagian data yang dikumpulkan dalam
penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) – International Food
Policy Research Institute (IFPRI) – Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil)
– Perum Jasa Tirta I (PJT I) yang berjudul "Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water
Resource Allocation in Indonesia and Vietnam". Sebagai salah satu anggota Tim Penelitian
tersebut, penulis disertasi ini merupakan kontributor utama dalam disain pengambilan contoh,
pengembangan instrumen penelitian untuk pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga petani
maupun kelompok P3A (HIPPA); dan secara penuh melakukan pengumpulan data di lapangan.
V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI DAN KERAGAAN
USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS
Luas DAS adalah sekitar 11 800 Km2. Sungai utama adalah S. Brantas.
Hulu sungai berada di kaki Gunung Arjuno. Dari hulu sampai ke titik sungai ini
bercabang menjadi dua sungai (Kali Surabaya dan Kali Porong) panjangnya
adalah sekitar 258 km. Sungai ini bermuara di Selat Madura. Secara keseluruhan,
DAS Brantas mencakup 6 wilayah tangkapan air yaitu Kali Lesti, Kali Konto,
Kali Widas, Kali Brantas, Kali Ngrowo, dan Kali Surabaya.
Rata-rata curah hujan per tahun di DAS Brantas adalah sekitar 2000 mm,
dimana 80 persen diantaranya jatuh pada musim hujan yang umumnya
berlangsung pada periode Oktober/November – Maret/April. Data curah hujan
selama 45 tahun terakhir tertera pada Lampiran 12. Menyimak perkembangan
curah hujan selama kurun waktu tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa
sejak awal dasawarsa 90-an ternyata curah hujan tahunan semakin berfluktuasi
(Gambar 11).
3500
3000
2500
2000
1500
1000
56 59 62 65 68 71 74 77 80 83 86 89 92 95 98
Gambar 11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999
Pengelolaan air untuk aktivitas pertanian pada pola curah hujan tahunan
yang lebih fluktuatif adalah lebih sulit jika dibandingkan dengan pola curah hujan
yang distribusi temporalnya lebih merata. Kondisi demikian itu semakin tidak
kondusif jika kondisi daerah tangkapan air di DAS mengalami degradasi karena
pada tahun-tahun kering pengisian reservoir (waduk) menjadi tidak optimal dan
intensitas maupun eskalasi banjir pada tahun-tahun basah semakin sering terjadi.
Dari data curah hujan selama 45 tahun terakhir (1955 – 1999), dapat
diperoleh gambaran tentang pola curah hujan bulanan (Gambar 12). Tampak
bahwa curah hujan tinggi terjadi pada Bulan-bulan Desember – Maret, dimana
puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Curah hujan sangat rendah terjadi pada
Bulan-bulan Juli-Septembar dan yang terendah terjadi pada Bulan Agustus.
130
600
400
200
0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Maksimum 353 394 473 567 554 513 390 325 225 272 96 152
Minimum 2 25 124 182 193 89 49 12 0 0 0 0
Rata-rata 81 176 279 343 304 296 200 109 62 41 20 29
Total daya tampung (gross storage) reservoir pada saat ini adalah sekitar
438 x 106 m3. Kapasitas awal (kondisi baru) adalah sekitar 525 x 106 m3. Berarti
telah terjadi penurunan kapasitas sekitar 17 persen. Daya tampung efektif adalah
sekitar 357 x 106 m3 atau sekitar 71 persen dari daya tampung efektif semula yang
volumenya sekitar 502 x 106 m3. Kapasitas tampung total dan efektif setiap dam
tertera pada Tabel 10.
Tabel 10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999
Tabel 11. Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan pemanfaatannya
terbesar adalah untuk irigasi yaitu sekitar 80 persen. Penggunaan non pertanian
yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sekitar 7 % dan
industri sekitar 5 %. Perikanan budidaya (terutama tambak) memanfaatkan air
return flow dari irrigasi sekitar 1.4 %. Selain penggunaan tersebut, setiap tahun
dibutuhkan sekitar 7 % untuk penggelontoran sungai (Tabel 12).
Tabel 12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS Brantas
Kuantitas
Penggunaan
(106m3/tahun) Pangsa (%)
1. Irigasi 2 400 80.2
2. Domestik 209 7.0
3. Industri (total pasokan) 139 4.6
4. Penggelontoran sungai (maintenance flow) 204 6.8
5. Perikanan (irrigation return flow) 41 1.4
Total 2 993 100.0
Sumber: Sunaryo, 2002; Rogers et al, 2002.
Total luas lahan irigasi di DAS Brantas adalah sekitar 309 ribu hektar.
Dari jumlah itu sekitar 242.5 ribu hektar atau sekitar 78 % adalah sawah beririgasi
teknis. Deskripsi lebih rinci adalah sebagai berikut (Tabel 13).
Alokasi air irigasi bervariasi antar tahun dan dipengaruhi oleh curah hujan.
Sementara itu karena kapasitas tampung efektif waduk semakin menurun dan
alokasi air untuk keperluan domestik dan industri meningkat maka secara rata-rata
alokasi air untuk irigasi cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun. Rata-
rata penurunan memang hanya sekitar 0.67 persen per tahun tetapi dalam ukuran
volume, angka ini setara dengan 16.2 juta m3/tahun. Pada tahun-tahun 1978, 1979,
dan 1980 alokasinya mencapai angka lebih dari 3 milyar m3/tahun. Tetapi sesudah
itu selalu lebih kecil dari angka tersebut. Rata-rata berkisar antara 2.7 – 2.9 milyar
m3/tahun ; bahkan pada tahun 1987 kurang dari 2.3 milyar m3 (Gambar 13).
106 m3
3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
Pola sebaran temporal alokasi air irigasi juga sangat dipengaruhi oleh
curah hujan. Pasokan air irigasi sangat tinggi pada bulan Desember – April,
dimana puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Fluktuasi curah hujan memang jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasokan air irigasi. Koefisien variasi
bulanan untuk curah hujan adalah sekitar 85 persen, sedangkan pasokan irigasi
adalah sekitar 8.4 persen (Gambar 14).
Jika risiko usahatani berbanding lurus dengan fluktuasi pasokan air maka
berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teoritis kontribusi
irigasi dalam mengurangi risiko gagal panen (yang diakibatkan oleh kekurangan
air) adalah sekitar 90 persen. Kontribusi terbesar terjadi pada saat curah hujan
sangat rendah yaitu antara Juni – September.
134
400.00
350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Gambar 14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi
1. Intake efficiency (IEF), yaitu ratio antara air irigasi yang aktual masuk di titik
intake bangunan terhadap inflow yang dijadwalkan. Ini merupakan indikator
(pengukuran efisiensi secara tidak langsung) pengelolaan suatu sistem irigasi
skala makro (Armitage, 1999). Dapat juga dimaknai sebagai intake aktual
yang diterima di salah satu saluran berikutnya terhadap volume intake yang
dijadwalkan pada saluran di level atasnya (main canal). Disain jaringan (dari
saluran induk – tertier) irigasi yang kurang terkonsolidasi merupakan salah
satu faktor yang menentukan IEF.
135
2. System operation efficiency (SOEF), yaitu ratio antara volume alir yang
diterima di inlet di lapangan terhadap inflow pada saluran utama (main
canal). Faktor yang paling menentukan SOEF adalah kebocoran dan
evaporasi selama penyaluran dan kehilangan air akibat kesalahan dalam
pengoperasian fasilitas kontrol distribusi air irigasi.
3. On-farm use efficiency (FUEF), yaitu ratio antara volume air yang secara
langsung tersedia untuk tanaman terhadap volume air yang diterima di
hamparan (field inlet). Faktor-faktor yang menentukan FUEF antara lain
adalah teknik aplikasi air di lapangan dan kondisi tanah. FUEF di sistem
irigasi Brantas adalah berkisar antara 65 – 75 persen.
Tabel 14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992
Mekanisme distribusi air irigasi mulai dari sumber air (reservoir) sampai
ke hamparan sawah adalah sebagai berikut. Dari reservoir air dialirkan melalui
saluran primer untuk selanjutnya dibagi lebih lanjut melalui saluran-saluran yang
lebih kecil (saluran sekunder). Penyampaian air irigasi dari saluran sekunder ke
hamparan lahan pertanian menggunakan saluran tertier, dan karenanya hamparan
lahan tersebut lazim disebut Petak Tertier atau Blok Tertier. Luas satu blok tertier
bervariasi, mulai dari hanya 40 Ha sampai 300 Ha, tergantung pada topografi
lahan dan disain debit air irigasi di saluran tertier. Untuk menjangkau persil-persil
lahan yang berada di tengah atau di belakang, seringkalipara petani secara
berkelompok membangun saluran-saluran yang lebih kecil (saluran kwarter). Agar
kehilangan air di saluran primer, sekunder, dan tertier dapat ditekan maka saluran-
saluran tersebut dibuat kedap air dengan cara disemen. Saluran kwarter pada
umumnya tidak disemen karena secara teknis langsung berada di areal hamparan
tertier dan secara finansial lebih murah.
Agar kesenjangan antara pasokan dan permintaan air irigasi dapat ditekan
serendah mungkin, "rencana pemberian air" tersebut dituangkan dalam suatu pola
tanam anjuran (luas tanam menurut jenis komoditas dan musim tanam) yang
kadang – kadang disebut pula dengan istilah Rencana Tata Tanam atau Pedoman
Pola Tanam yang disusun bersama-sama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan Dinas Pengairan. Selanjutnya agar lebih mengikat, hal tersebut diformalkan
melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati/Walikota).
Lazimnya, wilayah kerja HIPPA mencakup satu jaringan tertier dan secara
empiris pada sistem irigasi teknis yang investasinya dilakukan oleh pemerintah,
pembentukan dan pengembangan awal kelembagaannya dilakukan pemerintah.
Untuk menghindari terjadinya konflik dengan kelembagaan pengelolaan irigasi
tradisional yang yang berbasis pedesaan maka wilayah kerja HIPPA pada
akhirnya disesuaikan pula dengan wilayah administratif tersebut (desa).
milik yang dilengkapi bukti pemilikan (sertifikat) ataupun yang belum dilengkapi
sertifikat. Dalam transaksi penggarapan pada umumnya juga tidak disertai dengan
perjanjian tertulis, tetapi hanya didasarkan atas kepercayaan dari masing-masing
pihak yang berkepentingan.
Satuan luas lahan yang populer di DAS Brantas adalah 'ru', dimana 700 ru
setara dengan 1 hektar. Istilah lain yang juga populer adalah "banon" yang
merupakan "penghalusan" dari istilah "bata". Jika petani menyebut "Banon 100"
maka hal itu berarti lahan tersebut luasnya adalah 100 "ru" atau sekitar 1400 m2.
Jika disederhanakan menjadi dua jenis pemanfaatan lahan yaitu Sawah dan
Lainnya (bukan sawah), rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani adalah
0.43 hektar, terdiri dari Sawah 0.34 hektar dan Lainnya 0.09 hektar (Tabel 15).
Sejajar dengan kepadatan agrarisnya, rata-rata pemilikan lahan di wilayah yang
lebih hilir cenderung lebih kecil.
Tabel 15. Rata-rata luas pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah
pesawahan irigasi teknis di DAS Brantas, 2000.
Di Sub DAS Hulu, sebagian besar dari jenis lahan yang tercakup dalam
kelompok Lainnya adalah tegalan dan kebun, sedangkan di Sub DAS Tengah dan
di Sub DAS Hilir adalah pekarangan. Tanaman utama di tegalan adalah palawija
seperti jagung, kedele, kacang tanah, ubi jalar, dan sebagainya. Di kebun dan
pekarangan komoditas yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, pisang,
rambutan, mangga, dan lain-lain. Sebagian besar dari usahatani di lahan kebun
dan pekarangan yang dilakukan oleh petani di wilayah DAS Brantas adalah untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten).
Tabel 16. Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas
menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000.
Angka indeks Gini1 pemilikan sawah di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah,
dan Hilir masing-masing adalah: 0.437, 0.589, dan 0.570. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan terendah adalah di Sub DAS
Brantas Hulu, sedangkan tingkat ketimpangan distribusi di Sub DAS Tengah dan
Hilir tidak banyak berbeda.
100
90
L u a s ku m u l at i f s aw a h m i l i k ( % )
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ju m l a h k u m u l a t i f p e t a n i ( % )
1
Formula Gini Indeks adalah:
1 2 n
G 1 2 Li
n n L i 1
G = Gini indeks
Li = luas lahan petani ke-i
i = nomor petani (diurut dari yang pendapatan terbesar ke yang terkecil).
n = jumlah petani
L adalah rata-rata luas lahan
143
Pada sistem bagi hasil, yang terbanyak dipraktekkan adalah sistem "maro"
atau 1:1. Artinya, bagian produksi pemilik tanah sama dengan yang diterima
penggarap. Tergantung kesuburan tanah dan kesepakatan dari kedua belah pihak,
ternyata ada penggarap yang diwajibkan menanggung 100 persen biaya tenaga
kerja dan 50 persen biaya sarana produksi lainnya, ada pula yang seluruh biaya
produksinya ditanggung oleh penggarap. Pada saat panen, setelah bagian hasil
(kompensasi) untuk sarana produksi disisihkan dan dikembalikan kepada masing-
masing pihak yang mengeluarkannya kemudian produksi dibagi dua.
Sesuai dengan ketersediaan air irigasinya, luas lahan sawah yang digarap
pada musim kemarau umumnya lebih rendah daripada musim hujan. Rata-rata
luas sawah garapan pada musim hujan, musim kemarau-1 dan musim kemarau-2
adalah 0.33, 0.32 dan 0.23 hektar. Sejajar dengan luas pemilikan, semakin ke hilir
rata-rata luas garapan cenderung semakin sempit (Tabel 17).
Dominasi luas tanam padi pada MT I (MH) terjadi di semua Sub DAS di DAS
Brantas; berkisar antara 81– 90 %.
Pada MT II (MK-1), proporsi luas tanam padi di Sub DAS Hilir dan Tengah,
kurang dari 60 % dari luas areal masing-masing wilayah tersebut. Ini berbeda
dengan di Sub DAS Hilir yang masih mencapai angka di atas 80 %.
Proporsi luas tanam padi MT III (MK-2) yang terbesar adalah di Sub DAS
Brantas Tengah karena ketersediaan air irigasinya paling baik.
100
87.8 88.1 84.2
90 80.5
80
70
60 54.0 56.8
50
40
30
20
9.0
10 1.4 1.1
0
Musim Musim kemarau-1 Musim kemarau-
Hulu Tengah Hilir
Gambar 16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS
145
Intensitas tanam yang tinggi itu bukan hanya merupakan kontribusi dari
ketersediaan air dari irigasi gravitasi semata, tetapi juga irigasi pompa. Secara
empiris pemanfaatan irigasi pompa di Indonesia paling intensif adalah di DAS
Brantas (Pakpahan et al, 1993).
Tabel 18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan palawija
di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000
Kacang Kacang
Padi Jagung Kedele
tanah hijau
MT I MT II MT III MT II MT III MT II MT III MT III MT III
Produktivitas (ku/ha) *) 56.5 54.9 53.2 56.0 54.6 13.2 13.1 14.3 8.6
Sarana Produksi:
1. Benih (Kg) 58.2 60.3 57.4 23.3 23.8 57.9 52.4 101.9 32.3
2. Pupuk Urea (Kg) 360.1 370.5 381.6 301.0 248.5 59.5 40.8 22.8 6.4
3. Pupuk ZA 117.7 117.7 160.9 38.0 44.9 0.0 32.6 0.0 0.0
4. Pupuk TSP 63.8 61.7 55.3 61.2 50.7 23.8 12.5 13.9 7.3
5. pupuk SP-36 39.5 43.3 50.7 6.7 10.2 0.0 3.6 3.5 3.5
6. Pupuk KCl 35.7 36.8 53.2 16.1 18.6 0.0 16.4 6.9 0.0
7. Pestisida (Rp.000) 121.1 130.4 212.6 23.5 31.9 121.4 179.9 48.9 115.4
8. Lainnya (Rp.000) 20.2 18.4 45.8 86.1 84.4 0.0 39.4 0.0 66.6
Tenaga Kerja (Jam kerja):
1. Laki-laki 900.9 903.8 1145.2 643.9 669.3 881.9 633.2 818.4 403.8
2. Perempuan 487.9 479.1 443.6 424.7 376.2 240.6 250.1 368.3 208.4
3. Ternak kerja 3.9 3.9 0.0 6.4 1.6 0.0 0.0 2.8 0.0
4. Traktor 29.2 27.7 46.4 29.2 20.7 3.0 4.6 11.5 0.0
Total (setara pria) 1625.1 1603.8 2010.5 1325.4 1203.5 1107.1 884.3 997.1 570.5
Jumlah petani (n) 471 386 52 50 162 3 126 8 22
*): kuintal Gabah Kering Panen (GKP)
ataukah disebabkan oleh turunnya kualitas pupuk dan atau cara penggunaannya
masih perlu kajian lebih lanjut.
Meskipun pada musim hujan ada pula petani yang mengusahakan tanaman
jagung di lahan sawah irigasi teknis di DAS Brantas akan tetapi jumlahnya sangat
sedikit – bahkan untuk kedele hampir tak ada. Oleh sebab itu yang dibahas hanya
usahatani komoditas tersebut pada musim kemarau.
Jagung hibrida telah banyak diusahakan terutama di Sub DAS Tengah dan
Hilir. Selain ditunjang oleh kemudahan petani memperoleh benih tersebut di kios-
kios saprodi setempat, perkembangan aplikasi benih hibrida di lokasi ini juga
terdukung oleh pola kemitraan dengan industri benih dan industri pakan. Serupa
dengan kinerja pada usahatani padi, aplikasi teknologi dalam usahatani jagung
juga termasuk intensif.
Oleh karena luas garapannya sempit, maka pendapatan yang diperoleh dari
usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga anggota
keluarga petani harus bekerja di sektor luar pertanian. Dengan demikian hampir
semua petani di irrigated area DAS Brantas adalah part timer farmer. Ini tidak
hanya berlaku pada petani yang lahan garapannya kurang dari 0.5 hektar tetapi
juga petani yang menguasai lahan garapan yang lebih luas.
sawah sangat besar dimana kontribsuinya terhadap total pendapatan rumah tangga
lebih dari separuh (53 persen). Usahatani di pekarangan dan kebun berkontribusi
sekitar 7.5 persen. Berburuh tani cukup penting peranannya terutama bagi petani
yang garapannya sempit dan tidak bekerja di luar pertanian yang produktif. Rata-
rata pendapatan dari buruh tani mencapai 6.6 persen. Di sektor non pertanian yang
terutama adalah dari usaha perdangan, industri rumah tangga, dan jasa-jasa lain di
sektor non formal, dan buruh serta karyawan (Tabel 19).
Tabel 19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS
Brantas, 1999/2000
dihasilkan dari data SUSENAS Desember 1998, SUSENAS Februari 1999, dan
SUSENAS Agustus 1999 masing-masing adalah sekitar Rp. 72 780, Rp. 74 272,
dan Rp. 69420 per kapita per bulan. Publikasi-publikasi BPS yang terbaru
cenderung menggunakan hasil SUSENAS Desember 1998.
Jika ditelaah lebih rinci ternyata rumah tangga petani yang paling rentan
terhadap kemiskinan adalah ditemukan pada kelompok pemilikan sawah di bawah
0.5 hektar. Pada kelompok rumah tangga petani yang tidak memiliki sawah
sendiri, 69 % diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu rumah
kelompok rumah tangga yang pemilikannya 0.5 hektar ke bawah, 55 %
diantaranya ternyata juga berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 20).
Tabel 20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok
pemilikan lahan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
Pola tanam optimal tertera pada Tabel 21. Secara agregat, CI pada pola
optimal adalah sekitar 262.5 persen. Angka ini sedikit lebih tinggi daripada CI
aktual yakni 260 persen (lihat Bab V). Meskipun perbedaan CI antara pola tanam
aktual dengan pola tanam optimal relatif kecil tetapi komposisi tanamannya sangat
berbeda. Perbedaan paling menonjol adalah:
1. Proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal lebih kecil daripada pola
tanam aktual. Pada pola tanam optimal, luas tanam padi pada MT I (MH),
MT II (MK-1), dan MT III (MK-2) masing-masing adalah sekitar 83.6, 60.9,
dan 3.8 % dari total luas areal. Dengan urutan yang sama, proporsi luas
tanam padi pada pola tanam aktual adalah 86.2, 65.8, dan 4.4 persen (rincian
per Sub DAS tertera pada Gambar 16 Bab V).
2. Proporsi luas tanam palawija, hortikultura dan komoditas tanaman industri
meningkat cukup banyak, terutama pada MT II (MK-1). Pada MT I, MT II,
dan MT III proporsinya adalah 9.1, 31.8, dan 65.9 % untuk pola optimal,
sedangkan pada pola aktual adalah 5.9, 24.2, dan 66.2 %.
3. Proporsi luas tanam tebu pada pola tanam optimal adalah sekitar 7 %, yang
berarti lebih tinggi daripada kondisi aktual yang hanya sekitar 3 %.
153
Tabel 21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas
153
154
Pada pola tanam optimal, keuntungan bersih usahatani pada luas baku
sawah 68 587 hektar (luas agregat daerah irigasi contoh) adalah sekitar 118.41
milyar rupiah atau sekitar 1.73 juta rupiah per hektar (Tabel 22). Keuntungan
tunai adalah sekitar 8.47 juta rupiah per hektar. Dibandingkan dengan kondisi
aktual (7.73 juta rupiah) berarti terjadi peningkatan sekitar 9.6 %.
Tabel 22. Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi
teknis DAS Brantas
Meskipun proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal menurun,
tetapi kontribusinya masih dominan. Kontribusinya terhadap keuntungan bersih
yang diperoleh dari usahatani dalam setahun adalah sekitar 52.5 %. Dalam ukuran
tunai, besarannya juga lebih dari separuh (51.3 %); tetapi jika dibandingkan
dengan kondisi aktual (55.2 %) kontribusinya memang turun sekitar 4 %.
Pada solusi optimal penggunaan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS
Tengah dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 143, 327, dan 307 juta m3 per
tahun (Tabel 23). Perbedaan volume penggunaan antar Sub DAS terutama
disebabkan oleh perbedaan luas sawah, sedangkan perbedaan proporsi antar
kelompok komoditas relatif kecil. Penggunaan terbesar adalah untuk usahatani
padi (63 – 65 %). Penggunaan untuk usahatani palawija/hortikultur-1 dan
palawija-hortikultur-2 masing-masing adalah sekitar 21 % dan % persen,
sedangkan untuk usahatani tebu adalah sekitar 5 – 6 %. Informasi yang lebih rinci
tertera dapat disimak pada Lampiran 14).
Distribusi temporal permintaan dan pasokan air irigasi pada solusi optimal
tertera pada Gambar 17. Pada sisi permintaan, kebutuhan air tergantung pada jenis
tanaman, evapotranspirasi potensial, laju perkolasi, kebutuhan air untuk
pengolahan tanah, dan efisiensi irigasi. Selain itu, beberapa jenis tanaman tertentu
(terutama padi) juga membutuhkan air untuk penggenangan. Sebagian dari
kebutuhan itu terpenuhi dari curah hujan. Di sisi lain, curah hujan tersebut juga
mempengaruhi pasokan air irigasi baik melalui saluran irigasi (karena
penyalurannya menggunakan teknik alir berkesinambungan melalui sistem saluran
terbuka) maupun langsung tercurah ke hamparan lahan sawah garapan. Akibatnya
pada saat musim hujan pasokan air irigasi melimpah, sedangkan permintaannya
justru turun; sebaliknya pada musim kemarau pasokan air irigasi sangat terbatas
sedangkan permintaannya meningkat.
156
Tabel 23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada
solusi optimal
Juta m3
80.0 Bulan Pasokan Penggunaan
Okt 11.391 11.391
Nov 15.184 15.184
60.0 Des 31.038 7.294
Jan 32.254 5.558
Feb 30.763 7.208
40.0 Mar 28.806 10.815
Apr 25.589 15.340
Mei 21.424 18.339
20.0 Jun 17.203 17.203
Jul 12.237 12.237
0.0 Ags 11.600 11.600
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 10.665 10.665
3
Juta m
80.0 Bulan Pasokan Penggunaan
Okt 24.547 24.547
Nov 34.912 34.912
60.0 Des 73.336 20.770
Jan 76.118 12.822
Feb 72.492 16.624
40.0 Mar 68.166 26.085
Apr 60.123 34.380
Mei 51.080 42.249
20.0 Jun 38.918 38.918
Jul 26.487 26.487
0.0 Ags 25.369 25.369
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 24.206 24.206
Juta m3
Bulan Pasokan Penggunaan
80.0 Okt 24.134 24.134
Nov 33.452 33.452
60.0 Des 69.638 17.272
Jan 71.348 11.944
Feb 69.027 14.860
40.0 Mar 64.681 25.009
Apr 57.305 33.006
Mei 47.956 40.429
20.0 Jun 37.314 37.314
Jul 24.485 24.485
0.0 Ags 23.277 23.277
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 22.173 22.173
Gambar 17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi
pada solusi optimal
Rupiah/m3
80.0
70.0
Sub DAS Hulu
60.0
Sub DAS Tengah
50.0 Sub DAS Hilir
40.0 DAS Brantas
30.0
20.0
10.0
0.0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Sub DAS Hulu 30.3 18.0 - - - - - - 8.0 21.9 37.5 41.1
Sub DAS Tengah 39.9 22.8 - - - - - - 10.1 27.7 48.1 53.3
Sub DAS Hilir 52.5 29.6 - - - - - - 13.0 35.5 63.2 70.1
DAS Brantas 43.2 24.7 - - - - - - 10.9 29.8 52.2 57.8
Gambar 18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di
wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas
Faktor yang menentukan harga bayangan air irigasi bukan hanya tingkat
kelangkaan sumberdaya tersebut, tetapi juga keuntungan usahatani dari komoditas
yang diusahakan di masing-masing Sub DAS tersebut. Oleh karena itu,
produktivitas usahatani, harga-harga masukan, dan harga-harga keluaran
komoditas pertanian sangat menentukan.
Tabel 24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya
( Rupiah / m3 )
1)
Cakupan Wilayah Cakupan: periode air irigasi langka Cakupan: keseluruhan2)
Rata-rata Rataan terbobot Rata-rata Rataan terbobot
Sub DAS Hulu 26.13 24.28 13.06 13.30
Sub DAS Tengah 33.65 31.12 16.83 16.59
Sub DAS Hilir 44.01 40.39 22.00 21.65
Agregat DAS Brantas 36.43 33.62 18.22 18.04
1)
Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan pada periode Juni – November (6 bulan).
2)
Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan Oktober – September (satu tahun).
159
Tampak bahwa harga bayangan air irigasi yang paling sensitif terhadap
perubahan pasokan air irigasi adalah untuk Bulan Agustus. Peringkat berikutnya
adalah Juni dan Oktober. Fenomena paling menarik adalah bahwa harga bayangan
air irigasi awal Musim Tanam III yakni Bulan Juni ternyata jauh lebih sensitif jika
dibandingkan dengan Bulan Juli, meskipun pada kondisi normal harga air irigasi
Bulan Juli lebih tinggi daripada Bulan Juni. Secara teoritis hal ini terkait dengan
posisi strategis ketersediaan dan kebutuhan air irigasi pada Bulan Juni dimana
faktor-faktor yang menentukan adalah: (1) kendala historis pola tanam, (2) rata-
rata durasi pengusahaan komoditas dominan (padi), dan (3) distribusi temporal
160
pasokan air irigasi. Secara empiris, Bulan Juni sebagai awal Musim Tanam III
adalah titik kritis dalam memilih pola tanam yang berisiko karena menghadapi
kondisi pasokan air irigasi yang langka. Lebih dari itu, pilihan pola tanam yang
diambil pada Musim Tanam III juga akan berdampak pada alternatif pilihan pola
tanam pada musim hujan tahun berikutnya.
Rupiah/m3
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
0.90 - 1.10 108.8 30.5 - - - - - - 90.8 15.2 120.5 94.4
0.91 - 1.09 105.2 28.3 - - - - - - 85.0 14.5 117.8 94.9
0.92 - 1.08 100.8 25.5 - - - - - - 77.8 13.5 114.5 95.4
0.93 - 1.07 96.4 24.3 - - - - - - 71.6 14.4 110.5 94.7
0.94 - 1.06 91.2 23.1 - - - - - - 65.1 15.3 105.6 93.1
0.95 - 1.05 84.6 21.5 - - - - - - 56.1 16.6 98.9 90.8
0.96 - 1.04 75.1 19.1 - - - - - - 43.1 18.5 89.3 87.3
0.97 - 1.03 63.9 17.4 - - - - - - 31.8 20.2 76.1 78.8
0.98 - 1.02 49.6 15.0 - - - - - - 10.3 24.0 63.2 75.5
0.99 - 1.01 39.3 14.9 - - - - - - 10.6 25.1 44.2 50.0
Tetap 43.2 24.7 - - - - - - 10.9 29.8 52.2 57.8
Gambar 19. Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga
bayangannya
Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi tidak
linier. Hal ini disebabkan harga gabah hanya mempengaruhi keuntungan usahatani
padi per hektar, sedangkan harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh
keuntungan per hektar seluruh komoditas yang berarti dipengaruhi oleh harga
keluaran seluruh komoditas. Pada level agregat (DAS Brantas), jika harga gabah
turun 5 % maka harga bayangan air irigasi adalah Rp. 31/m3 dan meningkat lebih
lanjut menjadi Rp. 46/m3 jika harga gabah turun 10%. Di sisi lain, jika harga
gabah naik 5 % maka harga bayangan air irigasi meningkat menjadi Rp. 40/m3
dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 70/m3 jika harga gabah meningkat 10 %.
Kecenderungan ini terjadi di ketiga Sub DAS meskipun ada variasi (Tabel 25).
Tabel 25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi
Rupiah/m3
Harga Gabah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
Turun 10% 38.66 43.35 52.12 46.14
Turun 5% 21.97 28.17 36.81 30.59
Tetap 13.01 16.85 21.99 18.26
Naik 5% 33.38 40.62 41.05 39.59
Naik 10% 61.66 72.13 71.88 70.34
Permintaan cenderung sangat elastis pada tingkat harga yang sangat tinggi (karena
pasokan air irigasi sangat terbatas) ataupun tingkat harga yang sangat rendah
(pasokan air irigasi sangat melimpah).
Untuk cakupan agregat DAS Brantas, pada saat pasokan air irigasi sangat
langka sehingga harga bayangannya lebih dari Rp. 84/m3 maka permintaannya
sangat elastis. Selanjutnya permintaan tersebut menjadi tidak elastis pada selang
harga Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada harga di bawah Rp. 11/m3.
Perilaku permintaan seperti itu diakibatkan oleh terjadinya perubahan alternatif
pilihan komoditas yang memaksimalkan keuntungan yang dipengaruhi oleh
kebutuhan air masing-masing komoditas (sifatnya khas), produktivitas usahatani,
harga-harga masukan maupun keluaran, dan ketersediaan air irigasi (Gambar 20).
Rupiah/m3
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0 106 m3
700 710 720 730 740 750 760 770 780 790 800
Gambar 20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas
rendah dan karenanya nilai guna air irigasi bagi petani relatif rendah. Dalam
kondisi demikian itu maka peningkatan harga pada proporsi sedikitpun akan
mendorong penurunan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang
sangat besar. Kesimpulannya, pada level harga tinggi maka makna dari elastisitas
permintaan lebih relevan untuk skenario penurunan harga, sedangkan pada level
harga yang sangat rendah lebih relevan untuk skenario peningkatan harga.
Permintaan air irigasi pada kondisi aktual berada pada segmen kurva
permintaan yang tidak elastis. Ini merupakan fenomena yang lazim ditemukan
pada permintaan air irigasi pada level harga rendah sebagaimana dinyatakan
dalam Perry (2002). Implikasi dari sifat inelastis tersebat adalah bahwa
peningkatan harga air irigasi kurang efektif sebagai instrumen untuk mendorong
pengurangan penggunaan air irigasi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal itu
adalah fenomena jangka pendek. Secara teoritis permintaan jangka panjang adalah
lebih elastis sehingga efektivitas harga sebagai instrumen pendorong efisiensi
penggunaan air irigasi meningkat.
Jika pasokan air irigasi menurun maka indeks diversitas (diukur dengan
Indeks Entrophy) juga menurun atau pasokan air irigasi meningkat lebih dari 5
persen (Gambar 21). Pada lingkup agregat DAS Brantas, jika air irigasi semakin
langka maka proporsi luas tanam padi menurun dan diversifikasi juga mengerucut
mengarah pada kelompok komoditas hemat air yang keuntungan usahataninya
relatif tinggi. Sebaliknya pada kondisi air berlimpah, proporsi luas tanam padi
semakin meningkat dan untuk kelompok komoditas non padi mengerucut pada
2.900
Hulu Te ngah Hil i r DAS Bran tas
2.850
2.800
In dek s diversitas
2.750
2.700
2.650
2.600
2.550
2.500
2.450
2.400
0.90
0.91
0.92
0.93
0.94
0.95
0.96
0.97
0.98
0.99
1.00
1.01
1.02
1.03
1.04
1.05
1.06
1.07
1.08
1.09
1.10
Pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)
Kebiasaan pola tanam merupakan salah satu sebab CI padi relatif resisten
terhadap pengaruh kelangkaan air irigasi. Perhatikan bahwa pada level agregat,
jika pasokan air irigasi turun 5 % maka CI padi hanya turun dari 1.483 menjadi
1.472 dan untuk kelompok komoditas non padi turun dari 1.142 menjadi 1.112.
165
Demikian juga, jika pasokan air irigasi turun 10 % maka CI padi turun menjadi
1.433, sedangkan CI padi turun menjadi 1.083. Jika disimak lebih jauh terlihat
adanya kecenderungan untuk mempertahankan tanaman padi di semua Sub DAS.
Tabel 26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam
Kebutuhan tanaman terhadap air irigasi bersifat khas. Oleh karena itu
pertambahan marginal keuntungan bersih usahatani akibat peningkatan pasokan
air irigasi semakin menurun. Jika air irigasi turun sampai 10 % maka keuntungan
bersih usahatani turun dari 1.73 juta rupiah per hektar per tahun menjadi 1.66 juta
rupiah per hektar per tahun (turun 3.9 %), sebaliknya jika pasokan air irigasi naik
10 % keuntungan bersih usahatani hanya meningkat menjadi 1.73 juta rupiah per
hektar per tahun, artinya hanya meningkat sekitar 0.3 % (Gambar 22).
166
1.750
1.725
( R p. 1 0 6 /m 3 /T h )
1.731
1.731
1.731
1.730
1.730
1.730
1.729
1.729
1.728
1.727
1.726
1.725
1.723
1.718
1.711
1.700
1.703
1.695
1.687
1.675
1.678
1.668
1.650
1.658
1.625
1.600
0.90 0.95 1.00 1.05 1.10
Indeks pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)
Gambar 22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani
Cara pemberian air yang dipraktekkan petani dalam usahatani padi secara
garis besar dapat dipilah ke dalam 4 kegiatan/fase pertumbuhan: (a) kegiatan
pengolahan tanah, (b) fase pertumbuhan umur tanaman 4 hari setelah tanam
(HST) – 50 HST, (c) umur 55 HST – tanaman berbunga serempak, dan (d) masa
pengisian biji. Faktor utama yang menyebabkan konsumsi air irigasi untuk
usahatani padi cenderung berlebih adalah adanya penggenangan secara berlebihan
pada fase-fase pertumbuhan tersebut.
Tabel 27. Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap
indeks pertanaman
Wilayah Kelompok Konsumsi air irigasi per hektar pada usahatani padi
komoditas Tetap Turun 5% Turun 10% Turun 15% Turun 20%
Sub DAS Hulu Padi 1.488 1.493 1.497 1.501 1.514
Non padi 1.137 1.135 1.132 1.130 1.118
Total 2.625 2.628 2.629 2.631 2.632
Sub DAS Padi 1.477 1.480 1.481 1.487 1.499
Tengah Non padi 1.160 1.160 1.163 1.167 1.173
Total 2.638 2.640 2.644 2.655 2.672
Sub DAS Hilir Padi 1.487 1.491 1.493 1.498 1.500
Non padi 1.124 1.127 1.127 1.116 1.096
Total 2.611 2.618 2.620 2.614 2.596
DAS BRantas Padi 1.483 1.487 1.489 1.494 1.502
Non padi 1.142 1.142 1.143 1.140 1.132
Total 2.625 2.629 2.632 2.634 2.634
168
1740 0.80
1730 0.60
1720 0.40
1710 0.20
1700 0.00
Aktual Turun 5% Turun 10% Turun 15% Turun 20%
Gambar 23. Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi
terhadap keuntungan bersih usahatani
Indeks pertanaman padi (CI) kondisi aktual adalah 156.4, sedangkan solusi
optimal adalah 148.3. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, keuntungan bersih
yang terjadi pada konsisi aktual adalah sekitar 9.6 % lebih rendah jika
dibandingkan dengan keuntungan bersih yang diperoleh pada kondisi optimal.
170
Tabel 28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani
Luas tanam padi dibanding Keuntungan bersih (Rp.106 / tahun) Selisih terhadap
kondisi optimal Total *) Per hektar kondisi optimal (%)
Lebih rendah 20 % 108 581.4 1 583.1 -8.30
Lebih rendah 15 % 112 132.6 1 634.9 -5.31
Lebih rendah 10 % 114 871.0 1 674.8 -2.99
Lebih rendah 5 % 117 209.2 1 708.9 -1.02
Optimal 118 414.8 1 726.5 -
Lebih tinggi 5 % 116 779.4 1 702.6 -1.38
Lebih tinggi 10 % 112 555.3 1 641.1 -4.95
Lebih tinggi 15 % 107 857.7 1 572.6 -8.92
Lebih tinggi 20 % 101 426.8 1 478.8 -14.35
*) Total luas sawah adalah 68 587 hektar.
Pelajaran yang dapat dipetik dari analisis tersebut adalah: jika luas tanam
padi yang dilakukan petani saat itu lebih kecil dari pola optimal maka peningkatan
produksi padi sinergis dengan peningkatan pendapatan. Akan tetapi jika luas
tanam padi yang diterapkan petani lebih besar dari pola optimal maka peningkatan
luas tanam padi justru menyebabkan keuntungan usahatani yang diperoleh
menurun. Persoalannya adalah bahwa secara empiris proporsi luas tanam optimal
itu tidak diketahui sehingga secara pragmatisme yang dapat ditempuh hanyalah
fenomena yang sifatnya ekstrim. Dalam kaitan itu, jelas bahwa potensi kerugian
akibat penerapan IP Padi 300 cukup besar.
mempengaruhi total produksi yang dihasilkan tetapi juga jumlah jenis komoditas
yang (layak) diproduksi. Artinya pengaruh ketersediaan sumberdaya sumberdaya
ini tidak hanya sebatas pada perubahan besaran tetapi juga perubahan jumlah
anggota himpunan keluaran. Persoalan seperti ini lebih mudah dipecahkan dengan
pendekatan normatif. Sudah barang tentu, sebagai implikasi dari asumsinya yang
ketat maka penerapan hasil pendekatan normatif relatif lebih terbatas.
Rp./Kg GKP
1090
1040
990
940
890
440 460 480 500 520 540 560 580 600 Ribu ton GKP
Sebagaimana tampak pada Gambar 23, ada tiga segmen dalam kurva
penawaran padi yaitu: (1) segmen inelastis pada tingkat harga rendah, (2) segmen
yang lebih elastis pada selang harga di atasnya, dan (3) segmen inelastis pada
tingkat harga tinggi. Pada tingkat harga di bawah Rp. 1020/Kg GKP elastisitas
penawaran adalah sekitar 0.14. Pada selang harga Rp.1020/Kg – Rp.1055/Kg
elastisitasnya adalah sekitar 0.42, artinya jika harga naik 10 % maka produksi padi
meningkat 4.2 %. Di atas tingkat harga Rp.1055/Kg GKP elastisitasnya menurun
kembali menjadi hanya 0.13. Perilaku penawaran pada segmen ini sangat menarik
karena secara teoritis keuntungan komparatif padi semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya harga. Akan tetapi secara empiris ada beberapa jenis
komoditas yang lebih sedikit mengkonsumsi air irigasi tetapi keuntungan
relatifnya lebih tinggi daripada padi, bahkan seandainya harga padi meningkat dua
kali lipat. Dengan demikian logis jika elastisitasnya turun kembali dan kemudian
sama sekali inelastis karena air irigasi tidak cukup tersedia untuk menambah luas
tanam padi tanpa mengorbankan jenis-jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi
yang lebih menguntungkan daripada padi.
Untuk usahatani padi, biaya irigasi yang tertinggi terjadi pada periode
pengusahaan Juli – Oktober. Hal ini disebabkan puncak-puncak kebutuhan air
irigasi dalam periode pengusahaan tersebut terjadi pada Bulan Juli (pengolahan
tanah) dan September (masa pembungaan – pengisian malai), sedangkan harga
bayangan air irigasi terus meningkat dan mencapai puncaknya pada Bulan
September. Pada cakupan agregat (DAS Brantas), nilai air irigasi untuk usahatani
padi periode pengusahaan tersebut mencapai Rp. 450 ribu/hektar (Tabel 29).
Tabel 29. Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut
kelompok komoditas dan periode pengusahaannya
Des-Mar - - - - 400
Jan-Apr - - - -
MK-1: Feb-Mei - - - - 300
Des-Mar - - - - 400
Jan-Apr - - - -
MK-1: Feb-Mei - - - - 300
Des-Feb - - - - 400
Jan-Mar - - - -
300
MK-1: Feb-Apr - - - -
Mar-Mei - - - - 200
Secara umum nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani tanaman
semusim (padi, palawija, hortikultur) adalah nol atau sangat kecil jika siklus
produksinya terjadi pada periode November/Desember – Mei/Juni. Hal ini
disebabkan: (1) harga bayangan air irigasi pada periode Desember – Mei adalah
nol, (2) harga bayangan air irigasi pada Bulan November dan Juni sangat rendah,
(3) kebutuhan air untuk usahatani lebih rendah karena evapotranspirasi dan laju
perkolasi lebih rendah daripada bulan-bulan lainnya, dan (4) sebagian besar
kebutuhan air terpenuhi dari curah hujan.
Siklus usahatani tebu adalah sekitar setahun, dan tidak perlu melakukan
penanaman tiap tahun karena hampir semua petani menerapkan sistem keprasan.
Sebagian besar petani mengusahakan keprasan sampai 7 kali. Dengan kata lain,
pertanaman tebu akan dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu yang baru atau
komoditas lainnya setelah 7 kali dikepras yang berarti setelah tahun ke delapan.
Jadwal tanam tebu yang ideal adalah Oktober – Desember agar panen
dapat dilakukan pada Bulan Juli – September. Secara empiris sebagian besar
petani mengawali periode tanam pertama pada Bulan Oktober sehingga puncak
kebutuhan air untuk tanaman tebu terjadi pada Bulan-bulan Oktober/November,
dan Mei – Juli. Pada saat itu sebagian besar kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi
dari curah hujan. Akibatnya nilai air irigasi untuk tanaman tebu hanya sekitar
separuh dari nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani padi pada musim
kemarau-2, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi tebu
hampir 3 kali lipat dari usahatani padi.
solusi optimal adalah sekitar Rp. 77 500/hektar per musim. Jika diperhitungkan
terhadap total luas baku sawah, nilainya adalah sekitar Rp. 203000/hektar/tahun.
Rata-rata per luas garapan di di Sub DAS Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing
adalah Rp. 59000, Rp. 72000, dan Rp. 94000/hektar, sedangkan per luas baku
adalah sekitar Rp. 155000, Rp. 190000 dan Rp. 245000/hektar/tahun (Tabel 30).
Tabel 30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal
Pola sebaran temporal nilai air irigasi cenderung mengikuti pola sebaran
harga bayangan. Untuk cakupan agregat DAS Brantas, rata-rata nilai air irigasi
yang tergunakan pada Bulan Agustus, September, Oktober dan November
masing-masing adalah sekitar 46, 48, 38, 30 ribu rupiah per hektar (Gambar 25).
Rp. 10 3/Ha)
60
50
Sub DAS Hulu
40
Sub DAS Tengah
30 Sub DAS Hilir
20 DAS Brantas
10
0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Sub DAS Hulu 28.1 22.2 - - - - - - 11.2 21.7 35.3 35.5
Sub DAS Tengah 33.9 27.6 - - - - - - 13.6 25.4 42.2 44.6
Sub DAS Hilir 46.3 36.2 - - - - - - 17.7 31.8 53.8 56.8
DAS Brantas 37.8 30.1 - - - - - - 14.8 27.3 45.6 47.9
Gambar 25. Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam
usahatani pada solusi optimal
Tabel 31. Biaya irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(Rp. 103/hektar/tahun)
Wilayah Variable
Rata-rata Galat baku Minimum Maksimum
Sub DAS Hulu Biaya irigasi permukaan 45.3 29.8 0.0 129.1
Biaya irigasi pompa 3.9 26.4 0.0 238.1
Total biaya irigasi 49.2 40.7 0.0 309.5
Pangsa (%)*) 2.5 2.2 0.0 16.6
Total biaya usahatani 2 237.8 813.3 1 190.5 6 124.3
Sub DAS Tengah Biaya irigasi permukaan 33.2 30.8 0.0 157.1
Biaya irigasi pompa 32.8 84.5 0.0 857.1
Total biaya irigasi 66.0 90.1 0.0 868.1
Pangsa (%)*) 2.3 2.5 0.0 14.5
Total biaya usahatani 2 830.9 895.1 1 265.1 7 737.1
Sub DAS Hilir Biaya irigasi permukaan 23.0 17.6 0.0 95.5
Biaya irigasi pompa 0.0 0.0 0.0 0.0
Total biaya irigasi 23.0 17.6 0.0 95.5
Pangsa (%)*) 0.9 0.7 0.0 3.8
Total biaya usahatani 2 510.7 578.3 1 089.8 4 003.2
DAS Brantas Biaya irigasi permukaan 32.8 28.1 0.0 157.1
Biaya irigasi pompa 14.6 58.1 0.0 857.1
Total biaya irigasi 47.5 65.0 0.0 868.1
Pangsa (%)*) 1.9 2.1 0.0 16.6
Total biaya usahatani 2 575.9 815.7 1 089.8 7 737.1
Tabel 32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 1999/2000
Komponen biaya irigasi Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III
(Rp.1000/Ha) (%) (Rp.1000/Ha) (%) (Rp.1000/Ha) (%)
IPAIR 11.7 0.42 12.6 0.44 5 0.16
Iuran P3A 22.3 0.81 24.1 0.84 46 1.52
Irigasi Pompa 3.4 0.12 11.7 0.41 60.5 2.00
Biaya irigasi "informal" 1.0 0.04 0.9 0.03 1.4 0.04
Total biaya irigasi 38.3 1.39 49.3 1.72 112.8 3.73
Total biaya usahatani 2756.6 100.00 2860.7 100.00 3025.4 100.00
jenis komoditas juga lebih longgar. Sebaliknya, jika jadwal tanam padi MT I
terlambat, maka jadwal tanam MT II maupun MT III terlambat. Implikasinya,
alternatif pilihan komoditas menjadi lebih sedikit.
Kondisi demikian itu mendorong petani untuk dapat menanam padi musim
hujan lebih awal. Akan tetapi, tidak semua petani dapat menerapkannya karena
pola pasokan air irigasi maupun curah hujan telah tertentu (given), dan tenaga
kerja untuk pengolahan tanah (traktor) juga terbatas. Kesemua faktor tersebut di
atas merupakan masukan yang penting untuk menyusun skenario penyederhanaan.
Berdasarkan analisis data primer serta distribusi bulanan luas panen dari
data sekunder maka terdapat 5 skenario pola tanam yang mendekati kondisi
empiris sebagai berikut (Tabel 33).
Pada level agregat (DAS Brantas), pada kelompok komoditas yang sama
ternyata nilai air irigasi per tahun antar skenario tidak berbeda. Sebagai contoh,
jika pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi maka total nilai air irigasi
dalam satu tahun adalah sekitar Rp. 511 000/Ha/th. Pada kelompok komoditas
palawija/hortikultur-1 nilainya adalah Rp. 234 000/Ha/th, sedangkan untuk
palawija/hortikultur-2 adalah sekitar Rp. 205 000/Ha/th (Tabel 34).
Tabel 34. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis DAS Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi: MT I 45.7 37.5 38.2 32.2 38.4
MT II 83.7 76.1 68.4 79.3 76.9
MT III 381.2 397.8 405.2 399.9 396.0
Setahun 510.6 511.4 511.8 511.4 511.3
Palawija/hortikultur-1: MT I 16.7 13.0 12.8 11.2 13.4
MT II 26.6 22.7 20.2 23.1 23.1
MT III 188.0 198.0 199.8 201.9 196.9
Setahun 231.3 233.8 232.8 236.1 233.5
Palawija/hortikultur-2: MT I 15.4 12.0 11.7 10.3 12.3
MT II 15.5 12.3 10.5 12.2 12.6
MT III 169.5 181.1 183.3 185.5 179.9
Setahun 200.4 205.4 205.6 208.0 204.8
Tebu Setahun 248.6 248.6 248.6 248.6 248.6
Variasi antar skenario lebih tampak pada nilai air irigasi per musim.
Sebagai contoh, pada MT II nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi
pada skenario I (pola 1111) adalah sekitar Rp. 84 000/Ha/musim, sedangkan pada
skenario III (pola 1321) adalah sekitar Rp. 68 000/Ha/musim.
Dipengaruhi oleh variasi bulanan harga bayangan air irigasi dan volume
air irigasi yang digunakan dalam usahatani maka variasi antar musim sangat
tinggi. Pada skenario V, nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi
adalah sekitar Rp. 38 000/Ha, Rp. 77 000/Ha, dan Rp. 396 000/Ha masing-masing
untuk MT I, MT II, dan MT III. Untuk kelompok komoditas palawija/hortikultur-
1 nilai air irigasi pada musim yang sama adalah sekitar Rp. 13 000/Ha, Rp. 23
000/Ha, dan Rp. 197 000/Ha. Dengan urutan yang sama, untuk kelompok
palawija/hortikultur-2 nilai irigasi adalah sekitar Rp. 12 000/Ha, Rp. 13 000/Ha,
181
dan Rp. 180 000/Ha. Untuk komoditas Tebu karena umur tanaman ini sekitar
setahun dan sebagian besar periode tanam relatif sama maka penyederhanaan
melalui teknik agregasi tidak diperlukan. Rata-rata nilai air irigasi yang
dikonsumsi tanaman tebu adalah sekitar Rp. 249 000/Ha/tahun.
Dengan pola variasi antar musim seperti tersebut di atas, perbedaan antar
musim yang lebih kecil adalah pada skenario I. Untuk padi dan
palawija/hortikultur-1 variasi paling tajam terjadi pada skenario III (pola 1321),
sedangkan untuk palawija/hortukultur-2 adalah pada skenario IV (pola 1231).
Secara umum kondisi yang terjadi di level agregat tercermin pula di level
Sub DAS meskipun ada sedikit variasi. Ini dapat disimak dari hasil analisis
sebagaimana tercantum pada Tabel 35 – Tabel 37.
Tabel 35. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 32.6 26.9 27.6 23.1 27.6
MT II 61.0 55.6 50.1 58.1 56.2
MT III 270.6 282.2 287.5 283.5 280.9
Palawija/hortikultur-1 MT I 11.9 9.3 9.2 8.0 9.6
MT II 19.4 16.6 14.8 16.9 16.9
MT III 133.2 140.2 141.5 142.8 139.4
Palawija/hortikultur-2 MT I 10.9 8.5 8.4 7.3 8.8
MT II 11.5 9.1 7.8 9.0 9.3
MT III 120.2 128.4 130.0 131.4 127.5
Tebu Setahun 175.9 175.9 175.9 175.9 175.9
Tabel 36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 42.3 34.7 35.4 29.8 35.6
MT II 77.7 70.7 63.6 73.8 71.5
MT III 351.5 366.8 373.6 368.7 365.2
Palawija/hortikultur-1 MT I 15.5 12.1 11.9 10.4 12.4
MT II 24.7 21.1 18.8 21.5 21.5
MT III 173.4 182.6 184.3 186.1 181.6
Palawija/hortikultur-2 MT I 14.2 11.1 10.9 9.5 11.4
MT II 14.5 11.5 9.8 11.4 11.8
MT III 156.3 167.0 169.0 171.0 165.8
Tebu Setahun 229.3 229.3 229.3 229.3 229.3
182
Tabel 37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 55.2 45.2 46.0 38.8 46.3
MT II 100.2 90.9 81.8 94.8 91.9
MT III 462.2 482.5 491.5 485.3 480.4
Palawija/hortikultur-1 MT I 20.2 15.7 15.4 13.5 16.2
MT II 31.8 27.2 24.1 27.6 27.7
MT III 228.0 240.3 242.5 245.1 239.0
Palawija/hortikultur-2 MT I 18.6 14.5 14.2 12.4 14.9
MT II 18.5 14.6 12.5 14.5 15.0
MT III 205.6 219.8 222.4 225.2 218.2
Tebu Setahun 301.7 301.7 301.7 301.7 301.7
Untuk level agregat DAS Brantas indeks untuk usahatani padi pada MT II
adalah sekitar 2.0; artinya biaya irigasi usahatani padi MT II adalah dua kali lipat
daripada MT I. Indeks biaya irigasi untuk usahatani padi MT III adalah sekitar 10,
artinya sepuluh kali lipat jika dibandingkan MT I. Tampaknya, hal tersebut
berlaku di setiap Sub DAS di wilayah irigasi teknis DAS Brantas (Tabel 38).
Tabel 38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas*)
Cakupan wilayah
Kelompok komoditas Musim
Hulu Tengah Hilir DAS Brantas
Padi MT I 0.7 0.9 1.2 1.0
MT II 1.5 1.9 2.4 2.0
MT III 7.3 9.5 12.5 10.3
Palawija/hortikultur-1 MT I 0.2 0.3 0.4 0.3
MT II 0.4 0.6 0.7 0.6
MT III 3.6 4.7 6.2 5.1
Palawija/hortikultur-2 MT I 0.2 0.3 0.4 0.3
MT II 0.2 0.3 0.4 0.3
MT III 3.3 4.3 5.7 4.7
Tebu Setahun 4.6 6.0 7.9 6.5
*) Biaya usahatani padi MT I diperlakukan sebagai basis perhitungan indeks (nilai = 1).
183
Tingkat konsumsi air irigasi pada Tabel 29 itu hanyalah sebagian dari total
konsumsi air dimana sebagian diantaranya terpenuhi dari sumber lain, terutama air
hujan. Angka tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan total volume
air irigasi yang dilepaskan dari sumber pasokan utama karena dalam penyediaan
air irigasi harus diperhitungkan pula volume air yang hilang selama penyaluran
dan aplikasi di lapangan.
185
Tabel 39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa
skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas
Pendapatan terendah adalah pada pola tanam padi – padi – padi yaitu
sekitar Rp. 1.29 juta/tahun yang dalam bentuk tunai sekitar Rp. 8 juta/tahun.
Konsumsi air irigasi untuk pola ini sekitar 19 500 m3 per hektar per tahun dengan
rincian untuk MT I, MT II, dan MT III masing-masing sekitar 3 300 m3, 7 700 m3,
dan 8 600 m3. Nilai air irigasi per hektar untuk masing-masing musim tersebut
adalah sekitar Rp. 40 000, Rp. 78 000, dan Rp. 398 000.
Tingginya biaya air irigasi untuk usahatani padi pada MT III mungkin
efektif untuk mendorong petani agar pada musim tersebut mengusahakan
komoditas selain padi. Peluang penerapannya cukup terbuka mengingat bahwa
selama ini partisipasi petani dalam usahatani padi pada MT III memang relatif
rendah. Buktinya, data di lapangan menunjukkan bahwa pada MT III proporsi
petani yang mengusahakan tanaman padi kurang dari 5 %.
Pola tanam yang jadwalnya lebih longgar akan tetapi masih menghasilkan
keuntungan usahatani yang relatif tinggi (peringkat kedua) adalah pola tanam
padi–P/H_1–P/H_2. Peringkat berikutnya adalah pola padi–P/H_2–P/H_2 dan
pola padi–padi–P/H-2. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pola tanam yang secara teknis maupun ekonomi diperkirakan paling layak adalah
pola padi – P/H_1 – P/H_2, padi – P/H_2 – P/H-2 ataupun padi – padi – P/H_2.
Dalam praktek tidak semua petani harus menerapkan pola tersebut sehingga pola
tanam dalam satu petak tertier homogen. Akan tetapi pola tanam yang sangat
beragam juga berimplikasi pada kesulitan pengelolaan air irigasi maupun
pengumpulan iuran irigasi dari petani anggota P3A yang bersangkutan.
187
Tabel 40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di
wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah
(Rp/Hektar)
Per Musim Tanam
Pola tanam Setahun *)
MT I MT II MT III
Padi-padi-padi 30 000 55 000 263 000 338 000 (4% - 6%)
Padi-padi-P/H_1 30 000 55 000 133 000 208 000 (2% - 4%)
Padi-padi-P/H_2 30 000 55 000 122 000 197 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_1-P/H_1 30 000 19 000 133 000 172 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_1-P/H_2 30 000 19 000 122 000 161 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_2-P/H_2 30 000 13 000 122 000 155 000 (1% - 3%)
Tebu 166 000 (2% - 3%)
*)
Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total biaya usahatani tunai.
Tampak bahwa dalam satu tahun jumlah biaya irigasi yang dikeluarkan
oleh petani yang menerapkan pola tanam padi-padi-padi cukup besar yaitu sekitar
Rp. 340 000 per hektar. Jumlah tersebut turun cukup signifikan jika petani
menerapkan pola tanam padi-padi-palawija/sayuran. Jadi, dalam batas-batas
tertentu disinsentif bagi petani yang ingin menerapkan pola tanam padi setahun
tiga kali. Di sisi lain kondisi tersebut dapat diartikan pro diversifikasi usahatani di
lahan sawah. Perhatikan bahwa biaya irigasi yang terendah adalah jika petani
menarapkan pola tanam padi-P/H_2-P/H_2. Biaya irigasi untuk usahatani adalah
sekitar Rp. 170 000/hektar/tahun, yang berarti lebih tinggi sekitar 50 persen jika
dibandingkan dengan rata-rata biaya irigasi pada kondisi aktual.
188
Dalam konteks yang lebih luas, oleh karena jumlah iuran irigasi berbasis
komoditas sangat dipengaruhi oleh harga bayangan air irigasi (tingkat kelangkaan
air irigasi), maka model ini sebenarnya juga merupakan pembelajaran untuk
meningkatkan apresiasi terhadap air irigasi khususnya maupun sumberdaya air
pada umumnya. Sebagai salah satu bentuk iuran yang sifatnya baru (inovasi),
sudah barang tentu bahwa penerapan iuran irigasi berbasis komoditas
membutuhkan pendekatan kelembagaan yang tepat. Belajar dari pengalaman,
kelembagaan seperti itu dapat dirumuskan melalui suatu kaji tindak, antara lain
dalam wujud proyek rintisan. Identifikasi faktor-faktor strategis untuk kajian
seperti itu dapat dirumuskan dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
partispasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi sebagaimana
dibahas dalam Bab berikutnya (Bab VII).
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI
IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS
Bahan yang digunakan untuk analisis pola tanam adalah data dari hasil
sensus luas tanam di Blok Tertier. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola tanam
di lokasi penelitian cukup beragam. Di lokasi penelitian, pada tahun 1999/2000
teridentifikasi ada 80 macam pola tanam (Lampiran 18) dengan cakupan 22 jenis
komoditas yang diusahakan. Sepuluh besar pola tanam dominan dapat disimak
pada Tabel 41.
Tabel 41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000.
Luas lahan bera (tidak ditanami) pada MT I, MT II, dan MT III mencapai
5, 7, dan 26 % dari total luas sawah di wilayah ini. Faktor-faktor yang
menyebabkan lahan tidak digarap ada beberapa macam. Sebagian dari lahan
sawah untuk sementara tidak diusahakan karena kendala teknis yang terkait
dengan perpindahan status penggarapan ataupun akibat lanjutan dari jadwal tanam
tahun sebelumnya yang memaksa petani menunda penggarapan sampai waktu
tanam berikutnya. Faktor lain adalah kondisi air irigasi di lahan sawah yang
bersangkutan. Pada MT I, dijumpai adanya petak-petak sawah yang terpaksa tidak
digarap karena genangan yang terlampau tinggi. Ini terjadi jika persil sawah
tersebut elevasinya terlalu rendah, sedangkan drainasenya buruk. Pada MT III
sebagian besar lahan sawah terpaksa bera karena terbatasnya air irigasi.
191
Table 42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(%)
Tanaman MT I MT II MT III
Padi 86.20 65.79 4.41
Jagung 3.53 11.32 26.60
Kedele 0.14 0.54 20.51
Kacang tanah 0.16 0.14 0.99
Kacang hijau 0.00 0.01 5.89
Tebu 2.93 2.93 2.93
Tembakau 0.00 5.56 2.93
"Bengkoang" 0.00 4.33 0.06
Cabai 0.69 0.67 2.45
Bawang merah 0.01 0.17 0.00
Tomat 0.00 0.09 0.13
Semangka 0.00 0.23 0.31
Melon 0.00 0.00 4.04
Lainnya 1.39 1.13 2.33
Bera 4.95 7.09 26.42
Total 100.00 100.00 100.00
Lazimnya, tanaman utama di sawah adalah padi. Proporsi luas tanam padi
pada MT I, MT II, dan Mt III masing-masing adalah 86, 66, dan 4 % dari total
luas sawah di wilayah ini. Selain padi, kelompok komoditas tanaman pangan
terpopuler di lahan sawah adalah palawija. Dalam kelompok ini, urutan
peringkatnya adalah jagung, kedele, kacang hijau, dan kacang tanah. Tanaman
hortikultura yang dominan adalah cabai, tomat, bawang merah, bengkoang,
semangka, dan melon. Selain padi ada beberapa komoditas yang pengusahaannya
cenderung spesifik lokasi. Sebagai contoh, tembakau banyak diusahakan di Sub
DAS Hulu; bengkoang, cabai dan bawang merah di Sub DAS Tengah, sedangkan
semangka dan blewah di Sub DAS Hilir.
Dalam diversifikasi terdapat dua aspek penting yaitu: (1) ragam komoditas
yang diusahakan, dan (2) jenis komoditas yang diusahakan. Aspek (1) mengacu
pada dimensi kuantitatif, sedangkan aspek (2) bersifat kualitatif. Ukuran
kuantitatif yang menunjukkan derajat keragaman (diversitas) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah indeks Entrophy (E).
Tabel 43. Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas , 1999/2000.
Dalam satu tahun, jumlah jenis komoditas yang diusahakan oleh petani
yang berdiversifikasi pada umumnya dua – tiga jenis. Komoditas nonpadi
(palawija/sayuran) pada umumnya diusahakan pada musim kemarau. Fenomena
yang menarik adalah bahwa petani yang termasuk dalam kategori divs_2 ternyata
ragam komoditasnya lebih banyak daripada divs_1 (Tabel 44).
Tabel 44. Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
Alternatif pilihan (outcomes) & variabel penjelas Koefisien Galat baku P>|z|
Diversifikasi kategori-1 (divs_1):
1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 0.042 1.645 0.980
2. Jumlah persil sawah garapan -0.321 *** 0.101 0.001
3. Total luas sawah garapan 0.024 0.191 0.901
4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 0.018 0.635 0.977
5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 0.331 ** 0.137 0.016
6. Umur Kepala Rumah Tangga -0.006 0.015 0.685
7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga -0.040 0.054 0.466
8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 0.584 ** 0.261 0.025
9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 1.743 *** 0.595 0.003
10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 0.152 ** 0.061 0.013
11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter -2.431 *** 0.626 0.000
12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 5.049 *** 0.990 0.000
13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) -0.032 0.034 0.355
14. Nilai pajak lahan 0.012 0.008 0.140
15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) 1.658 ** 0.792 0.036
Intersep 0.321 1.868 0.864
Diversifikasi kategori-2 (divs_2):
1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 1.326 1.786 0.458
2. Jumlah persil sawah garapan -0.378 *** 0.111 0.001
3. Total luas sawah garapan 0.157 0.194 0.418
4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 0.704 0.668 0.292
5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 0.359 ** 0.147 0.014
6. Umur Kepala Rumah Tangga -0.010 0.017 0.544
7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga -0.022 0.059 0.714
8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 1.141 *** 0.271 0.000
9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 3.473 *** 0.648 0.000
10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 0.158 ** 0.064 0.014
11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter -0.824 0.697 0.237
12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 6.163 *** 1.017 0.000
13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) -0.102 ** 0.040 0.011
14. Nilai pajak lahan 0.016 * 0.009 0.071
15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) 1.711 ** 0.820 0.037
Intersep -4.143 2.069 0.045
base outcome: monokultur padi
Log likelihood = -353.9983 Log likelihood = -353.9983 Prob > chi2 = 0.0000
LR chi2(30) = 303.39 Pseudo R2 = 0.3000
***), **), dan *) masing-masing menunjukkan taraf nyata pada (two-tail) 0.01, 0.05, dan 0.10.
195
Tabel 46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di
usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(%)
Jumlah yang bekerja/ Pilihan pola tanam
Total
membantu kerja monokultur padi divs_1 divs_2
1 18.49 16.23 24.05 19.44
2 57.14 41.36 35.44 43.38
3 14.29 18.85 20.25 18.16
>3 10.08 23.56 20.25 19.02
Total 100 100 100 100
Pearson 2 (6) = 19.073 Pr = 0.004
196
(Rp.103/kapita/tahun)
Pilihan pola tanam Pendapatan Pengeluaran
Monokultur padi 974.4 1279.7
Diversifikasi, divs_1 1077.6 1244.7
Diversifikasi, divs_2 1757.7 1894.7
Total 1272.9 1470.6
Tabel 48. Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan,
1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Kemampuan permodalan Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Rendah (petani) 85 139 79 303
(%) 71.4 72.8 50.0 64.7
Sedang (petani) 18 22 26 66
(%) 15.1 11.5 16.5 14.1
Tinggi (petani) 16 30 53 99
(%) 13.5 15.7 33.5 21.2
Total (petani) 119 191 158 468
(%) 100 100 100 100
Pearson 2 (4) = 27.1307 Pr = 0.000
Variabel ini (x9) merupakan proksi peranan lahan sawah dalam ekonomi
rumah tangga petani. Ukuran yang dipakai adalah pangsa pendapatan dari
usahatani di sawah terhadap total pendapatan rumah tangga, dengan referensi
waktu satu tahun. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin penting peranan
sawah dalam ekonomi rumah tangga maka peluang untuk berdiversifikasi semakin
tinggi. Ini dapat diinterpretasikan bahwa prospek pengembangan diversifikasi
usahatani di lahan sawah semakin rendah jika peranan lahan sawah sebagai
sumber pendapatan rumah tangga semakin kecil.
Tabel 49. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola
tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000
Tabel 50. Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber
pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Kontribusi Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Rendah (dibawah 33%) 43.7 31.4 20.3 30.8
Sedang (34 – 66%) 27.7 34.0 27.2 30.1
Tinggi (lebih dari 66%) 28.6 34.6 52.5 39.1
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson 2 (4) = 25.4786 Pr = 0.000
Dalam penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan yang
dibayar petani untuk lahan tersebut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kualitas
lahan sawah berpengaruh positif terhadap peluang berdiversifikasi, khususnya
pada pengusahaan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi. Tampaknya hal
ini terkait dengan kecenderungan petani untuk meminimalkan risiko usahatani,
atau untuk memperoleh harga jual produk usahatani yang lebih baik. Persil-persil
sawah yang lokasinya jauh dari jangkauan transportasi peringkat kelasnya lebih
rendah sehingga pengelolaannya lebih sulit; dan harga beli pedagang terhadap
produksi di lokasi tersebut cenderung lebih rendah karena ongkos transportasinya
lebih mahal. Oleh karena itu petani cenderung menghindari pengusahaan
komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi di persil-persil sawah seperti itu.
Tabel 51. Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola
tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Pemilikan pompa Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Tidak memiliki 98.3 73.8 77.9 81.4
Memiliki 1.7 26.2 22.1 18.6
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson 2 ( 2 ) = 31.0739 Pr = 0.000
Sawah garapan petani di DAS Brantas pada umumnya tidak satu persil.
Proporsi petani yang unit pengelolaan sawah garapannya terdiri atas satu, dua, dan
tiga persil masing-masing adalah 13, 33, dan 19 persen. Proporsi petani dengan
jumlah persil sawah garapan 5 atau lebih, banyak ditemukan pada kelompok
petani yang melakukan pola tanam monokultur padi (Tabel 52).
Tabel 52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Jumlah persil garapan Total
monokultur padi divs_1 divs_2
1 8.4 15.2 13.9 13.0
2 28.6 34.6 35.4 33.3
3 17.7 20.4 18.4 19.0
4 8.4 14.1 15.8 13.3
5 15.1 12.0 10.8 12.4
>5 21.9 3.7 5.7 9.0
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson 2 (10 ) = 38.1470 Pr = 0.000
Secara umum, luas areal yang mengalami kondisi kurang air adalah sekitar
20 persen. Sedangkan rata-rata durasi kekeringan adalah sekitar 2 hari, meskipun
ada beberapa petani yang tanamannya mengalami kekeringan sampai 3 minggu
(Tabel 53).
201
Tabel 53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi
kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000
1. Jarak lahan terhadap pintu tertier. Secara empiris semakin jauh jarak antara
persil lahan sawah terhadap pintu tertier maka semakin rendah akses lahan
tersebut untuk memperoleh air irigasi.
2. Akses lahan saluran kuarter. Semakin mudah dijangkau dari saluran kuarter
berarti semakin tinggi akses lahan tersebut untuk memperoleh air irigasi.
202
Hasil estimasi ini logis dan sesuai fnomena empiris. Tanaman palawija dan
hortikultur membutuhkan air lebih sedikit dan umumnya justru menghindari
terjadinya genangan. Oleh karena sebagian besar saluran irigasi belum disemen
(lining) dan kurang terawat maka rembesan dari saluran tertier maupun kuarter
cukup banyak; dan sudah barang tentu semakin dekat lokasi lahan dengan saluran
tersebut semakin banyak air yang diperoleh dari rembesan tersebut.
Rata-rata jarak persil lahan petani contoh dari pintu tertier adalah sekitar
127 meter, berkisar antara 2 m – 635 m. Jika jarak persil sawah garapan ke pintu
tertier dibagi atas tiga kategori: dekat, sedang, dan jauh (dasar pengelompokan
adalah rata-rata dan simpangan baku), ternyata lebih dari 80 persen persil lahan
petani yang berdiversifikasi termasuk kategori sedang – jauh.
Lebih dari separuh (55 persen) petani menyatakan bahwa air irigasi dari
saluran kuarter dengan mudah dapat menjangkau persil-persil sawah garapannya.
Hanya sekitar 14 persen yang menyatakan sawah garapannya sulit dijangkau air
dari saluran kuarter. Proporsi persil-persil sawah yang mudah dijangkau air irigasi
dari saluran kuarter untuk petani yang memilih pola tanam monoultur padi,
divs_1, dan divs_2 masing-masing adalah 83, 33, dan 60 persen (Tabel 54).
Tabel 54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan garapannya
terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000
(%)
Akses lahan terhadap air irigasi Pilihan pola tanam
Total
dari saluran kuarter monokultur divs_1 divs_2
Rendah 5.9 19.4 13.9 14.1
Sedang 10.9 48.2 26.0 31.2
Tinggi 83.2 32.5 60.1 54.7
Total 100 100 100 100
Pearson 2 (4) = 79.9519 Pr = 0.000
203
33.2
35
30 27.1
25.4
ju mla h peta ni (% )
25
20
15 9.9
10
3.8
5 0.6
0
< 0.50 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 >= 0.90
tingkat efisiensi teknis
Gambar 26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi
dengan status garapan usahatani, sikap petani pemilik dengan petani penyewa dan
atau penggarap dalam memilih pola tanam relatif sama.
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Mo n ok u l tu r D i vs _ 1 D i v s_ 2
R at a -r a t a 0 . 2 54 0. 4 0 8 0. 3 3 8
G al a t b a ku 0 . 2 91 0. 2 2 6 0. 2 4 6
M in i mu m 0 . 0 00 0. 0 0 0 0. 0 0 3
M ak s im u m 0 . 9 88 0. 9 7 5 1. 0 0 0
Gambar 27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam
stabil. Fenomena seperti ini juga dapat diinterpretasikan bahwa secara umum
kecenderungan petani untuk berdiversifikasi merupakan keputusan yang mantap.
Jika dikaji lebih lanjut tampak adanya kecenderungan yang berbeda antar
Sub DAS. Probabilitas petani di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS
Hilir untuk memilih pola tanam monokultur masing-masing adalah 0.09, 0.15, dan
0.51. Artinya, monokultur padi tidak populer di Sub DAS Hulu dan Sub DAS
Tengah, tetapi sangat populer di Sub DAS Hilir (Tabel 55).
Tabel 55. Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan sawah
Dalam diversifikasi juga ada variasi antar Sub DAS. Di Sub DAS Hulu
dan Sub DAS Hilir, peluang untuk memilih diversifikasi kategori divs_1 lebih
besar daripada divs_2. Ini berbeda dengan fenomena di Sub DAS Tengah dimana
peluang memilih divs_2 justru lebih besar daripada divs_1.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis ini adalah bahwa dalam jangka
pendek, pengembangan diversifikasi usahatani di Sub DAS Hulu dan Sub DAS
Tengah mempunyai prospek yang lebih baik daripada di Sub DAS Hilir. Dalam
konteks itu, pengembangan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi lebih
baik diarahkan di Sub DAS Tengah daripada di Sub DAS lainnya karena
mempunyai peluang keberhasilan yang lebih tinggi.
Tabel 57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
pola tanam
(%)
Partisipasi dalam iuran irigasi Monokultur Diversifikasi Total
Tidak berpartisipasi 15.97 13.75 14.32
Hanya membayar IPAIR 42.86 14.90 22.01
Hanya membayar Iuran HIPPA 13.45 40.40 33.55
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 27.73 30.95 30.13
Agregat 100 100 100
Pearson 2 (3 ) = 51.3448 Pr = 0.000
208
Tabel 58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi
dan kontribusi usahatani padi, 1999/2000
(%)
Kontribusi usahatani padi
Partisipasi dalam iuran irigasi
<= 0.33 0.34 – 0.66 0.67 – 1.00
Tidak berpartisipasi 21.3 15.1 11.8
Hanya membayar IPAIR 18.1 22.1 23.3
Hanya membayar Iuran HIPPA 46.8 34.9 28.8
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 13.8 27.9 36.1
Pearson 2 ( 6 ) 24.0944 Pr = 0.001
209
Kelas lahan diproksi dari pajak lahan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
semakin tinggi kelas lahan maka semakin besar pula peluang untuk berpartisipasi
lebih baik dalam membayar iuran irigasi.
Lazimnya lahan sawah yang lokasinya lebih mudah dijangkau, lebih subur,
dan ketersediaan air irigasinya cukup kelasnya lebih atas sehingga nilai pajak
lahan tersebut juga lebih tinggi. Jika kelas lahan sawah dikelompokkan menjadi
tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan batasan:
1. Rendah, jika pajak/ha <= (mean – std)
2. Sedang, jika (mean – std) < pajak/ha < (mean + std)
3. Tinggi, jika pajak/ha >= (mean + std)
ternyata proporsi petani yang tidak berpartisipasi membayar iuran irigasi pada
kelompok petani yang menggarap lahan sawah kelas rendah, sedang, dan tinggi
masing-masing adalah 27, 13, dan 6 %. Sebaliknya, proporsi petani yang patuh
membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA (dengan urutan yang sama) adalah 18, 31,
dan 43 % (Tabel 59).
Tabel 59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas
lahan garapannya, 1999/2000
(%)
Kelas lahan
Partisipasi dalam iuran irigasi
Rendah Sedang Tinggi
Tidak berpartisipasi 26.5 12.7 5.7
Hanya membayar IPAIR 27.7 20.8 20.8
Hanya membayar Iuran HIPPA 27.7 35.5 30.2
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 18.1 31.0 43.4
Pearson 2 ( 6 ) 22.1267 Pr = 0.001
Tabel 60. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan
intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000
(%)
Intensitas tanam
Partisipasi dalam iuran irigasi
< = 2.0 > 2.0
Tidak berpartisipasi 15.6 13.9
Hanya membayar IPAIR 55.1 12.0
Hanya membayar Iuran HIPPA 9.2 41.0
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 20.2 33.2
Pearson 2 ( 3 ) 100.4569 Pr = 0.000
Butir (1) didasarkan atas hasil wawancara dengan pengurus HIPPA (ada
12 HIPPA contoh) dan klarifikasinya dilakukan dengan mewawancarai Petugas
211
Pengairan di lapangan dan Seksi Pengairan setempat. Selain itu dilakukan pula
wawancara dengan pengurus HIPPA dan observasi langsung ke lapangan untuk
mengetahui kondisi prasarana irigasi yang berada dalam wilayah kerja HIPPA
contoh. Burit (2) dan butir (3) didasarkan atas persepsi petani responden.
Secara umum kinerja Pengurus HIPPA adalah cukup baik. Ini tampak dari
proporsi petani yang menyatakan kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk hanya
sekitar 8 %, dan yang menyatakan buruk 17 %. Di sisi lain yang menyatakan
kinerjanya sedang, baik, dan sangat baik masing-masing adalah 25, 33, dan 16 %.
Sebagaimana terlihat pada hasil estimasi fungsi ologit (lihat Tabel 54),
kinerja pengurus HIPPA merupakan faktor positif terhadap partisipasi petani
dalam iuran irigasi. Semakin baik kinerja pengurus HIPPA (menurut persepsi
petani), maka peluang berpartisipasi secara lebih baik juga lebih besar. Secara
deskriptif, fenomena tersebut dapat disimak dari sebaran petani menurut
partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya terhadap kinerja pengurus
HIPPA sebagaimana tertera dalam Tabel 61. Pada kelompok petani yang
mempunyai persepsi bahwa kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk, ada 23 persen
petani tidak berpartisipasi dalam membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, 55
persen hanya membayar IPAIR, dan sisanya (22 persen) hanya membayar Iuran
HIPPA. Ini sangat kontras dengan para petani yang berada di wilayah pengelolaan
HIPPA yang kinerja pengurusnya mereka persepsikan sangat baik. Pada kelompok
ini, lebih dari 75 persen petani patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan
yang tidak berpartisipasi sangat kecil (dibawah 5 persen).
Tabel 61. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan
persepsinya terhadap pengurus HIPPA
(%)
Kinerja Pengurus HIPPA
Partisipasi dalam iuran irigasi
sangat buruk buruk sedang baik sangat baik
Tidak berpartisipasi 23.1 18.9 15.0 12.9 2.5
Hanya membayar IPAIR 55.1 31.8 27.6 21.3 3.8
Hanya membayar Iuran HIPPA 21.8 35.4 39.3 35.5 15.2
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 0.0 13.9 18.1 30.3 78.5
Pearson (12 ) 124.8425 Pr = 0.000
2
212
3. Persewaan maupun bagi hasil dilakukan pada musim kemarau dan komoditas
yang ditanam adalah palawija dan atau sayuran dan secara historis IPAIR
hanya diberlakukan untuk komoditas padi.
Tabel 62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status
garapan usahatani, 1999/2000
(%)
Status lahan usahatani yang digarap
Partisipasi dalam iuran irigasi
100% milik Campuran 100% non milik
Tidak berpartisipasi 9.9 20.3 22.6
Hanya membayar IPAIR 24.1 21.8 11.3
Hanya membayar Iuran HIPPA 31.6 30.8 50.9
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 34.4 27.1 15.1
Pearson 2 (6 ) 24.5070 Pr = 0.000
Tabel 63. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi
pemilikan pompa irigasi
(%)
Pemilikan pompa irigasi
Partisipasi dalam iuran irigasi
Memiliki (%) Tidak memiliki (%)
Tidak berpartisipasi 14.96 11.49
Hanya membayar IPAIR 20.21 29.89
Hanya membayar Iuran HIPPA 36.22 21.84
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 28.61 36.78
probabilitas pilihan yang tertingi adalah untuk kategori (3) dan (4). Rata-rata
probabilitas untuk tidak berpartisipasi (Pr_1), atau berpartisipasi parsial dengan
hanya membayar IPAIR, masing-masing sekitar 14 % dan 21 %. Peluang terbesar
adalah berpartisipasi parsial dengan membayar Iuran HIPPA (Pr_3) yakni 34 %,
sedangkan peluang untuk berpartisipasi penuh dengan membayar kedua jenis
iuran tersebut adalah sekitar 30 %. Hubungan antara kecenderungan untuk tidak
berpartisipasi (Pr_1) dengan kecenderungan untuk memilih tingkat partisipasi
yang lebih baik (Pr_2, Pr_3, dan Pr_4) dapat disimak pada Gambar 28.
0.6
Pr_4
0.5
0.4 Pr_3
Pr_2
0.3
0.2
0.1
0.0 Pr_1
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Gambar 28. Hubungan antara Pr_1 dengan Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam
partisipasi membayar iuran irigasi
Probabilitas dugaan untuk P_1, P_2, P_3, dan P_4 untuk setiap observasi
adalah Pr_(1), Pr_(2), Pr_(3) dan Pr_(4). Rata-rata probabilitas masing-masing
pilihan tersebut serta ilustrasi grafis yang menunjukkan hubungan antara
probabilitas memilih P_1, P_2, P_3, dan P_4 disajikan pada Gambar 29. Tampak
bahwa probabilitas untuk pilihan P_4 adalah dominan, yakni sekitar 0.52. Rata-
rata probabilitas untuk memilih P_2 dan P_3 masing-masing adalah 0.12 dan 0.21,
sedangkan untuk P_1 adalah 0.15.
1.0
Mean StD Min Max
Pr_(1) 0.15 0.17 0.00 0.87
Pr_(2) 0.12 0.06 0.00 0.23
0.8 Pr_(3) 0.21 0.07 0.00 0.29
Pr_(4) 0.52 0.24 0.02 1.00
0.6
Pr_(4)
0.4
Pr_(3)
0.2 Pr_(2)
0.0 Pr_(1)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Gambar 29. Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan
pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi
Di sebelah kiri titik A (Pr_(1) < 0.230) maka pilihan di luar P_1 yang
probabilitasnya terbesar adalah P_4. Antara titik A dan B (0.230 < Pr_(1) < 0.380)
pilihan diluar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_3. Artinya,
kecenderungan untuk memilih P_3 > P_4. Di sebelah kanan titik B dimana Pr_(1)
> 0.380 maka pilihan di luar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_2. Di
daerah ini Pr_(2) > Pr_(3) > Pr_(4). Dengan kata lain, grafik tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memprediksi ke arah mana kecenderungan pilihan di luar
akan terjadi jika probabilitas pilihan untuk alternatif yang jenjangnya terendah
berada di luar titik-titik ekstrim (per definisi, titik ekstrim untuk P_1 adalah 0 dan
1. Pada Pr_(1) = 0 maka secara otomatis probabilitas P_4 yakni Pr_(4) = 1,
sedangkan pada Pr_1=1, maka secara otomatis probabilitas alternatif lainnya = 0).
218
8.1. Kesimpulan
1. Secara umum pola tanam pada solusi optimal lebih berdiversifikasi ke arah
komoditas palawija dan atau hortikultur. Proporsi luas tanam padi pada
Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah 83.4, 61.1,
dan 3.8 % dari total luas areal. Keuntungan tunai usahatani pada solusi
optimal lebih tinggi sekitar 9.6 % dan kontribusi keuntungan yang diperoleh
dari usahatani padi masih tetap yang tertinggi meskipun dominasinya
menurun. Keuntungan tertinggi diperoleh dari usahatani pada MT II.
2. Harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh sebaran temporal dan sebaran
spatial ketersediaan maupun kebutuhan air irigasi. Sebaran temporal
ketersediaan air irigasi dipengaruhi oleh curah hujan, sedangkan kebutuhan
tanaman terhadap air irigasi selain dipengaruhi oleh curah hujan juga
ditentukan oleh jenis tanaman, evapotranspirasi, dan teknik pemberian air ke
tanaman. Oleh karena itu, harga bayangan air irigasi pada Bulan Desember
sampai dengan Mei adalah nol, sedangkan pada Bulan Juni sampai dengan
November positip. Harga bayangan air irigasi yang tertinggi terjadi pada
Bulan September yakni sekitar Rp. 58/m3. Dalam konteks spatial, harga
bayangan air irigasi yang terendah adalah di Sub DAS Hulu, sedangkan yang
tertinggi adalah di Sub DAS Hilir.
220
3. Elastisitas permintaan normatif air irigasi tidak tetap sehingga secara umum
fungsinya tidak linier. Pada saat pasokan air irigasi langka sehingga harga
air irigasi lebih dari Rp. 84/m3 permintaannya adalah elastis. Selanjutnya
permintaan tersebut menjadi tidak elastis apabila harga air irigasi berada
pada selang Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada tingkat harga di
bawah Rp. 11/m3. Secara umum fungsi permintaan normatif air irigasi pada
kisaran pasokan aktual adalah tidak elastis.
4. Potensi kerugian akibat luas tanam padi yang tidak optimal tergantung pada
perbedaan relatif terhadap kondisi optimal. Jika perbedaannya relatif kecil,
potensi kerugian akibat kelebihan luas tanam padi adalah lebih kecil daripada
potensi kerugian yang timbul akibat luas tanam padi yang lebih rendah dari
kondisi optimal. Semakin tinggi perbedaan relatif tersebut, potensi kerugian
akibat kelebihan luas tanam padi cenderung lebih besar daripada potensi
kerugian yang terjadi akibat luas tanam lebih rendah dari pola optimal.
6. Iuran irigasi berbasis komoditas terdiri atas komponen pokok dan komponen
penunjang. Nilai dari komponen pokok bervariasi, tergantung pada perkiraan
kebutuhan air irigasi untuk pengusahaan komoditas yang bersangkutan dan
harga bayangan air irigasi pada waktu tersebut. Oleh karena itu, besarannya
ditentukan oleh jenis komoditas, periode pengusahaan, dan sebaran temporal
harga bayangan air irigasi. Nilai per unit luas garapan yang merupakan
komponen penunjang ditentukan berdasarkan kesepakatan Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P3A). Meminimalkan nilai komponen penunjang
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
efektivitas iuran irigasi berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan
efisiensi penggunaan air irigasi.
7. Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jika rata-rata biaya irigasi
untuk usahatani padi pada MT I dijadikan basis pembandingan dan diberi
indeks 1, maka indeks biaya irigasi untuk usahatani padi pada MT II dan MT
III masing-masing adalah sekitar 2 dan 10. Indeks biaya irigasi untuk
usahatani palawija atau hortikultur yang periode pengusahaan untuk satu
siklus produksi sekitar 4 bulan adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0 masing-
masing untuk usahatani pada MT I, MT II, dan MT III. Dengan urutan
musim tanam yang sama, indeks biaya irigasi untuk usahatani palawija atau
hortikultur yang satu siklus usahatani membutuhkan waktu sekitar 3 bulan
adalah sekitar 0.3, 0.3, dan 4.5. Pada usahatani tebu oleh karena periode
pengusahaannya satu tahun maka indeks biaya irigasinya adalah sekitar 6.3.
8. Secara umum, nilai iuran irigasi berbasis komoditas lebih tinggi daripada
biaya irigasi yang kini berlaku. Perbedaannya dapat diperkecil jika proporsi
luas tanam padi pada MT II dikurangi dan pada MT III komoditas yang
diusahakan bukan padi. Pola tanam yang memiliki kelayakan teknis dan
finansial cukup – tinggi adalah pola padi–padi–palawija/hortikultur dengan
siklus produksi sekitar 3 bulan atau pola padi–palawija/hortikultur dengan
siklus produksi sekitar 4 bulan–palawija/ hortikultur dengan siklus produksi
sekitar 3 bulan.
222
10. Partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi cukup baik. Probabilitas
tidak berpartisipasi hanya sekitar 0.14. Di sisi lain, probabilitas untuk
berpartisipasi dengan kualitas partisipasi rendah, sedang, dan tinggi masing-
masing adalah sekitar 0.21, 0.35, dan 0.30.
12. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperkirakan bahwa prospek penerapan
iuran irigasi berbasis komoditas di suatu wilayah irigasi dipengaruhi oleh
sejumlah faktor yang dapat dikondisikan. Peluang keberhasilannya akan
lebih tinggi jika diterapkan di wilayah irigasi dengan karakteristik: lahan
garapan usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu
kecil, tenaga kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani
memadai, peranan usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup
penting, dan kinerja pengurus asosiasi petani pemakai air irigasi cukup baik.
223
1. Air irigasi diperlakukan sebagai bagian integral dari sumberdaya air sehingga
pasokan untuk memenuhi kebutuhan non irigasi diperhitungkan sebagai faktor
yang mempengaruhi pola pasokan air irigasi; dan perluasan cakupan spatial
dengan mengambil contoh di beberapa sistem irigasi yang berbeda.
2. Valuasi air irigasi menggunakan pendekatan terintegrasi dari sisi permintaan
maupun sisi pasokan.
3. Penelitian dengan pendekatan yang sama dengan penelitian ini tetapi tingkat
agregasinya berbeda dimana komoditas lebih rinci, sebaran spatial dan
temporal juga dibuat lebih rinci.
4. Penelitian dengan ruang lingkup dan pendekatan serupa dengan penelitian ini
tetapi pemrograman matematis yang digunakan adalah non linear.
5. Jika sumberdaya untuk penelitian tersedia, penelitian yang dilakukan dengan
mengintegrasikan aspek sosial ekonomi aspek teknis dengan data percobaan
langsung di lapang merupakan salah satu penelitian yang sangat bernilai.
6. Penelitian yang difokuskan untuk mengkaji aspek kelembagaan dalam rangka
peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.
Aigner, D.J., C.A.K. Lovell, and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of
Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics,
6: 21 – 37.
Asian Development Bank (ADB). 2000. Water for All: The Water Policy of the Asian
Developmnet Bank, http://www.adb.org/documents/policies/water/water.pdf
BAPPENAS. 2001a. The Future of the World Rice Market and Policy Options to
Counteract Rice Price Instability in Indonesia. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta .
__________ – USAID. 2000. Macro Food Policy and Food Security: Conseptual
Framework and Strategic Issues. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), Jakarta.
Barker, R., and J.W. Kijne. 2001. Improving Water Productivity in Agriculture: A
Review of Literature. Background paper prepared for SWIM Water
Productivity Workshop, November 2001, International Water Management
Institute (IWMI), Colombo.
226
Berbel J. and J.A. Gomez-Limon. 2000. The Impact of Water Pricing Policy in
Spain: An Analysis of Three Irrigated Areas. Agricultural Water
Management, 43: 219 – 238.
Boss, M.G. and W. Walter. 1990. Water Charges and Irrigation Efficiencies.
Dalam: Nippon Koei and Nikken Consultants. 1998. The Study on
Comprehensive Management Plan for the Water Resources of the Brantas
River Basin in The Republic of Indonesia. Ministry of Public Works,
Jakarta.
Bouman, B.A.M. 2003. Examining The Water Shortage Problem in Rice System:
Water Saving Irrigation Technologies. In: T.W. Mew, D.S. Brar, S. Peng,
D. Dawe, and B. Hardy (Eds). Science Innovation and Impact for
Livelihood, Internatioal Rice Research Institute: 519 – 535.
Bouman, B.A.M. and T.P. Tuong. 2000. Field Water Management to Save Water
and Increase Its Productivity in Irrigated Lowland Rice. Agricultural
Water Management 16: 1 – 20.
De Datta S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and
Sons, New York.
Dinar, A. and J. Letey. 1996. Modeling Economic Management and Policy Issues
of Water in Irrigated Agriculture. Praeger, Connecticut.
Gleick, P.H. 1998. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water
Resources: 1998-1999. Island Press, Washington, D.C.
__________. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water
Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C.
Greene, W.H. 2003. Econometric Analysis. Fifth Edition. Upper Saddle River,
Prentice Hall, New Jersey.
Grimble, R.J. 1999. Economic Instruments for Improving Water Use Efficiency:
Theory and Practice. Agricultural Water Management, 40: 77 – 82.
Hall, D.C. and J.V. Hall. 1984. Concepts and Measures of Natural Resource
Scarcity with a Summary of Recent Trends. Journal of Environtmental
Economics and Management, Vol. 11: 363 – 379.
Hazell, P.B.R. and R.D. Norton. 1986. Mathematical Programming for Economic
Analysis in Agriculture. Macmillan Publishing Company, New York.
Hong, L., Y.H. Li, L. Deng, C.D. Chen, D. Dawe and R. Barker. 2001. Analysis
of Changes in Water Allocations and Crop Production in the Zhanghe
Irrigation System and District, 1966 – 1998. In: R. Barker (Ed.). Water
Saving Irrigation for Rice. Proceedings of an International Workshop Held
in Wuhan, China 23 – 25 March 2001.
International Water Management Institute (IWMI). 2000. Water Issues for 2025:
A Research Perspective. International Water Management Institute,
Colombo, Sri Lanka.
Johansson, R.C. 2000. Pricing Irrigation Water: A Literature Survey. The World
Bank, Washington, D.C.
Just, R.E., D.L. Hueth and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and
Public Policy. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Katumi, M., T. Oki, Y. Agata, and S. Kane. 2002. Global Water Resources
Assesment and Future Projection. In: M.K. Yayima, Okado, and
Matsumoto, (Eds). Water for Sustainable Agriculture in Developing
Region: More Crop for Every Scare Drop. JIRCAS International
Symposium Series. No. 10:vii - xvii.
Long, J.S. and J. Freese. 2003. Regression Model for Categorical and Limited
Dependent Variables Using Stata. In: Stata Corp. LP. 2005. Stata Release
9: Reference K-Q. College Station, Texas.
Meeusen, W. and van den Broeck, J. 1977. Efficiency Estimation from Cobb-
Douglas Production Functions With Composed Error. International
Economic Review, 18: 435-444.
_________. 2002. Meeting Water Needs for Food and Environmental Security. In:
M.K. Yayima, Okado, and Matsumoto. (Eds). Water for Sustainable
Agriculture in Developing Region: More Crop for Every Scare Drop.
JIRCAS International Symposium Series. No. 10:xix - xxii.
Molle, F. 2002. To Price or Not to Price? Thailand and the Stigmata of "Free
Water". Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
Murty, V.V.N. 1997. Need, Scope and Potential for Modernization of Irrigation
System in Asia. In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience
and Future Options. Water Report No. 12. Food and Agriculture
Organization, Rome.
Nippon Koei Co. LTD. and JICA. 1993. The Study for Formulation of Irrigation
Development Program in Indonesia. Final Report, Volume 3.
Pandey, V.K. and K.C. Sharma. 1996. Crop Diversification and Self Suficiency in
Foodgrains. Indian Journal of Agricultural Economics 51(4): 644 – 651.
Perry, C.J. 1996. Alternative to Cost Sharing for Water Service to Agriculture in
Egypt. Research Paper, No. 2. International Water Management Institute,
Colombo.
________. 2002. Why is Irrigation Water Demand inelastic at low price ranges?
Paper presented on the International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
Postel, S. 1992. The Last Oasis: Facing water scarcity. Dalam: P.H. Gleick.
2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources:
2000-2001. Island Press, Washington, D.C.
_______. 1994. "Carrying Capacity: Earth's Bottom Line," In State of the World.
Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable Society,
W.W. Norton & Co. Ltd., New York.
Ravindran, A., D.T. Phillips and J.J. Solberg. 1987. Operations Research:
Principles and Practice. Second Edition. John Wiley and Sons, New York.
Ray, I. 2002. Farm-level Incentives for Irrigation Efficiency: Some Lessons From
An Indian Canal. In: Molle (2002). To Price or Not to Price? Thailand and
the Stigmata of "Free Water". Paper presented on International Seminar
"LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO
ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
_____________, X. Cai, and S.A. Cline. 2002. World Water and Food to 2025:
Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute
(IFPRI), Wahington, D.C.
Salim, H. 1995. Pengaruh Pengaturan Tata Air dan Takaran Pupuk Fosfat
terhadap Potensial Redoks, pH tanah, P tersedia, Serapan P dan Hasil
Tanaman Padi Sawah Di Daerah Pengairan Jatiluhur. Disertasi. Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sawit, H. 2000. Harga Dasar Gabah Tahun 2001 dan Subsidi: Analisa Musiman.
Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
232
Shiklomanov, I.A. 1998. Archive of world water resources and world water use.
In: P.H. Gleick. 2000. The World's Water: The Biennial Report on Fresh
water Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C.
__________, Hermanto, dan S. Bahri. 1999. Kinerja Pasar Air Irigasi Pompa:
Studi Empiris pada Sistem Irigasi Pompa Air Permukaan di Beberapa
Wilayah di Indonesia. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran
(Eds.): Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi
Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
233
Sunaryo, T.M. 2001. Case Study of Brantas River Basin, Indonesia. Paper
presented on the Workshop "Integrated Water Resources Management in a
River Basin Context: Institutional Strategies for Improving the
Productivity of Agricultural Water Management", Malang, January 15-19.
Sustainable World Water Forum (WWF). 2000. Forum Report on Water and
Economics of the Second World Water Forum, The Hague.
Theil, H. and R. Finke. 1983. The Consumer's Demand for Diversity. European
Economic Review 23: 348 – 359.
Tim Studi "Special Assistant for Project Sustainability (SAPS)" II. 1992. Brantas
River Basin Development Project. Perum Jasa Tirta, Malang.
Tiwari, D. and A. Dinar. 2000. Role and Use of Economic Incentives in Irrigated
Agriculture. Paper presented at the "World Bank Workshop on
Institutional Reform in Irrigation and Drainage". The World Bank,
Washington, D.C., December 11, 2000.
Tsur, Y. and A. Dinar. 1997. The Relative Efficiency and Implementation Costs
of Alternative Methods for Pricing Irrigation Water. The World Bank
Economic Review, 11(2): 243 – 262.
______, A. Dinar, R. M. Doukkali and T.L. Roe. 2002. Efficiency and Equity
Implications of Irrigation Water Pricing. Paper Presented on International
Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS
MICRO & MACRO ECONOMIQUES" Agadir - Maroc.
Unver, O and Rajiv K. Gupta. 2002. Water Pricing: Issues and option in Turkey.
Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
Van de Kroef. C. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa
(hal. 145-167). Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (Eds.). Dua
Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa Ke Masa. PT Gramedia, Jakarta.
________. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wolf, A.T., J.A. Natharius, J.J. Danielson, B.S. Ward, and J. Pender. 1999.
International River Basin of the World. In: P.H. Gleick. 2000. The
World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 2000-
2001. Island Press, Washington, D.C.
World Bank. 1982. Indonesia: Policy Options and Strategies for Major Food
Crops. World Bank, Washington, D.C.
World Resource Institute (WRI). 1998. World Water: A Guide to the Global
Environtment. Oxford University Press, New York.
Young, R.A. 1996. Measuring Benefits for Water Investment and Policies. World
Bank Technical Paper No. 338, World Bank, Washington, D.C.
LAMPIRAN
237
Lampiran 1. Lanjutan
Penetapan masa irigasi musim hujan Penetapan masa irigasi musim kemarau
Penetapan rencana tata tanam musim Penetapan rencana tata tanam musim
hujan dan sistem golongan kemarau dan sistem golongan
Lampiran 1. Lanjutan
Penetapan baku sawah atau lahan yang berhak atas air irigasi dilakukan setiap
tahun. Daftar inventarisasinya disusun menurut desa/kelurahan pada setiap Daerah Irigasi
untuk masing-masing wilayah kerja DPU Pengairan Daerah: Kemantren, Cabsie/Cabang
Dinas TK II, Dinas Tk II, dengan keterangan: (1) tanah-tanah tersebut berhak atas air
irigasi sepanjang tahun sesuai dengan ketersediaan air irigasi, dan (2) tanah-tanah tersebut
berhak atas air tidak selama satu tahun penuh akibat kurang/terbatasnya persediaan air
irigasi dengan rincian: (i) mencapatkan air irigasi selama musim kemarau secara bergilir,
(ii) tidak sepenuhnya berhak atas air irigasi tetapi hanya pada waktu ada kelebihan
persediaan air, dan (iii) mendapat air di musim kemarau karena pada musim hujan tidak
dapat ditanami atau mengalami kerusakan akibat banjir.
Inventarisasi tersebut setelah mendapat pertimbangan Panitia Irigasi setempat,
ditetapkan oleh Kepala Daerah (Tk II, TK I) sekali dalam 5 tahun, dengan tetap
memperhatikan perubahan yang terjadi dalam periode tersebut.
Penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air irigasi dilakukan
dengan cara berikut. Berdasarkan data debit pada sumber air (waduk, sungai, mata air,
dan sebagainya), inventarisasi penggunaan air yang telah ada (baik untuk pertanian
maupun non pertanian yang telah mendapat ijin), disusun rencana penyediaan air dan pola
pemanfaatannya, pada setiap wilayah sungai.
Penyusunan penyediaan dan pemanfaatan air didasarkan pada perkiraan debit 80
% kering. Rencana penyediaan air tersebut, setelah memperoleh masukan dari Panitia
Irigasi kemudian dilegalkan oleh Ketatapan Kepala Daerah.
Pada penetapan masa irigasi musim hujan dan musim kemarau, penetapan tanggal
dimulainya pemberian air untuk tanaman padi perlu disinkronkan dengan masukan dari
Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) setempat. Pada musim hujan diutamakan
tanaman padi, sedangkan untuk musim kemarau diutamakan tanaman palawija, tebu
(yang ada konsesinya), dan padi gadu ijin (bila ada kelebihan setelah alokasi untuk
palawija dan tebu).
Dalam penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, mengingat kebutuhan air
untuk setiap jenis tanaman maupun tahap pertumbuhan tanaman berbeda maka dibuat
standardisasi. Dalam konteks ini koefisien tanaman didasarkan atas luas palawija relatif
(LPR). Secara pragmatis, koefisien masing-masing tanaman (dan aktivitas) adalah sebagai
berikut ( Tabel 1).
Tabel 1. Koefisien tanaman atas dasar Luas Palawija Relatif (LPR).
Jenis tanaman Koefisien
Padi musim hujan/padi gadu ijin*):
- Pesemaian/pembibitan 20.0
- Garap/pengolahan tanah 6.0
- Pertumbuhan 4.0
Tebu:
- Cemplong / garap lahan 1.5
- Tebu muda / bibit 1.5
- Tebu tua 0.0
Palawija 1.0
Tambak/sawah tambak (disesuaian keadaan setempat) 3.0
*) untuk gadu tak ijin maka disamakan dengan palawija, kecuali
air cukup maka disamakan dengan gadu ijin.
240
Lampiran 1. Lanjutan
Selain LPR, mengingat kebutuhan air juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka
untuk keperluan pembagian air dan pemberiannya ditentukan suatu koefisien yang disebut
faktor palawija relatif (FPR), yakni suatu faktor pemberian air yang didasarkan pada
kebutuhan air untuk palawija. FPR menggambarkan kebutuhan air di pintu tertier untuk
tanaman palawija. Di dalamnya sudah diperhitungkan kehilangan air di saluran tertier dan
kuarter serta hilangnya air di lapangan (karena kemiringan medan)
Untuk menyusun suatu pola pemanfaatan air irigasi bagi suatu Daerah Irigasi
perlu disusun bagi DI bersangkutan, untuk memanfaatkan air yang tersedia guna
memperoleh hasil produksi yang sebesar-besarnya bagi usaha pertanian.
Penyusunan rencana tata tanam tersebut meliputi : Pola tanam , luas tanam, dan
jadwal taam berdasarkan debit andalan, juga jadwal pengeringan saluran dalam waktu
satu tahun atau lebih.
Dalam penentuan tata tanam dalam suatu DI perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Keinginan dan kebiasaan petani setempat
2. Kebijaksanaan pemerintah tentang produksi tanaman
3. Keseuaian tanaman dan lokasi
4. Ketersediaan air
5. Iklim khususnya curah hujan
6. Ketersediaan tenaga kerja
7. Sarana produksi pertanian
Bagi DI yang luas di samping memperhitunkan tenaga dan peralatan kerja juga
untuk menekan pemakaian air yang tinggi dan waktu ( jadwal pelaksanaan) disusun suatu
golongan. Selang (interval) antar waktu golongan tersebut ditentukan dengan keadaan di
lapangan dan paling sedikit 10 hari.
Lampiran 1. Lanjutan
Pada musim kemarau pembagian air disesuaikan dengan debit air yang tersedia dan
rencana tanam untuk masing-masing sekunder, sehingga bias diatur pembagian air
untuk setiap saluran petak sekunder.
Untuk DI yang besar (lebih dari satu DI Tk.II), perlu diatur pembagian air untuk
setiap Daerah Tk.II.
Apabila debit yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan, maka pembagian air diatur
proporsional dengan luas relatif palawija untuk masing-masing sekunder atau masing-
masing Dinas TkII., namun bila air tidak mencukupi (< 50% kebutuhan) diatur dengan
giliran. Pengaturan giliran perlu memperhatikan :
- Kebisaan yang telah berjalan dengan baik
- Efisiensi pemakaian air
- Kepastian saluran
- Periode giliran, interval waktu yang disusun tidak sampai mengakibatkan
tanaman mati.
Mengingat debit sungai setiap periode dapat terjadi perubahan baik bertambah
maupun berkurang, maka rencana pembagian air tersebut dibuat setiap periode 10 harian.
Untuk memudahkan pemantauan kondisi lapangan perlu digunakan Skema Operasi (SO)
yaitu ikhtisar asal, jumlah dan distribusi air serta pembuangan kelebihannya (kalau
memang ada sisa setelah dipakai), yang dapat memberikan gambaran sejauh mana
pelaksanaan yang dapat dilakukan dan penyimpangan terhadap perencanaan. Sedang
tingkat pengendalian debit air berkaitan dengan pembagian/distribusinya (Gambar 1).
Pola pelaksanaan operasi tersebut secara skematis dapat disimak pada Tabel 2,
sedangkan alur data pelaporan irigasi tertera pada Tabel 3.
Balai SPDA B JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Balai
SPDA atau JI/bagian JI yang luas layanannya meliputi lebih dari satu
Daerah TK.II dan berada dalam satu Balai SPDA
Dinas Pengairan Tk.II C JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Daerah
Tk.II atau JI/bagian JI yang luas layanan meliputi lebih dari satu Cabang
Dinas Tingkat II dan berada dalam satu Daerah Tk.III
Cabsie/Cabang Dinas D JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Cabang
Pengairan Tk. II Dinas Tk.II atau bagian JI/satu Kemantren Pengairan dan berada dalam
satu Cabang Dinas Tingkat II.
Cabsie/Cabang Dinas E JI yang sumber air serta luas layanannya berada pada satu Kemantren
Pengairan Tk. II Pengairan
Keterangan :
Perda Nomor 15 Tahun 1986 pasal 1.
1. Jaringan Irigasi (J.I) ialah bangunan dan saluran yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk
pengaturan irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian air serta penggnaannya
2. Daerah Irigasi (DI) ialah kesatuan wilayah yang mendapat air melalui/dari satu jaringan irigasi.
242
Lampiran 1. Lanjutan
06-O Register
Hujan 03-O
Register 11-O 17-O Evaluasi
Keadaan 13 - O 13 - O
Waduk
19 - O 22 - O Evaluasi Evaluasi
20 - O 23 - O
21 - O
Produksi
P.I. Tk Kec P.I. Tk Kec
padi
Rencana Analisa 3
25 – O
Tata
(HIPPA)
Tanam
Analisa 2
Analisa 1
Keterangan :
*) Jika ada bencana alam
**) D.I. type B dan atau kabupaten
243
Lampiran 1. Lanjutan
Total Q tertier
EI 100% ......%
Q intake
QP EI QP EI (Q suplesi)
FPRT atau atau disesuaikan
LPRP LPRp
dimana :
FPRt = Faktor palawija relatif di pintu tersier
Qp = Debit primer rencana
EI = Efisien Irigasi
LPRt = Luas Palawija Relatif di petak tersier
LPRp = Luaas Palawija Relatif se-saluran primer dan bila intakenya sekunder
disesuaikan yaitu LPRs (Total LPR semua petak tersiernya).
244
4. Tentukan debit tersier rencana yaitu LPRt x FPRt dan hitung pula debit-debit
saluran sekunder dan primer. Debit sekunder – Total debit tersiernya kali seper
efisien sekunder
5. Tentukan system pembagian air yaitu secara terus-menerus/bergiliran
ISIAN KOLOM-KOLOM
Kolom berikutnya adalah pembagian air pada hari-hari mengalir pada satu periode 10
harian. Keputusan ini dibuat oleh Casie/Cabang Dinas Tk.II apabila sumber air atau
system Irigasi/J.I-nya meliputi lebih dari satu Cabsie/Cabang Dinas Tk.II (J.I. tipe C).
245
Lampiran 2. Lanjutan
(Rp. 103/Ha)
Kelompok Musim Periode Biaya Keuntungan
Penerimaan
komoditas tanam pengusahaan Tunai Total Tunai Total
Sub DAS Tengah:
Padi MH okt-jan 5556.9 2572.1 4921.3 2984.8 635.7
Padi MH nov-feb 5500.8 2543.3 4889.1 2957.5 611.7
Padi MH des-mar 5372.6 2486.7 4768.9 2886.0 603.7
Padi MH jan-apr 5258.6 2425.1 4664.7 2833.5 594.0
Padi MK1 feb-mei 5438.0 2485.5 4799.6 2952.5 638.4
Padi MK1 mar-jun 5497.6 2508.3 4873.1 2989.3 624.6
Padi MK1 apr-jul 5490.5 2506.2 4861.6 2984.2 628.9
Padi MK1 mei-ags 5470.3 2496.3 4831.8 2974.0 638.5
Padi MK2 jun-sep 5407.0 2563.1 4808.2 2843.9 598.7
Padi MK2 jul-okt 5418.0 2568.3 4833.2 2849.6 584.8
Padi MK2 ags-nov 5493.5 2829.7 4904.9 2663.8 588.6
Padi MK2 sep-des 5505.4 2782.7 4922.1 2722.6 583.3
P/H_1 MH okt-jan 6806.3 3180.7 6085.3 3625.5 720.9
P/H_1 MH nov-feb 6914.9 3231.3 6171.6 3683.6 743.4
P/H_1 MH des-mar 6994.8 3274.3 6236.3 3720.5 758.6
P/H_1 MH jan-apr 7002.3 3267.5 6271.7 3734.7 730.6
P/H_1 MK1 feb-mei 7476.5 3409.4 6665.7 4067.1 810.8
P/H_1 MK1 mar-jun 7620.6 3477.8 6787.3 4142.8 833.3
P/H_1 MK1 apr-jul 7650.7 3490.9 6824.8 4159.8 825.9
P/H_1 MK1 mei-ags 7378.4 3335.7 6573.6 4042.7 804.8
P/H_1 MK2 jun-sep 6739.7 3135.8 6073.5 3603.9 666.2
P/H_1 MK2 jul-okt 6771.3 3149.1 6118.1 3622.2 653.2
P/H_1 MK2 ags-nov 6714.7 3119.1 6072.3 3595.6 642.4
P/H_1 MK2 sep-des 6648.6 3082.8 6013.2 3565.8 635.4
P/H_2 MH okt-des 5804.7 2661.0 5156.9 3143.6 647.8
P/H_2 MH nov-jan 5745.7 2634.0 5110.5 3111.7 635.2
P/H_2 MH des-feb 5681.6 2604.6 5048.8 3077.0 632.8
P/H_2 MH jan-mar 5786.9 2652.9 5159.4 3134.0 627.4
P/H_2 MK1 feb-apr 6158.2 2840.0 5441.1 3318.2 717.1
P/H_2 MK1 mar-mei 6258.9 2886.5 5553.7 3372.5 705.2
P/H_2 MK1 apr-jun 6297.0 2904.0 5602.6 3393.0 694.4
P/H_2 MK1 mei-jul 6221.6 2869.3 5532.4 3352.4 689.3
P/H_2 MK2 jun-ags 6516.8 3079.2 5748.2 3437.6 768.6
P/H_2 MK2 jul-sep 6532.0 3086.3 5770.5 3445.6 761.4
P/H_2 MK2 ags-okt 6234.5 2945.8 5494.8 3288.7 739.7
P/H_2 MK2 sep-nov 6148.2 2905.0 5418.6 3243.2 729.6
Tebu Setahun okt-sep 8610.7 4038.3 7730.3 4572.4 880.3
247
Lampiran 2. Lanjutan
(Rp. 103/Ha)
Kelompok Musim Periode Biaya Keuntungan
Penerimaan
komoditas tanam pengusahaan Tunai Total Tunai Total
Sub DAS Hilir:
Padi MH okt-jan 5411.8 2529.7 4786.6 2882.1 625.2
Padi MH nov-feb 5499.1 2550.0 4914.7 2949.0 584.4
Padi MH des-mar 5285.3 2453.4 4689.6 2831.8 595.7
Padi MH jan-apr 5200.3 2405.2 4611.2 2795.0 589.1
Padi MK1 feb-mei 5392.3 2471.7 4766.1 2920.6 626.2
Padi MK1 mar-jun 5446.0 2494.4 4839.4 2951.5 606.6
Padi MK1 apr-jul 5402.4 2472.9 4785.0 2929.6 617.5
Padi MK1 mei-ags 5342.2 2490.6 4705.2 2851.6 637.0
Padi MK2 jun-sep 5350.5 2538.3 4772.0 2812.2 578.5
Padi MK2 jul-okt 5170.7 2453.0 4606.4 2717.7 564.3
Padi MK2 ags-nov 5190.5 2701.7 4628.5 2488.7 562.0
Padi MK2 sep-des 5104.5 2658.2 4547.3 2446.3 557.2
P/H_1 MH okt-jan 6723.1 3141.9 6011.0 3581.3 712.1
P/H_1 MH nov-feb 6671.9 3117.8 5954.7 3554.1 717.2
P/H_1 MH des-mar 6748.9 3159.2 6006.0 3589.8 742.9
P/H_1 MH jan-apr 6756.1 3152.7 6023.2 3603.5 732.9
P/H_1 MK1 feb-mei 7401.7 3375.3 6599.0 4026.5 802.7
P/H_1 MK1 mar-jun 7544.4 3443.1 6747.9 4101.3 796.5
P/H_1 MK1 apr-jul 7574.2 3456.0 6794.8 4118.2 779.3
P/H_1 MK1 mei-ags 6861.9 3102.2 6104.0 3759.7 758.0
P/H_1 MK2 jun-sep 6807.1 3167.2 6160.7 3639.9 646.4
P/H_1 MK2 jul-okt 6839.0 3180.6 6176.6 3658.4 662.4
P/H_1 MK2 ags-nov 6311.8 2931.9 5713.6 3379.9 598.2
P/H_1 MK2 sep-des 6249.7 2897.8 5659.1 3351.9 590.6
P/H_2 MH okt-des 5349.5 2452.4 4752.5 2897.2 597.0
P/H_2 MH nov-jan 4699.4 2154.4 4115.8 2545.1 583.7
P/H_2 MH des-feb 4679.0 2145.0 4092.6 2534.0 586.3
P/H_2 MH jan-mar 5657.4 2593.5 5034.9 3063.9 622.6
P/H_2 MK1 feb-apr 5997.4 2765.8 5255.4 3231.5 742.0
P/H_2 MK1 mar-mei 6308.9 2909.5 5587.4 3399.4 721.5
P/H_2 MK1 apr-jun 6483.1 2989.8 5767.5 3493.2 715.6
P/H_2 MK1 mei-jul 6307.4 2908.8 5618.9 3398.6 688.5
P/H_2 MK2 jun-ags 6170.4 2915.5 5423.1 3254.9 747.2
P/H_2 MK2 jul-sep 6722.9 3176.6 5939.3 3546.4 783.7
P/H_2 MK2 ags-okt 6316.5 2984.5 5577.9 3332.0 738.6
P/H_2 MK2 sep-nov 5764.2 2723.5 5036.0 3040.6 728.1
Tebu Setahun okt-sep 8780.5 4117.9 7882.8 4662.6 897.7
248
Lokasi Contoh
249
Lampiran 9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI
Lampiran 9. Lanjutan
Lampiran 9. Lanjutan
Lampiran 9. Lanjutan
Lampiran 9. Lanjutan
Lampiran 9. Lanjutan
Lampiran 9. Lanjutan
dimana i vi ui
y = produksi (dalam kuintal)
x1 = luas lahan (hektar)
x2 = benih
x3 = pupuk N (urea dan atau ZA)
x4 = pupuk P (SP-36)
x5 = pupuk K (KCl)
x6 = pestisida dan input lainnya (diproksi dari nilainya)
x7 = tenaga kerja (jam kerja)
x8 = pengeluaran untuk irigasi pompa (Rp. 000)
Hasil estimasi SPF tersebut di atas dapat disimak pada Tabel 4.
262
Mean : 0.8151
Standard Error : 0.0049
Median : 0.8355
Standard Deviation : 0.1072
Sample Variance : 0.0115
Kurtosis : 0.3341
Skewness : -0.8711
Range : 0.5524
Minimum : 0.4172
Maximum : 0.9696
Sum : 385.5351
Count : 473
263
Lampiran 12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1955 295.3 248.5 303.5 242.6 143.2 144.5 271.8 66.6 42.5 130.0 322.4 275.5
1956 273.1 254.6 153.9 107.1 108.0 133.8 118.5 85.4 22.7 96.3 177.5 320.8
1957 287.2 272.0 412.5 109.2 58.8 9.6 192.4 39.2 4.1 9.8 104.8 293.1
1958 235.3 319.4 327.9 233.6 129.9 58.8 93.9 42.6 17.7 88.4 128.3 425.1
1959 417.7 321.2 346.7 156.7 219.4 72.9 52.0 1.6 19.9 34.5 121.2 433.2
1960 345.9 304.2 349.5 230.8 233.4 45.5 28.7 7.4 9.7 34.8 230.4 209.7
1961 282.3 261.1 199.8 210.5 98.4 3.9 1.6 0.0 2.1 8.1 84.1 246.4
1962 393.5 323.1 274.2 309.0 73.5 65.0 21.7 13.9 1.6 68.5 157.2 358.0
1963 322.4 297.7 398.9 152.7 29.3 9.0 0.0 0.0 0.8 7.1 25.1 218.2
1964 181.9 229.8 384.7 151.2 161.4 88.3 7.1 20.5 69.5 353.4 196.8 199.6
1965 299.6 253.7 226.5 118.0 49.7 3.6 3.6 0.0 0.7 1.7 77.1 239.2
1966 320.5 344.6 364.8 181.8 57.5 33.0 0.2 9.3 5.0 83.4 161.1 285.5
1967 364.2 287.9 173.5 167.8 12.8 0.1 0.0 0.0 0.4 22.2 72.5 314.9
1968 253.4 267.7 357.0 190.8 233.9 175.1 167.9 38.8 27.7 64.8 183.3 295.0
1969 292.6 284.5 323.9 156.8 41.0 20.7 2.4 0.5 7.0 41.5 80.9 279.1
1970 353.0 308.6 314.6 239.9 155.7 40.9 15.0 0.0 24.0 44.8 179.5 226.8
1971 344.7 338.6 263.0 109.4 204.7 75.3 9.3 1.7 18.7 181.6 220.4 286.1
1972 289.8 193.3 273.9 72.5 127.0 0.2 0.0 0.9 0.0 1.7 62.5 278.5
1973 314.1 288.4 307.4 246.4 324.7 59.9 44.4 17.4 132.2 85.6 185.9 223.8
1974 222.8 320.1 196.1 168.8 130.8 25.5 24.0 62.6 70.6 191.0 213.0 208.9
1975 343.7 314.9 349.9 260.4 171.9 13.7 7.1 5.6 152.3 296.0 271.0 253.7
1976 268.9 222.7 304.9 70.2 17.9 3.8 3.8 2.3 4.3 69.6 234.7 124.3
1977 247.0 218.6 314.5 139.1 41.7 71.1 1.2 0.0 0.9 1.8 68.3 267.6
1978 336.9 283.5 263.9 141.3 185.4 221.2 138.4 42.1 57.8 72.9 133.1 261.2
1979 328.8 266.2 231.4 247.9 233.5 99.7 4.8 7.2 10.2 28.2 65.0 172.1
1980 265.4 259.3 173.1 197.4 37.7 3.1 22.8 15.9 7.0 31.0 225.1 257.2
1981 295.5 237.8 196.6 139.5 115.1 71.2 103.8 27.4 71.7 62.5 213.5 247.2
1982 309.7 262.7 217.0 159.1 12.1 9.0 2.3 0.4 2.2 4.5 25.9 223.2
1983 313.3 296.6 260.2 205.2 227.5 23.8 6.9 0.1 0.9 125.5 253.5 232.1
1984 365.6 341.9 279.8 230.6 66.3 22.2 22.0 9.6 118.3 65.2 95.1 231.5
1985 318.4 340.3 339.2 246.9 48.3 83.3 21.2 14.3 10.8 76.5 216.9 281.6
1986 343.6 229.0 291.8 221.6 21.1 154.6 21.6 12.0 41.6 79.9 214.8 187.2
1987 304.5 275.8 190.3 49.3 44.4 24.8 6.5 3.0 13.4 2.9 152.9 316.9
1988 418.5 268.6 309.9 164.2 124.5 45.9 10.9 16.5 7.4 109.4 265.4 254.4
1989 293.8 253.2 183.4 188.1 143.1 168.8 70.8 29.6 3.4 86.6 131.3 238.8
1990 419.7 375.6 309.2 210.4 128.8 47.3 14.3 30.4 1.1 25.5 111.2 357.0
1991 562.6 375.0 223.4 389.6 39.4 5.5 3.7 0.1 7.4 9.2 195.8 364.2
1992 566.7 446.1 470.1 332.7 141.9 24.7 35.4 96.5 114.8 203.8 272.7 473.4
1993 521.3 205.8 304.1 319.7 59.6 140.7 4.7 27.3 8.2 10.3 262.7 351.0
1994 527.2 437.9 512.5 173.6 37.5 23.5 5.6 1.3 0.4 30.2 127.4 224.3
1995 481.6 554.0 457.4 277.9 70.7 161.7 46.1 5.9 6.9 100.7 393.7 249.9
1996 427.3 366.0 254.8 189.6 27.1 29.6 17.6 80.1 7.1 167.5 268.2 325.8
1997 296.6 391.0 88.8 218.7 79.8 16.4 4.4 0.8 1.1 17.5 76.4 220.8
1998 336.2 497.3 487.3 353.6 126.3 224.6 189.1 44.5 138.0 249.8 326.7 460.9
1999 455.1 252.1 346.2 333.5 89.3 24.1 33.0 12.2 18.7 189.9 349.7 358.3
mean 343.0 304.2 295.8 200.3 108.5 61.8 41.2 19.9 28.5 81.5 176.3 278.9
stdev 87.7 74.5 91.6 76.6 74.7 61.8 62.3 25.2 41.7 81.9 88.7 74.7
Max 566.7 554.0 512.5 389.6 324.7 224.6 271.8 96.5 152.3 353.4 393.7 473.4
Min 181.9 193.3 88.8 49.3 12.1 0.1 0.0 0.0 0.0 1.7 25.1 124.3
Sumber: Perum Jasa Tirta I
265
Lampiran 13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas
1) 0.1184148E+09
D6 5496.397461 0.000000
D7 5729.794434 0.000000
D8 5417.279785 0.000000
D9 5671.544922 0.000000
Lampiran 14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada solusi optimal
Sub DAS Hulu dengan luas baku lahan sawah 12 321 Ha (106 m3)
Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Total
X1 1 953.20 4.916 2.471 1.256 0.876 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.518
X2 5 864.91 0.000 10.170 5.670 3.299 2.706 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21.845
X3 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X4 2 563.57 0.000 0.000 0.000 1.243 1.329 1.741 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6.313
X5 2 948.78 0.000 0.000 0.000 0.000 2.981 3.669 5.144 5.327 0.000 0.000 0.000 0.000 17.121
X6 3 628.67 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.515 5.700 7.816 7.562 0.000 0.000 0.000 25.592
X7 901.86 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.258 1.798 2.389 2.130 0.000 0.000 7.574
X8 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X9 472.53 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.040 1.241 1.323 0.969 4.572
X10 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X11 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X12 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X13 581.35 0.604 0.244 0.078 0.009 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.936
X14 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X15 145.37 0.000 0.000 0.021 0.010 0.016 0.014 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.061
X16 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X17 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X18 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X19 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X20 2 542.97 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.734 2.373 2.920 1.549 0.000 8.575
X21 3 881.57 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.028 5.101 5.926 2.344 16.399
X22 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X23 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X24 1 339.83 1.667 0.799 0.021 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.917 4.404
X25 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X26 414.23 0.000 0.174 0.057 0.027 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.258
X27 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X28 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X29 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X30 1 405.32 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.535 0.663 0.907 0.000 0.000 0.000 0.000 2.105
X31 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X32 95.03 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.070 0.103 0.124 0.000 0.000 0.297
X33 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X34 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X35 1 450.45 1.429 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.008 2.387 5.824
X36 1 369.10 1.618 0.759 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.980 4.358
X37 798.38 1.157 0.567 0.190 0.095 0.176 0.341 0.575 0.687 0.708 0.722 0.795 1.068 7.081
Total 32 357.11 11.391 15.184 7.294 5.558 7.208 10.815 15.340 18.339 17.203 12.237 11.600 10.665 142.833
275
Lampiran 15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil
analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi
Indeks pasokan Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
air irigasi PAI HBAI PAI HBAI PAI HBAI PAI HBAI
(106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3)
0.90 136.08 66.9 303.75 86.0 286.00 112.2 725.83 93.0
0.91 136.15 66.9 309.40 86.0 287.43 112.2 732.99 93.0
0.92 137.93 60.4 312.90 80.3 288.86 101.6 739.69 85.2
0.93 138.02 58.3 315.26 78.4 291.01 98.1 744.28 82.7
0.94 139.08 58.0 317.56 75.0 292.81 97.7 749.45 81.0
0.95 139.78 58.0 319.88 75.0 294.54 97.7 754.21 81.0
0.96 140.54 52.5 322.03 71.3 297.39 88.6 759.96 74.8
0.97 141.20 43.8 323.53 58.3 301.47 73.8 766.20 61.9
0.98 141.96 32.2 324.76 51.3 303.87 54.5 770.59 49.2
0.99 142.29 13.3 326.84 17.2 305.36 22.5 774.49 18.6
1.00*) 142.83 13.1 327.39 16.8 307.36 22.0 777.58 18.2
1.01 143.56 6.6 328.07 8.5 308.80 11.1 780.43 9.2
1.02 144.07 5.7 328.90 7.4 309.80 9.6 782.77 8.0
1.03 144.40 5.7 329.63 7.4 310.83 9.6 784.85 8.0
1.04 144.71 5.7 330.35 7.4 311.92 9.6 786.98 8.0
1.05 145.02 5.4 331.39 6.9 312.92 9.1 789.33 7.5
1.06 145.82 5.3 331.96 6.9 314.08 9.0 791.85 7.5
1.07 146.84 5.3 332.58 6.9 315.18 9.0 794.59 7.5
1.08 149.75 4.9 333.33 6.3 315.85 8.3 798.93 6.9
1.09 150.20 4.8 334.21 6.2 316.49 8.1 800.90 6.7
1.10 150.45 4.8 335.11 6.2 317.33 8.1 802.89 6.7
*) skenario dasar
PAI = penggunaan air irigasi pada solusi optimal
HBAI = harga bayangan air irigasi
278
Lampiran 16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Hulu
(Hektar)
Aktivitas Perubahan pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
X1 2 001.82 2 049.89 1 953.20 2 182.40 2 543.07
X2 5 064.35 5 194.40 5 864.91 6 330.88 6 672.00
X3 2 822.62 421.36 - - -
X4 157.79 2 669.96 2 563.57 1 817.72 1 993.45
X5 3 498.71 3 233.70 2 948.78 2 971.73 2 721.83
X6 3 300.82 4 092.22 3 628.67 3 374.15 3 330.01
X7 408.07 195.02 901.86 1 171.71 1 718.68
X8 - - - - -
X9 - - 472.53 470.77 481.26
X10 - - - - -
X11 - - - - -
X12 503.98 465.01 - - -
X13 733.40 754.50 581.35 360.21 89.30
X14 - - - - -
X15 - - 145.37 393.95 67.92
X16 - - - - -
X17 - - - - -
X18 - - - - -
X19 2 414.55 226.34 - - -
X20 - 2 293.18 2 542.97 2 518.39 2 603.13
X21 5 420.04 4 277.69 3 881.57 3 429.83 3 322.12
X22 146.43 - - - -
X23 - - - - -
X24 - 858.30 1 339.83 1 769.85 1 993.45
X25 - - - - -
X26 417.30 429.31 414.23 429.12 89.46
X27 - - - - -
X28 - - - - -
X29 - - - - -
X30 1 417.34 1 102.18 1 405.32 928.87 1 081.55
X31 - - - - -
X32 - 376.78 95.03 549.43 -
X33 - - - - -
X34 728.58 1 418.81 - - -
X35 - - 1 450.45 2 376.40 2 813.12
X36 2 288.45 1 364.90 1 369.10 441.82 67.92
X37 777.52 801.58 798.38 806.71 865.80
279
Lampiran 17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Tengah
(Hektar)
Aktivitas Pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
Y1 3 192.62 3 964.28 4 210.26 5 113.04 5 804.78
Y2 11 829.08 13 395.17 13 671.76 14 367.04 15 479.43
Y3 5 484.58 5 484.71 5 327.25 2 058.81 2 591.59
Y4 3 478.82 1 101.34 714.91 2 361.31 -
Y5 6 251.88 6 943.10 7 195.99 6 020.89 4 424.65
Y6 8 751.06 9 816.26 9 492.66 10 292.02 9 327.20
Y7 412.80 795.55 960.66 1 323.22 3 866.28
Y8 - - - - -
Y9 - - 1 100.82 1 114.85 1 110.83
Y10 - - - - -
Y11 - - - - -
Y12 1 149.02 1 101.34 16.56 - -
Y13 1 918.81 1 915.64 1 913.93 - -
Y14 - - - - -
Y15 - - - 1 912.02 1 910.06
Y16 - - - - -
Y17 - - - 153.32 2 264.39
Y18 - 159.77 742.78 640.06 2 896.60
Y19 5 071.78 4 689.16 4 366.59 2 647.60 635.38
Y20 - 926.64 714.91 2 361.31 -
Y21 8 993.73 8 319.78 8 006.45 6 136.33 8 735.83
Y22 1 414.81 3 962.31 3 753.91 4 494.09 3 652.17
Y23 - - - - -
Y24 2 405.32 - 698.35 1 802.35 -
Y25 - - - - -
Y26 1 064.94 1 063.18 1 071.80 1 061.17 884.27
Y27 - - - - 175.82
Y28 - - - - -
Y29 - - - - -
Y30 3 002.49 3 419.14 3 436.32 3 434.96 3 431.45
Y31 - - - - -
Y32 - - - - -
Y33 3 814.99 2 217.16 1 525.04 2 357.98 273.83
Y34 - - - - -
Y35 - - - - 1 911.64
Y36 3 283.89 4 587.12 5 327.25 4 529.78 4 677.48
Y37 1 859.64 1 979.68 1 994.09 2 030.62 2 058.05
280
Lampiran 18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Hilir
(Hektar)
Aktivitas Pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
Z1 3 620.59 3 737.43 3 578.20 4 128.72 5 088.29
Z2 12 377.35 12 316.34 13 242.56 13 212.44 14 018.14
Z3 6 133.08 5 952.66 2 087.02 281.63 -
Z4 839.74 957.83 4 158.20 5 295.23 3 771.87
Z5 5 868.42 5 984.62 5 695.66 4 328.54 3 164.22
Z6 9 336.95 9 269.05 10 379.11 11 810.41 12 879.21
Z7 979.77 848.33 580.95 565.25 631.81
Z8 - - - - -
Z9 - - - 373.09 649.48
Z10 - - - - -
Z11 - - - - -
Z12 839.74 957.83 1 033.82 670.51 390.66
Z13 1 470.13 1 469.71 1 383.96 1 183.13 -
Z14 - - - - -
Z15 - - - 283.63 1 464.21
Z16 - - - - -
Z17 - - - - -
Z18 - - - - -
Z19 5 130.69 5 104.33 1 171.63 - -
Z20 - - 4 158.20 5 295.23 5 286.05
Z21 2 122.99 6 107.90 4 013.89 3 245.74 2 081.84
Z22 7 162.84 4 483.81 4 295.76 5 742.01 7 473.03
Z23 - - - - -
Z24 - - 3 124.38 2 552.34 1 947.02
Z25 - - - - -
Z26 777.70 777.48 733.50 775.91 774.57
Z27 - - - - -
Z28 - - - - -
Z29 - - - 1 759.22 2 698.63
Z30 3 040.40 3 047.29 2 863.46 1 402.03 457.14
Z31 22.63 - 334.44 - -
Z32 - - - - -
Z33 3 764.74 2 981.53 4 545.22 3 870.97 3 588.67
Z34 - - - - -
Z35 - - - - -
Z36 1 472.46 2 992.20 1 857.83 2 637.64 2 898.39
Z37 2 143.41 2 150.55 2 178.56 2 201.31 2 244.92
281
Lampiran 19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000