Sunteți pe pagina 1din 304

IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS

SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI


PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN
DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

Oleh

SUMARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa semua pernyataan dalam disertasi


saya yang berjudul:

IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS SEBAGAI INSTRUMEN


PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI:
PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 2006

Sumaryanto
965010

Tanggal Lulus:
ABSTRACT

SUMARYANTO. Crop Based Pricing As An Instrument for Improving Irrigation


Water Use Efficiency: Approach and Analysis of Factors Affecting Its
Implementation (BONAR M. SINAGA as Chairman, PANTJAR SIMATUPANG,
KOOSWARDHONO MUDIKDJO and YUSMAN SYAUKAT as Members of the
Advisory Committee).

In line with population growth, economic development, and higher


competition of water utilization among sectors, it is urgently required to improve
irrigation water use efficiency. To meet the need, there are strong incentives to
place emphasis on water-demand management. Theoretically, water pricing has
potential not only to influence users' behaviors towards water saving, but it also
contributes reallocation of water towards more profitable crops or other uses.
Pricing water is also a way to recover part of the costs incurred by irrigation
infrastructure and its operation. This study is aimed to valuate irrigation water, to
determine crop based pricing, and to assess factors affecting its implementation.
Determination of the crop based pricing utilized shadow price of the irrigation
water. The valuation utilized change in net income (CINI) method using
mathematical programming. Factors that can affect the implementation of crop
based pricing are identified indirectly using ordered logit model. The study is
conducted in Brantas Irrigation Area, East Java. Results of the study show that
shadow price of irrigation water were equal to zero on December–May and positive
on June–November. Within the positive period, the lowest and highest prices were
taken place on June (Rp. 11/m3) and September (Rp. 58/m3) respectively. In the
crop based pricing indexed, average cost of irrigation water of paddy farming on
first cropping season (wet season), second cropping season (first dry season), and
third cropping season (second dry season) are 1, 2, and 10 respectively. In the same
order, the cost of irrigation water of secondary crop cultivation are 0.3, 0.6 and 5.0.
Irrigation water demand function is non linear and in general is inelastic. The
demand is elastic if the price level is higher than Rp. 84/m3. Crop diversification as
well as crop based pricing was potential to improve both farm's income and
irrigation efficiency, but disincentive to increase rice production. Positive factors
for implementing the crop based pricing are consolidated land management, higher
average farm size, available agricultural labor, sufficiency of capital for farming,
significant contribution of wetland farming to household economy, and better
performance of the organization of Water User's Association in irrigation
management.

Key Words: Irrigation, shadow price, crop based pricing, efficiency,


diversification.
ABSTRAK

SUMARYANTO. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen


Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Implementasinya (BONAR M. SINAGA sebagai
Ketua, PANTJAR SIMATUPANG, KOOSWARDHONO MUDIKDJO dan
YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, perkembangan


ekonomi, dan kompetisi penggunaan air antar sektor maka peningkatan efisiensi
penggunaan air irigasi semakin dirasakan urgensinya. Strategi yang dipandang
sesuai adalah melalui pengelolaan permintaan. Secara teoritis, penerapan harga air
bukan hanya potensial untuk mendorong efisiensi penggunaan air, tetapi juga dapat
berkontribusi pada realokasi penggunaan air irigasi ke komoditas pertanian yang
lebih menguntungkan atau penggunaan lainnya, dan merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi.
Penelitian ini ditujukan untuk melakukan valuasi air irigasi, menentukan iuran
irigasi berbasis komoditas dan menganalisis faktor-faktor yang diperkirakan
mempengaruhi prospek implementasinya. Penentuan iuran irigasi berbasis
komoditas didasarkan atas harga bayangan air irigasi yang dihasilkan dari valuasi
sumberdaya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam valuasi adalah salah satu
varian dari Residual Imputation Approach yakni Change In Net Income (CINI)
dengan pemrograman matematis. Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi
implementasi iuran irigasi berbasis komoditas diidentifikasi dengan cara tidak
langsung dengan model ordered logit. Penelitian dilakukan pada sistem irigasi
teknis di Daerah Irigasi Brantas, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada Desember – Mei harga bayangan air irigasi sama dengan nol, sedangkan pada
Juni – November positif. Pada periode positif, harga terendah terjadi pada Bulan
Juni (Rp. 11/m3), sedangkan yang tertinggi pada Bulan September (Rp. 58/m3).
Dengan sistem indeks, biaya irigasi untuk usahatani padi pada Musim Tanam I
(Musim Hujan), Musim Tanam II (Musim Kemarau-1), dan Musim Tanam III
(Musim Kemarau-2) masing-masing adalah 1, 2, dan 10. Dengan urutan yang
sama, untuk usahatani palawija adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0. Fungsi permintaan
air irigasi tidak linier dan secara umum tidak elastis. Permintaan elastis jika tingkat
harga lebih tinggi dari Rp. 84/m3. Diversifikasi usahatani dan iuran irigasi berbasis
komoditas potensial untuk meningkatkan pendapatan usahatani, tetapi tidak
kondusif untuk meningkatkan produksi padi. Faktor-faktor positif untuk
implementasi iuran irigasi berbasis komoditas adalah: lahan sawah garapan
usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu kecil, tenaga
kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani memadai, peranan
usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup besar, dan kinerja pengurus
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi lebih baik.

Kata Kunci: Irigasi, harga bayangan, iuran irigasi berbasis komoditas,


efisiensi, diversifikasi.
 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS
SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI
PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN
DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

Oleh

SUMARYANTO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGO R
20 0 6
Judul Disertasi : Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen
Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi:
Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Implementasinya

Nama : Sumaryanto

NRP : EPN 965010

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU
Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 24 Februari 2006 Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putra dari Atmosukarto dan Kemidjem. Penulis dilahirkan di


Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 1
November 1958; merupakan anak keempat dari 9 bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1971 di SD Negeri Selo.


Lulus dari pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II Wates pada
tahun 1974, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
Wates. Pada tahun 1978, melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat,
Proyek Perintis II) diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di
Institut Pertanian Bogor (IPB). Lulus dari Fakultas Pertanian (Departemen
Agronomi) IPB tahun 1982, kemudian bekerja pada Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian (kini bernama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 1984
melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) atas biaya
dari Badan Litbang Pertanian dan lulus pada tahun 1988. Tahun 1996, dengan
biaya sendiri penulis melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ilmu ekonomi
Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sebagai peneliti, bidang penelitian yang banyak digeluti adalah ekonomi


pedesaan, sumberdaya lahan, dan irigasi. Selain melakukan penelitian, penulis aktif
mengikuti berbagai forum diskusi ataupun seminar, terutama yang terkait dengan
bidang penelitiannya; dan sering menjadi instruktur pelatihan terutama di bidang
pengolahan dan analisis data dalam penelitian sosial ekonomi pertanian. Penulis
adalah anggota Kemitraan Air Indonesia.
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya.
Sesuai dengan profesi, sedikit-demi sejak tahun 1995 penulis secara konsisten
menekuni penelitian di bidang pengelolaan sumberdaya lahan dan air, terutama di
bidang irigasi. Menyadari bahwa semakin banyak yang diketahui semakin banyak
pula yang masih belum diketahui, dalam disertasi ini penulis mengkaji nilai ekonomi
air irigasi dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai instrumen peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya tersebut melalui pendekatan pengelolaan permintaan.

Adalah fakta bahwa penyelesaian disertasi ini berkat dorongan, arahan, dan
bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan penghargaan yang tinggi dan rasa terima kasih yang sangat mendalam
kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

4. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup.

6. Prof. (R) Dr. Effendi Pasandaran, APU selaku penguji luar komisi pada Ujian
Terbuka.

7. Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, MSc. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.

8. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang


diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

9. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh pihak pengelola
atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program studi.

10. Dr. Rustam Syarif atas bantuannya dalam penelitian kolaborasi Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian – International Food Policy Research Institute (IFPRI)
– Departemen Kimpraswil – Perum Jasa Tirta I sehingga kelengkapan data untuk
disertasi ini dapat diperoleh.
11. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, APU selaku Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian.

12. Dr. Ir. Achmad Suryana, APU selaku Kepala Badan Litbang Pertanian atas ijin
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja.

13. Rekan-rekan kerja di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
yakni lembaga penelitian tempat penulis bekerja.

14. Jajaran Direksi Perum Jasa Tirta I beserta seluruh staf atas segala bantuannya
selama penulis melakukan penelitian.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mark W. Rosegrant, PhD;


Charles Rodgers, PhD; dan Claudia Ringler, PhD dari International Food Policy
Research Institute (IFPRI) atas masukan dan bantuan kepada penulis, terutama pada
saat kerjasama penelitiannya dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian dimana penulis merupakan salah satu anggota tim penelitian tersebut.

Sudah barang tentu, terima kasih yang sangat mendalam penulis sampaikan
kepada istri tercinta Ir. Anggraini Sukmawati, MM atas semua kebaikan, bantuan,
dan dorongan semangat, serta doanya; dan juga kepada anak-anakku tercinta Mita,
Arif, dan Ajeng. Kiranya pada tempatnya pula penulis mengenang Almarhumah
Ir. Puti Rosmeilisa Budi Savithry atas semua kebaikan, kesabaran, dorongan
semangat dan doanya selama Almarhumah mendampingi penulis. Semoga Allah
SWT memberinya tempat yang mulia di sisi-NYA.

Kepada semua pihak yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu penulis dan tak dapat disebutkan namanya satu per satu di sini,
penulis mengucapkan terima kasih. Semoga semuanya itu bernilai sebagai ibadah.

Penulis telah berusaha maksimal untuk menghasilkan karya ini. Meskipun


demikian, sesuai dengan keterbatasan penulis tentu masih banyak kekurangannya.
Terlepas dari segala kekurangan itu, semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006


Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1.4. Signifikansi Penelitian .......................................................................... 8
1.5. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 9
1.6. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................................... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11


2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi
Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air Untuk Pertanian ....................... 11
2.1.1. Ketersediaan Sumberdaya Air: Kondisi Sekarang dan
Kecenderungannya .................................................................... 11
2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air ........... 15
2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi ........................ 20
2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan .. 25
2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan
Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Pendekatan Permintaan ...... 29
2.3. Valuasi Air Irigasi ................................................................................ 34
2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi .... 37
2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan
Metode CINI .............................................................................. 39

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS .................................................... 40


3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 40
3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi ...................................................... 45
3.3. Pemrograman Matematis Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI ..... 48
Halaman
3.4. Faktor-faktor Utama yang Harus Dipertimbangkan Dalam
Pemodelan ............................................................................................ 52
3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan
Permintaan Air Irigasi ................................................................ 52
3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya ......................... 55
3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya ..................... 63
3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan
Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ......................................................... 65
3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola
Tanam ........................................................................................ 66
3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Petani Dalam Membayar Iuran Irigasi ....................................... 70
3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Petani Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi ...... 71

IV. METODE PENELITIAN ............................................................................ 73


4.1. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 73
4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan 75
4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas ...................................................... 76
4.2.2. Kendala Sumberdaya ................................................................. 81
4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam .................................................... 89
4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya ............................................................. 92
4.3. Spesifikasi Model ................................................................................. 98
4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ....................................... 110
4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan ......... 111
4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam ........... 111
4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani
Dalam Pembayaran Iuran Irigasi ............................................... 113
4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis ............................................ 114
4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas ...................................................... 116
4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh ......................... 123
4.6.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 123
4.6.2. Pengambilan Contoh .................................................................. 124
4.7. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 127

v
Halaman
V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI, DAN
KERAGAAN USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS .......... 128
5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas ............................... 128
5.2. Sumberdaya Air ................................................................................. 129
5.3. Pasokan Air Irigasi ............................................................................. 132
5.4 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi ...................................................... 135
5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan
Irigasi Teknis DAS Brantas ............................................................... 139
5.5.1. Penguasaan Lahan .................................................................. 139
5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi
Teknis DAS Brantas ............................................................... 144
5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani
Komoditas Utama ................................................................... 145
5.5.4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani ........................... 148

VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN IRIGASI


BERBASIS KOMODITAS USAHATANI .............................................. 152
6.1. Pola Tanam dan Keuntungan Usahatani Pada Solusi Optimal .......... 152
6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi .... 155
6.3. Pengaruh Perubahan Pasokan Air Irigasi Terhadap Diversifikasi ..... 163
6.4. Pengaruh Penghematan Konsumsi Air Irigasi ................................... 166
6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal ............. 169
6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi .................................... 170
6.7. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ....................................................... 172
6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas ............... 177
6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas
Untuk Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi .............. 183

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI


IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS ......................................... 189
7.1. Keragaan Diversifikasi Usahatani di Pesawahan Irigasi DAS
Brantas ............................................................................................... 189
7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Untuk
Berdiversifikasi .................................................................................. 192
7.2.1. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk Usahatani .......................... 195
7.2.2. Kemampuan Permodalan ......................................................... 196

vi
Halaman
7.2.3. Kontribusi Pendapatan Dari Usahatani di Lahan Sawah ....... 197
7.2.4. Kualitas Lahan Sawah ........................................................... 198
7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan ............... 198
7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan .................................................. 199
7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan ............................ 200
7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi
Air Irigasi ............................................................................... 201
7.2.9. Karakteristik dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani 203
7.2.10. Luas dan Status Garapan ....................................................... 203
7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi ........................... 204
7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani
Membayar Iuran Irigasi ..................................................................... 205
7.3.1. Indeks Diversitas ................................................................... 207
7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan
Usahatani di Lahan Sawah .................................................... 208
7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan ............................................. 209
7.3.4. Intensitas Tanam .................................................................... 209
7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA ....................................................... 210
7.3.6. Status Garapan ....................................................................... 212
7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier ..................... 213
7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi ........................................................ 214
7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi ......... 214
7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis .................................................... 215

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN


UNTUK PENELITIAN LANJUTAN ...................................................... 219
8.1. Kesimpulan ........................................................................................ 219
8.2. Implikasi Kebijakan ........................................................................... 223
8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan ....................................................... 224

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 225

LAMPIRAN .............................................................................................. 236

vii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM ................................ 61

2. Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam


pemodelan .............................................................................................. 79

3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam


model ...................................................................................................... 80

4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di


masing-masing Sub DAS Brantas .......................................................... 82

5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin
untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi ............. 85

6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 86

7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS


Brantas, 1999/2000 ................................................................................ 88

8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar


kelompok komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan
irigasi teknis DAS Brantas pada periode 1990 – 2000 .......................... 91

9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian .............. 127

10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999 ............ 130

11. Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan


pemanfaatannya ..................................................................................... 131

12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS
Brantas ................................................................................................... 132

13. Luas Areal Irigasi di DAS Brantas, 1999/2000 ..................................... 132

14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992 ......... 135

15. Rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah pesawahan


irigasi teknis DAS Brantas, 2000 ........................................................... 140

16. Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas


menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000 .................................. 141

viii
Nomor Halaman
17. Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000 ............................ 143

18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan
palawija di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 .................................. 146

19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS
Brantas, 1999/2000 ................................................................................ 149

20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok
pemilikan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ...... 150

21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ..... 153

22. Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi


teknis DAS Brantas ................................................................................ 154

23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada
solusi optimal ......................................................................................... 156

24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya .. 158

25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ... 161

26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam ....... 165

27. Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap


indeks pertanaman ................................................................................. 167

28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani .. 170

29. Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut
kelompok komoditas dan periode pengusahaannya ............................... 173

30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal ............. 175

31. Biaya irigasi di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas,


1999/2000 .............................................................................................. 176

32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas,


1999/2000 .............................................................................................. 177

33. Skenario penyederhanaan perhitungan komponen pokok iuran irgasi


berbasis komoditas berdasarkan jadwal tanam padi MT I ..................... 179

34. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis DAS Brantas .......................................................... 180

ix
Nomor Halaman
35. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas .......................................... 181

36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas ...................................... 181

37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas .......................................... 182

38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................. 182

39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa
skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas . 185

40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah
pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah .............................. 187

41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 ... 189

42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 . 191

43. Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 193

44. Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 193

45. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani


di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas untuk berdiversifikasi .......... 194

46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di
usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ........... 195

47. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani di


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 196

48. Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan,


1999/2000 .............................................................................................. 197

49. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola


tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000 . 197

50. Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber
pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000 ..................................... 198

x
Nomor Halaman
51. Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola
tanam, 1999/2000 ................................................................................... 199

52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam,
1999/2000 .............................................................................................. 200

53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi
kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000 ...... 201

54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan
garapannya terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000 ........... 202

55. Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan


sawah ...................................................................................................... 205

56. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani


membayar iuran irigasi .......................................................................... 206

57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
pola tanam .............................................................................................. 207

58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
kontribusi usahatani padi, 1999/2000 .................................................... 208

59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas
lahan garapannya, 1999/2000 ................................................................ 209

60. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan


intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000 ........................................ 210

61. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan


persepsinya terhadap pengurus HIPPA .................................................. 211

62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status
garapan usahatani, 1999/2000 ................................................................ 213

63. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi


dan pemilikan pompa irigasi .................................................................. 214

64. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani


untuk berdiversifikasi dan berpartisipasi lebih baik dalam iuran irigasi .. 216

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Sistematika pendekatan penelitian ......................................................... 44

2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air ..... 46

3. Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh
komoditas yang tercakup ....................................................................... 47

4. Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III ......................... 48

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai harga bayangan air irigasi ...... 53

6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan


MDM ...................................................................................................... 62

7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi


terhadap harga bayangannya .................................................................. 64

8. Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi ........................................ 94

9. Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman ....................... 95

10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian .............. 125

11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999 ................ 129

12. Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas ............................... 130

13. Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996 ............................ 133

14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi .................................... 134

15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas ......................... 142

16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS ................. 144

17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada
solusi optimal ......................................................................................... 157

18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................. 158

19. Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga


bayangannya .......................................................................................... 160

xii
Nomor Halaman
20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas ..... 162

21. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi ............. 164

22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani ..... 166

23. Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi


terhadap keuntungan bersih usahatani ................................................... 168

24. Fungsi penawaran normatif komoditas padi .......................................... 171

25. Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani pada
solusi optimal ......................................................................................... 175

26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi .. 203

27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam .... 204

28. Hubungan antara Pr_1, Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam partisipasi
membayar iuran irigasi .......................................................................... 215

29. Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan
pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi ............................ 217

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Operasi dan pemeliharaan irigasi ............................................................ 237

2. Rata-rata penerimaan, biaya, dan laba usahatani di lahan pesawahan


irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................... 245

3. Lokasi penelitian dalam Peta Daerah Aliran Sungai Brantas .................. 248

4. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS


Brantas Hulu untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu
pengusahaannya ....................................................................................... 249

5. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS


Brantas Tengah untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut
waktu pengusahaannya ............................................................................ 250

6. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS


Brantas Hilir untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu
pengusahaannya ....................................................................................... 251

7. Kebutuhan modal tunai usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS


Brantas, 1999/2000 .................................................................................. 252

8. Kebutuhan tenaga kerja usahatani untuk setiap kelompok komoditas di


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................. 253

9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI ........ 254

10. Estimasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi dengan Pendekatan Fungsi


Produksi Frontier Stokastik ..................................................................... 261

11. Statistik deskriptif indeks diversitas usahatani di wilayah pesawahan


irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................... 263

12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999 ................. 264

13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................... 265

14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada
solusi optimal .......................................................................................... 274

15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil analisis
pasca optimal perubahan pasokan air irigasi ........................................... 277

xiv
16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Hulu ............................................................................ 278

17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Tengah ........................................................................ 279

18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di
Sub DAS Brantas Hilir ............................................................................ 280

19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ....... 281

xv
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lingkaran permasalahan ketahanan pangan – kemiskinan – pelestarian


lingkungan adalah persoalan klasik. Fenomena yang menarik adalah bahwa di
tengah perubahan lingkungan strategis yang di era globalisasi ini dinamikanya
sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan liberalisasi perdagangan
internasional, permasalahan tersebut merupakan salah satu topik yang banyak
dibahas di forum-forum kerjasama internasional. Hal ini terkait dengan paradoks
yang kini terjadi bahwa di tengah meningkatnya kemakmuran negara-negara maju
ternyata banyak negara-negara kurang berkembang yang semakin terperangkap
dalam lingkaran kemiskinan, pasokan pangan domestik tidak cukup, dan laju
degradasi lingkungan berlangsung semakin cepat. Dalam konteks itu, persoalan
tentang kemampuan suatu negeri untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat
penting karena terkait langsung dengan kebutuhan dasar manusia.

Pasokan pangan sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi. Faktanya,


secara global dari seluruh lahan yang dapat digarap, 18 % atau sekitar 237 juta
hektar diantaranya dimanfaatkan untuk pertanian beririgasi dan menghasilkan
lebih dari 33 % produk pertanian. Dari seluruh areal pertanian beririgasi tersebut,
71 % berlokasi di LDC dimana 60 % diantaranya berlokasi di Asia (Postel, 1994).

Secara historis, sejak pasca perang dunia II upaya sebagian besar negara-
negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan domestiknya ditempuh
melalui investasi pendayagunaan sumberdaya air untuk pertanian secara besar-
besaran. Fenomena yang tampak adalah laju perluasan lahan pertanian beririgasi
berlangsung lebih cepat dari pertumbuhan penduduk. Ini terus berlangsung sampai
tahun 1978. Sejak tahun 1979, laju perluasan lahan irigasi itu cenderung turun,
bahkan dalam periode 20 tahun terakhir ini diperkirakan berkurang sekitar 6 %.
Melambatnya laju perluasan itu menurut Rosegrant and Svendsen (1993)
merupakan akibat simultan dari turunnya investasi pemerintah di bidang irigasi
akibat beban hutang, resistensi politik, meningkatnya biaya riil untuk investasi
irigasi, turunnya harga-harga riil komoditas pangan, dan perluasan perkotaan.
2

Di sebagian besar negara berkembang, melambatnya laju investasi irigasi


disebabkan oleh berkurangnya pinjaman internasional untuk pembangunan irigasi.
Sebagai contoh, dalam periode 1978 – 1992 rata-rata pinjaman World Bank untuk
proyek irigasi turun sekitar 50 % (Wichelns, 1998).

Meningkatnya biaya investasi per unit luas areal irigasi dapat disimak dari
beberapa hasil penelitian berikut. Dalam Sampath (1992) maupun Rosegrant and
Svendsen (1993) dinyatakan bahwa dibandingkan tahun 1970, biaya riil investasi
irigasi di Srilangka menjadi 3 kali lipat; di India dan Indonesia menjadi dua kali
lipat; di Filipina meningkat sekitar 50 %; dan di Thailand sekitar 40 %.

Permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam bidang


penyediaan air untuk pertanian (irigasi) bukan hanya biaya investasi yang makin
mahal, tetapi juga kinerja irigasi yang telah ada ternyata semakin menurun.
Kemunduran kinerja itu disebabkan oleh degradai fungsi infrastruktur dalam
sistem irigasi maupun manajemen operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi.
Degradasi fungsi infrastruktur antara lain disebabkan oleh kerusakan infrastruktur,
sedimentasi di dalam sistem jaringan irigasi, meluasnya tanaman pengganggu di
saluran-saluran distribusi maupun saluran drainase, serta perubahan permukaan air
tanah yang berlebihan. Di sisi lain, seringkali manajemen OP tidak memiliki
kapabilitas yang memadai untuk sekedar mempertahankan kinerja fungsi irigasi
seperti disain semula. Ini disebabkan oleh banyak faktor dan beragam diantaranya:
(1) disain kelembagaan irigasi yang tidak sesuai dengan aspirasi pengguna, (2)
sistem kelembagaan yang tidak efisien karena perilaku free rider dan praktek-
praktek rent seeking, dan (3) degradasi kemandirian komunitas petani dalam
pengelolaan irigasi akibat kooptasi yang berlebihan dari pemerintah dalam
pengembangan irigasi. Degradasi fungsi irigasi tersebut cenderung berlanjut jika
kemampuan petani untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi tidak
dikembangkan. Ini dilatar belakangi fakta bahwa di sebagian besar negara
berkembang, anggaran riil yang dapat disediakan pemerintah untuk membiayai
operasi dan pemeliharaan irigasi semakin menurun (Rosegrant et al, 2002).

Air irigasi merupakan sumberdaya pertanian yang sangat strategis.


Berbeda dengan input lain seperti pupuk ataupun pestisida yang dimensi
3

peranannya relatif terbatas pada proses produksi yang telah dipilih, peranan air
irigasi mempunyai dimensi yang lebih luas. Sumberdaya ini tidak hanya
mempengaruhi produktivitas tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan
komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh
pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga berimplikasi pada strategi
pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas.

Di sisi lain, permintaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,


industri, bahkan juga untuk memelihara keberlanjutan fungsi sumberdaya air itu
sendiri (misalnya penggelontoran sungai), semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perluasan perkotaan.
Dengan demikian kompetisi penggunaan air antar sektor meningkat.

Resultante dari faktor-faktor tersebut adalah meningkatnya kelangkaan air


yang tersedia untuk pertanian. Pemecahan masalah yang diakibatkan oleh
meningkatnya kelangkaan itu membutuhkan pendekatan multi disiplin. Hal ini
disebabkan penegakan hak-hak atas air (water rights) tidak sepenuhnya dapat
dilakukan sehingga pengalokasian secara efisien melalui pendekatan parsial
(misalnya dengan mengandalkan prinsip-prinsip ekonomi saja), seringkali sulit
diimplementasikan, bahkan di negara-negara maju sekalipun (Hellegers, 2002).

Bagi negara-negara berkembang, meningkatnya kelangkaan sumberdaya


air diprediksikan akan menyebabkan turunnya pertumbuhan produksi pangan. Hal
ini disebabkan oleh: (1) makin terbatasnya kemampuan untuk melakukan
perluasan lahan irigasi karena invesatasi irigasi semakin mahal sedangkan
kemampuan anggaran makin terbatas, (2) sumberdaya lahan dan air yang layak
dikembangkan untuk pertanian beririgasi makin terbatas, (3) kebutuhan air untuk
sektor lain (rumah tangga, industri) semakin tinggi sehingga kompetisi
penggunaan antar sektor meningkat, dan (4) pada sistem irigasi yang telah ada,
terjadi kemunduran kinerja manajemen sistem irigasi dalam skala yang luas
(World Bank, 1993; Oi, 1997; Rosegrant et al, 2002).

Banyak pakar berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah tersebut


dibutuhkan adanya perubahan yang cukup mendasar. Diperlukan adanya
modernisasi irigasi (Oi, 1997; Murty, 1997), bahkan diperlukan adanya reformasi
4

irigasi (Rosegrant et al, 2002, Pasandaran, 2005). Pada tingkat ketersediaan


tertentu, produktivitas air irigasi harus ditingkatkan (Molden, 2002; Barker and
Kijne, 2001). Sistem pengelolaan irigasi harus diubah dari karakteristik protektif
ke karakteristik produktif (Wolter and Burt, 1997). Jika disarikan, orientasi dari
semua pendekatan tersebut ternyata konvergen yaitu peningkatan efisiensi irigasi.
Dalam konteks itu sebagian besar pakar menyatakan bahwa peningkatan efisiensi
irigasi dengan mengandalkan pendekatan pengelolaan pasokan (supply
management) tidak lagi memadai. Seiring dengan meningkatnya kelangkaan
sumberdaya air dan kompetisi penggunaan antar sektor, pengelolaan permintaan
(demand management) yang berorientasi pada peningkatan efisiensi semakin
dirasakan urgensinya (Winpenny, 1994; Grimble, 1999; Rosegrant et al, 2002).

1.2. Rumusan Permasalahan

Di Indonesia pada saat ini ada dua agenda pokok permasalahan yang
saling terkait dan perlu segera dipecahkan secara simultan yaitu: (1) peningkatan
efisiensi atau produktivitas irigasi dan (2) peningkatan kemampuan petani untuk
berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Peningkatan
efisiensi irigasi harus dilakukan karena:

1. Air irigasi semakin langka.

2. Potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena yang dicapai


masih sangat rendah.

3. Dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air untuk


kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa penggunaan air
untuk irigasi sangat besar.

4. Perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan dalam
skala yang sangat terbatas.

Peningkatan kontribusi petani untuk membiayai operasi dan pemeliharaan


irigasi terutama di level tertier adalah salah satu program Pembaharuan Kebijakan
Pengelolaan Irigasi (PKPI); dan konvergen dengan arah reformasi irigasi yang
lebih menekankan pada partisipasi dan kemandirian petani. Selain itu juga
merupakan syarat kecukupan untuk keberlanjutan kinerja irigasi yang efisien.
5

Sejak sepuluh tahun terakhir ini kinerja ketersediaan air irigasi semakin
tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang
tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah
yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
1996; Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada
umumnya terlihat dari: (1) pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi
cenderung menyusut dari tahun ke tahun, (2) pada areal yang terairi itu,
ketersediaan air yang cukup di musim kemarau cenderung semakin pendek
rentang waktunya, dan (3) pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi
semakin rentan terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi
adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air
yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya.

Memburuknya kinerja jaringan irigasi selain disebabkan oleh disain


jaringan irigasi yang tidak tepat (Arif, 1996), juga disebabkan oleh sistem operasi
dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau kombinasi dari keduanya (Osmet, 1996).
Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak memadai itu antara lain
disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang tersedia. Sebagaimana dinyatakan
dalam Syarif (2002), meskipun sejak 1987 anggaran yang disediakan untuk
kegiatan O&P mencapai $ 70 – 80 juta/tahun, namun alokasinya sebagian besar
(60-85 %) habis untuk membayar gaji pegawai dan biaya administrasi. Sisanya,
yakni sekitar (15-40 %) pada umumnya hanya cukup untuk membiayai perbaikan-
perbaikan yang bersifat mendesak agar air dapat disalurkan ke tempat yang
memerlukan sehingga pemeliharaan rutin seringkali tidak dapat tercukupi.

Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh


menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin
rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air
(catchment area) yang ternyata sampai saat ini sulit diatasi.

Di Indonesia upaya peningkatan efisiensi irigasi melalui pendekatan


pasokan sudah sering dilakukan misalnya melalui sistem irigasi bergilir, sistem
alir terbatas (low flow management), sistem alir-putus-alir (intermittent), dan
sebagainya. Pendekatan ini masih dapat dilanjutkan dan perlu disempurnakan.
6

Meskipun demikian, mengingat bahwa: (1) air irigasi yang tersedia makin langka,
(2) upaya untuk menambah ketersediaannya semakin sulit, dan (3) kompetisi
penggunaan sumberdaya air antar sektor semakin tinggi, maka pendekatan
tersebut tidak memadai untuk mendorong efisiensi irigasi dan atau produktivitas
irigasi. Pendekatan lain yang diharapkan cukup efektif adalah melalui pengelolaan
permintaan (demand management).

Strategi untuk meningkatkan efisiensi irigasi melalui pendekatan


pengelolaan permintaan dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur pertama adalah
melalui maksimisasi output. Artinya, berbasis pada air irigasi yang tersedia
diupayakan agar diperoleh output atau pendapatan yang maksimal. Jalur kedua
adalah melalui minimisasi input. Artinya, untuk memproduksi sejumlah output
tertentu atau memperoleh sejumlah keuntungan tertentu diupayakan agar kuantitas
air irigasi yang digunakan diminimalkan. Jika sasaran utama efisiensi irigasi
adalah untuk mendukung realokasi air ke sektor lain, maka strategi kedua yang
lebih harus diterapkan. Sebaliknya jika realokasi air irigasi ke sektor lain tidak
mendesak maka strategi pertama yang harus ditempuh. Mengacu pada kondisi
empiris, dapat dinyatakan bahwa bagi Indonesia yang saat ini harus diprioritaskan
adalah efisiensi irigasi melalui strategi maksimisasi. Instrumen untuk mendorong
efisiensi irigasi dan sekaligus juga kondusif untuk meningkatkan kapasitas
pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi dalam pendekatan pengelolaan
permintaan melalui strategi maksimisasi produktivitas itu harus memenuhi
kriteria: (1) sesuai dengan azas pengelolan irigasi partisipatif, dan (2) sistem
kelembagaannya efisien.

Salah satu instrumen yang layak dipertimbangkan adalah penerapan sistem


iuran irigasi berbasis nilai produktivitas marginal sumberdaya tersebut. Dalam
konteks itu ada dua aspek yang secara simultan tercakup yaitu: konsumsi air
irigasi untuk usahatani dan nilai ekonomi air irigasi yang mencerminkan tingkat
kelangkaannya. Pemaduan kedua aspek itu dapat ditempuh melalui penciptaan
sistem iuran irigasi yang besarannya didasarkan atas perkiraan konsumsi air irigasi
dan harga bayangan sumberdaya tersebut. Dengan cara itu, tercipta insentif untuk
menerapkan diversifikasi usahatani ke komoditas pertanian yang lebih hemat air
yang menguntungkan; terutama pada saat air irigasi semakin langka.
7

Penerapan model tersebut membutuhkan kajian melalui pendekatan


normatif maupun positif. Pendekatan normatif berupa valuasi air irigasi untuk
mengetahui nilai produktivitas marginal atau harga bayangan air irigasi yang
selanjutnya dipergunakan untuk merumuskan sistem iuran pelayanan irigasi
berbasis komoditas. Dari pendekatan normatif ini juga dihasilkan pola tanam
optimal, yakni pola tanam yang menghasilkan keuntungan usahatani maksimal.
Prospek penerapan model tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam
mendayagunakan faktor-faktor yang mempengaruhi arah perubahan menuju sosok
normatif tersebut. Faktor-faktor positif (kondusif) maupun yang sifatnya negatif
terhadap peluang pengembangan diversifikasi usahatani dan tingkat partisipasi
petani dalam pembayaran iuran pelayanan irigasi perlu diidentifikasi. Ini dapat
dikaji dengan pendekatan positif berdasarkan kondisi empiris di lapangan.

Secara teoritis sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas potensial


untuk mendorong efisiensi irigasi. Dalam batas-batas tertentu, dengan menerapkan
sistem ini maka jumlah biaya yang harus dikeluarkan petani untuk irigasi adalah
proporsional dengan kuantitas air irigasi yang dipergunakan. Oleh karena itu ada
insentif untuk meningkatkan efisiensi irigasi dan kondusif untuk mendorong
diversifikasi usahatani. Sebaliknya, dengan berdiversifikasi ke komoditas
pertanian hemat air maka biaya irigasi yang harus ditanggung petani juga menjadi
lebih rendah. Jadi, ada hubungan sinergis antara sistem iuran berbasis komoditas
dengan diversifikasi usahatani.

Kerangka hukum (legal framework) yang dianut Indonesia menyatakan


bahwa sumberdaya air dikuasai negara. Konsep pemilikan individual secara penuh
tidak dibenarkan, dan karenanya sistem distribusi air irigasi melalui mekanisme
pasar adalah tidak sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku. Meskipun
demikian bukan berarti bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang
formulasinya didasarkan atas hasil valuasi dengan mengasumsikan berlakunya
mekanisme pasar tidak dapat diterapkan. Formulasi yang dihasilkan dari
pendekatan ini difokuskan untuk memperoleh ukuran kuantitatifnya, sedangkan
kelembagaan penerapannya dapat dikemas dalam bentuk kelembagaan non pasar
agar sesuai dengan kerangka hukum yang dianut.
8

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari kemungkinan penerapan sistem
iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas dan pengembangan diversifikasi
usahatani dalam rangka meningkatkan produktivitas air irigasi serta mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran tersebut.
Secara rinci tujuan penelitian adalah:

1. Melakukan valuasi air irigasi dan optimasi pola tanam di lahan irigasi.

2. Memformulasikan sistem iuran irigasi berbasis komoditas.

3. Mengkaji prospek penerapan iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas


dengan cara tidak langsung melalui estimasi probabilitas petani untuk
berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk


berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.

1.4. Signifikansi Penelitian

Di Indonesia, meningkatnya kelangkaan air irigasi dan implikasinya


terhadap sistem pengelolaan irigasi belum memperoleh perhatian yang memadai.
Selama ini, sebagian besar penelitian empiris yang telah dilakukan pada umumnya
terfokus pada aspek kelembagaan ataupun keteknikan dan orientasinya berkisar
pada perbaikan sistem pengelolaan irigasi berbasis pasokan. Penelitian empiris di
bidang sosial ekonomi tentang peningkatan efisiensi irigasi dengan pendekatan
permintaan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini masih sangat langka.

Dalam penelitian ini, valuasi air irigasi menggunakan salah satu varian
dari Residual Imputation Approach (RIA) yakni Change in Net Income (CINI)
dengan pemrograman matematis. Variasi spatial dan terutama distribusi temporal
ketersediaan dan kebutuhan air irigasi sangat diperhitungkan dalam elaborasi
model. Dengan demikian variasi spatial dan sebaran temporal harga bayangan air
irigasi beserta implikasinya terhadap iuran irigasi berbasis komoditas dapat
diketahui. Selanjutnya, dengan pendekatan positif dilakukan pula analisis faktor-
faktor yang diduga mempengaruhi prospek implementasi sistem iuran tersebut.
9

1.5. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian merupakan implikasi pendekatan yang digunakan


dan sejumlah penyederhanaan yang secara langsung maupun tidak langsung
sangat terkait dengan ketersediaan data. Keterbatasan yang dimaksud adalah:

1. Keterbatasan yang terkait dengan implikasi dari pendekatan yang digunakan


untuk valuasi air irigasi dengan pemrograman linier dimana harga-harga
masukan maupun harga keluaran usahatani diperlakukan sebagai variabel
eksogen. Secara teoritis, model non linier dengan memperlakukan harga-harga
tersebut sebagai variabel endogen mungkin lebih sesuai dengan dunia empiris.

2. Keterbatasan yang muncul sebagai implikasi dari pendekatan normatif dan


bersifat deterministik sehingga pengaruh acak dari kesalahan pengukuran
ataupun galat yang sifatnya stokastik tidak dapat dikaji dengan baik.

3. Keterbatasan yang terkait dengan penyederhanaan tujuan petani. Pemodelan


didasarkan atas asumsi bahwa tujuan petani adalah tunggal yaitu
memaksimumkan keuntungan usahatani; padahal sangat mungkin tujuan
petani dalam berusahatani adalah bersifat jamak.

4. Keterbatasan yang terkait dengan ruang lingkup dalam pemodelan dimana


faktor yang diperhitungkan mempengaruhi ketersediaan dan permintaan air
irigasi hanya curah hujan. Pengaruh alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan
lain (industri, kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya) tidak diperhitungkan.

5. Keterbatasan yang terkait dengan disagregasi kebutuhan maupun ketersediaan


air irigasi yaitu: (1) disagregasi spatial disederhanakan hanya menjadi tiga sub
wilayah irigasi, dan (2) disagregasi temporal adalah bulanan. Secara teoritis,
hasil estimasi akan lebih akurat jika tingkat disagregasi lebih rinci.

6. Keterbatasan yang terkait dengan agregasi komoditas. Basis pengagregasian


komoditas difokuskan pada keserupaan komoditas dalam konteks kebutuhan
tanaman terhadap air irigasi. Implikasinya, mungkin ada sifat-sifat khusus
lainnya yang secara teoritis terabaikan.

7. Keterbatasan yang terkait dengan cakupan komoditas. Dalam penelitian ini,


komoditas ternak dan ikan tidak tercakup.
10

1.6. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan positif. Dari


pendekatan normatif akan dihasilkan tiga informasi penting yaitu: harga bayangan
air irigasi, iuran irigasi berbasis komoditas, dan pola tanam optimal. Dari
pendekatan positif akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi.

Harga bayangan air irigasi bukan hanya berguna untuk menentukan


besaran dari iuran irigasi berbasis komoditas. Dalam konteks yang lebih luas,
pengetahuan tentang nilai (kelangkaan) ekonomi air irigasi sangat dibutuhkan oleh
pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Bagi pemerintah, dapat dimanfaatkan
dalam merumuskan kebijaksanaan pengelolaan irigasi khususnya maupun
sumberdaya air pada umumnya. Bagi petani ataupun masyarakat pada umumnya,
pengetahuan tentang nilai kelangkaan air irigasi dapat meningkatkan apresiasi
terhadap sumberdaya ini sehingga kondusif untuk mewujudkan sistem
pemanfaatan yang sesuai dengan azas-azas efisiensi dan kelestarian.

Selain kondusif untuk meningkatkan produktivitas air irigasi, penerapan


iuran irigasi berbasis komoditas juga sangat potensial untuk meningkatkan
kemampuan Organisasi Petani Pemakai Air (P3A) dalam membiayai operasi dan
pengelolaan irigasi. Oleh karena itu sesuai untuk menjawab tantangan yang
dihadapi P3A dalam era pembaharuan pengelolaan irigasi.

Sesuai dengan makna yang terkandung dalam konsep pola tanam,


informasi tentang pola tanam optimal menyajikan sosok normatif tentang
komoditas pertanian apa, kapan, seberapa banyak, dan dimana sebaiknya
diusahakan. Selain itu, pola tanam optimal juga bermanfaat sebagai acuan dalam
evaluasi kondisi aktual sehingga arah perbaikan menjadi lebih jelas.

Hasil identifikasi faktor-faktor yang kondusif untuk partisipasi petani


dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi dapat dimanfaatkan untuk
merumuskan strategi penerapan iuran berbasis komoditas. Dalam konteks yang
lebih luas, informasi tersebut berguna dalam perumusan program pengembangan
diversifikasi usahatani dan atau peningkatan produktivitas air irigasi.
11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi


Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian

Perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya air merupakan salah


satu topik yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai implikasi
yang sangat serius terhadap strategi pembangunan pertanian, khususnya sub sektor
pangan. Hal ini disebabkan: (1) sektor pertanian merupakan pengguna terbesar
sumberdaya air, dan (2) pengembangan sumberdaya air untuk pertanian
merupakan determinan dari keberhasilan pengembangan produksi pangan.
Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara-
negara berkembang dalam memacu pasokan pangan bagi penduduknya ditentukan
oleh ekskalasi pendayagunaan sumberdaya air, khususnya pengembangan irigasi
yang terjadi sejak revolusi hijau mendunia (Rosegrant and Svendsen, 1993;
World Bank, 1982; Gleick, 1998; Gleick, 2000; Johansson, 2000).

Latar belakang perubahan paradigma terkait dengan upaya menghindari


skenario buruk dari arah perkembangan yang mungkin terjadi apabila
kecenderungan permintaan dan ketersediaan air tetap seperti sekarang ini
(business as usual). Rosegrant and Hazell (2000) menyatakan bahwa tanpa adanya
perubahan yang nyata dalam pengelolaan irigasi, penyediaan pangan di negara-
negara berkembang akan sangat rawan karena pasokan air untuk pertanian akan
terus berkurang. Hal itu juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini
kemampuan memitigasi anomali perilaku iklim masih belum handal sehingga
banjir dan kekeringan masih merupakan salah satu ancaman paling nyata terhadap
usahatani (Bouman, 2003; Katumi et al, 2002; Molden, 2002).

2.1.1. Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya

Diperkirakan bahwa ketersediaan air tawar terbarukan (renewable fresh


water - RFW) di bumi ini adalah sekitar 47000 Km3/tahun. Dari jumlah itu,
sekitar 41000 Km3 diantaranya potensial untuk dieksploitasi/didayagunakan.
Kebutuhan manusia saat ini berkisar antara 38 – 64 % dari jumlah potensial
tersebut (Gleick, 1998). Walaupun dalam jangka panjang berbagai kemajuan
12

teknologi memungkinkan peningkatan persentase air yang dapat diekstraksi,


diperkirakan bahwa RFW yang tersedia secara relatif tidak akan mengalami
perubahan yang sangat besar. Sementara itu populasi dunia yang pada tahun 1998
adalah sekitar 5.93 milyar, diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 8.039
milyar dan pada tahun 2050 akan mencapai 9.367 milyar jiwa (World Resources
Institute, 1998). Berdasarkan angka-angka itu diperkirakan air tawar yang tersedia
pada tahun 1998, 2025 dan 2050 adalah sekitar 6 918, 5 103 dan 4 380 m3 per
orang per tahun; yang berarti pasokan air per kapita akan semakin berkurang.

Rata-rata kebutuhan minimum air tawar di negara maju adalah sekitar


1000 m3/tahun. Dengan teknologi dan manajemen yang sangat canggih (seperti di
Israel misalnya), bagi negara-negara di wilayah semi-arid kebutuhan itu dapat
ditekan menjadi 500 m3/kapita/tahun (Gleick, 1998). Angka 500 m3/kapita/tahun
merupakan standard minimal untuk kehidupan (Seckler et al, 1998).

Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal
itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran
curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar.
Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah
permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan
musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat.
Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum
memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang
cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik.

Diduga perubahan perilaku iklim itu disebabkan oleh peningkatan suhu


global yang terkait dengan fenomena efek rumah kaca (greenhouse gases) akibat
meningkatnya konsentrasi CO2, gas Methane, Nitrous Oxide, dan CFC-11.
Beberapa pakar menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi dan durasi El Nino
berkaitan dengan meningkatnya suhu global (Trenberth and Hoar, 1996). Pada
sektor pertanian, El Nino berdampak negatif karena mengacaukan proses dan
siklus produksi pertanian. Secara umum anomali perilaku iklim cenderung
berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan karena kemampuan untuk
mengantisipasi dan memitigasi anomali tersebut pada umumnya kurang memadai.
13

Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi
sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi
antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan
pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu
di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin
kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick,
1998; Postel, 1994).

Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia
di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai
2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan
akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050
ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di
Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang
berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998).

Di Indonesia, berkurangnya ketersediaan air tawar juga semakin nyata.


Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk pertanian
seperti di Nusa Tenggara Timur dan beberapa kabupaten di bagian selatan Pulau
Jawa sering terjadi. Di beberapa wilayah pedesaan, kegagalan panen akibat
kekeringan semakin sering terjadi dan dalam lima belas tahun terakhir kekurangan
air irigasi di musim kemarau cenderung semakin dini (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 1996). Meluasnya areal irigasi yang keandalan
pasokannya menurun juga tampak dari ekskalasi kekeringan akibat pengaruh El
Nino, seperti pada kejadian tahun 1997 yang menyebabkan produksi padi anjlok.

Prediksi Soenarno dan Syarif (1994) menunjukkan bahwa secara agregat


air yang tersedia pada tahun 1995 diperkirakan masih lebih tinggi dari pada
kebutuhan (122 697 versus 63 720 juta m3/tahun). Akan tetapi jika ditelaah lebih
lanjut ternyata ada 3 tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah mengalami
defisit (kebutuhan lebih tinggi dari ketersediaan) yaitu di DAS Cisadane-Ciliwung
(3 406 vs 4 471 juta m3/tahun), DAS Citarum Hilir (6 619 vs 7 670 juta m3/tahun),
dan DAS Brantas Hilir (4 637 vs 4 788 juta m3/tahun). Kajian tersebut juga
membuat pemilahan DAS utama di Jawa berdasarkan tingkat kekritisan sumber
14

air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh
kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS
termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori
sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman.

Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri
utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum –
minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun
surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat
22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada
tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya
terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah
sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada
tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16
DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah
adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa
Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa
Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4).

Degradasi sumberdaya air tidak hanya teramati dari menurunnya fungsi


sungai, tetapi juga menyangkut kondisi air tanah (groundwater). Di beberapa
lokasi yang intensitas penggunaan pompa irigasinya sangat padat (Nganjuk,
Jombang, Kediri), derajat interferensi sumur pompa dengan sumur penduduk
semakin meningkat. Di perkotaan, debit dan mutu air sumur penduduk semakin
menurun. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebagaimana sering
diberitakan di berbagai media massa, lebih dari 80 % sumur penduduk telah
tercermar bakteri E. Colli. Di Bandung, seretnya aliran air PDAM di musim
kemarau dan semakin dalamnya permukaan air sumur sudah sejak lama diketahui.
Di Kalimantan, pada Musim Kemarau di beberapa kawasan Sungai Barito dan
Sungai Sampit semakin sering dijumpai adanya beberapa perahu yang kandas
karena susut volume air sungai melampui ambang batas normal. Kesemuanya itu
menunjukkan bukti-bukti bahwa ketersediaan sumberdaya air semakin langka.
15

2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air

Air adalah unsur pendukung utama dasar kehidupan. Eksistensi makhluk


hidup tergantung pada sumberdaya ini sehingga peranannya sangat strategis.
Secara historis, ketersediaan sumberdaya air merupakan salah satu determinan
pertumbuhan ekonomi dan wilayah. Dalam konteks ini, peranan sungai sangat
besar. Ketika eksploitasi sumberdaya alam belum intensif, sungai merupakan
pemasok kebutuhan air paling dominan. Di masa lampau, ketika kondisi debit air
sungai masih normal, cukup banyak sungai yang berfungsi pula sebagai jalur
transportasi yang murah. Oleh sebab itu secara historis lokasi-lokasi pusat
pertumbuhan ekonomi ataupun pusat-pusat peradaban di masa lampau seringkali
berada di dekat sungai. Di era modern, meskipun konstelasi nilai dalam
pembangunan peradaban mengalami perubahan, sumberdaya air masih tetap
berperan besar sebagai determinan keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyak
contoh menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara agraris
menghindarkan diri dari ekskalasi kelaparan ditentukan oleh keberhasilan
investasi dalam pengembangan sumberdaya air (irigasi).

Peran strategis sumberdaya air tampak pula dari keterkaitannya yang


sangat erat dalam kancah konflik. Secara historis, perebutan sumberdaya air sering
menjadi obyek pemicu konflik. Sebaliknya, dalam rangka melumpuhkan lawan,
(prasarana) sumberdaya air sering dijadikan sasaran penghancuran. Beberapa
kasus menonjol dapat disimak misalnya dalam Gleick (1998) sebagai berikut.
Dalam penggal waktu antara 3000 SM – 323 SM tercatat ada 15 peristiwa konflik
antar negara ataupun antar komunitas yang melibatkan kekuatan militer.
Kemudian sejak abad XV – sekarang tercatat ada 37 peristiwa konflik. Dari
jumlah itu terdapat 28 peristiwa konflik yang melibatkan kekuatan militer baik
dalam bentuk perang (23 kasus) maupun sekedar manuver ancaman (5 kasus).

Berpijak dari fenomena tersebut, masuk akal jika pengelolaan sumberdaya


air menjadi salah satu agenda yang penting dalam mendukung perdamaian dunia,
karena di dunia ini terdapat ratusan daerah aliran sungai yang bersifat lintas
negara (international river basin – IRB) dari yang hanya melibatkan dua atau tiga
negara sampai yang melibatkan lebih dari 10 negara. Pada saat ini tercatat ada 261
16

IRB (Wolf et al, 1999 dalam Gleick, 2000). Jumlah IRB terbanyak adalah di
Benua Afrika. Dari keseluruhan IRB, terdapat 19 IRB dimana jumlah negara
pemanfaatnya lebih dari 5 negara per IRB tersebut. Sebagai ilustrasi, di Benua
Asia terdapat 5 IRB dengan karakteristik seperti itu yakni: Tarim yang cakupan
wilayahnya meliputi suatu kawasan sangat luas yang otoritasnya berada di 7
negara yang berbeda (China, Kyrgizstan, Pakistan, Tajikistan, Kazakhstan,
Afganistan, dan India); Ganges/Brahmaputra/Meghna yang mencakup wilayah
yang termasuk dalam 6 negara (India, China, Nepal, Bangladesh, Buthan, dan
Myanmar); Jordan (Jordania, Israel, Syria, West Bank, Lebanon, dan Mesir);
Tigris-Euphrat/Shatt al Arab (Irak, Turki, Iran, Syria, Jordan, dan Saudi Arabia);
Mekong (Laos, Thailand, China, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar).

Paradigma yang berkembang pada masa yang lampau, yakni ketika


kelangkaan dan degradasi sumberdaya air belum menampakkan sosoknya; adalah
bagaimana mengembangkan rekayasa teknik-sosial-budaya dalam rangka
mengeksploitasi sumberdaya air sedemikian rupa sehingga kebutuhan terpenuhi.
Muatan dimensi lingkungan dalam strategi investasi pengembangan sumberdaya
air sangat kurang, dan pendekatannya seringkali mengabaikan prinsip-prinsip
demokrasi. Fokus sasaran pengembangan adalah bagaimana memaksimalkan
keuntungan ekonomi secara agregat dan cenderung bersifat jangka pendek.
Strategi pendayagunaan sumberdaya air yang tercipta dari paradigma seperti itu
termanifestasikan secara jelas dalam perencanaan, pengoperasian dan
pemeliharaan dam-dam raksasa dan sistem irigasi skala besar yang menjadi trend
di hampir semua negara berkembang bersamaan dengan berlangsungnya revolusi
hijau. Secara ringkas, paradigma tersebut mendorong pengembangan sumberdaya
air berbasis pengelolaan pasokan (supply management)

Secara empiris, pendekatan pengelolaan pasokan tersebut berhasil


mendorong pertumbuhan produksi pangan secara dramatis sehingga dalam waktu
yang relatif pendek beberapa negara berhasil mencapai swasembada pangan. Akan
tetapi setelah 2 – 4 dasawarsa kemudian, beberapa dampak negatif mulai muncul.
Secara teknis pengembangan dam-dam besar dan sistem irigasi skala besar
mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dalam arsitektur
hamparan (landscape), perubahan drastis dalam habitat alami, dan dalam kasus-
17

kasus tertentu terjadi pemindahan komunitas setempat secara paksa. Di sisi yang
lain, keberhasilan peningkatan produksi pangan yang terfokus pada jenis-jenis
komoditas pangan tertentu (terutama beras) mendorong pula terjadinya perubahan
menu konsumsi masyarakat yang berujung pada meningkatnya ketergantungan
yang terlampau tinggi pada komoditas tertentu dan kurang terdiversifikasi. Pada
akhirnya yang terjadi – terutama di negara berkembang – adalah perlombaan
antara laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan laju pertumbuhan pasokan;
dimana laju pertumbuhan pasokan semakin melambat seiring dengan degradasi
fungsi dam-dam tersebut sebagai akibat dari terabaikannya prinsip-prinsip
pelestarian. Di beberapa negara berkembang di wilayah arid dan semi-arid dam-
dam raksasa dan sistem-sistem irigasi skala besar itu fungsinya semakin tidak
memadai; dan karenanya manfaat investasi tidak sesuai harapan semula (Postel
1992 dalam Gleick, 1998).

Di masa mendatang pengembangan sistem irigasi besar dengan dukungan


dam-dam raksasa semakin tidak populer. Alasannya adalah investasi yang
dibutuhkan sangat besar, sementara itu berbagai keberatan yang berkaitan dengan
efektivitas pembiayaannya, masalah lingkungan, dan gejolak sosial yang timbul
akibat pemindahan komunitas lokal tampaknya terlampau kuat untuk dipatahkan
oleh argumen yang berpijak pada manfaat ekonomi yang diharapkan dapat
dipetik. Dengan kata lain, semakin sulit untuk memperoleh bantuan pinjaman dari
lembaga donor internasional apabila suatu negara mengembangkan investasi di
bidang sumberdaya air dengan orientasi seperti masa lampau yang umumnya
kurang mengedepankan aspek pelestarian lingkungan dan prinsip demokrasi.

Dalam berbagai forum seminar internasional, sederetan dampak negatif


tersebut semakin banyak didiskusikan bersamaan dengan meluasnya wacana
tentang hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan perlunya pelestarian lingkungan
di tengah situasi liberalisasi perdagangan. Hasil-hasil diskusi kemudian ditindak
lanjuti dengan berbagai studi empiris di berbagai negara yang dibiayai oleh
lembaga-lembaga dana internasional. Rekomendasi yang dihasilkan dari berbagai
studi tersebut adalah perlunya mengubah paradigma pendayagunaan sumberdaya
air. Maka sejak paruh kedua dasawarsa 90-an era baru dalam pendayagunaan
sumberdaya air semakin menampakkan sosoknya.
18

Pada prinsipnya, paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air


adalah bagaimana mendayagunakan sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan
cara mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam, hak-hak asasi
manusia, demokrasi, dan efisiensi sedemikian rupa sehingga kemakmuran dan
keadilan yang tercipta dapat dinikmati oleh semua; untuk generasi sekarang dan
generasi mendatang.

Dalam paradigma baru, kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan


prinsip hak-hak asasi manusia dilandasi pertimbangan bahwa air merupakan unsur
utama pendukung kehidupan sehingga akses tiap individu terhadap air harus dapat
dijamin. Komitmen tersebut semakin relevan pula untuk mengkondisikan
perdamaian mengingat secara empiris di dunia ini terdapat ratusan IRB.
Penegasan prinsip demokrasi dan pelestarian sumberdaya alam merupakan
konsekuensi logis dari sistem pengelolan sumberdaya alam yang berkelanjutan,
sedangkan efisiensi merupakan jawaban terhadap meningkatnya kelangkaan.

Upaya-upaya memasyarakatkan paradigma baru tersebut kepada


masyarakat global tidak dapat dipisahkan dari suatu deklarasi yang disebut
"Dublin Principle". Pada Bulan Januari 1992, sekitar 500 wakil dari 100 negara,
80 LSM internasional dan berbagai organisasi non pemerintah lainnya bertemu di
Dublin, Irlandia dalam rangka persiapan Earth Summit di Rio de Janeiro, Bulan
Juni 1992. Pada waktu itu dirumuskan empat pedoman yang terkenal dengan
nama "Dublin Principle" yakni: (1) Fresh water is a finite and vulnerable resource,
essential to sustain life, development and environtment, (2) Water development and
management should be based on a participatory approach, involving users, planners
and policy-makers at all levels, (3) Women play a central part in the provision,
management and safeguarding of water, and (4) Water has an economic value in all
its competing uses and should be recognized as an economic goods.

Pada Bulan Agustus 1996 setelah melalui proses panjang sejak beberapa
tahun sebelumnya, 9 lembaga internasional sepakat membentuk The World Water
Council (WWC). Kesembilan lembaga internasional tersebut adalah: International
Water Resources Association (IWRA), International Commision on Irrigation and
Drainage (ICID), Canadian International Development Agency (CIDA), The
19

World Bank (WB), International Association on Water Quality (IAWQ),


International Water Supply Association (IWSA), United Nations Development
Programme (UNDP), The World Conservation Union (WCU), dan The Water
Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC).

Markas besar WWC adalah di Marseilles, Perancis. Lembaga ini dirancang


untuk berfungsi sebagai "the world's water-policy thinktank". Salah satu keluaran
yang telah dihasilkan forum pertemuan WWC adalah "Vision for Water, Life, and
the Environtment" yang sasarannya adalah untuk melakukan analisis dan
pengintegrasian berbagai aktivitas terkait yang mempengaruhi kehidupan manusia
dan ekosistemnya dan dimaksudkan untuk opsi-opsi kebijakan yang berkenaan
dengan pemantapan ketahanan pangan melalui aquakultur, lahan kering, dan
pertanian beririgasi, penyediaan pasokan air dan jasa sanitasi, pengelolaan
sumberdaya air untuk fungsi-fungsi ekonomi termasuk produksi listrik, dan
proteksi lingkungan termasuk kawasan pantai dan lahan basah.

Sebenarnya, lahirnya Dublin Principle terkait pula dengan berbagai


konferensi tentang perlunya memperlakukan air sebagai barang ekonomi yang
sejak awal 90-an cukup banyak dibahas para pakar ekonomi sumberdaya di
berbagai forum internasional. Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut. Second
World Water Forum (SWWF 2000) menekankan bahwa analisis tentang nilai air
sangat penting sebagai salah satu acuan dalam alokasi air antar pengguna yang
berkompetisi. Konferensi internasional tentang air dan lingkungan (International
Conference on Water and the Environment – ICWE) di Dublin pada Bulan Januari
1992 mengemukakan bahwa sangat rendahnya kesadaran tentang nilai air
merupakan salah satu sebab terjadinya kerusakan pendayagunaan sumberdaya dan
lingkungan (ICWE, 1992). Terkait dengan itu The United Nations Conference on
Environment and Development pada Bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro juga
menggaris bawahi bahwa peranan air sebagai suatu sumberdaya ekonomi dan
sosial seharusnya tercermin dari mekanisme pengelolaan kebutuhan akan
sumberdaya tersebut. Lembaga internasional lain seperti World Bank (1993)
maupun FAO (1994) juga menekankan pentingnya perubahan strategi
pendayagunaan sumberdaya air yang lebih menekankan pada peningkatan
efisiensi penggunaan dalam kerangka pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
20

2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi

Dalam lingkup global, hasil kajian Shiklomanov (1998) menyebutkan


bahwa pada tahun 1995 dari total penyadapan (withdrawal) sebesar 3765
Km3/tahun, sekitar 66 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian. Jika ditinjau
dari sisi penggunaannya (consumptive use), maka dari total penggunaan sekitar
2329 Km3/tahun, 86 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian1. Laju
pertumbuhan kebutuhan sektor non pertanian yang lebih tinggi dari sektor
pertanian (terutama untuk kebutuhan rumah tangga memperoleh prioritas utama)
dalam 25 tahun menyebabkan pangsa sektor pertanian memang mengalami sedikit
penurunan. Meskipun demikian, Shiklomanov memprediksi bahwa penyadapan
dan penggunaan sektor pertanian masih akan mencapai 60 – 83 %. Estimasi
Seckler et al (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1990 penggunaan air oleh
sektor pertanian adalah sekitar 2084 Km3/tahun dan akan mencapai 3376
Km3/tahun; tetapi jika dapat dilakukan peningkatan efisiensi irigasi secara
signifikan maka dapat ditekan menjadi 2432 Km3/tahun.

Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air
permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal
dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan
dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri
dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah
(subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air
(groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi
dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir)
dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai.
Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya
distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian
memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.

1
Ada tiga istilah penting dalam konteks penggunaan air: water use, withdrawal, dan consumption use.
Interpretasinya (Gleick, 1998) sebagai berikut. Water use merupakan istilah umum untuk penggunaan air, jadi
dapat berupa withdrawal, gross water use, ataupun consumptive use. Withdrawal mengacu pada kegiatan
penyadapan air dari suatu sumber untuk disimpan ataupun digunakan. Consumption use mengacu pada
penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan untuk berlangsungnya suatu proses atau kegiatan sedemikian
rupa sehingga pemanfaatan kembali (reuse) dari (sebagian) air tersebut tidak dapat terjadi dengan segera.
21

Meskipun hasil estimasi para pakar bervariasi, tetapi ada 2 kesimpulan


umum yang konvergen (Seckler et al, 1998; Shiklomanov, 1998). Pertama,
penggunaan air masih belum efisien dan lebih rendah dari rata-rata agregat.
Kedua, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (50 – 90 %) dan
diperkirakan masih akan tetap dominan sampai seperempat abad ke depan.

Para pakar dari International Water Management Institute (IWMI)


mengemukakan bahwa salah satu strategi yang efektif untuk meningkatkan
efisiensi irigasi agar produksi pangan dapat ditingkatkan meskipun sumberdaya
air semakin langka adalah dengan cara meningkatkan produktivitas air irigasi
(Molden 1997; Molden et al, 2001; Barker and Kijne 2001). Gerakan "more crop
per drop" yang dicanangkan oleh International Water Management Institute
(IWMI) merupakan salah satu bentuk sosialisasi pendekatan tersebut di atas.
Selain itu, diperlukan pula tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menghemat air
yang tersedia misalnya dengan cara recycling, perbaikan kehandalan pasokan
(reliability in supplies), irigasi tepat jumlah dan tepat waktu (precision on
irrigation), aplikasi irigasi berbiaya murah di lahan tadah hujan (low-cost
precision irrigation technologies for rain-fed areas), serta adanya dukungan
kebijaksanaan, institusi dan sistem insentif untuk efisiensi irigasi (International
Water Management Institute – IWMI, 2000).

Selain instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pelaku


pengguna air irigasi berupaya meningkatkan efisiensi irigasi, upaya mewujudkan
peningkatan produktivitas air irigasi membutuhkan pula perbaikan teknologi di
bidang agronomi maupun pengelolaan irigasi. Di bidang agronomi, langkah-
langkah yang perlu ditempuh antara lain adalah: (1) perbaikan varietas tanaman,
terutama penciptaan dan penerapan varietas genjah unggul berdaya hasil tinggi,
(2) perbaikan pola tanam, dengan cara mengutamakan komoditas tanaman pangan
hemat air, dan (3) perbaikan teknik budidaya yang mencakup perbaiki pengolahan
tanah, pemupukan, serta pemberantasan gulma dengan teknik yang
memungkinkan konsumsi air lebih rendah. Di bidang pengelolaan air, langkah-
langkah yang diperlukan adalah: (1) irigasi tepat waktu, (2) teknik irigasi yang
efisien, misalnya dengan cara mengurangi praktek irigasi alir (flow irigation) atau
dengan cara mengembangkan furrow irrigation, sprinkkler irrigation, maupun
22

drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai
ekonomi bernilai tinggi.

Kini pakar-pakar internasional di bidang pangan dan irigasi semakin


tertarik melakukan pengkajian tentang prospek pemanfaatan jenis-jenis tanaman
yang hemat air sebagai sumber pangan masa depan. Dalam konteks demikian itu,
usahatani padi konvensional cenderung menjadi inferior karena dengan teknologi
yang selama ini diaplikasikan, termasuk kategori boros air. Beberapa hasil
penelitian, misalnya Pimental et al. (1997) dan Tuong and Bhuiyan (1994)
menyebutkan bahwa untuk menghasilkan 1 Kg padi, dibutuhkan air 1900 – 5000
liter. Angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan kebutuhan air untuk kentang,
gandum, dan jagung yang masing-masing hanya berkisar pada 500 – 1500, 900 –
2000, dan 1000 – 1800 liter.

Salah satu implikasi pokok perubahan paradigma pendayagunaan


sumberdaya adalah perlunya penyesuaian kebijaksanaan dan strategi
pengembangan atau pengelolaan sumberdaya tersebut. Ini membutuhkan sejumlah
pembaharuan yang seringkali bersifat sangat mendasar karena menyentuh
langsung pilar-pilar pokok kerangka hukum (legal framework) yang selama ini
dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu proses penyesuaian/pembaharuan
tersebut tidak mudah dilakukan. Sejumlah resistensi muncul karena khawatir
pembaharuan – yang secara empiris memang disponsori oleh lembaga-lembaga
internasional dan para pakar dari negara penganut paham liberal/kapitalis – itu
pada akhirnya bermuara pada kepentingan kaum kapitalis.

Di Indonesia proses pembahasan pembaharuan kerangka hukum


pengelolaan sumberdaya air juga telah dirintis sejak awal dasawarsa 90-an.
Sampai tahun 1997 pembahasan konsep pembaharuan tersebut tidak mengalami
kemajuan yang berarti, tetapi sejak tahun 1998 – seiring dengan reformasi politik
dan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi melanda negeri ini – pembahasan
dan perumusan konsep pembaharuan tersebut mengalami kemajuan nyata. Dengan
adanya INPRES No. 3/1999, secara formal pembaharuan kebijakan pengelolaan
irigasi dicanangkan; yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 77/2001. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529
23

tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI)


kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayan P3A.

Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah
kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya
sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini
tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan
keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat
dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001,
orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian
organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu,
dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan
petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat.
Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan
kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait
dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini.

Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang
berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi
kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai.
Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut
implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut.
Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang
merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai.

Secara umum dapat dikatakan adanya perubahan mendasar pada PP


77/2001 jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yakni PP 23/1982,
terutama yang berkenaan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan irigasi yang
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan petani (pasal 2 dan
pasal 6 ayat 2). Pasal-pasal ini juga menunjukkan bahwa orientasi pengelolaan
irigasi tidak lagi untuk mendukung swasembada beras semata, tetapi sudah
mengantisipasi munculnya diversifikasi tanaman seperti juga ditekankan dalam
penjelasan umum PP 77/2001.
24

Jika pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang


dimaksud dalam PP 77/2001 terwujud maka karakteristik irigasi akan berubah dari
irigasi protektif ke arah irigasi produktif. Perbedaan karakteristik antara irigasi
protektif dengan irigasi produktif adalah sebagai berikut (Wolter and Burt, 1987):

Tipe pengelolaan sistem irigasi


Unsur pembeda
Irigasi protektif Irigasi produktif
1. Tujuan Menyelamatkan tanaman dari Optimum kecukupan air
kekurangan air akibat untuk budidaya tanaman
penyimpangan cuaca
2. Azas manajemen Pemerataan perolehan air di Nilai produktivitas lahan
irigasi seluruh petak yang dilayani yang memperoleh layanan
irigasi
3. Tanaman yang Tanaman pangan sebagai Tanaman niaga yang
dibudidayakan bagian dari subsistence farming dibutuhkan pasar
4. Orientasi produksi Kepastian usahatani Produksi optimal
(keuntungan maksimum)
5. Status air irigasi Sebagai peredam risiko dalam Sebagai modal usahatani
proses produksi dan sarana produksi
6. Sistem manajemen Penyebaran air di seluruh petak Pemberian air dengan
yang dikehendaki layanan produk-tivitas usahatani
yang optimal
7. Hak atas air dan Jatah pasokan ditentukan oleh Jatah pasokan air
keadilan (equity) volume maksimum untuk ditentukan oleh nilai
menghindari gagal panen manfaat

Dalam PP 77/2001, upaya untuk mewujudkan good governance for


irrigation ditempuh dengan melakukan pembagian peran yang lebih jelas antara
pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah terdiri dari 4 fungsi yaitu: (1)
sebagai regulator, (2) sebagai enabler, (3) sebagai fasilitator, dan (4) apabila
masyarakat belum atau tidak mampu untuk melakukannya dapat bertindak sebagai
penyedia barang dan jasa secara terbatas. Pelaksanaan manajemen irigasi bergeser
dari joint management pemerintah – petani menjadi manajemen provisi dimana
petani menjadi pelaku utama. Kesimpulannya, pada PP 77/2001 ini orientasi untuk
lebih memberdayakan petani dalam pengelolaan irigasi telah dikondisikan dalam
aturan main yang lebih jelas.
25

2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan

Secara umum prinsip utama dari strategi pengembangan produksi pangan


yang sesuai dengan paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah
bahwa pertumbuhan produksi pangan akan berkelanjutan (sustainable) jika
ketersediaan sumberdaya air juga sustainable; dan pendayagunaannya dilandasi
filsafat bahwa air itu langka, setiap individu berhak memperoleh air, dan
karakteristik intrinsik air tunduk kepada hukum-hukumnya secara mandiri
(hidrologi). Dimensi yang tercakup dalam aspek keberlanjutan adalah kuantitas,
kualitas, waktu, dan tempat. Dalam paradigma baru, tidak sesuai lagi menerapkan
pandangan bahwa air harus didayagunakan sesuai dengan kebutuhan usahatani.
Pandangan yang relevan adalah seraya mempertimbangkan tuntutan pasar
produksi pertanian, usahatani harus menyesuaikan diri dengan ketersediaan air.

Bagi Indonesia urgensi reformulasi strategi pengembangan produksi


pangan bukan sekedar mengikuti trend penyesuaian terhadap perubahan
paradigma, tetapi sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari cara
pemecahan permasalahan empiris. Menyimak kondisi empiris, butir-butir
permasalahan pokok yang dihadapi Indonesia di bidang pangan saat ini maupun
masa mendatang adalah sebagai berikut. Pertama, pada sisi permintaan terlihat
bahwa kebutuhan pangan terus meningkat dan ketergantungan terhadap beras
masih sangat tinggi. Mengacu pada data SUSENAS, rata-rata konsumsi beras
dalam periode 10 tahun terakhir adalah sekitar 125 Kg/kapita/tahun. Diversifikasi
konsumsi pangan sumber karbohidrat belum mencapai sasaran yang diharapkan
karena: (1) diversifikasi justru mengarah pada gandum, (2) untuk golongan
menengah ke bawah meningkatnya pendapatan diiringi pula peningkatan
konsumsi beras per kapita. Kedua, di sisi pasokan terjadi kemunduran laju
pertumbuhan. Hal ini dapat disimak misalnya pada Rosegrant et al (1997), Dillon
et al (1999), Simatupang (2000), Sawit (2001), BAPPENAS – USAID (2000),
BAPPENAS (2001a) dan BAPPENAS (2001b). Salah satu kesimpulan dari
terbitan tersebut antara lain menyebutkan bahwa sejak dasawarsa terakhir
kapasitas negeri ini dalam menyediakan pangan secara mandiri cenderung turun.
Ketiga, ketersediaan sumberdaya air sebagai kendala pengembangan produksi
padi makin nyata. Insiden banjir di musim hujan maupun kekeringan di musim
26

kemarau semakin sering dan secara agregat luasannya meningkat (Sumaryanto


dan Friyatno, 1999). Selain merupakan akibat dari perilaku iklim yang makin sulit
diprediksi, hal ini disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor berikut: (1) degradasi
daerah tangkapan air akibat kerusakan hutan, (2) menyusutnya ruang-ruang retensi
air, (3) menurunnya fungsi sungai, (4) implementasi tata ruang cenderung kurang
mempedulikan aspek pelestarian lingkungan.

Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor yaitu pertambahan areal


panen dan peningkatan produktivitas. Berdasarkan data empiris, kajian
Simatupang (2000) maupun Dillon et al (1999) menyimpulkan bahwa dalam
dasawarsa terakhir ini terjadi kemandegan dalam peningkatan produktivitas.
Dalam kaitan ini, mengingat prospek perluasan areal tanam melalui
pengembangan areal pesawahan baru (new construction) sangat terbatas maka
perlu diupayakan peningkatan intensitas tanam dan minimisasi puso melalui
penerapan pola tanam yang optimal.

Peran penting irigasi dalam pertumbuhan produksi pangan nasional dapat


disimak dari kontribusinya dalam memproduksi pangan maupun peran relatifnya
dalam pertumbuhan produksi pangan. Lebih dari 90 % produksi padi nasional
berasal dari lahan pertanian beririgasi (sawah). Hasil studi World Bank (1982)
menyimpulkan bahwa kontribusi irigasi terhadap laju kenaikan produksi padi di
Indonesia selama kurun waktu 1972 – 1981 tak kurang dari 16.5 %; dan bersama-
sama dengan faktor-faktor input utama (varietas unggul, pupuk buatan, pestisida)
secara simultan kontribusinya mencapai 75 %. Menyimak perkembangan yang
terjadi dalam dua dekade terakhir, diduga kuat fenomena tersebut tidak
mengalami perubahan yang berarti, sehingga ketersediaan air irigasi masih tetap
merupakan determinan dari pasokan pangan domestik.

Dalam jangka panjang, strategi penyediaan pangan dalam rangka


mewujudkan ketahanan pangan yang mantap harus disesuaikan dengan paradigma
baru dalam pendayagunaan sumberdaya air sebagaimana disebut di atas. Strategi
yang harus ditempuh adalah: seraya tetap mendorong pertumbuhan produksi padi
dengan penggunaan air irigasi secara efisien, diversifikasi pertanian khususnya
pangan harus lebih diprioritaskan. Dalam konteks itu, kebijakan pemerintah untuk
27

mendorong berkembangnya sistem pertanian komersial sangat diperlukan. Ini


dapat ditempuh misalnya melalui pengembangan infrastruktur pedesaan,
peningkatan aktivitas penelitian dan pengembangan komoditas pertanian bernilai
ekonomi tinggi, peningkatan akses petani terhadap kapital, dan sebagainya
(Pingali and Rosegrant, 1995). Sudah barang tentu realisasinya membutuhkan
sejumlah intervensi pemerintah yang bahwa untuk mewujudkannya membutuhkan
waktu yang panjang karena keberhasilan diversifikasi pangan mensyaratkan
pendekatan dari sisi pasokan maupun permintaan secara simultan.

Pada hakekatnya, ketahanan pangan yang berkelanjutan pada komunitas di


wilayah tropika memang memerlukan diversifikasi pangan sebagai salah satu
pilar. Secara alamiah (fitrah), wilayah tropika ditakdirkan kaya keanekaragaman
hayati: lebih banyak species, tetapi populasi massive per jenis species lebih
sedikit. Oleh sebab itu, suatu sistem pendayagunaan yang mengakibatkan
dominasi suatu species secara eksesif berpotensi mengganggu keseimbangan
ekosistem dan dapat berakibat munculnya hambatan permanen dalam
mengoptimalkan sumberdaya lingkungan untuk memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa yang berguna bagi kehidupan dalam arti luas.

Keberhasilan diversifikasi pangan mengandung makna mendekatkan diri


dengan kondisi alamiah wilayah tropika. Berkurangnya konsumsi beras per kapita
bukan hanya mengurangi kebutuhan air untuk pertanian, tetapi juga mempunyai
implikasi meluasnya persediaan lahan untuk pangan karena spektrum pangan
meluas – status lahan tadah hujan sebagai lumbung pangan meningkat karena
dalam pola konsumsi pangan yang lebih terdiversifikasi, anggota gugus pangan
bertambah banyak.

Meskipun diversifikasi pangan perlu dikembangkan, peningkatan produksi


padi juga harus tetap dilakukan. Dalam hal ini ada dua opsi penting yang harus
ditempuh: (1) pengembangan padi lahan kering/gogo, (2) peningkatan
produktivitas padi sawah. Pengembangan padi lahan kering perlu didukung
penelitian pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk memperoleh varietas yang
rasanya lebih enak dan produktivitasnya lebih tinggi, dan teknik budidaya yang
lebih baik. Dalam pengembangan padi sawah terdapat tiga aspek penting yang
28

perlu diperhatikan: (1) pada saat ketersediaan air tidak langka (musim hujan), pola
mina-padi perlu memperoleh prioritas pengembangan (dengan demikian
produktivitas air meningkat), (2) efisiensi irigasi harus ditingkatkan, dan (3)
eksistensi lahan sawah produktif harus dipertahankan.

Upaya untuk mempertahankan eksistensi lahan sawah diwujudkan melalui


pengendalian atau meminimalkan alih fungsi (konversi) lahan sawah ke
penggunaan non pertanian. Hal ini dilandasi pengalaman empiris bahwa alih
fungsi lahan sawah tidak hanya menyebabkan menciutnya areal pesawahan yang
tersisa, tetapi dampak rambatannya adalah terjadinya degradasi kualitas sawah di
sekitarnya dan terjadinya percepatan laju alih fungsi lahan sawah tersebut secara
agregat (Sumaryanto et al, 1996; Sumaryanto and Suhaeti, 1997; Sumaryanto dan
Sudaryanto, 2005). Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah dibutuhkan law
enforcement yang memadai dalam implementasi kebijaksanaan tata guna lahan
yang telah ada selama ini secara tegas dan konsisten.

Dalam jangka panjang, pembangunan areal pesawahan yang baru (new


construction) memang perlu dilakukan. Berdasarkan kondisi empiris, hal itu
hanya dapat dilakukan di Luar P. Jawa. Namun perlu digaris bawahi bahwa
pendekatan yang diperlukan tidak sama dengan pola pengembangan yang lalu.
Dari sudut pandang pembiayaan, pengembangan irigasi skala besar dengan
dukungan dam-dam raksasa tidak prospektif. Pembangunan dam-dam raksasa
akan populer hanya jika sifat multipurpose-nya sangat menonjol, aspek pelestarian
lingkungan dikedepankan, dan keseluruhan proses pembangunannya (sejak
perencanaan) dilakukan melalui pendekatan partisipatif seluruh lapisan
masyarakat secara demokratis. Tanpa pemenuhan kondisi tersebut sulit
memperoleh dukungan dari lembaga keuangan internasional. Untuk dam-dam
raksasa yang telah ada, mengingat investasi untuk membangunnya sangat mahal
maka upaya peningkatan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan harus secara
simultan dapat dimaksimalkan.

Dalam jangka pendek – menengah perbaikan kinerja irigasi sangat urgen


karena secara empiris pada saat ini banyak jaringan irigasi yang kinerjanya sangat
rendah jika dibandingkan dengan disain awal. Padahal keberlanjutan fungsi sawah
29

ditentukan oleh kinerja irigasi. Turunnya kinerja irigasi antara lain terlihat dari
semakin pendeknya ketersediaan air yang cukup di musim kemarau dan rentannya
hamparan sawah terhadap bahaya banjir di musim hujan. Penyebab utamanya
adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air
yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya. Memburuknya
kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh: (1) disain jaringan irigasi yang tidak
tepat, (2) sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau (3) kombinasi
dari keduanya (Arif, 1996 dan Osmet, 1996). Sementara itu turunnya pasokan air
yang menjadi sumber untuk irigasi disebabkan oleh degradasi fungsi sungai
maupun daerah tangkapan air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan


Efisiensi Irigasi Melalui Pendekatan Pengelolaan Permintaan

Seperti di kemukakan di atas, untuk mengantisipasi meningkatnya


kelangkaan air irigasi ada dua strategi yang dapat ditempuh yaitu: (1) melalui
pengelolaan pasokan (termasuk pengembangan prasarana baru) dan (2) melalui
pengelolaan permintaan dengan cara mengoptimalkan penggunaan air irigasi.
Ketika air semakin terbatas, pendekataan pengelolaan permintaan perlu
digalakkan karena dipandang lebih memadai (Winpenny 1994; Hellegers 2002).

Instrumen yang dapat dimainkan dalam pendekatan pengelolaan


permintaan tergantung pada kerangka perundang-undangan (legal framework)
yang dianut. Secara teoritis, dalam komunitas petani yang menganut sistem
pertanian komunal terkomando, dapat ditempuh melalui pengaturan pola tanam
dengan sistem jatah. Keberhasilan sistem kelembagaan seperti itu sangat
tergantung pada keberhasilan menegakkan aturan bagi anggota kelompoknya (law
enforcement). Kelemahan pendekatan ini adalah: (1) sulit diimplementasikan pada
wilayah irigasi yang sangat luas, terlebih-lebih jika konfigurasi hamparan yang
tercakup dalam sistem layanan irigasi melibatkan berbagai kelompok masyarakat
tani yang kulturnya beragam, (2) tingkat efisiensi yang dapat dicapai sangat
tergantung pada ketepatan disain pola tanam dan dukungan prasarana fisik, dan
(3) kurang populer di era demokrasi karena pola ini dianggap kurang aspiratif.
30

Instrumen lain yang banyak dibahas para pakar adalah dengan


menciptakan insentif untuk melakukan efisiensi dengan penetapan harga air
(water pricing – untuk selanjutnya dalam penelitian ini disingkat WP).
Sebagaimana dinyatakan dalam Johansson (2000), salah satu cara memperbaiki
alokasi, efisiensi, dan mendorong konservasi penggunaan air irigasi adalah
melalui penetapan harga air ("Water pricing, wether by administrative mandate or
by market force, is an important way to impprove water allocations and to
encourage conservation"). Secara teoritis, WP dapat dimanfaatkan untuk
mendukung tujuan (Unver and Gupta, 2002):

1. Finansial: untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi dan menutup


(sebagian) modal investasi.
2. Efisiensi: mendorong alokasi sumberdaya ke penggunaan yang lebih
produktif.
3. Pemerataan: potensial untuk mereduksi senjang distribusi pendapatan.

Fungsi WP untuk mengkondisikan pemerataan pendapatan masih banyak


diperdebatkan. Molle (2002) cenderung skeptis karena "user pays principle" yang
merupakan landasan penerapan WP dapat berdampak buruk bagi petani miskin.
Akan tetapi ia sependapat bahwa WP kondusif untuk meningkatkan produktivitas
air irigasi maupun realokasi air irigasi ke usahatani komoditas hemat air.

Upaya penerapan WP sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi


irigasi terkait pula dengan keinginan untuk mengakhiri kesalahan persepsi tentang
nilai ekonomi air. Selama ini air dinilai terlalu rendah sehingga pemanfaatannya
boros – water is consistenly undervalued, and as a result is chroniclly overused
(Postel, 1992; World Bank, 1993; Asian Development Bank – ADB, 2000).

Secara empiris, efektivitas WP untuk mendorong efisiensi penggunaan air


di sektor domestik dan industri adalah sangat berbeda jika dibandingkan dengan di
sektor pertanian (irigasi). Di sektor domestik dan industri peningkatan harga air
pada umumnya efektif untuk mendorong penghematan konsumsi air (Dinar and
Subramanian, 1997). Di sektor pertanian performanya berbeda. Penerapan WP di
sektor pertanian dapat dikatakan masih dalam perjalanan awal dan sosok
perkembangannya di berbagai negara juga beragam beragam. Beberapa penelitian
dari IFPRI (International Food Policy Research Institute) dan beberapa penelitian
31

yang disponsori oleh Bank Dunia di beberapa negara di Amerika Selatan, Asia
Tengah, Asia Selatan, Afrika Tengah, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa
penegakan hak-hak atas air yang ditindak lanjuti dengan kajian penentuan harga
air (water pricing) ternyata dapat diimplementasikan dan cukup efektif untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi (Johansson, 2000). Di sisi lain,
beberapa studi empiris juga menunjukkan sejumlah hambatan yang dihadapi
dalam aplikasi WP. Sebagai ilustrasi, penelitian Gomez-Limon and Berbel (2000)
di tiga lokasi di Spanyol memperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya biaya
irigasi akibat penerapan WP menyebabkan pendapatan petani turun sehingga
penerapannya mengalami hambatan. Penelitian Ray (2002) di India kawasan barat
memperoleh kesimpulan bahwa peningkatan biaya irigasi akibat penerapan WP,
karena tidak diikuti oleh peningkatan harga komoditas pertanian, mengalami
hambatan politis. Di Mesir, penerapan WP dengan metode volumetric pricing
memang berhasil menurunkan penggunaan air irigasi sebesar 15 %, tetapi
pendapatan petani juga turun 25 % sehingga tidak dapat berkembang karena
dianggap tidak realistis (Perry, 1996). Pelajaran penting yang dapat dipetik dari
hasil-hasil studi tersebut adalah bahwa penerapan water pricing harus
mempertimbangkan aspek yang lebih luas. Secara historis, nilai-nilai yang
tercakup dalam pengembangan sumberdaya air untuk pertanian memang berbeda
dengan apa yang terjadi pada sektor non pertanian. Penerapan water pricing harus
dikemas dalam bentuk kelembagaan yang dapat menampung aspirasi masyarakat
luas karena terkait dengan aspek-aspek sosial, budaya, bahkan aspek politik
sehingga cenderung sensitif (Varela-Ortega et al 1998; Hellegers, 2002).

Terdapat beberapa metode WP yang dapat diterapkan, antara lain:


volumetric pricing, output pricing, per unit area, tiered pring, two-part tariff, dan
betterment levy (Boss and Walter, 1990; Tsur and Dinar, 1997). Dalam volumetric
pricing, biaya air yang harus dikeluarkan didasarkan pada volume air yang
dikonsumsi. Pada output pricing, biaya air ditentukan oleh kuantitas output yang
dihasilkan dari penggunaan air tersebut. Sesuai dengan istilahnya, pada metode
per unit area, dasar perhitungannya adalah luas garapan usahatani yang
menggunakan air irigasi. Metode tiered pricing adalah suatu multi-rate volumetric
pricing dimana harga air per unit volume bervariasi jika volume air yang
32

dikonsumsi melebihi suatu ambang batas tertentu. Pada two-part tariff, biaya air
terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap pertahun yang dikenakan untuk hak
penggunaan air, dan pungutan air yang didasarkan pada didasarkan pada harga
marginal yang tetap untuk setiap unit volume air yang dikonsumsi. Dalam metode
betterment levy, biaya air dipungut per area dimana nilainya didasarkan atas
peningkatan nilai lahan akibat adanya irigasi.

Tingkat kemudahan untuk mengimplemantasikan skim (pricing scheme)


dan mengontrol permintaan dari masing-masing metode tersebut berbeda.
Perbandingan antar metode tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut
(Boss and Walter, 1990):

Kemampuan untuk
Skim harga (pricing scheme) Implementasi
mengontrol permintaan
Volumetric pricing Sulit Mudah
Output pricing Relatif mudah Relatif mudah
Per area pricing Paling mudah Sulit
Tiered pricing Relatif sulit Relatif mudah
Two-part tariff Relatif sulit Relatif mudah
Betterment levy Relatif sulit Sulit

Secara teoritis metode yang paling efektif untuk meningkatkan efisiensi


penggunaan air adalah volumetric pricing. Jelas bahwa penerapan metode ini
membutuhkan peralatan yang dapat digunakan untuk mengontrol volume sampai
di tingkat pengguna/konsumen dan dari sudut pandang kelembagaan
dimungkinkan berlakunya mekanisme pasar. Oleh karena itu pada sistem irigasi
permukaan penerapannya sangat terbatas, bahkan hampir mustahil. Metode ini
dapat diterapkan pada sistem irigasi yang distribusinya menggunakan sistem
saluran tertutup dan secara teknis volume maupun wilayah layanan mudah
dikontrol. Contoh populer adalah pada sistem irigasi pompa. Pada sistem irigasi
pompa, volume konsumsi air irigasi dapat ditaksir dari debit (discharge) dikalikan
jangka waktunya (jam pemompaan) dan biasanya luas areal layanan irigasi
(command area) relatif kecil.
33

Secara empiris metode water pricing yang paling luas diterapkan di bidang
irigasi adalah per unit area (area basis). Hasil penelitian Boss and Walter (1990) di
beberapa negara menunjukkan bahwa pada wilayah irigasi seluas sekitar 12.2 juta
hektar (agregat dari beberapa negara), lebih dari 60 % menerapkan per unit area,
25 % menggunakan volumetric pricing, dan sekitar 15 % menerapkan kombinasi
kedua metode tersebut. Fenomena seperti itu masih terjadi sampai sekarang,
terutama di negara-negara berkembang (Rosegrant et al, 2002).

Sampai saat ini penentuan biaya irigasi yang dibebankan kepada petani di
Indonesia didekati dari sisi penyediaan (supply management) yang didasarkan
pada sistem pengelolaan kemitraan (joint management) pemerintah – petani
sebagaimana yang dimaksudkan dalam PP 23/1982. Kerangka pemikirannya
adalah sebagai berikut. Dengan sasaran akhir petani dapat membiayai operasi dan
pemeliharaan (OP) irigasi secara mandiri maka petani (melalui Perkumpulan
Petani Pemakai Air – P3A) dilatih ikut menanggung biaya OP irigasi di petak
tertier. Untuk itu di wilayah irigasi yang investasi pembangunannya disponsori
oleh pemerintah (irigasi teknis) dan kinerja irigasinya baik, diberlakukan Iuran
Pelayanan Air Irigasi (IPAIR). Jumlah IPAIR per hektar adalah sama dengan
biaya OP di petak tertier ditambah dengan biaya pengumpulannya kemudian
dibagi dengan luas layanan irigasi dalam petak tertier tersebut. Nilai IPAIR/hektar
bervariasi antar daerah. Pada awal perkembangan (1987 – 1992) IPAIR yang
dibebankan ke petani adalah berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 12 000/hektar. Sejak
tahun 1995/1996 meningkat menjadi Rp. 18 000 – Rp. 24 000/hektar.

Pengelolaan dana IPAIR dikoordinasikan oleh Dinas Pengairan. Biasanya


digunakan untuk menambah biaya perbaikan jaringan irigasi (di level tertier) yang
rusak dan memerlukan perbaikan mendesak. Penentuan jumlah maupun lokasi
sasaran dilakukan oleh pemerintah (melalui Dinas Pengairan). Dalam praktek,
jumlah IPAIR yang terkumpul ternyata jauh dari memadai jika dibandingkan
dengan total biaya yang dibutuhkan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi.

Dalam praktek, biaya irigasi yang ditanggung petani tidak hanya IPAIR.
Terdapat sejumlah biaya irigasi lainnya seperti iuran P3A, iuran desa (yang
terkait dengan usahatani padi), dan (kadang-kadang) biaya irigasi yang sifatnya
34

informal. Bahkan sebagian petani yang kebutuhan airnya tak dapat dipenuhi dari
irigasi permukaan harus mengeluarkan pula biaya tambahan untuk irigasi pompa.

Pada dasarnya, IPAIR termasuk kategori per area pricing. Kelemahan


mendasar dari pola pembiayaan OP irigasi di level tertier dengan pendekatan
seperti tersebut di atas adalah:
1. Tidak ada insentif untuk menggunakan irigasi secara efisien.
2. Mekanisme kontrol dalam pengelolaan IPAIR tidak efektif.
3. Tidak ada insentif bagi P3A untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam
pembiayaan OP irigasi.
4. Hanya efektif diterapkan di petak-petak tertier yang kinerja irigasinya baik.

Sesuai dengan PP 77/2001 telah dikemukakan bahwa di masa mendatang


kapabilitas P3A untuk membiayai OP irigasi di petak tertier harus ditingkatkan.
Selain itu, P3A juga dihadapkan pada: (1) perkembangan sistem usahatani yang
semakin berdiversifikasi (secara normatif P3A memang harus mengembangkan
diversifikasi usahatani agar pendapatan usahatani meningkat), dan (2) karena air
irigasi akan semakin langka maka penggunaannya harus semakin efisien. Oleh
karena itu perlu diciptakan sistem pungutan air irigasi (water charging) yang
sesuai. Ini dapat didekati dengan metode pemberlakuan harga air (water pricing)
yang aplikasinya disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku.

2.3. Valuasi Air Irigasi

Secara teoritis, sistem pungutan pelayanan air irigasi yang kondusif untuk
mendorong efisiensi penggunaan air irigasi dapat diciptakan dengan menerapkan
"user's pay principle" (Tiwari and Dinar, 2000). Untuk itu langkah awal yang
harus ditempuh adalah melakukan valuasi yakni suatu upaya yang ditujukan untuk
mengestimasi harga1 sumberdaya tersebut. Valuasi memiliki dua sisi mata uang:
di satu sisi, mensyaratkan berlakunya asumsi bahwa obyek yang dikaji dapat
didekati dengan ilmu ekonomi; di sisi lain mempunyai implikasi bahwa hasil
valuasi relevan untuk menyusun kebijaksanaan di bidang ekonomi yang terkait.

1
Valuation: 1. the act of process of valuing, 2. the estimated or determined market value of a
thing, 3. judgment or appreciation of worth or character (Webster's Ninth New Collegiate
Dictionary).
35

Menurut Young (1996) terdapat tiga pendekatan yang lazim digunakan


untuk melakukan valuasi air atau mengestimasi nilai ekonomi air yaitu: (1)
residual imputation approach (RIA), (2) hedonic approach (HA), dan (3) the
alternative cost approach (ACA). Kesesuaian penerapan masing-masing
pendekatan tersebut tergantung pada substansi permasalahan yang dihadapi.

RIA merupakan metode pendekatan yang sering digunakan, meskipun


tidak berarti sesuai untuk semua keadaan. Prinsip metode ini adalah mengestimasi
harga bayangan (shadow pricing). Dalam RIA, incremental contribution setiap
input dalam proses produksi harus ditentukan. Jika harga-harga semua masukan
yang digunakan dapat teridentifikasi (ada pasarnya) kecuali satu – air irigasi,
maka sisa dari nilai produk diperhitungkan sebagai residual input (Heady, 1952).

Pendekatan kedua yakni HA lebih sesuai diaplikasikan jika faktor-faktor


yang mempengaruhi perilaku penawaran dan permintaan air irigasi relevan untuk
mengukur willingness to pay (WTP). Ini merupakan salah satu bentuk dari
pendekatan valuasi non-market secara tidak langsung (Fauzi, 2004). Metode ini
lebih lazim diterapkan pada kajian permintaan air untuk kebutuhan konsumtif,
ataupun pada valuasi air dalam konteks lingkungan; bukan untuk permintaan air
sebagai intermediate goods. Jika diaplikasikan dalam valuasi air irigasi, aplikasi
metode HA didekati melalui estimasi harga lahan sehingga disebut "land value
approach" (Young, 1996). Ini dapat dilakukan jika pasar lahan di lokasi yang
diteliti cukup kompetitif sehingga perbandingan nilai lahan yang diderivasikan
dari penggunaan lahan untuk tiap sektor perekonomian dapat diidentifikasi dengan
baik dan meyakinkan (reliable).

Pendekatan ketiga yakni ACA didasarkan pada sudut pandang bahwa WTP
untuk suatu barang atau jasa publik tidak lebih besar daripada biaya yang
dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa tersebut apabila menggunakan
proses atau teknologi yang lain (alternatif). Pendekatan ini paling sesuai
diaplikasikan dalam valuasi air untuk proyek pengembangan sumberdaya air yang
bersifat sasaran ganda atau multipurpose water projects (Young, et al, 1982).
Aplikasi pendekatan ini membutuhkan data dan informasi yang sangat lengkap.
36

Dari argumen tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang


paling sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah RIA. Beberapa penelitian
yang relatif baru seperti Tsur et al (2002) maupun Berbel and Gomez-Limon
(2000) pada dasarnya juga menerapkan pendekatan seperti itu.

Derivasi RIA memerlukan dua postulat pokok. Pertama, keseimbangan


kompetitif mensyaratkan harga-harga sumberdaya (masukan) sama dengan nilai
marginal produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, produsen diasumsikan
memaksimalkan laba. Kedua, dengan asumsi bentuk fungsi produksinya adalah
fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale) maka terpenuhi syarat
bahwa total nilai produk dapat dibagi habis oleh sumbangan dari masing-masing
masukan sehingga setiap masukan "dibayar" menurut produktivitas marginalnya
(memenuhi teorema Euler).

Ilustrasi ringkas adalah sebagai berikut. Misalkan dalam suatu proses


produksi pertanian, untuk menghasilkan suatu produk Y dipergunakan masukan:
modal (K), tenaga kerja (L), masukan lain (R) dan air irigasi (W). Maka fungsi
produksi tersebut dapat dituliskan:
Y  f ( K , L, R, W ) (1)
Dengan asumsi pasar masukan dan keluaran bersaing sempurna, harga
diasumsikan tetap (given). Berdasarkan postulat kedua tersebut di atas maka:

TVPY = (VMPK x QK) + (VMPL x QL) + (VMP R x QR) + (VMPW x Q W) (2)

dimana TVP adalah total nilai produk, VMPK, VMPL, VMPR, VMPW masing-
masing adalah nilai produk marginal K, L, R, dan W; sedangkan Q merupakan
kuantitas masing-masing input tersebut. Dengan postulat pertama, maka
TVPY  ( PK  QK )  ( PL  QL )  ( PR  QR )  PW  QW (3)
Dengan demikian, harga air irigasi dapat ditentukan sebagai berikut:

PW * 
TVPY  ( PK  QK )  ( PL  QL )  ( PR  QR ) (4)
QW
Salah satu varian pendekatan RIA adalah metode perubahan pendapatan
bersih (change in net income - CINI). Ini merupakan pengembangan lebih lanjut
dari metode RIA yang lazim pula disebut "the Valuation of Productivity Change"
37

atau VPC (Young, 1996). Dengan metode CINI estimasi harga air dari proses
produksi multi-product dengan multi input mudah dilakukan.

Misalkan Y adalah vektor keluaran komoditas-komoditas yang diusahakan


dan X adalah vektor masukan yang digunakan, dan P adalah harga-harga masukan
dan keluaran. Dengan asumsi bahwa petani adalah price taker maka pendapatan
bersih (Z) yang diperoleh dari pengusahaan seperangkat jenis komoditas dapat
dipresentasikan:

   
m n
Z   Yi*  Pyi  X i*  Pxj (5)
i 1 j 1

dan perubahan pendapatan bersih adalah:


 Z  Z1  Z0 (6)

dimana 'subscript' 0 dan 1 menunjukkan status ketersediaan air. Z menunjukkan


tambahan surplus ekonomi yang diperoleh dari status 0 ke status 1.

Dalam aplikasi CINI dibutuhkan sejumlah a priori judgment terutama


menyangkut: (a) luas usahatani per jenis tanaman, (b) respon tanaman terhadap
penggunaan air, dan (c) teknologi distribusi air yang digunakan. Ini diperlukan
agar model yang dikembangkan tidak menghasilkan solusi yang "artificial" –
dalam arti jauh sekali dari realitas (Young, 1996). Itu dapat dilakukan melalui
pemahaman kondisi empiris yang berkaitan dengan pola pengusahaan komoditas
secara komprehensif.

2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi

Dari pembahasan di atas tampak bahwa dalam valuasi air irigasi dalam
pengembangan model water-crop production function (w-cpf) merupakan langkah
pertama yang harus ditempuh. Dalam konteks itu muncul dua jenis permasalahan
konseptual berikut. Pertama, berkaitan dengan kelengkapan daftar masukan yang
digunakan dalam proses produksi. Semakin banyak jumlah variabel (masukan)
yang tidak terikutkan dalam model maka hasil valuasi semakin bias ke atas
(overstated). Ketidak lengkapan jumlah variabel yang dicakup dalam model
umumnya terjadi manakala pendekatan jangka pendek (short run) digunakan
untuk merepresentasikan kondisi jangka panjang (long run) sehingga masukan
38

yang seharusnya bersifat variabel diasumsikan bersifat tetap. Masalah kedua


berkaitan dengan akurasi pendugaan respon tingkat output terhadap jenis masukan
tertentu (Young, 1996).

Selain kedua permasalahan tersebut, kesulitan yang dihadapi dalam


pengukuran empiris penggunan air irigasi juga mengakibatkan spesifikasi peranan
air dalam fungsi produksi tidak dapat ditentukan. Pada sistem irigasi permukaan
(surface irrigation) dengan teknik alir-genang (flow irrigation), petani tidak
pernah mengukur kuantitas air yang digunakan dalam usahataninya sehingga
pengumpulan data melalui metode survey sosial ekonomi tidak dapat ditempuh.
Oleh sebab itu, para peneliti umumnya lebih menyukai estimasi w-cpf melalui
percobaan (experimental production function). Dengan pendekatan ini respon
produksi terhadap tingkat penggunaan air irigasi dapat diketahui dengan tepat.

Bouman dan Tuong (2000) berdasarkan suatu meta analysis terhadap


sejumlah hasil penelitian (lebih dari 30) menyimpulkan bahwa respon produksi
padi terhadap air merupakan suatu fungsi "negative exponential growth" dengan
bentuk persamaan:  
YA  YP  1  e   (W W0  , dimana YA adalah produktivitas
aktual, YP adalah produktivitas potensial yaitu produktivitas yang dicapai pada
kondisi air tidak merupakan pembatas, W adalah tingkat penggunaan air (mm),
W0 adalah ambang batas penggunaan air (no-yield water application threshold),
dan  adalah efisiensi penggunaan air semula (initial water use efficiency). Perlu
dicatat bahwa produksi pada YP tidak sama dengan evapotranspirasi padi, karena
produksi optimal padi masih memerlukan adanya tambahan air untuk
penggenangan pada tahap-tahap tertentu pertumbuhannya. Bentuk hubungan yang
lain adalah seperti yang dikemukakan dalam Dinar and Letey (1996) maupun
Rosegrant et al (2000) dalam studinya di Maipo River Basin di Chile sebagai
berikut:
  w   w 
YA  YP  a0  a1  i   a 2  ln  i 
  Emax   Emax 

dimana wi menunjukkan air yang meresap (infiltrated water), Emax adalah


evapotranspirasi maksimum, sedangkan a 0 , a 1 , dan a2 adalah koefisien dugaan.
39

2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI

Metode kuantitatif yang lazim digunakan untuk mengetahui hubungan


antara produksi dan tingkat penggunaan masukan dapat berupa pendekatan
ekonometrik ataupun pendekatan pemrograman matematis. Jika data kuantitatif
produksi dan seluruh masukan yang digunakan dalam proses produksi tersedia dan
handal (reliable), dan model ekonometrik yang dikembangkan tepat sehingga
hampir semua variasi perilaku produksi dapat diterangkan dengan baik oleh
variasi variabel penjelasnya maka hasil estimasi harga air melalui pendekatan
ekonometrik adalah lebih baik karena merupakan pendekatan positif. Kesulitan
aplikasi model ekonometrik untuk pendugaan respon produksi terhadap air irigasi
terkait dengan dua faktor berikut:

1. Data tentang kuantitas air yang digunakan dalam proses produksi pada
umumnya hanya dapat diperoleh dari percobaan. Oleh karena itu sulit digali
dari survey sosial ekonomi.

2. Secara empiris, ketersediaan air tidak hanya mempengaruhi produktivitas


usahatani tetapi juga mempengaruhi spektrum komoditas yang diusahakan.
Akibatnya, himpunan komoditas yang akan dihasilkan sulit dispesifikasikan
karena selalu berubah seiring dengan perubahan kuantitas air yang tersedia.

Pendekatan dengan pemrograman matematis (mathematical programming,


MP) dapat mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh peranan ganda dari air
irigasi seperti itu (butir 2). Kelebihan lain dari pendekatan dengan pemrograman
matematis terletak pada: (1) fleksibilitasnya dalam mengakomodasikan tujuan
penggunaan sumberdaya yang dilandasi motivasi yang bersifat ganda dan multi
dimensi, dan (2) elegansinya untuk menginkorporasikan implikasi dari distribusi
spatial dan temporal air irigasi (Hazell and Norton, 1986; Rae, 1994). Bahkan
dalam Young (1996) dinyatakan bahwa pemrograman matematis juga memiliki
keunggulan dalam situasi dimana terdapat suatu keragaman dalam aplikasi
teknologi untuk masing-masing aktivitas. Keterbatasan utama pendekatan ini
adalah merupakan pendekatan normatif, dan bersifat deterministik sehingga
pengaruh acak dari kesalahan pengukuran ataupun galat yang sifatnya stokastik
tidak dapat dikaji dengan baik.
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Air adalah sumberdaya vital yang dibutuhkan untuk mendukung


kehidupan. Oleh karena itu, kebutuhan air akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya penduduk, perkembangan ekonomi, dan perkembangan peradaban.
Di sisi lain meskipun pada hakekatnya kuantitas air di bumi adalah tetap, akan
tetapi ketersediaan air yang layak dikonsumsi semakin langka. Meningkatnya
kelangkaan yang dialami oleh setiap individu/kelompok individu bervariasi
tergantung pada waktu dan tempat karena distribusi spatial dan temporal dari air
yang tersedia maupun kebutuhan bervariasi. Meningkatnya kelangkaan juga
dipercepat oleh terjadinya degradasi lingkungan di wilayah-wilayah tangkapan air
maupun kerusakan sarana/prasarana pendayagunaan air. Jadi secara umum dapat
dikatakan bahwa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
industri, pembangkit listrik, aktivitas sosial, dan irigasi semakin langka.

Secara teoritis, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah kelangkaan sumberdaya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan
sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu, peningkatan efisiensi irigasi mempunyai
peran yang sangat strategis karena:
1. Sektor pertanian merupakan pengguna terbesar (lebih dari 80 %) sehingga
dampaknya terhadap keseluruhan sektor pengguna air sangat tinggi.
2. Secara teoritis peluang peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor
pertanian cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai
masih rendah (kurang dari 70 %).

Peningkatan efisiensi irigasi dapat ditempuh melalui dua pendekatan


secara parsial maupun secara simultan yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan
(supply management), dan (2) melalui pengelolaan permintaan (demand
management). Secara historis, selama ini pendekatan yang digunakan adalah
pengelolaan pasokan (sistem gilir, intermittent, low flow management, dan
sebagainya). Akan tetapi pendekatan pengelolaan saja tidak memadai. Seiring
dengan makin ketatnya kompetisi penggunaan antar sektor dan meningkatnya
41

kelangkaan air irigasi, pendekataan pengelolaan permintaan dipandang lebih


efektif untuk menjawab permasalahan (Winpenny 1994; Hellegers 2002).

Sebagaimana dinyatakan di muka, penelitian ini difokuskan untuk


memformulasikan dan menentukan besaran iuran irigasi berbasis komoditas yang
diharapkan efektif sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.
Selanjutnya, agar hasil penelitian mempunyai kemampuan penerapan yang lebih
baik maka dilakukan pula kajian tentang prospek penerapan sistem iuran tersebut.

Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jumlah iuran irigasi yang
ditanggung petani terdiri dari dua komponen yaitu:

1. Komponen utama/pokok yang nilainya kurang lebih setara dengan nilai air
irigasi yang digunakan dalam usahatani. Perhitungannya didasarkan atas
perkiraan volume kebutuhan air irigasi masing-masing komoditas tersebut
dikalikan harga bayangan air irigasi. Oleh karena itu nilainya bervariasi antar
jenis komoditas, antar wilayah maupun antar waktu karena: (1) harga
bayangan air irigasi antar tempat dan antar waktu bervariasi, (2) air irigasi
yang dibutuhkan untuk setiap tanaman bervariasi.

2. Komponen penunjang yaitu biaya pelayanan irigasi yang nilai per hektarnya
tetap (area based) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan petani
dalam rapat pleno P3A. Komponen penunjang diperuntukkan sebagai
insentif pengumpulan iuran irigasi. Jumlah komponen penunjang harus lebih
kecil daripada komponen pokok, karena secara teoritis semakin kecil nilai
komponen penunjang maka semakin besar efek komponen pokok untuk
mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.

Volume air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani ditentukan oleh: (1)
jenis atau kelompok jenis komoditas, (2) periode pengusahaan, dan (3) adanya
pasokan air dari sumber lain, terutama curah hujan. Kebutuhan air antar
komoditas pertanian berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi berbeda, (2) adanya
perbedaan kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan bahkan untuk
jenis komoditas tertentu (misalnya padi) membutuhkan penggenangan. Pada jenis
komoditas yang sama, air yang dibutuhkan juga tidak sama jika periode
pengusahaannya berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi dipengaruhi oleh
42

temperatur dan kelembaban udara, dan (2) adanya perbedaan kebutuhan air antar
fase pertumbuhan tanaman.

Secara teoritis, harga bayangan air irigasi ditentukan oleh kelangkaannya.


Semakin langka, semakin tinggi nilainya. Pada hakekatnya kelangkaan adalah
suatu ukuran relatif dalam arti ditentukan oleh perbandingan relatif antara
kebutuhan terhadap ketersediaan. Dalam kondisi optimal, jika kebutuhan lebih
tinggi daripada ketersediaan sehingga seluruh air irigasi yang tersedia terpakai
habis maka harga bayangannya positif. Sebaliknya jika pada kondisi optimal
tersebut kebutuhan lebih kecil dari ketersediaan sehingga air irigasi yang tersedia
itu tersisa maka harga bayangannya adalah nol.

Dalam sistem irigasi permukaan, pasokan air irigasi yang tersedia untuk
tanaman tidak ajeg. Ini disebabkan oleh: (1) adanya fluktuasi debit air irigasi yang
dialirkan dari reservoir, (2) adanya kehilangan air irigasi dalam proses penyaluran
dan pada saat pemberian air ke tanaman, dan (3) adanya tambahan air irigasi di
sepanjang saluran ketika musim hujan karena sistem penyaluran menggunakan
saluran terbuka (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).

Dengan asumsi bahwa petani berusaha memaksimumkan keuntungan


usahatani maka secara teoritis pola tanam optimal mengarah pada meningkatnya
proporsi komoditas pertanian yang kebutuhan air irigasi per unit luas usahatani
lebih sedikit tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Diperkirakan hal
itu menyebabkan berkurangnya proporsi areal tanam padi dan meningkatnya
proporsi areal tanam palawija dan sayuran di lahan sawah irigasi teknis yang
berarti pola tanam di lahan tersebut lebih berdiversifikasi. Dengan pola tanam
seperti itu per unit air irigasi yang tersedia dapat dihasilkan lebih banyak produksi
pertanian dan keuntungan usahatani. Jadi, terjadi peningkatan produktivitas air
irigasi yang berarti terjadi peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.

Mengingat bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas selama ini belum
dikenal maka prospek implementasinya hanya dapat dikaji melalui pendekatan
tidak langsung. Dalam pendekatan tidak langsung ini landasan pemikiran yang
dianut adalah sebagai berikut. Logikanya, petani dapat menekan biaya irigasi dan
atau meningkatkan pendapatan usahataninya jika pola tanam lebih berdiversifikasi
43

ke komoditas hemat air yakni komoditas selain padi. Sementara itu, hambatan
penerapan iuran irigasi berbasis komoditas semestinya lebih kecil jika sebelumnya
petani telah berpengalaman dalam penerapan iuran irigasi meskipun dalam bentuk
yang lain. Dengan demikian ada dua substansi permasalahan pokok yang
menentukan prospek penerapan sistem itu:

1. Partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi usahatani. Perubahan ke arah


bentuk pola tanam yang mendekati pola optimal lebih mudah diwujudkan jika
jika selama cukup banyak petani yang telah berpengalaman dalam
menerapkan pola tanam diversifikasi. Semakin tinggi partisipasi petani untuk
berdiversifikasi, semakin kondusif suasana yang tercipta untuk penerapan
sistem iuran berbasis komoditas.

2. Partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Kemungkinan untuk dapat


mengadopsi sistem iuran irigasi yang baru lebih terbuka jika secara empiris
kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi pada sistem yang
selama ini berlaku sangat baik. Kesesuaian antara faktor-faktor positif yang
mendorong partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang selama ini
telah berlaku dengan faktor-faktor kondusif yang dibutuhkan untuk
berpartisipasi dalam membayar iuran irigasi berbasis komoditas dapat
dimanfaatkan untuk merancang strategi penerapan sistem iuran tersebut.

Berlandaskan kerangka pemikiran tersebut di atas maka penelitian ini


perlu menggunakan pendekatan normatif dan positif yang dilakukan dalam dua
tahapan. Pendekatan normatif digunakan dalam valuasi air irigasi untuk
mengetahui nilai produktivitas marginal (harga bayangan) air irigasi. Hasil valuasi
merupakan input utama untuk mengestimasi nilai air irigasi berbasis komoditas
yaitu dengan menggandakan harga bayangan tersebut dengan taksiran kebutuhan
air irigasi untuk masing-masing kelompok komoditas yang dirinci menurut
periode pengusahaannya. Pendekatan positif ditujukan untuk mengkaji
kemungkinan penerapan sistem iuran berbasis komoditas tersebut. Dalam konteks
ini, model yang dikembangkan dalam pendekatan positif mengacu pada hasil
ataupun implikasi dari pendekatan normatif. Secara ringkas sistematika
pendekatan penelitian dapat dipresentasikan dalam skema pada Gambar 1.
44

Ketersediaan air menurun: Kebutuhan air meningkat:


- iklim makin tidak stabil - non irigasi (rumah tangga, industri,
- DAS, fungsi sungai, prasarana pembangkit listrik, dan lain-lain)
(waduk) mengalami degradasi - pertanian (irigasi)

Dana O&P irigasi


sangat terbatas
Kelangkaan air irigasi Pendekatan
Kinerja O & P
meningkat pengelolaan
irigasi buruk pasokan

Efisiensi penggunaan air


irigasi harus ditingkatkan
Kemampuan P3A
membiayai O&P irigasi
harus ditingkatkan

Peningkatan efisiensi melalui pengelolaan


permintaan (demand management)

Situasi dan kondisi sosial ekonomi yang


mempengaruhi efisiensi irigasi di level
pengguna utama air irigasi (petani)
um pa n bal i k

n k
Maks Z     ij X ij
 1
i1 j1
 k
, jika i 1
s .t  1   exp( x j  m )

A X  B pij  Pr( y j  i)   m 2
exp( x j  i )
 , jika i 1
 k



1   exp( x j  m )

Pola tanam optimal: pij  Pr( y j  i )  Pr  i 1  x j β u   i 


- jenis komoditas
- skala pengusahaan
- waktu tanam
Faktor-faktor yang
Harga mempengaruhi prospek
bayangan air Sistem iuran irigasi penerapan sistem iuran
irigasi berbasis komoditas irigasi berbasis komoditas

Keterangan : Kesimpulan dan Saran


: pendekatan normatif
: pendekatan positif

Gambar 1. Sistematika pendekatan penelitian


45

Sebagai sosok normatif, sistem iuran irigasi berbasis komoditas sangat


dipengaruhi oleh simpul strategis seperti dikemukakan di atas. Kajian tentang
prospek penerapannya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui dua tahapan
berikut. Pertama, kajian yang ditujukan untuk memahami partisipasi petani untuk
melakukan diversifikasi dalam usahatani sehingga pola yang diterapkannya
mendekat ke arah pola tanam optimal. Kedua, kajian tentang partisipasi petani
dalam pembayaran iuran irigasi khususnya partisipasinya untuk membayar iuran
irigasi sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

Kedua aspek strategis tersebut dapat dikaji melalui pendekatan positif


dengan memanfaatkan data sosial ekonomi di tingkat usahatani. Model analisis
yang akan digunakan diharapkan menghasilkan informasi tentang: (1) probabilitas
petani untuk berdiversifikasi dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi,
dan (2) keragaan tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi,
terutama identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas
petani untuk memilih kualitas partisipasi yang baik dalam membayar iuran irigasi.

Sintesis dari butir-butir pokok kesimpulan yang diperoleh dari kedua


pendekatan tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan yang diharapkan dapat
menjawab tujuan penelitian ini. Sudah barang tentu, dalam rangka meningkatkan
ilmu pengetahuan disertakan pula sejumlah saran untuk penelitian lanjutan.

3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi

Sebagaimana dikemukakan di atas, iuran irigasi berbasis komoditas dapat


dirumuskan jika harga bayangan air irigasi diketahui. Oleh karena itu langkah
awal yang harus ditempuh adalah menentukan harga bayangan air irigasi. Ini
dapat dilakukan dengan melakukan valuasi air irigasi.

Dengan asumsi bahwa air irigasi dapat diperlakukan sebagai masukan


(intermediate input) dalam usahatani, landasan konseptual untuk valuasi air irigasi
dapat mengacu pada teori permintaan masukan sebagaimana lazimnya dalam teori
produksi (Just et al, 1982; Freeman, 1993; Johanson, 1993). Anggaplah suatu
kasus seorang petani memproduksi suatu komoditi tunggal (y) dengan input
tunggal yakni air (q) dengan fungsi produksi y = f(q). Sampai suatu titik tertentu
46

pertambahan penggunaan air meningkatkan produksi dengan pertambahan yang


semakin berkurang (deminishing return) sebagaimana tampak pada Gambar 2.

Rp./m3

pf(q)
f (q) adalah fungsi
produksi; f '(q)  f/q
adalah produktivitas
w1 marginal air irigasi, pf(q)
diukur dalam unit Rp.,
pf ' (q) diukur dalam unit
harga (Rp./m3);
sedangkan
p dan w masing-masing
menunjukkan harga
w2 pf' output dan harga air.

air irigasi (m3)


q(w1) q(w2)

Gambar 2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air

Misalkan w dan p masing-masing melambangkan harga air dan harga


produk yang dihasilkan. Dengan asumsi petani price taker dan berusaha
memaksimumkan keuntungan, maka
  pf (q)  w(q)
dan keuntungan ( ) maksimum dicapai pada saat:
 w
 0 atau f (q)  , dan f " (q)  0
w p
Jadi, permintaan terhadap air adalah:
 w f
q ( w)  f  1   dimana f   dan q(w) adalah permintaan air pada
 p q
harga w (sebagaimana tampak pada Gambar 2 di atas).

Untuk m jenis komoditas, maka keuntungan adalah:

    p j f j (q j )  wq j 
m

j 1

dimana fj adalah fungsi produksi komoditi j sedangkan qj adalah air yang


digunakan sebagai input untuk komoditi tersebut, dan p j adalah harga komoditi j,
sedangkan j = 1, 2, …, m. Kondisi derajat pertama maksimisasi keuntungan
adalah:
47

 w 1
 0 atau f j (q j (w))  sehingga q j ( w)  , j  1, 2,  , m.
q j p f ( w / p)

Jadi, permintaan terhadap air sebagai input dalam proses produksi tersebut adalah:
m m
1
q ( w)   q j ( w)  
j 1 j i f j ( w / p )

Ilustrasi grafis untuk kasus 3 komoditas tertera dapat disimak pada Gambar 3.
w
p

f 1( q )
fj'(q) adalah produktivitas
f 2 ( q ) marginal air untuk komoditas
j. Fungsi permintaan dalam
f 3 ( q ) bentuk inverse untuk semua
komoditas merupakan
w1 penjumlahan horizontal
permintaan setiap komoditas
p

Penjumlahan horizontal
f 1, f 1, dan f 3

w2
p

f j ( q ) q air irigasi
q1 ( w1 ) q ( w1 )  q1 ( w1 )  q 2 ( w1 )  q 3 ( w1 )
q 2 ( w1 ) q ( w 2 )  q1 ( w 2 )  q 2 ( w 2 )  q 3 ( w 2 )
q 3 ( w1 )

Gambar 3. Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk
seluruh komoditas yang tercakup

Perluasan untuk kasus n petani dan m komoditas adalah analog. Misalkan


f ij (q) melambangkan fungsi produksi komoditas j yang dihasilkan petani i.

Maka:
m
qi (w)   f ij 1 ( w / p ) adalah fungsi permintaan untuk petani–i, sedangkan
j

untuk keseluruhan petani adalah:


n n m
q ( w)   q i ( w )   f ij 1 ( w / p )
i 1 i 1 j 1

Sudah barang tentu tambahan jenis input yang lain (lahan, tenaga kerja, modal,
dan lain-lain) dapat diinkorporasikan dalam model tersebut.
48

Sampai saat ini pasar air irigasi pada sistem irigasi permukaan belum
terbentuk. Pasokan air irigasi yang didistribusikan ke petani tidak tergantung pada
tingkat harga tetapi pada kuantitas air yang tersedia dan secara kelembagaan
dialokasikan untuk irigasi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bentuk
fungsi penawarannya inelastis sempurna. Selanjutnya, jika diasumsikan pasokan
air irigasi pada Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah
adalah q1, q2, dan q3; sedangkan fungsi permintaan dari hasil valuasi
p    q maka harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III secara
hipotetis dapat dipresentasikan seperti Gambar 4.

SMT III SMT II SMT I


p3

p2

p    q

p1
D
q3 q2 q1 Q

Gambar 4. Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III

3.3. Pemrograman Matematis Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI

Sebagaimana dibahas dalam Bab Tinjauan Pustaka, metode valuasi yang


sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah Residual Imputation Approach
(RIA). Dalam penelitian ini yang dipilih adalah salah satu varian dari pendekatan
tersebut yaitu change in net income (CINI) dengan pemrograman linier (LP).

Misalkan untuk memperoleh pasokan air irigasi tidak ditarik biaya (gratis);
tetapi pasokannya terbatas pada level x. Berapakah petani ingin membayar untuk
memperoleh tambahan sebesar  unit? Perhatikan bahwa pada saat volume air
yang digunakan berada di level x maka penerimaannya adalah pf(x). Tambahan
kuantitas air sebanyak  menciptakan tambahan revenue sebesar p[f(x+) – f(x)].
49

Dengan kata lain, untuk memperoleh tambahan p[f(x+) – f(x)] petani akan
membayar seharga p  f ( x   )  f ( x )  untuk tambahan air sebanyak  m3 air.

Pada  yang cukup kecil harga tersebut sama dengan pf'(x). Dengan
demikian, pf'(x) merupakan (maksimal) harga dimana petani akan membayarnya
untuk melonggarkan kendala per satu (marginal) unit; ini disebut shadow price air
tersebut. Seperti yang kita lihat di atas, pf'(x) adalah inverse water demand.

Jadi, secara formal sebenarnya masalah yang dihadapi adalah mencari


solusi dari persoalan maksimisasi dengan kendala yang dapat diperesentasikan
secara matematis sebagai berikut:
Maxq pf (q ) dengan kendala q  r . Dengan pendekatan fungsi Lagrange

  pf (q)   (q  x) , kondisi derajat pertama untuk optimasi (Kuhn-Tucker


condition) mencakup:
L
(i)  0  pf (q)   ,
q
L
(ii)  0  q  x , dan

(iii)  (q  x)  0 (complimentary slackness).
Jika f'(x) > 0, maka pf'(x) > 0 untuk semua q  x (ii). Oleh karenanya
kondisi derajat pertama (i) yakni   0 , berimplikasi kondisi (iii) bahwa air
digunakan sampai pada batas q = x dan   pf (x).

Terlihat di atas bahwa bila harga air adalah w = pf'(x), maka kuantitas yang
diminta petani adalah x. Jadi, pendekatan ini merupakan bayangan cermin (dual)
dari pendekatan sebelumnya. Dengan cara mengubah kendala x dan menghitung
shadow price ( ) yang bersangkutan, kita memperoleh  ( x)  pf ( x)  fungsi
permintaan inverse turunannya.

Pendekatan ini sangat berguna karena dengan mudah diperluas untuk


situasi dengan berbagai tambahan jenis input. Misalkan, selain air ada k input
lainnya z  ( z1 , z 2 ,  , z k ) dengan harga r  (r1 , r2 ,, rk ) dan input primer

(misalnya lahan) s  ( s s , s 2 , sk ) yang tak perlu dibeli di pasar, tetapi terbatas


50

kuantitasnya sebanyak b  (b1 , b2 ,, bk ) . Lalu misalkan fungsi produksinya

adalah F(q,z,s). Maka persoalannya adalah:

Max  ( x, b, p, r )  Max{q, z ,s} pF (q, z , s )  (r1 z1  r2 z 2   rk z k )

dengan kendala q  x dan s  b


Dalam bentuk Lagrange:
  pF(q, z, s)  (r1 z1  r2 z2  rk zk )  (q  x) 1 (s1  b1 )  2 (s2  b2 )   l (sl  bl )

Pengganda Lagrange (  ) pada kendala air ( q  x ) pada titik optimum adalah


harga bayangan air, dimana jika dihitung untuk seluruh level air yang feasible,
akan membentuk fungsi inversi permintaan terhadap air.

Untuk fungsi produksi non linier F(q,z,s), maka persoalannya adalah


optimasi non-linear programming (NLP). Dalam kasus khusus, misalnya jika
fungsi produksinya adalah Leontief (fix coefficient) maka bentuknya adalah:
F(v1, v2, …, vm) = min{v1 / a1 , v2 / a2 ,, vm / a m } untuk a1, a 2, …, a m. Dengan

demikian persoalannya menjadi Linear Programming, dan algoritmenya dapat


dilakukan dengan lebih sederhana (metode Simplex).

Sebagai contoh, misalkan ada m komoditas dengan 4 input: lahan, air,


tenaga kerja, dan pupuk. Per hektar komoditas j membutuhkan a 1j m3 air, a 2j hari
kerja, a 3j kg pupuk, dan menghasilkan yj kg output, j = 1, 2, …, m. Parameter yj,
a1j, a2j, dan a3j, j = 1, 2, …, m berupa Leontief production technology. Output
komoditas j dalam kasus ini adalah:
 q j z1 j z 2 j 
L j y j  L j Min  , ,  , j = 1, 2, …, m.
 a1 j a2 j a3 j 

dimana q j, z1j dan z2j masing-masing adalah per hektar air, tenaga kerja, dan input
untuk komoditi j, dan Lj adalah lahan yang dialokasikan untuk komoditi j.

Misalkan r1 dan r2 melambangkan upah tenaga kerja dan harga pupuk.


Tidak termasuk dengan biaya untuk lahan dan air, per hektar pendapatan untuk
komoditi j adalah:
 j  p j y j  r1 z1 j  r2 z 2 j  y j ( p j  r1 j a 2 j  r2 a3 j ) .
51

Misalkan L dan x melambangkan kendala lahan dan air irigasi, maka maksimisasi
keuntungan adalah:
m
Max    L j j
j 1

dengan kendala:
m
 L j a1 j  x (kendala air)
j 1
m
 L j  L (kendala lahan)
j 1

L j  0 , j = 1, 2, … , m (kendala non negativitas).

Hasil optimasi mencakup alokasi optimal lahan, air irigasi, dan pengganda
Lagrange untuk setiap kendala. Pengganda Lagrange (  ) kendala air irigasi
adalah harga bayangan air irigasi. Harga bayangan inilah yang kemudian dapat
dimanfaatkan untuk menentukan komponen pokok biaya irigasi dalam sistem
iuran irigasi berbasis komoditas yang dimaksud dalam penelitian ini.

Selanjutnya melalui analisis pasca optimal (post optimality analysis)


perubahan penggunaan air irigasi akibat adanya perubahan ketersediaan air irigasi
(x) dan mencatat harga bayangan (  ) untuk setiap hasil optimasi tersebut dapat
diperoleh hubungan antara penggunaan air irigasi (x) dengan harga bayangan air
irigasi (  ), yang tak lain adalah fungsi permintaan normatif dalam bentuk inversi.
Dengan manipulasi matematika sederhana tentu saja dapat diperoleh bentuk
fungsi permintaan normatif air irigasi.

Analisis pasca optimal juga dapat dilakukan untuk memperoleh informasi-


informasi penting lainnya. Sebagai contoh, analisis pasca optimal perubahan harga
gabah dapat menghasilkan hubungan antara harga gabah dengan produksi gabah
(melalui perhitungan sederhana dari luas areal padi pada solusi optimal yang
diperoleh) sehingga dapat diperoleh kurva penawaran normatif padi. Dapat pula
dilakukan analisis tentang pengaruh ketersediaan air irigasi terhadap diversifikasi;
bahkan dapat dilakukan kajian tentang potensi kerugian yang diakibatkan oleh
kelebihan luas tanam padi. Informasi ini cukup penting dalam analisis kebijakan
yang terkait dengan strategi pengembangan produksi pangan.
52

3.4. Faktor-faktor Utama yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemodelan

3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan Permintaan Air Irigasi

Per definisi model adalah abstraksi dunia nyata yang dipresentasikan


dalam suatu bentuk yang telah disederhanakan. Dengan demikian langkah awal
dalam pemodelan adalah pemahaman yang komprehensif tentang fenomena
empirisnya. Dalam konteks ini, faktor-faktor apa yang bekerja dan bagaimana
konstelasi hubungannya harus dikenali dengan baik.

Harga bayangan atau nilai produktivitas marginal air irigasi ditentukan


oleh pasokan maupun permintaannya dan perilakunya dipengaruhi oleh banyak
faktor. Sebagian dari faktor-faktor tersebut bersifat eksternal (tak dapat dikontrol),
sedangkan lainnya bersifat internal (perilakunya dapat dikendalikan).

Pada sisi pasokan, faktor-faktor yang berpengaruh adalah iklim terutama


curah hujan, kondisi fisik-lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama
daerah tangkapan air (catchment area), sarana dan prasarana irigasi, teknologi
pendayagunaan air yang terkait dengan keirigasian, dan kelembagaan pengelolaan
irigasi baik di tingkat petani maupun supra strukturnya (Gambar 5).

Curah hujan sangat menentukan volume air yang dapat didayagunakan


untuk irigasi karena mempengaruhi volume air di reservoir (waduk), debit sungai,
bahkan ketersediaan air di hamparan lahan petani. Curah hujan berperan di dua
sisi sekaligus yakni di sisi pasokan maupun permintaan terhadap air irigasi.

Kondisi DAS sangat menentukan kapasitas wilayah tangkapan untuk


menyimpan air. Kondisi DAS yang sangat terdegradasi, kapasitasnya untuk
menyimpan air di dalam tanah menjadi sangat rendah. Kondisi ini berakibat
meningkatnya intensitas banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Kondisi sarana dan prasarana irigasi merupakan salah satu determinan


reliabilitas (keandalan) pasokan air irigasi. Ada tiga komponen sarana dan
prasarana yang vital yaitu: reservoir (waduk, dam, bendung gerak), saluran
distribusi (primer, sekunder, tertier, kuarter), dan saluran pembuang (drainage).
Penurunan fungsi salah satu atau kombinasi dari komponen-komponen tersebut
dapat mengakibatkan menurunnya tingkat keandalan pasokan air irigasi.
53

Iklim
(terutama curah hujan)
Penguasaan lahan
pertanian
Kondisi
Daerah Ketersediaan tenaga
Pasokan air
Aliran Sungai kerja pertanian
dari curah
hujan
Ketersediaan modal
Sarana & usahatani
Prasarana Pola pengusahaan
Irigasi komoditas pertanian
di lahan irigasi: Kapabilitas
Pasokan Permintaan - jenis komoditas managerial usahatani
air irigasi air irigasi - waktu pengusahaan
Teknologi - skala pengusahaan
Penguasaan teknologi
di bidang - teknik budidaya
usahatani
irigasi - teknik pengairan

Nilai produktivitas Harga-harga


marginal air irigasi keluaran usahatani
Kelembagaan
Pengelolaan
Irigasi Harga-harga
masukan usahatani

Kebijaksanaan pemerintah

Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga bayangan air irigasi

53
54

Kondisi sarana dan prasarana irigasi adalah perangkat keras. Perangkat


lunaknya (software) adalah teknologi pengairan dan kelembagaan pengelolaan
irigasi. Teknologi irigasi sangat menentukan kinerja fisik sistem distribusi,
efisiensi penyimpanan, penyaluran, maupun pembuangan; sedangkan
kelembagaan pengelolaan merupakan sangat menentukan pengoperasian sistem.

Kelembagaan pengelolaan irigasi merupakan faktor yang sangat


menentukan kinerja irigasi secara umum. Sesungguhnya, kelembagaan
pengelolaan irigasi adalah determinan utama kinerja irigasi karena dalam
kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut faktor-faktor yang bekerja di sisi
pasokan dan sisi permintaan diorganisasikan.

Di sisi kebutuhan, faktor yang paling menentukan permintaan air irigasi


adalah pola pengusahaan komoditas usahatani yang dimensinya mencakup: jenis
komoditas yang diusahakan, skala dan waktu pengusahaannya, teknik budidaya
pertanian, dan teknik pengairan yang diterapkan. Pola pengusahaan komoditas
merupakan outcomes dari tujuan petani untuk memaksimumkan keuntungan.
Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengusahaan komoditas
adalah: ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal), kemampuan
managerial usahatani, penguasaan teknologi, dan harga-harga baik harga masukan
untun usahatani maupun harga keluaran usahatani.

Secara empiris ada beberapa faktor yang perilakunya berpengaruh pada


sisi pasokan maupun sisi permintaan (Gambar 5). Faktor terpenting adalah curah
hujan. Curah hujan tidak hanya mempengaruhi ketersediaan air tetapi juga
mempengaruhi alternatif pola tanam. Pengaruh faktor ini semakin tinggi apabila
reliabilitas pasokan air irigasi semakin rendah. Selain curah hujan, faktor lain
yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pengusahaan komoditas adalah
kelembagaan pengelolaan irigasi. Dalam praktek, petani tidak sepenuhnya bebas
untuk menentukan pola tanam. Penggunaan air irigasi diatur dalam suatu sistem
kelembagaan berdasarkan prinsip-prinsip pemanfaatan "sumberdaya publik".
Dengan demikian secara normatif pola pengusahaan komoditas harus selalu
mengacu pada aturan main yang telah disepakati dalam komunitas yang terkait.
55

Kebijaksanaan pemerintah berperan di dua sisi. Kebijaksanaan pemerintah


dalam pengembangan sumberdaya air sangat menentukan kinerja pasokan air
dalam arti luas maupun pasokan air irigasi khususnya. Peranannya dapat di bidang
investasi, penggunaan air antar sektor, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan
sebagainya. Peranan pemerintah di sisi permintaan dapat berupa kebijaksanaan di
bidang harga (masukan maupun keluaran), kebijakan di bidang penyediaan modal
untuk usahatani, maupun bantuan teknis dalam bentuk pengembangan
kemampuan teknis dan managerial petani melalui program penyuluhan pertanian.

3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya

Pada dasarnya distribusi spatial sumberdaya air bersifat alamiah dan


ditentukan oleh resultante interaksi hukum-hukum hidrologi dan konfigurasi
geografis. Jika menyerahkan sepenuhnya pada pengaruh hukum alam tersebut
maka ketersediaan air irigasi bagi petani yang berada di hilir akan sangat
tergantung pada penggunaan air irigasi yang dilakukan oleh petani yang berada di
hulu. Sebaliknya, ketika air sangat berlebih maka upaya mengatasi dampak
kelebihan air yang dialami oleh petani yang berada di hulu juga memerlukan
kesediaan petani yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dari hulu.
Dalam konteks ini ada persepsi yang berlaku umum bahwa:

1. Kelebihan pasokan air pada musim hujan dialami oleh semua pihak baik
petani di hulu, tengah, maupun hilir dan cara mengatasinya adalah membuang
ke wilayah yang lebih hilir. Cara ini secara teknis paling mudah dilakukan
karena secara alamiah air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan secara
ekonomi ongkos sosialnya paling murah. Selain itu oleh karena terminal
terakhir pembuangan limpahan adalah wilayah bebas (laut) maka persepsi
tersebut diterima masyarakat luas. Legitimasinya kuat karena hal tersebut juga
dikukuhkan dalam aturan perundang-undangan.
2. Secara historis irigasi dibangun untuk mengatasi kelangkaan air yang
dibutuhkan untuk tanaman. Oleh karena itu substansi permasalahan yang lebih
mengemuka adalah bagaimana mengatur pembagian sumberdaya yang langka
tersebut, bukan membuang kelebihan air.

Kedua hal itu berimplikasi bahwa substansi pokok yang menjadi sumber
ketergantungan adalah persoalan alokasi pasokan. Sifat ketergantungannya
56

asymetric dimana ketergantungan petani di hilir kepada petani yang berada di hulu
jauh lebih tinggi daripada sebaliknya; dan bersifat rekursif dimana pasokan air
irigasi untuk petani yang berada di wilayah yang lebih hilir dipengaruhi oleh
penggunaan air irigasi para petani yang berada di wilayah yang berada di hulu.

Bentuk ketergantungan seperti itu mempengaruhi alokasi optimal air


irigasi dalam suatu sistem. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut.
Misalkan dalam suatu Sistem Irigasi skala besar terdapat tiga Sub Sistem yaitu A,
B, dan C dimana A berada di hulu, B di tengah, dan C berada di hilir. Selanjutnya
misalkan P 1, P2, dan P3 masing-masing adalah petani di daerah A, B, dan C yang
memproduksi y (y1 untuk A, y2 untuk B, dan y3 untuk C). Diasumsikan A, B,
maupun C menghadapi harga y yang sama yakni p.

Jika diasumsikan bahwa produktivitas usahatani merupakan fungsi dari


tingkat ketersediaan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan ketiga petani
tersebut dapat dituliskan:
 1  max py1  f ( y1 ) (1)
y1

 2  max py 2  g ( y 2 , y1 ) (2)
y2

 3  max py3  h ( y3 , y 2 , y1 ) (3)


y3

dimana fungsi f, g, dan h adalah biaya produksi masing-masing petani P1, P2, dan P3.

Jika masing-masing petani bebas dan tak ada koordinasi (anarchic) maka
solusi optimal yang dihadapi harus memenuhi kondisi derajat pertama berikut:

f ( y1 ) g ( y2 , y1 ) h( y3 , y2 , y1 )
  p (4)
y1 y 2 y3
artinya semua petani tersebut menyamakan biaya privat marginal usahataninya
dengan harga. Oleh karena p tetap maka hal itu berarti bahwa semakin banyak air
yang digunakan di hulu maka semakin sedikit air yang tersedia untuk petani di
hilir sehingga produk yang dapat dihasilkan oleh petani yang berada di hilir juga
lebih rendah agar biaya privat marginalnya dapat dipertahankan sama dengan
harga produk (p).

Jika ketiga (kelompok) petani tersebut berada di dalam satu sistem


pengelolaan irigasi yang terkoordinasi maka persoalannya adalah bagaimana
57

memaksimumkan keuntungan untuk satu sistem secara keseluruhan. Dengan


demikian maksimisasi keuntungan yang dihadapi dalam usahatani adalah:

 1 23  max  ( y1  y 2  y3 )  f ( y1 )  g ( y 2 , y1 )  h( y3 , y 2 , y1 ) (5)


y1 , y2 , y3

dan kondisi derajat pertama yang harus dipenuhi untuk solusi optimal adalah:

f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
P1 :   p (6)
y1 y1 y1
g ( y2 , y1 ) h ( y3 , y2 , y1 )
P2 :  p (7)
y 2 y 2
h( y3 , y2 , y1 )
P3 : p (8)
y3
Dari persamaan tersebut tampak bahwa kondisi optimal untuk seluruh
sistem mensyaratkan bahwa petani-petani yang berada di hulu harus peduli
dengan petani yang berada di hilir. Dengan kata lain, petani di hulu harus ikut
menanggung beban petani yang berada di hilir. Biaya sosial marginal potensial
yang harus ditanggung oleh petani di Hulu (P1) dan di Tengah (P2) adalah:

g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
P1 :  (9)
y1 y1
h( y3 , y 2 , y1 )
P2 : 10)
y2

Adalah logis bahwa setiap individu (termasuk petani) cenderung


mendahulukan kepentingan dirinya sebelum orang lain. Implikasinya,
implementasi prinsip-prinsip efisiensi dan pemerataan (persamaan (6) – (10))
dalam alokasi air irigasi pada sistem irigasi skala besar dengan menggunakan
mekanisme pasar sangat sulit. Dalam sistem irigasi permukaan skala besar (large
scale surface irrigation) dengan sistem penyaluran air irigasi menggunakan
saluran terbuka dan jumlah petani yang tercakup dalam sistem tersebut sangat
banyak, mekanisme pasar hampir mustahil diterapkan karena kendala teknis
sangat sulit diatasi dan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang dalam
masyarakat menyebabkan adanya resistensi yang sangat tinggi. Oleh karena itu
pendekatan yang digunakan adalah kelembagaan non pasar dengan menerapkan
sistem kuota (sistem jatah). Dalam sistem jatah, pasokan diatur sedemikian rupa
sehingga distribusi air irigasi per satuan luas (liter per detik – lt/dt) antar wilayah
58

(hulu, tengah, dan hilir) relatif sama. Teknisnya adalah dengan cara mengatur
durasi pembukaan (buka – tutup) pintu-pintu air irigasi baik di saluran primer,
sekunder maupun tertier.

Pengelolaan irigasi membutuhkan batas yurisdiksi, aturan representasi, dan


pengakuan terhadap hak pemilikan yang jelas. Komunitas dan atau wilayah mana
saja yang tercakup (batas yurisdiksi), siapa melakukan apa (aturan representasi),
dan bagaimana meletakkan hak kepemilikan dalam sistem organisasi, harus
dirumuskan dan dijabarkan dalam bentuk yang dapat dioperasionalkan. Di sisi
lain, mengingat jumlah petani yang terlibat sangat banyak maka perlu adanya
pemahaman dan persepsi yang sama agar terbentuk aksi kolektif yang konvergen
azas-azas dengan pengelolaan irigasi yang efisien dan adil.

Pada sistem irigasi teknis skala besar (large scale surface irrigation)
dimana investasi pembangunan/pengembangannya dilakukan oleh pemerintah,
otoritas distribusi air berada di tangan pemerintah (Dinas Pengairan). Di lapangan,
Aparat Dinas Pengairan yang secara langsung bertugas mengatur distribusi air
irigasi (dari saluran induk sampai tertier) bekerja berdasarkan petunjuk teknis
sistem pembagian air yang merupakan penjabaran operasional dari prinsip
tersebut di atas. Dalam istilah setempat petugas tersebut populer dengan sebutan
Penjaga Pintu Air.

Secara teoritis, sistem jatah sangat mungkin tidak menghasilkan


keuntungan maximum untuk seluruh sistem (global maximum). Oleh karena itu
sistem jatah bukan first best solution untuk maksimisasi keuntungan ataupun
efisiensi. Akan tetapi sistem jatah merupakan pendekatan pragmatis yang lebih
mudah ditempuh untuk menjamin terpenuhinya azas pemerataan.

Terkait dengan kelemahan yang melekat dalam sistem penjatahan maka


ada dua prasyarat yang harus dipenuhi agar mekanisme penjatahan berjalan baik.
Pertama, pengorganisasiannya harus dikoordinasikan oleh suatu badan yang
memiliki otoritas yang legitimasinya didukung oleh kerangka hukum yang berlaku
dan secara kelembagaan efektif. Kedua, adanya dukungan infrastruktur yang
memadai sehingga secara teknis dapat diimplementasikan. Selain kedua prasyarat
59

tersebut, alokasi air irigasi dengan mekanisme penjatahan juga harus


mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Kuantitas air yang dapat dialokasikan untuk irigasi adalah bervariasi.


Meskipun sudah didisain sebagai sistem irigasi teknis, pengaruh curah hujan
masih besar karena sistem penyampaian dan pembuangan air menggunakan
saluran terbuka. Selain itu, curah hujan langsung jatuh ke hamparan lahan juga
merupakan tambahan pasokan air yang tersedia untuk tanaman yang harus
diperhitungkan. Di sisi lain harus pula diperhitungkan alokasi air untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, dan lain-lain yang berdasarkan
aturan perundang-undangan justru mempunyai prioritas yang lebih tinggi.

2. Sebagian besar sumber pasokan air irigasi untuk seluruh sistem terletak di
bagian yang lebih hulu, kemudian dialirkan ke arah hilir. Oleh karena itu, air
irigasi yang terdapat di hulu lebih tinggi daripada kebutuhannya, sedangkan
yang di hilir cenderung lebih rendah dari kebutuhan di wilayah tersebut.

3. Secara keseluruhan, total volume air irigasi yang dilepas dari sumber pasokan
lebih tinggi daripada total volume yang sampai di tingkat usahatani karena
adanya kehilangan dalam penyaluran. Meskipun demikian karena ada
tambahan pasokan air dari curah hujan maka ada kalanya total volume air
yang tersedia di hamparan usahatani justru lebih tinggi.

4. Penjatahan air irigasi hanya relevan dilakukan pada periode pasokan air irigasi
langka yang biasanya berlangsung sejak Bulan Juni – November. Pada periode
lainnya (Desember – Mei) tidak diperlukan adanya sistem penjatahan karena:
(1) kebutuhan tanaman terhadap air dari sistem irigasi lebih rendah dari rata-
rata (karena sebagian telah terpebuhi dari curah hujan), dan (2) pasokan air
irigasi lebih banyak dari rata-rata.

5. Sumber pasokan air irigasi cukup banyak dan tersebar di hulu, tengah, maupun
hilir dengan memanfaatkan sumberdaya air dari anak-anak sungai Brantas dan
atau dam-dam setempat. Oleh karena itu, Sub DAS Hilir tidak sepenuhnya
tergantung pada pasokan air irigasi dari Sub DAS Tengah maupun Sub DAS
Hulu; demikianpun halnya pasokan air irigasi untuk Sub DAS Tengah tidak
sepenuhnya tergantung pada pasokan dari Sub DAS Hulu.
60

Azas pemerataan yang menjadi acuan dalam mekanisme penjatahan


diwujudkan melalui penerapan sistem proporsi sehingga variasi volume pasokan
air irigasi antar wilayah ditentukan oleh luas areal layanan irigasi masing-masing
wilayah tersebut. Sistem proporsi juga berlaku dalam konteks temporal sehingga
fluktuasi pasokan air irigasi di setiap wilayah berbanding lurus pula dengan
fluktuasi total volume air irigasi untuk seluruh sistem. Selain itu, dalam alokasi
air irigasi harus ada sejumlah volume air yang dicadangkan untuk mengatasi
insiden kekekeringan yang mungkin dialami di wilayah-wilayah tertentu. Jadi,
kecenderungan untuk bersikap konservatif juga diperlukan mengingat dampak
kerugian yang timbul akibat kekeringan dianggap lebih besar daripada potensi
kerugian akibat adanya sejumlah kuantitas air irigasi yang tak termanfaatkan.

Pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, alokasi spatial melalui sistem
jatah tersebut telah berlangsung sejak sistem irigasi tersebut beroperasi. Prosedur
teknis tentang tatacara pembagian air dalam operasi dan pemeliharaan irigasi
dapat disimak pada Lampiran 1.

Alokasi spatial dengan mekanisme penjatahan tersebut di atas


menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management - SM).
Dalam kondisi air irigasi langka, upaya peningkatan efisiensi penggunaan air
irigasi lebih sesuai jika didekati melalui pengelolaan permintaan (demand
management – DM) (Winpenny, 1994; Rosegrant et al, 2002). Berbeda dengan
pendekatan SM dimana penyediaan air irigasi untuk suatu wilayah ditentukan oleh
pihak pemasok, pada pendekatan DM pasokan air irigasi untuk suatu wilayah
tergantung pada permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian peran aktif
petani lebih besar pada pendekatan DM.

Selama ini petani sudah sangat terbiasa dengan pendekatan SM sehingga


perubahan pendekatan dari SM ke DM membutuhkan proses adaptasi, baik di
pihak pemasok maupun pengguna air irigasi (petani). Secara teoritis, petani lebih
mudah beradaptasi terhadap perubahan yang sifatnya gradual daripada perubahan
yang terjadi secara total dalam waktu singkat. Berdasarkan justifikasi demikian
itu, model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
transisi dari SM ke DM yang dalam penelitian ini diistilahkan DM yang
61

dimodifikasi (modified demand management – MDM). Perbedaan antara ketiga


jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM

Faktor pembeda SM DM MDM


Alokasi air (termasuk Ditentukan Tergantung Kombinasi dari
distribusi antar wilayah) pemasok permintaan pendekatan SM
dan DM.
Pemegang inisiatif utama Pemasok Pengguna air Kedua belah pihak,
irigasi sesuai situasi dan kondisi
Tingkat kesulitan untuk Rendah Tinggi Sedang
memenuhi azas pemerataan
Kesesuaiannya untuk Rendah Tinggi Sedang
mendorong efisiensi
Tingkat kesulitan dalam Lebih rendah Lebih tinggi Sedang
implementasi

Sebagai salah satu bentuk pendekatan transisi, alokasi spatial air irigasi
melalui MDM perlu mengkombinasikan pendekatan SM dan DM. Salah satu
prinsip yang diadopsi dari pendekatan SM adalah bahwa dalam alokasi air irigasi,
setiap wilayah yang tercakup dalam areal layanan irigasi (command area) berhak
atas pasokan air irigasi sesuai dengan kebutuhan minimalnya. Oleh karena itu,
volume air irigasi yang dialokasikan ke setiap wilayah terdiri dari dua komponen
yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan minimal, dan (2) untuk memenuhi
permintaan dimana alokasinya mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi.

Misalkan air yang terdapat di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub
DAS Hilir masing-masing adalah W1 , W2 , dan W3 ; sedangkan w1min , w2min , dan

w3min melambangkan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS tersebut.

Selanjutnya, misalkan air irigasi yang dialokasikan dari Hulu ke Tengah adalah T1
(dengan efisiensi penyaluran c1 ), sedangkan yang dialokasikan dari Tengah ke
Hilir adalah T2 (dengan efisiensi penyaluran c2 ). Maka pasokan air irigasi

(endogen) untuk wilayah irigasi di Sub DAS Hulu ( W1* ), Sub DAS Tengah ( W2* ),

dan Sub DAS Hilir ( W3* ) dengan pendekatan MDM dapat diekspresikan sebagai
berikut (Gambar 6).
62

W 1*  W 1  T1
Hulu
dimana:
W1*  w1min

W 2*  W 2  c1  T1  T2
Tengah dimana:
W2*  w2min

W3*  W3  c 2  T2
Hilir dimana:
W3*  w3min

Keterangan:

: Reservoir : Saluran tertier


(waduk, bendungan, dll.)
: Saluran pembuang
: Saluran primer
: Saluran sekunder : Blok (petak) tertier

Gambar 6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM
63

Data ketersediaan air irigasi di level tertier masing-masing Sub DAS


diperoleh dari nilai rata-rata debit air irigasi pada petak-petak terier contoh. Untuk
memperoleh tingkat ketersediaan air irigasi di level usahatani, angka-angka
tersebut dikalikan dengan tingkat efisiensi irigasi di level usahatani (on-farm use
efficiency – FUEF). Rata-rata FUEF di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan
Sub DAS Hilir (SAPS, 1982) masing-masing adalah 0.75, 0.70, dan 0.65.

Dalam penelitian ini, kebutuhan minimum untuk masing-masing Sub DAS


diasumsikan setara dengan rata-rata debit air irigasi pada petak-petak tertier yang
terjadi pada tahun-tahun kering dari data deret waktu sepuluh tahun (1989 – 1999)
dan untuk Sub DAS Tengah dan Hilir diasumsikan mengandalkan sebagian besar
pasokan air irigasi dari sumber setempat. Data ini dikumpulkan dari Seksi Cabang
Pengairan dimana petak-petak terteir contoh berada dan dilengkapi dengan
informasi dari Juru Pengairan di petak-petak tertier yang bersangkutan.

3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya

Nilai ekonomi sumberdaya ditentukan oleh tingkat kelangkaannya.


Semakin langka semakin tinggi nilai ekonominya. Konsep kelangkaan adalah
relatif terhadap kebutuhan. Oleh karena itu jika sumberdaya yang tersedia lebih
banyak dari yang dibutuhkan maka didefiniskan sebagai tidak langka dan
karenanya nilai ekonominya nol.

Air yang tersedia untuk usahatani terutama berasal dari dua sumber yaitu
air hujan dan air irigasi. Pada sistem irigasi permukaan, pasokan air yang berasal
dari irigasi juga dipengaruhi oleh curah hujan. Pada musim hujan, total pasokan
air yang tersedia untuk tanaman sangat berlebih karena: (1) pasokan air dari curah
hujan yang jatuh di lahan petani sangat banyak, (2) pasokan air dari irigasi
meningkat. Sebaliknya pada musim kemarau curah hujan sangat sedikit, bahkan
pada bulan-bulan tertentu tidak ada. Pada musim ini pasokan air irigasi juga
menurun. Dengan demikian, total air yang tersedia untuk tanaman menjadi sangat
terbatas. Secara hipotetis pola sebaran temporal ketersediaan air untuk pertanian
dan implikasinya terhadap nilai ekonomi air irigasi dapat diilustrasikan pada
Gambar 7.
64

Kuantitas Air
Total (irigasi + curah hujan)
Curah hujan
Pasokan air irigasi
Kebutuhan air irigasi

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Nilai ekonomi air irigasi

Musim Hujan Musim Kemarau


3
Rp. / m
SMK

SMH

PwMK E MK

PwMH EMH
DAI

Qair irigasi (m3)


Qw MK Qw MH

Gambar 7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi
terhadap harga bayangannya

Lazimnya jika curah hujan berlangsung normal, musim penghujan terjadi


pada Bulan Oktober – Maret, sedangkan musim Kemarau pada Bulan April –
September. Dengan pola sebaran temporal seperti itu, air yang tersedia di lahan
pesawahan pada Bulan November – Maret lebih tinggi dari kebutuhan, sedangkan
65

pada Bulan April – akhir September air yang dibutuhkan lebih banyak daripada
yang tersedia. Oleh karena itu pada bulan November – Maret harga bayangan air
irigasi sangat rendah sedangkan pada April – September cukup tinggi. Harga
bayangan air irigasi semakin meningkat seiring dengan kelangkaannya dan
diperkirakan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus atau September.

Jika disederhanakan maka penawaran air irigasi pada musim hujan dan
musim kemarau dapat diilustrasikan sebagaimana gambar terbawah. Misalkan
SMH dan SMK masing-masing menggambarkan penawaran air irigasi pada musim
hujan dan musim kemarau. Selanjutnya jika diasumsikan bahwa bentuk fungsi
permintaan air irigasi serupa dengan masukan usahatani lainnya sehingga
elastisitasnya negatif, maka bentuk sederhana grafik fungsi permintaannya adalah
DAI. Dengan asumsi pasar air irigasi berlaku, maka keseimbangan pada musim
hujan terjadi pada EMH dimana jumlah yang diminta adalah QWMH dengan harga
PwMH. Pada musim kemarau, keseimbangan terjadi pada EMK dimana jumlah yang
diminta adalah QWMK , sedangkan harganya adalah PwMK.

Pelajaran terpenting yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah


bahwa dalam membangun model yang akan digunakan untuk melakukan valuasi
air irigasi pola maka sebaran temporal harus diperhitungkan dengan baik. Secara
umum dapat dinyatakan bahwa model yang dikembangkan semakin mendekati
fenomena empiris apabila distribusi temporal kebutuhan dan ketersediaan air
irigasi dapat didisagregasikan sampai pada tingkat yang sangat rinci.

3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan Iuran


Irigasi Berbasis Komoditas

Secara implisit istilah "prospek" berarti "kemungkinan yang (diharapkan


atau diperkirakan) akan terjadi. Istilah "kemungkinan" itu sendiri memiliki
asosiasi sangat kuat dengan "probabilitas atau peluang". Jadi analisis tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan iuran irigasi berbasis
komoditas dapat didekati dengan cara tidak langsung melalui analisis faktor-faktor
yang menentukan probabilitas dari sejumlah alternatif yang merupakan komponen
pokok sistem iuran irigasi berbasis komoditas tersebut.
66

Prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas seharusnya tercermin


dari keberhasilan mendorong perubahan pola tanam dan partisipasi petani dalam
membayar iuran irigasi sedemikian rupa sehingga mengarah pada sosok normatif.
Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, sosok normatif dicirikan oleh dua
karakteristik utama yaitu:

1. Pola tanam lebih berdiversifikasi


2. Total nilai iuran irigasi menjadi lebih tinggi dan semakin tinggi jika sebagian
besar luas garapan usahatani pada musim kemarau adalah padi.

Dengan demikian prospek penerapan semakin besar jika probabilitas


petani untuk berdiversifikasi lebih tinggi dan partisipasi membayar iuran irigasi
lebih baik. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang tersebut
sangat dibutuhkan dalam merancang strategi penerapan. Oleh karena itu perlu
dikaji berdasarkan data empiris.

3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam

Konsep pola tanam mengacu pada komposisi komoditas pertanian yang


diusahakan dalam satu tahun kalender pertanian. Oleh karena itu secara garis
besar ada 3 unsur yang tercakup dalam pengertian pola tanam yaitu: (1) jumlah
jenis (diversitas), (2) skala pengusahaan masing-masing jenis, dan (3) waktu
pengusahaan. Secara garis besar pola tanam dapat dipilah menjadi dua kategori
yaitu: (1) monokultur, yang maknanya adalah bahwa dalam horizon waktu acuan
(lazimnya satu tahun) mengusahakan satu jenis komoditas, dan (2) diversifikasi
yakni dalam horizon waktu acuan mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas.

Mengacu pada dimensi yang tercakup dalam konsep pola tanam, maka
konsep diversifikasi mencakup dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dimensi
kualitatif mengacu pada jenis atau kelompok jenis komoditas yang diusahakan,
sedangkan dimensi kuantitatif mengacu pada komposisi skala pengusahaan.

Secara kualitatif, diversifikasi dapat dipilah menjadi dua berdasarkan


kategori komoditas yang diusahakan yaitu: (1) diversifikasi dengan mengusahakan
komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, dan (2) komoditas pertanian yang
tidak bernilai ekonomi tinggi. Secara kuantitatif, komposisi skala pengusahaan
67

ditentukan oleh jumlah jenis dan pangsa masing-masing jenis tersebut terhadap
keseluruhan komoditas yang tercakup dalam unit waktu acuan.

Terdapat beberapa metode yang dapat dipakai untuk memperoleh ukuran


kuantitatif yang merefleksikan diversifikasi misalnya Indeks Entrophy, Indeks
Herfindahl, Indeks proporsi maksimum, Indeks Simpson, dan sebagainya (Pandey
and Sharma, 1996; Chand, 1996; Joshi et al, 2004). Dalam penelitian ini
digunakan Indeks Entrophy yang formulanya adalah (Theil and Finke, 1983):
n
E   pi ln pi
i 1
dimana:
E = indeks Entropy
pi = luas pengusahaan komoditas jenis i terhadap total luas pengusahaan
dalam kurun waktu tertentu (dalam penelitian ini adalah satu tahun)
n = jumlah jenis komoditas yang diusahakan.

Nilai E dapat digunakan untuk memenuhi dua macam tujuan. Pertama,


untuk mengetahui deskripsi tentang tingkat diversifikasi (rata-rata, sebaran).
Kedua, sebagai landasan untuk menentukan cara pemilahan. Jika sebarannya
relatif homogen maka pemilahan menurut dimensi kualitatif adalah lebih
bermakna daripada pemilahan dari menurut dimensi kuantitatif. Sebaliknya jika
sebaran tingkat diversitas menurut dimensi kuantitatif menunjukkan sangat
heterogen, pemilahan perlu mengkombinasikan dimensi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam dimensi kualitatif, secara garis besar ada tiga alternatif pilihan pola
tanam yang lazim diterapkan petani :
1. Tidak berdiversifikasi (monokultur padi),
2. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian yang
tidak bernilai ekonomi tinggi
3. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian
bernilai ekonomi tinggi

Secara teoritis, jika acuan yang digunakan adalah potensinya untuk


menghasilkan keuntungan maka alternatif (3) dapat dikatakan lebih tinggi
daripada alternatif (2) karena alternatif (3) lebih besar peluangnya untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar. Akan tetapi alternatif (2) tidak selalu
lebih tinggi nilainya daripada alternatif (1) karena tidak ada jaminan bahwa
68

keuntungan yang dapat diperoleh dari alternatif (2) lebih tinggi daripada alternatif
(1). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa antar ketiga kategori tersebut tidak
ada jenjang yang konsisten; artinya tidak bersifat berjenjang.

Model yang lazim diterapkan untuk mengestimasi probabilitas pilihan


terhadap sejumlah alternatif tak berjenjang dimana jumlah alternatif yang dipilih
lebih dari dua adalah model multinomial logistic (mlogit) atau multinomial probit
(mprobit). Atas dasar pertimbangan itu, dalam penelitian ini yang diaplikasikan
adalah mlogit.

Model ini dikenal pula dengan istilah polytomous logistic regression.


Sebagaimana dinyatakan dalam Greene (2003) dan Long and Freese (2003),
model umum mlogit adalah sebagai berikut. Misalkan ada tiga kategori (1, 2, 3)
yang dijadikan pilihan (outcomes), dan misalkan basis outcome adalah alternatif 1.
Probabilitas bahwa respon untuk individu ke-j sama dengan outcome ke-i adalah:

 1
 k
, jika i  1
 1 exp(x j  m )
 m2
pij  Pr(y j  i)  
 exp(x j i )
 k
, jika i  1
 1 exp(x j  m )
 m2

dimana:
xj = vektor baris variabel-variabel bebas individu ke-j
m = vektor koefisien untuk outcome m.

Log pseudolikelihood adalah:


k
ln L   w j  I i ( y j ) ln pik
j i 1

dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan

1, jika y j  i
Ii ( y j )  
0, jika lainnya

Estimasi parameter yang digunakan dalam model mlogit adalah maximum


likelihood. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini ada tiga alternatif
69

yang ingin diketahui probabilitasnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi


pilihan terhadap masing-masing kategori tersebut. Misalkan (1),  (2), dan  (3)
masing-masing menunjukkan himpunan koefisien parameter untuk alternatif 1, 2,
dan 3 maka probabilitas untuk memilih masing-masing alternatif tersebut adalah:
(1)
e xβ
Pr( y  1)  (1) (2) (3)
e xβ  e xβ  e xβ
(2)
exβ
Pr( y  2)  (1) (2) (3)
exβ  exβ  e xβ
(3)
e xβ
Pr( y  3)  (1) (2) (3)
e xβ  e xβ  e xβ
Agar dapat dihitung maka salah satu harus dijadikan basis. Misalkan
alternatif 1 dijadikan basis outcome maka (1) = 0, sehingga probabilitas masing-
masing adalah:
1
Pr( y  1)  (2) (3)
1  exβ  e xβ
(2)
e xβ
Pr( y  2)  (2) (3)
1  exβ  exβ
(3)
exβ
Pr(y  3)  (2) (3)
1  exβ  exβ
Probabilitas relatif y = 2 terhadap basis adalah:
Pr( y  2) x β(2)
e
Pr( y  1)
Probabilitas relatif tersebut dapat pula disebut sebagai rasio risiko relatif.
Selanjutnya, jika vektor X = (x1, x2, … , xk) dan vektor  k( 2)  ( 1( 2 ) ,  2( 2) ,,  k( 2) ) ,

maka rasio risiko relatif untuk suatu perubahan satu unit dalam xi adalah:
( 2) ( 2) (2)
 (1) x1       ( i ) ( xi  1)       ( k ) x k ( 2)
e  (i )
(2) ( 2) ( 2)
e
 (1) x1       (i ) xi       ( k ) x k
e
Jadi risiko memilih alternatif 2 daripada laternatif 1 dari suatu perubahan satu unit
variabel tertentu adalah sama dengan nilai eksponensial koefisien tersebut.
70

3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam


Membayar Iuran Irigasi

Salah satu ukuran yang merefleksikan partisipasi petani dalam pembayaran


iuran irigasi adalah kepatuhannya terhadap ketentuan sistem pembayaran yang
telah disepakati oleh komunitas petani pemakai air irigasi (P3A). Secara garis
besar biaya irigasi yang dikeluarkan petani dapat dipilah menjadi 2 kategori:

1. Biaya irigasi yang dilembagakan yang umumnya terdiri dari Iuran Pelayanan
Irigasi (IPAIR) dan Iuran P3A (di Jawa Timur disebut Iuran HIPPA). Secara
umum jumlah IPAIR lebih kecil daripada Iuran HIPPA.

2. Biaya irigasi yang tidak dilembagakan dan bersifat insidentil. Tercakup


dalam kategori ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar
(menyuap) petugas pembagian air di lapangan agar memperoleh kemudahan
pelayanan air irigasi, biaya yang dikeluarkan untuk irigasi pompa.

Secara teoritis hampir semua petani menanggung biaya irigasi yang


termasuk kategori (1) dan hanya sebagian kecil yang mengeluarkan biaya irigasi
untuk kategori (2). Selain itu, rata-rata biaya irigasi yang harus dikeluarkan petani
untuk kategori (1) juga lebih besar daripada kategori (2). Oleh karena itu, evaluasi
harus lebih difokuskan pada biaya irigasi yang dilembagakan (kategori 1). Dalam
konteks ini, terdapat 4 (empat) alternatif bentuk partisipasi petani yaitu:

1. Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA.


2. Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA.
3. Membayar Iuran HIPPA tetapi tidak membayar IPAIR.
4. Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA.

Ditinjau dari sudut pandang kuantitas, total jumlah iuran irigasi alternatif 3
adalah lebih besar dari alternatif 2. Dengan demikian keempat alternatif ini dapat
dikatakan bersifat berjenjang (naturaly ordered) karena jumlah pembayaran untuk
alternatif 4 > 3 > 2 > 1. Oleh karena hubungan antar alternatif bersifat berjenjang
maka estimasi probabilitas petani dalam memilih alternatif tersebut lebih tepat
didekati dengan model ordered logistic (ologit).

Model ordered logistic (ologit) digunakan untuk mengestimasi hubungan


antara suatu variabel tak bebas ordinal dan suatu himpunan variabel tak bebas.
71

Berbeda dengan mlogit, dalam ologit urutan angka ordinal (skor) tertentu
merepresentasikan peringkat dari masing-masing kategori (dalam ologit, istilah
lazim untuk 'alternatif' adalah 'kategori'). Kategori yang diasumsikan memiliki
peringkat yang lebih tinggi dipresentasikan dengan skor yang lebih besar.

Dalam ologit, makna suatu skor diduga sebagai suatu fungsi linier
variabel-variabel tak bebas dan suatu himpunan dari titik-titik potong (cutpoints).
Probabilitas pilihan terhadap kategori i:
Pr(outcome j = i) = Pr(i-1 < 1x1j + 2x2j + … +  k xkj + u j  i )

diasumsikan terdistribusikan secara logistik dalam logit berjenjang, dimana:


i = koefisien parameter, i = 1, … k
i = titik potong ke-i, i = 1, …k
xij = variabel-variabel tak bebas kategori-i pengamatan-j
k = jumlah kategori

Sebagaimana dijelaskan di muka, dalam ologit maka kategori i = 1


didefinisikan sebagai nilai (jenjang) terendah, i = 2 sebagai jenjang berikutnya,
dan seterusnya. Probabilitas suatu individu-j untuk memilih kategori-i adalah:

pij  Pr( y j  i )  Pr  i 1  x j β u   i 
1 1
 
1  exp( i  x j β) 1  exp( i1  x j β)

dimana 0 didefinisikan sangat kecil (- ) dan k sangat besar (+ )


N k
Log likelihood-nya adalah: ln L   w j  I i ( yi ) ln pij
j 1 i 1

dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan


 1, jika y j  i
Ii ( y j )  
 0, jika lainnya

3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani


Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi

Jika partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi yang telah berlaku
adalah sangat baik maka strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat
difokuskan pada upaya mendorong penerapan diversifikasi usahatani. Hasil
72

analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk memilih


suatu kategori pola tanam (sebagaimana dimaksud pada 3.5.1) dapat dimanfaatkan
untuk keperluan tersebut. Sebaliknya, jika secara empiris sebagian besar petani
telah menerapkan diversifikasi maka yang lebih diperlukan adalah upaya untuk
mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Untuk itu, perumusan
strategi penerapan dapat memanfaatkan hasil analisis tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi sebagaimana yang
dimaksud pada 3.5.2 di atas.

Jika secara empiris partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi


maupun berdiversifikasi relatif rendah, maka perumusan strategi penerapan iuran
irigasi berbasis komoditas membutuhkan hasil identifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi peluang petani untuk berdiversifikasi maupun membayar iuran
irigasi secara terintegrasi. Dalam konteks ini, pemilihan untuk menentukan
kategori pilihan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan kedua aspek tersebut.

Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dikatakan efektif untuk mendorong


peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi jika penerapan sistem iuran tersebut
berhasil meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam yang lebih
berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang hemat air. Dengan asumsi bahwa
petani rasional maka pola tanam cenderung mengarah pada diversifikasi,
utamanya pada jenis-jenis komoditas hemat air agar ekspektasinya memperoleh
keuntungan bersih yang lebih tinggi tercapai. Secara umum jika pola tanam
diversifikasi diperlakukan sebagai pola tanam yang superior (lebih diinginkan)
sedangkan monokultur pada komoditas tidak hemat air (padi) diperlakukan
inferior maka kategori-kategori tersebut sifatnya dapat dikatakan berjenjang. Di
sisi lain, sebagaimana telah dibahas di atas himpunan kategori dalam konteks
pembayaran iuran irigasi adalah bersifat berjenjang. Implikasinya, himpunan
kategori yang disusun dengan mengkombinasikan pilihan pola tanam dan pilihan
dalam membayar iuran irigasi dapat dipandang sebagai kategori-kategori yang
sifatnya berjenjang. Sebagaimana telah dibahas di atas (Sub Bab 3.5.2), untuk
mengestimasi probabilitas individu untuk memilih suatu kategori dalam himpunan
kategori yang sifatnya berjenjang dapat didekati dengan model ologit.
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilandasi ekspektasi bahwa diversifikasi usahatani dan


penerapan sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas dapat digunakan
sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi.
Ruang lingkup pengertian air irigasi dibatasi pada air yang digunakan untuk
aktivitas usahatani di hamparan lahan yang tercakup dalam wilayah layanan
(command area) irigasi yang pasokannya berasal dari sistem irigasi permukaan
yang bersangkutan. Didefinisikan, penggunaan air irigasi tersebut sama dengan
total air yang digunakan untuk usahatani dikurangi dengan air yang berasal dari
curah hujan yang secara langsung jatuh di hamparan lahan sawah. Air yang
berasal dari irigasi pompa ataupun dari sumber lain (mata air) tidak
diperhitungkan dengan alasan: (1) untuk cakupan wilayah yang dikaji pangsanya
sangat kecil, dan (2) data yang cukup lengkap dan akurat tidak tersedia.

Penelitian difokuskan pada sistem irigasi yang dalam istilah keirigasian di


Indonesia disebut sistem irigasi teknis. Justifikasinya terkait dengan dua alasan
berikut. Pertama, investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem
irigasi teknis jauh lebih besar daripada sistem irigasi lainnya. Jadi, tuntutan untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi lebih relevan. Kedua, iuran irigasi
berbasis komoditas membutuhkan estimasi harga bayangan air irigasi maupun
volume penggunaan menurut kelompok jenis komoditas. Data untuk keperluan itu
hanya tersedia pada sistem irigasi teknis karena sampai saat ini berbagai fasilitas
penunjang yang dibutuhkan untuk mengukur dan memantau volume pasokan air
irigasi dan sistem distribusinya hanya tersedia pada sistem irigasi tersebut.

Unit analisis adalah wilayah. Kasus yang diteliti adalah sistem irigasi
teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Justifikasi adalah sebagai berikut.
Sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah salah satu bentuk modifikasi dari
metode 'volumetric pricing'. Prospeknya lebih baik jika diterapkan pada sistem
irigasi yang telah maju. Secara empiris sistem irigasi teknis di DAS Brantas
adalah paling maju di Indonesia sehingga persyaratan tersebut dapat dipenuhi.
74

Secara teoritis tingkat kelaikan penerapan suatu hasil penelitian empiris


adalah semakin tinggi jika model yang dikembangkan mampu menangkap tingkat
keragaman yang lebih luas. Dalam elaborasi model, variasi spatial maupun variasi
temporal ketersediaan maupun kebutuhan terhadap sumberdaya (air irigasi) harus
didisagregasi sampai pada tingkat yang relatif rinci, dalam arti relevan dengan
tingkat rincian yang secara empiris layak diterapkan.

Menurut dimensi spatial, sistem irigasi teknis di DAS Brantas dirinci


menjadi tiga bagian yaitu: Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir
yang terkait dalam suatu bentuk hubungan searah dari Hulu ke Hilir. Rincian ini
perlu diperlukan berdasarkan pertimbangan:

1. Meskipun dalam perencanaan distribusi pasokan air irigasi antar Sub DAS
telah diupayakan agar merata, tetapi dalam praktek ternyata berbeda.

2. Adanya perbedaan yang nyata dalam pola tanam, produktivitas, maupun


harga-harga masukan keluaran usahatani antar Sub DAS.

Dalam dimensi temporal, kebutuhan maupun pasokan air irigasi dalam


satu tahun dirinci lebih lanjut menjadi unit-unit waktu yang lebih pendek sehingga
pola sebaran temporalnya diketahui. Selama ini unit waktu yang paling banyak
digunakan adalah musim dimana dalam satu tahun kalender pertanian terdapat dua
musim yaitu: (1) musim penghujan, disingkat MH (berlangsung pada periode
Oktober/November – Maret/April), dan (2) musim kemarau, disingkat MK
(berlangsung pada periode April/Mei – September/Oktober). Perincian lain yang
juga lazim adalah berdasarkan Musim Tanam (MT). Sebagaimana yang dibahas
dalam kerangka pemikiran, untuk lahan pesawahan irigasi terdapat tiga musim
tanam yaitu: MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2).

Jika dikaitkan dengan kondisi empiris di lapangan, ternyata tingkat rincian


seperti itu kurang memadai karena terlampau agregat. Faktanya, dalam satu
musim tanam saja terdapat terdapat variasi yang cukup besar. Sebagai ilustrasi,
awal pengusahaan tanaman padi untuk usahatani pada MT I tidak hanya terjadi
pada Bulan Oktober atau November saja. Cukup banyak petani yang menanam
padi pada Bulan Desember, bahkan ada juga yang baru menanam pada Bulan
Januari. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap sebaran
75

temporal kebutuhan air irigasi dan segala implikasinya. Sebagai contoh, dengan
teknik pemberian air ke tanaman yang sama, kebutuhan air irigasi per hektar
untuk menerapkan pola tanam padi – padi – kedele yang awal pengusahaannya
dimulai pada Bulan Oktober berbeda dengan yang dimulai pada Bulan November.

Secara teoritis tingkat perincian temporal yang ideal haruslah mengacu


pada pertimbangan agronomi. Persoalannya, tingkat rincian seperti itu
membutuhkan model yang sangat kompleks dan dalam tataran pragmatis
seringkali juga tidak sulit dipraktekkan. Berpijak pada keterbatasan data yang
tersedia, disagregasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah per bulan.
Implikasinya, informasi yang dihasilkan adalah: (1) pola distribusi bulanan
kebutuhan dan perbandingan relatifnya dengan ketersediaan air irigasi, (2) harga
bayangan air irigasi per bulan, dan (3) pola optimal pengusahaan komoditas
pertanian dalam unit pengamatan bulanan.

Adalah fakta bahwa di lapangan komoditas yang diusahakan oleh petani di


lahan sawah irigasi sangat beragam. Bukan hanya padi, tetapi juga palawija dan
sayuran, tebu, tembakau, rumput gajah, bahkan juga tanaman tahunan seperti
jeruk dan mangga. Dalam penelitian ini jenis-jenis komoditas yang pangsa luas
pengusahaannya sangat kecil (kurang dari 1 %) tidak diperhitungkan. Oleh karena
itu komoditas tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, rambutan, rumput gajah,
ataupun tanaman semusim seperti labu kuning, gambas, dan sebagainya tidak
tercakup dalam penelitian.

4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan

Dengan asumsi bahwa peranan air irigasi dalam usahatani merupakan


masukan antara (intermediate input) maka metode valuasi dapat didekati dengan
Residual Imputation Approach (RIA) (Young, 1996). Penelitian ini menggunakan
salah satu varian RIA tersebut yaitu metode Change in Net Income (CINI) dengan
pemrograman linier. Metode ini relatif sederhana tetapi lazim digunakan (Berbel
and Gomez-Limon, 2000, Tsur et al, 2002, Florencio-Cruz et al, 2002). Formulasi
fungsi tujuan, kendala, dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
76

4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas

Sesungguhnya tujuan petani adalah memaksimumkan kesejahteraan yang


dalam model rumah tangga petani (farm household model) didekati dari
maksimisasi utilitas dengan kendala sumberdaya rumah tangga (Nakajima 1986,
Singh et al, 1986). Sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian, maka dalam
penelitian ini dilakukan penyederhanaan. Dengan asumsi petani adalah rasional,
dibatasi bahwa fungsi tujuan adalah maksimisasi keuntungan bersih usahatani.

Keuntungan bersih usahatani untuk setiap komoditas adalah sama dengan


total penerimaan dikurangi total biaya usahatani. Tercakup dalam total biaya
usahatani adalah nilai (imputed) sarana produksi yang tidak perlu dibeli (misalnya
benih milik sendiri), nilai tenaga kerja dalam keluarga yang dicurahkan, sewa
lahan, dan bunga pinjaman. Kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak
diperhitungkan atau diasumsikan tidak ada, dengan alasan: (i) data untuk
mengestimasi kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak tersedia, (ii)
sebagian besar petani adalah petani kecil sehingga kompensasi terhadap
manajemen lazimnya telah tercakup dalam nilai tenaga kerja dalam keluarga.

Estimasi koefisien fungsi tujuan yaitu keuntungan bersih untuk setiap


kelompok komoditas menggunakan pendekatan rataan terbobot (weighted
average). Justifikasinya: (a) variasi keuntungan usahatani antar jenis komoditas
dalam satu kelompok yang sama cukup besar, (b) pangsa luas garapan antar jenis
komoditas bervariasi. Pembobot yang digunakan adalah luas garapan. Jadi:

 G 
m

ij   ij
j 1
i  m

G
j 1
ij

dimana:
 i = rata-rata terbobot keuntungan bersih aktivitas i.
Gij = luas pengusahaan komoditas i yang termasuk kelompok aktivitas j
 ij = keuntungan bersih per hektar usahatani komoditas i yang termasuk
kelompok komoditas j

Diasumsikan bahwa dalam kategori tenaga kerja yang sama substitusi


antara tenaga kerja rumah tangga rumah tangga dengan tenaga kerja upahan
77

berlangsung sempurna sehingga tingkat upah dapat digunakan sebagai "harga"


tenaga kerja dalam keluarga. Nilai sewa lahan diperoleh dari contoh. Pada status
garapan bukan sewa (milik, bagi hasil, dan lain sebagainya) maka nilai sewa lahan
diasumsikan sama dengan rata-rata nilai sewa dari petani contoh berstatus
garapan sewa. Unit analisis untuk memperoleh estimasi nilai sewa lahan adalah
blok tertier contoh karena nilai sewa antar blok tertier contoh cukup bervariasi.

Dalam penelitian ini data tentang sumber modal usahatani yang berasal
dari pinjaman sangat terbatas dan tidak cukup reliable untuk dianalisis. Di sisi
lain, menurut Young (1996), agar hasil valuasi air irigasi tidak bias ke atas (over
estimate) maka semua komponen biaya (termasuk bunga modal usahatani) harus
diperhitungkan. Dengan menyadari keterbatasannya, dalam penelitian ini
diasumsikan bahwa bunga modal pinjaman adalah sekitar 12 persen per tahun,
atau 1 persen per bulan. Nilai penerimaan, biaya, dan keuntungan bersih maupun
tunai usahatani masing-masing kelompok komoditas tertera pada Lampiran 2.

Secara empiris bukan hanya padi yang diusahakan petani di lahan sawah
tetapi juga palawija, sayuran (hortikultura), dan tanaman industri (tebu, tembakau,
dan lain-lain). Bahkan ada juga yang mengusahakan tanaman tahunan seperti
jeruk, mangga, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang diperhitungkan adalah
22 jenis komoditas, yakni komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman
tebu yang secara historis banyak diusahakan oleh petani di lokasi penelitian.

Sebagaimana telah dibahas di muka, harga bayangan air irigasi


dipengaruhi oleh distribusi spatial dan temporal ketersediaan maupun kebutuhan
terhadap sumberdaya tersebut. Untuk mengetahui pengaruh spatial dilakukan
pemilahan Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menjadi 3 wilayah Sub DAS yaitu:

1. Sub DAS Brantas Hulu. Lokasi yang dijadikan contoh adalah Wilayah
Irigasi Lodoyo-Tulungagung dengan luas hamparan 12 321 hektar. Sumber
utama air irigasi adalah dari Dam Wlingi.

2. Sub DAS Brantas Tengah. Lokasi contoh adalah Wilayah Irigasi Mrican
seluas 28 904 hektar yang terdiri dari Mrican Kanan (16 334 Ha) dan Mrican
Kiri (12 570 Ha). Sumber utama air irigasi adalah dari Sungai Brantas yang
mekanisme pengaturannya menggunakan Bendung Gerak (Barrage) Mrican.
78

3. Sub DAS Brantas Hilir. Lokasi yang diambil sebagai contoh adalah Wilayah
Irigasi Delta Brantas dengan luas hamparan 27 362 hektar. Sumber utama air
irigasi adalah dari Dam Lengkong.

Untuk mengetahui pengaruh distribusi temporal kebutuhan maupun


ketersediaan air irigasi maka setiap komoditas dirinci lebih lanjut berdasarkan
periode pengusahaannya. Kecuali untuk komoditas tebu dan ubikayu, tingkat
rincian yang digunakan adalah bulanan sehingga untuk setiap jenis komoditas
dirinci lebih lanjut menjadi 12 aktivitas. Aplikasi metode tersebut berimplikasi
pula terhadap keuntungan usahatani karena variasi bulanan terjadi pula pada harga
masukan, harga keluaran, dan adanya variasi produktivitas usahatani antar musim.

Disagregasi menurut dimensi spatial dan dimensi temporal sperti tersebut


di atas adalah berimplikasi pada jumlah aktivitas yang tercakup dalam model.
Secara keseluruhan terdapat (2112  3)  (1 3))  759 aktivitas yang harus
dicakup dalam model. Oleh karena itu dilakukan penyederhanaan. Dalam
penelitian ini, penyederhanaan dilakukan dengan cara mengagregasikan 22
komoditas yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini menjadi 4 kelompok
komoditas. Basis pengelompokan adalah kedekatan karakteristik komoditas
dalam konteks kebutuhan air irigasi yaitu:

1. Kedekatan karakteristik dalam durasi kebutuhan air irigasi untuk satu siklus
usahatani yang dihitung sejak penyiapan lahan sampai dengan panen

2. Kedekatan karakteristik dalam cara pemberian air untuk tanaman yang lazim
diaplikasikan petani. Secara garis besar ada dua macam cara pemberian air ke
tanaman yang dipraktekkan petani yaitu:

(1) Dengan penggenangan. Secara empiris, penggenangan hanya diaplikasikan


untuk tanaman padi; khususnya pada saat pengolahan tanah, fase
pertumbuhan vegetatif awal, dan fase pertumbuhan generatif awal yakni
menjalang pembungaan – akhir masa pengisian biji.

(2) Tanpa penggenangan. Lazimnya petani menerapkannya dalam usahatani


untuk sebagian besar komoditas pertanian selain padi.
79

Keempat kelompok komoditas tersebut adalah: padi, palawija/hortikultur/


tanaman industri kategori-1, palawija/hortikultur/tanaman industri ketegori-2, dan
tebu. Jenis komoditas yang tercakup di setiap kelompok tersebut dapat disimak
pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam pemodelan

Kelompok komoditas Komoditas yang tercakup


Komoditas Utama Komoditas lainnya
1. Padi Padi -
2. Palawija/hortikultur/ tanaman Jagung Kacang panjang
industri kategori-1 (P/H_1) Tomat
Bengkoang
Ubi jalar
Cabai rawit
Cabai merah besar
Cabai keriting
Tembakau
3. Palawija/hortikultur/ tanaman Kedele Kacang tanah
industri kategori-2 (P/H_2) Kacang hijau
Bawang merah
Terong
Paria
Mentimun
Krai
Semangka
Blewah
4. Tebu Tebu Ubikayu

Dengan penyederhanaan seperti tersebut di atas maka jumlah aktivitas di


setiap Sub DAS adalah 37. Oleh karena dalam model dilakukan pula disagregasi
spatial menjadi 3 Sub DAS maka secara teoritis terdapat 111 aktivitas yang
tercakup dalam model. Sebaran temporal kebutuhan air irigasi di masing-masing
Sub DAS berbeda meskipun aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya sama
karena rata-rata laju evapotranspirasi untuk setiap aktivitas antar Sub DAS
berbeda. Daftar aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya di setiap Sub
DAS dapat disimak pada Tabel 3.
80

Tabel 3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam
model

Kelompok Musim Kode Waktu pengusahaan


komoditas tanam aktivitas*) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep

Padi MH (x/y/z)_1 vvv vvv vvv vvv


(x/y/z)_2 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_3 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_4 vvv vvv vvv vvv
MK-1 (x/y/z)_5 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_6 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_7 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_8 vvv vvv vvv vvv
MK-2 (x/y/z)_9 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_10 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_11 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_12 vvv vvv vvv vvv

Palawija/ MH (x/y/z)_13 vvv vvv vvv vvv


hortikultura/ (x/y/z)_14 vvv vvv vvv vvv
tanaman (x/y/z)_15 vvv vvv vvv vvv
industri_1 (x/y/z)_16 vvv vvv vvv vvv
MK-1 (x/y/z)_17 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_18 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_19 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_20 vvv vvv vvv vvv
MK-2 (x/y/z)_21 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_22 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_23 vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_24 vvv vvv vvv vvv

Palawija/ MH (x/y/z)_25 vvv vvv vvv


hortikultura/ (x/y/z)_26 vvv vvv vvv
tanaman (x/y/z)_27 vvv vvv vvv
industri_2 (x/y/z)_28 vvv vvv vvv
MK-1 (x/y/z)_29 vvv vvv vvv
(x/y/z)_30 vvv vvv vvv
(x/y/z)_31 vvv vvv vvv
(x/y/z)_32 vvv vvv vvv
MK-2 (x/y/z)_33 vvv vvv vvv
(x/y/z)_34 vvv vvv vvv
(x/y/z)_35 vvv vvv vvv
(x/y/z)_36 vvv vvv vvv
Lainnya - (x/y/z)_37 vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv

*): x = aktivitas di Sub DAS Hulu


y = aktivitas di Sub DAS Tengah
z = aktivitas di Sub DAS Hilir
81

4.2.2. Kendala Sumberdaya

Dalam konteks spatial, terdapat dua kategori sumberdaya yaitu: (1) bersifat
spesifik wilayah, dan (2) bersifat lintas wilayah. Suatu sumberdaya dikategorikan
bersifat spesifik wilayah jika mobilitas spatialnya sangat kecil atau nol, dan
dikategorikan bersifat lintas wilayah jika mobilitas spatialnya sangat tinggi. Sifat
lintas wilayah dapat dipilah lebih lanjut: (1) satu arah (misalnya air irigasi), dan
(2) dua arah (misalnya tenaga kerja). Dalam penelitian ini ada 4 macam
sumberdaya yang tercakup sebagai kendala dalam maksimisasi keuntungan
usahatani yaitu lahan, air irigasi, modal, dan tenaga kerja. Rincian masing-masing
kendala tersebut adalah sebagai berikut.

4.2.2.1. Lahan

Kendala sumberdaya lahan bersifat spesifik wilayah karena mobilitas


spatialnya dianggap nol. Dalam model yang diterapkan pada penelitian ini
terdapat dua jenis kendala yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya, dan (2) definisi.
Lahan yang tersedia adalah luas lahan sawah yang berada dalam cakupan layanan
irigasi (command area). Kendala definisi berupa persamaan yang
mengekspresikan persyaratan bahwa aktivitas pada waktu t dapat dilakukan jika
aktivitas pada waktu t-1 telah selesai siklusnya sehingga ada lahan yang tersedia.
Ketersediaan sumberdaya lahan di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub
DAS Hilir masing-masing adalah 12 321 hektar, 28 904 hektar, dan 27 362 hektar.

4.2.2.2. Air Irigasi

Secara teoritis kendala air irigasi tidak bersifat spesifik lokal per Sub DAS
karena pasokan air irigasi di Sub DAS hulu (yang lebih atas) mempengaruhi
pasokan air irigasi di Sub DAS yang lebih bawah dalam suatu yang sifatnya
hubungan rekursif. Mengingat bahwa model merupakan penyederhanaan dan
abstraksi dunia nyata (Sinaga, 1997) maka model yang baik harus semaksimal
mungkin dapat merefleksikan kondisi empiris.

Secara empiris, alokasi spatial air irigasi pada Sistem Irigasi Teknis DAS
Brantas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management –
SM) dengan pendekatan sistem jatah. Di sisi lain, pada penelitian ini alokasi
82

spatial air irigasi menggunakan pendekatan pengelolaan permintaan yang


dimodifikasi (modified demand management – MDM) yang dalam penelitian
dianggap relevan sebagai transisi dari pendekatan SM ke pendekatan DM (demand
management). Sebagaimana dijelaskan di muka, data yang dibutuhkan dalam
pendekatan MDM ada dua jenis yaitu: (1) kuantitas air irigasi yang dapat
digunakan sebagai perkiraan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS,
dan (2) ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS.

Data tersebut diperoleh dari data "Dasarian" yang tercatat di Seksi-seksi


Cabang Pengairan dimana blok-blok tertier contoh berlokasi. Agar representatif
untuk menggambarkan kondisi "normal" maka yang digunakan adalah rata-rata
pasokan air irigasi dari data deret waktu selama 10 tahun terakhir. Pada data yang
tersedia, satuannya adalah dalam liter per detik per hektar yang dalam penelitian
ini dikonversikan dalam m3/bulan. Ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub
DAS tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di
masing-masing Sub DAS Brantas
(106 m3/Bulan)
Bulan Air irigasi yang tersedia di setiap wilayah contoh*) Kebutuhan minimum**)
Sub DA Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir Hulu Tengah Hilir
(12 321 Ha) (28 904 Ha) (27 362 Ha)
Oktober 26.188 – A10 21.499 + c10.A10 – B10 17.907 + g10.B 10 11.391 24.405 23.091
November 29.655 – A11 31.918 + c11.A11 – B11 26.958 + g11.B 11 15.184 34.918 32.142
Desember** 41.406 65.560 61.862 - - -
Januari** 42.622 68.342 63.572 - - -
Februari** 41.131 64.716 61.251 - - -
Maret** 39.174 60.390 56.905 - - -
April** 35.957 52.347 49.529 - - -
Mei** 31.792 43.304 42.772 - - -
Juni 31.405 – A6 34.745 + c6.A6 – B6 31.822 + g6.B6 16.673 38.919 36.591
Juli 26.684 – A7 22.423 + c7.A7 – B7 18.749 + g7.B7 12.236 26.490 23.907
Agustus 26.077 – A8 21.205 + c8.A8 – B8 17.862 + g8.B8 11.600 24.542 23.280
September 25.186 – A9 20.491 + c9.A9 – B9 16.498 + g9.B9 10.665 23.438 21.656

Keterangan:
At = air yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah pada waktu-t
ct = efisiensi penyaluran At dimana ct < 1
Bt = air yang ditransfer dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir pada waktu-t
gt = efisiensi penyaluran Bt dimana gt < 1
* = sebagian ditransfer ke wilayah lain
** = estimasi kebutuhan minimum air irigasi untuk Bulan Desember – Mei tidak
diperlukan karena secara empiris air irigasi tidak menjadi pembatas.
83

4.2.2.3. Modal Tunai Untuk Usahatani

Modal tunai dibutuhkan untuk membeli sarana produksi, membayar tenaga


kerja upahan, menyewa lahan (jika lahan garapannya berstatus sewa), dan
sebagainya. Sewa lahan ternyata bervariasi, ada yang per musim tanam ataupun
per tahun (lintas musim tanam). Untuk sewa lahan yang sifatnya lintas musim
tanam diasumsikan nilai sewa antar musim adalah sama sehingga nilai sewa per
hektar per musim tanam sama dengan total nilai sewa lahan dibagi dengan
frekuensi pengusahaannya (musim tanam).

Secara empiris modal tunai merupakan salah satu kendala yang dihadapi
petani dalam berusahatani. Petani yang kemampuan permodalannya sangat
terbatas cenderung menerapkan pola tanam yang hemat kapital. Oleh karena itu
partisipasi petani miskin dalam mengusahakan komoditas-komoditas bernilai
ekonomi tinggi pada umumnya sangat rendah karena pengusahaan komoditas
seperti itu cenderung padat modal meskipun sebenarnya secara potensial dapat
memberikan keuntungan yang lebih besar.

Data tentang ketersediaan modal tunai usahatani pada suatu wilayah tidak
dapat digali secara langsung sehingga perlu diestimasi dengan pendekatan tidak
langsung. Dalam estimasi itu diperlukan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan
kondisi empiris dan kerangka pikir teoritis.

Kondisi empiris yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan


metode estimasi antara lain adalah:

1. Sebagian besar petani mengandalkan cara swadana untuk memenuhi


kebutuhan modal usahataninya. Hal ini antara lain disebabkan akses petani
terhadap lembaga perkreditan formal pada umumnya sangat rendah. Di pihak
lain lembaga perkreditan formal di pedesaan pada umumnya lebih tertarik
melayani kredit untuk usaha non pertanian seperti industri kerajinan rakyat,
perdagangan, ataupun jasa-jasa lainnya.

2. Oleh karena sebagian besar petani mengandalkan sumber permodalan untuk


usahatani dari modal sendiri maka kemampuan permodalan usahatani
tergantung pada pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Jadi,
kemampuan permodalan berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita.
84

3. Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usahatani
tetapi juga berasal dari bekerja dan atau berusaha pada kegiatan non usahatani
seperti berburuh tani, berburuh/bekerja di sektor non pertanian (termasuk pula
jika yang bersangkutan menjadi pegawai swasta/negeri), berdagang, usaha
industri kecil, dan lain sebagainya; bahkan termasuk pula kiriman dari anggota
rumah tangganya yang bekerja di kota/luar negeri sebagai migran sirkuler.

4. Dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga tidak ada pemilahan


eksklusif. Dengan demikian, anggaran yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhan modal usahatani tidak hanya berasal dari penerimaan usahatani.

5. Sebagian besar petani yang tidak dapat memenuhi kebutuhan modal


usahataninya cenderung meminjam dari petani lainnya (sebagai implikasi dari
definisi petani maka pedagang saprodi atau pedagang hasil-hasil pertanian
juga merupakan anggota populasi petani jika mereka mengelola usahatani).

6. Dalam transaksi kredit, faktor yang berpengaruh adalah lokasi (jarak). Petani
mengandalkan sumber pinjaman dari petani lain yang lokasinya lebih dekat.

Terkait dengan ketersediaan modal tunai untuk usahatani tersebut


diasumsikan bahwa:

1. Jika air irigasi tidak menjadi kendala maka pola tanam yang diterapkan hanya
dibatasi oleh modal yang tersedia.

2. Pengetahuan dan kemampuan teknis petani dalam berusahatani homogen.

3. Mobilitas modal usahatani dalam satu Sub DAS sempurna, sedangkan antar
Sub DAS mobilitasnya dianggap nol karena jarak antar Sub DAS relatif jauh
(Peta wilayah pada Lampiran 3).

4. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya maka


sumber pinjaman yang dapat diakses adalah dari petani lain yang tidak miskin.

5. Petani contoh yang dijadikan responden mewakili populasi petani di lokasi


penelitian.

Berdasarkan pertimbangan kondisi empiris (butir 1 sampai 6) dan asumsi


(butir 1 sampai 5) tersebut di atas maka maksimum modal usahatani yang tersedia
85

dapat diproksi dari rata-rata biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani yang
berada di atas garis kemiskinan pada usahatani di persil-persil lahan sawah yang
tidak mengalami kendala air irigasi. Dengan demikian dapat dipresentasikan
sebagai berikut:
CR
MR   LR
GR
dimana
M R  modal tunai usahatani yang tersedia di Sub DAS R contoh

C R  rata-rata modal usahatani per tahun yang dikeluarkan petani tidak


miskin (di atas garis kemiskinan) pada persil-persil sawah garapan
di Sub DAS R contoh yang tidak mengalami kendala air irigasi.
GR  rata-rata luas sawah garapan tersebut pada C R
LR  total luas sawah di Sub DAS R contoh

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah petani tidak miskin yang


menguasai persil-persil sawah garapan dengan pasokan air irigasi cukup (air
irigasi tidak menjadi kendala) di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir
masing-masing adalah 37, 22, dan 34 %. Rata-rata luas garapan maupun rata-rata
biaya usahatani tunai yang dikeluarkan pada persil-persil lahan sawah tersebut
dapat disimak pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk
usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi

Wilayah Jumlah petani Garapan (Ha) Rata-rata biaya usahatani (Rp.103/Th)


n (%) ( = GR ) Total ( = CR ) Per hektar
Sub DAS Hulu 44 36.67 0.826 5 949.8 7 203.2
Sub DAS Tengah 44 22.00 1.447 10 712.6 7 403.3
Sub DAS Hilir 55 34.38 1.038 7 473.7 7 200.1

Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka perkiraan modal tunai


untuk usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS adalah sama dengan
hasil pembagian kolom 5 dengan kolom 4 pada Tabel 5 dikalikan dengan luas
lahan sawah di masing-masing Sub DAS tersebut. Hasil estimasi modal tunai
usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 6.
86

Tabel 6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Total luas Modal tunai yang tersedia (Rp.106/Th)


Wilayah
sawah (Hektar) Total Per Hektar
Sub DAS Brantas Hulu 12 321 88 747.1 7.203
Sub DAS Tengah 28 904 213 988.4 7.403
Sub DAS Hilir 27 362 196 998.8 7.200

4.2.2.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dipilah menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja manusia dan
tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua
jenis yaitu pria dan wanita. Dalam penelitian ini diasumsikan substitusi tenaga
kerja manusia antar kategori adalah sempurna sehingga tenaga kerja wanita yang
tersedia dapat dikonversikan dalam unit pengukuran untuk tenaga kerja pria.
Faktor konversi adalah perbandingan total tingkat upah (termasuk upah dalam
bentuk natura) tenaga kerja wanita terhadap total tingkat upah tenaga kerja pria.

Ketersediaan tenaga kerja manusia diestimasi dengan cara berikut.


Langkah pertama adalah menentukan populasi rumah tangga yang bekerja dalam
aktivitas usahatani. Diasumsikan bahwa rumah tangga yang bekerja di usahatani
hanya terdiri dari dua: (1) rumah tangga petani, dan (2) buruh tani murni. Langkah
kedua, mengestimasi pasokan tenaga kerja per rumah tangga untuk aktivitas
usahatani yang diproksi dari rata-rata jumlah tenaga kerja per rumah tangga yang
bekerja dan atau membantu bekerja di usahatani. Oleh karena tenaga kerja rumah
tangga juga dialokasikan pada kegiatan di luar usahatani lahan sawah, maka rata-
rata Hari Orang Kerja (HOK) yang tersedia per musim tanam untuk usahatani di
lahan sawah diasumsikan sama dengan pangsa HOK pada usahatani di lahan
sawah terhadap total HOK rumah tangga yang dicurahkan untuk seluruh aktivitas
ekonomi dikalikan dengan 90 (asumsi HOK efektif per musim tanam). Bobot
untuk anggota rumah tangga usia kerja yang statusnya bekerja di usahatani adalah
satu, sedangkan yang statusnya membantu bekerja adalah setengah.

Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa mobilitas spatial tenaga kerja


adalah sempurna. Di sisi lain, fakta memperlihatkan bahwa di pedesaan terdapat
variasi musiman dalam ketersediaan tenaga kerja, terutama tenaga kerja manusia.
87

Hal ini disebabkan adanya migrasi tenaga kerja ke kota yang sifatnya musiman.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada penelitian ini ketersediaan tenaga kerja
tidak dipilah menurut Sub DAS tetapi hanya dipilah berdasarkan musim tanam.
Terkait dengan potensi intensitas tanam yang dapat diterapkan, di wilayah
pertanian beririgasi teknis dikenal tiga musim tanam yaitu: (1) Musim Tanam
(MT) I yang umumnya berlangsung pada periode Oktober – Januari, (2) MT II
(Februari – Mei), dan (3) MT III (Juni – September). Selain itu, meskipun
sesungguhnya tidak akurat Musim Tanam I seringkali juga disebut usahatani
Musim Hujan (MH), sedangkan MT II dan MT III masing-masing disebut pula
usahatani Musim Kemarau-1 (MK-1) dan Musim Kemarau-2 (MK-2).

Populasi rumah tangga petani di masing-masing region diestimasi dari


data primer, sedangkan estimasi populasi rumah tangga buruh tani murni
diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan dari desa-desa lokasi penelitian
dengan sejumlah penyesuaian. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
3
TKTAN m   TKTAN Rm
R 1
dimana:
UPAHWR
TKTAN Rm  TKPTAN Rm   TKWTAN Rm
UPAHPR

TKPTAN Rm 
LR
lR
 
 JARPK R  0.5  JARPBK R 
HOKPUSH Rm
HOKPTOTRm
 HOKEFm

TKWTAN Rm 
LR
lR

 JARWK R  0.5  JARWBK R  
HOKWUSH Rm
HOKWTOTRm
 HOKEFm

dimana:
TKTANRm = jumlah tenaga kerja untuk usahatani di Sub DAS R pada
musim m yang tersedia
TKPTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R
pada musim m yang tersedia
TKWTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R
pada musim m yang tersedia
LR = luas lahan sawah di Sub DAS R
lR = rata-rata luas pemilikan sawah di Sub DAS R
JARPK R = rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria yang bekerja
88

JARPBK R = rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria berstatus


membantu kerja
JARWK R = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita yang bekerja
JARWBK R = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita berstatus
membantu kerja
HOKPUSH Rm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk usahatani
HOKPTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk kegiatan ekonomi
HOKWUSHRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani
HOKWTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani
HOKEFm = jumlah hari orang kerja (HOK) efektif per musim
(sebagaimana dijelaskan di atas adalah 90 HOK)
R = 1, 2, dan 3 masing-masing melambangkan Sub DAS
Brantas Hulu Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS
Brantas Hilir.
m = 1, 2, dan 3 masing-masing adalah MH, MK-1 dan MK-2

Di lapangan, tenaga kerja mesin yang paling penting adalah untuk kegiatan
pengolahan tanah. Berdasarkan pertimbangan itu, dalam penelitian ini tenaga
kerja mesin yang diperhitungkan adalah traktor. Estimasi ketersediaan tenaga
kerja traktor didasarkan atas data dan atau informasi yang diperoleh dari Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lokasi Penelitian (Tulungagung, Kediri,
Nganjuk, Sidoarjo). Berdasarkan data dan informasi yang tersedia, dapat
diestimasi kapasitas kerja (pengolahan) dari traktor yang tersedia. Satuan
kapasitas olah adalah dalam hektar. Konversi ke satuan Hari Kerja Traktor (HKT)
dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas kerja tersebut dengan rata-rata
kebutuhan per hektar tenaga kerja traktor untuk pengolahan tanah. Hasil estimasi
ketersediaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS


Brantas, 1999/2000

Kategori Tenaga kerja Satuan MT I (MH) MT II (MK-1) MT III (MK-2)


3
1. Manusia 10 HOKP 12 300.5 12 291.4 11 201.9
2. Mesin (Traktor) 103 HKT 193.0 193.0 193.0
HOKP = Hari Orang Kerja (setara) Pria (rata-rata 8 jam kerja per hari)
HKT = Hari Kerja Traktor (rata-rata 10 jam kerja per hari)
89

4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam

Berdasarkan pengalaman selama ini, valuasi air irigasi dengan metode


CINI seringkali membutuhkan adanya sejumlah a priori judgment (Young, 1996)
yang mengacu pada kondisi empiris yang menggambarkan pola tanam dan teknik
pengairan yang diaplikasikan dalam usahatani. Jadi, penyertaan kendala tersebut
dalam pemodelan adalah untuk mengkondisikan agar "feasible region" yang
diekspresikan dalam model representatif terhadap kondisi empiris. Justifikasinya
adalah sebagai berikut.

Jika diasumsikan petani adalah rasional, maka pola tanam yang diterapkan
mencerminkan pilihan yang diambil dalam rangka mencapai tujuan. Justifikasinya
adalah bahwa dalam pola tanam tercakup komposisi komoditas yang yang
dimensinya mencakup: jenis komoditas (apa), skala pengusahaan (berapa), dan
waktu pengusahaan (kapan). Ketiga aspek itu merupakan substansi strategis dalam
proses pengambilan keputusan dalam rasionalitas petani untuk memaksimumkan
keuntungan usahataninya berdasarkan sejumlah kendala yang dihadapinya.

Sebagai individu yang rasional maka petani juga melakukan penyesuaian


terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, "peta"
historis pola tanam semestinya mencerminkan dinamika dari respon petani
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang dilakukannya dalam
pengelolaan usahatani. Jika sistem sosial komunitas petani terbuka (tidak
terisolasi), maka perkembangan pola tanam sebenarnya juga merupakan wujud
dari inovasi dan adaptasi kelembagaan dalam sistem pengelolan usahatani.
Terkecuali jika terjadi suatu perubahan lingkungan yang sangat besar dan atau ada
intervensi dari luar yang secara cepat (revolusi) mampu mengubah pilihan yang
dihadapi oleh suatu komunitas petani, pada umumnya gerak perubahan dan arah
perkembangan pola tanam berlangsung sedikit-demi sedikit (gradual). Dengan
demikian dalam periode yang pendek variasi pola tanam antar tahun tidak terlalu
besar. Jadi, dalam batas-batas tertentu peta historis pola tanam dapat dimaknai
sebagai daerah layak (feasible region) pola pengusahaan komoditas yang
diterapkan oleh komunitas petani; dan dalam jangka pendek perubahan yang
terjadi cenderung mengikuti pola yang diterapkan.
90

Dalam dimensi kuantitatif "peta" yang dimaksud di atas adalah


perkembangan luas tanam masing-masing komoditas yang dapat diamati dari data
deret waktu. Jika luas tanam masing-masing komoditas per tahun terinci per
musim tanam, maka dapat diperoleh "peta" yang lebih rinci. Ada tiga aspek
penting yang tercakup dalam data seperti itu: (1) ragam jenis komoditas yang
diusahakan, (2) dinamika luas pengusahaan masing-masing komoditas yang
diusahakan, dan (3) pola musiman pengusahaan komoditas.

Penyajian kuantitatif "peta" historis pola tanam yang ringkas dapat


ditempuh melalui pemanfaatan ukuran pemusatan (nilai tengah, median, modus)
dan ukuran dispersi (maksimum – minimum, ragam, standar deviasi)
perkembangan pola tanam dari data deret waktu yang tersedia. Ukuran pemusatan
yang paling lazim digunakan adalah rata-rata aljabar (arithmatic mean),
sedangkan ukuran dispersi yang paling luas digunakan adalah galat baku
(standard deviation).

Dalam penelitian ini yang dipergunakan untuk merepresentasikan "peta


historis" pola tanam adalah rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar
komoditas antar tahun. Justifikasinya: (1) informasi terpenting yang dibutuhkan
adalah komparasi antar komoditas, dan (2) pemanfaatannya lebih fleksibel
daripada besaran absolutnya.

Kendala historis pola tanam yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dipresentasikan sebagai berikut:
 p 
  x Ei 
 i1 
 BEDRm   q    EDRm
A

  xDj 
 j 1  Rm
yang dapat pula dituliskan menjadi:
 p   q 
  x Ei   H EDRm
A
   x Dj   0
 i1  Rm  j 1  Rm
dan
 p   q 
  x Ei   H EDRm
B
   xDj   0
 i1  Rm  j 1  Rm
91

dimana:
 p 
  x Ei  = total luas tanam xi dari kelompok komoditas E di
 i 1  Rm Sub DAS R pada musim m
 q 
  x Dj  = total luas tanam xj dari kelompok komoditas D di
 j 1 
  Rm Sub DAS R pada musim m
A
H EDRm = nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam
kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam
kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan
luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
B
H EDRm = nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam
kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam
kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan
luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).

A
Data perkembangan luas tanam yang digunakan dalam estimasi H EDRm
B
maupun H EDRm adalah data sekunder yang diperoleh dari Seksi-seksi Cabang

Pengairan di lokasi contoh yang dilengkapi dengan data yang diperoleh dari
wawancara dengan Pengurus P3A contoh. Hasil estimasi tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok
komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis
DAS Brantas pada periode 1990 - 2000*)

Musim P/H-1 terhadap P P/H-2 terhadap P/H-1 Tebu terhadap P


Sub DAS
Tanam Rata-rata STD**) Rata-rata STD**) Rata-rata STD**)
Sub DAS MT I 0.047 0.027 0.475 0.094 - -
Hulu MT II 0.217 0.119 0.458 0.130 - -
MT III 7.313 3.732 0.401 0.141 - -
Setahun - - - - 0.048 0.009
Sub DAS MT I 0.016 0.008 0.465 0.091 - -
Tengah MT II 0.215 0.114 0.457 0.135 - -
MT III 7.417 3.736 0.406 0.148 - -
Setahun - - - - 0.052 0.009
Sub DAS MT I 0.043 0.022 0.458 0.072 - -
Hilir MT II 0.209 0.108 0.464 0.133 - -
MT III 7.420 3.639 0.414 0.150 - -
Setahun - - - - 0.059 0.010
*) : P, P/H-1, P/H-2 masing-masing adalah kelompok komoditas padi, palawija/hortikultur
kategori 1, dan palawija/hortikultur kategori 2.
**) : Galat baku (standard deviation).
92

4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya

4.2.4.1. Lahan

Kebutuhan terhadap sumberdaya (koefisien teknologi) pada persamaan


kendala lahan adalah sama dengan 1 (satu) karena satuan untuk koefisien fungsi
tujuan maupun koefisien teknologi untuk semua persamaan kendala adalah per
hektar. Sebagaimana dibahas pada konteks ketersediaan sumberdaya (Sub Bab
4.2.2), dalam satu tahun kalender pertanian terdapat tiga musim tanam (MT) yaitu
MT I yang biasanya berimpit dengan sebagian besar dari periode yang tercakup
pada musim hujan (MH), MT II atau musim kemarau-1 (MK-1) dan MT III atau
musim kemarau-2 (MK2). Pemilahan menjadi tiga musim tanam karena secara
teoritis maupun secara empiris dalam satu tahun dapat dilakukan tiga kali
pengusahaan komoditas dominan (padi) di lahan sawah.

Mengacu pada fenomena empiris, usahatani dikategorikan termasuk


periode MH jika awal pengusahaan tanaman dilakukan pada Bulan-bulan Oktober,
November, Desember, atau Januari. Dikategorikan termasuk periode MK-1 jika
awal pengusahaannya terjadi pada Bulan-Bulan Februari, Maret, April, atau Mei;
dan dikategorikan termasuk periode MK-2 jika awal pengusahaannya dilakukan
pada Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, atau September.

4.2.4.2. Kebutuhan air Irigasi

Estimasi koefisien teknologi yang merefleksikan kebutuhan air irigasi per


kelompok komoditas mengadopsi hasil penelitian Ban (1984) yang dimodifikasi.
Peneliti tersebut mengestimasi kebutuhan air irigasi pada sistem irigasi pompa air
tanah sehingga air yang berasal dari irigasi permukaan dan curah hujan
diklasifikasikan "air dari sumber lain". Dalam penelitian ini, yang diestimasi
adalah kebutuhan air irigasi permukaan sehingga yang diklasifikasikan "air dari
sumber lain" adalah air dari curah hujan (curah hujan efektif). Air dari irigasi
pompa tidak diperhitungkan karena: (i) sumber sadapannya dari air tanah dangkal
yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh air irigasi permukaan yang meresap
ke dalam tanah, (ii) proporsi pasokan air dari irigasi pompa sangat kecil.
93

Koefisien kebutuhan air irigasi yang dihasilkan dalam penelitian Ban


(1984) adalah: (1) kebutuhan bulanan untuk usahatani padi November – Februari
(MT I) dan Maret – Juni (MT II), (2) kebutuhan bulanan untuk usahatani palawija
Juni – September (MT III), dan (3) untuk usahatani tebu (Oktober – September).
Untuk memperoleh koefisien bulanan pada periode-periode pengusahaan yang
lain, dilakukan penyesuaian dengan memanfaatkan pola kebutuhan air irigasi
bulanan dari konsep yang dikembangkan oleh Dinas Pengairan. Jadi besarannya
mendekati hasil penelitian Ban (1984), sedangkan pola sebaran temporalnya
menyerupai distribusi temporal kebutuhan air irigasi yang dikembangkan oleh
Dinas Pengairan. Hasil estimasi tertera pada Lampiran 4, 5, dan 6.

Mengacu pada konsep pengembangan komoditas, maka konsep yang


dikembangkan dalam mengestimasi kebutuhan air irigasi diderivasi dari pola
tanam yang akan diterapkan (Ban, 1984). Dalam konteks itu, pemahamannya
harus memperhitungkan tiga aspek pokok berikut:

1. Konsep-konsep pengembangan pola tanam. Dalam konteks ini perlu dipahami


kecenderungan perubahannya maupun konstelasinya dalam konsep
pembangunan pertanian dalam arti luas.

2. Aspek sosial ekonomi wilayah. Ini dapat digali dari studi agroekonomi secara
komprehensif. Dalam konteks ini, ada dua gugus informasi yang harus
diketahui yaitu: (1) keragaan sosial ekonomi rumah tangga petani (penguasaan
tanah, struktur pendapatan, aplikasi teknologi usahatani, teknik irigasi yang
diterapkan, dan lain-lain), dan (2) struktur perekonomian wilayah, baik kondisi
aktual maupun perkiraan tentang arah perkembangannya di masa mendatang.

3. Kondisi sumberdaya alam, terutama iklim (curah hujan, suhu rata-rata,


kelembaban, dan sebagainya) dan kondisi tanah.

Selanjutnya, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi


kebutuhan air untuk tanaman (evapotranspirasi, laju perkolasi, koefisien tanaman,
dan sebagainya) ditentukan kebutuhan air irigasi neto maupun total. Secara
ringkas, konstelasi hubungan antar faktor tersebut dapat disimak dari skema yang
tertera pada Gambar 8.
94

Mulai
 Konsep pembangunan pertanian
 Studi agroekonomi
 Kondisi iklim
Rancangan
Pola Tanam  Evapotranspirasi
 Koefisien tanaman
 Laju perkolasi
 Pudding water
 Curah hujan efektif
Kebutuhan air
neto

Efisiensi irigasi

Diversi kebutuhan
air = (kebutuhan air neto)/(efisiensi irigasi)

Air dari sumber lain

Permintaan air di
area irigasi = (diversi kebutuhan air) – (air dari sumber lain)

Selesai

Gambar 8. Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi

Konsep tersebut merupakan landasan untuk menyusun prosedur kalkulasi


kebutuhan air irigasi. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
estimasi kebutuhan air irigasi, disajikan prosedur kalkulasi yang ditempuh Ban
(1984) sebagaimana tertera pada Gambar 9.

Kebutuhan air irigasi total (GR) untuk suatu areal tertentu ditentukan oleh
luas areal (A), kebutuhan neto di lapangan (NR), dan efisiensi irigasi (IE).
Formulasinya adalah:
GR  A  NR  IE 1
Sedangkan kebutuhan air irigasi neto di lapangan (net field irrigation requirement
= NR) dipengaruhi oleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah (LR), kebutuhan
tanaman (crop consumptive use of water = Cu), laju perkolasi (PR), kebutuhan air
untuk pesemaian (Nr), dan curah hujan efektif (ER) dengan formula:

NR  LR  Cu  Nr  PR  ER
95

1. Curah hujan harian


2. Suhu rata-rata
= 3. Rata-rata kelembaban relatif
Data Meteorologi
4. Rata-rata kecepatan angin
5. Rata-rata sinar matahari (jam)
Estimasi / kalkulasi 6. Rata-rata evaporasi (A-pan)
dengan metode yang
tepat/sesuai

Evapotranspirasi Potensial (ETo)

Kondisi Lahan
Rencana Pola tanam

Koefisien Tanaman (KC)

Kebutuhan Air untuk


Penggunaan oleh tanaman (Cu) Pengolahan Tanah (LR)

Kebutuhan Air untuk Pesemaian (Nr)


Laju Perkolasi (PR)

Curah Hujan Efektif (ER)

Kebutuhan Air Neto NR = [ Cu dan/atau Nr + LR +PR – ER]

- Efisiensi penyaluran
Efisiensi Irigasi (IE) = - Efisiensi pengoperasian
- Efisiensi aplikasi di hamparan

Kebutuhan Air Total (Diversi) GR = NR/IE

Gambar 9. Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman


96

Laju perkolasi dipengaruhi oleh jenis tanah, terutama faktor-faktor yang


mempengaruhi porositas tanah (kadar liat tanah, kadar pasir, bahan organik).
Untuk sistem irigasi teknis di DAS Brantas, laju perkolasi yang selama ini
dijadikan acuan adalah sekitar 2.2 mm/hari – 4.4 mm/hari.

Kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dipengaruhi oleh kondisi tanah dan
cara pengolahan tanah. Kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah
yang dipergunakan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode berikut
(Nippon Koei and JICA, 1993):

M  e k ( Eo  P )  e( M T ) / S 
LR  
e k 1 e ( M T ) / S   1
dimana:
M = kebutuhan air untuk mengkompensasi evaporasi dan perkolasi
hamparan dalam keadaan jenuh
E0 = evaporasi (untuk pengolahan tanah disetarakan = 1 x ET0)
P = perkolasi
T = periode pengolahan tanah (untuk usahatani padi dihitung 20 hari)
S = kebutuhan untuk penjenuhan (200 mm) ditambah dengan 50 mm
untuk lapisan tanah sehingga S = 200 mm + 50 mm = 250 mm

Kebutuhan air untuk pengolahan tanah yang selama ini dijadikan acuan
dalam sistem irigasi teknis di Indonesia adalah sekitar 16 mm/hasi – 20 mm/hari.

Kebutuhan tanaman (Cu) ditentukan oleh evapotranspirasi dan koefisien


tanaman (crop coefficient = Kc). Evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh
iklim, yaitu suhu, kelembaban, angin, dan lama penyinaran matahari (sunshine
hours); sedangkan koefisien tanaman tergantung pada jenis atau kelompok jenis
tanaman. Pada dasarnya Cu merupakan perkalian antara ETo dengan Kc. Jadi,

Cu  ETo  Kc .

Terkecuali jika pesemaian dilakukan di tempat lain yang terpisah dari


hamparan yang akan dijadikan lahan penanaman, kebutuhan air untuk pesemaian
lazimnya telah termasuk dalam kalkulasi kebutuhan air untuk pengolahan tanah.
97

Curah hujan efektif yang sering dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis
di DAS Brantas adalah sekitar 50 persen (kisaran 48 - 55 persen) yang dihitung
berdasarkan persamaan:

Re  f  151  R
dimana:
f = tingkat curah hujan efektif
Re = curah hujan efektif dalam mm/hari
R = curah hujan tengah bulanan minimum pada siklus lima tahunan

4.2.4.3. Modal Tunai Untuk Usahatani

Modal tunai diperlukan petani untuk memenuhi biaya usahatani yang


secara riil dikeluarkan petani untuk membeli sarana produksi yang tidak
dihasilkan sendiri oleh petani, untuk membayar tenaga kerja luar keluarga (buruh
tani), untuk membayar sewa lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan konsep biaya
total (untuk menghitung keuntungan bersih usahatani pada estimasi koefisien
fungsi tujuan) dimana nilai setiap komponen biaya adalah imputed, dalam biaya
tunai nilai setiap komponen biaya tersebut adalah yang secara riil dikeluarkan oleh
petani. Sebagai contoh, pada konsep biaya total estimasi rata-rata nilai sewa lahan
menggunakan asumsi bahwa semua petani adalah penyewa lahan; sedangkan pada
konsep biaya tunai rata-rata nilai sewa lahan dihitung dari total nilai sewa lahan
yang dikeluarkan oleh petani yang secara riil menyewa lahan dibagi dengan
seluruh populasi. Oleh karena itu secara umum nilai untuk setiap komponen biaya
imputed lebih besar daripada nilai tunai sehingga biaya total pada umumnya besar
daripada biaya tunai.

Data yang digunakan untuk mengestimasi biaya tunai berupa data primer
dari hasil survey di tingkat petani. Estimasi koefisien kebutuhan modal tunai
usahatani per hektar untuk masing-masing aktivitas (kelompok komoditas)
menggunakan rata-rata terbobot (weighted average) dimana pembobotnya adalah
skala pengusahaan komoditas yang bersangkutan. Hasil estimasi tertera pada
Lampiran 7.
98

4.2.4.4. Tenaga Kerja

Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani adalah total tenaga kerja yangt
dibutuhkan sejak penyiapan lahan sampai dengan panen. Tenaga kerja dipilah
menjadi dua: (1) tenaga kerja mekanis, dan (2) tenaga kerja manusia. Penggunaan
tenaga kerja mekanis terutama adalah untuk pengolahan tanah. Pada umumnya
yang digunakan adalah traktor roda dua, bukan traktor roda empat karena petakan
sawah pada umumnya kecil-kecil. Penggunaan tenaga kerja ternak sangat kecil
(kurang dari 4 %) sehingga dalam penelitian ini dikelompokkan dalam tenaga
kerja manusia dengan cara mengkonversinya ke tenaga kerja manusia. Basis
konversi adalah ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tenaga kerja ternak.

Lazimnya tenaga kerja manusia dalam usahatani ada tiga kategori: (1) pria,
(2) wanita, dan (3) anak-anak. Tenaga kerja kategori (3) tidak diperhitungkan
karena dalam pasar tenaga kerja tidak ada (tidak ada upah untuk tenaga kerja
anak-anak). Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah dalam setara pria (HOKP).
Dengan asumsi tingkat upah mencerminkan produktivitasnya, maka konversi Hari
Orang Kerja Wanita (HOKW) maupun Hari Kerja Ternak ke HOKP
menggunakan perbandingan tingkat upah. Tingkat upah yang digunakan adalah
dalam nilai upah per jam kerja, dimana didalam upah tersebut tercakup pula upah
yang berbentuk natura (makanan, minuman, rokok/tembakau). Bawon, yakni upah
panen padi dikonversikan dalam rupiah berdasarkan harga gabah kering panen
karena bawon diberikan dalam bentuk gabah kering panen. Hasil estimasi
kebutuhan tenaga kerja masing-masing peubah keputusan (aktivitas) tertera pada
Lampiran 8.

4.3. Spesifikasi Model

Bentuk umum model valuasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dipresentasikan secara matematis sebagai berikut. Misalkan xi , yi , dan z i

masing-masing melambangkan aktivitas yakni pengusahaan komoditas pertanian


di lahan sawah irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu, Sub DAS Brantas Tengah,
dan Sub DAS Brantas Hilir. Dimensi yang tercakup dalam definisi aktivitas
adalah jenis komoditas dan periode pengusahaan. Jadi pengusahaan komoditas
99

yang sama didefinisikan sebagai aktivitas yang berbeda jika periode


pengusahaannya berbeda. Selanjutnya, misalkan:
 Xi ,  Yi ,  Zi : keuntungan bersih per hektar dari aktivitas xi , yi , z i

S Xj , S Yj , S Zj : lahan yang tersedia di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah,


dan Sub DAS Hilir pada musim tanam ke – j.
Berdasarkan kondisi empiris di lapangan, dalam satu tahun
kalender pertanian terdapat empat musim tanam (MT)
yaitu MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2).

 Xit ,  Yit ,  Zit : kebutuhan air irigasi per hektar xi , yi , z i pada waktu t

W Xt( I ) , WYt( I ) , WZt( I ) : maksimum air irigasi yang tersedia di Sub DAS Hulu,
Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada waktu t
W Xt( II ) , WYt( II ) , WZt( II ) : jatah air irigasi sesuai kebutuhan minimum di masing-
masing Sub DAS pada waktu t
TXYt , TYZt : air irigasi yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS
Tengah dan dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir
c XYt , cYZt : efisiensi penyaluran air irigasi dari Hulu ke Tengah
dan dari Tengah ke Hilir pada waktu t
v Xi , vYi , v Zi : kebutuhan modal tunai per hektar xi , yi , z i

V X , VY , VZ : modal tunai yang tersedia di Hulu, Tengah, dan Hilir

a Xij , aYij , a Zij : kebutuhan tenaga kerja mekanis per hektar xi , yi , z i


pada musim j
A XYZ j : total tenaga kerja mekanis yang tersedia pada musim j

bXij , bYij , bZij : kebutuhan tenaga kerja manusia per hektar xi , yi , z i

B XYZ j : total tenaga kerja manusia yang tersedia pada musim j

Maka bentuk umum dari model dapat dipresentasikan secara matematis sebagai
berikut:

Maks   F ( Xi ,  Yi ,  Zi ; xi , y i , z i ) (1)
xi , y i , z i

dengan kendala:
g X j ( xi )  S X j (2)

g Y j ( yi )  S Y j (3)
100

g Z j ( zi )  S Z j (4)

h Xt ( Xit ; xit ; TXYt )  W Xt( I ) (5)

j Xt ( Xit ; xit )  W Xt( II ) (6)

kYt ( Yit , yit , c XYt , TXYt , TYZt )  WYt( I ) (7)

lYt ( Yit , yit )  WYt( II ) (8)

p Zt ( Zit , z it , cYZt , TYZt )  WYt( I ) (9)

qYt ( ZYit , zit )  WYt( II ) (10)

rX (v Xi , xi )  V X (11)

rY (vYi , yi )  VY (12)

rZ (v Zi , zi )  VZ (13)

s A j ( a Xi , aYi , a Zi ; xi , yi , zi )  AXYZ j (14)

s B j (bXi , bYi , bZi ; xi , yi , z i )  BXYZ j (15)

xi  0 (16)

yi  0 (17)

zi  0 (18)

Dalam bentuk fungsi Lagrange:

L(x, y, z, λ)  F ( x, y , z )  λgX (S X  g X (x))


 λgY (S Y  g Y (y))  λgZ (S Y  g Z (z))
 λhXt (WXt( I )  h Xt (x it , TXYt ))
 λjXt (WXt( II )  j Xt (x it ))
 λkYt (WYt( I )  k Yt (y it , c XYt , TXYt , TYZt ))
 λlYt (WYt
( II )
 l Yt (y it ))
 λpZt (WZt( I )  p Zt (z it , c YZt , TYZt ))
 λqZt (WYt
( II )
 q Zt (z it ))
 λrX (VX  rX (x i ))  λrY (VY  rY (y i ))
 λrZ (VZ  rZ (z i ))  λSA (A XYZ  s A (x i , y i , z i ))
 λSB (B XYZ  s B (x i , y i , z i )) (19)
101

Dalam fungsi Lagrange tersebut x, y, z, λ masing-masing adalah vektor


aktivitas xi , yi , z i ; sedangkan λ adalah penganda Lagrange (Lagrange

multiplier). Semua konstanta dan fungsi yang tertulis pada persamaan (19) adalah
vektor fungsi-fungsi kendala sebagaimana tertulis pada persamaan (2) sampai
dengan (18) tersebut di atas.

Kondisi derajat pertama (fisrt order condition - FOC) untuk maksimisasi


harus memenuhi Kuhn-Tucker conditions (Intriligator, 1971; Chiang, 1974).
Dengan demikian:

L F J g X j T
h Xt
    gX j    hXt
 xi  xi j 1  xi t 1  xi
T
 j Xt T
kYt T
l
   jXt    kYt   lYt Yt
t 1  xi t 1 xi t 1 xi
T
 p Zt T
q R
r
   pZt    qZt Zt    rX X
t 1 xi t 1  xi r 1 xi
J s Aj J s Bj
   SAj    SBj  0 , i = 1, 2, … , n (20)
j 1  xi j 1 xi
n
L n F J g X j T
h

i 1  xi
xi   

i 1   x i
 j 1
 gX j
 xi
 t 1
 hXt Xt
 xi
T
 j Xt T
k T
l
   jXt    kYt Yt   lYt Yt
t 1  xi t 1 xi t 1 xi
T
 p Zt T
q R
r
   pZt    qZt Zt    rX X
t 1 xi t 1  xi r 1 xi
J s Aj J  s Bj 
   SAj    SBj  xi  0 (21)
j 1  xi j 1  xi 

xi  0 , i = 1, 2, … , n (22)

L F J g Y j T
h Xt
    gY j    hXt
 yi  y i j 1  yi t 1  yi
T
 j Xt T
k T
l
   jXt    kYt Yt   lYt Yt
t 1  yi t 1  y i t 1  yi
T
 p Zt T
q Zt R
r
   pZt    qZt    rY Y
t 1  yi t 1  yi r 1  yi
J s J s
   SAj Aj    SBj Bj  0 , i = 1, 2, … , n (23)
j 1  yi j 1  yi
102

n
L n  F J gY j T
h Xt
 y yi     y    gY j
 yi
   hXt
 yi
i 1 i i  i j 1 t 1
T
 j Xt k T
l T
   jXt    kYt Yt   lYt Yt
t 1  yi t 1  y i t 1  yi
T
 p Zt T
q Zt R
r
   pZt    qZt    rY Y
t 1  yi t 1  yi r 1  yi
J s Aj J  s Bj 
   SAj    SBj  yi  0 (24)
j 1  yi j 1  y i 

yi  0 , i = 1, 2, … , n (25)

L F J g Z j T
h Xt
    gZ j    hXt
 zi  zi j 1 z i t 1 zi
T
 j Xt T
k T
l
   jXt    kYt Yt   lYt Yt
t 1 z i t 1 zi t 1 zi
T
 p Zt T
q Zt R
r
   pZt    qZt    rZ Z
t 1 zi t 1 zi r 1  zi
J s J s
   SAj Aj    SBj Bj  0 , i = 1, 2, … , n (26)
j 1  zi j 1 zi
n
L n  F J g Z j T
h Xt
 z zi     z    gZ j
z i
   hXt
 zi
i 1 i i 1  i j 1 t 1
T
 j Xt k TT
l
   jXt    kYt Yt   lYt Yt
t 1 z i t 1 zi t 1 zi
T
 p Zt T
q Zt R
r
   pZt    qZt    rZ Z
t 1 zi t 1 zi r 1  zi
J  s Aj J s Bj 
   SAj    SBj  zi  0 (27)
j 1  zi j 1  z i 

zi  0 , i = 1, 2, … , n (28)

L
 S X j  g X j ()  0 (29)
  gX j

L
  S  g Xj ()   0
J J


j 1
gX j
  gX j

j 1
gX j Xj (30)

 gX j  0 , j = 1, 2, …, J (31)

L
 SY j  g Y j ()  0 (32)
  gY j
103

L
  S  g Yj ()  0
J J

  gY j
j 1   gY j

j 1
gY j Yj (33)

 gY j  0 , j = 1, 2, …, J (34)

L
 S Z j  g Z j ()  0 (35)
  gZ j

L
   gZ j S Zj  g Zj ()   0
J J

  gZ j
j 1   gZ j j 1
(36)

 gZ j  0 , j = 1, 2, …, J (37)

L
 W Xt( I )  hX t ()  0 (38)
 hX t

  W 
T
L T

  hX t
t 1  hX t

t 1
hX t
(I )
Xt  hX t ()  0 (39)

 hX t  0 , t = 1, 2, …, T (40)

L
 W Xt( II )  j X t ()  0 (41)
  jX t

  W 
T
L T

  jX t
t 1   jX t

t 1
jX t
( II )
Xt  j X t ()  0 (42)

 jX t  0 , t = 1, 2, …, T (43)

L
 WYt( I )  kYt ()  0 (44)
 kY t

L
 
T T

 kY t
t 1
  kY t WYt( I )  kYt ()  0
 kY t t 1
(45)

 kY t  0 , t = 1, 2, …, T (46)

L
 WYt( II )  lY t ()  0 (47)
 lY t

  W 
T
L T

 lY t
t 1  lY t

t 1
lY t
( II )
Yt  lYt ()  0 (48)

lY t  0 , t = 1, 2, …, T (49)

L
 WZt( I )  p Zt ()  0 (50)
  pZ t
104

  W 
T
L T

  pZ t
t 1   pZ t

t 1
pZ t
(I )
Zt  pZt ()  0 (51)

 pZ t  0 , t = 1, 2, …, T (52)

L
 WZt( II )  q Zt ()  0 (53)
 qZ t

  W 
T
L T

 qZ t
t 1  qZ t

t 1
qZ t
( II )
Zt  q Zt ()  0 (54)

lY t  0 , t = 1, 2, …, T (55)

L
 V X  rX ()  0 (56)
rX
L
rX  rX (V X  rX ()  0 (57)
rX

rX  0 (58)
L
 VY  rY ()  0 (59)
rY

L
 rY  rY (VY  rY ()  0 (60)
rY

rY  0 (61)
L
 VZ  rZ ()  0 (62)
rZ
L
rZ  rZ (VZ  rZ ()  0 (63)
rZ

rZ  0 (64)
L
 AXYZ j  s A j ()  0 (65)
 SA j

L
  A  s A j ()   0
J J


j 1
SA j
  SA j

j 1
SA j XYZ j (66)

 SA j  0 , j = 1, 2, …, J (67)

L
 B XYZ j  s B j ()  0 (68)
 SB j
105

L
  B  s B j ()   0
J J

  SB j
j 1  SB j

j 1
SB j XYZ j (69)

 SB j  0 , j = 1, 2, …, J (70)

Seluruh variabel, fungsi, dan turunannya dievaluasi pada titik optimal


(x * , y * , z * , λ* ) . Mengingat bahwa solusi atas persamaan (20) sampai dengan (70)
harus terjadi secara simultan maka secara intuitif dapat dimengerti bahwa nilai
suatu aktivitas maupun suatu pengganda Lagrange dipengaruhi oleh aktivitas lain
ataupun sumberdaya lain sesuai dengan sifat hubungan antar aktivitas dan atau
antar kendala sumberdaya. Sebagai contoh, harga bayangan air irigasi pada suatu
bulan tertentu di Sub DAS Brantas Hilir (  pZ t ) bukan hanya dipengaruhi oleh

ketersediaan air irigasi di Sub DAS tersebut pada bulan yang bersangkutan; tetapi
dipengaruhi pula oleh ketebutuhan dan ketersediaan air irigasi pada bulan yang
lain, baik di Sub DAS itu sendiri maupun di Sub DAS Tengah (akibat adanya
transfer air irigasi dari Sub DAS Tengah). Di sisi lain mengingat ketersediaan air
irigasi di Sub DAS Tengah juga dipengaruhi oleh air irigasi yang dapat ditransfer
dari Sub DAS Hulu maka secara tidak langsung harga bayangan air irigasi di Sub
DAS Hilir tersebut juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan pasokan air irigasi di Sub
DAS Hulu. Selain dipengaruhi oleh kendala air irigasi, harga bayangan air irigasi
tersebut juga dipengaruhi oleh kendala sumberdaya lainnya (lahan, modal, dan
tenaga kerja) karena nilai aktivitas-aktivitas xi, yi, maupun zi dipengaruhi oleh
ketersediaan sumberdaya secara keseluruhan; dimana nilai suatu aktivitas juga
tergantung satu sama lain karena fungsi tujuan adalah memaksimumkan xi, yi,
maupun zi secara bersamaan.

Kondisi derajat kedua (second order condition – SOC) adalah bahwa


matrix Hessian derivasi partial kedua L (fungsi Lagrange) terhadap setiap
instrumennya yang dievaluasi pada ( x * , y * , z * , λ* ) harus definit negatif atau semi-
definit negatif. Matrix Hessian tersebut tidak disertakan dalam tulisan ini.

Pengganda Lagrange (vektor λ) mempunyai makna yang penting. Nilai λ


pada solusi optimal merupakan sensitivitas nilai optimal fungsi tujuan
F *  F (x* , y * , z * ) terhadap perubahan ketersediaan sumberdaya (sisi kanan
106

fungsi kendala) yang tak lain adalah harga bayangan (shadow price) sumberdaya.
Metode pembuktiannya dapat diikuti dalam Intriligator (1971) halaman 28 – 39.

Kondisi derajat pertama maupun kondisi derajat kedua seperti dibahas di


atas berlaku pada optimasi fungsi linier maupun non linier. Dengan beberapa
keterbatasannya, model yang digunakan dalam penelitian ini adalah linier, baik
fungsi tujuan maupun kendala. Asumsi dalam pemodelan adalah:

1. Diasumsikan, harga-harga masukan dan keluaran bersifat given dalam arti


kuantitas masukan yang digunakan ataupun keluaran yang dihasilkan tidak
mempengaruhi tingkat harga. Jadi harga harga bersifat eksogen.

2. Diasumsikan bahwa pengusahaan suatu komoditas bersifat tuntas, sehingga


waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi adalah sama dengan umur
tanaman sampai panen selesai ditambah waktu yang dibutuhkan untuk
penyiapan lahan dalam rangka pengusahaan komoditas tersebut.

3. Diasumsikan tidak terjadi pola tanam tumpang-gilir yaitu melakukan


pengusahaan komoditas tertentu dalam hamparan yang sama selagi
pengusahaan komoditas pada musim tersebut belum dipanen.

4. Diasumsikan bahwa teknologi yang diterapkan untuk satu jenis aktivitas


yang sama adalah tetap.

5. Terkecuali untuk aktivitas yang merepresentasikan pola tanam tumpangsari


yang dominan sehingga dalam model disebutkan secara eksplisit,
diasumsikan bahwa pola tanam lainnya adalah monokultur.

6. Diasumsikan bahwa ketersediaan faktor-faktor produksi ataupun sumberdaya


lain di luar sumberdaya yang diperhitungkan dalam model adalah tidak
menjadi pembatas.

7. Asumsi-asumsi yang melandasi aplikasi programa linear seperti linearitas,


proporsionalitas, aditivitas, divisibilitas, deterministik.

Dengan demikian bentuk spesifik model yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dipresentasikan sebagai berikut:
n n n
Maks     i xi    i y i    i z i
i 1 i 1 i 1
(1)

dengan kendala:
107

1. Kendala lahan (per Sub DAS per musim):


m

x
i 1
ij  SX j , j = MH, MK-1, MK2 (2)

k p

x
i 1
ij 1   xij  0
i l
(3)

y
i 1
ij  SY j , j = MH, MK-1, MK2 (4)

k p

 yij1   yij  0
i 1 i l
(5)

z
i 1
ij  SZ j , j = MH, MK-1, MK2 (6)

k p

 zij 1   zij  0
i 1 i l
(7)

2. Kendala air irigasi (per sub DAS, per bulan, dan ada transfer dari Sub DAS
Hulu ke Sub DAS Tengah serta dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir):
n


i 1
Xit  xit  TXYt  W1t (8)


i 1
Xit  xit  w1t t = Okt, Nov, … Sep (9)


i 1
Yit  yit  TYXt  TYZt  W2t (10)

TYXt  c XYt  TXYt (11)


n


i 1
Yit  yit  w2t t = Okt, Nov, … Sep (12)


i 1
Zit  z it  TZYt  W3t (13)

TZYt  cYZt  TYZt (14)


n


i 1
Zit  z it  w3t t = Okt, Nov, … Sep (15)
108

3. Kendala modal tunai usahatani (per Sub DAS per tahun):


n

v x
i 1
i i  VX (16)

v y
i 1
i i  VY (17)

v z
i 1
i i  VZ (18)

4. Kendala tenaga kerja (per musim j = MH, MK-1, MK2):


(a). Tenaga kerja mekanis:
m m m

a
i 1
Xij xij   aYij y ij   a Zij zij  AXYZ j
i 1 i 1
(19)

(b). Tenaga kerja manusiaa:


m m m

 bXij xij   bYij yij   bZij zij  BXYZ j


i 1 i 1 i 1
(20)

5. Kendala historis pola tanam (per Sub DAS per musim):


m m

 xij( P )    hj( AqpX )  xhj(Q )  0


i 1 h 1
(21)

m m

x
i 1
(P)
ij    hj( BqpX )  x hj( Q )  0
h 1
(22)

m m

y
i 1
(P)
ij    hj( AqpY )  y hj( Q )  0
h 1
(23)

m m

i 1
y ij( P )    hj( BqpY )  y hj( Q )  0
h 1
(24)

m m

z
i 1
(P )
ij    hj( AqpZ )  z hj( Q )  0
h 1
(25)

m m

 zij( P )    hj( BqpZ )  z hj(Q )  0


i 1 h 1
(26)

Dalam hal ini, P dan Q masing-masing menunjukkan kelompok komoditas padi,


palawija/hortikultur-1, dan palawija/hortikultur-2, dan tebu. Khusus untuk tebu
tidak per musim tetapi per tahun, dan pembandingnya adalah komoditas utama di
lahan sawah yaitu padi.
109

Koefisien  hj( Aqp...) menunjukkan rasio luas tanam maksimum xh dari

kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada


musim j. Sedangkan  hj( Bqp...) menunjukkan rasio luas tanam minimum xh dari

kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada


musim j. Sebagaimana sebelumnya X, Y, dan Z masing-masing melambangkan Sub
DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir.

6. Kendala non negatif:


xi  0, yi  0, zi  0 (27)

Keterangan tentang notasi dapat dilihat pada halaman 95 serta beberapa


keterangan khusus yang langsung tertulis di bawah presentasi model. Secara
keseluruhan terdapat 147 kendala yang tercakup dalam model yang terdiri atas
kendala lahan (48), kendala air irigasi (66), kendala modal (3), kendala tenaga
kerja (6), dan kendala historis pola tanam sebagai apriori judgement (24).

Model operasional (siap untuk komputasi) tertera pada Lampiran 9. Dalam


model tersebut sejumlah persamaan yang kurang bermakna tidak disertakan.
Sebagai contoh dalam persamaan kendala air irigasi, transfer air irigasi dari Sub
DAS Hulu ke Sub DAS Tengah maupun dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir
yang diperhitungkan hanya untuk Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, September,
Oktober, dan November. Untuk bulan-bulan lainnya tidak disertakan karena tidak
bermakna mengingat pada periode tersebut air irigasi yang tersedia di setiap Sub
DAS berlimpah sehingga transfer air dari lokasi yang berada di hulu ke arah hilir
tidak mempengaruhi harga bayangan air irigasi.

Perangkat lunak yang digunakan untuk mengeksekusi model adalah Lindo


for Window. Pertimbangan utamanya adalah bahasa pemrograman maupun
tampilan hasil komputasinya sangat komunikatif.

Solusi optimal menghasilkan beberapa informasi penting, terutama adalah


pola tanam optimal dan harga sumberdaya (harga bayangan). Sesuai dengan
tujuan penelitian, analisis akan difokuskan pada harga bayangan air irigasi. Oleh
karena pasokan air irigasi dirinci per bulan, maka dapat dihasilkan harga bayangan
air irigasi per bulan.
110

Fungsi permintaan normatif air irigasi dapat diperoleh dari analisis pasca
optimal (post optimality analysis) perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996).
Sudah barang tentu, mengingat bahwa hasil post optimality analysis itu berupa
inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan
tersebut dapat diperoleh dari inversinya. Dalam analisis pasca optimal, skenario
perubahan ketersediaan air irigasi yang dipergunakan adalah proporsional.
Dengan demikian misalkan skenario perubahan adalah satu persen maka
perubahan tersebut berlaku untuk Bulan Januari – Desember.

Untuk memformulasikan iuran irigasi berbasis komoditas, harga bayangan


air irigasi yang akan digunakan adalah hasil dari solusi optimal yang diperoleh
dari ketersediaan air irigasi pada kondisi normal. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan kondisi normal adalah rata-rata dari data sepuluh tahun terakhir.

4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas

Iuran irigasi berbasis komoditas adalah sistem pungutan (tarif) air irigasi
dimana komponen utamanya dihitung berdasarkan harga bayangan dan volume air
irigasi yang digunakan dalam usahatani. Sebagaimana dinyatakan di muka, Iuran
Irigasi Berbasis Komoditas terdiri dari dua komponen yaitu: (1) komponen utama,
dan (2) komponen penunjang. Formulanya adalah sebagai berikut:
t
PW ij  CW   ( wT  AijT )
T 1

Komponen pokok
Komponen penunjang

dimana:
PWij = Nilai iuran irigasi berbasis komoditas untuk kelompok
komoditas-i yang diusahakan pada periode-j.
CW = biaya irigasi dari komponen penunjang yang nilai per hektarnya
tetap; ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan kelompok (P3A).
wT = harga bayangan air irigasi pada bulan T
AijT = air irigasi yang digunakan pada bulan T dalam usahatani
kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j
t = periode pengusahaan untuk satu siklus produksi (unit waktu
adalah bulan)
111

Dari formula tersebut tampak bahwa: (1) semakin langka air irigasi
semakin besar biaya irigasi karena harga bayangannya semakin tinggi, dan (2)
biaya irigasi untuk usahatani komoditas yang banyak mengkonsumsi air (padi)
adalah lebih besar daripada komoditas yang membutuhkan air yang lebih sedikit.

Implementasi dari sistem iuran tersebut membutuhkan penyederhanaan


agar lebih praktis. Penyederhanaan yang dapat dijadikan alternatif adalah:
1. Periode pengusahaan tidak dirinci per bulan tetapi per musim tanam dengan
melakukan beberapa skenario pembobotan untuk masing-masing bulan.
2. Penggunaan sistem indeks berdasarkan perbandingan nilai penggunaan air
antar kelompok jenis komoditas dan waktu pengusahaan. Besaran nominal
untuk masing-masing kelompok komoditas tergantung pada nilai nominal
yang ditentukan untuk indeks basis berdasarkan kesepakatan petani.
3. Kombinasi dari kedua modifikasi tersebut di atas.

4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan

4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam

Berdasarkan analisis pendahuluan diketahui bahwa indeks diversitas antar


petani secara relatif adalah homogen (Lampiran 11). Oleh karena itu pola tanam
cukup dipilah menurut dimensi kualitatif saja. Berdasarkan sudut pandang itu,
pola tanam dipilah menjadi 3 kategori yaitu:

1. Pola tanam kategori 1 ( i = 1 ) : monokultur padi

2. Pola tanam kategori 2 ( i = 2 ) : diversifikasi kategori-1 (divs_1), yaitu


selain menanam padi mengusahakan pula
komoditas pertanian bukan padi yang
tidak termasuk kelompok komoditas
pertanian bernilai ekonomi tinggi (kedele,
kacang tanah, jagung non hibrida, dan
sebagainya

3. Pola tanam kategori 2 ( i = 3 ) : diversifikasi kategori-2 (divs_2), yaitu


selain menanam padi mengusahakan pula
komoditas pertanian bukan padi yang
bernilai ekonomi tinggi (bawang merah,
semangka, melon, cabai, jagung hibrida,
tembakau, dan lain sebagainya)
112

Dengan mengasumsikan kategori 1 sebagai basis pilihan, faktor-faktor yang


mempengaruhinya probabilitas untuk memilih kategori (i) adalah:


 1
untuk i  1
  15
(2)   15 
 1  exp  
 n 1
x n  n 

 exp   x n  n( 3 ) 
 n 1 


  15 
 exp   x n  n( 2 ) 
  n 1  untuk i  2
Pr( y  i )    15   15

 1  exp  
 n 1
x 
n n
(2)


 exp  
 n 1
x n  n( 3 ) 



  15 
 exp   x n  n( 3 ) 
  n 1  untuk i  3
  15
(2)   15 
 1  exp  
 n 1
x n  n 

 exp   x n  n( 3 ) 
  n 1 
dimana:
x1 = tingkat efisiensi teknis (te) yang dicapai petani dalam usahatani padi
x2 = jumlah persil lahan sawah garapan
x3 = luas lahan sawah garapan (hektar)
x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik
x5 = jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu kerja dalam usahatani
x6 = umur kepala keluarga (tahun)
x7 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah)
x8 = rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga
x9 = pangsa pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total
pendapatan rumah tangga
x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier
x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter
x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air
x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan)
x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan)
x15 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi
(0 = tidak memiliki, 1= memiliki)
113

4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Parsisipasi Petani Dalam


Pembayaran Iuran Irigasi

Secara garis besar iuran irigasi yang ditanggung oleh petani terdiri atas dua
komponen yaitu:

1. Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR) yaitu biaya irigasi yang dibebankan
kepada petani (P3A) yang sistemnya ditentukan oleh pemerintah. Dana IPAIR
ditujukan untuk menambah dana operasi dan pemeliharaan irigasi.
Pengelolaan IPAIR dikoordinasikan oleh Pemerintah (Dinas Pengairan). Pada
tahun 1999/2000 (waktu penelitian) tarif IPAIR sekitar Rp. 22 000/Ha/Th dan
berkisar antara Rp. 18 000/Ha – Rp. 25 000/Ha per tahun.

2. Iuran P3A yaitu iuran irigasi yang ditentukan oleh organisasi P3A. Pada tahun
1999/2000, rata-rata Iuran P3A adalah sekitar Rp. 35 000/hektar/tahun.

Dalam praktek, biaya irigasi yang dikeluarkan petani tidak hanya terdiri
dari dua komponen tersebut karena ada komponen lain yang sifatnya insidentil
yaitu: "biaya irigasi pompa" dan biaya irigasi "informal". Dalam penelitian ini,
tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi dievaluasi berdasarkan
kepatuhannya dalam membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Sebagaimana dijelaskan
di muka, ada empat varian yang berdasarkan besaran maupun kaitannya dengan
kualitas pelayanan irigasi yang dapat dinikmati petani dapat diasumsikan bersifat
berjenjang (kategori 4 > 3 > 2 > 1):

1. Kategori 1: Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA

2. Kategori 2: Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA

3. Kategori 3: Tidak membayar IPAIR tetapi membayar Iuran HIPPA

4. Kategori 4: Membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA

Model yang digunakan dalam analisis adalah Ordered Logistic Regression


(ologit) yang dapat dipresentasikan sebagai:

Pr( y j  i )  Pr  i 1  x j β u   i 
1 1
  ;
 17
  17

1  exp    i   x n  n  1  exp    i 1   x n  n 
 n 1   n 1 
 0   dan  k  
114

dimana:
x1 = indeks diversifikasi usahatani (E)
x2 = jumlah persil lahan sawah garapan
x3 = luas lahan sawah garapan (hektar)
x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik
x5 = umur kepala keluarga
x6 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah)
x7 = pendapatan per kapita per tahun
x8 = kontribusi usahatani padi terhadap total pendapatan usahatani sawah
x9 = kontribusi pendapatan dari luar pertanian
x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier
x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter
x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air
x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan)
x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan)
x15 = indeks tanam (total luas garapan dibagi total luas baku lahan)
x16 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki,
1=memiliki)
x17 = kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang,
4=baik, 5=sangat baik).

4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis

Secara umum sasaran penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas


adalah: (1) peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi yang termanifestasikan
melalui peningkatan produktivitas air irigasi, dan (2) peningkatan kapasitas P3A
dalam mengakumulasikan dana untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi
secara mandiri. Hal ini dapat dicapai jika sistem iuran tersebut mampu
meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam diversifikasi dan
pada saat yang sama berhasil mendorong perbaikan kualitas partisipasi petani
dalam membayar iuran irigasi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang
mempengaruhi probabilitas petani untuk mengambil keputusan yang sesuai
dengan kondisi itu disebut faktor-faktor strategis karena sangat bermanfaat dalam
perumusan kebijakan yang terkait dengan strategi penerapan.
115

Untuk memperoleh opsi-opsi kebijakan yang cakupan implementasinya


lebih luas dan efektif maka kategorisasi pilihan perlu dikondisikan agar sifatnya
berjenjang. Oleh karena itu dalam identifikasi faktor-faktor tersebut, partisipasi
petani dalam penerapan pola tanam hanya dipilah menjadi dua macam yaitu: (1)
monokultur, dan (2) diversifikasi. Dengan justifikasi yang sama, kualitas
partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi juga dipilah menjadi dua kategori
yaitu: (1) baik, dan (2) tidak baik. Paduan dari kedua aspek tersebut menghasilkan
empat kategori pilihan sebagai berikut:

1. Kategori 1 (P_1) : pola tanam adalah monokultur padi dan kualitas partisipasi
dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik

2. Kategori 2 (P_2) : pola tanam monokultur adalah padi dan kualitas partisipasi
dalam membayar iuran irigasi adalah baik

3. Kategori 3 (P_3) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi


dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik

4. Kategori 4 (P_4) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi


dalam membayar iuran irigasi adalah baik

Mengacu pada sasaran yang ingin dicapai maka pilihan yang paling
diharapkan adalah P_4, sedangkan yang terburuk adalah P_1. Selanjutnya dengan
alasan bahwa yang diutamakan adalah perubahan pola tanam yang mengarah pada
diversifikasi maka P_3 lebih diinginkan daripada P_2. Dengan demikian jenjang
keempat kategori pilihan tersebut jika diurutkan dari yang tertinggi (paling
diinginkan) ke yang terendah adalah P_4 > P_3 > P_2 > P_1. Selanjutnya,
sebagaimana dijelaskan di atas (Sub Bab 4.5.2) pendekatan yang sesuai untuk
menganalisis persoalan seperti ini dapat menggunakan model ologit. Model yang
digunakan adalah:

Pr( y j  i )  Pr  i 1  x j β u   i 
1 1
 
 11
  11

1  exp    i   x n  n  1  exp    i 1   x n  n 
 n 1   n 1 
 0   dan  k  
116

dimana:

x1 = Fragmentasi lahan sawah, diproksi dari jumlah persil garapan


x2 = Luas sawah garapan (hektar)
x3 = Proporsi luas garapan yang berstatus bukan milik
x4 = Jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu bekerja di pertanian
x5 = Kemampuan permodalan, diproksi dengan ratio antara total
pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga
x6 = Peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga, diproksi dari pangsa
pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah
x7 = Intensitas tanam
x8 = Kelangkaan air irigasi, diproksi dari hasil perkalian antara rasio luas
sawah garapan yang mengalami kekeringan dengan durasi (hari)
lahan tersebut mengalami kekeringan
x9 = Kelas lahan sawah, diproksi dari nilai pajak lahan sawah garapan
x10 = Peubah boneka pemilikan pompa irigasi, (0= tidak memiliki,
0 = memiliki)
x11 = Kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang,
4=baik, 5=sangat baik)

4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas.

Sasaran akhir dari serangkaian analisis ini adalah untuk menemukan


variabel-variabel kunci yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi penerapan
dari sistem pembayaran iuran irigasi berbasis komoditas. Oleh karena itu,
pemilihan variabel-variabel penjelas (explanatory variable) yang mempengaruhi
probabilitas petani dalam konteks pemilihan pola usahatani (monokultur versus
berdiversifikasi) maupun dalam konteks partisipasi pembayaran iuran irigasi
harus dikaitkan dengan kebutuhan untuk perumusan strategi tersebut di atas.

Secara teoritis sangat banyak variabel yang harus dipertimbangkan dalam


merumuskan strategi penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas baik yang
mencakup aspek teknis maupun sosial ekonomi. Aspek teknis mencakup variabel-
variabel yang menentukan kelayakan teknis penerapan, misalnya: teknik distribusi
air, teknik pengukuran luas pengusahaan suatu komoditas tertentu, dan
sebagainya. Penelitian ini difokuskan pada aspek sosial ekonomi.
117

Dalam aspek sosial ekonomi, himpunan variabel penjelas mencakup


variabel yang sifatnya eksternal maupun internal. Aspek sosial ekonomi yang
sifatnya eksternal misalnya kebijaksanaan pemerintah di bidang harga masukan
dan keluaran usahatani, kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pengembangan
irigasi, dan lain sebagainya. Aspek yang sifatnya internal (berada dalam kendali
petani) seringkali terkait karakteristik intrinsik petani. Secara hipotetis, faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan dalam
penerapan pola tanam dan partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi adalah:
1. kapabilitas managerial usahatani
2. keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun.
3. kemampuan permodalan untuk usahatani
4. penguasaan lahan untuk usahatani
5. kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga
6. kontribusi pendapatan di luar pertanian terhadap ekonomi tumah tangga
7. karakteristik rumah tangga petani

Selain faktor-faktor tersebut di atas, terdapat pula faktor-faktor lain yang


mempengaruhi katersediaan air irigasi di lahan petani (jarak dari pintu terhadap
pintu tertier, akses terhadap saluran kwarter, luas persil lahan garapan yang sering
kekurangan air, intensitas kekeringan), kualitas lahan, penguasaan peralatan yang
dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan air, dan kinerja organisasi yang menjadi
wadah petani dalam pengelolaan irigasi (Organisasi P3A – di Jawa Timur disebut
Himpunan Petani Pemakai Air yang disingkat HIPPA). Faktor-faktor ini tidak
sepenuhnya berada dalam kendali petani tetapi mempengaruhi keputusan petani
dalam usahatani; dan karenanya diinkorporasikan dalam model.

4.5.4.1. Kapabilitas managerial petani dalam usahatani padi

Kapabilitas managerial adalah suatu konsep yang merefleksikan


kemampuan seseorang atau lembaga dalam mengorganisasikan informasi,
pengetahuan, teknologi, dan sumberdaya yang dapat dikendalikannya
(internalized) dalam rangka mencapai tujuan. Dengan asumsi petani bertujuan
memaksimumkan keuntungan maka pengambilan keputusan petani mencakup
aspek-aspek: (1) apa yang akan diusahakan, (2) seberapa banyak, (3) kapan, (4)
118

dimana (5) dengan cara apa, dan (6) akan dijual kapan dan dalam bentuk apa serta
dimana. Aspek (1) sampai dengan (4) lazimnya menentukan pola tanam, aspek (5)
berkaitan dengan teknik budidaya (pra panen dan pasca panen), sedangkan aspek
(6) berkaitan dengan masalah pemasaran produk yang dihasilkannya.

Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam


berproduksi. Proses produksi tidak efisien karena dua hal berikut. Pertama, karena
secara teknis tidak efisien. Ini terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan
produktivitas maksimal; artinya per unit paket masukan (input bundle) tidak dapat
menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada
tingkat harga-harga masukan dan keluaran tertentu, proporsi penggunaan masukan
tidak optimum. Ini terjadi karena produk penerimaan marginal (marginal revenue
product) tidak sama dengan biaya marginal (marginal cost) masukan yang
digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis maupun efisiensi alokatif.

Sebagai individu, petani adalah price taker pasar masukan maupun


keluaran usahatani sehingga cara petani untuk memaksimumkan keuntungan
adalah melalui peningkatan efisiensi teknis dalam usahataninya. Dengan demikian
tingkat efisiensi teknis dapat digunakan sebagai proksi kapabilitas managerial.

Metode estimasi tingkat efisiensi teknis (TE) yang banyak digunakan


adalah pendekatan stochastic production frontier (SPF). Metode ini diperkenalkan
oleh Aigner, Lovell and Schmidt (1977) maupun Meeusen dan van den Broek
(1977). Pengembangan berikutnya banyak dilakukan antara lain oleh Greene
(1993) dan Coelli (1996). Elaborasi pengaruh risiko dalam pemodelan dan
estimasinya dapat disimak misalnya pada Kumbhakar (2002). Estimasi TE dengan
model SPF yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimak pada Lampiran 10.

Kapabilitas managerial dalam usahatani padi dapat berpengaruh positif


maupun berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi. Pengaruh positif
terjadi jika kapabilitas managerial dalam usahatani yang dicapainya merupakan
landasan untuk mengembangkan kapabilitas managerialnya dalam usahatani
secara umum. Sebaliknya, berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi
apabila tingkat pencapaian kapabilitas managerial dalam usahatani padi
merupakan wujud dari dari upaya spesialisasi dalam usahatani padi.
119

4.5.4.2. Keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun

Keuntungan usahatani padi merupakan salah satu tolok ukur dari tingkat
keberhasilan petani dalam mengelola usahatani dalam mencapai tujuannya untuk
memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi. Jika petani hanya
mengusahakan komoditas padi maka secara teoritis ada korelasi yang kuat antara
tingkat efisiensi teknis (TE) tersebut di atas dengan keuntungan usahatani. Akan
tetapi secara empiris sangat banyak petani yang tidak hanya berusahatani padi
tetapi juga komoditas lainnya.

Dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh petani bukan hanya berasal
dari usahatani padi tetapi juga usahatani komoditas yang lain; dan merupakan
hasil penjumlahan dari 2, 3, atau bahkan 4 siklus usahatani, tergantung pada
intensitas tanam yang diterapkan petani. Secara tunai, keuntungan usahatani per
unit luas garapan per tahun adalah sama dengan total penerimaan yang diperoleh
dari usahatani itu selama satu tahun dikurangi dengan total biaya tunai usahatani
yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut.

Dalam batas-batas tertentu total keuntungan usahatani per luas garapan per
tahun dapat dipandang sebagai produktivitas usahatani (komposit) lahan sawah.
Oleh karena itu diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk
berdiversifikasi; dan merupakan berpengaruh positif pula terhadap tingkat
partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.

4.5.4.3. Kemampuan permodalan petani

Modal yang dibutuhkan petani untuk melakukan usahatani berasal dari


modal sendiri maupun pinjaman. Secara empiris akses petani terhadap sumber
modal dari lembaga perkreditan (terutama lembaga perkreditan formal) sangat
rendah sehingga sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri (swadana).

Pendapatan rumah tangga petani bukan hanya berasal dari usahatani di


lahan sawah tetapi juga dari usahatani di lahan lainnya, dari usaha ternak, dari
berburuh tani, kegiatan ekonomi di luar pertanian, bahkan juga dari pendapatan
yang diperoleh tanpa mencurahkan tenaga kerja (kiriman dari anggota
keluarganya yang bekerja di di kota, dari pensiun, dan sebagainya).
120

Sebagian dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk memenuhi


kebutuhan rumah tangga, dan sebagian lainnya dialokasikan untuk usahatani.
Dengan asumsi bahwa ketersediaan modal untuk usahatani berbanding lurus
dengan surplus pendapatan, maka kemampuan permodalan petani dapat diproksi
dari rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran.

Kemampuan permodalan usahatani diduga berpengaruh positif terhadap


probabilitas berdiversifikasi pada komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi,
tetapi berpengaruh negatif untuk berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang
tidak bernilai ekonomi tinggi. Variabel ini diduga juga berpengaruh positif
terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi.

4.5.4.4. Penguasaan lahan usahatani

Terdapat tiga variabel penting yang tercakup dalam konteks penguasaan


lahan yang diduga berpengaruh terhadap pola usahatani maupun partisipasi dalam
pembayaran iuran irigasi. Ketiga variabel tersebut adalah: (1) luas garapan, (2)
status garapan (milik versus bukan milik), dan (3) jumlah persil lahan garapan.

Diduga luas garapan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani


memilih pola tanam berdiversifikasi maupun maupun probabilitasnya untuk
berpartisipasi aktif dalam iuran irigasi. Jumlah persil lahan garapan diduga
merupakan faktor negatif terhadap probabilitas terhadap kedua hal tersebut di atas.

Petani dengan status garapan milik diduga cenderung memilih pola tanam
berdiversifikasi. Variabel ini diduga merupakan faktor positif pula untuk
mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.

Konfigurasi lahan garapan berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan


tenaga kerja maupun efektivitas kontrol dalam pengelolaan usahatani. Secara
teoritis, pengelolaan usahatani pada hamparan lahan garapan yang terkonsolidasi
(tidak terpencar-pencar) relatif lebih mudah. Oleh karena itu, diduga semakin
banyak jumlah persil sawah garapan semakin rendah probabilitas petani untuk
memilih pola tanam berdiversifikasi. Variabel ini diduga juga berpengaruh negatif
terhadap partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.
121

4.5.4.5. Kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga

Tidak banyak berbeda dengan petani Indonesia pada umumnya, sumber


pendapatan rumah tangga petani di daerah pertanian beririgasi juga beragam. Per
definisi, usahatani di lahan sawah merupakan salah satu sumber pendapatan yang
selalu ada pada setiap rumah tangga petani lahan sawah. Meskipun demikian,
kontribusinya beragam, tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari
usahatani di lahan sawah maupun pendapatan dari sumber lain. Secara teoritis,
semakin luas lahan garapan usahataninya maka semakin besar kontribusi
pendapatan yang dapat diperoleh dari lahan sawah.

Diduga kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah merupakan


faktor positif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi, baik diversifikasi
dengan mengusahakan komoditas usahatani bernilai ekonomi tinggi maupun
lainnya. Variabel ini diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk
berpartisipasi lebih tinggi dalam membayar iuran irigasi.

4.5.4.6. Kontribusi pendapatan dari luar pertanian

Kontribusi sektor luar pertanian dalam ekonomi rumah tangga petani


cukup penting. Bahkan bagi sebagian besar rumah tangga yang luas garapan
usahataninya sempit merupakan sumber pendapatan utama.

Jika kontribusi pendapatan dari luar pertanian mencerminkan peranannya


dalam ekonomi rumah tangga, maka variabel ini diduga merukapan faktor negatif
terhadap probabilitas petani memilih pola tanam berdiversifikasi maupun terhadap
probabilitas petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam pembayaran iuran irigasi.

4.5.4.7. Karaktersitik rumah tangga petani

Karakteristik rumah tangga petani yang diduga berpengaruh terhadap


probabilitas petani dalam memilih pola tanam maupun tingkat partisipasi dalam
iuran irigasi adalah: (1) jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk
yang statusnya hanya membantu) pada kegiatan usahatani di lahan sawah, (2)
umur kepala keluarga rumah tangga petani, dan (3) tingkat pendidikan petani.
122

Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja pada kegiatan usahatani


diduga merupakan faktor positif. Umur kepala rumah tangga diduga merupakan
faktor negatif, sedangkan tingkat pendidikan diduga merupakan faktor positif.

4.5.4.8. Akses lahan garapan terhadap saluran irigasi di blok tertier

Di tingkat usahatani, akses lahan garapan terhadap saluran irigasi dimana


pasokan air didistribusikan terutama ditentukan oleh posisi lahan garapan dari
pintu tertier dan saluran kwarter. Sebenarnya ada faktor-faktor lain seperti kualitas
saluran-saluran irigasi tersebut maupun topografi hamparan. Akan tetapi dalam
penelitian ini data yang berhasil digali dengan baik adalah jarak lahan dari pintu
tertier dan tingkat aksesibilitas (kualitatif) lahan terhadap saluran kwarter.

Diduga semakin baik aksesibilitas lahan sawah garapan terhadap saluran


irigasi semakin tinggi pula probabilitas petani untuk memilih pola tanam yang
dianggap paling menguntungkan (berdiversifikasi). Jadi merupakan faktor positif.
Kedua variabel tersebut diharapkan juga merupakan faktor positif terhadap tingkat
partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.

4.5.4.9. Tingkat kecukupan air irigasi

Tingkat kecukupan air irigasi di suatu lahan garapan dipengaruhi oleh: (1)
aksesibilitasnya terhadap saluran irigasi, (2) kondisi pasokan air irigasi di saluran
tertier maupun kuarter, (3) posisi vertikal relatif lahan tersebut terhadap hamparan
lahan garapan petani lain maupun permukaan air di saluran pemasok air irigasi,
dan (3) sistem distribusi air irigasi. Ada dua variabel yang dapat digunakan
sebagai proksi tingkat kecukupan air irigasi di lahan garapan yaitu:

1. Luas lahan garapan yang sering mengalami kekurangan air. Ini diproksi dari
luas (bagian) hamparan lahan yang pada musim kemarau-1 kebutuhan air
irigasinya tidak dapat terpenuhi dari pasokan air irigasi permukaan. Diduga
pangsa luas lahan cukup air irigasi merupakan faktor negatif terhadap
probabilitas memilih pola tanam berdiversifikasi, tetapi merupakan faktor
positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi.
123

2. Intensitas kekeringan. Ini diproksi dari durasi (berapa hari) lahan garapan
tersebut tidak memperoleh pasokan air irigasi yang cukup sehingga petani
harus menanggulanginya dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan
irigasi pompa. Diduga variabel ini merupakan faktor negatif terhadap
probabilitas petani untuk berdiversifikasi, maupun partisipasi petani untuk
membayar iuran irigasi yang berkualitas.

4.5.4.10. Kualitas lahan

Kualitas lahan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecukupan air tetapi
juga kesuburannya, aksesibilitasnya terhadap prasarana transportasi dan
sebagainya. Di wilayah agraris, untuk tipe lahan yang sejenis maka kualitas lahan
berkorelasi positif dengan harga lahan tersebut. Akan tetapi dalam penelitian ini
data tentang harga lahan garapan tidak lengkap sebagian besar petani (hampir 50
persen) tidak dapat menaksir dengan baik harga lahan garapannya, sedangkan data
harga lahan dari sistem administrasi desa tidak tersedia. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan tersebut. Diduga, nilai
lahan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani dalam memilih pola
tanam berdiversifikasi maupun tingkat partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi.

4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh

4.6.1. Lokasi Penelitian

Valuasi air irigasi membutuhkan data pasokan air irigasi yang terukur
dengan baik dan data usahatani yang lengkap. Selain itu, aspek lain yang sangat
penting dipertimbangkan adalah tingkat apresiasi petani terhadap peranan air
irigasi. Apresiasi petani terhadap peranan air irigasi dapat dilihat dari pola tanam,
pendayagunaan sumberdaya air untuk irigasi dan mekanisme alokasinya.
Logikanya, pendekatan teori ekonomi untuk memecahkan masalah semakin
relevan jika apresiasi petani terhadap sumberdaya tersebut lebih banyak
berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi.

Berdasarkan pertimbangan itu maka lokasi penelitian adalah di Sistem


Irigasi Teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Jawa Timur (lokasi Sub
DAS contoh dapat disimak pada Lampiran 3). Sistem pemantauan pasokan air
124

irigasi sampai di pintu air tertier pada sistem irigasi teknis di lokasi ini dilakukan
setiap sepuluh ("Dasarian"). Selain data debit, data lain yang dipantau adalah
"data tanaman" yaitu luas tanam padi, palawija (jagung, kedele, dan sebagainya,
serta tebu). Pencatatan data dilakukan oleh Aparat Seksi Cabang Pengairan dan
kemudian dikumpulkan di Kantor Seksi Cabang Pengairan setempat.

Luas DAS ini adalah 11800 Km2. Total lahan yang dapat diusahakan untuk
pertanian (arable land) adalah 636 000 Ha. Sekitar 324 000 Ha diantaranya adalah
lahan pertanian beririgasi (pesawahan) dimana 316 000 Ha diantaranya
memperoleh pasokan utama air irigasi dari Sungai Brantas dan anak-anak
sungainya. Dari segi ekonomi regional, kontribusi GDP wilayah yang tercakup di
DAS Brantas terhadap total GDP Jawa Timur mencapai 65 persen (JICA, 1998).

4.6.2. Pengambilan Contoh

Penarikan lokasi contoh dilakukan dengan prosedur berikut. Mula-mula


DAS Brantas dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Sub DAS Hulu (Upstream),
Tengah (Middlestream) dan Hilir (Downstream). Tahap selanjutnya adalah:

1. Menentukan wilayah irigasi (Daerah Irigasi) yang dapat mewakili kondisi


irigasi di masing-masing Sub DAS.

2. Menentukan Blok-blok Tertier contoh yang mewakili kondisi pasokan air


irigasi (debit) dan pola tanam untuk masing-masing daerah irigasi tersebut.

3. Menentukan contoh rumah tangga petani berdasarkan hasil sensus rumah


tangga petani di masing-masing Blok Tertier contoh.

Wilayah irigasi contoh di masing-masing Sub DAS adalah sebagai berikut.


Di Sub DAS Hulu adalah Lodoyo-Tulungagung (Lodoagung), Sub DAS Tengah
adalah Mrican Kanan dan Mrican Kiri, sedangkan di Sub DAS Hilir adalah Delta
Brantas (Gambar 10).

Total jumlah blok tertier contoh ada 12. Jumlah di setiap Sub DAS adalah
proporsional dengan luas wilayah irigasi dan populasi petani. Oleh karena itu
jumlah Blok Tertier Contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS
Hilir masing-masing adalah 3, 5, dan 4.
125

Laut Jawa Laut Jawa Sungai Brantas


Surabaya Sidoarjo 28440 Ha
1469 Ha Malang
Delta Brantas 15801 Ha
Gunung 27362 Ha
Sari dam
Kali Surabaya Sungai Porong Brantas Atas
12309 Ha
New Lengkong dam
Kepanjen
27216 Ha
Mojokerto Jatikulon
31545 Ha 619 Ha Brantas
Bawah
1407 Ha Blobo dam
Menturus
3392 Ha Mojoagung
(Losari, 23579 Ha
Kedungsari,
Wates-pinggir)
Munturus Molek
rubber dam 3984 Ha

Jatimlerek Jombang Pare Blitar


1716 Ha 23595 Ha 19772 Ha 32950 Ha
(Bebekan/
Keboan, Gottan, Jatimlerek
Jatimlerek) rubber
Mrican Kanan

dam Wlingi
(16334 Ha )

Bunder II dam
Bunder I 175 Ha
159 Ha

Kediri
30287 Ha

( 12321 Ha )
Lodoagung
Mrican barrage

Brantas Kiri Kediri Tulungagung


Mrican Kiri 23404 Ha
(Besuk, Kedung Kudi,
(12570 Ha)
Pengkol) 534 Ha

Nganjuk Trenggalek
38668 Ha 12373 Ha

: Lokasi pengambilan contoh Blok Tertier maupun rumah tangga petani

Gambar 10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian
126

Rumah tangga petani didefinisikan sebagai rumah tangga yang


mengusahakan komoditas pertanian, baik di lahan milik sendiri ataupun milik
orang lain. Usahatani yang dianalisis adalah satu tahun kalender pertanian dengan
referensi waktu: MT I 1999/2000 – MT III 2000. Prosedur penarikan contoh
rumah tangga petani adalah sebagai berikut:

1. Pada masing-masing blok tertier contoh dibuat kerangka contoh (sampling


frame). Untuk itu keperluan itu, dilakukan sensus petani yang menggarap
lahan di blok tertier contoh. Dalam sensus, data yang digali adalah identitas
petani, luas garapan, lokasi lahan di blok tertier contoh, dan jenis komoditas
yang diusahakannya selama satu tahun referensi waktu tersebut di atas.

2. Pemilihan rumah tangga contoh. Ini dilakukan dengan metode acak berlapis
(stratified random sampling). Dasar stratifikasi adalah luas sawah garapan
dengan alasan luas garapan mempengaruhi perilaku rumah tangga petani
dalam pengambilan keputusan petani dalam memilih pola tanam yang
diterapkan. Batasan masing-masing strata adalah sebagai berikut:

(1) Lapis 1 (L1) : L1  Avg  12 ( StD )

(2) Lapis 2 (L2) : Avg  12 (StD)  L2  Avg  12 (StD)


(3) Lapis 3 (L3) : L3  Avg  12 ( StD) 

dimana avg adalah rata-rata (arithmatic mean) luas garapan petani contoh,
sedangkan std adalah galat bakunya.

3. Selain stratifikasi menurut luas garapan, pemilihan rumah tangga contoh juga
mempertimbangkan lokasi relatif lahan garapan petani (depan, tengah,
belakang) terhadap pintu tertier yang merupakan sumber pasokan air irigasi
ke hamparan sawah blok tertier contoh tersebut.

Jumlah rumah tangga petani contoh di setiap blok tertier adalah 40.
Dengan demikian, jumlah rumah tangga petani contoh di Sub DAS Hulu, Sub
DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 120, 200, dan 160;
sehingga untuk seluruh DAS terdapat 480 rumah tangga contoh (Tabel 9)
127

Tabel 9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian

Keterangan Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir
Sumber sadapan Dam Wlingi Bendung Gerak Mrican Dam Lengkong
Wilayah irigasi contoh Lodoyo-Tulungagung 1. Mrican Kanan (16 334 Ha) Delta Brantas
(12 321 Ha) 2. Mrican Kiri (12 570 Ha) (27 362 Ha)

Blok tertier contoh 1. RW 2.A a. Mrican Kanan 1. P 23


2. NT Kanan (Bpp12 dan Bpp17 2. Pj. 5. LB
3. CD 1 Kiri b. Mrican Kiri ( Kw 6, 3. Mg. 2 Kanan
Kw 16, dan Kw 23).
4. Kp. 16 Kiri
Wilayah administratif Tulungagung Kediri dan Nganjuk Sidoarjo
Jumlah petani contoh 120 200 160

4.7. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey1. Data primer yang


dikumpulkan terdiri atas: (1) data sosial ekonomi rumah tangga petani, dan (2)
data usahatani dan kelembagaan pengelolaan irigasi di tingkat kelompok petani
pengguna air irigasi (HIPPA). Instrumen penelitian untuk menggali data primer
adalah kuesioner yang telah disempurnakan berdasarkan masukan dari hasil uji
yang dilakukan pada saat survey pendahuluan. Data tersebut mencakup kondisi
yang terjadi dalam satu tahun kalender pertanian (MT III 1999, MT I 2000, dan
MT II 2000). Survey utama dilakukan pada Bulan Agustus - September 2000.

Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga terkait. Data pasokan


air irigasi dan keadaan tanaman di lapangan diperoleh dari Cabang Seksi
Pengairan dan arsip yang disimpan oleh Juru Pengairan (data "Dasarian") di lokasi
penelitian terkait. Data Curah Hujan dan data-data lain yang relevan dikumpulkan
dari Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten terkait.
Pengumpulan data tersebut dilakukan secara bertahap selama survey pendahuluan
yang dilakukan sebanyak 3 kali bersamaan dengan penentuan lokasi contoh.

1
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebagian data yang dikumpulkan dalam
penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) – International Food
Policy Research Institute (IFPRI) – Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil)
– Perum Jasa Tirta I (PJT I) yang berjudul "Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water
Resource Allocation in Indonesia and Vietnam". Sebagai salah satu anggota Tim Penelitian
tersebut, penulis disertasi ini merupakan kontributor utama dalam disain pengambilan contoh,
pengembangan instrumen penelitian untuk pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga petani
maupun kelompok P3A (HIPPA); dan secara penuh melakukan pengumpulan data di lapangan.
V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI DAN KERAGAAN
USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS

5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas

Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas terletak di bagian barat-tengah


Provinsi Jawa Timur, terbentang pada ordinat antara 110030’ – 112055’ Bujur
Timur dan 7 001’ – 8015’ Lintang Selatan (Lampiran 3). DAS ini dikelilingi oleh
beberapa gunung berapi, dua diantaranya masih aktif yaitu Gunung Semeru dan
Gunung Kelud. Secara geologi, wilayah ini terbentuk dari formasi tertier
termasuk batuan basalt dan andesit di vulkanis hulu, marine limestone di dataran
rendah serta delta. Dataran rendah dan delta terdiri dari tanah alluvial (silt, clay
loams) yang sangat cocok untuk pertanaman padi (JICA, 1998).

Luas DAS adalah sekitar 11 800 Km2. Sungai utama adalah S. Brantas.
Hulu sungai berada di kaki Gunung Arjuno. Dari hulu sampai ke titik sungai ini
bercabang menjadi dua sungai (Kali Surabaya dan Kali Porong) panjangnya
adalah sekitar 258 km. Sungai ini bermuara di Selat Madura. Secara keseluruhan,
DAS Brantas mencakup 6 wilayah tangkapan air yaitu Kali Lesti, Kali Konto,
Kali Widas, Kali Brantas, Kali Ngrowo, dan Kali Surabaya.

Secara administratif DAS ini mencakup 9 Kabupaten dan 5 Kotamadya.


Diurut dari hulu, kabupaten tersebut adalah: Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri,
Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Kota Surabaya, dan sebagian wilayah
Kabupaten Pasuruan dan Gresik.

DAS Brantas adalah wilayah yang paling berkembang di Jawa Timur.


Pada tahun 1999, jumlah penduduk di wilayah ini sekitar 15.2 juta jiwa (43 persen
dari total jumlah penduduk Jawa Timur). Dalam perekonomian, kontribusinya
terhadap pendapatan regional (GDP) Jawa Timur mencapai 58 persen. Dengan
kata lain rata-rata GDP per kapita wilayah ini relatif lebih tinggi dari pada rata-
rata agregat Jawa Timur. Dalam struktur perekonomian wilayah, selain
sumbangan dari sektor industri dan jasa yang terutama berkembang di wilayah
urban dan sekitarnya, perkembangan sektor pertanian di wilayah ini juga termasuk
paling maju di Jawa Timur.
129

5.2. Sumberdaya Air

Rata-rata curah hujan per tahun di DAS Brantas adalah sekitar 2000 mm,
dimana 80 persen diantaranya jatuh pada musim hujan yang umumnya
berlangsung pada periode Oktober/November – Maret/April. Data curah hujan
selama 45 tahun terakhir tertera pada Lampiran 12. Menyimak perkembangan
curah hujan selama kurun waktu tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa
sejak awal dasawarsa 90-an ternyata curah hujan tahunan semakin berfluktuasi
(Gambar 11).

3500

3000

2500

2000

1500

1000

56 59 62 65 68 71 74 77 80 83 86 89 92 95 98

Gambar 11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999

Pengelolaan air untuk aktivitas pertanian pada pola curah hujan tahunan
yang lebih fluktuatif adalah lebih sulit jika dibandingkan dengan pola curah hujan
yang distribusi temporalnya lebih merata. Kondisi demikian itu semakin tidak
kondusif jika kondisi daerah tangkapan air di DAS mengalami degradasi karena
pada tahun-tahun kering pengisian reservoir (waduk) menjadi tidak optimal dan
intensitas maupun eskalasi banjir pada tahun-tahun basah semakin sering terjadi.

Dari data curah hujan selama 45 tahun terakhir (1955 – 1999), dapat
diperoleh gambaran tentang pola curah hujan bulanan (Gambar 12). Tampak
bahwa curah hujan tinggi terjadi pada Bulan-bulan Desember – Maret, dimana
puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Curah hujan sangat rendah terjadi pada
Bulan-bulan Juli-Septembar dan yang terendah terjadi pada Bulan Agustus.
130

600

400

200

0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Maksimum 353 394 473 567 554 513 390 325 225 272 96 152
Minimum 2 25 124 182 193 89 49 12 0 0 0 0
Rata-rata 81 176 279 343 304 296 200 109 62 41 20 29

Gambar 12. Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas

Prasarana pengembangan sumberdaya air di DAS Brantas mencakup dam-


dam besar 7 unit, bendung gerak (barrage) 6 unit, dam karet (rubber dam) 3 unit,
jaringan irigasi, dan sebagainya. Secara umum, seiring dengan umur teknis dan
sedimentasi, total kapasitas tampung reservoir tersebut semakin menurun.

Total daya tampung (gross storage) reservoir pada saat ini adalah sekitar
438 x 106 m3. Kapasitas awal (kondisi baru) adalah sekitar 525 x 106 m3. Berarti
telah terjadi penurunan kapasitas sekitar 17 persen. Daya tampung efektif adalah
sekitar 357 x 106 m3 atau sekitar 71 persen dari daya tampung efektif semula yang
volumenya sekitar 502 x 106 m3. Kapasitas tampung total dan efektif setiap dam
tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999

Nama Reservoir Selesai Kapasitas tampung (106 m3)


dibangun Total (gross) Efektif
Sengguruh 1988 3.37 1.17
Sutami 1972 183.42 146.63
Lahor 1977 32.88 26.54
Wlingi 1977 4.97 1.41
Lodoyo 1980 2.35 2.35
Serolejo 1970 48.76 44.51
Bening 1981 31.70 28.05
Wonorejo 2001 130.02 106.00
Total 437.47 356.66
131

Prasarana tersebut bersifat multiguna; bukan hanya untuk irigasi tetapi


juga untuk pengendalian banjir, penggerak listrik, kebutuhan rumah tangga,
indusatri, rekreasi, dan sebagainya. Sasaran manfaat untuk dam-dam besar,
bendung gerak, dan dam karet di DAS Brantas dapat disimak pada Tabel 11.

Tabel 11. Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan pemanfaatannya

Struktur Sungai Tujuan


A. Dam besar:
1. Dam Sengguruh Lesti 1. Pengendali sedimen ke dam Sutami
2. Pembangkit listrik
2. Dam Sutami Brantas 1. Pasokan air: domestik, irigasi, industri
2. Pembangkit listrik
3. Pengendali banjir
4. Rekreasi
3. Dam Lahor Lahor 1. Pasokan air: domestik, irigasi, industri
2. Pengendali banjir
4. Dam Wlingi Brantas 1. Pembangkit listrik
2. Diversi air untuk irigasi
3. Pengendali banjir
4. Rekreasi
5. Dam Selorejo Konto 1. Pasokan air irigasi
2. Pembangkit listrik
3. Pengendali banjir
4. Rekreasi
6. Dam Bening Widas 1. Pasokan air untuk irigasi
2. Pengendali banjir
3. Rekreasi
7. Dam Wonorejo Song 1. Pasokan air untuk domestik
2. Pembangkit listrik
3. Pengendali banjir
B. Bendung Gerak:
1. Lodoyo Brantas Pembangkit listrik
2. Mrican Brantas Diversi air untuk irigasi
3. New Lengkong Porong Diversi air untuk irigasi, domestik, dan industri
4. Gunungsari Surabaya Diversi air untuk irigasi
5. Jagir Wonokromo Diversi air untuk domestik
6. Tulungagung Gate Ngrowo/Parit Agung Canal Pengatur air domestik dan pengendali banjir
C. Dam Karet:
1. Jatimlerek Brantas Diversi air untuk irigasi
2. Menturus Brantas Diversi air untuk irigasi
3. Gubeng Mas Diversi air untuk kebutuhan domestik

Rata-rata potensi aliran permukaan adalah sekitar 11.8x109m3/tahun,


sedangkan aliran normal (natural flow) di aliran utama ( S. Brantas) adalah sekitar
7.51x109m3/tahun. Dari total pasokan, diperkirakan tingkat penggunaannya sekitar
2 993x106 m3/tahun (Sunaryo, 2002; Rodgers et al, 2001). Dari jumlah itu, yang
132

terbesar adalah untuk irigasi yaitu sekitar 80 persen. Penggunaan non pertanian
yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sekitar 7 % dan
industri sekitar 5 %. Perikanan budidaya (terutama tambak) memanfaatkan air
return flow dari irrigasi sekitar 1.4 %. Selain penggunaan tersebut, setiap tahun
dibutuhkan sekitar 7 % untuk penggelontoran sungai (Tabel 12).

Tabel 12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS Brantas

Kuantitas
Penggunaan
(106m3/tahun) Pangsa (%)
1. Irigasi 2 400 80.2
2. Domestik 209 7.0
3. Industri (total pasokan) 139 4.6
4. Penggelontoran sungai (maintenance flow) 204 6.8
5. Perikanan (irrigation return flow) 41 1.4
Total 2 993 100.0
Sumber: Sunaryo, 2002; Rogers et al, 2002.

5.3. Pasokan Air Irigasi

Total luas lahan irigasi di DAS Brantas adalah sekitar 309 ribu hektar.
Dari jumlah itu sekitar 242.5 ribu hektar atau sekitar 78 % adalah sawah beririgasi
teknis. Deskripsi lebih rinci adalah sebagai berikut (Tabel 13).

Tabel 13. Luas areal irigasi di DAS Brantas, 1999/2000.

Cabang Dinas Teknis Semi teknis Non teknis Total


Irigasi Hektar Persen Hektar Persen Hektar Persen (Hektar)
Malang 13 623 86.2 1 433 9.1 745 4.7 15 801
Kepanjen 16 493 60.6 5 420 19.9 5 303 19.5 27 216
Blitar 23 984 72.8 2 880 8.7 6 086 18.5 32 950
Tulungagung 15 585 66.6 6 072 25.9 1 747 7.5 23 404
Trenggalek I 6 257 50.6 2 395 19.4 3 721 30.1 12 373
Kediri 20 547 67.8 2 060 6.8 7 680 25.4 30 287
Pare 18 700 94.6 - - 1 072 5.4 19 772
Nganjuk 33 725 87.2 2 864 7.4 2 079 5.4 38 668
Mojoagung 22 070 93.6 - - 1 509 6.4 23 579
Jombang 22 785 96.6 - - 810 3.4 23 595
Mojokerto 27 073 71.7 7 353 19.5 3 315 8.8 37 741
Sidoarjo 20 877 93.9 765 3.4 602 2.7 22 244
Surabaya 744 50.6 725 49.4 - - 1 469
Total 242 463 78.4 31 967 10.3 34 669 11.2 309 099
Sumber: Perum Jasa Tirta I dan Dinas Pengairan Jawa Timur
133

Alokasi air irigasi bervariasi antar tahun dan dipengaruhi oleh curah hujan.
Sementara itu karena kapasitas tampung efektif waduk semakin menurun dan
alokasi air untuk keperluan domestik dan industri meningkat maka secara rata-rata
alokasi air untuk irigasi cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun. Rata-
rata penurunan memang hanya sekitar 0.67 persen per tahun tetapi dalam ukuran
volume, angka ini setara dengan 16.2 juta m3/tahun. Pada tahun-tahun 1978, 1979,
dan 1980 alokasinya mencapai angka lebih dari 3 milyar m3/tahun. Tetapi sesudah
itu selalu lebih kecil dari angka tersebut. Rata-rata berkisar antara 2.7 – 2.9 milyar
m3/tahun ; bahkan pada tahun 1987 kurang dari 2.3 milyar m3 (Gambar 13).

106 m3
3500.0

3000.0

2500.0

2000.0
78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96

Gambar 13. Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996

Pola sebaran temporal alokasi air irigasi juga sangat dipengaruhi oleh
curah hujan. Pasokan air irigasi sangat tinggi pada bulan Desember – April,
dimana puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Fluktuasi curah hujan memang jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasokan air irigasi. Koefisien variasi
bulanan untuk curah hujan adalah sekitar 85 persen, sedangkan pasokan irigasi
adalah sekitar 8.4 persen (Gambar 14).

Jika risiko usahatani berbanding lurus dengan fluktuasi pasokan air maka
berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teoritis kontribusi
irigasi dalam mengurangi risiko gagal panen (yang diakibatkan oleh kekurangan
air) adalah sekitar 90 persen. Kontribusi terbesar terjadi pada saat curah hujan
sangat rendah yaitu antara Juni – September.
134

400.00

350.00

300.00

250.00

200.00

150.00

100.00

50.00

0.00
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Discharge (juta m3) Rataan CH (mm)

Gambar 14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi

Ketersediaan air irigasi untuk tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh


volume pasokan tetapi juga efisiensi sistem irigasi tersebut. Efisiensi irigasi
dipengaruhi oleh kondisi prasarana irigasi, pengelolaan penyaluran (conveyance)
dan distribusi, serta aplikasi irigasi di sawah. Doorenbos and Prit (1977)
mendefinisikan efisiensi irigasi sebagai penggandaan dari 3 komponen efisiensi
yaitu: conveyance efficiency, distribution efficiency, dan field application
efficiency. Dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi di lapangan pemilahan
yang dilakukan oleh Team Studi "Special Assistant for Project Sustainability II –
SAPS II (1992) adalah:

1. Intake efficiency (IEF), yaitu ratio antara air irigasi yang aktual masuk di titik
intake bangunan terhadap inflow yang dijadwalkan. Ini merupakan indikator
(pengukuran efisiensi secara tidak langsung) pengelolaan suatu sistem irigasi
skala makro (Armitage, 1999). Dapat juga dimaknai sebagai intake aktual
yang diterima di salah satu saluran berikutnya terhadap volume intake yang
dijadwalkan pada saluran di level atasnya (main canal). Disain jaringan (dari
saluran induk – tertier) irigasi yang kurang terkonsolidasi merupakan salah
satu faktor yang menentukan IEF.
135

2. System operation efficiency (SOEF), yaitu ratio antara volume alir yang
diterima di inlet di lapangan terhadap inflow pada saluran utama (main
canal). Faktor yang paling menentukan SOEF adalah kebocoran dan
evaporasi selama penyaluran dan kehilangan air akibat kesalahan dalam
pengoperasian fasilitas kontrol distribusi air irigasi.

3. On-farm use efficiency (FUEF), yaitu ratio antara volume air yang secara
langsung tersedia untuk tanaman terhadap volume air yang diterima di
hamparan (field inlet). Faktor-faktor yang menentukan FUEF antara lain
adalah teknik aplikasi air di lapangan dan kondisi tanah. FUEF di sistem
irigasi Brantas adalah berkisar antara 65 – 75 persen.

Hasil penelitian Team Studi SAPS II (1992) juga menunjukkan bahwa


secara keseluruhan tingkat efisiensi irigasi (system irrigation efficiency – SIEF) di
DAS Brantas masih relatif rendah (Tabel 14). Meskipun demikian penelitian
tersebut juga menyebutkan bahwa tingkat efisiensi tersebut relatif lebih tinggi dari
pada rata-rata nasional yang berkisar antara 45 – 65 persen.

Tabel 14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992

Tingkat Efisiensi (%)


Region Skema irigasi
IEF SOEF FUEF SIEF*)
Hulu Lodoyo 90 88.3 75 60
1. Warujayeng-Kertosono Mrican) 90 57.5 70 36
Tengah
2. Turi-Tunggorono 90 58.8 70 37
Hilir Delta Brantas 70 57.8 65 26
Sumber: Tim Studi "Special Assistant for Project Sustainability (SAPS)", 1992.
*) SIEF  IEF  SOEF FUEF

5.4. Kelembagaan Pengelolaan Irigasi

Pengelolaan irigasi, terutama pada sistem irigasi skala besar seperti


Brantas ataupun Jatiluhur membutuhkan perangkat kelembagaan yang tidak
sederhana. Latar belakangnya sebagai berikut. Di satu sisi, betapapun majunya
tetapi rekayasa teknik untuk menciptakan suatu sistem irigasi yang efisien harus
tetap berlandaskan pada hukum-hukum hidrologi karena tidak mungkin
menghindar dari karakteristik intrinsik sumberdaya air. Di sisi lain, perilaku
partisipan (pengguna) sumberdaya air tentu saja tidak selalu dipengaruhi oleh
136

variabel-variabel yang sesuai dengan persyaratan teknis keirigasian. Bahkan


secara empiris lebih banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang kadang-
kadang justru berseberangan dengan persyaratan teknis tersebut. Sebagai ilustrasi
dapat disebutkan misalnya dalam pengelolaan sumberdaya air di suatu Daerah
Aliran Sungai (DAS). Menurut acuan teknis, batas yurisdiksi pengelolaan
sumberdaya air adalah DAS. Akan tetapi secara empiris batas yurisdiksi berbagai
macam bentuk kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya,
termasuk pengelolaan sumberdaya air justru lebih sering mengacu pada cakupan
wilayah administratif pemerintahan yang sayangnya secara historis sangat jarang
memperhitungkan implikasi dari karakteristik sumberdaya air. Bukan hanya itu,
ternyata juga sangat sering menggunakan pendekatan parsial dan melupakan
hakekat interdependensi antar partisipan. Kondisi demikian itu pada akhirnya
menyebabkan semangat dan aksi kolektif untuk mendayagunakan sumberdaya air
secara efisien dan berkelanjutan sulit diwujudkan.

Garis besar kelembagaan pengelolaan irigasi di DAS Brantas adalah


sebagai berikut. Secara keseluruhan pengelolaan air Sungai Brantas dan anak-anak
sungainya telah terintegrasi dalam satu lembaga (Perum Jasa Tirta I). Tugas dan
fungsi utama lembaga ini adalah melakukan pengelolaan air untuk memenuhi
kebutuhan sektor pertanian (irigasi) maupun sektor-sektor lain (rumah tangga,
industri, pembangkit listrik, fasilitas sosial, penggelontoran sungai, dan
sebagainya) di DAS Brantas. Dalam melaksanakan fungsinya, Perum Jasa Tirta I
berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sebagai ilustrasi, dalam
mengelola pasokan air untuk irigasi, Jasa Tirta I berkoordinasi dengan Dinas
Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air
(BPSDA), dan dengan lembaga suprastrukturnya di jajaran kementerian yang
mengurusi sumberdaya air yakni Departemen Pekerjaan Umum.

Mengingat bahwa pengelolaan air irigasi pada dasarnya merupakan bagian


integral dari pengelolaan sumberdaya dalam keseluruhan, maka dilakukan
koordinasi yang sifatnya lintas sektoral. Untuk itu dibentuk suatu forum
koordinasi antar instansi terkait yang disebut Panitia Irigasi. Ketua Panitia Irigasi
adalah Kepala Wilayah Pemerintahan, baik di Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat
II, maupun di tingkat Kecamatan.
137

Mekanisme distribusi air irigasi mulai dari sumber air (reservoir) sampai
ke hamparan sawah adalah sebagai berikut. Dari reservoir air dialirkan melalui
saluran primer untuk selanjutnya dibagi lebih lanjut melalui saluran-saluran yang
lebih kecil (saluran sekunder). Penyampaian air irigasi dari saluran sekunder ke
hamparan lahan pertanian menggunakan saluran tertier, dan karenanya hamparan
lahan tersebut lazim disebut Petak Tertier atau Blok Tertier. Luas satu blok tertier
bervariasi, mulai dari hanya 40 Ha sampai 300 Ha, tergantung pada topografi
lahan dan disain debit air irigasi di saluran tertier. Untuk menjangkau persil-persil
lahan yang berada di tengah atau di belakang, seringkalipara petani secara
berkelompok membangun saluran-saluran yang lebih kecil (saluran kwarter). Agar
kehilangan air di saluran primer, sekunder, dan tertier dapat ditekan maka saluran-
saluran tersebut dibuat kedap air dengan cara disemen. Saluran kwarter pada
umumnya tidak disemen karena secara teknis langsung berada di areal hamparan
tertier dan secara finansial lebih murah.

Pada sistem irigasi teknis, pengelolaan irigasi menggunakan kombinasi


pendekatan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom up). Penyelenggaraan
pendekatan tersebut diwujudkan dalam sistem perencanaan yang dibuat oleh
Panitia Irigasi. Lazimnya, Panitia Irigasi mengadakan rapat koordinasi menjelang
musim tanam. Dari atas, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang program
pemerintah dalam peningkatan produksi pangan, prediksi iklim (curah hujan), dan
proyeksi pasokan air. Dari bawah, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang
pola tanam yang ingin dilakukan oleh petani. Berdasarkan pengkajian terhadap
informasi dari kedua belah pihak itu kemudian disusun "rencana pemberian air
irigasi" per musim tanam yang didalamnya mencakup volume maupun waktu
pengaliran air ke petak-petak tertier yang berada di wilayah kerja Panitia Irigasi
yang bersangkutan. Sudah barang tentu kebutuhan dan persediaan air irigasi tidak
dapat dihitung dengan tepat. Oleh sebab itu pada musim kemarau dikenal istilah
"Gadu Ijin"dan "Gadu Tidak Ijin". Gadu Ijin mengacu pada usahatani padi di
musim kemarau yang menurut perhitungan Panitia Irigasi akan memperoleh air
irigasi yang cukup dan karenanya masuk dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam,
sedangkan "gadu tidak ijin" atau kadang-kadang diistilahkan "gadu paksa"
mengacu pada usahatani padi yang keterjaminan pasokan air irigasinya tidak
138

meyakinkan sehingga tidak tercakup dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam.


Secara normatif, lahan garapan yang termasuk dalam kategori Gadu Tidak Ijin
tidak memperoleh hak untuk menuntut kepada Dinas Pengairan apabila pasokan
air irigasi ke lahannya tidak mencukupi.

Agar kesenjangan antara pasokan dan permintaan air irigasi dapat ditekan
serendah mungkin, "rencana pemberian air" tersebut dituangkan dalam suatu pola
tanam anjuran (luas tanam menurut jenis komoditas dan musim tanam) yang
kadang – kadang disebut pula dengan istilah Rencana Tata Tanam atau Pedoman
Pola Tanam yang disusun bersama-sama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan Dinas Pengairan. Selanjutnya agar lebih mengikat, hal tersebut diformalkan
melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati/Walikota).

Pemantauan dan pelaksanaan pengaturan pasokan air berada di bawah


tanggung jawab Dinas Pengairan setempat. Pelaksana langsung di lapangan adalah
Juru Pengairan yang dibantu oleh petugas-petugas penjaga pintu air. Lazimnya,
wilayah kerja seorang Juru Pengairan (wilayah kerjanya disebut Kejuron)
mencakup 5 – 10 Blok Tertier, tergantung luas Blok-Blok Tertier dan konfigurasi
jaringan irigasi. Koordinasi antar Juru Pengairan berada di bawah Cabang Seksi
pengairan, dan Cabang Seksi pengairan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas
Pengairan Kabupaten yang bersangkutan.

Tampaknya pendekatan yang digunakan dalam alokasi air irigasi adalah


Supply management. Dapat dikatakan demikian karena meskipun dalam
perencanaan distribusi antar waktu maupun antar tempat mengacu pula kepada
permintaan dari petani akan tetapi pola dasar yang diterapkan adalah sistim
penjatahan pasokan. Pendekatan demand management masih sulit diterapkan
karena: (a) kesulitan yang dihadapi dalam mengestimasi permintaan secara akurat
(jumlah petani sangat banyak, pola tanam sangat beragam), (b) teknik irigasi yang
diterapkan untuk tanaman yang terbanyak memerlukan air (padi) adalah sistim alir
terus-menerus (continuous flow) dan di dalam blok tertier cukup banyak petani
yang mempraktekkan pengaliran air irigasi antar petakan sawah menggunakan
sistem alir langsung melalui saluran-saluran kecil yang seringkali hanya dilakukan
dengan melubangi batas petakan sawah tersebut ("galengan").
139

Pengelolaan irigasi di tingkat petani dilakukan secara kolektif. Dalam


pengelolan usahatani, kelompok terkecil yang ada di pedesaan adalah Kelompok
Tani. Agar sesuai dengan tuntutan kelayakan teknis dan ekonomi dalam
pengelolaan irigasi kelompok-kelompok petani tersebut berasosiasi (atas kemauan
sendiri maupun karena bentukan pemerintah) membentuk suatu lembaga atau
organisasi yang disebut Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A). Di Jawa Timur
istilah yang dipakai adalah Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA).

Lazimnya, wilayah kerja HIPPA mencakup satu jaringan tertier dan secara
empiris pada sistem irigasi teknis yang investasinya dilakukan oleh pemerintah,
pembentukan dan pengembangan awal kelembagaannya dilakukan pemerintah.
Untuk menghindari terjadinya konflik dengan kelembagaan pengelolaan irigasi
tradisional yang yang berbasis pedesaan maka wilayah kerja HIPPA pada
akhirnya disesuaikan pula dengan wilayah administratif tersebut (desa).

5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan Irigasi


Teknis DAS Brantas

5.5.1. Penguasaan Lahan

Informasi tentang struktur penguasaan tanah bukan hanya bermanfaat


dalam menentukan implementasi water pricing, tetapi mencakup aspek yang lebih
luas. Sebagian pakar memanfaatkannya sebagai dasar telaah tentang stereotipe
masyarakat pertanian dan pedesaan pada umumnya (Van de Kroef, 1984; Wiradi
dan Makali, 2000). Di Indonesia telah banyak hasil penelitian yang menganalisis
hubungan antara struktur penguasaan tanah dengan sistem usahatani dan
pendapatan rumah tangga petani.

Meskipun beragam, kesimpulan umum dari beberapa studi menunjukkan


bahwa di pedesaan, struktur penguasaan tanah merupakan faktor terpenting
dinamika pertanian karena transformasi pertanian ke industri berjalan lambat.
Selain itu, struktur penguasaan tanah juga merupakan determinan distribusi
pendapatan. Ini dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dan Rusastra (1999),
Nurmanaf (2001) ataupun Susilowati et al, (2001).

Pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status kepemilikan


maupun penggarapan. Dalam penelitian ini tidak ada pembedaan antara status
140

milik yang dilengkapi bukti pemilikan (sertifikat) ataupun yang belum dilengkapi
sertifikat. Dalam transaksi penggarapan pada umumnya juga tidak disertai dengan
perjanjian tertulis, tetapi hanya didasarkan atas kepercayaan dari masing-masing
pihak yang berkepentingan.

Satuan luas lahan yang populer di DAS Brantas adalah 'ru', dimana 700 ru
setara dengan 1 hektar. Istilah lain yang juga populer adalah "banon" yang
merupakan "penghalusan" dari istilah "bata". Jika petani menyebut "Banon 100"
maka hal itu berarti lahan tersebut luasnya adalah 100 "ru" atau sekitar 1400 m2.

Ditinjau menurut penggunaannya, lahan pertanian dapat dipilah menjadi:


sawah, tegal, kebun, pekarangan dan lain-lain (kolam, tambak, dan sebagainya).
Lahan sawah seringkali dipilah lebih lanjut berdasarkan kualitas prasarana
penunjang irigasinya yaitu sawah irigasi teknis, semi teknis, sederhana, dan tadah
hujan. Secara teoritis, kualitas ketersediaan air yang terbaik adalah lahan beririgasi
teknis karena diperlengkapi dengan prasarana pengatur pasokan air irigasi (debit)
yang memadai, meskipun dalam praktek sering pula dijumpai bahwa lahan sawah
pada sistem irigasi sederhana kecukupan airnya lebih baik dari pada irigasi teknis.
Pemilahan lain adalah berdasaran tingkat kecukupan air irigasi dalam satu tahun
untuk menanam padi. Menurut pemilahan ini dikenal istilah sawah yang dapat
ditanami padi dua kali, satu kali, dan sebagainya.

Jika disederhanakan menjadi dua jenis pemanfaatan lahan yaitu Sawah dan
Lainnya (bukan sawah), rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani adalah
0.43 hektar, terdiri dari Sawah 0.34 hektar dan Lainnya 0.09 hektar (Tabel 15).
Sejajar dengan kepadatan agrarisnya, rata-rata pemilikan lahan di wilayah yang
lebih hilir cenderung lebih kecil.

Tabel 15. Rata-rata luas pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah
pesawahan irigasi teknis di DAS Brantas, 2000.

Lingkup wilayah Sawah Lainnya Total


Sub Das Hulu 0.401 0.163 0.564
Sub DAS Tengah 0.328 0.081 0.409
Sub DAS Hilir 0.307 0.049 0.355
DAS Brantas 0.339 0.091 0.430
141

Di Sub DAS Hulu, sebagian besar dari jenis lahan yang tercakup dalam
kelompok Lainnya adalah tegalan dan kebun, sedangkan di Sub DAS Tengah dan
di Sub DAS Hilir adalah pekarangan. Tanaman utama di tegalan adalah palawija
seperti jagung, kedele, kacang tanah, ubi jalar, dan sebagainya. Di kebun dan
pekarangan komoditas yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, pisang,
rambutan, mangga, dan lain-lain. Sebagian besar dari usahatani di lahan kebun
dan pekarangan yang dilakukan oleh petani di wilayah DAS Brantas adalah untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten).

Petani yang tidak memiliki sawah sehingga seluruh sawah garapannya


berasal dari sewa atau bagi hasil adalah sekitar 23 %. Bahkan lebih dari separuh
rumah tangga petani (53.5 %) hanya memiliki lahan sawah dengan luas rata-rata
sekitar 0.26 hektar. Jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan sawah
antara 1 – 1.5 hektar adalah 4.2 % dengan rata-rata pemilikan sekitar 1.2 hektar,
sedangkan yang memiliki sawah lebih dari 1.5 hektar hanya 1.5 % dengan rata-
rata luas pemilikan sekitar 2.5 hektar (Tabel 16).

Tabel 16. Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas
menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000.

Petani Sawah milik


Kelompok pemilikan sawah
n % Jumlah persil Luas (Ha)
L=0 111 23.13 0.0 0.000
0 < L =< 0.5 257 53.54 1.7 0.255
0.5 < L =< 1.0 85 17.71 3.5 0.647
1.0 < L =< 1.5 20 4.17 4.4 1.213
L > 1.5 7 1.46 4.3 2.546
Rata-rata 480 100.00 1.8 0.339

Distribusi pemilikan lahan sawah relatif timpang dengan Gini indeks


0.554. Sebagaimana tampak dalam kurva Lorentz (Gambar 15), luas kumulatif
pemilikan sawah dari 50 % rumah tangga tani dari lapisan terbawah hanya
mencapai 12 %, sebaliknya 50 % petani lapisan atas menguasai 55 %. Dapat pula
disimak bahwa 10 % populasi petani lapisan teratas menguasai lahan sawah milik
sekitar 37 % dari total lahan sawah di lokasi tersebut.
142

Angka indeks Gini1 pemilikan sawah di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah,
dan Hilir masing-masing adalah: 0.437, 0.589, dan 0.570. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan terendah adalah di Sub DAS
Brantas Hulu, sedangkan tingkat ketimpangan distribusi di Sub DAS Tengah dan
Hilir tidak banyak berbeda.

Hampir semua petani yang memiliki sawah menggarap sendiri lahan


sawah miliknya. Petani yang tidak memiliki lahan sawah memperoleh lahan
garapan dengan menyewa ataupun bagi hasil (menyakap). Dalam kenyataannya
yang menggarap persil-persil sawah dengan status sewa ataupun bagi hasil tidak
hanya petani yang tidak memiliki sawah tetapi juga petani yang telah memiliki
sawah. Hal ini antara lain disebabkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah pada
umumnya sempit sehingga petani-petani tersebut berusaha memperluas lahan
garapannya agar dapat memperoleh pendapatan usahatani yeng lebih banyak.

100

90
L u a s ku m u l at i f s aw a h m i l i k ( % )

80

70

60

50

40

30

20

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ju m l a h k u m u l a t i f p e t a n i ( % )

Gambar 15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas

1
Formula Gini Indeks adalah:
1 2 n
G  1   2  Li
n n L i 1
G = Gini indeks
Li = luas lahan petani ke-i
i = nomor petani (diurut dari yang pendapatan terbesar ke yang terkecil).
n = jumlah petani
L  adalah rata-rata luas lahan
143

Nilai sewa lahan sawah bervariasi tergantung produktivitas dan kelas


lahan. Rataan agregat adalah Rp. 4.8 juta/tahun dengan kisaran antara 3.4 – 5.6
juta. Sistem penyewaan beragam: per musim, per tahun, bahkan ada pula yang
menyewakan lahan sawahnya untuk jangka waktu lebih dari satu tahun (jual
tahunan). Secara empiris yang lazim adalah sewa per tahun. Tingkat partisipasi
garapan sewa terbanyak adalah di Sub DAS Tengah khususnya di Mrican Kiri
yang secara administratif adalah termasuk dalam wilayah Kabupaten Nganjuk.

Pada sistem bagi hasil, yang terbanyak dipraktekkan adalah sistem "maro"
atau 1:1. Artinya, bagian produksi pemilik tanah sama dengan yang diterima
penggarap. Tergantung kesuburan tanah dan kesepakatan dari kedua belah pihak,
ternyata ada penggarap yang diwajibkan menanggung 100 persen biaya tenaga
kerja dan 50 persen biaya sarana produksi lainnya, ada pula yang seluruh biaya
produksinya ditanggung oleh penggarap. Pada saat panen, setelah bagian hasil
(kompensasi) untuk sarana produksi disisihkan dan dikembalikan kepada masing-
masing pihak yang mengeluarkannya kemudian produksi dibagi dua.

Sesuai dengan ketersediaan air irigasinya, luas lahan sawah yang digarap
pada musim kemarau umumnya lebih rendah daripada musim hujan. Rata-rata
luas sawah garapan pada musim hujan, musim kemarau-1 dan musim kemarau-2
adalah 0.33, 0.32 dan 0.23 hektar. Sejajar dengan luas pemilikan, semakin ke hilir
rata-rata luas garapan cenderung semakin sempit (Tabel 17).

Tabel 17. Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000.

Luas garapan per musim (Hektar)


Wilayah
MH MK-1 MK-2
Sub DAS Hulu 0.383 0.357 0.249
Sub DAS Tengah 0.319 0.303 0.256
Sub DAS Hilir 0.311 0.307 0.173
DAS Brantas 0.332 0.318 0.227

Berkembangnya transaksi garapan sewa dan sakap dalam batas-batas


tertentu dapat dikatakan berhasil mengurangi tingkat ketimpangan penguasaan
lahan garapan. Ini tercermin dari Gini indeks pemilikan yang lebih besar daripada
Gini indeks penguasaan garapan (0.554 vs 0.405).
144

5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas

Sawah dibangun dengan tujuan agar kondisi lingkungan ekosistem tersebut


kondusif untuk usahatani padi. Oleh karena itu, indeks pertanaman padi di lahan
sawah seringkali digunakan sebagai proksi kinerja irigasi. Meskipun dalam
konsep irigasi modern penggunaan tolok ukur itu dianggap semakin tidak relevan,
tetapi dalam praktek masih berlaku sampai saat ini.

Luas tanam padi di pesawahan DAS Brantas masih dominan meskipun


diversifikasi usahatani di wilayah ini termasuk paling berkembang di Indonesia.
Pada MT I (MH), luas tanam padi lebih dari 85 %. Angka ini menurun menjadi
sekitar 65 % pada MT II (MK-1). Pada musim tanam ini, sekitar 30 % dari luas
lahan sawah ditanami palawija dan sayuran. Untuk MT III (MK-2), komoditas
dominan adalah palawija dan sayuran. Luas tanam padi pada musim ini kurang
dari 5 persen.

Sebaran spatial pengusahaan tanaman pangan yang membutuhkan air


irigasi terbanyak yakni padi, adalah (Gambar 16):

 Dominasi luas tanam padi pada MT I (MH) terjadi di semua Sub DAS di DAS
Brantas; berkisar antara 81– 90 %.
 Pada MT II (MK-1), proporsi luas tanam padi di Sub DAS Hilir dan Tengah,
kurang dari 60 % dari luas areal masing-masing wilayah tersebut. Ini berbeda
dengan di Sub DAS Hilir yang masih mencapai angka di atas 80 %.
 Proporsi luas tanam padi MT III (MK-2) yang terbesar adalah di Sub DAS
Brantas Tengah karena ketersediaan air irigasinya paling baik.

100
87.8 88.1 84.2
90 80.5
80
70
60 54.0 56.8
50
40
30
20
9.0
10 1.4 1.1
0
Musim Musim kemarau-1 Musim kemarau-
Hulu Tengah Hilir

Gambar 16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS
145

Salah satu indikator intensitas penanaman yang sering dipakai adalah


Indeks intensitas tanam (Cropping Index – CI). Hasil analisis menunjukkan bahwa
rataan agregat CI di areal pesawahan DAS Brantas adalah sekitar 260 %. Angka
CI tertinggi dicapai petani di Sub DAS Tengah, sedangkan yang terendah di Sub
DAS Hilir. Angka ini tidak banyak berbeda dengan hasil penelitian Nippon Koei
and Nikken Consultants (1998) yang menunjuukan bahwa CI tahun 1994-1996
berkisar antara 257 – 264 %; tetapi lebih tingga rata-rata CI lahan sawah irigasi
untuk keseluruhan Pulau Jawa yang diperkirakan hanya sekitar 179 %.

Intensitas tanam yang tinggi itu bukan hanya merupakan kontribusi dari
ketersediaan air dari irigasi gravitasi semata, tetapi juga irigasi pompa. Secara
empiris pemanfaatan irigasi pompa di Indonesia paling intensif adalah di DAS
Brantas (Pakpahan et al, 1993).

5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani Komoditas Utama

Aplikasi teknologi tidak hanya mencakup jumlah input yang digunakan


tetapi juga kualitas, bahkan cara bagaimana memperlakukan input tersebut dalam
budidaya pertanian. Analisis ini hanya difokuskan pada tingkat penggunaan input
utama yakni benih, pupuk, tenaga kerja, dan pengelolaan irigasi di level usahatani.

Berdasarkan data lapang yang dikumpulkan dari survey, terdapat 5 jenis


komoditas yang dominan yaitu padi, jagung dan kedele, kacang tanah, dan kacang
hijau. Penggunaan input dan produktivitas usahatani ketiga jenis komoditi tersebut
per musim tanam dapat disimak pada Tabel 18.

Produktivitas usahatani padi pada MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III


(MK-2) masing-masing adalah 56.5, 55 dan 53 kuintal gabah kering panen (GKP)
per hektar. Jika dibandingkan dengan produktivitas usahatani padi di Subang dan
Sidrap pada tahun 1998/1999 angka-angka tersebut lebih tinggi, tetapi lebih
rendah jika dibandingkan dengan produktivitas yang dicapai di Cianjur
(Sumaryanto, 2001). Dalam bentuk gabah kering giling (GKG) angka-angka
tersebut setara dengan 47.5, 46.7, dan 45.2 kuintal GKG/hektar. Dengan demikian
lebih tinggi daripada produktivitas rata-rata nasional (42 – 44 kuintal/hektar
ataupun rata-rata Asia pada tahun 1996 (38.7 kuintal/hektar) sebagaimana
146

dilaporkan dalam Kasryno et al, 2001. Tingkat produktivitas usahatani padi di


DAS Brantas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata
produktivitas yang dicapai RRC (63 kuintal/hektar), apalagi jika dibandingkan
dengan produktivitas yang dicapai di salah satu wilayah irigasi paling produktif di
negeri itu yakni di Zhanghe Irrigation System yang rata-rata mampu mencapai 78
kuintal/hektar (Hong et al, 2001).

Tabel 18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan palawija
di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000

Kacang Kacang
Padi Jagung Kedele
tanah hijau
MT I MT II MT III MT II MT III MT II MT III MT III MT III
Produktivitas (ku/ha) *) 56.5 54.9 53.2 56.0 54.6 13.2 13.1 14.3 8.6
Sarana Produksi:
1. Benih (Kg) 58.2 60.3 57.4 23.3 23.8 57.9 52.4 101.9 32.3
2. Pupuk Urea (Kg) 360.1 370.5 381.6 301.0 248.5 59.5 40.8 22.8 6.4
3. Pupuk ZA 117.7 117.7 160.9 38.0 44.9 0.0 32.6 0.0 0.0
4. Pupuk TSP 63.8 61.7 55.3 61.2 50.7 23.8 12.5 13.9 7.3
5. pupuk SP-36 39.5 43.3 50.7 6.7 10.2 0.0 3.6 3.5 3.5
6. Pupuk KCl 35.7 36.8 53.2 16.1 18.6 0.0 16.4 6.9 0.0
7. Pestisida (Rp.000) 121.1 130.4 212.6 23.5 31.9 121.4 179.9 48.9 115.4
8. Lainnya (Rp.000) 20.2 18.4 45.8 86.1 84.4 0.0 39.4 0.0 66.6
Tenaga Kerja (Jam kerja):
1. Laki-laki 900.9 903.8 1145.2 643.9 669.3 881.9 633.2 818.4 403.8
2. Perempuan 487.9 479.1 443.6 424.7 376.2 240.6 250.1 368.3 208.4
3. Ternak kerja 3.9 3.9 0.0 6.4 1.6 0.0 0.0 2.8 0.0
4. Traktor 29.2 27.7 46.4 29.2 20.7 3.0 4.6 11.5 0.0
Total (setara pria) 1625.1 1603.8 2010.5 1325.4 1203.5 1107.1 884.3 997.1 570.5
Jumlah petani (n) 471 386 52 50 162 3 126 8 22
*): kuintal Gabah Kering Panen (GKP)

Produktivitas tersebut dicapai melalui aplikasi penggunaan pupuk kimia


yang sangat intensif. Sebagai ilustrasi, rata-rata penggunaan pupuk N lebih dari
400 Kg/hektar dengan rincian rata-rata pupuk Urea mencapai 360 – 380 Kg/hektar
dan ZA lebih dari 100 Kg/hektar. Rata-rata penggunaan pupuk P (TSP dan atau
SP-36) lebih dari 100 Kg/hektar. Dibandingkan dosis pemupukan 'anjuran' angka-
angka tersebut terlalu besar sehingga dapat diinterpretasikan "over intensif".
Apakah hal itu disebabkan oleh: kecenderungan petani untuk menerapkan
pemupukan berlebih (efek psikologis), kebutuhan pupuk an organik yang semakin
tinggi karena menurunnya kesuburan fisik tanah akibat defisiensi bahan organik,
147

ataukah disebabkan oleh turunnya kualitas pupuk dan atau cara penggunaannya
masih perlu kajian lebih lanjut.

Penggunaan tenaga kerja mencakup tenaga kerja dalam keluarga dan


tenaga kerja upahan (buruh tani). Dalam pengolahan tanah, penggunaan tenaga
kerja ternak semakin tidak populer dan sebagian besar mengandalkan tenaga
mekanis terutama traktor roda dua.

Pada penggunaan benih, petani biasanya menyemai benih lebih banyak


daripada yang sesungguhnya ditanam. Selain untuk mengatasi kekurangan akibat
viablitas (daya tumbuh) benih yang tidak pernah mencapai angka di atas 95
persen, hal itu juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kebutuhan bibit untuk
penyulaman. Dalam kasus-kasus tertentu dimana bibit yang mereka semai sendiri
tidak cukup maka petani tersebut membeli atau meminjam bibit dari petani
lainnya. Pada tahun 1999/2000, varietas padi yang paling banyak ditanam petani
adalah IR-64. Menurut informasi yang diperoleh dari sebagian besar petani, IR-64
merupakan salah satu varietas padi berdaya hasil tinggi dan rasanya banyak
disukai sehingga sangat populer. Faktanya, IR-64 merupakan varietas padi yang
durasi edarnya paling lama.

Aplikasi irigasi pompa ditujukan untuk mengatasi kekurangan air pada


fase-fase pertumbuhan tertentu (musim kemarau). Sebagian petani memiliki
pompa irigasi sendiri, sedangkan yang tidak memiliki menyewa jasa pemompaan
dari pengusaha pompa irigasi atau petani lain yang memiliki pompa irigasi.

Meskipun pada musim hujan ada pula petani yang mengusahakan tanaman
jagung di lahan sawah irigasi teknis di DAS Brantas akan tetapi jumlahnya sangat
sedikit – bahkan untuk kedele hampir tak ada. Oleh sebab itu yang dibahas hanya
usahatani komoditas tersebut pada musim kemarau.

Secara agregat, produktivitas usahatani jagung pada MT II (MK-1) adalah


sekitar 56 kuintal pipilan kering/hektar, sedangkan pada MT III (MK-2) sedikit
lebih rendah (54.6 kuintal/hektar). Khusus untuk jagung hibrida, produksi per
hektar luas garapan yang dicapai petani di lokasi penelitian adalah sekitar 60.5
kuintal pipilan kering dengan kisaran 48 – 82 kuintal; sedangkan untuk varietas
komposit sekitar 48 kuintal dengan kisaran 32 – 65 kuintal.
148

Jagung hibrida telah banyak diusahakan terutama di Sub DAS Tengah dan
Hilir. Selain ditunjang oleh kemudahan petani memperoleh benih tersebut di kios-
kios saprodi setempat, perkembangan aplikasi benih hibrida di lokasi ini juga
terdukung oleh pola kemitraan dengan industri benih dan industri pakan. Serupa
dengan kinerja pada usahatani padi, aplikasi teknologi dalam usahatani jagung
juga termasuk intensif.

Sejak puluhan tahun yang lalu wilayah pesawahan DAS Brantas


merupakan salah sentra produksi kedele di Indonesia. Produktivitas usahatani
kedele pada tahun 1999/2000 adalah sekitar 13 kuintal kedele ose/hektar dengan
kisaran 9 – 19 kuintal/hektar. Variasi produktivitas antar petani dalam usahatani
kedele ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan variasi produktivitas
usahatani padi maupun kedele. Ini dapat disebabkan risiko usahatani kedele lebih
tinggi daripada kedua komoditas tersebut.

Produktivitas usahatani Kacang Tanah dan Kacang Hijau masing-masing


adalah 14.3 dan 8.6 kuintal ose/hektar. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata
nasional, akan tetapi untuk rataan Pulau Jawa termasuk angka tersebut termasuk
kategori sedang. Kedua jenis komoditas tersebut umumnya diusahakan pada MT
III (MK-2). Pada MT II (MK-1), partisipasi petani yang mengusahakannya lebih
kecil dibandingkan petani yang mengusahakan jagung maupun padi.

5.5.4. Strutur Pendapatan Rumah Tangga Petani

Oleh karena luas garapannya sempit, maka pendapatan yang diperoleh dari
usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga anggota
keluarga petani harus bekerja di sektor luar pertanian. Dengan demikian hampir
semua petani di irrigated area DAS Brantas adalah part timer farmer. Ini tidak
hanya berlaku pada petani yang lahan garapannya kurang dari 0.5 hektar tetapi
juga petani yang menguasai lahan garapan yang lebih luas.

Rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi di wilayah pesawahan


irigasi teknis DAS Brantas (1999/2000) adalah sekitar 5.4 juta rupiah/tahun.
Kontribusi pertanian adalah sekitar 67 persen (Rp. 3.36 juta), sedangkan non
pertanian 33 persen. Sesuai dengan ekosistemnya, peranan usahatani di lahan
149

sawah sangat besar dimana kontribsuinya terhadap total pendapatan rumah tangga
lebih dari separuh (53 persen). Usahatani di pekarangan dan kebun berkontribusi
sekitar 7.5 persen. Berburuh tani cukup penting peranannya terutama bagi petani
yang garapannya sempit dan tidak bekerja di luar pertanian yang produktif. Rata-
rata pendapatan dari buruh tani mencapai 6.6 persen. Di sektor non pertanian yang
terutama adalah dari usaha perdangan, industri rumah tangga, dan jasa-jasa lain di
sektor non formal, dan buruh serta karyawan (Tabel 19).

Tabel 19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS
Brantas, 1999/2000

Sumber pendapatan Rp. 103 Pangsa (%)


Pendapatan total 5 376.2 100.0
1. Pendapatan dari pertanian 3 611.5 67.2
1.1. Usahatani 3 254.5 60.5
1.1.1. Usahatani di lahan sawah 2 852.3 53.1
a. Usahatani padi 1 530.2 28.5
b. Usahatani palawija 524.7 9.8
c. Usahatani sayuran 506.9 9.4
d. Usahatani lainnya*) 290.5 5.4
1.1.2. Usahatani kebun/pekarangan, ternak, dll. 402.2 7.5
1.2. Buruh tani 357.0 6.6
2. Pendapatan di luar pertanian 1 764.7 32.8
2.1. Usaha 605.7 11.3
2.2. Buruh, karyawan, pegawai, dan jasa lainnya 652.4 12.1
3. Lainnya**) 506.6 9.4
*) : tebu, tembakau, dan lain sebagainya.
**) : menyewakan tanah, menyakapkan tanah, mnyewakan peralatan, kiriman dari
famili, pensiun, dan lain sebagainya.

Distribusi pendapatan per kapita rumah tangga tani di lokasi penelitian


agak timpang (G = 0.480). Secara kumulatif, 40 % populasi lapisan terbawah
hanya menikmati 12 % dari total pendapatan seluruh populasi. Di sisi lain 20 %
populasi lapisan teratas menikmati 53 %.

Membahas tentang pendapatan, adalah penting untuk mengetahui lebih


lanjut apakah suatu rumah tangga termasuk kategori miskin ataukah tidak miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui kegiatan SUSENAS selalu menghasilkan
angka garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan untuk wilayah pedesaan yang
150

dihasilkan dari data SUSENAS Desember 1998, SUSENAS Februari 1999, dan
SUSENAS Agustus 1999 masing-masing adalah sekitar Rp. 72 780, Rp. 74 272,
dan Rp. 69420 per kapita per bulan. Publikasi-publikasi BPS yang terbaru
cenderung menggunakan hasil SUSENAS Desember 1998.

Dengan mengikuti angka garis kemiskinan di pedesaan sebagaimana


dilakukan oleh BPS, ternyata dari seluruh rumah tangga petani contoh (480),
terdapat 248 rumah tangga (51.7 %) yang berada di bawah garis kemiskinan.
Artinya, lebih dari separuh petani padi tergolong rumah tangga miskin. Angka ini
lebih tinggi dari proporsi penduduk miskin di pedesaan Jawa Timur hasil analisis
BPS yaitu 32.1 % (BPS, 2000). Jadi, jika dihubungkan dengan fakta bahwa petani
adalah himpunan bagian dari penduduk pedesaan, maka penelitian ini – sekali lagi
– menunjukkan bukti empiris bahwa secara absolut maupun relatif, bagian
terbesar penduduk miskin di pedesaan memang petani.

Jika ditelaah lebih rinci ternyata rumah tangga petani yang paling rentan
terhadap kemiskinan adalah ditemukan pada kelompok pemilikan sawah di bawah
0.5 hektar. Pada kelompok rumah tangga petani yang tidak memiliki sawah
sendiri, 69 % diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu rumah
kelompok rumah tangga yang pemilikannya 0.5 hektar ke bawah, 55 %
diantaranya ternyata juga berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 20).

Tabel 20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok
pemilikan lahan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Kelompok Pemilikan lahan sawah (Hektar)


0 0-0.50 0.51-1.00 1.01- 1.50 >1.50
Di bawah garis kemiskinan:
Rumah tangga Jumlah 77 140 30 1 -
(%) 69.4 54.5 35.3 5.0 -
Pendapatan (Rp.10 3/kapita/tahun) 426.2 479.7 558.7 371.5 -
Pendapatan dari pertanian (%) 66.2 79.7 78.9 70.9 -
Pendapatan dari non pertanian (%) 33.8 20.3 21.1 29.1 -
Di atas garis kemiskinan:
Rumah tangga Jumlah 34 117 55 19 7
(%) 30.6 45.5 64.7 95.0 100.0
Pendapatan (Rp.10 3/kapita/tahun) 2015.2 1982.1 2095.3 3286.2 3671.2
Pendapatan dari pertanian (%) 50.6 72.2 66.2 73.6 64.5
Pendapatan dari non pertanian (%) 49.4 27.8 33.8 26.4 35.5
151

Proporsi rumah tangga petani yang berada di bawah garis kemiskinan


adalah sedikit ditemukan pada kelompok rumah tangga yang memiliki lahan
sawah yang lebih luas. Hal ini disebabkan: (1) kontribusi pendapatan rumah
tangga yang diperoleh dari usahatani dari lahan sawah masih dominan sehingga
makin luas lahan garapan makin banyak pendapatan yang diperolehnya, dan (2)
teknologi usahatani yang diterapkan oleh petani pemilik maupun petani yang
lahan garapan usahataninya berasal dari pihak lain ternyata tidak banyak berbeda
sehingga rata-rata pendapatan per hektar yang diperoleh petani pemilik lebih
tinggi karena tidak harus menanggung biaya sewa lahan atau bagi hasil.

Fenomena di atas juga merupakan bukti empiris bahwa perkembangan


sektor non pertanian di pedesaan belum cukup untuk mereduksi dominasi peranan
distribusi tanah sebagai determinan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Ini
disebabkan jenis-jenis kegiatan luar pertanian yang berkembang di pedesaan
produktivitasnya relatif rendah.

Peluang rumah tangga petani untuk tidak berada di bawah garis


kemiskinan cukup besar jika rumah tangga tersebut memiliki lahan sawah di atas
satu hektar. Sebagaimana tampak pada Tabel 20 tersebut di atas, proporsi rumah
tangga yang berada di atas garis kemiskinan pada kelompok rumah tangga petani
yang memiliki sawah 1 – 1.5 hektar ternyata mencapai 95 persen. Bahkan pada
kelompok rumah tangga yang memiliki lahan sawah di atas 1.5 hektar semuanya
berada di atas garis kemiskinan.
VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN PELAYANAN
IRIGASI BERBASIS KOMODITAS USAHATANI

6.1. Pola Tanam dan Keuntungan Usahatani Pada Solusi Optimal

Sebagaimana dibahas dalam tinjauan pustaka maupun metode penelitian,


dalam valuasi air irigasi dihasilkan sekaligus dua informasi penting yaitu (1) pola
tanam optimal, dan (2) harga bayangan air irigasi. Solusi optimal diperoleh pada
iterasi ke 247 (Lampiran 13).

Hasil optimasi menunjukkan bahwa indeks pertanaman (cropping indeks –


CI) maupun komposisi tanaman pada pola tanam optimal antar Sub DAS berbeda.
Secara umum CI di Sub DAS Hulu dan Tengah lebih tinggi daripada di Sub DAS
Hilir. Ini dipengaruhi oleh: (1) ketersediaan air irigasi per hektar di Sub DAS Hulu
dan Sub DAS Tengah lebih tinggi daripada di Sub DAS Hilir, (2) untuk kelompok
komoditas yang sama konsumsi air irigasi per hektar pada areal pesawahan di Sub
DAS yang lebih hilir cenderung lebih tinggi karena evapotranspirasi lebih tinggi.

Pola tanam optimal tertera pada Tabel 21. Secara agregat, CI pada pola
optimal adalah sekitar 262.5 persen. Angka ini sedikit lebih tinggi daripada CI
aktual yakni 260 persen (lihat Bab V). Meskipun perbedaan CI antara pola tanam
aktual dengan pola tanam optimal relatif kecil tetapi komposisi tanamannya sangat
berbeda. Perbedaan paling menonjol adalah:
1. Proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal lebih kecil daripada pola
tanam aktual. Pada pola tanam optimal, luas tanam padi pada MT I (MH),
MT II (MK-1), dan MT III (MK-2) masing-masing adalah sekitar 83.6, 60.9,
dan 3.8 % dari total luas areal. Dengan urutan yang sama, proporsi luas
tanam padi pada pola tanam aktual adalah 86.2, 65.8, dan 4.4 persen (rincian
per Sub DAS tertera pada Gambar 16 Bab V).
2. Proporsi luas tanam palawija, hortikultura dan komoditas tanaman industri
meningkat cukup banyak, terutama pada MT II (MK-1). Pada MT I, MT II,
dan MT III proporsinya adalah 9.1, 31.8, dan 65.9 % untuk pola optimal,
sedangkan pada pola aktual adalah 5.9, 24.2, dan 66.2 %.
3. Proporsi luas tanam tebu pada pola tanam optimal adalah sekitar 7 %, yang
berarti lebih tinggi daripada kondisi aktual yang hanya sekitar 3 %.
153

Tabel 21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas

Periode pengusahaan (persiapan – panen) Hulu Tengah Hilir Agregat


Musim Kelompok komoditas
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep ( Ha ) (%) ( Ha ) (%) ( Ha ) (%) ( Ha ) (%)
MT I Padi (1) 1 953 15.9 4 210 14.6 3 578 13.1 9 742 14.2
(Musim Hujan) (2) 5 865 47.6 13 672 47.3 13 243 48.4 32 779 47.8
(3) - - 5 327 18.4 2 087 7.6 7 414 10.8
(4) 2 564 20.8 715 2.5 4 158 15.2 7 437 10.8
Total padi 10 382 84.3 23 924 82.8 23 066 84.3 57 372 83.6
Palawija/hortikultur- (1) 581 4.7 1 914 6.6 1 384 5.1 3 879 5.7
1 (3) 145 1.2 - - - - 145 0.2
Palawija/hortikultur- (2)
414 3.4 1 072 3.7 733 2.7 2 220 3.2
2
Total palawija/hortikultur 1,141 9.3 2 986 10.3 2 117 7.7 6 244 9.1
MT II Padi (1) 2 949 23.9 7 196 24.9 5 696 20.8 15 840 23.1
(Musim Kemarau-1) (2) 3 629 29.5 9 493 32.8 10 379 37.9 23 500 34.3
(3) 902 7.3 961 3.3 581 2.1 2 443 3.6
Total padi 7 479 60.7 17 649 61.1 16 656 60.9 41 784 60.9
Palawija/hortikultur- (2) - - 743 2.6 - - 743 1.1
1 (3) - - 4 367 15.1 1 172 4.3 5 538 8.1
(4) 2 543 20.6 715 2.5 4 158 15.2 7 416 10.8
Palawija/hortikultur- (2) 1 405 11.4 3 436 11.9 2 863 10.5 7 705 11.2
2 (3) - - - - 334 1.2 334 0.5
(4) 95 0.8 - - - - 95 0.1
Total palawija/hortikultur 4 043 32.8 9 261 32.0 8 528 31.2 21 832 31.8
MT III Padi (1) 473 3.8 1 101 3.8 - - 1 573 2.3
(Musim Kemarau-2) (4) - - 17 .1 1 034 3.8 1 050 1.5
Total padi 473 3.8 1 117 3.9 1 034 3.8 2 624 3.8
Palawija/hortikultur- (1) 3 882 31.5 8 006 27.7 4 014 14.7 15 902 23.2
1 (2) - - 3 754 13.0 4 296 15.7 8 050 11.7
(4) 1 340 10.9 698 2.4 3 124 11.4 5 163 7.5
Palawija/hortikultur- (1) - - 1 525 5.3 4 545 16.6 6 070 8.9
2 (3) 1 450 11.8 - - - - 1 450 2.1
(4) 1 369 1.1 5 327 18.4 1 858 6.8 8 554 12.5
Total palawija/hortikultur 8 041 65.3 19 311 66.8 17 837 65.2 45 189 65.9
Non musiman Tebu 798 6.5 1 994 6.9 2 179 8.0 4 971 7.2
Setahun Seluruh komoditas 32 357 262.6 76 242 263.8 71 416 261.0 180 016 262.5

153
154

Pada pola tanam optimal, keuntungan bersih usahatani pada luas baku
sawah 68 587 hektar (luas agregat daerah irigasi contoh) adalah sekitar 118.41
milyar rupiah atau sekitar 1.73 juta rupiah per hektar (Tabel 22). Keuntungan
tunai adalah sekitar 8.47 juta rupiah per hektar. Dibandingkan dengan kondisi
aktual (7.73 juta rupiah) berarti terjadi peningkatan sekitar 9.6 %.

Tabel 22. Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi
teknis DAS Brantas

Kelompok Per Sub DAS (Rp. 103) Agregat


komoditas Hulu Tengah Hilir (Rp. 103) (%)
Keuntungan bersih:
Musim Hujan:
Padi 6 188.2 14 684.2 13 666.9 34 540.8 29.2
P.wija/hort-1 523.4 1 380.0 985.7 2 888.6 2.4
P.wija/hort-2 249.5 680.9 428.2 1 357.0 1.1
Total MH 6 961.1 16 745.0 15 080.8 38 786.4 32.8
Musim Kemarau-1:
Padi 4 675.5 11 128.4 10 222.1 26 025.6 22.0
P.wija/hort-1 2 258.9 4 803.8 4 059.7 11 121.9 9.4
P.wija/hort-2 994.5 2 423.7 2 305.1 5 723.6 4.8
Total Kemarau-1 7 928.9 18 355.9 16 586.8 42 871.1 36.2
Musim Kemarau-2:
Padi 272.1 669.1 576.1 1 517.3 1.3
P.wija/hort-1 3 464.8 8 233.4 7 272.0 18 969.8 16.0
P.wija/hort-2 2 062.9 5 056.8 4 752.5 11 872.2 10.0
Total Kemarau-2 5 799.7 13 959.2 12 600.6 32 359.3 27.3
Tebu 686.5 1 755.7 1 955.9 4 397.9 3.7
Setahun 21 376.2 50 815.8 46 224.2 118 414.8 100.0
Per hektar/tahun 1.73 1.76 1.69 1.73
Keuntungan tunai:
Musim Hujan:
Padi 300 539.9 704 184.2 668 992.8 1 673 749.2 28.8
P.wija/hort-1 26 219.1 69 400.0 49 569.4 145 167.5 2.5
P.wija/hort-2 12 219.0 33 356.1 18 670.4 64 086.2 1.1
Total MH 339 017.1 806 934.4 737 179.0 1 883 109.2 32.4
Musim Kemarau-1:
Padi 220 067.2 524 955.8 489 776.2 1 234 786.6 21.3
P.wija/hort-1 111 042.6 241 470.5 203 661.3 556 160.9 9.6
P.wija/hort-2 48 096.9 115 903.8 109 097.0 273 112.1 4.7
Total Kemarau-1 379 146.8 882 297.9 802 501.3 2 063 922.8 35.5
Musim Kemarau-2:
Padi 13 490.9 31 780.7 25 294.0 70 560.1 1.2
P.wija/hort-1 185 821.0 449 515.0 407 327.3 1 042 660.9 17.9
P.wija/hort-2 90 730.8 225 093.3 204 784.0 520 606.8 9.0
Total Kemarau-2 290 002.6 706 164.9 637 150.8 1 633 307.6 28.1
Tebu 35 653.4 91 190.2 101 590.1 228 429.7 3.9
Setahun 1 043 810.7 2 486 596.1 2 278 433.7 5 808 790.0 100.0
Per hektar/tahun 8.46 8.60 8.33 8.47
155

Meskipun proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal menurun,
tetapi kontribusinya masih dominan. Kontribusinya terhadap keuntungan bersih
yang diperoleh dari usahatani dalam setahun adalah sekitar 52.5 %. Dalam ukuran
tunai, besarannya juga lebih dari separuh (51.3 %); tetapi jika dibandingkan
dengan kondisi aktual (55.2 %) kontribusinya memang turun sekitar 4 %.

Dari Tabel 22 juga tampak bahwa dalam setahun, kontribusi terbesar


dihasilkan dari usahatani pada MT II (MK-1) karena pada musim itu proporsi luas
tanam komoditas bernilai ekonomi tinggi meningkat cukup banyak. Pada kondisi
aktual pendapatan terbesar diperoleh dari usahatani pada Mt I (MH).

6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi

Pada solusi optimal penggunaan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS
Tengah dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 143, 327, dan 307 juta m3 per
tahun (Tabel 23). Perbedaan volume penggunaan antar Sub DAS terutama
disebabkan oleh perbedaan luas sawah, sedangkan perbedaan proporsi antar
kelompok komoditas relatif kecil. Penggunaan terbesar adalah untuk usahatani
padi (63 – 65 %). Penggunaan untuk usahatani palawija/hortikultur-1 dan
palawija-hortikultur-2 masing-masing adalah sekitar 21 % dan % persen,
sedangkan untuk usahatani tebu adalah sekitar 5 – 6 %. Informasi yang lebih rinci
tertera dapat disimak pada Lampiran 14).

Distribusi temporal permintaan dan pasokan air irigasi pada solusi optimal
tertera pada Gambar 17. Pada sisi permintaan, kebutuhan air tergantung pada jenis
tanaman, evapotranspirasi potensial, laju perkolasi, kebutuhan air untuk
pengolahan tanah, dan efisiensi irigasi. Selain itu, beberapa jenis tanaman tertentu
(terutama padi) juga membutuhkan air untuk penggenangan. Sebagian dari
kebutuhan itu terpenuhi dari curah hujan. Di sisi lain, curah hujan tersebut juga
mempengaruhi pasokan air irigasi baik melalui saluran irigasi (karena
penyalurannya menggunakan teknik alir berkesinambungan melalui sistem saluran
terbuka) maupun langsung tercurah ke hamparan lahan sawah garapan. Akibatnya
pada saat musim hujan pasokan air irigasi melimpah, sedangkan permintaannya
justru turun; sebaliknya pada musim kemarau pasokan air irigasi sangat terbatas
sedangkan permintaannya meningkat.
156

Tabel 23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada
solusi optimal

Kelompok Periode Hulu Tengah Hilir


Musim
komoditas usaha (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % )
Padi MT I Okt-Jan 9.518 6.7 20.495 6.3 17.307 5.6
Nov-Feb 21.845 15.3 50.285 15.4 48.020 15.6
Des-Mar - - 12.317 3.8 4.723 1.5
Jan-Apr 6.313 4.4 1.734 0.5 9.873 3.2
MT II Feb-Mei 17.121 12.0 41.221 12.6 32.080 10.4
Mar-Jun 25.592 17.9 66.384 20.3 71.696 23.3
Apr-Jul 7.574 5.3 8.035 2.5 4.819 1.6
MT III Jun-Sep 4.572 3.2 10.671 3.3 - -
Sep-Des - - 0.107 0.0 6.696 2.2
Total 92.535 64.8 211.250 64.5 195.213 63.5
Palawija/ MT I Okt-Jan 0.936 0.7 3.091 0.9 2.220 0.7
hortikultur-1 Des-Mar 0.061 0.0 - 0.0 - -
MT II Mar-Jun - - 1.282 0.4 - -
Apr-Jul - - 10.571 3.2 2.812 0.9
Mei-Ags 8.575 6.0 2.409 0.7 13.947 4.5
MT III Jun-Sep 16.399 11.5 33.972 10.4 17.011 5.5
Jul-Okt - - 16.463 5.0 18.862 6.1
Sep-Des 4.404 3.1 2.310 0.7 10.358 3.4
Total 30.376 21.3 70.098 21.4 65.210 21.2
Palawija/ MT I Nov-Jan 0.258 0.2 0.661 0.2 0.445 0.1
hortikultur-2 MT II Mar-Mei 2.105 1.5 5.086 1.6 4.179 1.4
Apr-Jun - - - - 0.749 0.2
Mei-Jul 0.297 0.2 - - - -
MT III Jun-Ags - - 5.467 1.7 16.246 5.3
Ags-Okt 5.824 4.1 - 0.0 - -
Sep-Nov 4.358 3.1 17.067 5.2 5.966 1.9
Total 12.841 9.0 28.281 8.6 27.585 9.0
Tebu Setahun 7.081 5.0 17.739 5.4 19.346 6.3
Seluruh komoditas setahun 142.833 100.0 327.369 100.0 307.354 100.0

Pada Gambar 17 tampak bahwa senjang antara pasokan dan permintaan


air irigasi pada musim hujan di Sub DAS Hulu lebih kecil daripada di Sub DAS
lainnya. Senjang pasokan dan permintaan paling menyolok adalah dengan Sub
DAS Tengah karena layanan irigasinya terluas. Pada dasarnya, untuk luas lahan
yang sama pola distribusi pasokan dan permintaan antar Sub DAS tidak banyak
berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pola tanam optimal antar Sub DAS
maupun ketersediaan air irigasi per unit luas hamparan relatif kecil.
157

Juta m3
80.0 Bulan Pasokan Penggunaan
Okt 11.391 11.391
Nov 15.184 15.184
60.0 Des 31.038 7.294
Jan 32.254 5.558
Feb 30.763 7.208
40.0 Mar 28.806 10.815
Apr 25.589 15.340
Mei 21.424 18.339
20.0 Jun 17.203 17.203
Jul 12.237 12.237
0.0 Ags 11.600 11.600
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 10.665 10.665

3
Juta m
80.0 Bulan Pasokan Penggunaan
Okt 24.547 24.547
Nov 34.912 34.912
60.0 Des 73.336 20.770
Jan 76.118 12.822
Feb 72.492 16.624
40.0 Mar 68.166 26.085
Apr 60.123 34.380
Mei 51.080 42.249
20.0 Jun 38.918 38.918
Jul 26.487 26.487
0.0 Ags 25.369 25.369
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 24.206 24.206

Juta m3
Bulan Pasokan Penggunaan
80.0 Okt 24.134 24.134
Nov 33.452 33.452
60.0 Des 69.638 17.272
Jan 71.348 11.944
Feb 69.027 14.860
40.0 Mar 64.681 25.009
Apr 57.305 33.006
Mei 47.956 40.429
20.0 Jun 37.314 37.314
Jul 24.485 24.485
0.0 Ags 23.277 23.277
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Sep 22.173 22.173

Gambar 17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi
pada solusi optimal

Pola distribusi temporal seperti itu mempengaruhi harga bayangan air


irigasi. Per definisi suatu sumberdaya mempunyai nilai ekonomi (harga
bayangannya positif) jika pada solusi optimal sumberdaya tersebut tak tersisa.
Dalam penelitian ini, pada periode Desember–Mei terjadi kelebihan pasokan
sehingga harga bayangannya sama dengan nol. Sebaliknya, pada Bulan Juni –
November, harga bayangan air irigasi positip. Pada periode ini harga terendah
terjadi pada Bulan Juni, sedangkan yang tertinggi terjadi pada Bulan September.
Untuk lingkup DAS Brantas, harga bayangan air irigasi pada Bulan September
mencapai Rp. 58/m3. Mengikuti tingkat kelangkaannya, harga bayangan antar Sub
DAS bervariasi. Sebagai contoh, pada bulan September harga bayangan air irigasi
di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah
sekitar Rp. 41/m3, Rp. 53/m3, dan Rp. 70/m3. Variasi temporal harga bayangan
air irigasi untuk masing-masing wilayah dapat disimak pada Gambar 18.
158

Rupiah/m3
80.0
70.0
Sub DAS Hulu
60.0
Sub DAS Tengah
50.0 Sub DAS Hilir
40.0 DAS Brantas
30.0
20.0
10.0
0.0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Sub DAS Hulu 30.3 18.0 - - - - - - 8.0 21.9 37.5 41.1
Sub DAS Tengah 39.9 22.8 - - - - - - 10.1 27.7 48.1 53.3
Sub DAS Hilir 52.5 29.6 - - - - - - 13.0 35.5 63.2 70.1
DAS Brantas 43.2 24.7 - - - - - - 10.9 29.8 52.2 57.8

Gambar 18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di
wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas

Faktor yang menentukan harga bayangan air irigasi bukan hanya tingkat
kelangkaan sumberdaya tersebut, tetapi juga keuntungan usahatani dari komoditas
yang diusahakan di masing-masing Sub DAS tersebut. Oleh karena itu,
produktivitas usahatani, harga-harga masukan, dan harga-harga keluaran
komoditas pertanian sangat menentukan.

Meskipun harga bayangan air irigasi sangat berfluktuasi, seringkali


dibutuhkan pula informasi tentang nilai rataannya. Dalam konteks ini disajikan
dua jenis rataan dengan dua cara penghitungan: (1) rata-rata yang perhitungannya
hanya didasarkan pada periode ketika air irigasi langka (harga bayangannya
positif), dan (2) rata-rata dari seluruh periode termasuk periode ketika air irigasi
tidak langka (harga bayangannya nol). Hasilnya disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya
( Rupiah / m3 )
1)
Cakupan Wilayah Cakupan: periode air irigasi langka Cakupan: keseluruhan2)
Rata-rata Rataan terbobot Rata-rata Rataan terbobot
Sub DAS Hulu 26.13 24.28 13.06 13.30
Sub DAS Tengah 33.65 31.12 16.83 16.59
Sub DAS Hilir 44.01 40.39 22.00 21.65
Agregat DAS Brantas 36.43 33.62 18.22 18.04
1)
Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan pada periode Juni – November (6 bulan).
2)
Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan Oktober – September (satu tahun).
159

Harga bayangan yang dihasilkan dari penelitian ini barangkali termasuk


kategori moderat. Sebagai pembanding, hasil estimasi harga air irigasi dengan
pendekatan dari sisi pasokan (supply side) yang dilakukan oleh Nippon Koei-
Nikken Consultant (1998) untuk sistem irigasi Brantas menunjukkan bahwa untuk
menutup seluruh biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan (full cost
recovery) maka harga air irigasi (menurut harga tahun 1997) adalah Rp. 25/m3.
Akan tetapi jika sasarannya adalah untuk menutup biaya operasi dan pemeliharaan
saja (operation and maintenance cost recovery), harganya sekitar Rp. 5/m3.
Dalam penelitian itu disebutkan pula bahwa harga air (full cost recovery) untuk
memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, domestik, dan industri masing-masing
adalah Rp. 11/m3, Rp. 10/m3, dan Rp. 30/m3. Dalam praktek, harga air yang
ditetapkan Perum Jasa Tirta I pada tahun 1997 itu untuk masing-masing sektor
tersebut adalah Rp. 12/m3, Rp. 30/m3, dan Rp. 50/m3 (sampai saat ini Perum Jasa
Tirta I belum memungut biaya air irigasi dari petani).

Dengan asumsi pola distribusi temporalnya tetap, rata-rata harga bayangan


air irigasi semakin tinggi jika variasi pasokan antar tahun sangat semakin tinggi.
Sebagai ilustrasi, jika variasi pasokan antar tahun berkisar antara 10 % di bawah
normal sampai 10 % di atas normal maka rata-rata harga bayangan pada Bulan
Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah Rp. 118/m3, Rp. 84/m3,
dan Rp. 98/m3. Akan tetapi jika relatif stabil, misalnya variasi pasokan berkisar
antara 2 % di bawah normal sampai 2 % di atas normal, maka rata-rata harga
bayangan pada Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah sekitar
Rp. 59/m3, Rp. 75/m3, dan Rp. 45/m3 (Gambar 19).

Tampak bahwa harga bayangan air irigasi yang paling sensitif terhadap
perubahan pasokan air irigasi adalah untuk Bulan Agustus. Peringkat berikutnya
adalah Juni dan Oktober. Fenomena paling menarik adalah bahwa harga bayangan
air irigasi awal Musim Tanam III yakni Bulan Juni ternyata jauh lebih sensitif jika
dibandingkan dengan Bulan Juli, meskipun pada kondisi normal harga air irigasi
Bulan Juli lebih tinggi daripada Bulan Juni. Secara teoritis hal ini terkait dengan
posisi strategis ketersediaan dan kebutuhan air irigasi pada Bulan Juni dimana
faktor-faktor yang menentukan adalah: (1) kendala historis pola tanam, (2) rata-
rata durasi pengusahaan komoditas dominan (padi), dan (3) distribusi temporal
160

pasokan air irigasi. Secara empiris, Bulan Juni sebagai awal Musim Tanam III
adalah titik kritis dalam memilih pola tanam yang berisiko karena menghadapi
kondisi pasokan air irigasi yang langka. Lebih dari itu, pilihan pola tanam yang
diambil pada Musim Tanam III juga akan berdampak pada alternatif pilihan pola
tanam pada musim hujan tahun berikutnya.

Rupiah/m3
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
0.90 - 1.10 108.8 30.5 - - - - - - 90.8 15.2 120.5 94.4
0.91 - 1.09 105.2 28.3 - - - - - - 85.0 14.5 117.8 94.9
0.92 - 1.08 100.8 25.5 - - - - - - 77.8 13.5 114.5 95.4
0.93 - 1.07 96.4 24.3 - - - - - - 71.6 14.4 110.5 94.7
0.94 - 1.06 91.2 23.1 - - - - - - 65.1 15.3 105.6 93.1
0.95 - 1.05 84.6 21.5 - - - - - - 56.1 16.6 98.9 90.8
0.96 - 1.04 75.1 19.1 - - - - - - 43.1 18.5 89.3 87.3
0.97 - 1.03 63.9 17.4 - - - - - - 31.8 20.2 76.1 78.8
0.98 - 1.02 49.6 15.0 - - - - - - 10.3 24.0 63.2 75.5
0.99 - 1.01 39.3 14.9 - - - - - - 10.6 25.1 44.2 50.0
Tetap 43.2 24.7 - - - - - - 10.9 29.8 52.2 57.8

Gambar 19. Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga
bayangannya

Harga bayangan suatu sumberdaya pada dasarnya adalah produktivitas


marginal sumberdaya tersebut. Oleh karena itu harga bayangan air irigasi
dipengaruhi oleh produktivitas usahatani dan harga-harga masukan dan produksi
pertanian. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui pengaruh perubahan
harga komoditas dominan terhadap harga bayangan air irigasi.

Hasil analisis pasca optimal (post optimality analysis) menunjukkan bahwa


pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ternyata
tidak linier. Hal ini disebabkan oleh:
1. Adanya kendala historis pola tanam dimana perbandingan proporsi luas tanam
antar kelompok komoditas berada pada kisaran tertentu.
161

2. Perubahan harga gabah menyebabkan perubahan keuntungan usahatani padi


dan posisi relatifnya terhadap kelompok komoditas yang lain.
3. Pada komoditas padi, posisi relatif keuntungan antar periode pengusahaan juga
berubah karena adanya perbedaan harga gabah, biaya usahatani, maupun
produktivitas usahatani padi.

Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi tidak
linier. Hal ini disebabkan harga gabah hanya mempengaruhi keuntungan usahatani
padi per hektar, sedangkan harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh
keuntungan per hektar seluruh komoditas yang berarti dipengaruhi oleh harga
keluaran seluruh komoditas. Pada level agregat (DAS Brantas), jika harga gabah
turun 5 % maka harga bayangan air irigasi adalah Rp. 31/m3 dan meningkat lebih
lanjut menjadi Rp. 46/m3 jika harga gabah turun 10%. Di sisi lain, jika harga
gabah naik 5 % maka harga bayangan air irigasi meningkat menjadi Rp. 40/m3
dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 70/m3 jika harga gabah meningkat 10 %.
Kecenderungan ini terjadi di ketiga Sub DAS meskipun ada variasi (Tabel 25).

Tabel 25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi
Rupiah/m3
Harga Gabah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
Turun 10% 38.66 43.35 52.12 46.14
Turun 5% 21.97 28.17 36.81 30.59
Tetap 13.01 16.85 21.99 18.26
Naik 5% 33.38 40.62 41.05 39.59
Naik 10% 61.66 72.13 71.88 70.34

Fungsi permintaan (normatif) air irigasi dapat diperoleh dari post


optimality analysis perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996). Oleh karena
hasil post optimality analysis berupa inverse demand function (Tsur et al, 2002)
maka bentuk fungsi permintaan tersebut dapat diperoleh dari inversinya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan kuantitas air irigasi yang


digunakan pada solusi optimal maupun harga bayangan air irigasi sangat
bervariasi meskipun proporsi perubahan pasokan air irigasi diperlakukan konstan
(Lampiran 15). Implikasinya, bentuk umum fungsi permintaannya tidak linier.
162

Permintaan cenderung sangat elastis pada tingkat harga yang sangat tinggi (karena
pasokan air irigasi sangat terbatas) ataupun tingkat harga yang sangat rendah
(pasokan air irigasi sangat melimpah).

Untuk cakupan agregat DAS Brantas, pada saat pasokan air irigasi sangat
langka sehingga harga bayangannya lebih dari Rp. 84/m3 maka permintaannya
sangat elastis. Selanjutnya permintaan tersebut menjadi tidak elastis pada selang
harga Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada harga di bawah Rp. 11/m3.
Perilaku permintaan seperti itu diakibatkan oleh terjadinya perubahan alternatif
pilihan komoditas yang memaksimalkan keuntungan yang dipengaruhi oleh
kebutuhan air masing-masing komoditas (sifatnya khas), produktivitas usahatani,
harga-harga masukan maupun keluaran, dan ketersediaan air irigasi (Gambar 20).

Rupiah/m3
100.0

90.0

80.0

70.0

60.0

50.0

40.0

30.0

20.0

10.0

0.0 106 m3
700 710 720 730 740 750 760 770 780 790 800

Gambar 20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas

Meskipun sama-sama elastis, tetapi makna elastisitas permintaan pada


tingkat harga tinggi dan tingkat harga yang sangat rendah sebenarnya berbeda.
Sebagaimana diketahui, harga yang tinggi disebabkan tingkat kelangkaan air
irigasi sangat tinggi. Nilai guna air irigasi pada level tersebut sangat tinggi. Oleh
karena itu prosentase penurunan harga yang sedikit saja akan mendorong
peningkatan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang sangat besar.
Sebaliknya, tingkat harga yang rendah terbentuk akibat tingkat kelangkaannya
163

rendah dan karenanya nilai guna air irigasi bagi petani relatif rendah. Dalam
kondisi demikian itu maka peningkatan harga pada proporsi sedikitpun akan
mendorong penurunan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang
sangat besar. Kesimpulannya, pada level harga tinggi maka makna dari elastisitas
permintaan lebih relevan untuk skenario penurunan harga, sedangkan pada level
harga yang sangat rendah lebih relevan untuk skenario peningkatan harga.

Permintaan air irigasi pada kondisi aktual berada pada segmen kurva
permintaan yang tidak elastis. Ini merupakan fenomena yang lazim ditemukan
pada permintaan air irigasi pada level harga rendah sebagaimana dinyatakan
dalam Perry (2002). Implikasi dari sifat inelastis tersebat adalah bahwa
peningkatan harga air irigasi kurang efektif sebagai instrumen untuk mendorong
pengurangan penggunaan air irigasi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal itu
adalah fenomena jangka pendek. Secara teoritis permintaan jangka panjang adalah
lebih elastis sehingga efektivitas harga sebagai instrumen pendorong efisiensi
penggunaan air irigasi meningkat.

Dikaitkan dengan fenomena empiris perilaku seperti itu logis. Secara


empiris diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mengubah perilaku petani
dalam pengelolaan air irigasi khususnya maupun dalam pengelolaan usahatani
pada umumnya. Ini terkait dengan perilaku petani dalam pengelolaan irigasi yang
dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang sifatnya teknis, ekonomi, maupun sosial
budaya secara simultan. Mengubah perilaku yang determinannya berada dalam
dimensi teknis atau ekonomi membutuhkan waktu relatif lebih pendek daripada
faktor-faktor yang berada pada dimensi sosial budaya karena melibatkan nilai-
nilai cenderung mengakar dalam kehidupan masyarakat.

6.3. Pengaruh Perubahan Pasokan Air Irigasi Terhadap Diversifikasi

Analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi menghasilkan


informasi tentang arah diversifikasi. Ternyata, pengaruh pasokan air irigasi
terhadap indeks diversitas tidak linier (pola tanam optimal untuk beberapa
skenario pasokan air irigasi dapat disimak pada Lampiran 16 – 18).
164

Jika pasokan air irigasi menurun maka indeks diversitas (diukur dengan
Indeks Entrophy) juga menurun atau pasokan air irigasi meningkat lebih dari 5
persen (Gambar 21). Pada lingkup agregat DAS Brantas, jika air irigasi semakin
langka maka proporsi luas tanam padi menurun dan diversifikasi juga mengerucut
mengarah pada kelompok komoditas hemat air yang keuntungan usahataninya
relatif tinggi. Sebaliknya pada kondisi air berlimpah, proporsi luas tanam padi
semakin meningkat dan untuk kelompok komoditas non padi mengerucut pada

2.900
Hulu Te ngah Hil i r DAS Bran tas
2.850
2.800
In dek s diversitas

2.750
2.700
2.650
2.600
2.550
2.500
2.450
2.400
0.90
0.91
0.92
0.93
0.94
0.95
0.96
0.97
0.98
0.99
1.00
1.01
1.02
1.03
1.04
1.05
1.06
1.07
1.08
1.09
1.10
Pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)

Gambar 21. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi

komoditas yang menghasilkan keuntungan lebih tinggi meskipun konsumsi air


irigasinya relatif tinggi pula. Pada lingkup Sub DAS fenomenanya lebih beragam.
Di Sub DAS Hulu indeks pertanaman (CI) padi jika pasokan air irigasi meningkat
5 % maka CI hampir tidak berubah. Tetapi jika pasokan air irigasi meningkat 10
% maka CI naik cukup besar. Di Sub DAS Tengah jika pasokan air irigasi
meningkat 10 % maka CI yang terjadi justru lebih rendah daripada peningkatan CI
5 %. Fenomena serupa juga terjadi di Sub DAS Hilir (Tabel 26).

Kebiasaan pola tanam merupakan salah satu sebab CI padi relatif resisten
terhadap pengaruh kelangkaan air irigasi. Perhatikan bahwa pada level agregat,
jika pasokan air irigasi turun 5 % maka CI padi hanya turun dari 1.483 menjadi
1.472 dan untuk kelompok komoditas non padi turun dari 1.142 menjadi 1.112.
165

Demikian juga, jika pasokan air irigasi turun 10 % maka CI padi turun menjadi
1.433, sedangkan CI padi turun menjadi 1.083. Jika disimak lebih jauh terlihat
adanya kecenderungan untuk mempertahankan tanaman padi di semua Sub DAS.

Tabel 26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam

Perubahan pasokan air irigasi


Wilayah Komoditas
Turun 10% Turun 5% Normal Naik 5% Naik 10%
Sub DAS Hulu Padi 1.441 1.487 1.488 1.487 1.579
Non padi 1.164 1.128 1.137 1.137 1.055
Total 2.605 2.615 2.625 2.623 2.634
Sub DAS Tengah Padi 1.403 1.474 1.477 1.476 1.474
Non padi 1.136 1.150 1.160 1.161 1.159
Total 2.539 2.624 2.638 2.637 2.633
Sub DAS Hilir Padi 1.462 1.463 1.487 1.486 1.484
Non padi 0.991 1.064 1.124 1.131 1.130
Total 2.452 2.527 2.611 2.617 2.613
DAS Brantas Padi 1.433 1.472 1.483 1.482 1.497
Non padi 1.083 1.112 1.142 1.145 1.129
Total 2.516 2.584 2.625 2.627 2.625

Kecenderungan untuk mengutamakan komoditas padi disebabkan oleh


banyak faktor antara lain: (1) merupakan komoditas subsisten untuk petani kecil,
(2) potensi keuntungannya relatif moderat, (3) risiko usahataninya relatif lebih
rendah, dan (4) secara umum kondisi ekosistem pesawahan paling cocok untuk
usahatani padi. Selain itu secara historis tujuan mengembangkan pesawahan
memang untuk usahatani padi dan secara empiris berbagai kebijakan pemerintah
dalam pengembangan usaha pertanian tanaman pangan memang bias ke padi.

Kebutuhan tanaman terhadap air irigasi bersifat khas. Oleh karena itu
pertambahan marginal keuntungan bersih usahatani akibat peningkatan pasokan
air irigasi semakin menurun. Jika air irigasi turun sampai 10 % maka keuntungan
bersih usahatani turun dari 1.73 juta rupiah per hektar per tahun menjadi 1.66 juta
rupiah per hektar per tahun (turun 3.9 %), sebaliknya jika pasokan air irigasi naik
10 % keuntungan bersih usahatani hanya meningkat menjadi 1.73 juta rupiah per
hektar per tahun, artinya hanya meningkat sekitar 0.3 % (Gambar 22).
166

1.750

1.725

( R p. 1 0 6 /m 3 /T h )

1.731
1.731
1.731
1.730
1.730
1.730
1.729
1.729
1.728
1.727
1.726
1.725
1.723
1.718
1.711
1.700

1.703
1.695
1.687
1.675

1.678
1.668
1.650

1.658
1.625

1.600
0.90 0.95 1.00 1.05 1.10
Indeks pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)

Gambar 22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani

6.4. Pengaruh Penghematan Konsumsi Air Irigasi

Cara pemberian air yang dipraktekkan petani dalam usahatani padi secara
garis besar dapat dipilah ke dalam 4 kegiatan/fase pertumbuhan: (a) kegiatan
pengolahan tanah, (b) fase pertumbuhan umur tanaman 4 hari setelah tanam
(HST) – 50 HST, (c) umur 55 HST – tanaman berbunga serempak, dan (d) masa
pengisian biji. Faktor utama yang menyebabkan konsumsi air irigasi untuk
usahatani padi cenderung berlebih adalah adanya penggenangan secara berlebihan
pada fase-fase pertumbuhan tersebut.

Secara teknis tanaman padi memang membutuhkan penggenangan.


Menurut hasil penelitian, selain memasok air untuk memenuhi kebutuhan tanaman
(evapotranspirasi) penggenangan juga dapat menekan pertumbuhan gulma dan
meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman (De
Datta, 1981). Jadi secara agronomi, padi tumbuh lebih baik dan lebih produktif
jika ditanam di lahan tergenang daripada di tanah kering (Bhuiyan et al, 1998).

Secara empiris kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perlakuan


penggenangan seringkali berlebihan. Berdasarkan data yang diperoleh melalui
wawancara dengan petani, gambaran tentang praktek penggenangan dalam
usahatani padi adalah sebagai berikut. Rata-rata tinggi penggenangan yang
dilakukan petani lebih dari 6 Cm, bahkan pada fase 'pengisian biji' umumnya lebih
dari 7 Cm. Tinggi minimum yang dipertahankan petani adalah 1 Cm.
167

Apakah mengurangi tinggi penggenangan dari rata-rata 6 – 7 Cm menjadi


4 – 5 Cm tidak mempengaruhi produktivitas, perlu kajian lebih lanjut. Secara
agronomi, hasil penelitian De Datta (1981) di Los Banos memperoleh kesimpulan
bahwa produktivitas padi IR-8 dengan tinggi penggenangan 7.5 Cm tidak berbeda
nyata dengan tinggi penggenangan 5 Cm. Bahkan penelitian Wickham dan Sen
(1978) di Indonesia memperoleh kesimpulan bahwa di Jawa Barat hasil tertinggi
dicapai pada tinggi penggenangan 5 Cm, sedangkan di Jawa Timur 2.5 Cm.
Penelitian yang lebih baru (Salim, 1995) juga memperoleh kesimpulan tidak
banyak berbeda dari kedua penelitian itu. Pelajaran yang dapat dipetik dari hasil-
hasil penelitian tersebut adalah bahwa secara teknis penghematan penggunaan air
irigasi dalam usahatani padi cukup potensial.

Pengaruh penghematan konsumsi air untuk usahatani padi dapat dilakukan


melalui post optimality analisis dengan mengubah koefisien kebutuhan air irigasi
untuk usahatani komoditas tersebut. Dalam penelitian ini dibuat 4 skenario yaitu
penggunaan air irigasi turun 5%, 10%, 15%, dan 20%. Pengaruh penghematan air
irigasi terhadap pola tanam optimal tertera pada Tabel 27, sedangkan terhadap
keuntungan bersih usahatani tertera pada Gambar 23.

Tabel 27. Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap
indeks pertanaman

Wilayah Kelompok Konsumsi air irigasi per hektar pada usahatani padi
komoditas Tetap Turun 5% Turun 10% Turun 15% Turun 20%
Sub DAS Hulu Padi 1.488 1.493 1.497 1.501 1.514
Non padi 1.137 1.135 1.132 1.130 1.118
Total 2.625 2.628 2.629 2.631 2.632
Sub DAS Padi 1.477 1.480 1.481 1.487 1.499
Tengah Non padi 1.160 1.160 1.163 1.167 1.173
Total 2.638 2.640 2.644 2.655 2.672
Sub DAS Hilir Padi 1.487 1.491 1.493 1.498 1.500
Non padi 1.124 1.127 1.127 1.116 1.096
Total 2.611 2.618 2.620 2.614 2.596
DAS BRantas Padi 1.483 1.487 1.489 1.494 1.502
Non padi 1.142 1.142 1.143 1.140 1.132
Total 2.625 2.629 2.632 2.634 2.634
168

Rp. 10 3/Ha/Th) (%)


1750 1.00

1740 0.80

1730 0.60

1720 0.40

1710 0.20

1700 0.00
Aktual Turun 5% Turun 10% Turun 15% Turun 20%

Keuntungan 1726 1736 1742 1746 1748


Perubahan (%) 0.57 0.33 0.20 0.13

Gambar 23. Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi
terhadap keuntungan bersih usahatani

Hasil analisis menunjukkan bahwa turunnya konsumsi air untuk usahatani


padi dapat meningkatkan luas tanam dalam satu tahun. Untuk cakupan agregat
(DAS Brantas), jika konsumsi air irigasi per hektar usahatani padi turun 20 %
maka indeks pertanaman total meningkat dari 2.625 menjadi 2.634. Indeks
pertanaman untuk padi meningkat dari 1.483 menjadi 1.502, sedangkan untuk non
padi turun dari 1.142 menjadi 1.132. Pola perubahan indeks pertanaman seperti itu
terjadi di semua Sub DAS meskipun bervariasi. Dari analisis ini juga diperoleh
kesimpulan bahwa peningkatan total indeks pertanaman tidak linier. Pada
penurunan konsumsi air irigasi untuk tanaman padi sampai 15 % CI cenderung
meningkat (meskipun relatif kecil); tetapi lebih dari itu justru terjadi stagnasi.

Secara relatif, peningkatan keuntungan bersih usahatani memang tidak


cukup besar dan pertambahan marginalnya semakin menurun. Sebagai contoh,
jika konsumsi per hektar turun 5 % maka keuntungan bersih usahatani hanya
meningkat sekitar 0.6 persen, dan penghematan konsumsi air irigasi dalam
usahatani padi sebanyak 15 % hanya meningkatkan keuntungan bersih sekitar 1.1
persen/tahun. Rendahnya peningkatan keuntungan bersih usahatani tersebut
disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya modal yang tersedia, sehingga
pertambahan luas tanam kelompok komoditas non padi lebih banyak mengarah
pada komoditas yang tidak bernilai ekonomi tinggi karena kebutuhan modal per
hektarnya jauh lebih rendah.
169

6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal

Padi adalah komoditas utama dalam sistem usahatani di lahan sawah.


Posisinya sangat strategis dalam kehidupan keseharian masyarakat. Bahkan
secara nasional bukan hanya strategis dari sudut pandang ekonomi tetapi juga
politik sehingga dalam batas-batas tertentu mendorong terjadinya bias kebijakan
di bidang pangan. Oleh karena telah berjalan demikian lama, beberapa kelemahan
akibat pengistimewaan komoditas ini telah membentuk persepsi umum bahwa
perluasan secara berlebihan komoditas padi tidak berdampak negatif terhadap
keuntungan usahatani di lahan sawah. Sebagai ilustrasi, dalam beberapa tahun
yang lalu oleh karena pasokan padi domestik menipis maka dilancarkan program
intensitas penanaman padi 3 kali per tahun (IP Padi 300). Ketika itu cukup banyak
pakar yang sebenarnya tidak sepaham dengan program ini dengan alasan: (1)
khawatir terjadi eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman padi khususnya
maupun untuk tanaman pangan pada umumnya, (2) degradasi kesuburan fisik dan
kimia tanah, serta (3) potensi kerugian yang dihadapi oleh petani.

Melalui analisis pasca optimal dapat dihitung kerugian ekonomi yang


terjadi akibat penerapan luas tanam padi yang tidak optimal. Dalam penelitian ini,
untuk mempermudah komputasi maupun interpretasi hasil maka dibuat beberapa
skenario luas tanam padi. Hasil analisis menunjukkan jika luas tanam padi lebih
rendah 10 % dari optimal maka keuntungan bersih usahatani turun dari 1.73 juta
rupiah per hektar menjadi 1.67 juta rupiah per hektar (3 %). Sebaliknya, jika lebih
tinggi 10 % dari luas tanam optimal maka keuntungan usahatani juga turun
menjadi 1.64 juta rupiah per hektar (5 %). Kerugian semakin besar jika bias luas
tanam terhadap kondisi optimal semakin lebar. Dalam ukuran per hektar
perbedaan itu relatif kecil, akan tetapi untuk total luas lahan sawah 68 587 hektar
(luas lahan dalam model) kerugiannya cukup besar (Tabel 28).

Indeks pertanaman padi (CI) kondisi aktual adalah 156.4, sedangkan solusi
optimal adalah 148.3. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, keuntungan bersih
yang terjadi pada konsisi aktual adalah sekitar 9.6 % lebih rendah jika
dibandingkan dengan keuntungan bersih yang diperoleh pada kondisi optimal.
170

Tabel 28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani

Luas tanam padi dibanding Keuntungan bersih (Rp.106 / tahun) Selisih terhadap
kondisi optimal Total *) Per hektar kondisi optimal (%)
Lebih rendah 20 % 108 581.4 1 583.1 -8.30
Lebih rendah 15 % 112 132.6 1 634.9 -5.31
Lebih rendah 10 % 114 871.0 1 674.8 -2.99
Lebih rendah 5 % 117 209.2 1 708.9 -1.02
Optimal 118 414.8 1 726.5 -
Lebih tinggi 5 % 116 779.4 1 702.6 -1.38
Lebih tinggi 10 % 112 555.3 1 641.1 -4.95
Lebih tinggi 15 % 107 857.7 1 572.6 -8.92
Lebih tinggi 20 % 101 426.8 1 478.8 -14.35
*) Total luas sawah adalah 68 587 hektar.

Pelajaran yang dapat dipetik dari analisis tersebut adalah: jika luas tanam
padi yang dilakukan petani saat itu lebih kecil dari pola optimal maka peningkatan
produksi padi sinergis dengan peningkatan pendapatan. Akan tetapi jika luas
tanam padi yang diterapkan petani lebih besar dari pola optimal maka peningkatan
luas tanam padi justru menyebabkan keuntungan usahatani yang diperoleh
menurun. Persoalannya adalah bahwa secara empiris proporsi luas tanam optimal
itu tidak diketahui sehingga secara pragmatisme yang dapat ditempuh hanyalah
fenomena yang sifatnya ekstrim. Dalam kaitan itu, jelas bahwa potensi kerugian
akibat penerapan IP Padi 300 cukup besar.

6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi

Perilaku penawaran padi sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan


harga gabah. Pendekatan yang paling lazim ditempuh untuk memperoleh fungsi
penawaran adalah ekonometrik. Secara teoritis pendekatan ini sangat elegan
karena memperhitungkan pengaruh faktor-faktor yang sifatnya stochastic dan
validasi empirisnya lebih mudah dilakukan. Akan tetapi pendekatan ekonometrik
membutuhkan data yang jumlah observasinya memadai agar derajat bebas yang
diperlukan untuk uji nyata terpenuhi. Selain itu, jika pengaruh perubahan
ketersediaan sumberdaya terhadap spektrum pilihan komoditas diperhitungkan
maka modelnya menjadi sangat rumit. Sebagai contoh adalah ketersediaan air
untuk usahatani. Secara empiris perubahan ketersediaan air tidak hanya
171

mempengaruhi total produksi yang dihasilkan tetapi juga jumlah jenis komoditas
yang (layak) diproduksi. Artinya pengaruh ketersediaan sumberdaya sumberdaya
ini tidak hanya sebatas pada perubahan besaran tetapi juga perubahan jumlah
anggota himpunan keluaran. Persoalan seperti ini lebih mudah dipecahkan dengan
pendekatan normatif. Sudah barang tentu, sebagai implikasi dari asumsinya yang
ketat maka penerapan hasil pendekatan normatif relatif lebih terbatas.

Fungsi penawaran padi dapat diperoleh melalui post optimality analisis


perubahan harga padi. Dalam hal ini, skenario kenaikan ataupun penurunan harga
padi dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dibuat sampai 10 %. Agar
memperoleh hasil yang teliti, analisis dilakukan untuk setiap perubahan 1 persen.

Hasil analisis menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi tidak tetap


dan karenanya kurva penawaran padi tidak linier (Gambar 24). Pada skenario
penurunan harga ternyata fungsi penawarannya elastis, sedangkan pada skenario
kenaikan harga adalah bersifat tidak elastis. Dengan metode komputasi elastisitas
busur (diskrit) rata-rata elastisitas untuk skenario penurunan harga adalah 1.32.
Artinya, setiap penurunan harga 1 % (ceteris paribus) mengakibatkan produksi
turun 1.32 %. Di sisi lain, rata-rata elastisitas untuk skenario kenaikan harga
adalah 0.29. Artinya, setiap kenaikan harga gabah sebesar 1 % hanya
meningkatkan produksi 0.29 %. Secara keseluruhan, rata-rata elastisitas untuk
rentang perubahan harga gabah – 10 % sampai dengan + 10 % adalah sekitar 0.82.

Rp./Kg GKP

1090

1040

990

940

890

440 460 480 500 520 540 560 580 600 Ribu ton GKP

Gambar 24. Fungsi penawaran normatif komoditas padi


172

Secara umum fungsi penawaran padi adalah kurang elastis. Dengan


metode pengukuran elastisitas busur (diskrit) rata-rata elastisitasnya adalah 0.82.
Artinya, peningkatan harga gabah sepuluh persen mendorong petani untuk
menanam lebih banyak padi sehingga produksi padi meningkat sekitar 8.2 %.

Sebagaimana tampak pada Gambar 23, ada tiga segmen dalam kurva
penawaran padi yaitu: (1) segmen inelastis pada tingkat harga rendah, (2) segmen
yang lebih elastis pada selang harga di atasnya, dan (3) segmen inelastis pada
tingkat harga tinggi. Pada tingkat harga di bawah Rp. 1020/Kg GKP elastisitas
penawaran adalah sekitar 0.14. Pada selang harga Rp.1020/Kg – Rp.1055/Kg
elastisitasnya adalah sekitar 0.42, artinya jika harga naik 10 % maka produksi padi
meningkat 4.2 %. Di atas tingkat harga Rp.1055/Kg GKP elastisitasnya menurun
kembali menjadi hanya 0.13. Perilaku penawaran pada segmen ini sangat menarik
karena secara teoritis keuntungan komparatif padi semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya harga. Akan tetapi secara empiris ada beberapa jenis
komoditas yang lebih sedikit mengkonsumsi air irigasi tetapi keuntungan
relatifnya lebih tinggi daripada padi, bahkan seandainya harga padi meningkat dua
kali lipat. Dengan demikian logis jika elastisitasnya turun kembali dan kemudian
sama sekali inelastis karena air irigasi tidak cukup tersedia untuk menambah luas
tanam padi tanpa mengorbankan jenis-jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi
yang lebih menguntungkan daripada padi.

6.7. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas

Dengan pendekatan pengelolaan permintaan, komponen pokok biaya


irigasi untuk setiap pengusahaan komoditas dihitung dengan menggandakan
volume penggunaan air dalam usahatani tersebut dengan harga bayangannya.
Volume penggunaan air irigasi untuk setiap (kelompok) komoditas berbeda dan
bervariasi tergantung pada: (1) fase kegiatan dalam usahatani, (2) fase
pertumbuhan tanaman, (3) faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi
evapotranspirasi, (4) perkolasi, (5) pasokan air diluar air irigasi terutama curah
hujan, dan (6) teknik pembarian air ke tanaman yang diterapkan. Di sisi lain harga
bayangan air irigasi juga berubah, tergantung pada tingkat kelangkaan
173

sumberdaya tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani


(harga keluaran, harga masukan usahatani, dan produktivitas usahatani).

Untuk usahatani padi, biaya irigasi yang tertinggi terjadi pada periode
pengusahaan Juli – Oktober. Hal ini disebabkan puncak-puncak kebutuhan air
irigasi dalam periode pengusahaan tersebut terjadi pada Bulan Juli (pengolahan
tanah) dan September (masa pembungaan – pengisian malai), sedangkan harga
bayangan air irigasi terus meningkat dan mencapai puncaknya pada Bulan
September. Pada cakupan agregat (DAS Brantas), nilai air irigasi untuk usahatani
padi periode pengusahaan tersebut mencapai Rp. 450 ribu/hektar (Tabel 29).

Tabel 29. Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut
kelompok komoditas dan periode pengusahaannya

Kelompok Musim Periode Ribu Rupiah/Ha


komoditas Tanam usahatani Hulu Tengah Hilir Agregat P r e se n t a si g r a f i s

Padi MH: Okt-Jan 99.2 129.8 170.2 140.5 600

Nov-Feb 31.3 39.3 50.6 42.4 500

Des-Mar - - - - 400
Jan-Apr - - - -
MK-1: Feb-Mei - - - - 300

Mar-Jun 16.7 21.1 26.9 22.6 200

Apr-Jul 72.9 92.3 117.8 99.0 100


Mei-Ags 154.6 197.5 256.1 213.2
0
MK-2: Jun-Sep 264.1 339.5 443.6 367.5
Jul-Okt 319.2 414.6 544.9 449.4
Ags-Nov 291.6 380.1 501.5 412.6 Hulu Tengah Hilir DAS Brantas
Sep-Des 207.4 272.0 359.0 295.1
Palawija/ MH: Okt-Jan 39.1 51.3 67.3 55.5 600

hortikultura-1 Nov-Feb 8.4 10.6 13.6 11.4 500

Des-Mar - - - - 400
Jan-Apr - - - -
MK-1: Feb-Mei - - - - 300

Mar-Jun 3.6 4.5 5.8 4.9 200

Apr-Jul 18.6 23.5 30.0 25.2 100


Mei-Ags 55.4 70.7 91.6 76.3
0
MK-2: Jun-Sep 117.0 150.8 197.1 163.2
Jul-Okt 149.7 194.6 255.7 210.9
Ags-Nov 158.7 207.4 273.9 225.2 Hulu Tengah Hilir DAS Brantas
Sep-Des 107.2 140.6 185.4 152.5
Palawija/ MH: Okt-Des 36.1 47.4 62.2 51.3 600

hortikultura_2 Nov-Jan 7.6 9.6 12.3 10.3 500

Des-Feb - - - - 400
Jan-Mar - - - -
300
MK-1: Feb-Apr - - - -
Mar-Mei - - - - 200

Apr-Jun 8.6 10.9 13.8 11.7 100


Mei-Jul 37.2 47.0 60.0 50.4
0
MK-2: Jun-Ags 86.4 110.7 143.9 119.6
Jul-Sep 140.0 181.3 238.3 196.6
Ags-Okt 149.3 195.2 258.0 212.0 Hulu Tengah Hilir DAS Brantas
Sep-Nov 105.2 138.0 182.1 149.7
Tebu Setahun Okt-Sep 175.9 229.3 301.7 248.6
174

Berbeda dengan usahatani padi, pada usahatani palawija/hortikultur nilai


air irigasi yang tertinggi terjadi pada masa pengusahaan Agustus-November. Nilai
air irigasi untuk usahatani palawija/hortikultur-1 adalah sekitar Rp. 225000/hektar,
sedangkan untuk palawija/hortikultur-2 adalah sekitar Rp. 212000/hektar.

Secara umum nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani tanaman
semusim (padi, palawija, hortikultur) adalah nol atau sangat kecil jika siklus
produksinya terjadi pada periode November/Desember – Mei/Juni. Hal ini
disebabkan: (1) harga bayangan air irigasi pada periode Desember – Mei adalah
nol, (2) harga bayangan air irigasi pada Bulan November dan Juni sangat rendah,
(3) kebutuhan air untuk usahatani lebih rendah karena evapotranspirasi dan laju
perkolasi lebih rendah daripada bulan-bulan lainnya, dan (4) sebagian besar
kebutuhan air terpenuhi dari curah hujan.

Siklus usahatani tebu adalah sekitar setahun, dan tidak perlu melakukan
penanaman tiap tahun karena hampir semua petani menerapkan sistem keprasan.
Sebagian besar petani mengusahakan keprasan sampai 7 kali. Dengan kata lain,
pertanaman tebu akan dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu yang baru atau
komoditas lainnya setelah 7 kali dikepras yang berarti setelah tahun ke delapan.

Jadwal tanam tebu yang ideal adalah Oktober – Desember agar panen
dapat dilakukan pada Bulan Juli – September. Secara empiris sebagian besar
petani mengawali periode tanam pertama pada Bulan Oktober sehingga puncak
kebutuhan air untuk tanaman tebu terjadi pada Bulan-bulan Oktober/November,
dan Mei – Juli. Pada saat itu sebagian besar kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi
dari curah hujan. Akibatnya nilai air irigasi untuk tanaman tebu hanya sekitar
separuh dari nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani padi pada musim
kemarau-2, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi tebu
hampir 3 kali lipat dari usahatani padi.

Walaupun angka-angka yang tertera pada Tabel 29 di atas menimbulkan


kesan bahwa biaya irigasi sangat tinggi, tetapi dengan memilih waktu tanam yang
tepat maka biaya irigasi yang harus dikeluarkan dapat ditekan sehingga lebih
murah. Sebagai contoh, dapat dilihat dari biaya irigasi per hektar luas garapan
pada solusi optimal. Untuk agregat DAS Brantas, rata-rata nilai air irigasi pada
175

solusi optimal adalah sekitar Rp. 77 500/hektar per musim. Jika diperhitungkan
terhadap total luas baku sawah, nilainya adalah sekitar Rp. 203000/hektar/tahun.
Rata-rata per luas garapan di di Sub DAS Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing
adalah Rp. 59000, Rp. 72000, dan Rp. 94000/hektar, sedangkan per luas baku
adalah sekitar Rp. 155000, Rp. 190000 dan Rp. 245000/hektar/tahun (Tabel 30).

Tabel 30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal

Luas sawah (Hektar) Nilai air irigasi (Ribu Rupiah)


Cakupan wilayah
Baku Garapan per Th Total Per Ha Garapan Per Ha Baku
Sub DAS Hulu 12 321 32 357.1 1 897 305 58.6 154.0
Sub DAS Tengah 28 904 76 242.3 5 413 891 71.0 187.3
Sub DAS Hilir 27 362 71 416.3 6 640 083 93.0 242.7
DAS Brantas 68 587 180 015.7 13 951 280 77.5 203.4

Pola sebaran temporal nilai air irigasi cenderung mengikuti pola sebaran
harga bayangan. Untuk cakupan agregat DAS Brantas, rata-rata nilai air irigasi
yang tergunakan pada Bulan Agustus, September, Oktober dan November
masing-masing adalah sekitar 46, 48, 38, 30 ribu rupiah per hektar (Gambar 25).

Rp. 10 3/Ha)
60
50
Sub DAS Hulu
40
Sub DAS Tengah
30 Sub DAS Hilir
20 DAS Brantas
10
0
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Sub DAS Hulu 28.1 22.2 - - - - - - 11.2 21.7 35.3 35.5
Sub DAS Tengah 33.9 27.6 - - - - - - 13.6 25.4 42.2 44.6
Sub DAS Hilir 46.3 36.2 - - - - - - 17.7 31.8 53.8 56.8
DAS Brantas 37.8 30.1 - - - - - - 14.8 27.3 45.6 47.9

Gambar 25. Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam
usahatani pada solusi optimal

Analisis data empiris menunjukkan bahwa biaya irigasi yang dikeluarkan


oleh petani sangat bervariasi. Untuk cakupan DAS Brantas, rata-rata adalah
sekitar Rp. 48 000/hektar yang berarti sekitar 2 persen dari rata-rata biaya tunai.
176

Meskipun rata-rata biaya irigasi tersebut relatif rendah tetapi variasinya


sangat tinggi yakni berkisar antara nol sampai dengan Rp. 868 000/hektar/tahun
(Tabel 31). Hal ini disebabkan cukup banyak yang tidak membayar iuran irigasi,
tetapi di sisi lain beberapa petani harus mengeluarkan biaya irigasi yang sangat
banyak terutama untuk membeli air dari irigasi pompa.

Tabel 31. Biaya irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

(Rp. 103/hektar/tahun)
Wilayah Variable
Rata-rata Galat baku Minimum Maksimum
Sub DAS Hulu Biaya irigasi permukaan 45.3 29.8 0.0 129.1
Biaya irigasi pompa 3.9 26.4 0.0 238.1
Total biaya irigasi 49.2 40.7 0.0 309.5
Pangsa (%)*) 2.5 2.2 0.0 16.6
Total biaya usahatani 2 237.8 813.3 1 190.5 6 124.3
Sub DAS Tengah Biaya irigasi permukaan 33.2 30.8 0.0 157.1
Biaya irigasi pompa 32.8 84.5 0.0 857.1
Total biaya irigasi 66.0 90.1 0.0 868.1
Pangsa (%)*) 2.3 2.5 0.0 14.5
Total biaya usahatani 2 830.9 895.1 1 265.1 7 737.1
Sub DAS Hilir Biaya irigasi permukaan 23.0 17.6 0.0 95.5
Biaya irigasi pompa 0.0 0.0 0.0 0.0
Total biaya irigasi 23.0 17.6 0.0 95.5
Pangsa (%)*) 0.9 0.7 0.0 3.8
Total biaya usahatani 2 510.7 578.3 1 089.8 4 003.2
DAS Brantas Biaya irigasi permukaan 32.8 28.1 0.0 157.1
Biaya irigasi pompa 14.6 58.1 0.0 857.1
Total biaya irigasi 47.5 65.0 0.0 868.1
Pangsa (%)*) 1.9 2.1 0.0 16.6
Total biaya usahatani 2 575.9 815.7 1 089.8 7 737.1

Faktor-faktor yang menyebabkan petani tidak membayar iuran irigasi


antara lain adalah: (1) HIPPA tidak berfungsi dengan baik, (2) lahan sawahnya
selama ini selalu cukup air dan ketergantungannya terhadap HIPPA sangat rendah,
(3) di beberapa blok tertier pungutan iuran irigasi hanya diberlakukan untuk
usahatani padi, (4) status petani adalah penyewa dan atau penyakap, sedangkan
lahan garapannya ditanami komoditas non padi. Di sisi lain beberapa petani bukan
hanya membayar iuran irigasi (IPAIR dan Iuran HIPPA), tetapi juga harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk irigasi pompa.
177

Di lapangan, biaya irigasi terutama diberlakukan untuk usahatani padi.


Hanya di beberapa blok tertier diberlakukan untuk usahatani non padi, itupun
hanya mencakup tebu dan beberapa jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi
seperti tembakau. Rata-rata biaya irigasi yang dikeluarkan untuk usahatani padi
pada musim hujan, musim kemarau-1, dan musim kemarau-2 masing-masing
adalah Rp. 38 000, Rp. 49 000, dan Rp. 123 000/hektar/musim (Tabel 32).

Tabel 32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 1999/2000

Komponen biaya irigasi Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III
(Rp.1000/Ha) (%) (Rp.1000/Ha) (%) (Rp.1000/Ha) (%)
IPAIR 11.7 0.42 12.6 0.44 5 0.16
Iuran P3A 22.3 0.81 24.1 0.84 46 1.52
Irigasi Pompa 3.4 0.12 11.7 0.41 60.5 2.00
Biaya irigasi "informal" 1.0 0.04 0.9 0.03 1.4 0.04
Total biaya irigasi 38.3 1.39 49.3 1.72 112.8 3.73
Total biaya usahatani 2756.6 100.00 2860.7 100.00 3025.4 100.00

6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas

Secara teoritis sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas yang


ideal adalah yang sangat rinci, baik dalam konteks rincian komoditas maupun
periode pengusahaan. Sistem iuran irigasi seperti itu mendekati volumetric pricing
(Rodgers, 2002). Akan tetapi sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang sangat
rinci hanya dapat diterapkan jika kondisi derajat pertama dan kedua berikut ini
dipenuhi. Kondisi derajat pertama adalah terbentuknya persepsi yang kuat di
kalangan petani bahwa air irigasi adalah merupakan sumberdaya ekonomi yang
langka sehingga untuk mendapatkannya perlu biaya. Kondisi derajat kedua adalah
bahwa kelembagaan yang diterapkan dalam sistem distribusi sumberdaya tersebut
menggunakan mekanisme pasar meskipun dalam bentuk yang masih sangat
sederhana; atau sekurang-kurangnya prinsip pertukaran dapat diterapkan. Kondisi
yang kondusif untuk penerapan sistem iuran irigasi yang sangat rinci adalah skala
usahatani yang dikelola oleh petani memadai. Dengan kata lain, sistem iuran
irigasi berbasis komoditas yang sangat rinci sulit diterapkan jika struktur
penguasaan garapan di wilayah itu terdiri atas unit-unit usahatani skala mikro,
sangat beragam dan terpencar.
178

Rata-rata luas garapan usahatani yang dikelola petani di wilayah


pesawahan di DAS Brantas (maupun Indonesia pada umumnya) adalah sekitar
0.34 hektar/musim; bahkan tak kurang dari 40 persen diantaranya kurang dari 0,25
hektar. Komoditas yang diusahakannyapun sangat beragam dan sebagian
diantaranya menerapkan sistem tumpangsari. Selain itu, cukup banyak petani yang
sebenarnya gantungan nafkah utamanya bukan usahatani tersebut karena lebih
dari 50 persen pendapatan rumah tangga justru berasal dari aktivitas luar
pertanian. Kesemuanya itu merupakan faktor-faktor yang tidak kondusif untuk
penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang rinci. Oleh karena itu yang
dapat diterapkan adalah sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang telah
disederhanakan. Sudah barang tentu penyederhanaan itu menyebabkan: (a)
sejumlah petani terpaksa membayar lebih mahal dari yang seharusnya, sedangkan
petani yang lain membayar lebih murah dari yang semestinya, (b) turunnya
efektivitas sistem iuran irigasi berbasis komoditas dalam mendorong peningkatan
efisiensi irigasi.

Sasaran dari penyederhanaan sistem iuran irigasi berbasis komoditas


adalah agar mudah diterapkan. Penyederhanaan dapat ditempuh dengan
melakukan agregasi menurut jenis komoditas, periode pengusahaan, maupun
kombinasi dari keduanya. Selain agregasi, dimensi lain yang perlu
dipertimbangkan dalam menyederhanakan sistem iuran berbasis komoditas adalah
sistem pembayarannya. Dalam konteks ini, ada dua aspek yang tercakup: (1)
modifikasi unit waktu pembayaran (per musim, per tahun), dan (2) modifikasi
cara pembayaran (tunai, bagi hasil).

Penyederhanaan melalui metode agregasi yang paling penting adalah


dalam aspek periode pengusahaan. Agregasi yang paling lazim adalah berdasarkan
musim tanam. Jadi periode pengusahaan tanaman semusim dipilah menjadi tiga
Musim Tanam (MT) yaitu: MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2).

Secara empiris diketahui bahwa jadwal tanam padi MT I merupakan


determinan pola tanam dalam satu tahun. Sebagai contoh, jika tanam padi MT I
dapat dilakukan lebih awal maka jadwal tanam MT II dan MT III juga dapat
dilakukan lebih awal. Bukan hanya itu, alternatif yang tersedia dalam memilih
179

jenis komoditas juga lebih longgar. Sebaliknya, jika jadwal tanam padi MT I
terlambat, maka jadwal tanam MT II maupun MT III terlambat. Implikasinya,
alternatif pilihan komoditas menjadi lebih sedikit.

Kondisi demikian itu mendorong petani untuk dapat menanam padi musim
hujan lebih awal. Akan tetapi, tidak semua petani dapat menerapkannya karena
pola pasokan air irigasi maupun curah hujan telah tertentu (given), dan tenaga
kerja untuk pengolahan tanah (traktor) juga terbatas. Kesemua faktor tersebut di
atas merupakan masukan yang penting untuk menyusun skenario penyederhanaan.

Dengan justifikasi seperti tersebut di atas maka penyederhanaan yang


dapat ditempuh adalah mengagregasikan periode pengusahaan menjadi 3: MT I,
MT II, MT III. Selanjutnya penghitungan rata-rata nilai air irigasi menurut
kelompok komoditas dilakukan dengan cara pembobotan karena adanya variasi
bulanan harga bayangan air irigasi. Pembobotannya didasarkan pada luas tanam
yang mendekati fenomena empiris.

Berdasarkan analisis data primer serta distribusi bulanan luas panen dari
data sekunder maka terdapat 5 skenario pola tanam yang mendekati kondisi
empiris sebagai berikut (Tabel 33).

Tabel 33. Skenario penyederhanaan penghitungan komponen pokok iuran irigasi


berbasis komoditas berdasarkan jadwal penanaman padi MT I

Skenario Jadwal padi MT I Keterangan*


I Pola 1111 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori
A:B:C:D mendekati 1:1:1:1
II Pola 1221 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori
A:B:C:D mendekati 1:2:2:1
III Pola 1321 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori
A:B:C:D mendekati 1:3:2:1
IV Pola 1231 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori
A:B:C:D mendekati 1:2:3:1
V Pola rata-rata Rata-rata dari pola 1111 sampai dengan pola 1321
*) Kategori A : periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Oktober – Januari.
Kategori B: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah November – Februari.
Kategori C: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Desember – Maret.
Kategori D: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Januari – April.
180

Pada level agregat (DAS Brantas), pada kelompok komoditas yang sama
ternyata nilai air irigasi per tahun antar skenario tidak berbeda. Sebagai contoh,
jika pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi maka total nilai air irigasi
dalam satu tahun adalah sekitar Rp. 511 000/Ha/th. Pada kelompok komoditas
palawija/hortikultur-1 nilainya adalah Rp. 234 000/Ha/th, sedangkan untuk
palawija/hortikultur-2 adalah sekitar Rp. 205 000/Ha/th (Tabel 34).

Tabel 34. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis DAS Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi: MT I 45.7 37.5 38.2 32.2 38.4
MT II 83.7 76.1 68.4 79.3 76.9
MT III 381.2 397.8 405.2 399.9 396.0
Setahun 510.6 511.4 511.8 511.4 511.3
Palawija/hortikultur-1: MT I 16.7 13.0 12.8 11.2 13.4
MT II 26.6 22.7 20.2 23.1 23.1
MT III 188.0 198.0 199.8 201.9 196.9
Setahun 231.3 233.8 232.8 236.1 233.5
Palawija/hortikultur-2: MT I 15.4 12.0 11.7 10.3 12.3
MT II 15.5 12.3 10.5 12.2 12.6
MT III 169.5 181.1 183.3 185.5 179.9
Setahun 200.4 205.4 205.6 208.0 204.8
Tebu Setahun 248.6 248.6 248.6 248.6 248.6

Variasi antar skenario lebih tampak pada nilai air irigasi per musim.
Sebagai contoh, pada MT II nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi
pada skenario I (pola 1111) adalah sekitar Rp. 84 000/Ha/musim, sedangkan pada
skenario III (pola 1321) adalah sekitar Rp. 68 000/Ha/musim.

Dipengaruhi oleh variasi bulanan harga bayangan air irigasi dan volume
air irigasi yang digunakan dalam usahatani maka variasi antar musim sangat
tinggi. Pada skenario V, nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi
adalah sekitar Rp. 38 000/Ha, Rp. 77 000/Ha, dan Rp. 396 000/Ha masing-masing
untuk MT I, MT II, dan MT III. Untuk kelompok komoditas palawija/hortikultur-
1 nilai air irigasi pada musim yang sama adalah sekitar Rp. 13 000/Ha, Rp. 23
000/Ha, dan Rp. 197 000/Ha. Dengan urutan yang sama, untuk kelompok
palawija/hortikultur-2 nilai irigasi adalah sekitar Rp. 12 000/Ha, Rp. 13 000/Ha,
181

dan Rp. 180 000/Ha. Untuk komoditas Tebu karena umur tanaman ini sekitar
setahun dan sebagian besar periode tanam relatif sama maka penyederhanaan
melalui teknik agregasi tidak diperlukan. Rata-rata nilai air irigasi yang
dikonsumsi tanaman tebu adalah sekitar Rp. 249 000/Ha/tahun.

Dengan pola variasi antar musim seperti tersebut di atas, perbedaan antar
musim yang lebih kecil adalah pada skenario I. Untuk padi dan
palawija/hortikultur-1 variasi paling tajam terjadi pada skenario III (pola 1321),
sedangkan untuk palawija/hortukultur-2 adalah pada skenario IV (pola 1231).

Secara umum kondisi yang terjadi di level agregat tercermin pula di level
Sub DAS meskipun ada sedikit variasi. Ini dapat disimak dari hasil analisis
sebagaimana tercantum pada Tabel 35 – Tabel 37.

Tabel 35. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 32.6 26.9 27.6 23.1 27.6
MT II 61.0 55.6 50.1 58.1 56.2
MT III 270.6 282.2 287.5 283.5 280.9
Palawija/hortikultur-1 MT I 11.9 9.3 9.2 8.0 9.6
MT II 19.4 16.6 14.8 16.9 16.9
MT III 133.2 140.2 141.5 142.8 139.4
Palawija/hortikultur-2 MT I 10.9 8.5 8.4 7.3 8.8
MT II 11.5 9.1 7.8 9.0 9.3
MT III 120.2 128.4 130.0 131.4 127.5
Tebu Setahun 175.9 175.9 175.9 175.9 175.9

Tabel 36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 42.3 34.7 35.4 29.8 35.6
MT II 77.7 70.7 63.6 73.8 71.5
MT III 351.5 366.8 373.6 368.7 365.2
Palawija/hortikultur-1 MT I 15.5 12.1 11.9 10.4 12.4
MT II 24.7 21.1 18.8 21.5 21.5
MT III 173.4 182.6 184.3 186.1 181.6
Palawija/hortikultur-2 MT I 14.2 11.1 10.9 9.5 11.4
MT II 14.5 11.5 9.8 11.4 11.8
MT III 156.3 167.0 169.0 171.0 165.8
Tebu Setahun 229.3 229.3 229.3 229.3 229.3
182

Tabel 37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan
sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas
(Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata
Padi MT I 55.2 45.2 46.0 38.8 46.3
MT II 100.2 90.9 81.8 94.8 91.9
MT III 462.2 482.5 491.5 485.3 480.4
Palawija/hortikultur-1 MT I 20.2 15.7 15.4 13.5 16.2
MT II 31.8 27.2 24.1 27.6 27.7
MT III 228.0 240.3 242.5 245.1 239.0
Palawija/hortikultur-2 MT I 18.6 14.5 14.2 12.4 14.9
MT II 18.5 14.6 12.5 14.5 15.0
MT III 205.6 219.8 222.4 225.2 218.2
Tebu Setahun 301.7 301.7 301.7 301.7 301.7

Penyederhanaan nilai iuran irigasi dapat pula didekati dengan metode


indeks. Metode indeks ditujukan untuk menekankan perbandingan nilai air irigasi
antar kelompok komoditas dan antar musim. Dalam ilustrasi, skenario yang
digunakan adalah rata-rata (kolom terakhir Tabel 33 – Tabel 36) dan usahatani
padi MT I agregat DAS Brantas diperlakukan sebagai basis indeks (nilai=1).

Untuk level agregat DAS Brantas indeks untuk usahatani padi pada MT II
adalah sekitar 2.0; artinya biaya irigasi usahatani padi MT II adalah dua kali lipat
daripada MT I. Indeks biaya irigasi untuk usahatani padi MT III adalah sekitar 10,
artinya sepuluh kali lipat jika dibandingkan MT I. Tampaknya, hal tersebut
berlaku di setiap Sub DAS di wilayah irigasi teknis DAS Brantas (Tabel 38).

Tabel 38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas*)

Cakupan wilayah
Kelompok komoditas Musim
Hulu Tengah Hilir DAS Brantas
Padi MT I 0.7 0.9 1.2 1.0
MT II 1.5 1.9 2.4 2.0
MT III 7.3 9.5 12.5 10.3
Palawija/hortikultur-1 MT I 0.2 0.3 0.4 0.3
MT II 0.4 0.6 0.7 0.6
MT III 3.6 4.7 6.2 5.1
Palawija/hortikultur-2 MT I 0.2 0.3 0.4 0.3
MT II 0.2 0.3 0.4 0.3
MT III 3.3 4.3 5.7 4.7
Tebu Setahun 4.6 6.0 7.9 6.5
*) Biaya usahatani padi MT I diperlakukan sebagai basis perhitungan indeks (nilai = 1).
183

Penggunaan indeks sangat fleksibel. Sebagai contoh, jika berdasarkan hasil


musyawarah P3A disepakati bahwa tarif iuran irigasi untuk usahatani padi pada
MT I di DAS Brantas adalah Rp. 20 000/hektar, maka di Sub DAS Hulu biaya
irigasi untuk usahatani padi pada musim tersebut adalah sekitar Rp.14 000/hektar,
sedangkan untuk MT II dan MT III masing-masing sekitar Rp. 30 000/hektar dan
Rp. 146 000/hektar. Di Sub DAS Tengah, tarif iuran irigasi untuk usahatani padi
MT I, MT II, dan MT III masing-masing adalah sekitar Rp. 18 000, Rp. 38 000,
dan Rp. 190 000/hektar. Di Sub DAS Hilir, dengan urutan yang sama tarif iuran
irigasi untuk usahatani padi per musim adalah sekitar Rp. 24 000/hektar, Rp. 48
000/hektar, dan Rp. 250 000/hektar. Dengan cara yang sama, juga mudah
memperoleh tarif iuran irigasi untuk komoditas non padi.

Selain fleksibel, penggunaan angka indeks juga mempunyai efek


psikologis yang lebih tinggi. Bahwa nilai air irigasi yang dikonsumsi untuk
usahatani padi MT III adalah sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan MT I
diharapkan cukup efektif untuk mendorong efisiensi penggunaan air irigasi. Petani
dapat menghindari tingginya beban biaya irigasi pada MT III jika pada musim
tersebut mengusahakan tanaman palawija/hortikultur (berdiversifikasi).

6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Untuk


Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi

Berbeda dengan volumetric pricing, efektivitas sistem iuran irigasi


berbasis komoditas (crop pricing) sebagai instrumen pendorong efisiensi irigasi
bersifat tidak langsung. Sistem ini efektif untuk mendorong peningkatan efisiensi
irigasi jika penerapan sistem tersebut mampu mendorong petani untuk
menerapkan pola usahatani ke arah komoditas hemat air. Mengingat bahwa padi
merupakan komoditas pertanian yang mengkonsumsi banyak air maka pola
usahatani yang sesuai untuk menurunkan tingkat penggunaan air adalah pola padi-
padi-palawija/hortikultur atau padi-palawija/hortikultur-palawija/hortikultur.

Tujuan utama petani dalam berusahatani adalah maksimisasi keuntungan.


Sudah barang tentu pilihan terhadap pola tanam tidak hanya mempertimbangkan
aspek finansial tetapi juga aspek teknis, bahkan dalam bebarapa hal juga
mempertimbangkan aspek sosial budaya.
184

Sebagian besar petani adalah berusahatani dengan luas garapan yang


sempit dan pendapatan dari usahatani pada umumnya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Oleh karena itu sebagian besar
petani tidak hanya berusahatani tetapi juga bekerja sebagai buruh tani ataupun
bekerja di sektor non pertanian. Implikasinya, faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kelayakan teknis – ekonomi – sosial suatu pola tanam merupakan sub set
dari himpunan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan petani dalam
keseluruhan. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pola tanam yang
menghasilkan keuntungan tertinggi belum tentu dipilih oleh petani jika penerapan
pola tanam tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan petani untuk
memperoleh pendapatan dari kegiatan di luar usahatani dan secara keseluruhan
total pendapatan rumah tangga petani justru turun. Contoh lain, suatu pola tanam
yang secara teoritis dapat meningkatkan pendapatan cukup besar belum tentu
poluler di kalangan petani jika penerapannya membutuhkan jadwal pengusahaan
yang sangat ketat sehingga risiko kerugian akibat melesetnya jadwal tanam
berpotensi sangat merugikan.

Untuk mengetahui sejauh mana pola diversifikasi mampu menekan


konsumsi air irigasi dan meningkatkan pendapatan dilakukan simulasi dengan
enam skenario pola tanam. Sesuai dengan kondisi ekosistem dan tradisi petani,
pada keenam skenario tersebut padi selalu diusahakan terutama pada musim
hujan. Keenam pola tanam tersebut adalah: (1) padi-padi-padi artinya dalam satu
tahun mengusahakan tanaman padi, (2) pada musim MT I dan MT II
mengusahakan tanaman padi sedangkan pada musim MT III mengusahakan
palawija/hortikultur-1 (pola tanam padi-padi-P/H/1), (3) padi-padi-P/H_2, (4)
padi-P/H_1-P/H_1, (5) padi-P/H_1-P/H_2, dan (6) padi-P/H_2-P/H_2 (Tabel 29).

Tingkat konsumsi air irigasi pada Tabel 29 itu hanyalah sebagian dari total
konsumsi air dimana sebagian diantaranya terpenuhi dari sumber lain, terutama air
hujan. Angka tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan total volume
air irigasi yang dilepaskan dari sumber pasokan utama karena dalam penyediaan
air irigasi harus diperhitungkan pula volume air yang hilang selama penyaluran
dan aplikasi di lapangan.
185

Tabel 39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa
skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas

Konsumsi air irigasi/Ha Keuntungan (Rp.103/Ha)


Pola tanam Musim
Volume (m3) ( Rp. 103 ) Bersih Tunai
Padi-padi-padi MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7
MK2 8 564 381.0 178.2 2 288.6
Setahun 19 544 510.4 1 286.2 8 008.7
Padi-padi-P/H_1 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7
MK2 4 103 187.8 442.3 3 360.6
Setahun 15 083 317.3 1 550.3 9 080.8
Padi-padi-P/H_2 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7
MK2 3 731 169.4 568.8 3 156.1
Setahun 14 711 298.8 1 676.8 8 876.2
Padi-P/H_1-P/H_1 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MT II 2 109 26.6 792.3 4 100.2
MT III 4 103 187.8 442.3 3 360.6
Setahun 9 521 260.1 1 795.8 10 309.3
Padi-P/H_1-P/H_2 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MT II 2 109 26.6 792.3 4 100.2
MT III 3 731 169.4 568.8 3 156.1
Setahun 9 149 241.7 1 922.3 10 104.7
Padi-P/H_2-P/H_2 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4
MT II 1 933 15.5 689.1 3 337.3
MT III 3 731 169.4 568.8 3 156.1
Setahun 8 973 230.6 1 819.1 9 341.8

Usahatani yang terbanyak mengkonsumsi air irigasi adalah pola tanam


padi-padi-padi, sedangkan yang terendah adalah pola padi-P/H_2-P/H_2. Pola
padi-padi-padi membutuhkan air irigasi dua kali lipat daripada pola padi-P/H_2-
P/H_2. Pola tanam padi dua kali (MT I dan MT II) yang dilanjutkan dengan
palawija/hortikultur dapat menurunkan konsumsi air irigasi sekitar 23 % - 25 %
jika dibandingkan dengan pola tanam padi 3 kali per tahun.

Keuntungan usahatani tertingi diperoleh pada pola tanam Padi – P/H_1 –


P/H_1 yaitu sekitar Rp. 1.8 juta yang dalam bentuk tunai adalah sekitar Rp. 10.3
juta per hektar per tahun. Air irigasi yang dikonsumsi untuk pola tanam ini sekitar
9 500 m3 per hektar per tahun dengan rincian: konsumsi air irigasi untuk usahatani
padi MT I sekitar 3 300 m3 serta untuk usahatani palawija/hortikultur kategori-1
pada MT II dan MT III masing-masing sekitar 2 100 m3 dan 4 100 m3.
186

Pendapatan terendah adalah pada pola tanam padi – padi – padi yaitu
sekitar Rp. 1.29 juta/tahun yang dalam bentuk tunai sekitar Rp. 8 juta/tahun.
Konsumsi air irigasi untuk pola ini sekitar 19 500 m3 per hektar per tahun dengan
rincian untuk MT I, MT II, dan MT III masing-masing sekitar 3 300 m3, 7 700 m3,
dan 8 600 m3. Nilai air irigasi per hektar untuk masing-masing musim tersebut
adalah sekitar Rp. 40 000, Rp. 78 000, dan Rp. 398 000.

Tingginya biaya air irigasi untuk usahatani padi pada MT III mungkin
efektif untuk mendorong petani agar pada musim tersebut mengusahakan
komoditas selain padi. Peluang penerapannya cukup terbuka mengingat bahwa
selama ini partisipasi petani dalam usahatani padi pada MT III memang relatif
rendah. Buktinya, data di lapangan menunjukkan bahwa pada MT III proporsi
petani yang mengusahakan tanaman padi kurang dari 5 %.

Dalam menentukan pilihan terhadap alternatif pola tanam tersebut di atas,


ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan utama yaitu: (1) ekspektasi
keuntungan usahatani, (2) pengaturan jadwal pengusahaan, dan (3) modal
usahatani. Secara teknis pola padi–padi–padi, padi–padi–P/H_1, ataupun padi–
P/H_1–P/H_1 membutuhkan pengaturan jadwal yang sangat ketat. Ini disebabkan
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu siklus produksi sejak
pengolahan tanah sampai panen dalam usahatani padi ataupun P/H_1 sekitar 4
bulan. Khusus untuk pola padi–P/H_1–P/H_1 selain jadwalnya sangat ketat modal
yang dibutuhkannya juga lebih tinggi.

Pola tanam yang jadwalnya lebih longgar akan tetapi masih menghasilkan
keuntungan usahatani yang relatif tinggi (peringkat kedua) adalah pola tanam
padi–P/H_1–P/H_2. Peringkat berikutnya adalah pola padi–P/H_2–P/H_2 dan
pola padi–padi–P/H-2. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pola tanam yang secara teknis maupun ekonomi diperkirakan paling layak adalah
pola padi – P/H_1 – P/H_2, padi – P/H_2 – P/H-2 ataupun padi – padi – P/H_2.
Dalam praktek tidak semua petani harus menerapkan pola tersebut sehingga pola
tanam dalam satu petak tertier homogen. Akan tetapi pola tanam yang sangat
beragam juga berimplikasi pada kesulitan pengelolaan air irigasi maupun
pengumpulan iuran irigasi dari petani anggota P3A yang bersangkutan.
187

Contoh penerapan iuran irigasi berbasis komoditas yang telah


disederhanakan adalah sebagai berikut. Misalkan di suatu P3A atau Gabungan
P3A di Sub DAS Brantas Tengah, dari hasil rapat pleno P3A disepakati bahwa
jumlah biaya irigasi untuk komponen penunjang (sebagai insentif pengumpulan
iuran) disepakati sebesar Rp. 5 000/Ha per musim; sedangkan pola tanam yang
diterapkan petani ada 7 macam yaitu: (1) padi-padi-padi, (2) padi-padi-P/H_1, (3)
padi-padi-P/H_2, (4) padi-P/H_1-P/H_1, (5) padi-P/H_1-P/H_2, dan (6) padi-
P/H_2-P/H_2, dan (7) tebu. Misalkan pula yang dijadikan sebagai basis
penghitungan komponen pokok adalah padi MT I dan disepakati nilainya adalah
Rp. 25 000/Ha. Maka, jumlah iuran irigasi berbasis komoditas yang harus dibayar
oleh petani di wilayah tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 40).

Tabel 40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di
wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah
(Rp/Hektar)
Per Musim Tanam
Pola tanam Setahun *)
MT I MT II MT III
Padi-padi-padi 30 000 55 000 263 000 338 000 (4% - 6%)
Padi-padi-P/H_1 30 000 55 000 133 000 208 000 (2% - 4%)
Padi-padi-P/H_2 30 000 55 000 122 000 197 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_1-P/H_1 30 000 19 000 133 000 172 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_1-P/H_2 30 000 19 000 122 000 161 000 (1% - 3%)
Padi-P/H_2-P/H_2 30 000 13 000 122 000 155 000 (1% - 3%)
Tebu 166 000 (2% - 3%)
*)
Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total biaya usahatani tunai.

Tampak bahwa dalam satu tahun jumlah biaya irigasi yang dikeluarkan
oleh petani yang menerapkan pola tanam padi-padi-padi cukup besar yaitu sekitar
Rp. 340 000 per hektar. Jumlah tersebut turun cukup signifikan jika petani
menerapkan pola tanam padi-padi-palawija/sayuran. Jadi, dalam batas-batas
tertentu disinsentif bagi petani yang ingin menerapkan pola tanam padi setahun
tiga kali. Di sisi lain kondisi tersebut dapat diartikan pro diversifikasi usahatani di
lahan sawah. Perhatikan bahwa biaya irigasi yang terendah adalah jika petani
menarapkan pola tanam padi-P/H_2-P/H_2. Biaya irigasi untuk usahatani adalah
sekitar Rp. 170 000/hektar/tahun, yang berarti lebih tinggi sekitar 50 persen jika
dibandingkan dengan rata-rata biaya irigasi pada kondisi aktual.
188

Iuran irigasi berbasis komoditas seperti tertera pada Tabel 40 tersebut


mungkin terasa lebih mahal bagi petani yang selama ini lahan sawahnya cukup air
sepanjang tahun. Akan tetapi bagi petani yang selama ini lahan irigasinya tidak
cukup air sehingga pada MT III harus mengeluarkan sejumlah uang untuk irigasi
pompa, jumlah tersebut secara relatif sebanding. Bahkan jika diperbandingkan
dengan biaya irigasi yang harus dikeluarkan oleh petani yang usahataninya sangat
tergantung pada irigasi pompa, jumlah tersebut relatif rendah. Sebagai contoh,
biaya irigasi yang dikeluarkan petani pengguna irigasi pompa di daerah
pesawahan non irigasi teknis di Bengawan Solo Hilir (Bojonegoro) dalam
usahatani padi adalah sekitar 15 – 20 % dari produksi kotor (sistem bagi hasil),
sedangkan di Blora adalah sekitar Rp. 320 000/hektar/musim; dan di Indramayu
adalah sekitar Rp. 170 000/hektar/musim (Sumaryanto et al, 1999).

Implikasi dari iuran irigasi berbasis komoditas adalah meningkatnya


insentif untuk penerapan pola tanam yang pro penghematan konsumsi air irigasi
yang dapat diwujudkan melalui diversifikasi usahatani. Ini kondusif untuk
meningkatkan pendapatan petani tetapi kurang kondusif untuk peningkatan
produksi padi. Secara total, luas tanam padi per tahun mungkin menjadi lebih
kecil daripada kondisi sekarang dan dampaknya adalah turunnya produksi padi.
Secara teoritis dampak negatif ini dapat diminimalkan dengan cara meningkatkan
produktivitas usahatani padi dan atau melalui perluasan areal pesawahan baru.

Dalam konteks yang lebih luas, oleh karena jumlah iuran irigasi berbasis
komoditas sangat dipengaruhi oleh harga bayangan air irigasi (tingkat kelangkaan
air irigasi), maka model ini sebenarnya juga merupakan pembelajaran untuk
meningkatkan apresiasi terhadap air irigasi khususnya maupun sumberdaya air
pada umumnya. Sebagai salah satu bentuk iuran yang sifatnya baru (inovasi),
sudah barang tentu bahwa penerapan iuran irigasi berbasis komoditas
membutuhkan pendekatan kelembagaan yang tepat. Belajar dari pengalaman,
kelembagaan seperti itu dapat dirumuskan melalui suatu kaji tindak, antara lain
dalam wujud proyek rintisan. Identifikasi faktor-faktor strategis untuk kajian
seperti itu dapat dirumuskan dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
partispasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi sebagaimana
dibahas dalam Bab berikutnya (Bab VII).
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI
IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS

7.1. Keragaan Diversifikasi Usahatani di Pesawahan Irigasi DAS Brantas

Profil diversifikasi dapat dianalisis dari pola tanam. Pola tanam


merefleksikan fakta yang menyangkut pilihan petani mengenai apa yang
diusahakan (what), berapa luas (how much), dan kapan waktu pengusahaannya
(when). Secara empiris meskipun pola tanam antar tahun dinamis tetapi
perubahannya gradual – terkecuali ada perilaku iklim yang sangat ekstrim.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar lahan


sawah di DAS Brantas beririgasi teknis, akan tetapi pada musim hujan tidak
semua petani mengusahakan tanaman padi di lahan sawahnya. Bahkan, dalam
beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan makin berdiversifikasi.

Bahan yang digunakan untuk analisis pola tanam adalah data dari hasil
sensus luas tanam di Blok Tertier. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola tanam
di lokasi penelitian cukup beragam. Di lokasi penelitian, pada tahun 1999/2000
teridentifikasi ada 80 macam pola tanam (Lampiran 18) dengan cakupan 22 jenis
komoditas yang diusahakan. Sepuluh besar pola tanam dominan dapat disimak
pada Tabel 41.

Tabel 41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000.

Persil Lahan Luas Lahan


Pola tanam
Jumlah (%) Hektar (%)
Padi-padi-kedele 203 19.9 43.6 19.8
padi-padi-bera 212 20.8 37.0 16.9
Padi-padi-jagung 125 12.2 28.1 12.8
padi-jagung-jagung 43 4.2 13.2 6.0
Padi-padi-Kacang hijau 76 7.4 12.4 5.6
padi-tembakau 54 5.3 10.2 4.6
Padi-padi-padi 44 4.3 9.3 4.2
Padi-bengkoang-jagung 30 2.9 6.7 3.1
Tebu 8 0.8 6.4 2.9
Padi-padi-blewah 13 1.3 5.4 2.5
Lainnya (74 jenis pola tanam) 213 20.8 47.3 21.5
Total 1021 100.0 219.6 100.0
190

Pola tanam terluas adalah padi-padi-kedele, artinya pada MT I dan MT II


petani menanam padi, sedangkan pada MT III menanam kedele. Proporsinya, baik
dalam konteks persil maupun luas areal mencapai 20 %. Dari sudut pandang luas
hamparan, urutan berikutnya adalah padi-padi-bera (17 %), dan padi-padi jagung
(13 %). Luas hamparan dengan pola tanam padi-padi-padi adalah 4 %, sedangkan
tebu 3 %. Usahatani tebu umumnya dilakukan di persil-persil lahan yang relatif
lebih luas dari rata-rata.

Bagi petani, sekuen pengusahaan suatu komoditas (menurut musim tanam)


tidak hanya tergantung pada ketersediaan air irigasi tetapi juga fakto-faktor lain.
Pola tanam berimplikasi pula pada urusan penyediaan sarana produksi yang harus
disediakan/dibeli, tenaga kerja, modal, dan tentu saja ekspektasi mengenai arus
pendapatan (saat menikmati panen).

Dalam konteks agregat, yang terpenting adalah luas kumulatif jenis


komoditas per musim tanam karena berimplikasi pada perkiraan penawaran output
dan permintaan input, termasuk kebutuhan air irigasi. Oleh sebab itu, analisis pola
tanam dalam level agregat lazimnya mengacu pada proporsi luas tanam suatu jenis
komoditas per musim tanam. Secara agregat, luas pengusahaan masing-masing
jenis komoditas dominan per musim tanam pada tahun 1999/2000 adalah sebagai
berikut (Tabel 42).

Luas lahan bera (tidak ditanami) pada MT I, MT II, dan MT III mencapai
5, 7, dan 26 % dari total luas sawah di wilayah ini. Faktor-faktor yang
menyebabkan lahan tidak digarap ada beberapa macam. Sebagian dari lahan
sawah untuk sementara tidak diusahakan karena kendala teknis yang terkait
dengan perpindahan status penggarapan ataupun akibat lanjutan dari jadwal tanam
tahun sebelumnya yang memaksa petani menunda penggarapan sampai waktu
tanam berikutnya. Faktor lain adalah kondisi air irigasi di lahan sawah yang
bersangkutan. Pada MT I, dijumpai adanya petak-petak sawah yang terpaksa tidak
digarap karena genangan yang terlampau tinggi. Ini terjadi jika persil sawah
tersebut elevasinya terlalu rendah, sedangkan drainasenya buruk. Pada MT III
sebagian besar lahan sawah terpaksa bera karena terbatasnya air irigasi.
191

Table 42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(%)
Tanaman MT I MT II MT III
Padi 86.20 65.79 4.41
Jagung 3.53 11.32 26.60
Kedele 0.14 0.54 20.51
Kacang tanah 0.16 0.14 0.99
Kacang hijau 0.00 0.01 5.89
Tebu 2.93 2.93 2.93
Tembakau 0.00 5.56 2.93
"Bengkoang" 0.00 4.33 0.06
Cabai 0.69 0.67 2.45
Bawang merah 0.01 0.17 0.00
Tomat 0.00 0.09 0.13
Semangka 0.00 0.23 0.31
Melon 0.00 0.00 4.04
Lainnya 1.39 1.13 2.33
Bera 4.95 7.09 26.42
Total 100.00 100.00 100.00

Lazimnya, tanaman utama di sawah adalah padi. Proporsi luas tanam padi
pada MT I, MT II, dan Mt III masing-masing adalah 86, 66, dan 4 % dari total
luas sawah di wilayah ini. Selain padi, kelompok komoditas tanaman pangan
terpopuler di lahan sawah adalah palawija. Dalam kelompok ini, urutan
peringkatnya adalah jagung, kedele, kacang hijau, dan kacang tanah. Tanaman
hortikultura yang dominan adalah cabai, tomat, bawang merah, bengkoang,
semangka, dan melon. Selain padi ada beberapa komoditas yang pengusahaannya
cenderung spesifik lokasi. Sebagai contoh, tembakau banyak diusahakan di Sub
DAS Hulu; bengkoang, cabai dan bawang merah di Sub DAS Tengah, sedangkan
semangka dan blewah di Sub DAS Hilir.

Pembandingan antar Sub DAS memperlihatkan bahwa pola tanam yang


paling berdiversifikasi adalah di di Sub DAS Brantas Tengah. Diversifikasi yang
paling rendah adalah di Sub DAS Brantas Hilir.

Secara empiris faktor-faktor penunjang berkembangnya diversifikasi


seperti kemudahan dalam memperoleh sarana produksi maupun penyaluran
produksi dari usahatani komoditas non padi di ketiga Sub DAS tersebut tidak
banyak berbeda. Tampaknya kecenderungan tersebut terkait dengan beberapa
192

faktor berikut. Pertama, ketersediaan air irigasi; dimana diversifikasi cenderung


berkembang di lokasi yang tingkat ketersediaan airnya moderat. Kedua, struktur
penguasaan lahan usahatani. Secara umum rata-rata luas garapan petani di Sub
DAS Hilir adalah yang terkecil dan terdiri dari persil-persil lahan yang jumlahnya
lebih banyak. Distribusi antar petani di Sub DAS Hilir juga paling timpang.
Ketiga, struktur pendapatan rumah tangga. Kontribusi pendapatan usahatani lahan
sawah terhadap pendapatan rumah tangga petani di Sub DAS Hilir adalah yang
terkecil jika dibandingkan dengan petani di dua Sub DAS lainnya.

7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Untuk Berdiversifikasi

Dalam diversifikasi terdapat dua aspek penting yaitu: (1) ragam komoditas
yang diusahakan, dan (2) jenis komoditas yang diusahakan. Aspek (1) mengacu
pada dimensi kuantitatif, sedangkan aspek (2) bersifat kualitatif. Ukuran
kuantitatif yang menunjukkan derajat keragaman (diversitas) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah indeks Entrophy (E).

Data rumah tangga contoh yang relevan untuk mengkaji kecenderungan


diversifikasi harus memenuhi syarat bahwa rumah tangga tersebut mempunyai
lahan garapan dua musim tanam atau lebih; atau paling sedikit menguasai dua
persil lahan garapan jika dalam satu tahun hanya menggarap satu musim tanam.
Berdasarkan ketentuan itu terdapat 468 (97.5 %) yang datanya relevan untuk
dianalisis. Selanjutnya, dengan membagi pola tanam atas tiga kategori:
(1) monokultur padi,
(2) diversifikasi kategori-1 (divs_1): komoditas yang diusahakan tak termasuk
bernilai ekonomi tinggi (kedele, kacang tanah, jagung non hibrida dan
sebagainya),
(3) diversifikasi kategori-2 (divs_2): komoditas yang diusahakan bernilai ekonomi
tinggi (bawang merah, semangka, tembakau, jagung hibrida dan sebagainya),
ternyata sekitar 75 persen petani melakukan diversifikasi.

Sebagian besar petani yang berdiversifikasi itu mengusahakan komoditas


pertanian yang termasuk kategori tidak bernilai ekonomi tinggi. Pembandingan
antar Sub DAS menunjukkan bahwa usahatani di Sub DAS Brantas Tengah
193

adalah paling berdiversifikasi. Petani di Sub DAS Brantas Hilir cenderung


monokultur dengan menanam padi dua kali/tahun (Tabel 43).

Tabel 43. Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas , 1999/2000.

Wilayah Pola tanam Petani Indeks Entrophy (E)


Jumlah (%) Rata-rata STD*) Rata-rata STD*)
Hulu Monokultur padi 6 5.2 0 - - -
Divs -1 76 66.1 0.635 0.032 0.500 0.849
Divs -2 33 28.7 0.814 0.202 0.562 1.368
Total 115 100.0 0.653 0.206 0 1.368
Tengah Monokultur padi 16 8.2 0 - - -
Divs -1 84 42.9 0.643 0.113 0.233 1.099
Divs -2 96 49.0 0.852 0.254 0.346 1.524
Total 196 100.0 0.693 0.300 0 1.524
Hilir Monokultur padi 97 61.8 0 - - -
Divs -1 31 19.7 0.658 0.200 0.132 1.055
Divs -2 29 18.5 0.799 0.227 0.437 1.182
Total 157 100.0 0.278 0.380 0 1.182
DAS Brantas Monokultur padi 119 25.4 0 - - -
Divs -1 191 40.8 0.642 0.111 0.132 1.099
Divs -2 158 33.8 0.835 0.239 0.346 1.524
Total 468 100.0 0.544 0.364 0 1.524

Dalam satu tahun, jumlah jenis komoditas yang diusahakan oleh petani
yang berdiversifikasi pada umumnya dua – tiga jenis. Komoditas nonpadi
(palawija/sayuran) pada umumnya diusahakan pada musim kemarau. Fenomena
yang menarik adalah bahwa petani yang termasuk dalam kategori divs_2 ternyata
ragam komoditasnya lebih banyak daripada divs_1 (Tabel 44).

Tabel 44. Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Jumlah komoditas yang Petani (%) menurut pola tanam


Total
diusahakan monokultur padi divs_1 divs_2
1 100 - - 25.4
2 - 92.7 51.3 55.1
3 - 7.3 39.9 16.5
4 - - 7.6 2.6
5 - - 1.3 0.4
Total 100 100 100 100
Pearson  2 ( 8 ) = 573.2452 Pr = 0.000
194

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk


berdiversifikasi dianalisis dengan model multinomial logistic (mlogit). Dalam
model ini oleh karena monokultur padi diperlakukan sebagai basis maka hasil
analisis dapat diinterpretasikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan petani untuk berdiversifikasi. Hasil estimasi tertera pada Tabel 45.

Tabel 45. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani


di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas untuk berdiversifikasi

Alternatif pilihan (outcomes) & variabel penjelas Koefisien Galat baku P>|z|
Diversifikasi kategori-1 (divs_1):
1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 0.042 1.645 0.980
2. Jumlah persil sawah garapan -0.321 *** 0.101 0.001
3. Total luas sawah garapan 0.024 0.191 0.901
4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 0.018 0.635 0.977
5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 0.331 ** 0.137 0.016
6. Umur Kepala Rumah Tangga -0.006 0.015 0.685
7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga -0.040 0.054 0.466
8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 0.584 ** 0.261 0.025
9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 1.743 *** 0.595 0.003
10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 0.152 ** 0.061 0.013
11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter -2.431 *** 0.626 0.000
12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 5.049 *** 0.990 0.000
13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) -0.032 0.034 0.355
14. Nilai pajak lahan 0.012 0.008 0.140
15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) 1.658 ** 0.792 0.036
Intersep 0.321 1.868 0.864
Diversifikasi kategori-2 (divs_2):
1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 1.326 1.786 0.458
2. Jumlah persil sawah garapan -0.378 *** 0.111 0.001
3. Total luas sawah garapan 0.157 0.194 0.418
4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 0.704 0.668 0.292
5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 0.359 ** 0.147 0.014
6. Umur Kepala Rumah Tangga -0.010 0.017 0.544
7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga -0.022 0.059 0.714
8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 1.141 *** 0.271 0.000
9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 3.473 *** 0.648 0.000
10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 0.158 ** 0.064 0.014
11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter -0.824 0.697 0.237
12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 6.163 *** 1.017 0.000
13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) -0.102 ** 0.040 0.011
14. Nilai pajak lahan 0.016 * 0.009 0.071
15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) 1.711 ** 0.820 0.037
Intersep -4.143 2.069 0.045
base outcome: monokultur padi
Log likelihood = -353.9983 Log likelihood = -353.9983 Prob > chi2 = 0.0000
LR chi2(30) = 303.39 Pseudo R2 = 0.3000
***), **), dan *) masing-masing menunjukkan taraf nyata pada  (two-tail) 0.01, 0.05, dan 0.10.
195

Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 15 variabel penjelas yang


dimasukkan dalam model, ada 8 variabel yang pengaruhnya nyata. Variabel yang
berpengaruh positif terhadap keputusan untuk berdiversifikasi adalah: jumlah
tenaga kerja untuk usahatani, kemampuan permodalan, kontribusi usahatani di
lahan sawah dalam ekonomi rumah tangga, kualitas lahan sawah, proporsi luas
areal yang air irigasinya relatif langka, dan pemilikan peralatan untuk mengatasi
kekeringan. Variabel yang berpengaruh negatif adalah jumlah persil lahan dan
intensitas kekeringan serta akses lahan terhadap prasarana distribusi air irigasi di
level tertier dan atau kuarter. Pembahasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.

7.2.1. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk Usahatani

Menyimak tanda koefisien dugaan dapat diinterpretasikan bahwa semakin


banyak jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk membantu kerja) di
usahatani maka peluang untuk berdiversifikasi semakin tinggi. Tampaknya jika
tenaga kerja yang tersedia untuk usahatani semakin banyak maka semakin longgar
pengaturan jadwal kerja antar anggota rumah tangga dalam usahatani. Ini kondusif
untuk mengelola aktivitas usahatani yang lebih beragam.

Sebagian besar rumah tangga mempunyai 2 – 3 orang anggota rumah


tangga yang bekerja di usahatani. Menyimak sebaran rumah tangga menurut pola
tanam dan jumlah anggota rumah tangga yang berkerja di usahatani tampak
bahwa jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani pada petani yang
berdiversifikasi lebih banyak daripada yang pola tanamnya monokultur padi
(Tabel 46).

Tabel 46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di
usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(%)
Jumlah yang bekerja/ Pilihan pola tanam
Total
membantu kerja monokultur padi divs_1 divs_2
1 18.49 16.23 24.05 19.44
2 57.14 41.36 35.44 43.38
3 14.29 18.85 20.25 18.16
>3 10.08 23.56 20.25 19.02
Total 100 100 100 100
Pearson  2 (6) = 19.073 Pr = 0.004
196

7.2.2. Kemampuan Permodalan

Dalam penelitian ini, kemampuan permodalan diproksi dengan variabel x8


yang didefinisikan sebagai rasio antara total pendapatan terhadap total
pengeluaran. Hasil estimasi menunjukan bahwa pengaruh variabel ini adalah
positif. Artinya, semakin tinggi kemampuan permodalan maka peluang untuk
berdiversifikasi juga semakin tinggi. Koefisien parameter untuk pilihan divs_2
adalah 1.149 (galat baku 0.270), sedangkan untuk pilihan divs_1 adalah 0.587
(galat baku 0.259). Jadi pengaruh variabel ini lebih kuat pada divs_2 daripada
divs_1. Ini konsisten dengan fenomena empiris bahwa usahatani komoditas
bernilai ekonomi tinggi pada umumnya membutuhkan modal yang lebih banyak.

Pada umumnya pendapatan petani lebih rendah daripada pengeluarannya.


Pendapatan per kapita adalah sekitar 1.27 juta rupiah per tahun, sedangkan
pengeluarannya 1.47 juta rupiah per kapita per tahun. Pendapatan dan pengeluaran
petani monokultur padi cenderung lebih rendah dari petani yang berdiversifikasi,
dimana rata-rata tertinggi berada pada kelompok divs_2 (Tabel 47).

Tabel 47. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani di


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

(Rp.103/kapita/tahun)
Pilihan pola tanam Pendapatan Pengeluaran
Monokultur padi 974.4 1279.7
Diversifikasi, divs_1 1077.6 1244.7
Diversifikasi, divs_2 1757.7 1894.7
Total 1272.9 1470.6

Selanjutnya, jika tingkat kemampuan permodalan dikelompokkan menjadi


3 kategori dengan batasan:
1. Kategori 1 : kemampuan permodalan rendah ( x8  1.00 ),
2. Kategori 2 : kemampuan permodalan sedang ( 1.01  x8  1.50 ),
3. Kategori 3 : kemampuan permodalan tinggi ( x8  1.51 ),
ternyata sebagian besar (65 %) petani termasuk kategori 1; sedangkan yang
termasuk kategori 3 hanya sekitar 21 %. Proporsi petani kategori 3 di kalangan
petani yang menerapkan pola tanam monokultur padi, divs-1, dan divs-2, masing-
masing adalah sekitar 14, 16, dan 34 % (Tabel 48).
197

Tabel 48. Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan,
1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Kemampuan permodalan Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Rendah (petani) 85 139 79 303
(%) 71.4 72.8 50.0 64.7
Sedang (petani) 18 22 26 66
(%) 15.1 11.5 16.5 14.1
Tinggi (petani) 16 30 53 99
(%) 13.5 15.7 33.5 21.2
Total (petani) 119 191 158 468
(%) 100 100 100 100
Pearson  2 (4) = 27.1307 Pr = 0.000

7.2.3. Kontribusi Pendapatan dari Usahatani di Lahan Sawah

Variabel ini (x9) merupakan proksi peranan lahan sawah dalam ekonomi
rumah tangga petani. Ukuran yang dipakai adalah pangsa pendapatan dari
usahatani di sawah terhadap total pendapatan rumah tangga, dengan referensi
waktu satu tahun. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin penting peranan
sawah dalam ekonomi rumah tangga maka peluang untuk berdiversifikasi semakin
tinggi. Ini dapat diinterpretasikan bahwa prospek pengembangan diversifikasi
usahatani di lahan sawah semakin rendah jika peranan lahan sawah sebagai
sumber pendapatan rumah tangga semakin kecil.

Dengan luas dan status garapan yang dikuasainya, rata-rata pendapatan


yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah adalah sekitar 2.8 juta rupiah per
tahun. Kontribusinya terhadap total pendapatan rumah tangga adalah sekitar 53%.
Perbandingan antar kelompok pola tanam dapat disimak pada Tabel 49.

Tabel 49. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola
tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000

Pendapatan rumah tangga petani


Pilihan pola tanam Total Dari usahatani di lahan sawah
3
(Rp. 10 /tahun) (Rp. 103/tahun) Pangsa (%)
Monokultur padi 3 114.9 1 369.2 44.0
Diversifikasi (divs_1) 3 750.7 1 948.4 51.9
Diversifikasi (divs_2) 7 361.5 4 559.6 61.9
Total 5 387.1 2 852.3 52.9
198

Jika kontribusi lahan sawah sebagai sumber pendapatan rumah tangga


dibagi menjadi 3 kelompok rendah, sedang, dan tinggi; dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar petani yang berdiversifikasi menggantungkan naftakahnya dari
usahatani di lahan sawah. Sementara itu, sebagian besar rumah tangga yang
mengandalkan nafkahnya dari usaha non pertanian cenderung memilih pola tanam
monokultur padi (Tabel 50).

Tabel 50. Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber
pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Kontribusi Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Rendah (dibawah 33%) 43.7 31.4 20.3 30.8
Sedang (34 – 66%) 27.7 34.0 27.2 30.1
Tinggi (lebih dari 66%) 28.6 34.6 52.5 39.1
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson  2 (4) = 25.4786 Pr = 0.000

7.2.4. Kualitas Lahan Sawah

Dalam penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan yang
dibayar petani untuk lahan tersebut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kualitas
lahan sawah berpengaruh positif terhadap peluang berdiversifikasi, khususnya
pada pengusahaan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi. Tampaknya hal
ini terkait dengan kecenderungan petani untuk meminimalkan risiko usahatani,
atau untuk memperoleh harga jual produk usahatani yang lebih baik. Persil-persil
sawah yang lokasinya jauh dari jangkauan transportasi peringkat kelasnya lebih
rendah sehingga pengelolaannya lebih sulit; dan harga beli pedagang terhadap
produksi di lokasi tersebut cenderung lebih rendah karena ongkos transportasinya
lebih mahal. Oleh karena itu petani cenderung menghindari pengusahaan
komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi di persil-persil sawah seperti itu.

7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan

Peralatan yang lazim digunakan petani untuk mengatasi kekeringan adalah


pompa irigasi. Ternyata pemilikan pompa irigasi berpengaruh positif terhadap
peluang untuk berdiversifikasi. Ada dua alasan yang terkait dengan fenomena ini:
199

1. Sebagian petani melakukan diversifikasi di lahan yang ketersediaan air


irigasinya pada MK-1 tidak aman untuk menanam padi. Meskipun demikian
persil-persil tersebut kadang-kadang juga ditanami padi pada MK-1. Untuk
mengantisipasi kekurangan air maka petani memanfaatkan irigasi pompa.
2. Pada musim kemarau cukup banyak persil-persil sawah yang tidak terjangkau
air irigasi karena permukaan air irigasi dari saluran sekunder semakin turun.
Persil-persil lahan ini lebih aman untuk menanam palawija dan atau sayuran,
dan sebagai antisipasi terhadap kekeringan maka petani membeli pompa
irigasi.

Cukup banyak petani yang memiliki pompa irigasi, terutama di kalangan


petani yang berdiversifikasi. Proporsi petani yang memiliki pompa irigasi adalah
sekitar 19 persen. Rinciannya, pada kelompok petani monokultur padi 2 persen,
pada kelompok petani yang berdiversifikasi kategori divs_1 sekitar 26 persen, dan
pada kelompok petani yang berdiversifikasi dengan mengusahakan komoditas
bernilai ekonomi tinggi sekitar 22 persen (Tabel 51).

Tabel 51. Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola
tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Pemilikan pompa Total
monokultur padi divs_1 divs_2
Tidak memiliki 98.3 73.8 77.9 81.4
Memiliki 1.7 26.2 22.1 18.6
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson  2 ( 2 ) = 31.0739 Pr = 0.000

7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan

Jumlah persil lahan per unit pengelolaan usahatani mencerminkan


fragmentasi lahan. Untuk luas yang sama, semakin banyak persil berarti semakin
banyak sub-sub unit yang harus dikelola. Efisiensi pengelolaan semakin menurun
jika persil-persil lahan tersebut lokasinya terpencar-pencar.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa fragmentasi lahan merupakan faktor


negatif terhadap prospek diversifikasi. Sebagaimana tampak pada Tabel 43 di
muka, semakin banyak jumlah persil garapan maka semakin rendah peluang untuk
200

menerapkan diversifikasi. Implikasinya, pengembangan diversifikasi usahatani


sebaiknya diarahkan di wilayah pesawahan dimana struktur penguasaan garapan
petani tidak terlalu terfragmentasi.

Sawah garapan petani di DAS Brantas pada umumnya tidak satu persil.
Proporsi petani yang unit pengelolaan sawah garapannya terdiri atas satu, dua, dan
tiga persil masing-masing adalah 13, 33, dan 19 persen. Proporsi petani dengan
jumlah persil sawah garapan 5 atau lebih, banyak ditemukan pada kelompok
petani yang melakukan pola tanam monokultur padi (Tabel 52).

Tabel 52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam, 1999/2000
(%)
Pilihan pola tanam
Jumlah persil garapan Total
monokultur padi divs_1 divs_2
1 8.4 15.2 13.9 13.0
2 28.6 34.6 35.4 33.3
3 17.7 20.4 18.4 19.0
4 8.4 14.1 15.8 13.3
5 15.1 12.0 10.8 12.4
>5 21.9 3.7 5.7 9.0
Total 100.0 100.0 100.0 100.0
Pearson  2 (10 ) = 38.1470 Pr = 0.000

7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan

Ada dua variabel yang dikembangkan untuk merefleksikan tingkat


kerawanan terhadap kekeringan yaitu: (1) proporsi luas lahan yang pada musim
kemarau-1 usahatani yang dilakukannya mengalami kekeringan (kekurangan air),
dan (2) durasi (hari) tanaman tersebut mengalami kekurangan air. Dalam
penelitian ini, tingkat kekeringan bersifat relatif karena didasarkan atas persepsi
petani berdasarkan gejala visual yang oleh petani teramati dari kondisi pertanaman
di lapangan. Indikator yang lazim digunakan adalah daun tanaman yang mulai
layu. Sebagian besar petani mengatasinya dengan menggunakan pompa irigasi.

Secara umum, luas areal yang mengalami kondisi kurang air adalah sekitar
20 persen. Sedangkan rata-rata durasi kekeringan adalah sekitar 2 hari, meskipun
ada beberapa petani yang tanamannya mengalami kekeringan sampai 3 minggu
(Tabel 53).
201

Tabel 53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi
kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000

Pola tanam Indikator kerawanan Rata-rata Galat baku Min Maks


Monokultur padi Proporsi luas kekeringan (%) 0.03 0.15 0 1
Durasi kekeringan (hari) 2.42 3.99 0 20
divs_1 Proporsi luas kekeringan (%) 0.24 0.29 0 1
Durasi kekeringan (hari) 3.11 5.00 0 21
divs_2 Proporsi luas kekeringan (%) 0.38 0.41 0 1
Durasi kekeringan (hari) 1.56 3.74 0 18
Total Proporsi luas kekeringan (%) 0.23 0.34 0 1
Durasi kekeringan (hari) 2.41 4.40 0 21

Hasil estimasi (lihat Tabel 43 di muka) menunjukkan bahwa semakin luas


persil lahan yang air irigasinya relatif kurang, maka semakin tinggi peluang petani
untuk memilih pola tanam diversifikasi di lahan tersebut. Meskipun demikian
intensitas kekeringan yang semakin tinggi merupakan faktor negatif terhadap
peluang untuk memilih pola tanam divs_2. Hal ini terkait dengan tingginya risiko
yang dihadapi berdiversifikasi dengan mengusahakan tanaman bernilai ekonomi
tinggi (divs_2). Implikasinya, pengembangan diversifikasi usahatani memiliki
prospek yang lebih baik jika dilakukan di wilayah pesawahan yang ketersediaan
air irigasinya relatif langka tetapi intensitas kekeringannya moderat.
Meningkatnya intensitas kekeringan tidak kondusif untuk pengembangan
diversifikasi pada komoditas bernilai ekonomi tinggi.

7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi Air Irigasi

Ada dua parameter yang mencerminkan akses lahan sawah terhadap


sumber air irigasi yaitu:

1. Jarak lahan terhadap pintu tertier. Secara empiris semakin jauh jarak antara
persil lahan sawah terhadap pintu tertier maka semakin rendah akses lahan
tersebut untuk memperoleh air irigasi.

2. Akses lahan saluran kuarter. Semakin mudah dijangkau dari saluran kuarter
berarti semakin tinggi akses lahan tersebut untuk memperoleh air irigasi.
202

Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin rendah akses lahan sawah


terhadap air irigasi maka peluang untuk berdiversifikasi cenderung lebih tinggi.
Dalam konteks ini ada perbedaan antara divs_1 dengan divs_2. Semakin rendah
akses lahan untuk memperoleh air irigasi dari saluran kuarter maka
diversifikasinya cenderung mengarah pada komoditas usahatani yang tidak
bernilai ekonomi tinggi (divs_1).

Hasil estimasi ini logis dan sesuai fnomena empiris. Tanaman palawija dan
hortikultur membutuhkan air lebih sedikit dan umumnya justru menghindari
terjadinya genangan. Oleh karena sebagian besar saluran irigasi belum disemen
(lining) dan kurang terawat maka rembesan dari saluran tertier maupun kuarter
cukup banyak; dan sudah barang tentu semakin dekat lokasi lahan dengan saluran
tersebut semakin banyak air yang diperoleh dari rembesan tersebut.

Rata-rata jarak persil lahan petani contoh dari pintu tertier adalah sekitar
127 meter, berkisar antara 2 m – 635 m. Jika jarak persil sawah garapan ke pintu
tertier dibagi atas tiga kategori: dekat, sedang, dan jauh (dasar pengelompokan
adalah rata-rata dan simpangan baku), ternyata lebih dari 80 persen persil lahan
petani yang berdiversifikasi termasuk kategori sedang – jauh.

Lebih dari separuh (55 persen) petani menyatakan bahwa air irigasi dari
saluran kuarter dengan mudah dapat menjangkau persil-persil sawah garapannya.
Hanya sekitar 14 persen yang menyatakan sawah garapannya sulit dijangkau air
dari saluran kuarter. Proporsi persil-persil sawah yang mudah dijangkau air irigasi
dari saluran kuarter untuk petani yang memilih pola tanam monoultur padi,
divs_1, dan divs_2 masing-masing adalah 83, 33, dan 60 persen (Tabel 54).

Tabel 54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan garapannya
terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000
(%)
Akses lahan terhadap air irigasi Pilihan pola tanam
Total
dari saluran kuarter monokultur divs_1 divs_2
Rendah 5.9 19.4 13.9 14.1
Sedang 10.9 48.2 26.0 31.2
Tinggi 83.2 32.5 60.1 54.7
Total 100 100 100 100
Pearson  2 (4) = 79.9519 Pr = 0.000
203

7.2.9. Karakteristik Petani dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani

Karakteristik petani yang dimasukkan dalam model adalah umur petani


dan tingkat pendidikan formal petani. Hasil estimasi (Tabel 43) menunjukkan
bahwa kedua variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap peluang untuk
berdiversifikasi.

Kapabilitas managerial (diproksi dari tingkat efisiensi teknis; hasil estimasi


tertera pada Lampiran 10) dalam usahatani padi tidak berpengaruh nyata terhadap
keputusan petani untuk berdiversifikasi. Ada dua hal yang diduga merupakan latar
belakang fenomena ini. Pertama, akumulasi pengetahuan dan keterampilan yang
kondusif untuk memperbaiki efisiensi teknis usahatani padi tidak mempunyai
hubungan yang kuat dengan pilihan pola tanam yang diterapkan. Kedua,
kapabilitas petani dalam usahatani padi relatif homogen. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi adalah
0.815 dengan koefisien variasi 0.312; dimana sebarannya terkonsentrasi di sekitar
0.7 – 0.9 (Gambar 26).

33.2
35
30 27.1
25.4
ju mla h peta ni (% )

25
20
15 9.9
10
3.8
5 0.6
0
< 0.50 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 >= 0.90
tingkat efisiensi teknis

Gambar 26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi

7.2.10. Luas dan Status Garapan

Berbeda dengan konfigurasi garapan (terpencar versus terkonsolidasi)


yang berpengaruh terhadap peluang berdiversifikasi, luas dan status garapan tidak
berpengaruh nyata. Dengan demikian prospek pengembangan diversifikasi di
kalangan petani dengan kecil tidak berbeda dengan petani luas. Demikianpun
204

dengan status garapan usahatani, sikap petani pemilik dengan petani penyewa dan
atau penggarap dalam memilih pola tanam relatif sama.

Mengingat peran strategis struktur penguasaan garapan, fenomena tersebut


mempunyai implikasi yang penting terhadap prospek pengembangan diversifikasi.
Secara teoritis, lemahnya pengaruh struktur penguasaan lahan terhadap peluang
berdiversifiksi itu menguntungkan karena kendala pengembangan diversifikasi
tidak bersifat struktural sehingga secara teknis lebih mudah dilakukan.

7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi

Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam


monokultur padi, divs_1, dan divs_2 dapat disimak dari Gambar 27. Rata-rata
probabilitas untuk memilih monokultur, divs_1, dan divs_2 masing-masing adalah
0. 25, 0.41, dan 0.34. Ini dapat diinterpretasikan bahwa peluang untuk
berdiversifikasi lebih dominan daripada untuk memilih monokultur padi.

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0
Mo n ok u l tu r D i vs _ 1 D i v s_ 2
R at a -r a t a 0 . 2 54 0. 4 0 8 0. 3 3 8
G al a t b a ku 0 . 2 91 0. 2 2 6 0. 2 4 6
M in i mu m 0 . 0 00 0. 0 0 0 0. 0 0 3
M ak s im u m 0 . 9 88 0. 9 7 5 1. 0 0 0

Gambar 27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam

Koefisien variasi (std dibagi rata-rata) untuk monokultur, divs_1, dan


div_2 adalah 1.15, 0.55, dan 0.73. Dengan asumsi bahwa koefisien variasi
mencerminkan kemantapan pilihan, maka dapat dinyatakan bahwa kecenderungan
untuk berdiversifikasi bukan hanya lebih besar probabilitasnya tetapi juga lebih
205

stabil. Fenomena seperti ini juga dapat diinterpretasikan bahwa secara umum
kecenderungan petani untuk berdiversifikasi merupakan keputusan yang mantap.

Jika dikaji lebih lanjut tampak adanya kecenderungan yang berbeda antar
Sub DAS. Probabilitas petani di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS
Hilir untuk memilih pola tanam monokultur masing-masing adalah 0.09, 0.15, dan
0.51. Artinya, monokultur padi tidak populer di Sub DAS Hulu dan Sub DAS
Tengah, tetapi sangat populer di Sub DAS Hilir (Tabel 55).

Tabel 55. Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan sawah

Wilayah Pola tanam Rata-rata Galat baku Minimum Maksimum


Sub DAS Hulu Monokultur 0.09 0.12 0.00 0.72
Divs_1 0.59 0.15 0.12 0.97
Divs_2 0.32 0.17 0.01 0.88
Sub DAS Monokultur 0.15 0.21 0.00 0.89
Tengah Divs_1 0.41 0.23 0.00 0.97
Divs_2 0.44 0.27 0.01 1.00
Sub DAS Hilir Monokultur 0.51 0.29 0.00 0.99
Divs_1 0.27 0.17 0.01 0.82
Divs_2 0.22 0.20 0.00 0.94

Dalam diversifikasi juga ada variasi antar Sub DAS. Di Sub DAS Hulu
dan Sub DAS Hilir, peluang untuk memilih diversifikasi kategori divs_1 lebih
besar daripada divs_2. Ini berbeda dengan fenomena di Sub DAS Tengah dimana
peluang memilih divs_2 justru lebih besar daripada divs_1.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis ini adalah bahwa dalam jangka
pendek, pengembangan diversifikasi usahatani di Sub DAS Hulu dan Sub DAS
Tengah mempunyai prospek yang lebih baik daripada di Sub DAS Hilir. Dalam
konteks itu, pengembangan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi lebih
baik diarahkan di Sub DAS Tengah daripada di Sub DAS lainnya karena
mempunyai peluang keberhasilan yang lebih tinggi.

7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani


Membayar Iuran Irigasi

Sebagaimana dikemukakan pada Bab III (Metodologi), estimasi faktor-


faktor yang mempengaruhi partisipasi petani membayar iuran irigasi didekati
206

dengan model ordered logistic (ologit). Hasil estimasi menunjukkan bahwa


faktor-faktor yang berpengaruh positif adalah diversifikasi usahatani, kontribusi
usahatani padi dalam pendapatan usahatani dari lahan sawah, kelas lahan,
intensitas tanam, dan kinerja Pengurus HIPPA. Faktor-faktor yang berpengaruh
negatif adalah proporsi luas lahan garapan bukan milik, jarak lahan terhadap pintu
tertier, dan pemilikan pompa irigasi. Fragmentasi lahan garapan, luas sawah
garapan, karakteristik petani, pendapatan per kapita, kontribusi pendapatan non
pertanian, proporsi luas lahan yang kekurangan air, dan intensitas kekeringan
tidak berpengaruh nyata (Tabel 56).

Tabel 56. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani


membayar iuran irigasi

Variabel penjelas Koefisien Galat baku P>z


1. Indeks diversitas (x1) 1.558 *** 0.424 0.000
2. Jumlah persil sawah garapan (x2) 0.016 0.054 0.766
3. Total luas sawah garapan (x3) 0.066 0.085 0.436
4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik (x4) -0.729 ** 0.306 0.017
5. Umur Kepala Rumah Tangga (x5) -0.009 0.008 0.301
6. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga (x6) -0.049 0.031 0.111
7. Pendapatan per kapita (x7) -0.008 0.081 0.921
8. Kontribusi usahatani padi (x8) 1.763 *** 0.445 0.000
9. Kontribusi pendapatan non pertanian (x9) 0.333 0.309 0.281
10. Jarak lokasi lahan ke pintu tertier (x10) -0.067 ** 0.028 0.017
11. Aksessibilitas lahan terhadap saluran kuarter (x11) -0.479 0.386 0.214
12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air (x12) -0.049 0.334 0.882
13. Intensitas kekeringan (x13) 0.004 0.014 0.747
14. Nilai pajak lahan (x14) 0.009 * 0.005 0.062
15. Intensitas tanam (x15) 0.430 ** 0.198 0.030
16. Pemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) (x16) -0.471 * 0.269 0.080
17. Kinerja Pengurus HIPPA (x17) 0.589 *** 0.091 0.000
/cut1 1.928 1.032
/cut2 3.322 1.037
/cut3 5.068 1.055
Ordered logistic regression Number of obs =468
LR chi2(17) =119.62
Prob>chi2 =0.0000
Loglikelihood=-566.97574 Pseudo R2 =0.0954
***), **), dan *) masing-masing menunjukkan taraf nyata pada  (two-tail) 0.01, 0.05, dan 0.10.
207

Variabel x1 (indeks diversitas) adalah proksi dari diversifikasi, sedangkan


x8 merupakan proksi dari peranan usahatani padi terhadap keseluruhan usahatani
di lahan sawah. Kedua variabel ini berpengaruh positif dan sangat nyata terhadap
peluang petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Ini
dapat diinterpretasikan bahwa pola tanam mempengaruhi kualitas partisipasi
petani dalam iuran irigasi. Pola tanam yang paling kondusif adalah diversifikasi
berbasis usahatani padi. Berdasarkan pertimbangan teknis (kesesuaian ekosistem)
dan ekonomi (potensi keuntungan), bentuk konkritnya adalah pola tanam padi-
padi-palawija/sayuran atau padi-padi/palawija/sayuran-palawija/sayuran.

7.3.1. Indeks Diversitas

Tanda positif koefisien indeks diversitas (x1) menunjukkan bahwa semakin


beragam komoditas yang diusahakan petani maka semakin tinggi peluangnya
untuk memilih tingkat partisipasi yang lebih baik dalam membayar iuran irigasi.
Dengan kata lain diversifikasi usahatani kondusif terhadap peningkatan
partisipasi. Konvergensi arah antara kecenderungan berdiversifikasi dengan
peningkatan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi merupakan indikasi
tiadanya trade-off antar keduanya, bahkan sinergis. Temuan ini mempunyai arti
yang penting untuk menyusun strategi penerapan.

Tabel 57 menyajikan deskripsi lebih lanjut tentang partisipasi petani dalam


membayar iuran irigasi. Sekitar 16 persen petani monokultur padi tidak membayar
IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan sekitar 43 persen hanya membayar IPAIR.
Rata-rata IPAIR adalah sekitar Rp 22 000/hektar/tahun, sedangkan Iuran HIPPA
sekitar Rp. 35000/hektar/tahun.

Tabel 57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan
pola tanam
(%)
Partisipasi dalam iuran irigasi Monokultur Diversifikasi Total
Tidak berpartisipasi 15.97 13.75 14.32
Hanya membayar IPAIR 42.86 14.90 22.01
Hanya membayar Iuran HIPPA 13.45 40.40 33.55
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 27.73 30.95 30.13
Agregat 100 100 100
Pearson  2 (3 ) = 51.3448 Pr = 0.000
208

Kualitas partisipasi petani yang berdiversifikasi dalam membayar iuran


irigasi pada umumnya lebih baik. Sekitar 31 % patuh membayar IPAIR maupun
Iuran HIPPA, dan sekitar 40 % patuh membayar Iuran HIPPA. Petani yang tidak
berpartisipasi atau hanya membayar IPAIR masing-masing adalah 14 % dan 15 %.

7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan Usahatani di


Lahan Sawah

Pengaruh positif variabel x8 menunjukkan bahwa semakin tinggi peranan


usahatani padi terhadap keseluruhan pendapatan usahatani lahan sawah maka
peluang untuk membayar iuran irigasi secara penuh juga semakin besar. Ini
disebabkan cukup banyak petani yang mempunyai persepsi bahwa iuran irigasi
hanya relevan untuk usahatani padi. Persepsi ini mungkin kurang konsisten jika
dikaitkan dengan kasus-kasus yang dialami petani yang harus mengeluarkan biaya
untuk irigasi pompa cukup besar untuk usahatani hortikultura pada MT III.

Untuk analisis lebih lanjut, misalkan kontribusi pendapatan usahatani padi


terhadap total pendapatan usahatani di lahan sawah dibagi atas tiga kelompok:
1. Rendah, jika kontribusinya sepertiga ke bawah (<= 0.33)
2. Sedang, jika kontribusinya antara sepertiga sampai dua pertiga (0.34 – 0.66)
3. Tinggi, jika kontribusinya lebih dari dua pertiga (0.67 – 1)
tampak bahwa pada kelompok (1), jumlah petani yang tidak membayar iuran
irigasi adalah sekitar 21 %. Pada kelompok (2) sekitar 15 %, sedangkan pada
kelompok (3) sekitar 12 %. Proporsi petani kelompok (1), (2), dan (3) yang patuh
membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA masing-masing adalah sekitar 14, 28,
dan 36 % (Tabel 58).

Tabel 58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi
dan kontribusi usahatani padi, 1999/2000
(%)
Kontribusi usahatani padi
Partisipasi dalam iuran irigasi
<= 0.33 0.34 – 0.66 0.67 – 1.00
Tidak berpartisipasi 21.3 15.1 11.8
Hanya membayar IPAIR 18.1 22.1 23.3
Hanya membayar Iuran HIPPA 46.8 34.9 28.8
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 13.8 27.9 36.1
Pearson  2 ( 6 )  24.0944 Pr = 0.001
209

7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan

Kelas lahan diproksi dari pajak lahan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
semakin tinggi kelas lahan maka semakin besar pula peluang untuk berpartisipasi
lebih baik dalam membayar iuran irigasi.

Lazimnya lahan sawah yang lokasinya lebih mudah dijangkau, lebih subur,
dan ketersediaan air irigasinya cukup kelasnya lebih atas sehingga nilai pajak
lahan tersebut juga lebih tinggi. Jika kelas lahan sawah dikelompokkan menjadi
tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan batasan:
1. Rendah, jika pajak/ha <= (mean – std)
2. Sedang, jika (mean – std) < pajak/ha < (mean + std)
3. Tinggi, jika pajak/ha >= (mean + std)
ternyata proporsi petani yang tidak berpartisipasi membayar iuran irigasi pada
kelompok petani yang menggarap lahan sawah kelas rendah, sedang, dan tinggi
masing-masing adalah 27, 13, dan 6 %. Sebaliknya, proporsi petani yang patuh
membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA (dengan urutan yang sama) adalah 18, 31,
dan 43 % (Tabel 59).

Tabel 59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas
lahan garapannya, 1999/2000
(%)
Kelas lahan
Partisipasi dalam iuran irigasi
Rendah Sedang Tinggi
Tidak berpartisipasi 26.5 12.7 5.7
Hanya membayar IPAIR 27.7 20.8 20.8
Hanya membayar Iuran HIPPA 27.7 35.5 30.2
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 18.1 31.0 43.4
Pearson  2 ( 6 )  22.1267 Pr = 0.001

7.3.4. Intensitas Tanam

Intensitas tanam merupakan faktor positif terhadap partisipasi membayar


iuran irigasi. Artinya, semakin tinggi intensitas tanam yang dapat dilakukan di
lahan sawah garapan maka peluang untuk berpartisipasi lebih baik dalam
membayar iuran irigasi juga semakin besar.
210

Secara potensial, intensitas tanam berkorelasi positif dengan ketersediaan


air irigasi. Secara empiris, peningkatan intensitas tanam tidak hanya ditentukan
oleh ketersediaan air irigasi tetapi juga pilihan komoditas yang diusahakan.

Rata-rata intensitas tanam (cropping index – CI) di lokasi penalitian adalah


sekitar 2.6. Jika petani dikelompokkan atas dua kategori: (1) CI < = 2, dan (2) CI
> 2, tampak bahwa pada kelompok (1) proporsi petani yang tidak membayar
IPAIR maupun Iuran HIPPA adalah sekitar 16 %, lebih dari separuh (55 %) hanya
membayar IPAIR, dan hanya 20 % yang patuh membayar IPAIR dan Iuran
HIPPA. Pada kelompok petani dengan CI > 2, proporsi petani yang tidak
berpartisipasi dalam iuran irigasi adalah 14 %. Pada kelompok ini, sebagian besar
(41 %) membayar iuran HIPPA, dan sekitar 33 % patuh membayar IPAIR
maupun Iuran HIPPA (Tabel 60).

Tabel 60. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan
intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000
(%)
Intensitas tanam
Partisipasi dalam iuran irigasi
< = 2.0 > 2.0
Tidak berpartisipasi 15.6 13.9
Hanya membayar IPAIR 55.1 12.0
Hanya membayar Iuran HIPPA 9.2 41.0
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 20.2 33.2
Pearson  2 ( 3 )  100.4569 Pr = 0.000

7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA

Kinerja Pengurus HIPPA dikelompokkan menjadi 5: sangat buruk, buruk,


sedang, baik, dan sangat baik. Indikator yang digunakan sebagai bahan evaluasi
adalah:

1. Kinerja pengurus HIPPA dalam koordinasinya dengan organisasi HIPPA yang


lain maupun dengan petugas pengairan dalam operasi dan pelayanan irigasi

2. Kinerja pengurus HIPPA dalam pembagian air irigasi di petak tertier,

3. Kinerja pengurus dalam pengelolaan keuangan HIPPA

Butir (1) didasarkan atas hasil wawancara dengan pengurus HIPPA (ada
12 HIPPA contoh) dan klarifikasinya dilakukan dengan mewawancarai Petugas
211

Pengairan di lapangan dan Seksi Pengairan setempat. Selain itu dilakukan pula
wawancara dengan pengurus HIPPA dan observasi langsung ke lapangan untuk
mengetahui kondisi prasarana irigasi yang berada dalam wilayah kerja HIPPA
contoh. Burit (2) dan butir (3) didasarkan atas persepsi petani responden.

Secara umum kinerja Pengurus HIPPA adalah cukup baik. Ini tampak dari
proporsi petani yang menyatakan kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk hanya
sekitar 8 %, dan yang menyatakan buruk 17 %. Di sisi lain yang menyatakan
kinerjanya sedang, baik, dan sangat baik masing-masing adalah 25, 33, dan 16 %.

Sebagaimana terlihat pada hasil estimasi fungsi ologit (lihat Tabel 54),
kinerja pengurus HIPPA merupakan faktor positif terhadap partisipasi petani
dalam iuran irigasi. Semakin baik kinerja pengurus HIPPA (menurut persepsi
petani), maka peluang berpartisipasi secara lebih baik juga lebih besar. Secara
deskriptif, fenomena tersebut dapat disimak dari sebaran petani menurut
partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya terhadap kinerja pengurus
HIPPA sebagaimana tertera dalam Tabel 61. Pada kelompok petani yang
mempunyai persepsi bahwa kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk, ada 23 persen
petani tidak berpartisipasi dalam membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, 55
persen hanya membayar IPAIR, dan sisanya (22 persen) hanya membayar Iuran
HIPPA. Ini sangat kontras dengan para petani yang berada di wilayah pengelolaan
HIPPA yang kinerja pengurusnya mereka persepsikan sangat baik. Pada kelompok
ini, lebih dari 75 persen petani patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan
yang tidak berpartisipasi sangat kecil (dibawah 5 persen).

Tabel 61. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan
persepsinya terhadap pengurus HIPPA
(%)
Kinerja Pengurus HIPPA
Partisipasi dalam iuran irigasi
sangat buruk buruk sedang baik sangat baik
Tidak berpartisipasi 23.1 18.9 15.0 12.9 2.5
Hanya membayar IPAIR 55.1 31.8 27.6 21.3 3.8
Hanya membayar Iuran HIPPA 21.8 35.4 39.3 35.5 15.2
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 0.0 13.9 18.1 30.3 78.5
Pearson  (12 )  124.8425 Pr = 0.000
2
212

7.3.6. Status Garapan

Partisipasi petani dalam iuran irigasi dipengaruhi oleh status lahan


garapannya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi lahan
garapan petani yang bukan milik sendiri, semakin rendah peluang petani untuk
berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Penyebab terbentuknya
fenomena ini antara lain adalah:

1. Meskipun yang berkewajiban membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA adalah


penggarap, tetapi implementasinya tidak selalu demikian. Pada status garapan
bagi hasil (penyakapan), sebagian besar penggarap adalah petani miskin
sehingga mereka bukan merupakan prioritas sasaran pembayar IPAIR maupun
Iuran HIPPA.

2. Sebagian petani mempunyai persepsi bahwa yang berkewajiban membayar


iuran irigasi adalah pemilik lahan.

3. Persewaan maupun bagi hasil dilakukan pada musim kemarau dan komoditas
yang ditanam adalah palawija dan atau sayuran dan secara historis IPAIR
hanya diberlakukan untuk komoditas padi.

Di areal pesawahan irigasi teknis, petani yang seluruh garapan


usahataninya berstatus milik adalah sekitar 60 %. Dari seluruh populasi ternyata
sekitar 12 % adalah penggarap murni, dalam arti seluruh garapannya milik orang
lain, dan sekitar 28 % adalah petani yang sebagian garapan usahataninya berasal
dari menyewa dan atau menyakap dari orang lain.

Pada kelompok petani yang seluruh garapannya adalah berstatus milik,


proporsi petani yang tidak berpartisipasi dalam iuran irigasi adalah 10 %,
sedangkan yang patuh membayar semua kewajiban dalam pembayaran iuran
irigasi sekitar 34 %. Ini sangat berbeda dengan petani yang seluruh garapan
usahataninya adalah milik orang lain. Pada kelompok ini, yang tidak berpartisipasi
adalah sekitar 23 %, sedangkan yang berpartisipasi penuh hanya 15 %. Partisipasi
petani yang sebagian lahan garapannya berstatus non milik berada diantara kedua
ekstrim tersebut (Tabel 62).
213

Tabel 62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status
garapan usahatani, 1999/2000
(%)
Status lahan usahatani yang digarap
Partisipasi dalam iuran irigasi
100% milik Campuran 100% non milik
Tidak berpartisipasi 9.9 20.3 22.6
Hanya membayar IPAIR 24.1 21.8 11.3
Hanya membayar Iuran HIPPA 31.6 30.8 50.9
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 34.4 27.1 15.1
Pearson  2 (6 )  24.5070 Pr = 0.000

Jadi, pada wilayah pesawahan irigasi yang pemilikan tanahnya timpang


sehingga sebagian besar petani hanyalah penggarap maka secara umum partisipasi
petani dalam membayar iuran irigasi adalah rendah. Dengan kata lain, dapat
disimpulkan bahwa secara umum prospek penerapan iuran irigasi akan lebih baik
pada wilayah yang distribusi pemilikan tanahnya lebih merata sehingga sebagian
besar petani memiliki lahan garapan usahatani sendiri.

7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier

Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin jauh persil lahan sawah


garapan dari pintu tertier semakin rendah partisipasi petani yang menggarap lahan
tersebut untuk membayar iuran irigasi. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada umumnya persil-persil sawah garapan yang berdekatan dengan pintu


tertier memiliki akses terhadap sumber air irigasi yang lebih baik. Posisinya yang
berada "di depan" menyebabkan persil-persil sawah tersebut merupakan sasaran
utama evaluasi kinerja irigasi secara visual, dan karenanya memperoleh perhatian
yang lebih tinggi dari aparat pengairan maupun pengurus HIPPA. Dengan kata
lain, secara umum ketersediaan air irigasi pada persil-persil lahan tersebut lebih
baik dari pada yang letaknya lebih jauh dari pintu tertier. Kondisi seperti ini
mendorong petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi.
Sebaliknya, lahan-lahan sawah garapan yang lokasinya jauh dari pintu-pintu
tertier lebih besar peluangnya untuk terlantar. Akibatnya, petani yang menguasai
lahan sawah garapan yang lokasinya seperti itu juga cenderung lebih rendah
partisipasinya untuk membayar iuran irigasi.
214

7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi

Partisipasi petani yang memiliki pompa irigasi dalam membayar iuran


irigasi cenderung lebih rendah daripada petani yang tidak memiliki pompa irigasi.
Ini logis mengingat bahwa salah satu penyebab utama petani memiliki pompa
irigasi adalah karena lahan garapan usahataninya sering mengalami kekeringan.
Dalam praktek, persil-persil garapan seperti itu bukan merupakan prioritas sasaran
IPAIR maupun Iuran HIPPA. Di sisi lain, dengan memiliki pompa irigasi maka
ketergantungan petani yang bersangkutan terhadap irigasi permukaan juga
semakin rendah sehingga merasa tidak relevan untuk diwajibkan membayar iuran
irigasi. Gambaran tentang partisipasi petani pemilik pompa irigasi dan yang tidak
memiliki pompa irigasi dalam membayar iuran irigasi dapat dilihat dari Tabel 63.

Tabel 63. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi
pemilikan pompa irigasi
(%)
Pemilikan pompa irigasi
Partisipasi dalam iuran irigasi
Memiliki (%) Tidak memiliki (%)
Tidak berpartisipasi 14.96 11.49
Hanya membayar IPAIR 20.21 29.89
Hanya membayar Iuran HIPPA 36.22 21.84
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA 28.61 36.78

Pada tahun 1999/2000, sekitar 19% petani memiliki pompa irigasi.


Meskipun sebagian besar petani membeli pompa irigasi untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, tetapi cukup banyak pula yang menyewakan pompa irigasinya
kepada petani lain. Bahkan irigasi pompa merupakan salah satu aktivitas bisnis
yang dijalankan oleh beberapa penduduk di pedesaan di wilayah ini. Pada tahun
1999/2000 harga sewa pompa irigasi untuk ukuran discharge 1.5 inch adalah
sekitar Rp. 3 500 – Rp. 4 000 per jam pemompaan.

7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi

Di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, prospek peningkatan


kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi cukup baik. Hal ini
didasarkan pada hasil estimasi yang menunjukkan bahwa pada kondisi aktual
215

probabilitas pilihan yang tertingi adalah untuk kategori (3) dan (4). Rata-rata
probabilitas untuk tidak berpartisipasi (Pr_1), atau berpartisipasi parsial dengan
hanya membayar IPAIR, masing-masing sekitar 14 % dan 21 %. Peluang terbesar
adalah berpartisipasi parsial dengan membayar Iuran HIPPA (Pr_3) yakni 34 %,
sedangkan peluang untuk berpartisipasi penuh dengan membayar kedua jenis
iuran tersebut adalah sekitar 30 %. Hubungan antara kecenderungan untuk tidak
berpartisipasi (Pr_1) dengan kecenderungan untuk memilih tingkat partisipasi
yang lebih baik (Pr_2, Pr_3, dan Pr_4) dapat disimak pada Gambar 28.

0.9 Mean StD Min Max


Pr_(1) 0.141 0.113 0.009 0.581
0.8 Pr_(2) 0.211 0.092 0.027 0.335
Pr_(3) 0.344 0.067 0.121 0.411
Pr_(4) 0.304 0.185 0.030 0.823
0.7

0.6
Pr_4
0.5

0.4 Pr_3
Pr_2
0.3

0.2

0.1

0.0 Pr_1
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Gambar 28. Hubungan antara Pr_1 dengan Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam
partisipasi membayar iuran irigasi

7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis

Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang dihipotesakan


berpengaruh ternyata ada 8 variabel yang berpengaruh positif, satu variabel
berpengaruh negatif, dan dua variabel tidak berpengaruh nyata. Faktor-faktor
positif adalah luas sawah garapan, jumlah tenaga kerja pertanian, kemampuan
permodalan, peranan pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total
pendapatan rumah tangga, intensitas tanam, tingkat kelangkaan air irigasi, kelas
lahan sawah, dan kinerja pengurus HIPPA. Faktor yang berpengaruh negatif
adalah fragmentasi lahan (Tabel 64).
216

Tabel 64. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani


untuk berdiversifikasi dan berpartisipasi lebih baik dalam iuran irigasi

Variabel penjelas Koefisien Galat baku P>z


1. Fragmentasi lahan sawah -0.269 *** 0.064 0.000
2. Luas sawah garapan 0.195 ** 0.094 0.037
3. Proporsi garapan bukan milik -0.232 0.336 0.489
4. Jumlah tenaga kerja pertanian 0.152 * 0.080 0.058
5. Kemampuan permodalan 0.230 ** 0.105 0.029
6. Peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga 0.654 ** 0.319 0.041
7. Intensitas tanam 1.387 *** 0.217 0.000
8. Kelangkaan air irigasi 0.149 ** 0.071 0.037
9. Kelas lahan sawah 0.010 ** 0.005 0.043
10. Peubah boneka pemilikan pompa irigasi 0.132 0.252 0.600
11. Kinerja Pengurus HIPPA 0.409 *** 0.084 0.000
/cut1 3.662 0.760
/cut2 4.591 0.776
/cut3 5.791 0.792
Ordered logistic regression Number of obs = 468
LR chi2(11) = 155.76
Prob > chi2 = 0.0000
Log likelihood = -477.14788 Pseudo R2 = 0.1403

Probabilitas dugaan untuk P_1, P_2, P_3, dan P_4 untuk setiap observasi
adalah Pr_(1), Pr_(2), Pr_(3) dan Pr_(4). Rata-rata probabilitas masing-masing
pilihan tersebut serta ilustrasi grafis yang menunjukkan hubungan antara
probabilitas memilih P_1, P_2, P_3, dan P_4 disajikan pada Gambar 29. Tampak
bahwa probabilitas untuk pilihan P_4 adalah dominan, yakni sekitar 0.52. Rata-
rata probabilitas untuk memilih P_2 dan P_3 masing-masing adalah 0.12 dan 0.21,
sedangkan untuk P_1 adalah 0.15.

Pilihan ekstrim adalah Pr_(1) yakni alternatif yang jenjangnya terendah


dan Pr_(4) yaitu alternatif yang jenjangnya tertinggi. Dalam model ologit
hubungan antara probabilitas memilih alternatif terbaik (jenjang tertinggi) dengan
probabilitas memilih alternatif terburuk (jenjang terendah) merupakan suatu kurva
cembung ke titik 0. Secara keseluruhan jumlah Pr_(2), Pr_(3), dan Pr_(4)
semakin kecil seiring dengan meningkatnya Pr_(1) karena total probabilitas = 1.
217

Sumbu x (absis) adalah probabilitas pilihan P_1 yaitu Pr_(1), sedangkan


ordinat adalah probabilitas alternatifnya (P_2, P_3, dan P_4) yakni Pr_(2), Pr_(3),
dan Pr_(4). Titik A adalah perpotongan antara Pr_(4) dengan Pr_(3). Pada titik ini
Pr_(1) = 0.230, Pr_(2) = 201, Pr_(3) = Pr_(4) = 0.285. Titik B adalah perpotongan
antara Pr_(2) dengan Pr_(3). Pada titik ini Pr_(1) = 0.380, Pr_(2) = Pr_(3) =
0.229, dan Pr_(4) = 0.162.

1.0
Mean StD Min Max
Pr_(1) 0.15 0.17 0.00 0.87
Pr_(2) 0.12 0.06 0.00 0.23
0.8 Pr_(3) 0.21 0.07 0.00 0.29
Pr_(4) 0.52 0.24 0.02 1.00

0.6

Pr_(4)
0.4

Pr_(3)
0.2 Pr_(2)

0.0 Pr_(1)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Gambar 29. Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan
pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi

Di sebelah kiri titik A (Pr_(1) < 0.230) maka pilihan di luar P_1 yang
probabilitasnya terbesar adalah P_4. Antara titik A dan B (0.230 < Pr_(1) < 0.380)
pilihan diluar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_3. Artinya,
kecenderungan untuk memilih P_3 > P_4. Di sebelah kanan titik B dimana Pr_(1)
> 0.380 maka pilihan di luar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_2. Di
daerah ini Pr_(2) > Pr_(3) > Pr_(4). Dengan kata lain, grafik tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memprediksi ke arah mana kecenderungan pilihan di luar
akan terjadi jika probabilitas pilihan untuk alternatif yang jenjangnya terendah
berada di luar titik-titik ekstrim (per definisi, titik ekstrim untuk P_1 adalah 0 dan
1. Pada Pr_(1) = 0 maka secara otomatis probabilitas P_4 yakni Pr_(4) = 1,
sedangkan pada Pr_1=1, maka secara otomatis probabilitas alternatif lainnya = 0).
218

Hasil estimasi (Tabel 64) dapat digunakan untuk mengetahui prospek


pengembangan diversifikasi dan penerapan iuran irigasi berbasis komoditas.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, peluang keberhasilan akan lebih tinggi jika
diterapkan di suatu wilayah irigasi dengan karakteristik:

 Lahan garapan lebih terkonsolodasi (tidak terfragmentasi),


 Rata-rata luas sawah garapan tidak terlalu kecil,
 Jumlah tenaga kerja untuk usahatani di lahan sawah cukup,
 Kemampuan permodalan memadai,
 Peranan usahatani di lahan sawah dalam perekonomian dominan,
 Intensitas tanam yang telah diterapkan cukup tinggi,
 Air irigasi yang tersedia relatif langka,
 Aksesibilitas hamparan cukup baik,
 Kinerja pengurus organisasi P3A (HIPPA) cukup baik.

Kesimpulan tersebut sangat berguna untuk menentukan lokasi-lokasi


percontohan dalam tahap introduksi sistem iuran irigasi berbasis komoditas.
Dalam tahap perluasan dan pengembangan, hasil identifikasi ini berguna sebagai
salah satu masukan dalam perumusan kebijaksanaan. Beberapa butir pokok
kebijaksanaan yang kondusif untuk penerapan iuran berbasis komoditas adalah:

1. Peningkatan akses petani terhadap modal usahatani. Ini dapat ditempuh


dengan mempermudah petani memperoleh kredit dari lembaga perbankan.

2. Perbaikan akses lahan terhadap prasarana perekonomian, misalnya melalui


pengembangan jalan pedesaan dan jalan usahatani.

3. Penyuluhan untuk meningkatkan intensitas tanam.

4. Peningkatan kinerja organisasi P3A.

Jelas bahwa kondisi yang sesuai untuk mendorong proses konsolidasi


pengelolaan usahatani dan peningkatan rata-rata luas garapan sangat kondusif. Ini
dapat dikondisikan melalui pendekatan langsung maupun tidak langsung.
Pendekatan langsung adalah melalui kebijakan di bidang keagrariaan – meskipun
hal ini sifatnya adalah jangka panjang. Pendekatan tidak langsung dapat ditempuh
melalui perluasan kesempatan kerja luar pertanian di pedesaan secara nyata.
VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN
UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

8.1. Kesimpulan

Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan


harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian ini, metode yang diterapkan untuk
valuasi air irigasi adalah salah satu varian dari pendekatan Residual Imputation
Approach yaitu metode perubahan pendapatan bersih dengan pemrograman linier.
Penerapan iuran irigasi berbasis komoditas efektif untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan air irigasi jika instrumen ini efektif untuk mendorong diversifikasi
usahatani ke arah komoditas pertanian yang lebih hemat air. Prospek
penerapannya ditentukan oleh faktor-faktor yang secara simultan kondusif untuk
meningkatkan partisipasi petani dalam diversifikasi dan partisipasinya dalam
pembayaran iuran irigasi. Beberapa kesimpulan pokok hasil penelitian adalah:

1. Secara umum pola tanam pada solusi optimal lebih berdiversifikasi ke arah
komoditas palawija dan atau hortikultur. Proporsi luas tanam padi pada
Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah 83.4, 61.1,
dan 3.8 % dari total luas areal. Keuntungan tunai usahatani pada solusi
optimal lebih tinggi sekitar 9.6 % dan kontribusi keuntungan yang diperoleh
dari usahatani padi masih tetap yang tertinggi meskipun dominasinya
menurun. Keuntungan tertinggi diperoleh dari usahatani pada MT II.

2. Harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh sebaran temporal dan sebaran
spatial ketersediaan maupun kebutuhan air irigasi. Sebaran temporal
ketersediaan air irigasi dipengaruhi oleh curah hujan, sedangkan kebutuhan
tanaman terhadap air irigasi selain dipengaruhi oleh curah hujan juga
ditentukan oleh jenis tanaman, evapotranspirasi, dan teknik pemberian air ke
tanaman. Oleh karena itu, harga bayangan air irigasi pada Bulan Desember
sampai dengan Mei adalah nol, sedangkan pada Bulan Juni sampai dengan
November positip. Harga bayangan air irigasi yang tertinggi terjadi pada
Bulan September yakni sekitar Rp. 58/m3. Dalam konteks spatial, harga
bayangan air irigasi yang terendah adalah di Sub DAS Hulu, sedangkan yang
tertinggi adalah di Sub DAS Hilir.
220

3. Elastisitas permintaan normatif air irigasi tidak tetap sehingga secara umum
fungsinya tidak linier. Pada saat pasokan air irigasi langka sehingga harga
air irigasi lebih dari Rp. 84/m3 permintaannya adalah elastis. Selanjutnya
permintaan tersebut menjadi tidak elastis apabila harga air irigasi berada
pada selang Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada tingkat harga di
bawah Rp. 11/m3. Secara umum fungsi permintaan normatif air irigasi pada
kisaran pasokan aktual adalah tidak elastis.

4. Potensi kerugian akibat luas tanam padi yang tidak optimal tergantung pada
perbedaan relatif terhadap kondisi optimal. Jika perbedaannya relatif kecil,
potensi kerugian akibat kelebihan luas tanam padi adalah lebih kecil daripada
potensi kerugian yang timbul akibat luas tanam padi yang lebih rendah dari
kondisi optimal. Semakin tinggi perbedaan relatif tersebut, potensi kerugian
akibat kelebihan luas tanam padi cenderung lebih besar daripada potensi
kerugian yang terjadi akibat luas tanam lebih rendah dari pola optimal.

5. Elastisitas penawaran normatif padi adalah tidak tetap sehingga kurva


penawarannya tidak linier. Pada skenario harga turun, fungsi penawarannya
elastis; sedangkan pada skenario harga naik maka penawarannya tidak
elastis. Terdapat dua faktor yang merupakan penyebab utamanya yaitu: (1)
terjadinya perubahan keuntungan komparatif antara usahatani padi terhadap
komoditas lain akibat perubahan harga padi, dan (2) perbandingan relatif
kebutuhan sumberdaya antara usahatani padi dengan komoditas pertanian
lainnya. Dengan demikian efektivitas kebijakan harga gabah yang ditujukan
untuk mendorong peningkatan produksi padi ditentukan oleh: (1) rata-rata
harga gabah yang diterima petani sebelum kebijakan harga ditetapkan, (2)
persentase kenaikan harga di tingkat petani akibat kebijakan tersebut, dan (3)
harga-harga komoditas pertanian tanaman pangan lain yang merupakan
pesaing padi dalam penggunaan sumberdaya di lahan pesawahan. Secara
umum dapat dirumuskan bahwa untuk mempertahankan pertumbuhan
produksi padi melalui instrumen kebijakan harga gabah, bukan hanya
besaran kenaikannya yang perlu diperhatikan tetapi juga perbandingannya
dengan komoditas lain serta pengamanannya agar tingkat harga riil yang
diterima petani terpelihara.
221

6. Iuran irigasi berbasis komoditas terdiri atas komponen pokok dan komponen
penunjang. Nilai dari komponen pokok bervariasi, tergantung pada perkiraan
kebutuhan air irigasi untuk pengusahaan komoditas yang bersangkutan dan
harga bayangan air irigasi pada waktu tersebut. Oleh karena itu, besarannya
ditentukan oleh jenis komoditas, periode pengusahaan, dan sebaran temporal
harga bayangan air irigasi. Nilai per unit luas garapan yang merupakan
komponen penunjang ditentukan berdasarkan kesepakatan Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P3A). Meminimalkan nilai komponen penunjang
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
efektivitas iuran irigasi berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan
efisiensi penggunaan air irigasi.

7. Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jika rata-rata biaya irigasi
untuk usahatani padi pada MT I dijadikan basis pembandingan dan diberi
indeks 1, maka indeks biaya irigasi untuk usahatani padi pada MT II dan MT
III masing-masing adalah sekitar 2 dan 10. Indeks biaya irigasi untuk
usahatani palawija atau hortikultur yang periode pengusahaan untuk satu
siklus produksi sekitar 4 bulan adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0 masing-
masing untuk usahatani pada MT I, MT II, dan MT III. Dengan urutan
musim tanam yang sama, indeks biaya irigasi untuk usahatani palawija atau
hortikultur yang satu siklus usahatani membutuhkan waktu sekitar 3 bulan
adalah sekitar 0.3, 0.3, dan 4.5. Pada usahatani tebu oleh karena periode
pengusahaannya satu tahun maka indeks biaya irigasinya adalah sekitar 6.3.

8. Secara umum, nilai iuran irigasi berbasis komoditas lebih tinggi daripada
biaya irigasi yang kini berlaku. Perbedaannya dapat diperkecil jika proporsi
luas tanam padi pada MT II dikurangi dan pada MT III komoditas yang
diusahakan bukan padi. Pola tanam yang memiliki kelayakan teknis dan
finansial cukup – tinggi adalah pola padi–padi–palawija/hortikultur dengan
siklus produksi sekitar 3 bulan atau pola padi–palawija/hortikultur dengan
siklus produksi sekitar 4 bulan–palawija/ hortikultur dengan siklus produksi
sekitar 3 bulan.
222

9. Hasil estimasi menunjukkan bahwa di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS


Brantas probabilitas petani untuk memilih pola tanam monokultur padi relatif
rendah yaitu sekitar 0.25. Probabilitas untuk berdiversifikasi dengan
mengusahakan komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi
adalah sekitar 0.41, sedangkan untuk berdiversifikasi pada komoditas
pertanian bernilai ekonomi tinggi adalah sekitar 0.34. Faktor-faktor yang
berpengaruh positif terhadap probabilitas berdiversifikasi adalah jumlah
anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani, kemampuan permodalan,
kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga, tingkat
kelangkaan air irigasi yang terjadi di lahan garapan, dan kepemilikan pompa
irigasi. Faktor yang tidak kondusif adalah fragmentasi lahan garapan.

10. Partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi cukup baik. Probabilitas
tidak berpartisipasi hanya sekitar 0.14. Di sisi lain, probabilitas untuk
berpartisipasi dengan kualitas partisipasi rendah, sedang, dan tinggi masing-
masing adalah sekitar 0.21, 0.35, dan 0.30.

11. Faktor-faktor yang kondusif untuk mendorong petani meningkatkan kualitas


partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi adalah penerapan pola tanam
diversifikasi, kualitas lahan sawah garapan yang lebih baik, intensitas tanam,
kontribusi usahatani padi dalam ekonomi rumah tangga, dan kinerja
pengurus asosiasi petani pemakai air irigasi yang lebih baik. Faktor-faktor
yang tidak kondusif adalah proporsi lahan sawah garapan bukan milik, jarak
lahan garapan terhadap prasarana distribusi air irigasi, dan kepemilikan
pompa irigasi.

12. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperkirakan bahwa prospek penerapan
iuran irigasi berbasis komoditas di suatu wilayah irigasi dipengaruhi oleh
sejumlah faktor yang dapat dikondisikan. Peluang keberhasilannya akan
lebih tinggi jika diterapkan di wilayah irigasi dengan karakteristik: lahan
garapan usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu
kecil, tenaga kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani
memadai, peranan usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup
penting, dan kinerja pengurus asosiasi petani pemakai air irigasi cukup baik.
223

8.2. Implikasi Kebijakan

Iuran irigasi berbasis komoditas merupakan salah satu instrumen yang


dikembangkan dari pendekatan permintaan. Instrumen ini kondusif untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi dan secara simultan kondusif pula
untuk meningkatkan kapabilitas petani membiayai operasi dan pemeliharaan
irigasi. Dalam strategi implementasi, mengingat bahwa sistem iuran berbasis
komoditas merupakan hal baru, disarankan agar penerapannya dilakukan secara
bertahap. Untuk itu pada tahap awal perlu ditempuh adalah kaji tindak penerapan
sistem ini. Tahap berikutnya, dengan berbekal pelajaran yang diperoleh dari kaji
tindak itu dapat dilakukan penerapan di beberapa lokasi sebagai proyek rintisan.
Selanjutnya, dengan memanfaatkan secara maksimal pelajaran yang diperoleh dari
kedua tahapan tersebut dapat dilakukan perluasan dan pengembangan.

Implementasi iuran irigasi berbasis komoditas sejalan dengan sejumlah


agenda kebijakan di bidang pengembangan diversifikasi usahatani. Jadi, yang
diperlukan adalah penyempurnaan sejumlah agenda kebijakan tersebut, terutama
yang terkait dengan: (1) peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan,
(2) kebijakan yang kondusif untuk memperkecil risiko usahatani komoditas
palawija/sayuran bernilai ekonomi tinggi, dan (3) kebijakan yang efektif untuk
mendorong konsolidasi pengelolaan usahatani. Khusus di bidang irigasi, salah
satu agenda kebijakan yang sifatnya dapat dipandang baru adalah "Pengembangan
Sistem Irigasi Produktif" yang intinya adalah mengembangkan pola manajemen
irigasi yang lebih akomodatif terhadap pola usahatani yang lebih berdiversifikasi.

Implementasi iuran irigasi berbasis komoditas berimplikasi pada pola


pengusahaan komoditas dan pendapatan petani. Manifestasinya, proporsi luas
tanam padi menurun, tetapi di sisi lain pendapatan petani meningkat. Dalam
pemecahan masalah yang dilematis tersebut, yang seharusnya diprioritaskan
adalah peningkatan pendapatan petani. Dengan demikian dalam rangka
mempertahankan swasembada beras, kebijakan pemerintah harus diarahkan pada
pengembangan lahan sawah baru dan perbaikan produktivitas usahatani padi. Pada
saat yang sama, kebijakan pemerintah untuk mendorong diversifikasi konsumsi
pangan harus diimplementasikan secara sistematid dan konsisten.
224

8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan

Dalam penelitian ini dilakukan sejumlah penyederhanaan. Pertama, ruang


lingkup penelitian dibatasi pada air irigasi permukaan dimana pola pasokannya
tertentu dan perilaku pasokan air untuk memenuhi kebutuhan lain diasumsikan
tidak berpengaruh. Kedua, penyederhanaan yang terkait dengan agregasi
komoditas, agregasi sebaran temporal maupun agregasi spatial ketersediaan dan
kebutuhan air irigasi. Ketiga, pendekatan yang digunakan untuk valuasi air irigasi
adalah Residual Imputation Approach (RIA) dengan pemrograman linier.

Dari penelitian ini telah dapat dihasilkan sejumlah temuan dan


pengetahuan yang bermanfaat sesuai dengan ruang lingkup dan metodologi yang
diterapkan. Saran untuk lanjutan adalah:

1. Air irigasi diperlakukan sebagai bagian integral dari sumberdaya air sehingga
pasokan untuk memenuhi kebutuhan non irigasi diperhitungkan sebagai faktor
yang mempengaruhi pola pasokan air irigasi; dan perluasan cakupan spatial
dengan mengambil contoh di beberapa sistem irigasi yang berbeda.
2. Valuasi air irigasi menggunakan pendekatan terintegrasi dari sisi permintaan
maupun sisi pasokan.
3. Penelitian dengan pendekatan yang sama dengan penelitian ini tetapi tingkat
agregasinya berbeda dimana komoditas lebih rinci, sebaran spatial dan
temporal juga dibuat lebih rinci.
4. Penelitian dengan ruang lingkup dan pendekatan serupa dengan penelitian ini
tetapi pemrograman matematis yang digunakan adalah non linear.
5. Jika sumberdaya untuk penelitian tersedia, penelitian yang dilakukan dengan
mengintegrasikan aspek sosial ekonomi aspek teknis dengan data percobaan
langsung di lapang merupakan salah satu penelitian yang sangat bernilai.
6. Penelitian yang difokuskan untuk mengkaji aspek kelembagaan dalam rangka
peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.

Secara bersama-sama, dari berbagai penelitian tersebut dapat dihasilkan


sejumlah kesimpulan dengan tingkat generalisasi lebih luas dan pengetahuan yang
lebih komprehensif. Dengan demikian dapat berkontribusi nyata dalam akumulasi
ilmu pengetahuan maupun pemecahan masalah dalam kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Aigner, D.J., C.A.K. Lovell, and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of
Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics,
6: 21 – 37.

Arif, S.S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancangbangun Jaringan Irigasi di Tingkat


Tersier dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman
Tanaman: Studi Kasus di Daerah Irigasi Cikuesik, Cirebon. Jurusan
Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Armitage, S. 1999. A Study of On-Farm Water Use and Irrigation Performance in


The Brantas Delta, East Java, Indonesia. M.Sc. Thesis. Department of
Civil and Environtmental Engineering, University of Southampton,
Southampton.

Asian Development Bank (ADB). 2000. Water for All: The Water Policy of the Asian
Developmnet Bank, http://www.adb.org/documents/policies/water/water.pdf

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1994. Pengelolaan Sumberdaya


Air Dan Lahan Dalam Rangka Mengatasi Kekeringan. Departemen
Pertanian, Jakarta.

______________________________________. 1996. Strategi Penanggulangan


Dampak Kekeringan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Ban, S. 1984. Penentuan Kebutuhan Irigasi Air Tanah. Makalah disampaikan


pada Seminar "Pengembangan Irigasi Air tanah". Proyek Pengembangan
Air Tanah (P2AT), Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta.

BAPPENAS. 2001a. The Future of the World Rice Market and Policy Options to
Counteract Rice Price Instability in Indonesia. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta .

__________. 2001b. Future Strategies for Rice Price Stabilization in Indonesia.


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta .

__________ – USAID. 2000. Macro Food Policy and Food Security: Conseptual
Framework and Strategic Issues. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), Jakarta.

Barker, R., and J.W. Kijne. 2001. Improving Water Productivity in Agriculture: A
Review of Literature. Background paper prepared for SWIM Water
Productivity Workshop, November 2001, International Water Management
Institute (IWMI), Colombo.
226

Berbel J. and J.A. Gomez-Limon. 2000. The Impact of Water Pricing Policy in
Spain: An Analysis of Three Irrigated Areas. Agricultural Water
Management, 43: 219 – 238.

Bhuiyan, S.I., T. P. Tuong, and L. J. Wade. 1998. Management of Water as A


Scarce Resource: Issues and Options in Rice Culture. In: N.G. Dowling,
S.M. Greenfield, and K.S. Fischer (Eds.). Sustainability of Rice in the
Global Food System. Pasific Basin Study Center, International Rice
Research Institute (IRRI), Los Banos.

Boss, M.G. and W. Walter. 1990. Water Charges and Irrigation Efficiencies.
Dalam: Nippon Koei and Nikken Consultants. 1998. The Study on
Comprehensive Management Plan for the Water Resources of the Brantas
River Basin in The Republic of Indonesia. Ministry of Public Works,
Jakarta.

Bouman, B.A.M. 2003. Examining The Water Shortage Problem in Rice System:
Water Saving Irrigation Technologies. In: T.W. Mew, D.S. Brar, S. Peng,
D. Dawe, and B. Hardy (Eds). Science Innovation and Impact for
Livelihood, Internatioal Rice Research Institute: 519 – 535.

Bouman, B.A.M. and T.P. Tuong. 2000. Field Water Management to Save Water
and Increase Its Productivity in Irrigated Lowland Rice. Agricultural
Water Management 16: 1 – 20.

Chand, R. 1996. Diversification Through High Value Crops in Western


Himalayan Regions: Evidence from Himachal Pradesh. Indian Journal of
Agricultural Economics 41(4): 652 – 663.

Chiang, A.C. 1974. Fundamental Methods of Mathematical Economics. Second


Edition. McGraw-Hill Kogakusha, LTD., Tokyo.

Coelli, T. 1996. A Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program for


Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for
Efficiency and Productivity Analysis, University of New England –
Armidale, New South Wales.

De Datta S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and
Sons, New York.

Dillon, H.S., H. Sawit, P. Simatupang, and S. Tabor. 1999. Rice Policy: A


Framework for The Next Millenium. Badan Urusan Logistik, Jakarta.

Dinar, A. and J. Letey. 1996. Modeling Economic Management and Policy Issues
of Water in Irrigated Agriculture. Praeger, Connecticut.

_______, A. and A. Subramanian. 1997. Water Pricing Experience: An


International Perspective". World Bank Technical Paper No. 386.
227

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan


Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Food and Agriculture Organization (FAO). 1994. Reforming Water Resources


Policy: A Guide To Methods, Processes and Practices. Irrigation and
Drainage Paper No. 52, Food and Agriculture Organization, Rome.

Florencio-Cruz, V., R. Valdivia-Alcala, and C. A. Scott. 2002. Water


Productivity in The Rio Lerma (011) Irrigation District. Agrociencia,
36(4): 483 – 493.

Freeman, A.M., 1993. The Measurement of Environmental and Resource Values:


Theory and Methods. Resources for the Future, Washington, D.C.

Gleick, P.H. 1998. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water
Resources: 1998-1999. Island Press, Washington, D.C.

__________. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water
Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C.

Gomez-Limon, J.A. and J. Berbel. 2000. Multicriteria Analysis of Derived Water


Demand Functions: A Spanish Case Study. Agricultural Systems, 63: 49 – 72.

Greene, W.H. 2003. Econometric Analysis. Fifth Edition. Upper Saddle River,
Prentice Hall, New Jersey.

Grimble, R.J. 1999. Economic Instruments for Improving Water Use Efficiency:
Theory and Practice. Agricultural Water Management, 40: 77 – 82.

Hall, D.C. and J.V. Hall. 1984. Concepts and Measures of Natural Resource
Scarcity with a Summary of Recent Trends. Journal of Environtmental
Economics and Management, Vol. 11: 363 – 379.

Hardjoamidjojo, S. 1999. Dimensi Lingkungan dalam Pengembangan Pompa Air


untuk Irigasi. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran (Eds.).
Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi Pompa.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Hazell, P.B.R. and R.D. Norton. 1986. Mathematical Programming for Economic
Analysis in Agriculture. Macmillan Publishing Company, New York.

Heady, E.O. 1952. Economics of Agricultural Production and Resource Use.


Englewood Cliffs, Prentice Hall, New Jersey.

Hellegers J.G.J. 2002. Treating Water in Irrigated Agriculture as an Economic


Good. Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
228

Hong, L., Y.H. Li, L. Deng, C.D. Chen, D. Dawe and R. Barker. 2001. Analysis
of Changes in Water Allocations and Crop Production in the Zhanghe
Irrigation System and District, 1966 – 1998. In: R. Barker (Ed.). Water
Saving Irrigation for Rice. Proceedings of an International Workshop Held
in Wuhan, China 23 – 25 March 2001.

International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The


Dublin statement and report of the International Conference on Water and
the Environment. Development Issues for the 21st Century, 26 - 31
January, 1992, Dublin.

International Water Management Institute (IWMI). 2000. Water Issues for 2025:
A Research Perspective. International Water Management Institute,
Colombo, Sri Lanka.

Intriligator, M.D. 1978. Econometric Models, Techniques, & Applications.


Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.

Japan International Cooperation Agency (JICA). 1998. Development of the


Brantas River Basin. Japan International Cooperation Agency, Japan.

Johansson, P. 1993. Cost-Benefit Analysis of Environmental Change. Cambridge


University Press, Cambridge.

Johansson, R.C. 2000. Pricing Irrigation Water: A Literature Survey. The World
Bank, Washington, D.C.

Joshi, P.K., A. Gulati, P.S. Birthal, and L. Tewari. 2004. Agriculture


Diversification in South East Asia: Patterns, Determinants and Policy
Implications. Economic and Political Weekly, June 12:2457-2467.

Just, R.E., D.L. Hueth and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and
Public Policy. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Kasryno, F., P. Simatupang, E. Pasandaran, dan S. Adiningsih. 2001. Reformulasi


Kebijakan Perberasan Nasional. Forum Agro Ekonomi 19(2): 1 – 23.

Katumi, M., T. Oki, Y. Agata, and S. Kane. 2002. Global Water Resources
Assesment and Future Projection. In: M.K. Yayima, Okado, and
Matsumoto, (Eds). Water for Sustainable Agriculture in Developing
Region: More Crop for Every Scare Drop. JIRCAS International
Symposium Series. No. 10:vii - xvii.

Kumbhakar, S.C. 2002. Specification and Estimation of Production Risk, Risk


Preferences and Technical Efficiency. American Journal of Agricultural
Economics, 84(1): 8 – 22.
229

Long, J.S. and J. Freese. 2003. Regression Model for Categorical and Limited
Dependent Variables Using Stata. In: Stata Corp. LP. 2005. Stata Release
9: Reference K-Q. College Station, Texas.

Meeusen, W. and van den Broeck, J. 1977. Efficiency Estimation from Cobb-
Douglas Production Functions With Composed Error. International
Economic Review, 18: 435-444.

Molden, D. 1997. Accounting for water use and productivity. System-Wide


Initiative on Water Menagement (SWIM) Paper No. 1. International Water
Management Institute, Colombo.

_________, R. Sakthivadivel, and Z. Habib. 2001. Basin-level use and productvity


of water: Examples from South Asia. Research Report 49. International
Water Management Institute, Colombo.

_________. 2002. Meeting Water Needs for Food and Environmental Security. In:
M.K. Yayima, Okado, and Matsumoto. (Eds). Water for Sustainable
Agriculture in Developing Region: More Crop for Every Scare Drop.
JIRCAS International Symposium Series. No. 10:xix - xxii.

Molle, F. 2002. To Price or Not to Price? Thailand and the Stigmata of "Free
Water". Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.

Murty, V.V.N. 1997. Need, Scope and Potential for Modernization of Irrigation
System in Asia. In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience
and Future Options. Water Report No. 12. Food and Agriculture
Organization, Rome.

Nakajima, C. 1986. Subjective Equilibrium Theory of the Farm Household


(Translated by Ryohei Kada), Developments in Agricultural Economics,
Elsevier Science Publishers, Amsterdam.

Nasendi, B. D., dan A. Anwar. 1985. Programa Linear dan Variasinya. PT


Gramedia, Jakarta.

Nippon Koei Co. LTD. and JICA. 1993. The Study for Formulation of Irrigation
Development Program in Indonesia. Final Report, Volume 3.

__________________ and Nikken Consultants, INC. 1998. The Study on


Comprehensive Management Plan for The Water Resources of The
Brantas River Basin in The Republic of Indonesia (Final Report Vol. IV:
Supporting Report II). Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta.
230

Oi, S. 1997. Introduction to Modernization of Irrigation Schemes. In:


Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options.
Water Report, No. 12. Food and Agriculture Organization, Rome.

Osmet. 1996. Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang


Berkelanjutan. Dalam: Hermanto, S. Pasaribu, dan Sumaryanto. (Eds.).
Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pakpahan, A., Sumaryanto, S. Friyatno, A. Mintoro, dan Hendiarto. 1993. Studi


Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pandey, V.K. and K.C. Sharma. 1996. Crop Diversification and Self Suficiency in
Foodgrains. Indian Journal of Agricultural Economics 51(4): 644 – 651.

Pasandaran, E. 2005. Reformasi Irigasi Dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu


Sumberdaya Air. Naskah Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta.

Perry, C.J. 1996. Alternative to Cost Sharing for Water Service to Agriculture in
Egypt. Research Paper, No. 2. International Water Management Institute,
Colombo.

________. 2002. Why is Irrigation Water Demand inelastic at low price ranges?
Paper presented on the International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.

Pimental, D., J. Houser, E. Preiss, O. White, H. Fang, L. Mesnick, T. Barsky, S.


Tariche, J. Schreck, and S. Albert. 1997. Water Resources: Agriculture,
the environment, and The Society. Biosciences 47(2): 97 – 106.

Pingali, P.L. and M.W. Rosegrant. 1995. Agricultural Commercialization and


Diversification: Processes and Policies. Food Policy, 20(3): 171 – 185.

Postel, S. 1992. The Last Oasis: Facing water scarcity. Dalam: P.H. Gleick.
2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources:
2000-2001. Island Press, Washington, D.C.

_______. 1994. "Carrying Capacity: Earth's Bottom Line," In State of the World.
Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable Society,
W.W. Norton & Co. Ltd., New York.

Rae, A.N. 1994. Agricultural Management Analysis: Activity Analysis and


Decision Making. CAB International, Wellington.
231

Ravindran, A., D.T. Phillips and J.J. Solberg. 1987. Operations Research:
Principles and Practice. Second Edition. John Wiley and Sons, New York.

Ray, I. 2002. Farm-level Incentives for Irrigation Efficiency: Some Lessons From
An Indian Canal. In: Molle (2002). To Price or Not to Price? Thailand and
the Stigmata of "Free Water". Paper presented on International Seminar
"LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO
ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002.

Rodgers, C., M. Siregar, Sumaryanto, Wahida, B. Hendradjaja, S. Suprapto, and


R. Zaafrano. 20021. Integrated Economic-Hydrologic Modeling of the
Brantas River Basin, East Java, Indonesia: Issues and Challenges. Paper
presented on the Workshop "Integrated Water Resources Management in a
River Basin Context: Institutional Strategies for Improving the
Productivity of Agricultural Water Management", Malang, January 15-19.

Rosegrant, M.W., C. Ringler, D. C. McKinney, X. Cai, A. Keller, and G. Donoso.


2000. Integrated Economic-Hydrologic Water Modeling at the Basin
Scale: The Maipo River Basin. Agricultural Economics, 24: 33 – 46.

_____________ and M. Svendsen. 1993. Asian Food Production in the 1990s:


Irrigation Investment and Management Scarcity. Food Policy, 19(2): 13 –
32.

_____________, N.D. Perez, and N.N. San. 1997. Indonesian Agriculture to


2020: Source of Growth Projections, and Policy Implications. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

_____________ and P.B.R. Hazell. 2000. Transforming the Rural Asian


Economy: the Unfinished Revolution. Oxford University Press,
Hongkong.

_____________, X. Cai, and S.A. Cline. 2002. World Water and Food to 2025:
Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute
(IFPRI), Wahington, D.C.

Salim, H. 1995. Pengaruh Pengaturan Tata Air dan Takaran Pupuk Fosfat
terhadap Potensial Redoks, pH tanah, P tersedia, Serapan P dan Hasil
Tanaman Padi Sawah Di Daerah Pengairan Jatiluhur. Disertasi. Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sampath, R.K.. 1992. Issues in Irrigation Pricing in Developing Countries. Water


Resources Bulletin, 27: 745 - 751.

Sawit, H. 2000. Harga Dasar Gabah Tahun 2001 dan Subsidi: Analisa Musiman.
Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
232

Seckler, D.R., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998.


World Water Demand and Supply, 1990 - 2025: Scenarios and Issues,
IWMI, Research Report No. 19, Colombo, Sri Lanka.

Shiklomanov, I.A. 1998. Archive of world water resources and world water use.
In: P.H. Gleick. 2000. The World's Water: The Biennial Report on Fresh
water Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C.

Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya


Mengatasinya. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional "Sektor
Pertanian Tahun 2001: Kendala, Tantangan dan Prospek", Bogor 4
Oktober 2000.

Sinaga, B. M. 1997. Pendekatan Kuantitatif Dalam Agribisnis. Bahan Pelatihan


Manajemen Agribisnis, Universitas Riau 9 - 12 Juni 1997.

Singh, I., L. Squire, and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models:


Extension, Applications, and Policy. The Johns Hopkins University Press,
Baltimore and London.

Soenarno dan R. Syarif. 1994. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik


Sumber Air di Pulau Jawa. Makalah pada Panel Diskusi Antisipasi dan
Penanggulangan Kekeringan Jangka Panjang, PERAGI dan PERHIMPI,
Sukamandi 26-27 Agustus 1994.

Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya


Paramita, Jakarta.

Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan


Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi
Petani. Dalam: Hermanto, S. Pasaribu, dan Sumaryanto. (Eds.). Persaingan
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.

__________ and R. N. Suhaeti. 1997. Assesment of Losses Related to Irrigated


Lowland Conversion. Indonesian Agricultural Research & Development
Journal, 19(1&2): 20 – 28.

__________ dan S. Friyatno. 1999. Keswadayaan Petani Dalam Pengelolaan


Sumberdaya Air Untuk Irigasi. Makalah dipresentasikan pada Workshop
"Analisis Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Produksi Pangan
dan Pertanian Berkelanjutan", Bogor - 22 Juli 1999.

__________, Hermanto, dan S. Bahri. 1999. Kinerja Pasar Air Irigasi Pompa:
Studi Empiris pada Sistem Irigasi Pompa Air Permukaan di Beberapa
Wilayah di Indonesia. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran
(Eds.): Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi
Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
233

__________. 1999. Peran Strategies Pengembangan Irigasi Pompa dalam


Mendukung Pengembangan Produksi Pangan. Dalam: S. Pasaribu,
Sumaryanto, dan E. Pasandaran (Eds.). Perspektif Keswadayaan Petani
dalam Pengembangan Irigasi Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.

__________ dan I.W. Rusastra. 1999. Struktur Penguasaan Tanah dan


Hubungannya Dengan Kesejahteraan Petani. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional "Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era
Otonomi Daerah" yang diselenggarakan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian di Bogor, 16 - 17 November 1999.

__________, M. Siregar, Wahida. 2001. Irrigation Investment, Fiscal Policy


and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam: Brief Notes
from Field Survey. Paper presented on "Water Resource Policy in
Indonesia and Vietnam: Issues, Concept, and Modeling Workshop",
International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C.,
June 2001.

__________ dan T. Sudaryanto. 2001. Perubahan Paradigma Pendayagunaan


Sumberdaya Air dan Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan
Produksi Pangan. Forum Agro Ekonomi, 19(2): 66 – 79.

__________. 2001. Estimasi Tingkat Efisiensi Usahatani Padi Dengan Fungsi


Produksi Frontir Stokastik. Jurnal Agro Ekonomi, 19(1): 65-84.

__________ dan T. Sudaryanto. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi


Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya.
Makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, 13 Desember 2005 di Jakarta.

Sunaryo, T.M. 2001. Case Study of Brantas River Basin, Indonesia. Paper
presented on the Workshop "Integrated Water Resources Management in a
River Basin Context: Institutional Strategies for Improving the
Productivity of Agricultural Water Management", Malang, January 15-19.

Susilowati S.H, E. Suryani, Supriyati, H. Surpriadi, Supadi, Sugiarto. 2001. Studi


Dinamika Ekonomi Pedesaan (PATANAS): Usahatani, Ketenaga kerjaan,
Pendapatan dan Konsumsi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sustainable World Water Forum (WWF). 2000. Forum Report on Water and
Economics of the Second World Water Forum, The Hague.

Syarif, R. 2002. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Mendukung


Produksi Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar "Hari Pangan
Sedunia XXII, Jakarta, 9 Oktober 2002.
234

Theil, H. and R. Finke. 1983. The Consumer's Demand for Diversity. European
Economic Review 23: 348 – 359.

Tim Studi "Special Assistant for Project Sustainability (SAPS)" II. 1992. Brantas
River Basin Development Project. Perum Jasa Tirta, Malang.

Tiwari, D. and A. Dinar. 2000. Role and Use of Economic Incentives in Irrigated
Agriculture. Paper presented at the "World Bank Workshop on
Institutional Reform in Irrigation and Drainage". The World Bank,
Washington, D.C., December 11, 2000.

Trenberth, K. and T. Hoar. 1996. The 1990-1995 El Nino-Southern Oscillation


Event: The Longest on record. Geophysical Research Letters, 23(1): 57 – 60.

Tsur, Y. and A. Dinar. 1997. The Relative Efficiency and Implementation Costs
of Alternative Methods for Pricing Irrigation Water. The World Bank
Economic Review, 11(2): 243 – 262.

______, A. Dinar, R. M. Doukkali and T.L. Roe. 2002. Efficiency and Equity
Implications of Irrigation Water Pricing. Paper Presented on International
Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS
MICRO & MACRO ECONOMIQUES" Agadir - Maroc.

Tuong, T.P., and S. Bhuiyan. 1994. Innovations Toward Improving Water-Use


Efficiency of Rice. Paper presented on Seminar "World Bank 1994 Water
Resources Seminar", December 13-15, Landsdowne, Virginia.

Unver, O and Rajiv K. Gupta. 2002. Water Pricing: Issues and option in Turkey.
Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES
D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES",
Agadir - Maroc 15-17 June 2002.

Van de Kroef. C. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa
(hal. 145-167). Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (Eds.). Dua
Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa Ke Masa. PT Gramedia, Jakarta.

Varela-Ortega, C., J.M. Sumpsi, A. Garrido, M. Blanco, and E. Iglesias. 1998.


Water Pricing Policies, Public Decision Making and Farmers' Response:
Implications for Water Policy. Agricultural Economics, 19: 193 – 202.

Wichelns, D. 1998. "Economic Issues Regarding Tertiary Canal Improvement


Programs, with an Example from Egypt," Irrigation and Drainage
Systems, 12: 227 - 251.

Winpenny J. 1994. Managing Water as an economic Resource. Routeledge,


London and New York.
235

Wiradi, G. dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Dalam: F.


Kasryno (Ed.). Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.

________. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wolf, A.T., J.A. Natharius, J.J. Danielson, B.S. Ward, and J. Pender. 1999.
International River Basin of the World. In: P.H. Gleick. 2000. The
World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 2000-
2001. Island Press, Washington, D.C.

Wolter, H.W. and C.M. Burt. 1997. Concepts of Modernization. In:


Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options.
Water Report 12, Food and Agriculture Organization, Rome.

World Bank. 1982. Indonesia: Policy Options and Strategies for Major Food
Crops. World Bank, Washington, D.C.

__________. 1993. Water Resources Management: A World Bank policy paper.


World Bank, Washington, D.C.

World Resource Institute (WRI). 1998. World Water: A Guide to the Global
Environtment. Oxford University Press, New York.

Young, H.P., N. Odaka and T. Hashimoto. 1982. Cost Allocation in Water


Resources Development. Water Resources Research 18 (3): 436 - 475.

Young, R.A. 1996. Measuring Benefits for Water Investment and Policies. World
Bank Technical Paper No. 338, World Bank, Washington, D.C.
LAMPIRAN
237

Lampiran 1. OPERASI DAN PEMELIHARAAN IRIGASI

Pengertian dan Ruang Lingkup Operasi dan Pemeliharaan Irigasi


Istilah lengkapnya adalah Operasi Jaringan Irigasi dan Pemeliharaan Jaringan
Irigasi. Mengingat bahwa dalam pelaksanaannya cukup banyak aspek-aspek yang terkait
maka lazimnya disatukan menjadi Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi atau Operasi
dan Pemeliharaan Irigasi (disingkat O&P Irigasi).
Secara khusus, yang dimaksud dengan Operasi Jaringan Irigasi adalah
penyelenggaraan kegiatan untuk memanfaatkan jaringan irigasi agar berdayaguna
optimal. Sedangkan Pemeliharaan (Jaringan) Irigasi adalah suatu himpunan aktivitas yang
ditujukan untuk mengkondisikan agar prasarana irigasi selalu berfungsi dengan baik
dalam rangka pelaksanaan operasi (jaringan) irigasi. Dari pengertian itu sangat jelas
bahwa kegiatan pemeliharaan irigasi pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan
pengoperasian jaringan irigasi sehingga kedua kegiatan tersebut lazimnya disatukan
dalam satu gugus kegiatan yakni Operasi dan Pemeliharaan Irigasi.
Dalam pengertian yang lebih luas, Operasi Jaringan Irigasi adalah tataguna air
mulai dari penyadapan air dari sumbernya, pengaturan, pengukuran dan pembagian air di
dalam jaringan irigasi, pemberian air ke petak-petak sawah serta pembuangan kelebihan
air sehingga: (1) Air yang tersedia dibagi secara merata dan adil, (2) Air yang tersedia
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dimana pemberian air ke petak-petak
sawah dilaksanakan dengan tepat sesuai kebutuhan tanaman (tepat waktu, tepat cara, tepat
jumlah), dan (3) Akibat negatif yang mungkin ditimbulkan oleh air dapat dihindarkan.
Ruang lingkup operasi jaringan irigasi mencakup aspek-aspek: (1) pengumpulan
data (data hidrologi dan luas lahan sawah), (2) membuat rencana tata tanam, rencana
pembagian air, rencana pengeringan, dan sebagainya, (3) melaksanakan pendistribusian
air (mengoperasikan pintu-pintu air, mengisi papan operasi dan pelaporannya), (4)
pengoperasian bendung maupun waduk sesuai dengan situasi dan kondisi (datang dan
surutnya air banjir, pengurasan bendung/kantong lumpur atau pengeringan), (5)
pemantauan penggunaan air/pemantauan perkembangan tanaman di wilayah yang diairi,
(6) kalibrasi pintu/alat ukur debit, (7) pemantauan pembuangan limbah ke saluran
irigasi/sungai, dan (8) penyuluhan pemanfaatan air irigasi kepada petani.

Dasar Pengaturan dan Pola Pelaksanaan


Pengertian tentang pengaturan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi. Berdasarkan PP 23 Tahun 1982 tentang irigasi ditetapkan antara lain: (1)
Penyelenggaraan pengurusan air irigasi dan jaringan irigasi didasarkan pada suatu Daerah
Irigasi, yaitu kesatuan wilayah yang mendapat air dari suatu sistem/jaringan irigasi, (2)
Pengelolaan irigasi yang meliputi penyusunan, perencanaan, peyediaan pembagian dan
pemberian air melalui Jaringan Utama pada masing-masing Daerah Irigasi (DI) serta
pembuangannya menjadi tanggung jawab Dinas Pengairan Daerah, (3) Pengurusan,
pengaturan dan penggunaan air irigasi pada Petak Tersier diserahkan kepada Petani
Pemakai Air (P3A) di bawah pembinaan Panitia Irigasi dengan memperhatikan ketentuan
yang belaku, (4) Pengurusan, pengaturan air irigasi yang diselenggarakan oleh badan
hukum, badan sosial atau perorangan diserahkan kepada yang bersangkutan, dengan
memperhatikan peraturan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya maka harus memperhatikan: (1) luas baku sawah/lahan
yang berhak atas air dalam suatu Daerah Irigasi, (2) debit air yang tersedia dan alokasi
yang ditetapkan untuk masing-masing Daerah Irigasi serta pola-pola pemanfaatan air
irigasi yang ditetapkan, (3) masa tanam musim hujan dan musim kemarau, (4) penetapan
kebutuhan air dan koefisien tanaman, (5) penentuan kehilangan air di saluran, (6)
penetapan rencana tata tanam dan sistem golongan, dan (7) perencanaan pembagian dan
pemberian air.
238

Lampiran 1. Lanjutan

Pola Pelaksanaan Operasi Irigasi


Pola pelaksanaan Operasi Irigasi mencakup: (1) penetapan baku sawah/lahan
yang berhak atas air irigasi, (2) penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan
air irigasi, (3) penetapan masa irigasi untuk musim hujan maupun musim kemarau, (4)
penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, (5) penentuan besarnya kehilangan air di
saluran, (6) penetapan rencana tata tanam dan sistem golongan, dan (7) perencanaan
pembagian dan pemberian air. Aktivitas-aktivitas tersebut dilaksanakan dalam suatu
sekuen yang sistematis (perhatikan skema pola operasi irigasi sebagaimana tertera pada
Gambar berikut.

Penetapan baku sawah/lahan yang berhak atas air irigasi

Penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air

Pengaturan pembagian dan pemberian air irigasi

Penetapan masa irigasi musim hujan Penetapan masa irigasi musim kemarau

Hak air: Hak air:


1. Padi musim hujan dan persiapannya 1. Padi musim hujan yang masih perlu air
2. Gadu ijin yang masih perlu air 2. Padi gadu ijin dan persiapannya
3. Tebu bibit 3. Tebu muda
4. Semua penggunaan air yang telah 4. Semua penggunaan air yang telah
mendapat ijin mendapat ijin
5. Padi gadu tak ijin diberi jatah seperti
(Diatur dalam Perda) palawija
(Diatur dalam Perda)

Penetapan rencana tata tanam musim Penetapan rencana tata tanam musim
hujan dan sistem golongan kemarau dan sistem golongan

Pengaturan Pembagian Air dan 1. Pengaturan Pembagian Air dan


Pemberian Air Irigasi Pemberian Air Irigasi
2. Penetapan sistem giliran bila air
tidak cukup

Gambar 1. Skema pola pelaksanaan operasi irigasi


239

Lampiran 1. Lanjutan

Penetapan baku sawah atau lahan yang berhak atas air irigasi dilakukan setiap
tahun. Daftar inventarisasinya disusun menurut desa/kelurahan pada setiap Daerah Irigasi
untuk masing-masing wilayah kerja DPU Pengairan Daerah: Kemantren, Cabsie/Cabang
Dinas TK II, Dinas Tk II, dengan keterangan: (1) tanah-tanah tersebut berhak atas air
irigasi sepanjang tahun sesuai dengan ketersediaan air irigasi, dan (2) tanah-tanah tersebut
berhak atas air tidak selama satu tahun penuh akibat kurang/terbatasnya persediaan air
irigasi dengan rincian: (i) mencapatkan air irigasi selama musim kemarau secara bergilir,
(ii) tidak sepenuhnya berhak atas air irigasi tetapi hanya pada waktu ada kelebihan
persediaan air, dan (iii) mendapat air di musim kemarau karena pada musim hujan tidak
dapat ditanami atau mengalami kerusakan akibat banjir.
Inventarisasi tersebut setelah mendapat pertimbangan Panitia Irigasi setempat,
ditetapkan oleh Kepala Daerah (Tk II, TK I) sekali dalam 5 tahun, dengan tetap
memperhatikan perubahan yang terjadi dalam periode tersebut.
Penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air irigasi dilakukan
dengan cara berikut. Berdasarkan data debit pada sumber air (waduk, sungai, mata air,
dan sebagainya), inventarisasi penggunaan air yang telah ada (baik untuk pertanian
maupun non pertanian yang telah mendapat ijin), disusun rencana penyediaan air dan pola
pemanfaatannya, pada setiap wilayah sungai.
Penyusunan penyediaan dan pemanfaatan air didasarkan pada perkiraan debit 80
% kering. Rencana penyediaan air tersebut, setelah memperoleh masukan dari Panitia
Irigasi kemudian dilegalkan oleh Ketatapan Kepala Daerah.
Pada penetapan masa irigasi musim hujan dan musim kemarau, penetapan tanggal
dimulainya pemberian air untuk tanaman padi perlu disinkronkan dengan masukan dari
Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) setempat. Pada musim hujan diutamakan
tanaman padi, sedangkan untuk musim kemarau diutamakan tanaman palawija, tebu
(yang ada konsesinya), dan padi gadu ijin (bila ada kelebihan setelah alokasi untuk
palawija dan tebu).
Dalam penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, mengingat kebutuhan air
untuk setiap jenis tanaman maupun tahap pertumbuhan tanaman berbeda maka dibuat
standardisasi. Dalam konteks ini koefisien tanaman didasarkan atas luas palawija relatif
(LPR). Secara pragmatis, koefisien masing-masing tanaman (dan aktivitas) adalah sebagai
berikut ( Tabel 1).
Tabel 1. Koefisien tanaman atas dasar Luas Palawija Relatif (LPR).
Jenis tanaman Koefisien
Padi musim hujan/padi gadu ijin*):
- Pesemaian/pembibitan 20.0
- Garap/pengolahan tanah 6.0
- Pertumbuhan 4.0
Tebu:
- Cemplong / garap lahan 1.5
- Tebu muda / bibit 1.5
- Tebu tua 0.0
Palawija 1.0
Tambak/sawah tambak (disesuaian keadaan setempat) 3.0
*) untuk gadu tak ijin maka disamakan dengan palawija, kecuali
air cukup maka disamakan dengan gadu ijin.
240

Lampiran 1. Lanjutan

Selain LPR, mengingat kebutuhan air juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka
untuk keperluan pembagian air dan pemberiannya ditentukan suatu koefisien yang disebut
faktor palawija relatif (FPR), yakni suatu faktor pemberian air yang didasarkan pada
kebutuhan air untuk palawija. FPR menggambarkan kebutuhan air di pintu tertier untuk
tanaman palawija. Di dalamnya sudah diperhitungkan kehilangan air di saluran tertier dan
kuarter serta hilangnya air di lapangan (karena kemiringan medan)

Penetapan Rencana Tata Tanam dan Sistem Golongan

Untuk menyusun suatu pola pemanfaatan air irigasi bagi suatu Daerah Irigasi
perlu disusun bagi DI bersangkutan, untuk memanfaatkan air yang tersedia guna
memperoleh hasil produksi yang sebesar-besarnya bagi usaha pertanian.
Penyusunan rencana tata tanam tersebut meliputi : Pola tanam , luas tanam, dan
jadwal taam berdasarkan debit andalan, juga jadwal pengeringan saluran dalam waktu
satu tahun atau lebih.
Dalam penentuan tata tanam dalam suatu DI perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Keinginan dan kebiasaan petani setempat
2. Kebijaksanaan pemerintah tentang produksi tanaman
3. Keseuaian tanaman dan lokasi
4. Ketersediaan air
5. Iklim khususnya curah hujan
6. Ketersediaan tenaga kerja
7. Sarana produksi pertanian

Perencanaan Tata Tanam meliputi :


1. Rencana Tata Tanam Global (setiap DI)
2. Rencana Tata Tanam Detil (setiap Tersier)

Bagi DI yang luas di samping memperhitunkan tenaga dan peralatan kerja juga
untuk menekan pemakaian air yang tinggi dan waktu ( jadwal pelaksanaan) disusun suatu
golongan. Selang (interval) antar waktu golongan tersebut ditentukan dengan keadaan di
lapangan dan paling sedikit 10 hari.

Perencanaan Pembagian dan Pemberian Air


Dari hasil perhitungan Rencana Tata Tanam dapt segera disusun rencana
pembagian dan pemberian pada masa irigasi musim hujan dan masa irigasi musim
kemarau, yaitu :

1. Rencana Pembagian dan Pembrian Air Musim Hujan.


Pada musim hujan untuk menghindari terjadinya genangan yang dapat merusak
tanaman, pengaturan pemberian air perlu memperhatikan :
- Besarnya curah hujan efektif
- Kondisi drainase yang ada

Pembagian da pembaerian air dapat dilaksanakan secara serentak (Continuous


flow), apabila debit yang tersedia sudah cukup, namun tetap memperhatikan sistem
golongan yang direncanakan dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
241

Lampiran 1. Lanjutan

2. Rencana Pembagian dan Pemberian Air Musim Kemarau.

Pada musim kemarau pembagian air disesuaikan dengan debit air yang tersedia dan
rencana tanam untuk masing-masing sekunder, sehingga bias diatur pembagian air
untuk setiap saluran petak sekunder.
Untuk DI yang besar (lebih dari satu DI Tk.II), perlu diatur pembagian air untuk
setiap Daerah Tk.II.

Apabila debit yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan, maka pembagian air diatur
proporsional dengan luas relatif palawija untuk masing-masing sekunder atau masing-
masing Dinas TkII., namun bila air tidak mencukupi (< 50% kebutuhan) diatur dengan
giliran. Pengaturan giliran perlu memperhatikan :
- Kebisaan yang telah berjalan dengan baik
- Efisiensi pemakaian air
- Kepastian saluran
- Periode giliran, interval waktu yang disusun tidak sampai mengakibatkan
tanaman mati.
Mengingat debit sungai setiap periode dapat terjadi perubahan baik bertambah
maupun berkurang, maka rencana pembagian air tersebut dibuat setiap periode 10 harian.
Untuk memudahkan pemantauan kondisi lapangan perlu digunakan Skema Operasi (SO)
yaitu ikhtisar asal, jumlah dan distribusi air serta pembuangan kelebihannya (kalau
memang ada sisa setelah dipakai), yang dapat memberikan gambaran sejauh mana
pelaksanaan yang dapat dilakukan dan penyimpangan terhadap perencanaan. Sedang
tingkat pengendalian debit air berkaitan dengan pembagian/distribusinya (Gambar 1).
Pola pelaksanaan operasi tersebut secara skematis dapat disimak pada Tabel 2,
sedangkan alur data pelaporan irigasi tertera pada Tabel 3.

Tabel 2. Tingkat pengendalian debit dan kriteria jaringan irigasi (JI).

Pengendalian Debit Kriteria Jaringan Irigasi (J.I)


Tipe Uraian
DPU Pengairan A JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu propinsi
Propinsi/Tk.I atau JI/bagian JI yang luas layanan meliputi lebih dari satu Balai SPDA
dan berada dalam satu propinsi

Balai SPDA B JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Balai
SPDA atau JI/bagian JI yang luas layanannya meliputi lebih dari satu
Daerah TK.II dan berada dalam satu Balai SPDA

Dinas Pengairan Tk.II C JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Daerah
Tk.II atau JI/bagian JI yang luas layanan meliputi lebih dari satu Cabang
Dinas Tingkat II dan berada dalam satu Daerah Tk.III

Cabsie/Cabang Dinas D JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Cabang
Pengairan Tk. II Dinas Tk.II atau bagian JI/satu Kemantren Pengairan dan berada dalam
satu Cabang Dinas Tingkat II.

Cabsie/Cabang Dinas E JI yang sumber air serta luas layanannya berada pada satu Kemantren
Pengairan Tk. II Pengairan

Keterangan :
Perda Nomor 15 Tahun 1986 pasal 1.
1. Jaringan Irigasi (J.I) ialah bangunan dan saluran yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk
pengaturan irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian air serta penggnaannya
2. Daerah Irigasi (DI) ialah kesatuan wilayah yang mendapat air melalui/dari satu jaringan irigasi.
242

Lampiran 1. Lanjutan

Tabel 3. Alur data pelaporan irigasi

Data Pimpinan Cab Seksi / Dinas Balai Dinas Tk I /


Tentang Kemantren Cab Din Tk II Tk II PSDA Propinsi

06-O Register
Hujan 03-O
Register 11-O 17-O Evaluasi

09-O 18-O Evaluasi Evaluasi


Debit dan
Kadar 01-O Peragaan SO Peragaan SO Peragaan SO Peragaan SO
Sedimen 04 - O 04 - O 04 - O 04 - O

04a – O 04a – O 04a – O 04a – O


JL type C JL type B JL
type
02 - O 05 - O
Tanaman 12- O Evaluasi
25a - H
Evaluasi

03 - O 07-O 07-O Evaluasi *)

Lapangan Tindakan Tindakan


Evaluasi

Kerusakan 10 - O 10 - O Evaluasi Evaluasi Evaluasi


Tanaman
15 - O

16 - O 16 – O **) Evaluasi **) Evaluasi **)

Keadaan 13 - O 13 - O
Waduk
19 - O 22 - O Evaluasi Evaluasi

20 - O 23 - O

21 - O

Produksi
P.I. Tk Kec P.I. Tk Kec
padi

Mutasi 24 - O 24 - O 24 - O Evaluasi Evaluasi


baku sawah
26 - O 27 - O 27 - O

Rencana Analisa 3
25 – O
Tata
(HIPPA)
Tanam
Analisa 2

Analisa 1

Keterangan :
*) Jika ada bencana alam
**) D.I. type B dan atau kabupaten
243

Lampiran 1. Lanjutan

LANGKAH-LANGKAH RENCANA PEMBAGIAN AIR 10 HARIAN


(Pada formulir 04 – O di Cabang Seksi/Cabang Dinas Tk.II)

Pelaksanaan 10 harian laporan :

1. Pindahkan data debit dari Formulir 01 – O meliputi :


- Debit, limpasan bendung dan intek primer sekunder atau debit titik
kontrol bila menerima air dari bagian jaringan irigasi di bagian hulu
(untuk intake yang langsung ke tersier tidak perlu).
Debit rata-rata 10 harian, semua saluran yang ada dan dijumlah
2. Pindahkan data LPR realisasi 10 hari laporan dari formulir 02 – O, atau hitung
dan masukkan masing-masing saluran
3. Hitung kehilangan/suplesi air pada saluran sekunder/primer, berikut hitung pula
efisien sejaringan irigasi (EI).

Total Q tertier
EI  100%  ......%
Q intake

Rencana/ Saran untuk 10 hari berikutnya :


1. Tentukan debit intake/titik kontrol
 Bila debit intake dan limpasan bendungan, cenderung naik atau cenderung
turun maka debit akhir masa irigasi (10 hari) dipakai dasar menentukan debit
rencana. Dapat pula sekaligus diperkirakan naik atau turun beberapa persen
berdasarkan pengalaman
 Bila debit intake dan limpasan bendungan naik turun maka debit rata-rata
intake/titik kontrol dipakai sebagai dasar menentukan deit neraca

2. Masukkan LPRI rencana/rameng dari formulir 02 – O dan jumlahkan menjadi LPR


sekunder/LPR primer

3. Tentukan FPRt rencana yaitu :

QP  EI QP  EI  (Q suplesi)
FPRT  atau atau disesuaikan
LPRP LPRp

dimana :
FPRt = Faktor palawija relatif di pintu tersier
Qp = Debit primer rencana
EI = Efisien Irigasi
LPRt = Luas Palawija Relatif di petak tersier
LPRp = Luaas Palawija Relatif se-saluran primer dan bila intakenya sekunder
disesuaikan yaitu LPRs (Total LPR semua petak tersiernya).
244

4. Tentukan debit tersier rencana yaitu LPRt x FPRt dan hitung pula debit-debit
saluran sekunder dan primer. Debit sekunder – Total debit tersiernya kali seper
efisien sekunder
5. Tentukan system pembagian air yaitu secara terus-menerus/bergiliran

KEPUTUSAN PEMBAGIAN AIR DARI CABANG DINAS PENGAIRAN


(Pada Formulir 04a – O)
1. Type jaringan irigasi D dan E pengendali debitnya Cabang dibuat Cabsie/Cabang
Dinas Tk.II merupakan keputusan
2. Type jaringan irigasi C, keputusan dari Dinas Tk.II dengan mengingat :
- Pembagian air sampai di pintu-pintu sadap tersier yang airnya berasal
dari satu sumber air (misalnya sungai) maka FPRtnya diusahakan sama
atau mendekati sama, baik tersier yang menyadap langsung maupun yang
intakenya berupa saluran sekunder atau primer, kecuali ada perbedaan
mencolok misalnya keadaan tanahnya berbeda jauh, dan sebagainya.

ISIAN KOLOM-KOLOM

Kolom 1: Nama Jaringan Irigasi/bagian jaringan irigasi


Kolom 2: Luas D.I./bagian D.I. (baku sawah)
Kolom 3: Faktor palawija relatif di pintu tersier
Kolom 4: Total luas palawija relatif se-J.I./bagian J.I.
Kolom 5: Total debit tersier se-J.I./bagian J.I.
Kolom 6: Efisiensi irigasi dari pintu saluran tersier samapi ke intake/titik kontrol bagian
jaringan irigasi (kolom 5 dibagi kolom 6 atau kolom 5 kali seper kolom 6)
Kolom 7: Debit intake/titik kontrol bagian jaringan irigasi (kolom 5 dibagi kolom 6
atau kolom 5 kali seper-kolom 6)
Kolom 8: Faktor Palawija Relatif di pintu intake/titik kontrol yaitu kolom 7 dibagi
kolom 4.

Kolom berikutnya adalah pembagian air pada hari-hari mengalir pada satu periode 10
harian. Keputusan ini dibuat oleh Casie/Cabang Dinas Tk.II apabila sumber air atau
system Irigasi/J.I-nya meliputi lebih dari satu Cabsie/Cabang Dinas Tk.II (J.I. tipe C).
245

Lampiran 2. Rata-rata penerimaan, biaya dan laba usahatani di lahan pesawahan


irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
(Rp. 103/Ha)
Kelompok Musim Periode Biaya Keuntungan
Penerimaan
komoditas tanam pengusahaan Tunai Total Tunai Total
Sub DAS Hulu:
Padi MH okt-jan 5311.5 2440.9 4708.2 2870.5 603.3
Padi MH nov-feb 5466.0 2509.3 4862.4 2956.6 603.6
Padi MH des-mar 5163.5 2372.9 4587.4 2790.5 576.1
Padi MH jan-apr 5106.7 2338.4 4534.0 2768.4 572.7
Padi MK1 feb-mei 5339.8 2413.7 4705.4 2926.1 634.4
Padi MK1 mar-jun 5398.5 2435.9 4777.9 2962.6 620.6
Padi MK1 apr-jul 5305.7 2394.9 4693.7 2910.8 612.0
Padi MK1 mei-ags 5419.2 2440.6 4795.0 2978.6 624.2
Padi MK2 jun-sep 5319.2 2464.5 4743.5 2854.7 575.7
Padi MK2 jul-okt 5298.4 2503.1 4728.5 2795.4 569.9
Padi MK2 ags-nov 5268.6 2756.9 4695.1 2511.7 573.5
Padi MK2 sep-des 5220.0 2712.4 4651.4 2507.5 568.6
P/H_1 MH okt-jan 6771.5 3164.5 6054.2 3607.0 717.2
P/H_1 MH nov-feb 6707.5 3134.4 5986.4 3573.1 721.1
P/H_1 MH des-mar 6785.0 3176.0 6054.3 3608.9 730.7
P/H_1 MH jan-apr 6792.2 3169.5 6067.5 3622.7 724.7
P/H_1 MK1 feb-mei 7775.6 3545.7 6922.8 4229.8 852.8
P/H_1 MK1 mar-jun 8077.8 3686.5 7213.5 4391.3 864.3
P/H_1 MK1 apr-jul 7956.7 3630.5 7087.1 4326.2 869.6
P/H_1 MK1 mei-ags 7968.7 3602.6 7080.5 4366.1 888.2
P/H_1 MK2 jun-sep 6672.3 3104.5 6001.2 3567.9 671.2
P/H_1 MK2 jul-okt 6703.6 3117.6 6054.3 3586.0 649.3
P/H_1 MK2 ags-nov 6647.5 3087.9 6004.2 3559.6 643.3
P/H_1 MK2 sep-des 6582.1 3052.0 5940.7 3530.2 641.4
P/H_2 MH okt-des 5412.8 2481.4 4808.7 2931.4 604.1
P/H_2 MH nov-jan 5446.1 2496.7 4844.0 2949.5 602.1
P/H_2 MH des-feb 5403.0 2476.9 4801.3 2926.1 601.7
P/H_2 MH jan-mar 5489.4 2516.5 4878.2 2972.9 611.3
P/H_2 MK1 feb-apr 5852.5 2699.0 5201.5 3153.5 651.0
P/H_2 MK1 mar-mei 5951.2 2744.6 5290.8 3206.7 660.4
P/H_2 MK1 apr-jun 5993.2 2763.9 5311.9 3229.3 681.3
P/H_2 MK1 mei-jul 5923.2 2731.6 5236.4 3191.5 686.7
P/H_2 MK2 jun-ags 6216.6 2937.3 5485.4 3279.3 731.3
P/H_2 MK2 jul-sep 6442.5 3044.1 5691.5 3398.4 751.0
P/H_2 MK2 ags-okt 6056.7 2861.8 5327.1 3194.9 729.6
P/H_2 MK2 sep-nov 6145.8 2903.9 5412.2 3241.9 733.6
Tebu Setahun okt-sep 8408.7 3943.5 7549.0 4465.2 859.7
246

Lampiran 2. Lanjutan
(Rp. 103/Ha)
Kelompok Musim Periode Biaya Keuntungan
Penerimaan
komoditas tanam pengusahaan Tunai Total Tunai Total
Sub DAS Tengah:
Padi MH okt-jan 5556.9 2572.1 4921.3 2984.8 635.7
Padi MH nov-feb 5500.8 2543.3 4889.1 2957.5 611.7
Padi MH des-mar 5372.6 2486.7 4768.9 2886.0 603.7
Padi MH jan-apr 5258.6 2425.1 4664.7 2833.5 594.0
Padi MK1 feb-mei 5438.0 2485.5 4799.6 2952.5 638.4
Padi MK1 mar-jun 5497.6 2508.3 4873.1 2989.3 624.6
Padi MK1 apr-jul 5490.5 2506.2 4861.6 2984.2 628.9
Padi MK1 mei-ags 5470.3 2496.3 4831.8 2974.0 638.5
Padi MK2 jun-sep 5407.0 2563.1 4808.2 2843.9 598.7
Padi MK2 jul-okt 5418.0 2568.3 4833.2 2849.6 584.8
Padi MK2 ags-nov 5493.5 2829.7 4904.9 2663.8 588.6
Padi MK2 sep-des 5505.4 2782.7 4922.1 2722.6 583.3
P/H_1 MH okt-jan 6806.3 3180.7 6085.3 3625.5 720.9
P/H_1 MH nov-feb 6914.9 3231.3 6171.6 3683.6 743.4
P/H_1 MH des-mar 6994.8 3274.3 6236.3 3720.5 758.6
P/H_1 MH jan-apr 7002.3 3267.5 6271.7 3734.7 730.6
P/H_1 MK1 feb-mei 7476.5 3409.4 6665.7 4067.1 810.8
P/H_1 MK1 mar-jun 7620.6 3477.8 6787.3 4142.8 833.3
P/H_1 MK1 apr-jul 7650.7 3490.9 6824.8 4159.8 825.9
P/H_1 MK1 mei-ags 7378.4 3335.7 6573.6 4042.7 804.8
P/H_1 MK2 jun-sep 6739.7 3135.8 6073.5 3603.9 666.2
P/H_1 MK2 jul-okt 6771.3 3149.1 6118.1 3622.2 653.2
P/H_1 MK2 ags-nov 6714.7 3119.1 6072.3 3595.6 642.4
P/H_1 MK2 sep-des 6648.6 3082.8 6013.2 3565.8 635.4
P/H_2 MH okt-des 5804.7 2661.0 5156.9 3143.6 647.8
P/H_2 MH nov-jan 5745.7 2634.0 5110.5 3111.7 635.2
P/H_2 MH des-feb 5681.6 2604.6 5048.8 3077.0 632.8
P/H_2 MH jan-mar 5786.9 2652.9 5159.4 3134.0 627.4
P/H_2 MK1 feb-apr 6158.2 2840.0 5441.1 3318.2 717.1
P/H_2 MK1 mar-mei 6258.9 2886.5 5553.7 3372.5 705.2
P/H_2 MK1 apr-jun 6297.0 2904.0 5602.6 3393.0 694.4
P/H_2 MK1 mei-jul 6221.6 2869.3 5532.4 3352.4 689.3
P/H_2 MK2 jun-ags 6516.8 3079.2 5748.2 3437.6 768.6
P/H_2 MK2 jul-sep 6532.0 3086.3 5770.5 3445.6 761.4
P/H_2 MK2 ags-okt 6234.5 2945.8 5494.8 3288.7 739.7
P/H_2 MK2 sep-nov 6148.2 2905.0 5418.6 3243.2 729.6
Tebu Setahun okt-sep 8610.7 4038.3 7730.3 4572.4 880.3
247

Lampiran 2. Lanjutan
(Rp. 103/Ha)
Kelompok Musim Periode Biaya Keuntungan
Penerimaan
komoditas tanam pengusahaan Tunai Total Tunai Total
Sub DAS Hilir:
Padi MH okt-jan 5411.8 2529.7 4786.6 2882.1 625.2
Padi MH nov-feb 5499.1 2550.0 4914.7 2949.0 584.4
Padi MH des-mar 5285.3 2453.4 4689.6 2831.8 595.7
Padi MH jan-apr 5200.3 2405.2 4611.2 2795.0 589.1
Padi MK1 feb-mei 5392.3 2471.7 4766.1 2920.6 626.2
Padi MK1 mar-jun 5446.0 2494.4 4839.4 2951.5 606.6
Padi MK1 apr-jul 5402.4 2472.9 4785.0 2929.6 617.5
Padi MK1 mei-ags 5342.2 2490.6 4705.2 2851.6 637.0
Padi MK2 jun-sep 5350.5 2538.3 4772.0 2812.2 578.5
Padi MK2 jul-okt 5170.7 2453.0 4606.4 2717.7 564.3
Padi MK2 ags-nov 5190.5 2701.7 4628.5 2488.7 562.0
Padi MK2 sep-des 5104.5 2658.2 4547.3 2446.3 557.2
P/H_1 MH okt-jan 6723.1 3141.9 6011.0 3581.3 712.1
P/H_1 MH nov-feb 6671.9 3117.8 5954.7 3554.1 717.2
P/H_1 MH des-mar 6748.9 3159.2 6006.0 3589.8 742.9
P/H_1 MH jan-apr 6756.1 3152.7 6023.2 3603.5 732.9
P/H_1 MK1 feb-mei 7401.7 3375.3 6599.0 4026.5 802.7
P/H_1 MK1 mar-jun 7544.4 3443.1 6747.9 4101.3 796.5
P/H_1 MK1 apr-jul 7574.2 3456.0 6794.8 4118.2 779.3
P/H_1 MK1 mei-ags 6861.9 3102.2 6104.0 3759.7 758.0
P/H_1 MK2 jun-sep 6807.1 3167.2 6160.7 3639.9 646.4
P/H_1 MK2 jul-okt 6839.0 3180.6 6176.6 3658.4 662.4
P/H_1 MK2 ags-nov 6311.8 2931.9 5713.6 3379.9 598.2
P/H_1 MK2 sep-des 6249.7 2897.8 5659.1 3351.9 590.6
P/H_2 MH okt-des 5349.5 2452.4 4752.5 2897.2 597.0
P/H_2 MH nov-jan 4699.4 2154.4 4115.8 2545.1 583.7
P/H_2 MH des-feb 4679.0 2145.0 4092.6 2534.0 586.3
P/H_2 MH jan-mar 5657.4 2593.5 5034.9 3063.9 622.6
P/H_2 MK1 feb-apr 5997.4 2765.8 5255.4 3231.5 742.0
P/H_2 MK1 mar-mei 6308.9 2909.5 5587.4 3399.4 721.5
P/H_2 MK1 apr-jun 6483.1 2989.8 5767.5 3493.2 715.6
P/H_2 MK1 mei-jul 6307.4 2908.8 5618.9 3398.6 688.5
P/H_2 MK2 jun-ags 6170.4 2915.5 5423.1 3254.9 747.2
P/H_2 MK2 jul-sep 6722.9 3176.6 5939.3 3546.4 783.7
P/H_2 MK2 ags-okt 6316.5 2984.5 5577.9 3332.0 738.6
P/H_2 MK2 sep-nov 5764.2 2723.5 5036.0 3040.6 728.1
Tebu Setahun okt-sep 8780.5 4117.9 7882.8 4662.6 897.7
248

Lampiran 3. Lokasi penelitian dalam peta Daerah Aliran Sungai Brantas

Sub DAS Sub DAS Sub DAS


Hulu Tengah Hilir

Lokasi Contoh
249

Lampiran 4. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di


Sub DAS Brantas Hulu untuk setiap kelompok komoditas
dirinci menurut waktu pengusahaannya
(103 m3/Ha)
Kelompok Siklus Bulan
Kode Total
komoditas (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep
Padi 4 X1 2.517 1.265 0.643 0.448 4.873
4 X2 1.734 0.967 0.562 0.461 3.724
4 X3 0.796 0.534 0.487 0.534 2.351
4 X4 0.485 0.518 0.679 0.780 2.462
4 X5 1.011 1.244 1.744 1.807 5.806
4 X6 1.244 1.571 2.154 2.084 7.053
4 X7 1.394 1.993 2.649 2.361 8.397
4 X8 2.172 2.913 2.657 1.952 9.694
4 X9 2.201 2.626 2.799 2.050 9.676
4 X10 1.700 2.543 2.797 2.610 9.650
4 X11 1.993 0.879 2.649 2.825 8.346
4 X12 2.227 1.052 0.205 2.945 6.429
Palawija/ 4 X13 1.039 0.420 0.135 0.016 1.610
hortikultur-1 4 X14 0.464 0.135 0.065 0.047 0.711
4 X15 0.148 0.070 0.111 0.093 0.422
4 X16 0.075 0.124 0.295 0.181 0.675
4 X17 0.197 0.228 0.311 0.215 0.951
4 X18 0.342 0.402 0.544 0.451 1.739
4 X19 0.474 0.552 0.881 0.526 2.433
4 X20 0.682 0.933 1.148 0.609 3.372
4 X21 0.780 1.314 1.527 0.604 4.225
4 X22 0.456 0.985 1.457 1.454 4.352
4 X23 1.174 0.301 1.288 1.690 4.453
4 X24 1.244 0.596 0.016 1.431 3.287
Palawija/ 3 X25 0.938 0.422 0.104 1.464
hortikultur-2 3 X26 0.420 0.137 0.065 0.622
3 X27 0.117 0.070 0.153 0.340
3 X28 0.083 0.163 0.376 0.622
3 X29 0.226 0.283 0.407 0.916
3 X30 0.381 0.472 0.645 1.498
3 X31 0.524 0.679 1.078 2.281
3 X32 0.739 1.081 1.304 3.124
3 X33 0.894 1.366 1.317 3.577
3 X34 1.109 1.617 1.343 4.069
3 X35 0.985 1.384 1.646 4.015
3 X36 1.182 0.555 1.446 3.183
Tebu 12 X37 1.449 0.710 0.238 0.119 0.220 0.428 0.721 0.861 0.886 0.905 0.995 1.337 8.869
250

Lampiran 5. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di


Sub DAS Brantas Tengah untuk setiap kelompok komoditas
dirinci menurut waktu pengusahaannya
(103 m3/Ha)
Kelompok Siklus Bulan
Kode Total
komoditas (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep
Padi 4 Y1 2.532 1.260 0.635 0.441 4.868
4 Y2 1.724 0.954 0.550 0.451 3.679
4 Y3 0.785 0.524 0.477 0.526 2.312
4 Y4 0.477 0.508 0.669 0.772 2.426
4 Y5 0.990 1.223 1.724 1.791 5.728
4 Y6 1.223 1.553 2.136 2.081 6.993
4 Y7 1.379 1.975 2.644 2.366 8.364
4 Y8 2.154 2.908 2.659 1.965 9.686
4 Y9 2.203 2.631 2.815 2.045 9.694
4 Y10 1.708 2.548 2.812 2.639 9.707
4 Y11 1.993 0.884 2.665 2.856 8.398
4 Y12 2.239 1.045 0.202 2.978 6.464
Palawija/ 4 Y13 1.045 0.420 0.135 0.016 1.616
hortikultur-1 4 Y14 0.464 0.135 0.062 0.044 0.705
4 Y15 0.143 0.070 0.109 0.093 0.415
4 Y16 0.075 0.124 0.293 0.176 0.668
4 Y17 0.194 0.223 0.308 0.215 0.940
4 Y18 0.340 0.399 0.539 0.448 1.726
4 Y19 0.469 0.547 0.879 0.526 2.421
4 Y20 0.677 0.931 1.151 0.612 3.371
4 Y21 0.778 1.317 1.537 0.612 4.244
4 Y22 0.461 0.988 1.467 1.470 4.386
4 Y23 1.182 0.301 1.296 1.708 4.487
4 Y24 1.252 0.594 0.016 1.446 3.308
Palawija/ 3 Y25 0.946 0.422 0.101 1.469
hortikultur-2 3 Y26 0.420 0.135 0.062 0.617
3 Y27 0.117 0.067 0.148 0.332
3 Y28 0.083 0.161 0.371 0.615
3 Y29 0.220 0.275 0.402 0.897
3 Y30 0.376 0.464 0.640 1.480
3 Y31 0.516 0.674 1.073 2.263
3 Y32 0.734 1.076 1.304 3.114
3 Y33 0.889 1.369 1.327 3.585
3 Y34 1.109 1.628 1.358 4.095
3 Y35 0.993 1.392 1.664 4.049
3 Y36 1.190 0.552 1.462 3.204
Tebu 12 Y37 1.457 0.710 0.228 0.114 0.215 0.422 0.713 0.861 0.892 0.933 1.001 1.350 8.896
251

Lampiran 6. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di


Sub DAS Brantas Hilir untuk setiap kelompok komoditas
dirinci menurut waktu pengusahaannya
(103 m3/Ha)
Kelompok Siklus Bulan
Kode Total
komoditas (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep
Padi 4 Z1 2.538 1.247 0.622 0.430 4.837
4 Z2 1.708 0.938 0.537 0.443 3.626
4 Z3 0.772 0.508 0.467 0.516 2.263
4 Z4 0.467 0.495 0.653 0.759 2.374
4 Z5 0.967 1.200 1.695 1.770 5.632
4 Z6 1.198 1.527 2.110 2.074 6.909
4 Z7 1.356 1.952 2.631 2.356 8.295
4 Z8 2.128 2.890 2.652 1.967 9.637
4 Z9 2.195 2.623 2.823 2.045 9.686
4 Z10 1.713 2.540 2.820 2.657 9.730
4 Z11 1.988 0.892 2.670 2.877 8.427
4 Z12 2.245 1.037 0.197 2.999 6.478
Palawija/ 4 Z13 1.047 0.415 0.130 0.013 1.605
hortikultur-1 4 Z14 0.459 0.130 0.060 0.044 0.693
4 Z15 0.143 0.067 0.106 0.091 0.407
4 Z16 0.073 0.122 0.285 0.174 0.654
4 Z17 0.192 0.220 0.303 0.213 0.928
4 Z18 0.332 0.391 0.534 0.446 1.703
4 Z19 0.461 0.542 0.871 0.526 2.400
4 Z20 0.669 0.923 1.148 0.614 3.354
4 Z21 0.770 1.314 1.540 0.614 4.238
4 Z22 0.459 0.982 1.470 1.480 4.391
4 Z23 1.185 0.298 1.299 1.721 4.503
4 Z24 1.255 0.591 0.016 1.454 3.316
Palawija/ 3 Z25 0.949 0.417 0.101 1.467
hortikultur-2 3 Z26 0.415 0.132 0.060 0.607
3 Z27 0.114 0.067 0.145 0.326
3 Z28 0.080 0.158 0.365 0.603
3 Z29 0.215 0.270 0.397 0.882
3 Z30 0.368 0.459 0.632 1.459
3 Z31 0.508 0.666 1.065 2.239
3 Z32 0.726 1.068 1.299 3.093
3 Z33 0.881 1.363 1.330 3.574
3 Z34 1.104 1.630 1.369 4.103
3 Z35 0.993 1.394 1.677 4.064
3 Z36 1.192 0.547 1.472 3.211
Tebu 12 Z37 1.459 0.715 0.220 0.109 0.207 0.412 0.705 0.855 0.897 0.933 1.003 1.363 8.878
252

Lampiran 7. Kebutuhan modal tunai usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS


Brantas, 1999/2000
(Rp. 106/Ha)
Kelompok Musim Periode Sub DAS Sub DAS Sub DAS
komoditas pengusahaan Hulu Tengah Hilir
Padi MH okt-jan 2.441 2.572 2.530
Padi MH nov-feb 2.485 2.494 2.480
Padi MH des-mar 2.373 2.487 2.453
Padi MH jan-apr 2.338 2.425 2.405
Padi MK1 feb-mei 2.414 2.485 2.472
Padi MK1 mar-jun 2.436 2.508 2.494
Padi MK1 apr-jul 2.395 2.506 2.473
Padi MK1 mei-ags 2.441 2.496 2.491
Padi MK2 jun-sep 2.464 2.563 2.518
Padi MK2 jul-okt 2.493 2.468 2.446
Padi MK2 ags-nov 2.557 2.530 2.502
Padi MK2 sep-des 2.512 2.583 2.518
P/H_1 MH okt-jan 3.964 3.981 3.942
P/H_1 MH nov-feb 3.934 4.031 3.918
P/H_1 MH des-mar 3.976 4.074 3.959
P/H_1 MH jan-apr 3.969 4.068 3.953
P/H_1 MK1 feb-mei 4.268 4.131 4.097
P/H_1 MK1 mar-jun 4.409 4.200 4.165
P/H_1 MK1 apr-jul 4.353 4.213 4.178
P/H_1 MK1 mei-ags 4.325 4.058 3.824
P/H_1 MK2 jun-sep 3.904 3.936 3.967
P/H_1 MK2 jul-okt 3.918 3.949 3.981
P/H_1 MK2 ags-nov 3.888 3.919 3.732
P/H_1 MK2 sep-des 3.852 3.883 3.698
P/H_2 MH okt-des 2.481 2.561 2.452
P/H_2 MH nov-jan 2.497 2.534 2.354
P/H_2 MH des-feb 2.477 2.505 2.345
P/H_2 MH jan-mar 2.517 2.653 2.594
P/H_2 MK1 feb-apr 2.699 2.840 2.766
P/H_2 MK1 mar-mei 2.745 2.886 2.910
P/H_2 MK1 apr-jun 2.764 2.904 2.990
P/H_2 MK1 mei-jul 2.732 2.869 2.909
P/H_2 MK2 jun-ags 2.937 3.079 2.915
P/H_2 MK2 jul-sep 3.044 3.086 3.177
P/H_2 MK2 ags-okt 2.862 2.946 2.985
P/H_2 MK2 sep-nov 2.904 2.905 2.824
Tebu Setahun okt-sep 3.943 4.039 4.095
253

Lampiran 8. Kebutuhan tenaga kerja usahatani untuk setiap kelompok komoditas


di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 *)

Kelompok Periode Hulu Tengah Hilir


Musim
komoditas pengusahaan Manusia Mesin Manusia Mesin Manusia Mesin
Padi MH okt-jan 175.8 3.1 173.2 3.0 173.7 3.1
Padi MH nov-feb 182.8 3.2 173.2 3.0 177.1 3.1
Padi MH des-mar 176.8 3.1 173.2 3.0 174.3 3.1
Padi MH jan-apr 178.7 3.1 173.2 3.0 175.2 3.1
Padi MK1 feb-mei 180.9 2.9 174.1 2.8 176.6 2.9
Padi MK1 mar-jun 180.9 2.9 174.1 2.8 176.6 2.9
Padi MK1 apr-jul 178.0 2.9 174.1 2.8 175.2 2.9
Padi MK1 mei-ags 182.2 3.0 174.1 2.8 177.2 2.9
Padi MK2 jun-sep 192.9 2.8 187.5 2.7 189.4 2.8
Padi MK2 jul-okt 195.5 2.8 187.5 2.7 182.7 2.8
Padi MK2 ags-nov 195.5 2.8 187.5 2.7 182.6 2.8
Padi MK2 sep-des 195.6 2.8 187.5 2.7 182.7 2.8
P/H_1 MH okt-jan 197.8 1.0 185.8 1.0 187.2 1.0
P/H_1 MH nov-feb 192.8 1.0 185.8 1.0 182.8 1.0
P/H_1 MH des-mar 192.8 1.0 185.8 1.0 182.8 1.0
P/H_1 MH jan-apr 192.8 1.0 185.8 1.0 182.8 1.0
P/H_1 MK1 feb-mei 187.6 2.5 168.6 2.2 170.2 2.3
P/H_1 MK1 mar-jun 191.2 2.5 168.6 2.2 170.2 2.3
P/H_1 MK1 apr-jul 187.6 2.5 168.6 2.2 170.2 2.3
P/H_1 MK1 mei-ags 194.8 2.6 168.6 2.2 159.9 2.3
P/H_1 MK2 jun-sep 149.6 2.2 141.2 2.1 145.5 2.1
P/H_1 MK2 jul-okt 149.6 2.2 141.2 2.1 145.5 2.1
P/H_1 MK2 ags-nov 149.6 2.2 141.2 2.1 135.4 2.1
P/H_1 MK2 sep-des 149.6 2.2 141.2 2.1 135.4 2.1
P/H_2 MH okt-des 181.0 0.2 181.4 0.2 170.6 0.2
P/H_2 MH nov-jan 184.0 0.2 181.4 0.2 151.4 0.2
P/H_2 MH des-feb 184.6 0.2 181.4 0.2 152.4 0.2
P/H_2 MH jan-mar 184.2 0.2 181.4 0.2 180.9 0.2
P/H_2 MK1 feb-apr 173.6 0.2 170.7 0.2 169.6 0.2
P/H_2 MK1 mar-mei 173.7 0.2 170.7 0.2 175.6 0.2
P/H_2 MK1 apr-jun 173.9 0.2 170.7 0.2 179.3 0.2
P/H_2 MK1 mei-jul 173.9 0.2 170.7 0.2 176.6 0.2
P/H_2 MK2 jun-ags 128.5 0.3 125.9 0.3 121.6 0.3
P/H_2 MK2 jul-sep 132.9 0.3 125.9 0.3 132.2 0.3
P/H_2 MK2 ags-okt 130.9 0.3 125.9 0.3 130.1 0.3
P/H_2 MK2 sep-nov 134.7 0.3 125.9 0.3 120.4 0.3
Tebu Setahun MH 232.4 2.0 227.0 1.9 233.6 1.9
*) Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah Hari Orang Kerja setara pria (HOKP), sedangkan
untuk tenaga kerja mesin adalah Hari Kerja Mesin. Keduanya adalah untuk satu siklus produksi.
254

Lampiran 9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI

MAX 603.27X1 + 603.56X2 + 576.12X3 + 572.70X4 + 634.44X5 + 620.59X6 + 611.99X7 +


624.21X8 + 575.70X9 + 569.90X10 + 573.47X11 + 568.55X12 + 717.24X13 + 721.05X14 +
730.70X15 + 724.66X16 + 852.77X17 + 864.32X18 + 869.57X19 + 888.18X20 + 671.17X21
+ 649.26X22 + 643.34X23 + 641.40X24 + 604.06X25 + 602.09X26 + 601.73X27 +
611.26X28 + 651.00X29 + 660.40X30 + 681.28X31 + 686.72X32 + 731.27X33 + 751.00X34
+ 729.61X35 + 733.60X36 + 859.68X37 + 635.68Y1 + 611.72Y2 + 603.72Y3 + 593.96Y4 +
638.40Y5 + 624.56Y6 + 628.86Y7 + 638.46Y8 + 598.74Y9 + 584.76Y10 + 588.60Y11 +
583.29Y12 + 720.93Y13 + 743.35Y14 + 758.55Y15 + 730.57Y16 + 810.83Y17 + 833.33Y18
+ 825.89Y19 + 804.78Y20 + 666.19Y21 + 653.18Y22 + 642.40Y23 + 635.39Y24 +
647.80Y25 + 635.21Y26 + 632.76Y27 + 627.44Y28 + 717.08Y29 + 705.24Y30 + 694.43Y31
+ 689.25Y32 + 768.57Y33 + 761.43Y34 + 739.71Y35 + 729.59Y36 + 880.33Y37 + 625.20Z1
+ 584.41Z2 + 595.67Z3 + 589.09Z4 + 626.17Z5 + 606.56Z6 + 617.45Z7 + 637.00Z8 +
578.48Z9 + 564.29Z10 + 562.00Z11 + 557.19Z12 + 712.12Z13 + 717.23Z14 + 742.89Z15 +
732.90Z16 + 802.73Z17 + 796.49Z18 + 779.33Z19 + 757.95Z20 + 646.42Z21 + 662.38Z22
+ 598.22Z23 + 590.56Z24 + 597.00Z25 + 583.69Z26 + 586.32Z27 + 622.57Z28 +
741.96Z29 + 721.47Z30 + 715.57Z31 + 688.50Z32 + 747.21Z33 + 783.69Z34 + 738.60Z35
+ 728.13Z36 + 897.69Z37
SUBJECT TO
1) 2.517X1 + 1.700X10 + 1.993X11 + 2.227X12 + 1.039X13 + 0.456X22 + 1.174X23 +
1.244X24 + 0.938X25 + 0.985X35 + 1.182X36 + 1.449X37 + 1.000A10 <= 26188.273
2) 1.265X1 + 1.734X2 + 0.879X11 + 1.052X12 + 0.420X13 + 0.464X14 + 0.301X23 +
0.596X24 + 0.422X25 + 0.420X26 + 0.555X36 + 0.710X37 + 1.000A11 <= 29655.456
3) 0.643X1 + 0.967X2 + 0.796X3 + 0.205X12 + 0.135X13 + 0.135X14 + 0.148X15 +
0.016X24 + 0.104X25 + 0.137X26 + 0.117X27 + 0.238X37 <= 41406.422
4) 0.448X1 + 0.562X2 + 0.534X3 + 0.485X4 + 0.016X13 + 0.065X14 + 0.070X15 +
0.075X16 + 0.065X26 + 0.070X27 + 0.083X28 + 0.119X37 <= 42621.811
5) 0.461X2 + 0.487X3 + 0.518X4 + 1.011X5 + 0.047X14 + 0.111X15 + 0.124X16 +
0.197X17 + 0.153X27 + 0.163X28 + 0.226X29 + 0.220X37 <= 41130.893
6) 0.534X3 + 0.679X4 + 1.244X5 + 1.244X6 + 0.093X15 + 0.295X16 + 0.228X17 +
0.342X18 + 0.376X28 + 0.283X29 + 0.381X30 + 0.428X37 <= 39173.933
7) 0.780X4 + 1.744X5 + 1.571X6 + 1.394X7 + 0.181X16 + 0.311X17 + 0.402X18 +
0.474X19 + 0.407X29 + 0.472X30 + 0.524X31 + 0.721X37 <= 35956.742
8) 1.807X5 + 2.154X6 + 1.993X7 + 2.172X8 + 0.215X17 + 0.544X18 + 0.552X19 +
0.682X20 + 0.645X30 + 0.679X31 + 0.739X32 + 0.861X37 <= 31791.658
9) 2.084X6 + 2.649X7 + 2.913X8 + 2.201X9 + 0.451X18 + 0.881X19 + 0.933X20 +
0.780X21 + 1.078X31 + 1.081X32 + 0.894X33 + 0.886X37 + 1.000A6 <= 31405.258
10) 2.361X7 + 2.657X8 + 2.626X9 + 2.543X10 + 0.526X19 + 1.148X20 + 1.314X21 +
0.985X22 + 1.304X32 + 1.366X33 + 1.109X34 + 0.905X37 + 1.000A7 <= 26683.824
11) 1.952X8 + 2.799X9 + 2.797X10 + 2.649X11 + 0.609X20 + 1.527X21 + 1.457X22 +
1.288X23 + 1.317X33 + 1.617X34 + 1.384X35 + 0.995X37 + 1.000A8 <= 26077.456
12) 2.050X9 + 2.610X10 + 2.825X11 + 2.945X12 + 0.604X21 + 1.454X22 + 1.690X23 +
1.431X24 + 1.343X34 + 1.646X35 + 1.446X36 + 1.337X37 + 1.000A9 <= 25185.643
13) 2.532Y1 + 1.708Y10 + 1.993Y11 + 2.239Y12 + 1.045Y13 + 0.461Y22 + 1.182Y23 +
1.252Y24 + 0.946Y25 + 0.993Y35 + 1.190Y36 + 1.457Y37 - 1.000B10 + 1.000C10
<= 21499.464
14) 1.260Y1 + 1.724Y2 + 0.884Y11 + 1.045Y12 + 0.420Y13 + 0.464Y14 + 0.301Y23 +
0.594Y24 + 0.422Y25 + 0.420Y26 + 0.552Y36 + 0.710Y37 - 1.000B11 + 1.000C11
<= 31917.820
15) 0.635Y1 + 0.954Y2 + 0.785Y3 + 0.202Y12 + 0.135Y13 + 0.135Y14 + 0.143Y15 +
0.016Y24 + 0.101Y25 + 0.135Y26 + 0.117Y27 + 0.228Y37 <= 65560.234
16) 0.441Y1 + 0.550Y2 + 0.524Y3 + 0.477Y4 + 0.016Y13 + 0.062Y14 + 0.070Y15 +
0.075Y16 + 0.062Y26 + 0.067Y27 + 0.083Y28 + 0.114Y37 <= 68341.968
17) 0.451Y2 + 0.477Y3 + 0.508Y4 + 0.990Y5 + 0.044Y14 + 0.109Y15 + 0.124Y16 +
0.194Y17 + 0.148Y27 + 0.161Y28 + 0.220Y29 + 0.215Y37 <= 64715.760
18) 0.526Y3 + 0.669Y4 + 1.223Y5 + 1.223Y6 + 0.093Y15 + 0.293Y16 + 0.223Y17 +
0.340Y18 + 0.371Y28 + 0.275Y29 + 0.376Y30 + 0.422Y37 <= 60389.971
255

Lampiran 9. Lanjutan

19) 0.772Y4 + 1.724Y5 + 1.553Y6 + 1.379Y7 + 0.176Y16 + 0.308Y17 + 0.399Y18 +


0.469Y19 + 0.402Y29 + 0.464Y30 + 0.516Y31 + 0.713Y37 <= 52347.254
20) 1.791Y5 + 2.136Y6 + 1.975Y7 + 2.154Y8 + 0.215Y17 + 0.539Y18 + 0.547Y19 +
0.677Y20 + 0.640Y30 + 0.674Y31 + 0.734Y32 + 0.861Y37 <= 43303.766
21) 2.081Y6 + 2.644Y7 + 2.908Y8 + 2.203Y9 + 0.448Y18 + 0.879Y19 + 0.931Y20 +
0.778Y21 + 1.073Y31 + 1.076Y32 + 0.889Y33 + 0.892Y37 - 1.000B6 + 1.000C6 <=
34745.098
22) 2.366Y7 + 2.659Y8 + 2.631Y9 + 2.548Y10 + 0.526Y19 + 1.151Y20 + 1.317Y21 +
0.988Y22 + 1.304Y32 + 1.369Y33 + 1.109Y34 + 0.933Y37 - 1.000B7 + 1.000C7 <=
22422.858
23) 1.965Y8 + 2.815Y9 + 2.812Y10 + 2.665Y11 + 0.612Y20 + 1.537Y21 + 1.467Y22 +
1.296Y23 + 1.327Y33 + 1.628Y34 + 1.392Y35 + 1.001Y37 - 1.000B8 + 1.000C8 <=
21204.820
24) 2.045Y9 + 2.639Y10 + 2.856Y11 + 2.978Y12 + 0.612Y21 + 1.470Y22 + 1.708Y23 +
1.446Y24 + 1.358Y34 + 1.664Y35 + 1.462Y36 + 1.350Y37 - 1.000B9 + 1.000C9 <=
20490.657
25) 2.538Z1 + 1.713Z10 + 1.988Z11 + 2.245Z12 + 1.047Z13 + 0.459Z22 + 1.185Z23 +
1.255Z24 + 0.949Z25 + 0.993Z35 + 1.192Z36 + 1.459Z37 - 1.000D10 <= 17906.573
26) 1.247Z1 + 1.708Z2 + 0.892Z11 + 1.037Z12 + 0.415Z13 + 0.459Z14 + 0.298Z23 +
0.591Z24 + 0.417Z25 + 0.415Z26 + 0.547Z36 + 0.715Z37 - 1.000D11 <= 26958.355
27) 0.622Z1 + 0.938Z2 + 0.772Z3 + 0.197Z12 + 0.130Z13 + 0.130Z14 + 0.143Z15 +
0.016Z24 + 0.101Z25 + 0.132Z26 + 0.114Z27 + 0.220Z37 <= 61861.968
28) 0.430Z1 + 0.537Z2 + 0.508Z3 + 0.467Z4 + 0.013Z13 + 0.060Z14 + 0.067Z15 +
0.073Z16 + 0.060Z26 + 0.067Z27 + 0.080Z28 + 0.109Z37 <= 63571.910
29) 0.443Z2 + 0.467Z3 + 0.495Z4 + 0.967Z5 + 0.044Z14 + 0.106Z15 + 0.122Z16 +
0.192Z17 + 0.145Z27 + 0.158Z28 + 0.215Z29 + 0.207Z37 <= 61250.515
30) 0.516Z3 + 0.653Z4 + 1.200Z5 + 1.198Z6 + 0.091Z15 + 0.285Z16 + 0.220Z17 +
0.332Z18 + 0.365Z28 + 0.270Z29 + 0.368Z30 + 0.412Z37 <= 56904.509
31) 0.759Z4 + 1.695Z5 + 1.527Z6 + 1.356Z7 + 0.174Z16 + 0.303Z17 + 0.391Z18 +
0.461Z19 + 0.397Z29 + 0.459Z30 + 0.508Z31 + 0.705Z37 <= 49529.232
32) 1.770Z5 + 2.110Z6 + 1.952Z7 + 2.128Z8 + 0.213Z17 + 0.534Z18 + 0.542Z19 +
0.669Z20 + 0.632Z30 + 0.666Z31 + 0.726Z32 + 0.855Z37 <= 42772.147
33) 2.074Z6 + 2.631Z7 + 2.890Z8 + 2.195Z9 + 0.446Z18 + 0.871Z19 + 0.923Z20 +
0.770Z21 + 1.065Z31 + 1.068Z32 + 0.881Z33 + 0.897Z37 - 1.000D6 <= 31822.243
34) 2.356Z7 + 2.652Z8 + 2.623Z9 + 2.540Z10 + 0.526Z19 + 1.148Z20 + 1.314Z21 +
0.982Z22 + 1.299Z32 + 1.363Z33 + 1.104Z34 + 0.933Z37 - 1.000D7 <= 18749.232
35) 1.967Z8 + 2.823Z9 + 2.820Z10 + 2.670Z11 + 0.614Z20 + 1.540Z21 + 1.470Z22 +
1.299Z23 + 1.330Z33 + 1.630Z34 + 1.394Z35 + 1.003Z37 - 1.000D8 <= 17862.250
36) 2.045Z9 + 2.657Z10 + 2.877Z11 + 2.999Z12 + 0.614Z21 + 1.480Z22 + 1.721Z23 +
1.454Z24 + 1.369Z34 + 1.677Z35 + 1.472Z36 + 1.363Z37 - 1.000D9 <= 16498.080
37) 2.517X1 + 1.700X10 + 1.993X11 + 2.227X12 + 1.039X13 + 0.456X22 + 1.174X23 +
1.244X24 + 0.938X25 + 0.985X35 + 1.182X36 + 1.449X37 >= 11390.803
38) 1.265X1 + 1.734X2 + 0.879X11 + 1.052X12 + 0.420X13 + 0.464X14 + 0.301X23 +
0.596X24 + 0.422X25 + 0.420X26 + 0.555X36 + 0.710X37 >= 15183.936
39) 2.084X6 + 2.649X7 + 2.913X8 + 2.201X9 + 0.451X18 + 0.881X19 + 0.933X20 +
0.780X21 + 1.078X31 + 1.081X32 + 0.894X33 + 0.886X37 >= 16672.781
40) 2.361X7 + 2.657X8 + 2.626X9 + 2.543X10 + 0.526X19 + 1.148X20 + 1.314X21 +
0.985X22 + 1.304X32 + 1.366X33 + 1.109X34 + 0.905X37 >= 12236.314
41) 1.952X8 + 2.799X9 + 2.797X10 + 2.649X11 + 0.609X20 + 1.527X21 + 1.457X22 +
1.288X23 + 1.317X33 + 1.617X34 + 1.384X35 + 0.995X37 >= 11600.237
42) 2.050X9 + 2.610X10 + 2.825X11 + 2.945X12 + 0.604X21 + 1.454X22 + 1.690X23 +
1.431X24 + 1.343X34 + 1.646X35 + 1.446X36 + 1.337X37 >= 10665.043
43) 2.532Y1 + 1.708Y10 + 1.993Y11 + 2.239Y12 + 1.045Y13 + 0.461Y22 + 1.182Y23 +
1.252Y24 + 0.946Y25 + 0.993Y35 + 1.190Y36 + 1.457Y37 >= 24404.976
256

Lampiran 9. Lanjutan

44) 1.260Y1 + 1.724Y2 + 0.884Y11 + 1.045Y12 + 0.420Y13 + 0.464Y14 + 0.301Y23 +


0.594Y24 + 0.422Y25 + 0.420Y26 + 0.552Y36 + 0.710Y37 >= 34917.610
45) 2.081Y6 + 2.644Y7 + 2.908Y8 + 2.203Y9 + 0.448Y18 + 0.879Y19 + 0.931Y20 +
0.778Y21 + 1.073Y31 + 1.076Y32 + 0.889Y33 + 0.892Y37 >= 38919.398
46) 2.366Y7 + 2.659Y8 + 2.631Y9 + 2.548Y10 + 0.526Y19 + 1.151Y20 + 1.317Y21 +
0.988Y22 + 1.304Y32 + 1.369Y33 + 1.109Y34 + 0.933Y37 >= 26490.499
47) 1.965Y8 + 2.815Y9 + 2.812Y10 + 2.665Y11 + 0.612Y20 + 1.537Y21 + 1.467Y22 +
1.296Y23 + 1.327Y33 + 1.628Y34 + 1.392Y35 + 1.001Y37 >= 24541.574
48) 2.045Y9 + 2.639Y10 + 2.856Y11 + 2.978Y12 + 0.612Y21 + 1.470Y22 + 1.708Y23 +
1.446Y24 + 1.358Y34 + 1.664Y35 + 1.462Y36 + 1.350Y37 >= 23437.642
49) 2.538Z1 + 1.713Z10 + 1.988Z11 + 2.245Z12 + 1.047Z13 + 0.459Z22 + 1.185Z23 +
1.255Z24 + 0.949Z25 + 0.993Z35 + 1.192Z36 + 1.459Z37 >= 23090.573
50) 1.247Z1 + 1.708Z2 + 0.892Z11 + 1.037Z12 + 0.415Z13 + 0.459Z14 + 0.298Z23 +
0.591Z24 + 0.417Z25 + 0.415Z26 + 0.547Z36 + 0.715Z37 >= 32142.355
51) 2.074Z6 + 2.631Z7 + 2.890Z8 + 2.195Z9 + 0.446Z18 + 0.871Z19 + 0.923Z20 +
0.770Z21 + 1.065Z31 + 1.068Z32 + 0.881Z33 + 0.897Z37 >= 36591.005
52) 2.356Z7 + 2.652Z8 + 2.623Z9 + 2.540Z10 + 0.526Z19 + 1.148Z20 + 1.314Z21 +
0.982Z22 + 1.299Z32 + 1.363Z33 + 1.104Z34 + 0.933Z37 >= 23907.312
53) 1.967Z8 + 2.823Z9 + 2.820Z10 + 2.670Z11 + 0.614Z20 + 1.540Z21 + 1.470Z22 +
1.299Z23 + 1.330Z33 + 1.630Z34 + 1.394Z35 + 1.003Z37 >= 23279.530
54) 2.045Z9 + 2.657Z10 + 2.877Z11 + 2.999Z12 + 0.614Z21 + 1.480Z22 + 1.721Z23 +
1.454Z24 + 1.369Z34 + 1.677Z35 + 1.472Z36 + 1.363Z37 >= 21656.160
55) 1.00B10 - 0.76A10 = 0.00
56) 1.00B11 - 0.79A11 = 0.00
57) 1.00B6 - 0.79A6 = 0.00
58) 1.00B7 - 0.79A7 = 0.00
59) 1.00B8 - 0.78A8 = 0.00
60) 1.00B9 - 0.77A9 = 0.00
61) 1.00D10 - 0.76C10 = 0.00
62) 1.00D11 - 0.77C11 = 0.00
63) 1.00D6 - 0.78C6 = 0.00
64) 1.00D7 - 0.78C7 = 0.00
65) 1.00D8 - 0.76C8 = 0.00
66) 1.00D9 - 0.76C9 = 0.00
67) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 +
1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X37 <= 12321.00
68) 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X8 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 +
1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 + 1.00X37 <= 12321.00
69) 1.00X9 + 1.00X10 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X21 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24
+ 1.00X33 + 1.00X34 + 1.00X35 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
70) 1.00X1 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X24 + 1.00X25 + 1.00X26 - 1.00X5 -
1.00X17 - 1.00X29 >= 0.00
71) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X26 + 1.00X27 - 1.00X5 - 1.00X6
- 1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X29 - 1.00X30 >= 0.00
72) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X26 + 1.00X27 +
1.00X28 - 1.00X5 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X19 -
1.00X29 - 1.00X30 - 1.00X31 >= 0.00
73) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 +
1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 - 1.00X5 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 -
1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X30 - 1.00X31 - 1.00X32 >=
0.00
257

Lampiran 9. Lanjutan

74) 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 +


1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X29 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 -
1.00X18 - 1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X31 - 1.00X32 - 1.00X33 >=
0.00
75) 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X18 +
1.00X28 + 1.00X29 + 1.00X30 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 -
1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X32 - 1.00X33 - 1.00X34 >=
0.00
76) 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 +
1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 -
1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X23 - 1.00X33 - 1.00X34 - 1.00X35 >=
0.00
77) 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X8 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 +
1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 - 1.00X12 -
1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X23 - 1.00X24 - 1.00X34 - 1.00X35 - 1.00X36 >=
0.00
78) 1.00X1 + 1.00X10 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24
+ 1.00X25 + 1.00X35 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
79) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X23 + 1.00X24
+ 1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
80) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X24 +
1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X37 <= 12321.00
81) 1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 +
1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X37 <= 12321.00
82) 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 +
1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X29 + 1.00X37 <= 12321.00
83) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 +
1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y37 <= 28904.00
84) 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y8 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 +
1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 + 1.00Y37 <= 28904.00
85) 1.00Y9 + 1.00Y10 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y21 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24
+ 1.00Y33 + 1.00Y34 + 1.00Y35 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
86) 1.00Y1 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y24 + 1.00Y25 + 1.00Y26 - 1.00Y5 -
1.00Y17 - 1.00Y29 >= 0.00
87) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y26 + 1.00Y27 - 1.00Y5 - 1.00Y6
- 1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y29 - 1.00Y30 >= 0.00
88) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y26 + 1.00Y27 +
1.00Y28 - 1.00Y5 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y19 -
1.00Y29 - 1.00Y30 - 1.00Y31 >= 0.00
89) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 +
1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 - 1.00Y5 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 -
1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y30 - 1.00Y31 - 1.00Y32 >=
0.00
90) 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 +
1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y29 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 -
1.00Y18 - 1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y31 - 1.00Y32 - 1.00Y33 >=
0.00
91) 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y18 +
1.00Y28 + 1.00Y29 + 1.00Y30 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 -
1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y32 - 1.00Y33 - 1.00Y34 >=
0.00
92) 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 +
1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 -
1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y23 - 1.00Y33 - 1.00Y34 - 1.00Y35 >=
0.00
258

Lampiran 9. Lanjutan

93) 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y8 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 +


1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 - 1.00Y12 -
1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y23 - 1.00Y24 - 1.00Y34 - 1.00Y35 - 1.00Y36 >=
0.00
94) 1.00Y1 + 1.00Y10 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24
+ 1.00Y25 + 1.00Y35 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
95) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y23 + 1.00Y24
+ 1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
96) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y24 +
1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y37 <= 28904.00
97) 1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 +
1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y37 <= 28904.00
98) 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 +
1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y29 + 1.00Y37 <= 28904.00
99) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 +
1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z37 <= 27362.00
100) 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z8 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 +
1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 + 1.00Z37 <= 27362.00
101) 1.00Z9 + 1.00Z10 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z21 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24
+ 1.00Z33 + 1.00Z34 + 1.00Z35 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
102) 1.00Z1 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z24 + 1.00Z25 + 1.00Z26 - 1.00Z5 -
1.00Z17 - 1.00Z29 >= 0.00
103) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z26 + 1.00Z27 - 1.00Z5 - 1.00Z6
- 1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z29 - 1.00Z30 >= 0.00
104) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z26 + 1.00Z27 +
1.00Z28 - 1.00Z5 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z19 -
1.00Z29 - 1.00Z30 - 1.00Z31 >= 0.00
105) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 +
1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 - 1.00Z5 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 -
1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z30 - 1.00Z31 - 1.00Z32 >=
0.00
106) 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 +
1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z29 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 -
1.00Z18 - 1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z31 - 1.00Z32 - 1.00Z33 >=
0.00
107) 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z18 +
1.00Z28 + 1.00Z29 + 1.00Z30 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 -
1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z32 - 1.00Z33 - 1.00Z34 >=
0.00
108) 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 +
1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 -
1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z23 - 1.00Z33 - 1.00Z34 - 1.00Z35 >=
0.00
109) 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z8 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 +
1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 - 1.00Z12 -
1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z23 - 1.00Z24 - 1.00Z34 - 1.00Z35 - 1.00Z36 >=
0.00
110) 1.00Z1 + 1.00Z10 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24
+ 1.00Z25 + 1.00Z35 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
111) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z23 + 1.00Z24
+ 1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
112) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z24 +
1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z37 <= 27362.00
113) 1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 +
1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z37 <= 27362.00
114) 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 +
1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z29 + 1.00Z37 <= 27362.00
259

Lampiran 9. Lanjutan

115) 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 - 0.07X1 - 0.07X2 - 0.07X3 -


0.07X4 <= 0.00
116) 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 - 0.34X5 - 0.34X6 - 0.34X7 -
0.34X8 <= 0.00
117) 1.00X21 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24 - 11.05X9 - 11.05X10 - 11.05X11 -
11.05X12 <= 0.00
118) 1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 - 0.57X13 - 0.57X14 - 0.57X15 -
0.57X16 <= 0.00
119) 1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 - 0.59X17 - 0.59X18 - 0.59X19 -
0.59X20 <= 0.00
120) 1.00X33 + 1.00X34 + 1.00X35 + 1.00X36 - 0.54X21 - 0.54X22 - 0.54X23 -
0.54X24 <= 0.00
121) 17.44X37 - 1.00X1 - 1.00X1 - 1.00X2 - 1.00X3 - 1.00X4 - 1.00X5 -
1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 - 1.00X12 <=
0.00
122) 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 - 0.08Y1 - 0.08Y2 - 0.08Y3 -
0.08Y4 <= 0.00
123) 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 - 0.33Y5 - 0.33Y6 - 0.33Y7 -
0.33Y8 <= 0.00
124) 1.00Y21 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24 - 11.15Y9 - 11.15Y10 - 11.15Y11 -
11.15Y12 <= 0.00
125) 1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 - 0.56Y13 - 0.56Y14 - 0.56Y15 -
0.56Y16 <= 0.00
126) 1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 - 0.59Y17 - 0.59Y18 - 0.59Y19 -
0.59Y20 <= 0.00
127) 1.00Y33 + 1.00Y34 + 1.00Y35 + 1.00Y36 - 0.55Y21 - 0.55Y22 - 0.55Y23 -
0.55Y24 <= 0.00
128) 16.53Y37 - 1.00Y1 - 1.00Y1 - 1.00Y2 - 1.00Y3 - 1.00Y4 - 1.00Y5 -
1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 - 1.00Y12 <=
0.00
129) 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 - 0.06Z1 - 0.06Z2 - 0.06Z3 -
0.06Z4 <= 0.00
130) 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 - 0.32Z5 - 0.32Z6 - 0.32Z7 -
0.32Z8 <= 0.00
131) 1.00Z21 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24 - 11.06Z9 - 11.06Z10 - 11.06Z11 -
11.06Z12 <= 0.00
132) 1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 - 0.53Z13 - 0.53Z14 - 0.53Z15 -
0.53Z16 <= 0.00
133) 1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 - 0.60Z17 - 0.60Z18 - 0.60Z19 -
0.60Z20 <= 0.00
134) 1.00Z33 + 1.00Z34 + 1.00Z35 + 1.00Z36 - 0.56Z21 - 0.56Z22 - 0.56Z23 -
0.56Z24 <= 0.00
135) 14.62Z37 - 1.00Z1 - 1.00Z1 - 1.00Z2 - 1.00Z3 - 1.00Z4 - 1.00Z5 -
1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 - 1.00Z12 <=
0.00
136) 25.41X37 - 1.00X1 - 1.00X1 - 1.00X2 - 1.00X3 - 1.00X4 - 1.00X5 -
1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 - 1.00X12 >=
0.00
137) 23.52Y37 - 1.00Y1 - 1.00Y1 - 1.00Y2 - 1.00Y3 - 1.00Y4 - 1.00Y5 -
1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 - 1.00Y12 >=
0.00
138) 20.35Z37 - 1.00Z1 - 1.00Z1 - 1.00Z2 - 1.00Z3 - 1.00Z4 - 1.00Z5 -
1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 - 1.00Z12 >=
0.00
260

Lampiran 9. Lanjutan

139) 2.44X1 + 2.51X2 + 2.37X3 + 2.34X4 + 2.41X5 + 2.44X6 + 2.39X7 + 2.44X8 +


2.46X9 + 2.50X10 + 2.76X11 + 2.71X12 + 3.16X13 + 3.13X14 + 3.18X15 + 3.17X16
+ 3.55X17 + 3.69X18 + 3.63X19 + 3.60X20 + 3.10X21 + 3.12X22 + 3.09X23 +
3.05X24 + 2.48X25 + 2.50X26 + 2.48X27 + 2.52X28 + 2.70X29 + 2.74X30 +
2.76X31 + 2.73X32 + 2.94X33 + 3.04X34 + 2.86X35 + 2.90X36 + 3.94X37 <=
88747.10
140) 2.57Y1 + 2.54Y2 + 2.49Y3 + 2.43Y4 + 2.49Y5 + 2.51Y6 + 2.51Y7 + 2.50Y8 +
2.56Y9 + 2.57Y10 + 2.83Y11 + 2.78Y12 + 3.18Y13 + 3.23Y14 + 3.27Y15 + 3.27Y16
+ 3.41Y17 + 3.48Y18 + 3.49Y19 + 3.34Y20 + 3.14Y21 + 3.15Y22 + 3.12Y23 +
3.08Y24 + 2.66Y25 + 2.63Y26 + 2.60Y27 + 2.65Y28 + 2.84Y29 + 2.89Y30 +
2.90Y31 + 2.87Y32 + 3.08Y33 + 3.09Y34 + 2.95Y35 + 2.91Y36 + 4.04Y37 <=
213988.40
141) 2.53Z1 + 2.55Z2 + 2.45Z3 + 2.41Z4 + 2.47Z5 + 2.49Z6 + 2.47Z7 + 2.49Z8 +
2.54Z9 + 2.45Z10 + 2.70Z11 + 2.66Z12 + 3.14Z13 + 3.12Z14 + 3.16Z15 + 3.15Z16
+ 3.38Z17 + 3.44Z18 + 3.46Z19 + 3.10Z20 + 3.17Z21 + 3.18Z22 + 2.93Z23 +
2.90Z24 + 2.45Z25 + 2.15Z26 + 2.14Z27 + 2.59Z28 + 2.77Z29 + 2.91Z30 +
2.99Z31 + 2.91Z32 + 2.92Z33 + 3.18Z34 + 2.98Z35 + 2.72Z36 + 4.12Z37 <=
196998.80
142) 175.80X1 + 182.80X2 + 176.80X3 + 178.70X4 + 197.80X13 + 192.80X14 +
192.80X15 + 192.80X16 + 181.00X25 + 184.00X26 + 184.60X27 + 184.20X28 +
78.00X37 + 173.20Y1 + 173.20Y2 + 173.20Y3 + 173.20Y4 + 185.80Y13 + 185.80Y14
+ 185.80Y15 + 185.80Y16 + 181.40Y25 + 181.40Y26 + 181.40Y27 + 181.40Y28 +
74.70Y37 + 173.70Z1 + 177.10Z2 + 174.30Z3 + 175.20Z4 + 187.20Z13 + 182.80Z14
+ 182.80Z15 + 182.80Z16 + 170.60Z25 + 151.40Z26 + 152.40Z27 + 180.90Z28 +
77.70Z37 <= 12300500.00
143) 3.10X1 + 3.20X2 + 3.10X3 + 3.10X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 +
0.20X25 + 0.20X26 + 0.20X27 + 0.20X28 + 2.00X37 + 3.00Y1 + 3.00Y2 + 3.00Y3 +
3.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 0.20Y25 + 0.20Y26 + 0.20Y27
+ 0.20Y28 + 1.90Y37 + 3.10Z1 + 3.10Z2 + 3.10Z3 + 3.10Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14
+ 1.00Z15 + 1.00Z16 + 0.20Z25 + 0.20Z26 + 0.20Z27 + 0.20Z28 + 1.90Z37 <=
193000.00
144) 180.90X5 + 180.90X6 + 178.00X7 + 182.20X8 + 187.60X17 + 191.20X18 +
187.60X19 + 194.80X20 + 173.60X29 + 173.70X30 + 173.90X31 + 173.90X32 +
75.20X37 + 174.10Y5 + 174.10Y6 + 174.10Y7 + 174.10Y8 + 168.60Y17 + 168.60Y18
+ 168.60Y19 + 168.60Y20 + 170.70Y29 + 170.70Y30 + 170.70Y31 + 170.70Y32 +
74.80Y37 + 176.60Z5 + 176.60Z6 + 175.20Z7 + 177.20Z8 + 170.20Z17 + 170.20Z18
+ 170.20Z19 + 159.90Z20 + 169.60Z29 + 175.60Z30 + 179.30Z31 + 176.60Z32 +
76.40Z37 <= 12291400.00
145) 2.90X5 + 2.90X6 + 2.90X7 + 3.00X8 + 2.50X17 + 2.50X18 + 2.50X19 + 2.60X20 +
0.20X29 + 0.20X30 + 0.20X31 + 0.20X32 + 2.80Y5 + 2.80Y6 + 2.80Y7 + 2.80Y8 +
2.20Y17 + 2.20Y18 + 2.20Y19 + 2.20Y20 + 0.20Y29 + 0.20Y30 + 0.20Y31 +
0.20Y32 + 2.90Z5 + 2.90Z6 + 2.90Z7 + 2.90Z8 + 2.30Z17 + 2.30Z18 + 2.30Z19 +
2.30Z20 + 0.20Z29 + 0.20Z30 + 0.20Z31 + 0.20Z32 <= 193000.00
146) 192.90X9 + 195.50X10 + 195.50X11 + 195.60X12 + 149.60X21 + 149.60X22 +
149.60X23 + 149.60X24 + 128.50X33 + 132.90X34 + 130.90X35 + 134.70X36 +
79.20X37 + 187.50Y9 + 187.50Y10 + 187.50Y11 + 187.50Y12 + 141.20Y21 +
141.20Y22 + 141.20Y23 + 141.20Y24 + 125.90Y33 + 125.90Y34 + 125.90Y35 +
125.90Y36 + 77.50Y37 + 189.40Z9 + 182.70Z10 + 182.60Z11 + 182.70Z12 +
145.50Z21 + 145.50Z22 + 135.40Z23 + 135.40Z24 + 121.60Z33 + 132.20Z34 +
130.10Z35 + 120.40Z36 + 79.50Z37 <= 11201900.00
147) 2.80X9 + 2.80X10 + 2.80X11 + 2.80X12 + 2.20X21 + 2.20X22 + 2.20X23 + 2.20X24
+ 0.30X33 + 0.30X34 + 0.30X35 + 0.30X36 + 2.70Y9 + 2.70Y10 + 2.70Y11 +
2.70Y12 + 2.10Y21 + 2.10Y22 + 2.10Y23 + 2.10Y24 + 0.30Y33 + 0.30Y34 +
0.30Y35 + 0.30Y36 + 2.80Z9 + 2.80Z10 + 2.80Z11 + 2.80Z12 + 2.10Z21 + 2.10Z22
+ 2.10Z23 + 2.10Z24 + 0.30Z33 + 0.30Z34 + 0.30Z35 + 0.30Z36 <= 193000.00
END
261

Lampiran 10. Estimasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi dengan Pendekatan


Fungsi Produksi Frontier Stokastik

Bentuk umum dari stochastic production frontier (SPF), sebagaimana yang


disajikan oleh Aigner et al (1977) adalah:
Q i  Q ( X ki ,  ) e  i i =1,...,n (1)
k=1,...,K
Qi = keluaran yang dihasilkan oleh observasi (petani) ke – i
X ki
= vektor masukan K yang digunakan oleh observasi ke – i
 = vektor koefisien parameter
i = “specific error term” dari obserasi ke – i , dimana:
i  vi  u i i =1,...,n (2)
Unsur vi adalah variasi keluaran yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal
(misal iklim), sebarannya simetris, menyebar normal ( v i ~ N ( 0 ,  u2 ) ), dan bersifat acak.
Sedangkan ui merefleksikan komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat
dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas managerial petani dalam
mengelola usahataninya. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni u i  0 .
Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan
berimpit dengan potensi maksimalnya berarti u i  0 . Sebaliknya jika u i  0 berarti
berada di bawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal
( u i ~ N ( 0 ,  u2 ). Ukuran efisiensi teknis ( TEi ) dihitung sebagai berikut:

TEi = exp(  E u i i )  i=1,...,n (7)


jadi 0  TE i  1 .
Metode pendugaan yang tidak bias adalah menggunakan Maximum Likelihood.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
8
ln yi   0    k ln xki  i k=1,...,7 (8)
k 1

dimana i  vi  ui
y = produksi (dalam kuintal)
x1 = luas lahan (hektar)
x2 = benih
x3 = pupuk N (urea dan atau ZA)
x4 = pupuk P (SP-36)
x5 = pupuk K (KCl)
x6 = pestisida dan input lainnya (diproksi dari nilainya)
x7 = tenaga kerja (jam kerja)
x8 = pengeluaran untuk irigasi pompa (Rp. 000)
Hasil estimasi SPF tersebut di atas dapat disimak pada Tabel 4.
262

Lampiran 10. Lanjutan

Tabel 4. Hasil estimasi fungsi SPF

coefficient standard-error t-ratio


Intersep 2.2648 0.1322 17.1308
Luas garapan*** 0.9175 0.0462 19.8699
Benih -0.0585 0.0359 -1.6309
Setara N 0.0517 0.0227 2.2797
Setara P2O5 0.0022 0.0020 1.1101
Setara K2O 0.0025 0.0014 1.7365
Nilai Pestisida*** -0.0053 0.0020 -2.7396
Nilai irigasi pompa*** -0.0072 0.0025 -2.8747
Setara Pria*** 0.0635 0.0272 2.3361
sigma-squared 0.0831 0.0088 9.4420
gamma 0.8904 0.0372 23.9485
log likelihood function = 132.62247
LR test of the one-sided error = 30.558
with number of restrictions = 1

Selanjutnya dengan mudah dapat diprediksi nilai TE masing-masing observasi.


Statistik deskriptif dari TE tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 5):

Tabel 5. Statistik deskriptif TE untuk usahatani padi di pesawahan irigasi teknis


DAS Brantas, 1999/2000.

Mean : 0.8151
Standard Error : 0.0049
Median : 0.8355
Standard Deviation : 0.1072
Sample Variance : 0.0115
Kurtosis : 0.3341
Skewness : -0.8711
Range : 0.5524
Minimum : 0.4172
Maximum : 0.9696
Sum : 385.5351
Count : 473
263

Lampiran 11. Statistik deskriptif indeks diversitas usahatani di wilayah


pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Hulu Tengah Hilir DAS Brantas


Mean 0.653 0.693 0.278 0.544
Standard Error 0.019 0.021 0.030 0.017
Median 0.637 0.637 0.000 0.637
Mode 0.637 0.637 0.000 0.637
Standard Deviation 0.206 0.300 0.380 0.364
Sample Variance 0.042 0.090 0.144 0.132
Coef. of variation 0.315 0.433 1.368 0.668
Kurtosis 5.246 0.900 -0.751 -0.668
Skewness -0.682 -0.273 0.883 -0.240
Range 1.368 1.524 1.182 1.524
Minimum 0.000 0.000 0.000 0.000
Maximum 1.368 1.524 1.182 1.524
Sum 75.127 135.855 43.586 254.568
Count 115.000 196.000 157.000 468.000
Largest(1) 1.368 1.524 1.182 1.524
Smallest(1) 0.000 0.000 0.000 0.000
Confidence Level(95.0%) 0.038 0.042 0.060 0.033
264

Lampiran 12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1955 295.3 248.5 303.5 242.6 143.2 144.5 271.8 66.6 42.5 130.0 322.4 275.5
1956 273.1 254.6 153.9 107.1 108.0 133.8 118.5 85.4 22.7 96.3 177.5 320.8
1957 287.2 272.0 412.5 109.2 58.8 9.6 192.4 39.2 4.1 9.8 104.8 293.1
1958 235.3 319.4 327.9 233.6 129.9 58.8 93.9 42.6 17.7 88.4 128.3 425.1
1959 417.7 321.2 346.7 156.7 219.4 72.9 52.0 1.6 19.9 34.5 121.2 433.2
1960 345.9 304.2 349.5 230.8 233.4 45.5 28.7 7.4 9.7 34.8 230.4 209.7
1961 282.3 261.1 199.8 210.5 98.4 3.9 1.6 0.0 2.1 8.1 84.1 246.4
1962 393.5 323.1 274.2 309.0 73.5 65.0 21.7 13.9 1.6 68.5 157.2 358.0
1963 322.4 297.7 398.9 152.7 29.3 9.0 0.0 0.0 0.8 7.1 25.1 218.2
1964 181.9 229.8 384.7 151.2 161.4 88.3 7.1 20.5 69.5 353.4 196.8 199.6
1965 299.6 253.7 226.5 118.0 49.7 3.6 3.6 0.0 0.7 1.7 77.1 239.2
1966 320.5 344.6 364.8 181.8 57.5 33.0 0.2 9.3 5.0 83.4 161.1 285.5
1967 364.2 287.9 173.5 167.8 12.8 0.1 0.0 0.0 0.4 22.2 72.5 314.9
1968 253.4 267.7 357.0 190.8 233.9 175.1 167.9 38.8 27.7 64.8 183.3 295.0
1969 292.6 284.5 323.9 156.8 41.0 20.7 2.4 0.5 7.0 41.5 80.9 279.1
1970 353.0 308.6 314.6 239.9 155.7 40.9 15.0 0.0 24.0 44.8 179.5 226.8
1971 344.7 338.6 263.0 109.4 204.7 75.3 9.3 1.7 18.7 181.6 220.4 286.1
1972 289.8 193.3 273.9 72.5 127.0 0.2 0.0 0.9 0.0 1.7 62.5 278.5
1973 314.1 288.4 307.4 246.4 324.7 59.9 44.4 17.4 132.2 85.6 185.9 223.8
1974 222.8 320.1 196.1 168.8 130.8 25.5 24.0 62.6 70.6 191.0 213.0 208.9
1975 343.7 314.9 349.9 260.4 171.9 13.7 7.1 5.6 152.3 296.0 271.0 253.7
1976 268.9 222.7 304.9 70.2 17.9 3.8 3.8 2.3 4.3 69.6 234.7 124.3
1977 247.0 218.6 314.5 139.1 41.7 71.1 1.2 0.0 0.9 1.8 68.3 267.6
1978 336.9 283.5 263.9 141.3 185.4 221.2 138.4 42.1 57.8 72.9 133.1 261.2
1979 328.8 266.2 231.4 247.9 233.5 99.7 4.8 7.2 10.2 28.2 65.0 172.1
1980 265.4 259.3 173.1 197.4 37.7 3.1 22.8 15.9 7.0 31.0 225.1 257.2
1981 295.5 237.8 196.6 139.5 115.1 71.2 103.8 27.4 71.7 62.5 213.5 247.2
1982 309.7 262.7 217.0 159.1 12.1 9.0 2.3 0.4 2.2 4.5 25.9 223.2
1983 313.3 296.6 260.2 205.2 227.5 23.8 6.9 0.1 0.9 125.5 253.5 232.1
1984 365.6 341.9 279.8 230.6 66.3 22.2 22.0 9.6 118.3 65.2 95.1 231.5
1985 318.4 340.3 339.2 246.9 48.3 83.3 21.2 14.3 10.8 76.5 216.9 281.6
1986 343.6 229.0 291.8 221.6 21.1 154.6 21.6 12.0 41.6 79.9 214.8 187.2
1987 304.5 275.8 190.3 49.3 44.4 24.8 6.5 3.0 13.4 2.9 152.9 316.9
1988 418.5 268.6 309.9 164.2 124.5 45.9 10.9 16.5 7.4 109.4 265.4 254.4
1989 293.8 253.2 183.4 188.1 143.1 168.8 70.8 29.6 3.4 86.6 131.3 238.8
1990 419.7 375.6 309.2 210.4 128.8 47.3 14.3 30.4 1.1 25.5 111.2 357.0
1991 562.6 375.0 223.4 389.6 39.4 5.5 3.7 0.1 7.4 9.2 195.8 364.2
1992 566.7 446.1 470.1 332.7 141.9 24.7 35.4 96.5 114.8 203.8 272.7 473.4
1993 521.3 205.8 304.1 319.7 59.6 140.7 4.7 27.3 8.2 10.3 262.7 351.0
1994 527.2 437.9 512.5 173.6 37.5 23.5 5.6 1.3 0.4 30.2 127.4 224.3
1995 481.6 554.0 457.4 277.9 70.7 161.7 46.1 5.9 6.9 100.7 393.7 249.9
1996 427.3 366.0 254.8 189.6 27.1 29.6 17.6 80.1 7.1 167.5 268.2 325.8
1997 296.6 391.0 88.8 218.7 79.8 16.4 4.4 0.8 1.1 17.5 76.4 220.8
1998 336.2 497.3 487.3 353.6 126.3 224.6 189.1 44.5 138.0 249.8 326.7 460.9
1999 455.1 252.1 346.2 333.5 89.3 24.1 33.0 12.2 18.7 189.9 349.7 358.3
mean 343.0 304.2 295.8 200.3 108.5 61.8 41.2 19.9 28.5 81.5 176.3 278.9
stdev 87.7 74.5 91.6 76.6 74.7 61.8 62.3 25.2 41.7 81.9 88.7 74.7
Max 566.7 554.0 512.5 389.6 324.7 224.6 271.8 96.5 152.3 353.4 393.7 473.4
Min 181.9 193.3 88.8 49.3 12.1 0.1 0.0 0.0 0.0 1.7 25.1 124.3
Sumber: Perum Jasa Tirta I
265

Lampiran 13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di
pesawahan irigasi teknis DAS Brantas

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 247

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 0.1184148E+09

VARIABLE VALUE REDUCED COST


X1 1953.201416 0.000000
X2 5864.910645 0.000000
X3 0.000000 2.900443
X4 2563.566162 0.000000
X5 2948.780029 0.000000
X6 3628.665527 0.000000
X7 901.864319 0.000000
X8 0.000000 47.313477
X9 472.525177 0.000000
X10 0.000000 7.786285
X11 0.000000 78.815048
X12 0.000000 9.120863
X13 581.349609 0.000000
X14 0.000000 24.958458
X15 145.367874 0.000000
X16 0.000000 3.933223
X17 0.000000 40.789211
X18 0.000000 25.492622
X19 0.000000 10.467031
X20 2542.965332 0.000000
X21 3881.572998 0.000000
X22 0.000000 1.652327
X23 0.000000 41.701122
X24 1339.830444 0.000000
X25 0.000000 0.000000
X26 414.228973 0.000000
X27 0.000000 27.292479
X28 0.000000 26.189724
X29 0.000000 59.028385
X30 1405.318115 0.000000
X31 0.000000 13.166090
X32 95.031425 0.000000
X33 0.000000 29.944288
X34 0.000000 2.081115
X35 1450.454102 0.000000
X36 1369.103760 0.000000
X37 798.375244 0.000000
Y1 4210.255859 0.000000
Y2 13671.755859 0.000000
Y3 5327.250488 0.000000
Y4 714.906677 0.000000
Y5 7195.992188 0.000000
Y6 9492.655273 0.000000
Y7 960.664001 0.000000
Y8 0.000000 56.246910
Y9 1100.816040 0.000000
Y10 0.000000 34.880226
Y11 0.000000 84.220291
Y12 16.557570 0.000000
Y13 1913.933472 0.000000
Y14 0.000000 40.786316
Y15 0.000000 36.537445
Y16 0.000000 64.720734
Y17 0.000000 35.749195
Y18 742.779663 0.000000
Y19 4366.586426 0.000000
Y20 714.906677 0.000000
Y21 8006.454102 0.000000
Y22 3753.912354 0.000000
Y23 0.000000 42.157017
Y24 698.349121 0.000000
266

Lampiran 13. Lanjutan


Y25 0.000000 0.000000
Y26 1071.802734 0.000000
Y27 0.000000 83.614304
Y28 0.000000 82.034180
Y29 0.000000 0.000000
Y30 3436.321045 0.000000
Y31 0.000000 72.246269
Y32 0.000000 51.319061
Y33 1525.043091 0.000000
Y34 0.000000 20.163195
Y35 0.000000 55.554283
Y36 5327.250488 0.000000
Y37 1994.094849 0.000000
Z1 3578.199707 0.000000
Z2 13242.564453 0.000000
Z3 2087.018799 0.000000
Z4 4158.199219 0.000000
Z5 5695.656738 0.000000
Z6 10379.107422 0.000000
Z7 580.949158 0.000000
Z8 0.000000 74.695862
Z9 0.000000 31.060137
Z10 0.000000 87.815575
Z11 0.000000 86.559212
Z12 1033.817993 0.000000
Z13 1383.958862 0.000000
Z14 0.000000 32.894405
Z15 0.000000 76.648087
Z16 0.000000 84.589828
Z17 0.000000 61.069828
Z18 0.000000 32.593769
Z19 1171.629395 0.000000
Z20 4158.199219 0.000000
Z21 4013.890381 0.000000
Z22 4295.755859 0.000000
Z23 0.000000 46.924000
Z24 3124.381104 0.000000
Z25 0.000000 54.044388
Z26 733.498230 0.000000
Z27 0.000000 78.288239
Z28 0.000000 166.235321
Z29 0.000000 0.000000
Z30 2863.456787 0.000000
Z31 334.440277 0.000000
Z32 0.000000 40.931229
Z33 4545.223145 0.000000
Z34 0.000000 47.918774
Z35 0.000000 85.667534
Z36 1857.831909 0.000000
Z37 2178.560791 0.000000
A10 14797.470703 0.000000
A11 14471.519531 0.000000
A6 14203.750977 0.000000
A7 14447.509766 0.000000
A8 14477.217773 0.000000
A9 14520.599609 0.000000
B10 11246.078125 0.000000
C10 8198.331055 0.000000
B11 11432.500000 0.000000
C11 8432.709961 0.000000
B6 11220.962891 0.000000
C6 7046.663574 0.000000
B7 11413.532227 0.000000
C7 7345.890137 0.000000
B8 11292.229492 0.000000
C8 7128.000000 0.000000
B9 11180.861328 0.000000
C9 7462.559082 0.000000
D10 6230.731445 0.000000
D11 6493.187012 0.000000
267

Lampiran 13. Lanjutan

D6 5496.397461 0.000000
D7 5729.794434 0.000000
D8 5417.279785 0.000000
D9 5671.544922 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES


1) 0.000000 30.343340
2) 0.000000 18.022791
3) 34110.945312 0.000000
4) 37065.957031 0.000000
5) 33926.250000 0.000000
6) 28360.277344 0.000000
7) 20617.714844 0.000000
8) 13451.291016 0.000000
9) 0.000000 8.004684
10) 0.000000 21.877239
11) 0.000000 37.480053
12) 0.000000 41.051537
13) 0.000000 39.925446
14) 0.000000 22.813658
15) 44789.722656 0.000000
16) 55508.890625 0.000000
17) 48092.765625 0.000000
18) 34313.238281 0.000000
19) 17962.062500 0.000000
20) 1053.087402 0.000000
21) 0.000000 10.132512
22) 0.000000 27.692707
23) 0.000000 48.051350
24) 0.000000 53.313686
25) 0.000000 52.533482
26) 0.000000 29.628128
27) 44593.953125 0.000000
28) 51620.476562 0.000000
29) 46392.457031 0.000000
30) 31892.027344 0.000000
31) 16522.125000 0.000000
32) 2344.937500 0.000000
33) 0.000000 12.990400
34) 0.000000 35.503471
35) 0.000000 63.225460
36) 0.000000 70.149590
37) 0.000000 -9.265633
38) 0.000000 -42.273560
39) 528.728943 0.000000
40) 0.000000 -22.973614
41) 0.000000 -13.294258
42) 0.000000 -47.290752
43) 142.235260 0.000000
44) 0.000000 -19.634146
45) 0.000000 -5.409946
46) 0.000000 -20.748592
47) 827.475647 0.000000
48) 771.316528 0.000000
49) 1046.733643 0.000000
50) 1309.187012 0.000000
51) 727.633484 0.000000
52) 571.714233 0.000000
53) 0.000000 -13.625434
54) 513.464722 0.000000
55) 0.000000 39.925446
56) 0.000000 22.813658
57) 0.000000 10.132512
58) 0.000000 27.692707
59) 0.000000 48.051350
60) 0.000000 53.313686
61) 0.000000 52.533482
62) 0.000000 29.628128
63) 0.000000 12.990400
268

Lampiran 13. Lanjutan

64) 0.000000 35.503471


65) 0.000000 63.225460
66) 0.000000 70.149590
67) 0.000000 0.590942
68) 0.000000 69.458282
69) 3009.138428 0.000000
70) 1339.830444 0.000000
71) 830.926941 0.000000
72) 74.430496 0.000000
73) 0.000000 0.000000
74) 0.000000 -21.203430
75) 2797.738525 0.000000
76) 3100.676758 0.000000
77) 3009.138428 0.000000
78) 4828.685547 0.000000
79) 0.000000 37.094883
80) 1223.735840 0.000000
81) 0.000000 13.538747
82) 0.000000 79.259087
83) 0.000000 13.466808
84) 0.000000 21.083168
85) 6481.522461 0.000000
86) 714.906677 0.000000
87) 0.000000 -14.788582
88) 0.000000 -30.194805
89) 0.000000 -76.342972
90) 0.000000 -69.496964
91) 6481.522461 0.000000
92) 11808.773438 0.000000
93) 8006.565918 0.000000
94) 10989.646484 0.000000
95) 0.000000 9.004347
96) 0.000000 29.991499
97) 0.000000 151.493851
98) 0.000000 165.982697
99) 0.000000 0.000000
100) 0.000000 32.475513
101) 6312.538574 0.000000
102) 4158.199219 0.000000
103) 0.000000 -76.970665
104) 0.000000 -20.212105
105) 0.000000 -53.086327
106) 0.000000 -45.151230
107) 6417.791992 0.000000
108) 8170.370605 0.000000
109) 10857.761719 0.000000
110) 9909.494141 0.000000
111) 229.186859 0.000000
112) 0.000000 20.749773
113) 0.000000 178.145721
114) 0.000000 139.875717
115) 0.000000 8.122661
116) 0.000000 26.190947
117) 0.000000 3.756869
118) 0.000000 34.345581
119) 0.000000 13.672853
120) 0.000000 83.094353
121) 6363.050781 0.000000
122) 0.000000 131.318085
123) 0.000000 90.365448
124) 0.000000 16.562422
125) 0.000000 114.519539
126) 0.000000 82.931221
127) 0.000000 110.154312
128) 13938.722656 0.000000
129) 0.000000 226.808548
130) 0.000000 135.241302
131) 0.000000 21.996349
132) 0.000000 197.992676
133) 0.000000 99.145859
269

Lampiran 13. Lanjutan

134) 0.000000 135.164841


135) 12483.153320 0.000000
136) 0.000000 -8.087202
137) 0.000000 -15.848133
138) 0.000000 -18.864229
139) 0.000000 210.682068
140) 0.000000 166.055099
141) 0.000000 151.058258
142) 704265.937500 0.000000
143) 2959.943115 0.000000
144) 800392.000000 0.000000
145) 40279.730469 0.000000
146) 4135638.750000 0.000000
147) 119281.007812 0.000000

NO. ITERATIONS= 247

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES


VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
X1 603.270020 0.645128 10.428912
X2 603.559998 20.981276 0.889807
X3 576.119995 2.900442 INFINITY
X4 572.700012 5.708837 0.511732
X5 634.440002 0.796882 19.515306
X6 620.590027 4.478079 1.939781
X7 611.989990 23.850004 1.348230
X8 624.210022 47.313480 INFINITY
X9 575.700012 13.899585 7.766755
X10 569.900024 7.786283 INFINITY
X11 573.469971 78.815048 INFINITY
X12 568.549988 9.120862 INFINITY
X13 717.239990 5.773786 0.519092
X14 721.049988 24.958460 INFINITY
X15 730.700012 0.549606 3.950694
X16 724.659973 3.933223 INFINITY
X17 852.770020 40.789215 INFINITY
X18 864.320007 25.492624 INFINITY
X19 869.570007 10.467033 INFINITY
X20 888.179993 63.592339 10.476435
X21 671.169983 0.556927 5.493928
X22 649.260010 1.652324 INFINITY
X23 643.340027 41.701118 INFINITY
X24 641.400024 5.991744 0.999422
X25 604.059998 13.538747 0.590942
X26 602.090027 0.613026 13.546817
X27 601.729980 27.292479 INFINITY
X28 611.260010 26.189724 INFINITY
X29 651.000000 59.028385 INFINITY
X30 660.400024 1.632333 4.054990
X31 681.280029 13.166092 INFINITY
X32 686.719971 4.066998 1.631081
X33 731.270020 29.944288 INFINITY
X34 751.000000 2.081114 INFINITY
X35 729.609985 10.953938 0.469740
X36 733.599976 0.390910 7.850043
X37 859.679993 157.034912 279.895935
Y1 635.679993 25.479921 5.388934
Y2 611.719971 13.606688 5.558323
Y3 603.719971 7.571463 0.441886
Y4 593.960022 0.379511 6.502706
Y5 638.400024 59.645447 5.412468
Y6 624.559998 1.459622 25.009764
Y7 628.859985 22.740452 2.017834
Y8 638.460022 56.246891 INFINITY
Y9 598.739990 26.458231 1.949519
Y10 584.760010 34.880196 INFINITY
270

Lampiran 13. Lanjutan

Y11 588.599976 84.220261 INFINITY


Y12 583.289978 1.937100 26.565157
Y13 720.929993 1756.016235 36.389313
Y14 743.349976 40.786316 INFINITY
Y15 758.549988 36.537441 INFINITY
Y16 730.570007 64.720726 INFINITY
Y17 810.830017 35.749176 INFINITY
Y18 833.330017 19.786884 1.154804
Y19 825.890015 9.162472 0.565789
Y20 804.780029 0.379511 6.502706
Y21 666.190002 8.768550 0.511751
Y22 653.179993 6.264764 7.813294
Y23 642.400024 42.156998 INFINITY
Y24 635.390015 0.471981 8.087111
Y25 647.799988 151.493851 13.466808
Y26 635.210022 13.979629 81.808945
Y27 632.760010 83.614304 INFINITY
Y28 627.440002 82.034180 INFINITY
Y29 717.080017 76.342972 21.083168
Y30 705.239990 23.839279 51.297165
Y31 694.429993 72.246254 INFINITY
Y32 689.250000 51.319046 INFINITY
Y33 768.570007 0.437983 7.504584
Y34 761.429993 20.163172 INFINITY
Y35 739.710022 55.554260 INFINITY
Y36 729.590027 7.571463 0.441886
Y37 880.330017 426.759949 137.510147
Z1 625.200012 10.685189 1.365134
Z2 584.409973 4.178457 15.851645
Z3 595.669983 13.599557 0.793698
Z4 589.090027 0.560840 9.609665
Z5 626.169983 10.726146 1.370270
Z6 606.559998 1.196584 11.110241
Z7 617.450012 82.473061 11.857880
Z8 637.000000 74.695862 INFINITY
Z9 578.479980 31.060133 INFINITY
Z10 564.289978 87.815567 INFINITY
Z11 562.000000 86.559204 INFINITY
Z12 557.190002 60.604683 30.677757
Z13 712.119995 557.245361 32.831688
Z14 717.229980 32.894398 INFINITY
Z15 742.890015 76.648079 INFINITY
Z16 732.900024 84.589821 INFINITY
Z17 802.729980 61.069832 INFINITY
Z18 796.489990 32.593769 INFINITY
Z19 779.330017 9.647057 0.563022
Z20 757.950012 0.560840 9.609665
Z21 646.419983 6.087810 0.415797
Z22 662.380005 1.218067 9.031664
Z23 598.219971 46.924004 INFINITY
Z24 590.559998 0.566079 9.699424
Z25 597.000000 54.044392 INFINITY
Z26 583.690002 1051.406372 55.547256
Z27 586.320007 78.288239 INFINITY
Z28 622.570007 166.235321 INFINITY
Z29 741.960022 53.086327 32.475513
Z30 721.469971 28.730230 1.676756
Z31 715.570007 1.665178 28.531853
Z32 688.500000 40.931229 INFINITY
Z33 747.210022 0.926917 11.786857
Z34 783.690002 47.918766 INFINITY
Z35 738.599976 85.667526 INFINITY
Z36 728.130005 12.142584 1.023910
Z37 897.690002 235.290573 30.623487
A10 0.000000 INFINITY 9.265633
A11 0.000000 INFINITY 18.022791
A6 0.000000 0.467170 8.004684
A7 0.000000 INFINITY 21.877239
A8 0.000000 INFINITY 13.294258
A9 0.000000 INFINITY 41.051537
271

Lampiran 13. Lanjutan

B10 0.000000 INFINITY 12.191622


C10 0.000000 4.503488 1.734324
B11 0.000000 INFINITY 22.813660
C11 0.000000 INFINITY 19.634146
B6 0.000000 0.591354 10.132512
C6 0.000000 0.591354 5.409946
B7 0.000000 INFINITY 27.692707
C7 0.000000 INFINITY 20.748592
B8 0.000000 INFINITY 17.043921
C8 0.000000 10.355330 INFINITY
B9 0.000000 INFINITY 53.313686
C9 0.000000 0.869310 9.350832
D10 0.000000 5.925642 2.282005
D11 0.000000 INFINITY 25.498892
D6 0.000000 0.758147 6.935828
D7 0.000000 INFINITY 26.600760
D8 0.000000 13.625434 INFINITY
D9 0.000000 1.143829 12.303726

RIGHTHAND SIDE RANGES


ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
1 26188.273438 1042.685425 434.983185
2 29655.455078 176.908783 2152.206299
3 41406.421875 INFINITY 34110.945312
4 42621.812500 INFINITY 37065.957031
5 41130.894531 INFINITY 33926.250000
6 39173.933594 INFINITY 28360.277344
7 35956.742188 INFINITY 20617.714844
8 31791.658203 INFINITY 13451.291016
9 31405.257812 1412.020142 68.655243
10 26683.824219 146.451981 927.806335
11 26077.455078 33.704346 1060.866211
12 25185.642578 50.755657 1061.067261
13 21499.464844 792.440918 330.587219
14 31917.820312 139.757950 1700.242920
15 65560.234375 INFINITY 44789.722656
16 68341.968750 INFINITY 55508.890625
17 64715.761719 INFINITY 48092.765625
18 60389.972656 INFINITY 34313.238281
19 52347.253906 INFINITY 17962.062500
20 43303.765625 INFINITY 1053.087402
21 34745.097656 1115.495850 54.237644
22 22422.857422 115.697075 732.966980
23 21204.820312 26.289391 827.475647
24 20490.656250 39.081856 817.021790
25 17906.572266 602.255066 251.246277
26 26958.355469 107.613617 1309.187012
27 61861.968750 INFINITY 44593.953125
28 63571.910156 INFINITY 51620.476562
29 61250.515625 INFINITY 46392.457031
30 56904.507812 INFINITY 31892.027344
31 49529.230469 INFINITY 16522.125000
32 42772.148438 INFINITY 2344.937500
33 31822.242188 870.086792 42.305359
34 18749.232422 90.243713 571.714233
35 17862.250000 19.979937 628.881470
36 16498.080078 29.702209 620.936584
37 11390.802734 1369.430664 177.812943
38 15183.935547 205.565277 170.155197
39 16672.781250 528.728943 INFINITY
40 12236.314453 927.806335 303.983521
41 11600.237305 208.422729 24.860781
42 10665.042969 490.827362 88.644737
43 24404.976562 142.235260 INFINITY
44 34917.609375 159.750427 30.232847
45 38919.398438 81.304779 1146.512085
46 26490.498047 732.966980 119.639557
47 24541.574219 827.475647 INFINITY
48 23437.642578 771.316528 INFINITY
272

Lampiran 13. Lanjutan

49 23090.572266 1046.733643 INFINITY


50 32142.355469 1309.187012 INFINITY
51 36591.003906 727.633484 INFINITY
52 23907.312500 571.714233 INFINITY
53 23279.529297 628.881470 28.527885
54 21656.160156 513.464722 INFINITY
55 0.000000 792.440918 330.587219
56 0.000000 139.757950 1700.242920
57 0.000000 1115.495850 54.237644
58 0.000000 115.697075 732.966980
59 0.000000 26.289391 827.475647
60 0.000000 39.081856 817.021790
61 0.000000 602.255066 251.246277
62 0.000000 107.613617 1309.187012
63 0.000000 870.086792 42.305359
64 0.000000 90.243713 571.714233
65 0.000000 19.979937 628.881470
66 0.000000 29.702209 620.936584
67 12321.000000 54.275539 0.000000
68 12321.000000 0.000000 103.175270
69 12321.000000 INFINITY 3009.138428
70 0.000000 1339.830444 INFINITY
71 0.000000 830.926941 INFINITY
72 0.000000 74.430496 INFINITY
73 0.000000 0.000000 INFINITY
74 0.000000 73.578423 89.637154
75 0.000000 2797.738525 INFINITY
76 0.000000 3100.676758 INFINITY
77 0.000000 3009.138428 INFINITY
78 12321.000000 INFINITY 4828.685547
79 12321.000000 93.389290 57.724297
80 12321.000000 INFINITY 1223.735840
81 12321.000000 0.000000 0.000000
82 12321.000000 701.368103 37.151371
83 28904.000000 29.632101 0.000000
84 28904.000000 33.165092 0.000000
85 28904.000000 INFINITY 6481.522461
86 0.000000 714.906677 INFINITY
87 0.000000 359.480377 427.272125
88 0.000000 1411.677734 36.456036
89 0.000000 694.937805 0.000000
90 0.000000 891.015320 44.858604
91 0.000000 6481.522461 INFINITY
92 0.000000 11808.773438 INFINITY
93 0.000000 8006.565918 INFINITY
94 28904.000000 INFINITY 10989.646484
95 28904.000000 23.074774 100.942513
96 28904.000000 34.308681 1326.707153
97 28904.000000 0.000000 410.958557
98 28904.000000 32.011147 643.703125
99 27362.000000 INFINITY 0.000000
100 27362.000000 28.339514 0.000000
101 27362.000000 INFINITY 6312.538574
102 0.000000 4158.199219 INFINITY
103 0.000000 1556.695068 74.463783
104 0.000000 883.448059 42.259327
105 0.000000 180.617737 0.000000
106 0.000000 515.453857 24.656496
107 0.000000 6417.791992 INFINITY
108 0.000000 8170.370605 INFINITY
109 0.000000 10857.761719 INFINITY
110 27362.000000 INFINITY 9909.494141
111 27362.000000 INFINITY 229.186859
112 27362.000000 40.583897 848.422546
113 27362.000000 0.000000 355.866302
114 27362.000000 31.644011 356.677979
115 0.000000 718.239075 31.936893
116 0.000000 403.248810 47.798676
117 0.000000 1048.972290 500.894440
118 0.000000 556.307312 50.118839
273

Lampiran 13. Lanjutan

119 0.000000 563.039673 73.110481


120 0.000000 2141.014160 1161.070068
121 0.000000 INFINITY 6363.050781
122 0.000000 35.282913 152.503815
123 0.000000 39.696991 663.849548
124 0.000000 110.278053 5050.452637
125 0.000000 46.369102 61.282261
126 0.000000 57.089531 916.460510
127 0.000000 48.949791 1849.142456
128 0.000000 INFINITY 13938.722656
129 0.000000 42.581562 552.410828
130 0.000000 127.760490 483.442169
131 0.000000 166.848709 3488.038818
132 0.000000 153.576416 314.740082
133 0.000000 236.583420 398.917145
134 0.000000 60.488972 1264.546143
135 0.000000 INFINITY 12483.153320
136 0.000000 783.707703 1896.070190
137 0.000000 7917.112793 183.930008
138 0.000000 4230.721680 202.374603
139 88747.101562 113.218826 328.712097
140 213988.406250 1322.492676 34.947872
141 196998.796875 855.989380 40.945854
142 12300500.000000 INFINITY 704265.937500
143 193000.000000 INFINITY 2959.943115
144 12291400.000000 INFINITY 800392.000000
145 193000.000000 INFINITY 40279.730469
146 11201900.000000 INFINITY 4135638.750000
147 193000.000000 INFINITY 119281.007812
274

Lampiran 14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada solusi optimal
Sub DAS Hulu dengan luas baku lahan sawah 12 321 Ha (106 m3)
Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Total
X1 1 953.20 4.916 2.471 1.256 0.876 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.518
X2 5 864.91 0.000 10.170 5.670 3.299 2.706 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21.845
X3 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X4 2 563.57 0.000 0.000 0.000 1.243 1.329 1.741 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6.313
X5 2 948.78 0.000 0.000 0.000 0.000 2.981 3.669 5.144 5.327 0.000 0.000 0.000 0.000 17.121
X6 3 628.67 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.515 5.700 7.816 7.562 0.000 0.000 0.000 25.592
X7 901.86 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.258 1.798 2.389 2.130 0.000 0.000 7.574
X8 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X9 472.53 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.040 1.241 1.323 0.969 4.572
X10 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X11 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X12 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X13 581.35 0.604 0.244 0.078 0.009 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.936
X14 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X15 145.37 0.000 0.000 0.021 0.010 0.016 0.014 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.061
X16 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X17 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X18 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X19 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X20 2 542.97 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.734 2.373 2.920 1.549 0.000 8.575
X21 3 881.57 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.028 5.101 5.926 2.344 16.399
X22 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X23 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X24 1 339.83 1.667 0.799 0.021 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.917 4.404
X25 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X26 414.23 0.000 0.174 0.057 0.027 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.258
X27 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X28 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X29 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X30 1 405.32 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.535 0.663 0.907 0.000 0.000 0.000 0.000 2.105
X31 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X32 95.03 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.070 0.103 0.124 0.000 0.000 0.297
X33 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X34 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
X35 1 450.45 1.429 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.008 2.387 5.824
X36 1 369.10 1.618 0.759 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.980 4.358
X37 798.38 1.157 0.567 0.190 0.095 0.176 0.341 0.575 0.687 0.708 0.722 0.795 1.068 7.081
Total 32 357.11 11.391 15.184 7.294 5.558 7.208 10.815 15.340 18.339 17.203 12.237 11.600 10.665 142.833
275

Lampiran 14. Lanjutan


Sub DAS Tengah dengan luas baku lahan sawah 28 904 Ha (106 m3)
Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Total
Y1 4 210.26 10.662 5.304 2.674 1.855 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 20.495
Y2 13 671.76 0.000 23.566 13.041 7.513 6.166 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 50.285
Y3 5 327.25 0.000 0.000 4.184 2.789 2.541 2.803 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12.317
Y4 714.91 0.000 0.000 0.000 0.341 0.363 0.478 0.552 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.734
Y5 7 195.99 0.000 0.000 0.000 0.000 7.125 8.804 12.404 12.889 0.000 0.000 0.000 0.000 41.221
Y6 9 492.66 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.614 14.738 20.274 19.758 0.000 0.000 0.000 66.384
Y7 960.66 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.325 1.897 2.540 2.273 0.000 0.000 8.035
Y8 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y9 1 100.82 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.425 2.896 3.099 2.251 10.671
Y10 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y11 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y12 16.56 0.037 0.017 0.003 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.049 0.107
Y13 1 913.93 1.999 0.804 0.258 0.030 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.091
Y14 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y15 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y16 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y17 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y18 742.78 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.252 0.296 0.400 0.333 0.000 0.000 0.000 1.282
Y19 4 366.59 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.049 2.388 3.837 2.298 0.000 0.000 10.571
Y20 714.91 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.484 0.665 0.823 0.437 0.000 2.409
Y21 8 006.45 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6.226 10.542 12.306 4.898 33.972
Y22 3 753.91 1.732 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.707 5.507 5.517 16.463
Y23 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y24 698.35 0.874 0.415 0.011 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.010 2.310
Y25 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y26 1 071.80 0.000 0.450 0.144 0.067 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.661
Y27 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y28 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y29 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y30 3 436.32 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.292 1.594 2.200 0.000 0.000 0.000 0.000 5.086
Y31 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y32 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y33 1 525.04 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.356 2.087 2.024 0.000 5.467
Y34 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y35 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Y36 5 327.25 6.338 2.941 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.788 17.067
Y37 1 994.09 2.905 1.416 0.455 0.227 0.429 0.842 1.421 1.716 1.778 1.861 1.995 2.693 17.739
Total 76 242.29 24.547 34.912 20.770 12.822 16.624 26.085 34.380 42.249 38.918 26.487 25.369 24.206 327.369
276

Lampiran 14. Lanjutan


Sub DAS Hilir dengan luas baku lahan sawah 27 362 Ha (106 m3)
Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Total
Z1 3 578.20 9.080 4.461 2.226 1.540 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17.307
Z2 13 242.56 0.000 22.620 12.426 7.105 5.870 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 48.020
Z3 2 087.02 0.000 0.000 1.612 1.060 0.974 1.077 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.723
Z4 4 158.20 0.000 0.000 0.000 1.940 2.059 2.716 3.158 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.873
Z5 5 695.66 0.000 0.000 0.000 0.000 5.507 6.835 9.655 10.083 0.000 0.000 0.000 0.000 32.080
Z6 10 379.11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 12.429 15.846 21.899 21.522 0.000 0.000 0.000 71.696
Z7 580.95 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.788 1.134 1.528 1.369 0.000 0.000 4.819
Z8 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z9 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z10 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z11 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z12 1 033.82 2.321 1.072 0.204 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.100 6.696
Z13 1 383.96 1.449 0.574 0.179 0.018 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.220
Z14 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z15 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z16 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z17 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z18 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z19 1 171.63 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.541 0.635 1.020 0.616 0.000 0.000 2.812
Z20 4 158.20 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.781 3.837 4.775 2.554 0.000 13.947
Z21 4 013.89 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.090 5.275 6.180 2.466 17.011
Z22 4 295.76 1.971 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.220 6.313 6.358 18.862
Z23 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z24 3 124.38 3.920 1.846 0.049 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.543 10.358
Z25 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z26 733.50 0.000 0.304 0.097 0.044 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.445
Z27 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z28 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z29 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z30 2 863.46 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.054 1.314 1.811 0.000 0.000 0.000 0.000 4.179
Z31 334.44 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.170 0.223 0.356 0.000 0.000 0.000 0.749
Z32 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z33 4 545.22 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.006 6.197 6.044 0.000 16.246
Z34 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z35 - 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Z36 1 857.83 2.215 1.016 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.735 5.966
Z37 2 178.56 3.179 1.559 0.480 0.237 0.452 0.898 1.536 1.863 1.954 2.033 2.185 2.970 19.346
Total 71 416.34 24.134 33.452 17.272 11.944 14.860 25.009 33.006 40.429 37.314 24.485 23.277 22.173 307.354
277

Lampiran 15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil
analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi

Indeks pasokan Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
air irigasi PAI HBAI PAI HBAI PAI HBAI PAI HBAI
(106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3)
0.90 136.08 66.9 303.75 86.0 286.00 112.2 725.83 93.0
0.91 136.15 66.9 309.40 86.0 287.43 112.2 732.99 93.0
0.92 137.93 60.4 312.90 80.3 288.86 101.6 739.69 85.2
0.93 138.02 58.3 315.26 78.4 291.01 98.1 744.28 82.7
0.94 139.08 58.0 317.56 75.0 292.81 97.7 749.45 81.0
0.95 139.78 58.0 319.88 75.0 294.54 97.7 754.21 81.0
0.96 140.54 52.5 322.03 71.3 297.39 88.6 759.96 74.8
0.97 141.20 43.8 323.53 58.3 301.47 73.8 766.20 61.9
0.98 141.96 32.2 324.76 51.3 303.87 54.5 770.59 49.2
0.99 142.29 13.3 326.84 17.2 305.36 22.5 774.49 18.6
1.00*) 142.83 13.1 327.39 16.8 307.36 22.0 777.58 18.2
1.01 143.56 6.6 328.07 8.5 308.80 11.1 780.43 9.2
1.02 144.07 5.7 328.90 7.4 309.80 9.6 782.77 8.0
1.03 144.40 5.7 329.63 7.4 310.83 9.6 784.85 8.0
1.04 144.71 5.7 330.35 7.4 311.92 9.6 786.98 8.0
1.05 145.02 5.4 331.39 6.9 312.92 9.1 789.33 7.5
1.06 145.82 5.3 331.96 6.9 314.08 9.0 791.85 7.5
1.07 146.84 5.3 332.58 6.9 315.18 9.0 794.59 7.5
1.08 149.75 4.9 333.33 6.3 315.85 8.3 798.93 6.9
1.09 150.20 4.8 334.21 6.2 316.49 8.1 800.90 6.7
1.10 150.45 4.8 335.11 6.2 317.33 8.1 802.89 6.7
*) skenario dasar
PAI = penggunaan air irigasi pada solusi optimal
HBAI = harga bayangan air irigasi
278

Lampiran 16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Hulu
(Hektar)
Aktivitas Perubahan pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
X1 2 001.82 2 049.89 1 953.20 2 182.40 2 543.07
X2 5 064.35 5 194.40 5 864.91 6 330.88 6 672.00
X3 2 822.62 421.36 - - -
X4 157.79 2 669.96 2 563.57 1 817.72 1 993.45
X5 3 498.71 3 233.70 2 948.78 2 971.73 2 721.83
X6 3 300.82 4 092.22 3 628.67 3 374.15 3 330.01
X7 408.07 195.02 901.86 1 171.71 1 718.68
X8 - - - - -
X9 - - 472.53 470.77 481.26
X10 - - - - -
X11 - - - - -
X12 503.98 465.01 - - -
X13 733.40 754.50 581.35 360.21 89.30
X14 - - - - -
X15 - - 145.37 393.95 67.92
X16 - - - - -
X17 - - - - -
X18 - - - - -
X19 2 414.55 226.34 - - -
X20 - 2 293.18 2 542.97 2 518.39 2 603.13
X21 5 420.04 4 277.69 3 881.57 3 429.83 3 322.12
X22 146.43 - - - -
X23 - - - - -
X24 - 858.30 1 339.83 1 769.85 1 993.45
X25 - - - - -
X26 417.30 429.31 414.23 429.12 89.46
X27 - - - - -
X28 - - - - -
X29 - - - - -
X30 1 417.34 1 102.18 1 405.32 928.87 1 081.55
X31 - - - - -
X32 - 376.78 95.03 549.43 -
X33 - - - - -
X34 728.58 1 418.81 - - -
X35 - - 1 450.45 2 376.40 2 813.12
X36 2 288.45 1 364.90 1 369.10 441.82 67.92
X37 777.52 801.58 798.38 806.71 865.80
279

Lampiran 17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Tengah
(Hektar)
Aktivitas Pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
Y1 3 192.62 3 964.28 4 210.26 5 113.04 5 804.78
Y2 11 829.08 13 395.17 13 671.76 14 367.04 15 479.43
Y3 5 484.58 5 484.71 5 327.25 2 058.81 2 591.59
Y4 3 478.82 1 101.34 714.91 2 361.31 -
Y5 6 251.88 6 943.10 7 195.99 6 020.89 4 424.65
Y6 8 751.06 9 816.26 9 492.66 10 292.02 9 327.20
Y7 412.80 795.55 960.66 1 323.22 3 866.28
Y8 - - - - -
Y9 - - 1 100.82 1 114.85 1 110.83
Y10 - - - - -
Y11 - - - - -
Y12 1 149.02 1 101.34 16.56 - -
Y13 1 918.81 1 915.64 1 913.93 - -
Y14 - - - - -
Y15 - - - 1 912.02 1 910.06
Y16 - - - - -
Y17 - - - 153.32 2 264.39
Y18 - 159.77 742.78 640.06 2 896.60
Y19 5 071.78 4 689.16 4 366.59 2 647.60 635.38
Y20 - 926.64 714.91 2 361.31 -
Y21 8 993.73 8 319.78 8 006.45 6 136.33 8 735.83
Y22 1 414.81 3 962.31 3 753.91 4 494.09 3 652.17
Y23 - - - - -
Y24 2 405.32 - 698.35 1 802.35 -
Y25 - - - - -
Y26 1 064.94 1 063.18 1 071.80 1 061.17 884.27
Y27 - - - - 175.82
Y28 - - - - -
Y29 - - - - -
Y30 3 002.49 3 419.14 3 436.32 3 434.96 3 431.45
Y31 - - - - -
Y32 - - - - -
Y33 3 814.99 2 217.16 1 525.04 2 357.98 273.83
Y34 - - - - -
Y35 - - - - 1 911.64
Y36 3 283.89 4 587.12 5 327.25 4 529.78 4 677.48
Y37 1 859.64 1 979.68 1 994.09 2 030.62 2 058.05
280

Lampiran 18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam
optimal di Sub DAS Brantas Hilir
(Hektar)
Aktivitas Pasokan air irigasi
Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen Naik 10 persen
Z1 3 620.59 3 737.43 3 578.20 4 128.72 5 088.29
Z2 12 377.35 12 316.34 13 242.56 13 212.44 14 018.14
Z3 6 133.08 5 952.66 2 087.02 281.63 -
Z4 839.74 957.83 4 158.20 5 295.23 3 771.87
Z5 5 868.42 5 984.62 5 695.66 4 328.54 3 164.22
Z6 9 336.95 9 269.05 10 379.11 11 810.41 12 879.21
Z7 979.77 848.33 580.95 565.25 631.81
Z8 - - - - -
Z9 - - - 373.09 649.48
Z10 - - - - -
Z11 - - - - -
Z12 839.74 957.83 1 033.82 670.51 390.66
Z13 1 470.13 1 469.71 1 383.96 1 183.13 -
Z14 - - - - -
Z15 - - - 283.63 1 464.21
Z16 - - - - -
Z17 - - - - -
Z18 - - - - -
Z19 5 130.69 5 104.33 1 171.63 - -
Z20 - - 4 158.20 5 295.23 5 286.05
Z21 2 122.99 6 107.90 4 013.89 3 245.74 2 081.84
Z22 7 162.84 4 483.81 4 295.76 5 742.01 7 473.03
Z23 - - - - -
Z24 - - 3 124.38 2 552.34 1 947.02
Z25 - - - - -
Z26 777.70 777.48 733.50 775.91 774.57
Z27 - - - - -
Z28 - - - - -
Z29 - - - 1 759.22 2 698.63
Z30 3 040.40 3 047.29 2 863.46 1 402.03 457.14
Z31 22.63 - 334.44 - -
Z32 - - - - -
Z33 3 764.74 2 981.53 4 545.22 3 870.97 3 588.67
Z34 - - - - -
Z35 - - - - -
Z36 1 472.46 2 992.20 1 857.83 2 637.64 2 898.39
Z37 2 143.41 2 150.55 2 178.56 2 201.31 2 244.92
281

Lampiran 19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

OBS KOM_MT1 KOM_MT2 KOM_MT3 POLA CODE _FREQ_ LUAS PCTALL


POLA
1 PADI PADI KEDELAI PADI-PADI-KEDELAI 10105 203 43.572 19.8
2 PADI PADI BERA PADI-PADI-BERA 101099 212 37.037 16.9
3 PADI PADI JAGUNG PADI-PADI-JAGUNG 10102 125 28.074 12.8
4 PADI JAGUNG JAGUNG PADI-JAGUNG-JAGUNG 10202 43 13.233 6.0
5 PADI PADI KACANG PADI-PADI-KACANG HIJAU 10108 76 12.386 5.6
HIJAU
6 PADI PADI PADI PADI-PADI-PADI 10101 44 9.318 4.2
7 PADI BENGKOANG JAGUNG PADI-BENGKOANG-JAGUNG 102502 30 6.709 3.1
8 PADI TEMBAKAU BERA PADI-TEMBAKAU-BERA 1027099 37 6.700 3.1
9 TEBU TEBU TEBU TEBU-TEBU-TEBU 26026026 8 6.430 2.9
10 PADI PADI BLEWAH PADI-PADI-BLEWAH 101024 13 5.421 2.5
11 PADI BERA BERA PADI-BERA-BERA 1099099 34 5.194 2.4
12 BERA BERA JAGUNG BERA-BERA-JAGUNG 9909902 17 4.503 2.1
13 JAGUNG JAGUNG TEMBAKAU JAGUNG-JAGUNG-TEMBAKAU 202027 2 4.265 1.9
14 PADI TEMBAKAU TEMBAKAU PADI-TEMBAKAU-TEMBAKAU 1027027 17 3.454 1.6
15 PADI PADI KACANG PADI-PADI-KACANG TANAH 10107 10 2.040 0.9
TANAH
16 PADI PADI CABAI PADI-PADI-CABAI KERITING 101013 9 1.770 0.8
KERITING
17 PADI JAGUNG CABAI RAWIT PADI-JAGUNG-CABAI RAWIT 102011 7 1.570 0.7
18 PADI PADI TEMBAKAU PADI-PADI-TEMBAKAU 101027 10 1.438 0.7
19 PADI BENGKOANG BERA PADI-BENGKOANG-BERA 1025099 3 1.400 0.6
20 CABAI RAWIT JAGUNG JAGUNG CABAI RAWIT-JAGUNG-JAGUNG 110202 3 1.190 0.5
21 BERA PADI BLEWAH BERA-PADI-BLEWAH 9901024 2 1.051 0.5
22 JAGUNG TEMBAKAU BERA JAGUNG-TEMBAKAU-BERA 2027099 5 1.015 0.5
23 PADI TEMBAKAU JAGUNG PADI-TEMBAKAU-JAGUNG 102702 5 0.868 0.4
24 PADI JAGUNG CABAI BESAR PADI-JAGUNG-CABAI BESAR 102012 3 0.850 0.4
25 PADI LAINNYA BERA PADI-LAINNYA-BERA 1039099 2 0.840 0.4
26 JAGUNG KEDELAI BERA JAGUNG-KEDELAI-BERA 205099 3 0.828 0.4
27 RUMPUT RUMPUT RUMPUT RUMPUT GAJAH-RUMPUT GAJAH- 31031031 5 0.728 0.3
GAJAH GAJAH GAJAH RUMPUT GAJAH
28 PADI BENGKOANG CABAI BESAR PADI-BENGKOANG-CABAI BESAR 1025012 3 0.700 0.3
29 PADI PADI SEMANGKA PADI-PADI-SEMANGKA 101022 4 0.675 0.3
30 JAGUNG JAGUNG JAGUNG JAGUNG-JAGUNG-JAGUNG 20202 2 0.660 0.3
31 LAINNYA BERA BERA LAINNYA-BERA-BERA 39099099 2 0.644 0.3
32 UBI JALAR PADI BLEWAH UBI JALAR-PADI-BLEWAH 401024 1 0.643 0.3
33 PADI CABAI RAWIT JAGUNG PADI-CABAI RAWIT-JAGUNG 101102 2 0.570 0.3
34 PADI JAGUNG KEDELAI PADI-JAGUNG-KEDELAI 10205 2 0.518 0.2
35 PADI SEMANGKA JAGUNG PADI-SEMANGKA-JAGUNG 102202 3 0.511 0.2
36 PADI CABAI BESAR JAGUNG PADI-CABAI BESAR-JAGUNG 101202 2 0.420 0.2
37 PADI BERA JAGUNG PADI-BERA-JAGUNG 109902 3 0.385 0.2
38 PADI JAGUNG KACANG PADI-JAGUNG-KACANG HIJAU 10208 3 0.379 0.2
HIJAU
39 KACANG JAGUNG JAGUNG KACANG TANAH-JAGUNG-JAGUNG 70202 1 0.360 0.2
TANAH
40 MENTIMUN JAGUNG TEMBAKAU MENTIMUN-JAGUNG-TEMBAKAU 1802027 1 0.350 0.2
282

Lampiran 19. Lanjutan

OBS KOM_MT1 KOM_MT2 KOM_MT3 POLA KODE _FREQ_ LUAS PCTALL


POLA
41 PADI BAWANG CABAI PADI-BAWANG MERAH-CABAI 1014013 1 0.290 0.1
MERAH KERITING KERITING
42 JAGUNG JAGUNG KACANG JAGUNG-JAGUNG-KACANG PANJANG 202010 1 0.286 0.1
PANJANG
43 JAGUNG UBI KAYU BERA JAGUNG-UBI KAYU-BERA 203099 1 0.280 0.1
44 KEDELAI PADI KEDELAI KEDELAI-PADI-KEDELAI 50105 1 0.240 0.1
45 PADI PADI KACANG PADI-PADI-KACANG PANJANG 101010 2 0.221 0.1
PANJANG
46 PADI JAGUNG CABAI PADI-JAGUNG-CABAI KERITING 102013 1 0.210 0.1
KERITING
47 PADI CABAI BESAR BERA PADI-CABAI BESAR-BERA 1012099 2 0.210 0.1
48 CABAI BESAR TOMAT JAGUNG CABAI BESAR-TOMAT-JAGUNG 1201502 1 0.200 0.1
49 JAGUNG BERA BERA JAGUNG-BERA-BERA 2099099 2 0.186 0.1
50 PADI KACANG PADI PADI-KACANG TUNGGAK-PADI 10901 1 0.180 0.1
TUNGGAK
51 BERA BERA KACANG HIJAU BERA-BERA-KACANG HIJAU 9909908 1 0.179 0.1
52 PADI TERONG BERA PADI-TERONG-BERA 1016099 1 0.175 0.1
53 KACANG TEMBAKAU BERA KACANG PANJANG-TEMBAKAU-BERA 10027099 1 0.175 0.1
PANJANG
54 PADI JAGUNG BERA PADI-JAGUNG-BERA 102099 1 0.168 0.1
55 PADI LAINNYA JAGUNG PADI-LAINNYA-JAGUNG 103902 1 0.168 0.1
56 PADI KEDELAI BERA PADI-KEDELAI-BERA 105099 2 0.157 0.1
57 PADI PADI KRAI PADI-PADI-KRAI 101019 1 0.155 0.1
58 PADI JAGUNG KACANG PADI-JAGUNG-KACANG TANAH 10207 2 0.140 0.1
TANAH
59 PADI KEDELAI JAGUNG PADI-KEDELAI-JAGUNG 10502 1 0.140 0.1
60 KACANG JAGUNG JAGUNG KACANG PANJANG-JAGUNG-JAGUNG 100202 1 0.140 0.1
PANJANG
61 PADI PADI TOMAT PADI-PADI-TOMAT 101015 1 0.140 0.1
62 PADI JAGUNG KACANG PADI-JAGUNG-KACANG PANJANG 102010 1 0.140 0.1
PANJANG
63 PADI JAGUNG BENGKOANG PADI-JAGUNG-BENGKOANG 102025 1 0.140 0.1
64 CABAI BESAR JAGUNG JAGUNG CABAI BESAR-JAGUNG-JAGUNG 120202 1 0.140 0.1
65 PADI CABAI BESAR KACANG PADI-CABAI BESAR-KACANG 1012010 1 0.140 0.1
PANJANG PANJANG
66 PADI CABAI BESAR TOMAT PADI-CABAI BESAR-TOMAT 1012015 1 0.140 0.1
67 JAGUNG JAGUNG BERA JAGUNG-JAGUNG-BERA 202099 1 0.128 0.1
68 KACANG KACANG BERA KACANG PANJANG-KACANG TANAH- 1007099 1 0.126 0.1
PANJANG TANAH BERA
69 PADI PADI LAINNYA PADI-PADI-LAINNYA 101039 1 0.114 0.1
70 BERA PADI BERA BERA-PADI-BERA 9901099 1 0.114 0.1
71 JERUK JERUK JERUK JERUK-JERUK-JERUK 28099099 1 0.112 0.1
72 JAGUNG KACANG JERUK JAGUNG-KACANG TANAH-JERUK 207028 1 0.105 0.0
TANAH
73 LAINNYA LAINNYA BERA LAINNYA-LAINNYA-BERA 39039099 1 0.098 0.0
74 PADI KACANG JAGUNG PADI-KACANG TANAH-JAGUNG 10702 1 0.080 0.0
TANAH
75 PADI PADI MENTIMUN PADI-PADI-MENTIMUN 101018 1 0.071 0.0
76 PADI BAWANG TERONG PADI-BAWANG MERAH-TERONG 1014016 1 0.070 0.0
MERAH
77 KEDELAI KEDELAI JAGUNG KEDELAI-KEDELAI-JAGUNG 60602 1 0.057 0.0
78 UBI KAYU BERA BERA UBI KAYU-BERA-BERA 3099099 1 0.056 0.0
79 PADI KACANG HIJAU BERA PADI-KACANG HIJAU-BERA 108099 1 0.020 0.0
80 BAWANG BAWANG JAGUNG BAWANG MERAH-BAWANG MERAH- 1401402 1 0.014 0.0
MERAH MERAH JAGUNG

S-ar putea să vă placă și