Sunteți pe pagina 1din 80

TINJAUAN YURIDIS SANKSI TINDAKAN KEBIRI KIMIA

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016


TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna

Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo

OLEH :

ASRANDI

H1A1 15 054

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
ABSTRACT
Asrandi, Stambuk: H1A1 15 054, Juridical Review Sanctions for Chemical
Castration Act in Law Number 17 of 2016 Against Actors of Child Sexual Violence,
under the guidance of mother Sabrina Hidayat, as mentor I and Sitti mother Aisah
Abdullah as counselor II.
The purpose of this study was to find out the ratio of legislation determined
by Article 81 Paragraph (7) of Law Number 17 of 2016 which formulated additional
criminal acts in the form of chemical castration.
This type of research is normative legal research, which seeks to find out
whether the rule of law is in accordance with legal norms and whether the norm in
the form of an order or prohibition is in accordance with legal principles.
Based on the results of the study, the authors concluded that the legislation
ratio stipulated Article 81 Paragraph (7) of Law Number 17 of 2016, which
formulated additional criminal acts in the form of chemical castration, which can be
explained through the consideration of Act No. 17 of 2016 concerning the
Establishment of Government Regulations Substitution of Law Number 1 Year 2016
concerning the Second Amendment to Law Number 23 Year 2002 concerning Child
Protection becomes Law, which basically attempts to explain that philosophically
departs from the mandate of the constitution, which refers to one of the objectives of
the Indonesian state, namely protect all the Indonesian people and all the bloodshed
of Indonesia, therefore, the state's efforts to eradicate the perpetrators of child sexual
violence through the punishment of chemical castration are part of the manifestation
of the country's own goals, then sociologically the punishment for chemical
castration is the government's response to the the challenge of sexual violence against
children, which is increasing both from the perpetrators and the victims, and
judicially based on Article 28B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia which states that the state guarantees the rights of children to
survival, growth and development and has the right to protection from violence and
discrimination as stated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia,
meaning that there is protection of children's rights guaranteed in the constitution,
further juridically namely that criminal sanctions imposed on perpetrators of sexual
violence against children have not provided a deterrent effect and have not been able
to comprehensively prevent the occurrence of sexual violence against children.
However, in its development sanctions for chemical castration have given rise to a
number of problems both in the regulatory and conceptual aspects, including the
absence of Government Regulation as implementing regulations for chemical
castration, disharmony towards the concept of Human Rights and the development of
the purpose of punishment.

Keywords : Chemical Castration Sanctions, Perpetrators of Child Sexual


Violence.

iv
ABSTRAK
Asrandi, Stambuk: H1A1 15 054, Tinjauan Yuridis Sanksi Tindakan Kebiri
Kimia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terhadap Pelaku Kekerasan
Seksual Anak, di bawah bimbingan ibu Sabrina Hidayat, sebagai pembimbing I dan
ibu Sitti Aisah Abdullah sebagai pembimbing II.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio legis
ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang
merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia.
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni berupaya
menemukan apakah aturan hukum sesuai norma hukum dan apakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa rasio legis
ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang
merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia, yakni dapat diterangkan
melalui telaah konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak menjadi Undang-Undang, yang pada pokoknya berupaya menerangkan bahwa
secara filosofis berangkat dari amanat konstitusi, yang merujuk pada salah satu
tujuan negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, oleh karena itu, upaya negara untuk melakukan
pemberantasan terhadap pelaku kekerasan seksual anak melalui penghukuman kebiri
kimia, merupakan bagian dari pengejawantahan tujuan negara itu sendiri, kemudian
secara sosiologis penghukuman kebiri kimia merupakan respons pemerintah terhadap
perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang semakin meningkat
baik dari pelaku maupun korbannya, serta secara yuridis berdasar pada Pasal 28B
ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945,
artinya adanya perlindungan terhadap hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi,
lebih lanjut secara yuridis yakni bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu
mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Akan
tetapi dalam perkembangannya sanksi tindakan kebiri kimia tersebut melahirkan
beberapa problematika baik dari aspek regulasi maupun secara konseptual, yang di
antaranya yakni belum di bentuknya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana kebiri kimia, disharmonisasi terhadap konsep Hak Asasi Manusia dan
perkembangan tujuan pemidanaan.

Kata Kunci : Sanksi Kebiri Kimia, Pelaku Kekerasan Seksual Anak.

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan hidayah-Nya, limpahan rezeki,

kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat melaksanakan dan

menyelesaikan hasil ini, shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam, beserta

seluruh keluarganya, sahabatnya dan kita umat muslim sampai akhir hayat.

Penelitian ini berjudul “Tinjauan Yuridis Sanksi Tindakan Kebiri Kimia

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terhadap Pelaku Kekerasan

Seksual Anak”. Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan tantangan

yang penulis dapatkan, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang

tiada henti, disertai harapan yang optimis dan tekad yang kuat sehingga penulis

dapat mengatasi semua itu.

Ucapan terima kasih, penghormatan, dan penghargaan yang setinggi-

tingginya pula kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Lukman dan Ibunda

tercinta Ranti. yang telah melahirkan, membesarkan dengan seluruh cinta dan

kasih sayang, juga memberikan bantuan, serta dorongan kepada penulis dalam

menyelesaikan studi. Saudara-saudaraku Asranda, dan Asraf Rendi dan semua

keluarga yang telah memberikan ketenangan hati dan kesabaran kepada penulis

vi
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini

banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan ucapan terim kasih tidak terhingga, penghargaan dan penghormatan

kepada Ibu Dr. Sabrina Hidayat, S.H., M.H., selaku pembimbing I dan Ibu Sitti

Aisah Abdullah, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.Sc selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo.

3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang

Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

4. Ibu Heryanti S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Perencanaan

dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan

dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

6. Ibu Nur Intan, S.H., M.H. sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo.

7. Bapak Asri Sarif, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.

vii
8. Bapak Dr. Oheo, K.H, S.H., Msc., LL.M. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M.,

serta Bapak Ayib Rosidin, S.H., M.H. selaku penguji yang telah memberikan

masukan dan saran yang membangun demi penyempurnaan Skripsi ini.

9. Dosen Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah

memberikan pencerahan dalam proses perkuliahan sehingga dapat membekali

penulis untuk menjadi mahasiswa hukum yang baik selama 4 (empat) Tahun

ini.

10. Para Tenaga Kependidikan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Halu

Oleo yang memberikan kemudahan untuk mengurus administrasi perkuliahan

termasuk dalam membantu penyelesaian ujian akhir ini

11. Kepada rekan-rekan mahasiswa angkatan 2015 Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo yang tidak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu terima

kasih atas semua bantuannya, motivasi, dukungan moril, kekompakan, dan

kenangannya.

12. Kepada Senior, rekan-rekan, hingga adik-adik anggota Komunitas Peradilan

Semu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Terima kasih atas semua

bantuannya, motivasi, dukungan moril, kekompakan, serta kerja sama dalam

membangun solidaritas untuk kemajuan serta dapat membawa nama baik

Universitas Halu Oleo.

13. Kepada sahabat-sahabatku Sujuti Sudirman, Ade Harwanto, Desi hardjianti,

Ahmad Albar, Agam Sajir, Harlan, Gisto Aprianto dan sahabat-sahabat

lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, penulis

viii
ucapkan terimakasih telah menemani penulis di masa perkuliahan sebagai

lawan bicara dan kawan berpikir, serta terima kasih kepada Harsintan Sesky

Permata, yang telah menjadi seseorang yang istimewa bagi penulis di akhir

masa perkuliahan khususnya dalam upaya memberikan semangat dan

motivasi dalam menghadapi ujian skripsi.

14. Tim Delegasi Inkracht, Tim Delegasi Grundnorm, Tim Delegasi Hugo

grotius,, Tim Delegasi Piala Pringgodigdo UNAIR, Tim Mahkamah

Konstitusi Makassar dan Tim Mahkamah Konstitusi Jakarta terima kasih

telah memberikan banyak llmu khususnya di bidang peradilan semu serta

memberikan banyak pengalaman indah ketika bersama kalian.

Akhirnya penulis berdoa semoga Allah, Subhanahu Wa Ta’ala selalu

melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan

ilmu pengetahuan, bangsa dan agama. Amin.

Wasalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kendari, Juni 2019

Penulis

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................iii
ABSTRACT............................................................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................................................vi
DAFTAR ISI...........................................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian................................................................................................4
D. Manfaat Penelitian.............................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................6


A. Tinjauan Umum Pemidanaan........................................................................6
B. Tinjauan Umum Sanksi Tindakan Kebiri Kimia...................................17
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Seksual.............................27
D. Tinjauan Umum Definisi Anak Ditinjau Dari Peraturan
Perundang-Undangan....................................................................................30

BAB III METODE PENELITIAN


A. Tipe Penelitian................................................................................................33
B. Metode Penelitian..........................................................................................33
C. Sumber Bahan Hukum.................................................................................34
D. Teknik Pengumpulan Hukum....................................................................36
E. Teknik Analisis Bahan Hukum..................................................................36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................38


A. Rasio Legis ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 Yang Merumuskan Pidana Tambahan
Berupa Kebiri Kimia....................................................................................38
B. Analisis Penulis..............................................................................................43

BAB V PENUTUP..............................................................................................................63
A. Kesimpulan.......................................................................................................63
B. Saran...................................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945, menyatakan

bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai akibat hukum dari ketentuan

tersebut, maka segala bentuk penyelenggaraan negara harus senantiasa

berdasarkan hukum, hal tersebut selaras dengan perkembangan konsep negara

hukum yakni perlindungan hak asasi manusia (HAM), pembagian atau pemisahan

kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan administrasi.

Sehingga dengan demikian penginterpretasian frasa “Negara Hukum” adalah

bagian dari upaya pengejawantahan hukum sebagai landasan tindakan negara dan

atau warga negara dalam berbangsa dan bernegara.

Ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang

sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016 merupakan respon pemerintah terhadap

perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang semakin

meningkat baik dari pelaku maupun korbannya.

1
Berdasarkan data jumlah korban kejahatan kekerasan seksual terhadap

anak sejak diberlakukannya sanksi tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang

Nomor 17 tahun 2016 mengalami peningkatan, pada tahun 2018 kasus Anak

Berhadapan dengan Hukum (yang disingkat dengan ABH) masih menduduki

urutan pertama yaitu sebanyak 1.434 kasus, anak yang berhadapan dengan hukum

didominasi kasus kekerasan seksual, yang pelakunya didominasi anak laki-laki.

Pada tahun 2018 kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak laki-laki

berjumlah 103 orang, sedangkan pelaku berjenis kelamin perempuan, berjumlah

58 anak. ABH sebagai korban juga masih didominasi oleh kasus kekerasan

seksual. Korban didominasi berjenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 107

1
korban dan laki-laki berjumlah 75 korban, .

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus

kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai

pelaku. Dalam data yang ditemukan oleh KPAI dinyatakan bahwa pelaku

merupakan orang terdekat anak, yang masuk dalam kategori dewasa seperti ayah

tiri dan kandung, keluarga terdekat, dan teman, guru di sekolah serta orang-orang

sekitar korban. Dalam menjalankan perannya KPAI memang tidak memiliki data

spesifik terkait keseluruhan jumlah pelaku kekerasan seksual anak kategori

dewasa, namun dapat dipastikan terjadi peningkatan pelaku kekerasan seksual

anak dengan mendeteksi jumlah korban yang bertambah dari tahun ke tahun.

Kasus pelanggaran hak anak dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan Kasus pengaduan yang

masuk di KPAI, tahun 2015 berjumlah 4.309 kasus, tahun 2016 mencapai 4.622

1 http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-meningkat

2
kasus, tahun 2017 berjumlah 4.579 kasus dan tahun 2018 meningkat sebanyak

4.885 kasus. Dari catatan pelanggaran hak anak di tahun 2018, KPAI mendapati

dua kasus yang berada diurutan teratas, yakni kasus Anak Berhadapan dengan

Hukum (yang disingkat ABH) dan kasus terkait keluarga dan pengasuhan

2
alternatif .

Dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

mengalami pembaharuan, sebagaimana yang terlihat dalam perumusan sanksi bagi

pelaku pelanggaran hak anak, khususnya dalam upaya memberikan efek jera bagi

pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang di antaranya yakni

mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu

hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 (dua puluh) tahun penjara,

serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selanjutnya pelaku

juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi

elektronik. Terkhusus saksi tindakan kebiri kimia merupakan inovasi baru dalam

perumusan saksi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.

Sehingga pemerintah melalui regulasi sanksi tindakan kebiri kimia mengklaim

sebagai bentuk upaya progresif pemerintah untuk menjawab tantangan terhadap

problematika kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

Oleh karena itu, dalam penelitian yang berusaha menelaah eksistensi

tindakan berupa kebiri kimia sebagai inovasi baru dalam hukum positif Indonesia,

perlunya upaya untuk menelaah kembali rasio legis lahirnya sanksi tindakan

kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak, khusus dalam ketentuan Pasal 81

2
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke : www.kekerasanseksual.komnasperempuan
.or.id

3
ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Serta menganalisis koherensi

sanksi tindakan kebiri kimia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Tinjauan Yuridis Sanksi Tindakan Kebiri Kimia Dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini adalah

Apakah rasio legis ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016 yang merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui rasio legis ditentukannya Pasal 81

Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang merumuskan pidana

tambahan berupa tindakan kebiri kimia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, bagi kalangan akademisi hukum, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, yaitu berguna untuk memberikan sumbangan

pemikiran dalam ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana.

4
2. Manfaat Praktis

Secara praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan

bahan tambahan perpustakaan atau bahan informasi bagi ahli hukum, aparat

penegak hukum, dan masyarakat serta dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjalankan

tugas dan fungsinya untuk memenuhi keadilan di dalam masyarakat.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana, karena

merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang

yang telah bersalah melakukan tindak pidana. ”A criminal law without

sentencing would morely be a declaratory system pronouncing people guilty

without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana

tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang

pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang

kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana

dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat dicela”,

3
maka di sini pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan” tersebut.

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat

dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung


3
Chairul Huda,. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006. hlm. 125

6
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam

masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana

dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi

4
berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa .

Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama

sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai

upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya

preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa.

2. Tujuan Pemidanaan

Bahwa tujuan pidana secara garis besar juga dibagi menjadi tiga teori

yakni

a. Teori absolut

Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana.

Menurut teori ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak

menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan

5
perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi .

b. Teori relatif

Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana sebagai

pembalasan, maka teori relatif mencari dasar pemidanaa adalah penegakkan

ketertiban masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah kejahatan.

4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hlm 33
5 Eddy O.S. Hiarriej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, 2016. hlm.
37

7
Pencegahan terhadap kejahatan dalam teori relatif pada dasarnya dibagi
6
menjadi pencegahan umum dan pencegahan khusus.

c. Teori gabungan

Teori gabungan dalam tujuan pemidanaan berupaya

mengkombinasikan antara teori absolut dan teori relatif. Groritius atau

Hugo de Groot menyatakan bahwa penderitaan memamang sesuatu yang

sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang

layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan

berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari suatu

adegium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat

yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang yang berbuat kejahatan,

maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata

sebagai suatu pembalasan tetapi juga ketertiban masyarakat. Vos secara

tegas menyatakan selain teori absolut dan teoeri relatif juga terdapat

kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Disini terdapat suatu

7
kombinasi antar pembalasan dan ketertiban masyarakat .

Menurut Eddy O.S. Hiarriej Selain teori absolut, teori relatif dan teori

gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembagannya terdapat teori-teori

baru yang disebut sebagai teori kontemporer, yang bila dikaji lebih mendalam,

sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut di

8
atas dengan beberapa modifikasi diantaranya sebagai berikut :

6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid.

8
a. Teori Efek Jera

b. Teori Edukasi

c. Teori Rehabilitasi

d. Teori Pengendali Sosial

e. Teori Keadilan Restoratif

3. Pemidanaan Dalam Double Track System

a. Pengertian Double Track System

Menurut M. Sholehuddin, adapun yang dimaksud dengan model

double track system (sistem dua jalur) yaitu model pemberian sanksi hukum

pidana dengan menggunakan dua macam sanksi pidana yang terdiri dari

pidana dan tindakan yang penerapannya dapat dialternatifkan atau

dikumulatifkan. double track system tidak sepenuhnya memakai satu di

antara dua jenis sanksi itu. sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis

sanksi tersebut dalam kedudukan setara, penekanan pada kesetaraan sanksi

pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system,

sesungguhnya terkait pada fakta bahwa unsur pencelaan/penderitaan (lewat

sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama

9
penting .

Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem dua jalur (double track

system) penulis menganalisis bahwa sistem dua jalur (double track system)

9 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada:2002. hlm. 28.

9
adalah sistem pemberian sanksi dalam hukum pidana terhadap pelaku tindak

pidana yang menerapkan dua macam sanksi sekaligus yang terdiri dari

sanksi pidana dan juga sanksi tindakan. Dengan tujuan di satu sisi sanksi

pidana sebagai sarana pembalasan yang menderitakan terhadap si pelaku

dan disisi lain tujuan sanksi tindakan adalah untuk pemberian pelajaran,

pelatihan, dan pembinaan yang dapat memberikan manfaat baik terhadap

dirinya sendiri maupun bagi masyarakat hal ini akan lebih positif

dibandingkan jika hanya memberikan sanksi pidana saja.

b. Ide Dasar Pemidanaan Dalam Double Track System

Secara garis besar sanksi pidana dapat dibagi dua macam yaitu

pidana (punishment) dan tindakan (treatment). Kedua macam sanksi pidana

tersebut memiliki tujuan yang berbeda, sanksi pidana bertujuan untuk

pencegahan umum (preventie general) dan pencegahan khusus (preventie

special). Sanksi pidana dengan bertujuan untuk pencegahan umum

(preventie general) adalah dengan pemberian sanksi pidana diharapkan agar

masyarakat tidak meniru perbuatan tersebut, selain itu sanksi pidana dengan

bertujuan untuk pencegahan khusus (preventie special) bertujuan agar

dengan pemberian sanksi pidana tersebut si pelaku merasa jera dan tidak

akan melakukan tindak pidana lagi. Sedangkan tindakan (punishment)

bertujuan untuk perbaikan terhadap diri si pelaku serta memberikan rasa

10
aman terhadap masyarakat.

10 Erna Dewi, Hukum Penitensier Dalam Perspektif, Bandar Lampung: Lembaga


Penelitian Universitas Lampung, 2013, hlm 11.

10
Bahwa menurut M. Sholehuddin, dalam bukunya yang berjudul

Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track Sistem &

Implementasinya; menyatakan “Double track system adalah sistem dua jalur

tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak

dan jenis sanksi tindakan di pihak lain, Sanksi pidana bersumber pada ide

dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan bersumber

pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Sehingga sanksi

pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan

sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.

Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan

seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelakunya menjadi jera,

adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi

pertolongan pada pelaku agar berubah. Sehingga sanksi pidana lebih

menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan menekankan kepada

perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi

pelakunya.

4. Sanksi Pidana

a. Pengertian Pidana

Menurut Simons pidana merupakan suatu penderitaan menurut

undang-undang pidana yang berkaitan dengan pelanggaran norma

berdasarkan putusan hakim yang dijatuhkan terhadap orang yang bersalah.

Menurut Van Hamel menyatakan bahwa pidana adalah suatu penderitaan

yang bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang

11
sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum terhadap seorang

pelanggar karena telah melanggar peratuaran hukum yang harus ditegakkan

oleh negara

Eddy O.S. Hiarriej berupaya memberikan simpulan yang bersifat

komprehensif yakni: Pertama, pidana adalah penderitaan yang sengaja

diberikan oleh negara kepada seseorang. Kedua, pidana diberikan sebagai

reaksi atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum pidana. Ketiga,

sanksi pidana yang diberikan oleh negara diatur dan ditetapkan secara

11
rinci.

b. Jenis-Jenis Pidana

Berdasarkan Pasal 10 KUHP penjatuhan sanksi pidana di Indonesia

terbagi atas 2 (dua) yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan

pasal 10 KUHP tersebut, pidana pokok terdiri dari

1) Pidana Pokok : a) Pidana mati, b) Pidana penjara, c) Pidana kurungan,

d) Pidana denda

Urutan-urutan pidana pokok tersebut berdasarkan berat ringannya

sanksi pidana yang dijatuhkan. Prinsip umum dalam penjatuhan pidana

pokok berdasarkan KUHP hakim dilarang menjatuhkan lebih dari satu

pidana pokok. Oleh karena itu ancaman pidana dalam KUHP pada

12
umumnya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda .

11 Eddy O.S. Hiarriej, Op. Cit., hlm. 36 – 37.


12 Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1976,
hlm 44.

12
Kemudian dalam pemidanaan juga berlaku pidana tambahan, pada

prinsipnya pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri

tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari

sesuatu hal yang pokok. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah

hukuman pokok, jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian, prinsip tersebut

bersesuaian dengan suatu postulat yang menyatakan Ubi non est principalis,

non potest esse accessoriou: di mana tidak ada hal pokok, maka tidak

mungkin ada hal tambahan. Demikian postulat yang melandasi hal-hal yang

bersifat pokok dan hal-hal yang bersifat tambahan. Namun tidak sebaliknya,

13
pidana pokok boleh dijatuhkan tanpa pidana tambahan .

Berdasarkan KUHP, pidana tambahan diantaranya dapat berupa

sebagai berikut : a) pencabutan hak tertentu, b) perampasan barang, c)

pengumuman putusan hakim.

5. Sanksi Tindakan

a. Pengertian Sanksi Tindakan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Sanksi diartikan

sebagai suatu tanggungan, tindakan, hukuman, untuk memaksa orang

14
menepati janji atau menaati ketentuan undang-undang. Sedangkan

tindakan adalah sesuatu yang dilakukan, perbuatan. Tindakan yang

15
dilaksanakan untuk mengatasi sesuatu. Secara umum sanksi tindakan

dapat diartikan sebagai hukuman yang dilakukan dalam upaya untuk

13 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 391.
14 https://kbbi.web.id/sanksi.
15 https://kbbi.kata.web.id/tindakan/.

13
memperbaiki dan atau mendidik kembali pelaku agar mampu menyesuaikan

diri dengan lingkungannya.

Menurut M. Sholehuddin, sanksi tindakan bersumber pada ide

dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Oleh karena itu sanksi tindakan

lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi

tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar

berubah. Sehingga sanksi tindakan lebih menekankan kepada perlindungan

16
masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.

Menurut Mahrus Ali, Sanksi tindakan diartikan pemberian suatu

hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan

mengayomi. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat

dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan,

17
memasukan kedalam rumah sakit dan lainnya yang bersifat memperbaiki.

Dengan demikian, prinsip sanksi tindakan lebih bersifat mendidik,

jika ditinjau dari sudut terori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan

merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada

prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat

merugikan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya jika sanksi pidana

berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,

18
sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat .

16 M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm 28.


17 Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 185.
18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010, hlm, 23-24.

14
b. Jenis-Jenis Sanksi Tindakan Peraturan Perudang-Undangan

Jikalau hendak melihat sejauhmana keberlakuan sanksi tindakan

dalam produk kebijakan legislasi, maka terlebih dahulu perlu untuk

memahami eksistensi sanksi tindakan dalam hukum positif Indonesia. Sebab

sanksi tindakan dalam praktek kebijakan legislasi belum dipahami secara

utuh dan menyeluruh, sehingga peranan sankis tindakan dalam hukum

positif Indonesia masih sangat minim atau jauh dibanding eksistensi sanksi

pidana. Beberapa sanksi tindakan yang tertuang dalam hukum positif di

Indonesia yakni

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)


19
sanksi tindakan berupa :

1) Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau

terganggu penyakit (Pasal 44 ayat (2) KUHP)

2) Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana,

hakim dapat mengenakan tindakan berupa (Pasal 45 KUHP) :

a) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya,

atau;

b) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah

yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan

19 M Yahya Harahap, pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,


penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, sinar grafika, Jakarta, 2009, hlm 249.

15
negara yang penyelenggaraanya diatur dalam peraturan pendidikan

paksa (Dwanngopvoedingregeling, stb. 1936 No. 741);

c) penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas

bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu

ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan

atau perbuatan asosial. (Stb. 1936 No. 160)

Selanjutnya beberapa sanksi tindakan di luar KUHP yakni, Pasal

82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Anak, yang menyatakan tindakan yang dapat dikenakan kepada

anak meliputi: (a) pengembalian kepada orang tua/Wali; (b) penyerahan

kepada seseorang; (c) perawatan di rumah sakit jiwa; (d) perawatan di

LPKS; (e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang

diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (f) pencabutan surat izin

mengemudi; dan/atau (g) perbaikan akibat tindak pidana. Serta berbagai

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menghendaki perbaikan

dan atau perawatan bagi pelaku tindak pidana.

Jikalau hendak menelaah keseluruhan sanksi tindakan yang berlaku

di dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, maka sanksi tindakan

dalam hukum positif Indonesia, hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat

komplemen atau pelengkap. Jadi, tak ubahnya sama dengan fungsi jenis

sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Sebab peranan sanksi

tindakan dalam pola pemidanaan yang berlaku menunjukkan minimnya

keberlakuan saksi tindakan, dan tidak adanya kesetaraan dalam

16
pemberlakuan sanksi tindakan dan pidana dalam pembentukan kebijakan

hukum pidana.

B. Tinjauan Umum Sanksi Tindakan Kebiri

1. Sejarah dan Praktek Kebiri

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan

berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd

Edition, 2006, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada

8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak

dibandingkan yang jantan. Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada

manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang

dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada

majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM,

penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran

20
Tiongkok.

Di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha

mendapat suara soprano pada anak laki-laki di Italia hingga upaya

menghindarkan perbuatan tak bermoral di beberapa agama. Kebiri juga

dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta

populasi kelompok tertentu. Secara historis pengebirian kimia telah dipaksakan

20 Nuzul Qur’aini Mardiya, “Implementation of Chemical Castration Punishment For


Sexual Offender”, Jurnal Konstitusi Volume 14 Nomor 1, Maret 2017, hlm. 218.

17
pada berbagai kelompok seperti homoseksual, transgender, pemerkosa dan
21
pedofil sering dengan imbalan pengurangan hukuman.

Negara bagian California merupakan negara bagian AS pertama yang

memberlakukan hukuman kebiri secara kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual

terhadap anak. Hukuman kebiri di California diterapkan sejak tahun 1996.

Sedangkan di negara bagian Florida, hukuman kebiri diberlakukan sejak tahun

1997. Negara bagian lainnya ialah Georgia, Iowa, Louisiana, Montana,

22
Oregon, Texas dan Wisconsin.

Di beberapa negara bagian tersebut, hukuman kebiri kimia bisa

dilakukan tergantung pada keputusan pengadilan, untuk tindak pidana pertama.

Namun untuk tindak pidana kedua, hukuman kebiri diberlakukan secara paksa

kepada pelaku kejahatan seksual. Negara Bagian Amerika Serikat seperti

Lousiana dan Iowa telah mengadopsi kebiri sebagai bagian dari treatment dan

bukan punishment. Di Amerika Serikat sendiri telah menjadi debat panjang

tentang kebiri ini sejak tahun 1980 bahkan jauh di era sebelumnya.

Penyuntikan cairan kimia kepada pelaku kejahatan seksual anak dalam bentuk

medroxyprogesterone acetate (MPA) diyakini akan menurunkan level

testosteron yang berimplikasi pada menurunnya hasrat seksual. Namun

pemberian MPA pada pelaku kejahatan seksual anak ditolak oleh The Food

and Drug Administration, alasan yang dikemukakan oleh FDA adalah untuk

mengurangi hasrat seksual ini, maka pelaku kejahatan seksual anak harus

disuntik chemical castration dengan dosis 500 miligram dan diberikan setiap

21 Ibid.
22 Ibid.

18
minggu dalam jangka waktu tertentu hingga mengakibatkan pelaku impoten.

Menurut institusi ini, tidak perlu membuat pelaku kejahatan seksual anak

impoten, disamping itu, suntikan MPA ini dapat mengakibatkan terganggunya

fungsi organ reproduksi pada pelaku disamping itu juga akan menimbulkan

problem yang lebih serius yang sulit diprediksi sebagai implikasi dari suntikan

23
MPA ini.

2. Jenis-Jenis Sanksi Tindakan Kebiri

Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah

dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan

fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat

24
dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.

Ada dua macam kebiri yang diterapkan di berbagai negara, yaitu

kebiri fisik dan kebiri kimia. Kebiri fisik seperti yang diterapkan di Republik

Ceko dan Jerman, dilakukan dengan cara mengamputasi testis pelaku pedofili

sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron yang mempengaruhi

25
dorongan seksualnya.

Sementara itu kebiri kimia, berbeda dengan kebiri fisik, tidak

dilakukan dengan mengamputasi testis. Pihak eksekutor akan memasukkan zat

kimia antiandrogen yang dapat memperlemah hormon testosteron. Caranya

bisa lewat pil ataupun suntikan. Apabila hormon testosteron melemah, maka

23 Ibid.
24 https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri.
25 Nuzul Qur’aini Mardiya Op. Cit, hlm. 219.

19
kemampuan ereksi, libido, atau hasrat seksual seseorang akan berkurang
26
bahkan hilang sama sekali.

Pengaruh kebiri kimia ini tak berlangsung permanen. Jika pemberian

cairan dihentikan, libido dan kemampuan ereksi akan kembali berfungsi.

Beberapa jenis obat yang banyak digunakan adalah medroxyprogesterone

acetate (MPA) dan cyproterone acetate (CPA). Pengaruh obat ini ada dalam

rentang 40 jam hingga 3 bulan. Dorongan seksual atau gairah seksual

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor terpenting ialah hormon

27
testosteron.

3. Metode Pelaksanaan Kebiri Kimia

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T

Napitupulu, menilai penerapan hukuman kebiri tidak menjamin jumlah

kejahatan seksual otomatis turun. Dari penelitian yang dilakukan ICJR

terhadap berbagai negara tercatat ada tiga jenis pelaksanaan hukuman kebiri.

Yang diantaranya :

1) Mandatory (wajib)

Hukuman kebiri dilakukan secara wajib (mandatory). Hukuman

kebiri jenis ini diberikan kepada pelaku bersamaan dengan putusan hakim.

Jenis hukuman ini dikenal di Polandia, Moldova, dan beberapa negara

bagian Amerika Serikat (AS).

26Ibid.
27Ibid.

20
2) Discretionary

Hukuman kebiri diberikan secara discretionary atau diskresi hakim

yang menangani perkara dan bentuknya pidana tambahan. Jenis ini dianut

Korea Selatan.

3) Voluntary (suka rela)

pengenaan hukuman kebiri secara voluntary atau sukarela oleh

pelaku. Ini paling banyak digunakan Inggris, Jerman, Australia, dan

sebagian negara bagian AS.

Berdasarkan uraian di atas yang menjadi pertanyaan mendasar adalah

bagaimana bentuk dan sifat pelaksanaan kebiri di Indonesia sendiri ?, jikalau

merujuk dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka seharusnya

pengaturan pelaksanaan kebiri kimia di atur melalui Peraturan Pemerintah

sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 81A ayat (4) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016. Akan tetapi belum adanya Peraturan Pemerintah yang

secara khusus terkait pelaksanaan kebiri kimia tersebut, sehingga sekilas terkait

pelaksanaan hukuman kebiri kimia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan

pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 yang di antaranya :

pengaturan terkait pengenaan dan atau penjatuhan kebiri kimia dapat dilihat

dalam Pasal 81 ayat (7), ayat (8), ayat (9) Undang-Undang Nomor 17 tahun

2016, yang menyatakan :

Pasal 81

ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)

dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik.

21
ayat (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-

sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

tindakan.

ayat (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.

Kemudian terkait jangka waktu pelaksanaan dan metode pelaksanaan

dapat dilihat dalam 81A ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-

Undang Nomor 17 tahun 2016, yang menyatakan :

Pasal 81A

ayat (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan

untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan

setelah terpidana menjalani pidana pokok.

ayat (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah

pengawasan secara berkala oleh kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial,

dan kesehatan.

ayat (3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan

rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jikalau menelaah dari aspek pengenaan, waktu pelaksanaan dan

metode pelaksanaan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak

dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016, maka penerapan hukuman

kebiri kimia di Indonesia cenderung pada metode Mandatory dan

Discretionary, sebab. Pertama, sanksi tindakan kebiri kimia diberikan

bersamaan dengan putusan hakim sebagaimana dijelaskan dalam pasal 81 ayat

22
(8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa

“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama

dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan”.

Artinya proses pengenaan atau penjatuhan sanksi tindakan kebiri kimia

diputuskan oleh hakim ketua sidang di muka persidangan bersamaan dengan

pengenaan pidana pokok. Kedua, yakni sanksi tindakan kebiri kimia dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, berbentuk pidana tambahan bagi

pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

4. Pengaturan Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016

Beberapa pidana tambahan dan tindakan juga diberlakukan terhadap

pelaku kekerasan seksual anak dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016,

tepatnya dalam ketentuan Pasal 81 ayat (6) yang menyatakan bahwa :

ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa

pengumuman identitas pelaku.

Dan Pasal 81

ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)

dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik.

Jikalau dirangkum keseluruhan ketentuan Pasal 81 ayat (6) dan (7)

tersebut pada pokoknya merumuskan 3 (tiga) bentuk pidana tambahan yakni

pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik. Akan tetapi dalam pidana tambah dan tindakan tersebut

23
apabila pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut juga masih dalam

kategori anak maka dapat diberikan pengecualian. Lebih lanjut terkhusus

sanksi tindakan berupa kebiri kimia diputuskan bersama-sama dengan pidana

pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan pasal Pasal 81 ayat (8) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016.

Kemudian dalam uraian dari Pasal 81A Undang-Undang Nomor 17

tahun 2016 yang pada pokoknya berupaya mengatur tentang prosedur

penerapan sanksi tindakan kebiri kimia dari aspek pelaksanaannya secara

parsial adalah sebagai berikut :

Pertama, sebelum mengurai aspek pelaksanaan kebiri kimia, terlebih

dahulu perlu untuk diketahui aspek pengenaan maupun dasar hukum sanksi

tindakan kebiri kimia, sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya yang

tertuang dalam Pasal 81 ayat (7). Akan tetapi dalam pengenaannya dapat

dilakukan apabila terpidana atau pelaku yang melakukan persetubuhan dengan

anak terbukti melanggar Pasal 81 ayat (4) atau ayat (5) Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 sebagaimana telah ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yakni sebagai residivis atau

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,

gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu fungsi reproduksi, dan/atau

meninggal dunia.

Kedua, pelaksanaan kebiri kimia sebagaimana yang dirumuskan

dalam Pasal 81A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 telah berupaya

mengatur terkait teknis-teknis penerapan kebiri kimia, yang di antaranya yakni

24
: pelaksanaan tindakan kebiri kimia ini akan diberikan paling lama 2 tahun dan

dilaksanakan setelah terpidana atau pelaku pelaku yang melakukan kekerasan

seksual anak menjalani pidana pokoknya atau saat terpidana menjalani masa

rehabilitasi, dan menerangkan bahwa pelaksanaan tindakan kebiri kimia di

bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Serta

mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan

tindakan dan rehabilitasi diatur dengan peraturan pemerintah. Adapun dasar

hukum dari keseluruhan pelaksanaan kebiri kimia tersebut dinyatakan dalam

ketentuan Pasal 81A ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016.

5. Pendapat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tentang Kebiri Kimia

Indonesia sendiri sejak pertama kali PERPPU No. 1 Tahun 2016

diterbitkan, terkait tindakan kebiri kimia ini sampai saat ini masih banyak

menuai kontroversi, khususnya untuk eksekutor dalam pelaksanaan suntikan

kimianya. Karena dalam proses tindakan kebiri kimia tersebut juga harus

melibatkan profesi kedokteran dalam bidang medis. Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) juga telah mengeluarkan statement tidak bersedia untuk melaksanakan

eksekusi tindakan kebiri kimia. IDI juga menghimbau kepada anggotanya

untuk tidak menjalankan proses tindakan kebiri kimia terhadap seorang

pedofilia atau pelaku kekerasan seksual anak, sekalipun itu perintah undang-

undang.

Karena menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Ilham

Oetama Marsis, proses tindakan kebiri kimia tersebut merupakan suatu

25
perbuatan yang merusak organ manusia, dan itu jelas bertentangan dengan

sumpah dokter dalam kode etik kedokteran dan merupakan sebuah pelanggaran

etika di bidang medis. .

Jikalau menganalisis poin-poin lafal sumpah dalam kode etik

kedokteran, maka terlihat bahwa sanksi tindakan kebiri kimia telah

bertentangan dengan lafal sumpah ke 1, ke 5, dan ke 7 kode etik kedokteran,

sebab sanksi tindakan kebiri kimia merupakan bentuk mengamputasi dan atau

membuat disfungsi organ reproduksi manusia, yang pada hakikatnya

merupakan upaya merenggut hak dasar manusia, yang sesungguhnya adalah

bagian dari perbuatan tidak berprikemanusiaan.

Lebih lanjut Ketua IDI menjelaskan bahwa profesi dokter merupakan

sebuah profesi yang membantu untuk mengupayakan kesembuhan bagi para

pasiennya dan bukan untuk merusaknya. Pendapat yang sama juga diutarakan

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi, Prof. Wimpie Pangkahila,

yang menjelaskan bahwa “tindakan kebiri kimia juga menimbulkan efek

seperti serangan jantung, osteoporosis, dan kerusakan kognitif otak. Proses

pengebirian kimia sudah pasti jelas akan menurunkan hormon testosteron yang

berimplikasi nafsu seksual tersebut akan hilang. Ia juga berpendapat apabila

pedofilia ini di kebiri secara kimia setelah menjalani pidana pokok penjara,

pelaku yang melakukan persetubuhan dengan anak (pedofilia) juga akan

mencari celah untuk membangkitkan nafsu seksualnya kembali yakni dengan

datang ke dokter untuk minta disuntik agar nafsu seksual kembali bangkit”.

26
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Seksual

1. Pengertian Kekerasan seksual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan diartikan

sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Kekerasan bisa juga berarti paksaan. Secara umum kekerasan didefinisikan

sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang

mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Sedangkan seksual memiliki arti

hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hak yang berkenaan dengan

28
perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan .

Berdasarkan pengertian tersebut secara sederhana kekerasan seksual

berarti suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang

berkenaan dengan aktivitas seksual yang mengakibatkan kerusakan dan atau

gangguan fisik atau mental

Kekerasan seksual atau biasa disebut dengan pelecehan seksual adalah

perbuatan melanggar kesopanan/kesusilaan yang merujuk pada perbuatan

seksual yang dilakukan dengan paksaan terhadap korban.

Kekerasan seksual dan pelecehan seksual tidak dikenal dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP Indonesia hanya mengenal

istilah perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam

Pasal 289 KUHP sebagai berikut :

28 Qodratullah, M. Taqdir, Kamus Besar Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Badan


Pengembangan Dan Pembinaan bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2011.
hlm. 228.

27
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Bila diperhatikan, kekerasan seksual dan perbuatan cabul memiliki

unsur yang sama yaitu perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan serta

dilakukan dengan paksaan disertai dengan kekerasan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa dalam hal tindak pidana kekerasan seksual, terdakwa dapat

dituntut dengan pasal percabulan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, dan

Pasal 296 KUHP.

Tindak pidana kekerasan seksual diatur pula dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi

Undang-Undang, dalam Pasal 81 ayat (1) yaitu sebagai berikut :

Pasal 81 ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda Rp.

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Lebih spesifik, yang dimaksud dalam pasal 76D Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak adalah “setiap orang

dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa anak,

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

28
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Secara umum dalam kitab undang-undang Hukum Pidana ada

beberapa perbuatan yang masuk ke dalam kategori kekerasan seksual, yaitu :

a. Merusak Kesusilaan di depan umum (Pasal 281, Pasal 283, dan Pasal

283 bis):

b. Perzinahan (Pasal 284):

c. Pemerkosaan (Pasal 285):

d. Pencabulan (Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293(1), Pasal 294,

Pasal 295 (1).

Seiring dengan berjalannya waktu, bentuk dan jenis kekerasan seksual

pun mulai bertambah. Komisi Nasional Perempuan mencatat sedikitnya ada lima

belas bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang pernah terjadi

29
di Indonesia, yaitu : a) Pemerkosaan, b) Intimidasi Seksual Termasuk Ancaman

Atau Percobaan Perkosaan, c) Pelecehan Seksual, d) Eksploitasi Seksual, e)

Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, f) Prostitusi Paksa,

g) Perbudakan Seksual, h) Pemaksaan Perkawinan, Termasuk Cerai Gantung,

i) Pemaksaan Kehamilan, j) Pemaksaan Aborsi, k) Pemaksaan Kontrasepsi dan

Sterilisasi, l) Penyiksaan Seksual, m) Penghukuman tidak manusiawi dan

bernuansa seksual, m) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan

atau mendiskriminasikan perempuan, n) Kontrol seksual, termasuk lewat

aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama

29
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id

29
D. Definisi Anak Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan

Pembahasan mengenai anak, diperlukan suatu perumusan terkait apa

yang dimaksud dengan anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia

ternyata masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian anak,

sehingga kadang menimbulkan kebingungan untuk menentukan seseorang

termasuk dalam kategori anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem

perundang-undangan di Indonesia yang bersifat pluralisme, sehingga anak

mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu perundang-

undangan dengan perundang-undangan lain.

Pengertian anak dalam Black’s Law Dictionary “young of human species,

generally under the age of puberty (under forteen)” (anak diartikan sebagai

seorang yang usianya belum mencapai empat belas tahun). dalam hal ini

diakuinya variasi umur yang berbeda di berbagai Negara untuk penyebutan

seorang anak.

Berikut ini uraian tentang pengertian anak menurut peraturan perundang-

undangan :

1. Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mendefinisikan anak

di bawah umur apabila belum berumur 16 tahun pada saat ia melakukan suatu

tindak pidana.

2. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, definisi

30
pengertian anak ini juga masih dipakai pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang perlindungan anak.

3. Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

4. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana, angka 4 menyatakan anak yang menjadi korban tindak pidana yang

selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

5. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyatakan anak adalah setiap orang yang berumur di bawah

15 (lima belas) tahun.

6. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

7. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia

dalam pasal 4 huruf h menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun atau belum kawin.

31
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak di mata hukum positif

Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring/

person under uge), orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur

(minderjarighaid/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah

30
pengawasan wali (minderjarige ondervoordij) .

30 Lillik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori Praktik dan Permasalahannya,


Bandung: Mandar maju, 2005, hlm. 3-4.

32
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian Hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran

koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma

yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah

tindakan (act) seseorang sesuai dengan Norma Hukum (bukan hanya sesuai aturan

31
hukum) atau prinsip hukum . Istilah (legal research) atau bahasa Belanda

32
rechtsonderzoek selalu normatif.

Penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian

33
Hukum Normatif , yaitu penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan

cara mengumpulkan data dan bahan dari buku-buku, jurnal, artikel ilmiah, dari

berbagai literatur yang berhubungan dengan penerapan peraturan yang terkait

dengan rumusan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual.

B. Metode Penelitian

Metode Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) yang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

31 Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group, Jakarta,
2005. hlm. 47.
32Ibid, hlm. 55.
33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. 2013, hlm. 23.

33
34
hukum yang sedang ditangani . Pendekatan perundang-undangan dalam

penelitian hukum normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun

akademis. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk

memecahkan isu yang dihadapi.

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut

merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi

35
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

C. Sumber-Sumber dan Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan-bahan hukum tersier. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan

preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber

36
penelitian. Yaitu:

34 Mahmud Marzuki, Op. Cit, hlm. 93.


35 Ibid, hlm 93 – 94.
36 Ibid, hlm. 181.

34
1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif

artinya otoritas. Bahan-bahan hukum primer antara lain terdiri atas peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan atau risalah dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

37
komentar-komentar atas putusan pengadilan . Bahan hukum sekunder pula

memiliki tingkatan yang didasarkan pada jenisnya. Hal tersebut dapat

diketahui bahwa bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena

buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-

38
pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi . Di

samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan baik

tentang hukum dalam buku ataupun jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan hukum

tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu aktual mengenai hukum

39
bidang tertentu . Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan-bahan non hukum

dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,

Kebudayaan, ataupun laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non

hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Relevan atau

37 Ibid, hlm 141 – 142.


38 Ibid, hlm 142.
39 Ibid, hlm 143.

35
tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari peneliti terhadap bahan-

bahan itu.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier, yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan

keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti : Kamus, Ensiklopedia, dan lain-lain.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum yang diperlukan oleh penulis berkaitan

dengan penyelesaian proposal ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan

(library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-

literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai

dasar analisis terhadap substansi penulisan ini. Tujuan dari tinjauan kepustakaan

(library research) ini adalah untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer yang

meliputi perundang-undangan, buku-buku, jurnal, makalah, situs internet, maupun

bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan proposal ini.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dari Bahan hukum primer dan sekunder

akan diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang diterapkan

sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis Bahan hukum

yang digunakan adalah analisis Bahan hukum yang memberikan gambaran secara

jelas dan konkret terhadap objek yang dibahas secara kuantitatif dan selanjutnya

bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan,

36
dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang sangat erat kaitannya

dengan penelitian ini.

37
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Rasio Legis Ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016 Yang Merumuskan Pidana Tambahan Berupa Tindakan

Kebiri Kimia

Menelaah ratio legis rumusan sanksi tindakan kebiri kimia dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, merupakan upaya untuk mengetahui

dan memahami asal-usul, maksud, tujuan atau dasar-dasar yang melatar

belakangi lahirnya sanksi tindakan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan

seksual anak. Salah satu upaya memahami ratio legis dari di regulasinya

penghukuman kebiri di Indonesia, dapat dikaji melalui konsiderans Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016, sebagaimana arti dari sebuah konsideran yakni

memuat tentang uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang memuat

unsur filosofis, sosiologis dan yuridis yang menjadi latar belakang dan alasan

pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut.

Oleh sebab itu, menurut penulis dalam upaya menganalisis konsiderans

dari pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, perlu diuraikan terlebih dahulu

dalil-dalil menimbang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun

40
2016 tersebut, yang pada pokoknya menyatakan :

a. Bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

40
Konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

38
b. Bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara
signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak
kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat;

c. Bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual


terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah
secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga
perlu mengubah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam


huruf a, huruf b, huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Lebih lanjut, secara yuridis dasar pertimbangan terkait ratio legis dari

dirumuskannya sanksi tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016 yakni adalah upaya untuk menjalankan amanat konstitusi atau

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana

terlihat dalam dasar hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

pada bagian “mengingat”, yang secara limitatif merumuskan Pasal 22 ayat (1) dan

Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, adapun rumusan ketentuan kedua pasal

tersebut yakni :

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti
41
undang-undang :
Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 : setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
42
dari kekerasan dan diskriminasi

Jikalau hendak menelaah keseluruhan rujukan terkait rasio legis

dirumuskannya pidana tambahan berupa kebiri kimia dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016, baik dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 17

41 Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.


42 Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

39
Tahun 2016 dan atau dalam landasan hukum di regulasinya Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016 pada sub bagian “mengingat”, maka menurut hemat

penulis beberapa argumentasi yang dapat diberikan dalam upaya mengurai rasio

legis ketentuan pidana tambahan berupa kebiri kimia, yakni dapat diurai melalui

dalil-dalil secara filosofis, secara yuridis dan secara sosiologis. Adapun ulasan

lengkap terkait rasio legis sanksi tindakan kebiri kimia secara filosofis, secara

yuridis dan secara sosiologis adalah sebagai berikut :

1. Landasan Filosofis

Secara Filosofis rasio legis dirumuskannya sanksi tindakan kebiri

kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yakni berangkat dari

amanah konstitusi, yang menisbatkan salah satu tujuan negara Republik

Indonesia, yang pada pokoknya menyatakan “untuk membentuk pemerintahan

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”,

artinya dalam penyelenggaraan negara, negara pada hakikatnya senantiasa dan

atau dituntut untuk melindungi warga negaranya secara menyeluruh, termaksud

perlindungan negara terhadap kehidupan generasi penerus bangsa, sebab pada

dasarnya negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menjaga, serta

menyejahterakan warga negaranya. Oleh karena itu, upaya negara untuk

melakukan pemberantasan terhadap pelaku kekerasan seksual anak, merupakan

bagian dari pengejawantahan tujuan negara itu sendiri, terlebih lagi apabila

berangkat dari dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila yang

merupakan ideologi dasar dalam kehidupan negara Indonesia, yang dimana

salah satu nilai Pancasila yang tertuang dalam sila ke dua yakni kemanusiaan

yang adil dan beradab, dalam penginterpretasiannya dapat dimaknai

40
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang secara mutatis mutandis

memiliki koherensi dengan peregulasian pidana tambahan berupa kebiri kimia,

sebab sanksi tindakan kebiri kimia merupakan respons terhadap meningkatnya

kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sudah barang tentu menabrak

nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang disnisbatkan dalam sila ke dua

Pancasila.

2. Landasan Sosiologis

Secara sosiologis dalam upaya menelaah dasar pertimbangan

dirumuskannya sanksi tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016, maka salah satu acuan yang dapat menjadi referensi untuk

menerangkan landasan sosiologis terkait kebiri kimia yakni berpatokan pada

huruf b konsiderans Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang secara

singkat menyatakan “Bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin

meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak,

merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa

kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat”. Oleh

karena itu, upaya penghukuman dalam bentuk pengaturan terkait sanksi

terhadap pelaku kekerasan seksual anak, khususnya dalam upaya untuk

memberikan efek jera merupakan sesuatu yang sangat mendesak, argumentasi

penulis tersebut didukung apabilah melihat awal mula di regulasinya pidana

tambahan berupa kebiri kimia yakni berasal dari Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016, yang dimana syarat lahirnya

suatu Perpu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, oleh sebab itu

secara sosiologis perumusan sanksi tindakan berupa kebiri kimia merupakan

41
respons pemerintah terhadap perkembangan kejahatan kekerasan seksual

terhadap anak, yang semakin meningkat baik dari pelaku maupun korbannya.

3. Landasan Yuridis

Secara yuridis rasio legis dirumuskannya sanksi tindakan kebiri kimia

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, maka rujukan yang mewakili

landasan yuridis untuk menguraikan rasio legis sanksi tindakan kebiri kimia

tersebut yakni huruf a konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016,

yang pada pokoknya menyatakan “Bahwa negara menjamin hak anak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, keterangan tersebut

secara mutatis mutandis merupakan redaksi kalimat Pasal 28B ayat (2) UUD

NRI. Jikalau hendak diuraikan maksud dan tujuan Pasal 22 ayat (1) 28B ayat

(2) UUD NRI Tahun 1945 kaitannya dengan rumusan sanksi tindakan kebiri

kimia, maka secara komprehensif dapat dinyatakan bahwa adanya urgensi

perlindungan terhadap hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi, yang

disebabkan maraknya pelanggaran terhadap hak-hak anak khususnya

pelanggaran hak anak dalam bentuk kekerasan seksual, sehingga negara

Republik Indonesia sesuai dengan salah satu tujuan pembentukannya yakni

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

maka perumusan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

merupakan upaya negara melakukan perlindungan terhadap generasi bangsa

dari ancaman pelaku kekerasan seksual.

42
Lebih lanjut, huruf c dalam konsideran Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016 juga memberikan pertimbangan hukum terkait landasan hukum di

regulasinya pidana tambahan berupa kebiri kimia, yakni bahwa sanksi pidana

yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum

memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif

terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu mengubah Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

B. Analisis Penulis

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dalam penelitian ini penulis selaku

peneliti berupaya memberikan tanggapan atau argumentasi terkait keberlakuan

pidana tambahan berupa kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016

berdasarkan rasio legisnya. adapun pokok-pokok yang menjadi argumentasi

penulis dalam menanggapi kebiri kimia tersebut adalah sebagai berikut :

1. Koherensi Sanksi Tindakan Kebiri Kimia dengan Prosedur Pembentukan

PERPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Sebagai

Kegentingan Yang Memaksa.

Secara formal, syarat lahirnya perpu adalah adanya kegentingan

yang memaksa. Mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sendiri,

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah

memberikan tiga parameter.

43
a. Adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan

masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang

Jikalau menganalisis undang-undang perlindungan anak yang

telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2016, sebagaimana yang telah di ubah menjadi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Maka baik rumusan pasal

terkait klasifikasi perbuatan kekerasan seksual anak sebagaimana yang

di atur dalam pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016,

maupun jenis-jenis pelaku beserta sanksi pidananya baik minimum dan

maksimumnya sebagaimana yang di atur dalam pasal 81 Ayat (1), ayat

(2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terhadap

pelaku kekerasan seksual anak, sesungguhnya tidak jauh berbeda dan

telah secara eksplisit di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Sehingga urgensi terhadap adanya keadaan berupa kebutuhan

mendesak, untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat

berdasarkan undang-undang terhadap pelaku kekerasan seksual anak,

sebagaimana yang didalilkan dalam pembentukan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tidaklah terpenuhi.

Sebab penyelesaian secara hukum berdasarkan undang-undang terhadap

pelaku kekerasan seksual anak, telah ada dan masih berlaku yakni

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Maupun Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014.

44
b. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Berdasarkan tidak terpenuhinya kebutuhan yang mendesak

untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-

undang. maka secara sistematis kekosongan hukum, atau ada undang-

undang tetapi tidak memadai sebagaimana yang di dalilkan dalam poin

kedua sebagai syarat diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, harus dinyatakan tidak terpenuhi.

c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat

undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu

yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu

kepastian untuk diselesaikan.

Dengan tidak terpenuhinya poin ke satu dan kedua, maka

menurut hemat penulis poin ke tiga pada intinya menyatakan adanya

ketidakpastian hukum, tidak dapat dijadikan pertimbangan atau gugur

dengan sendirinya. Sebab tidak ada indikasi terjadi kekosongan hukum,

sehingga ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan dalam

poin ke tiga ini tidak terpenuhi.

Dengan demikian Menurut penulis Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 adalah keputusan yang bersifat

terburu-buru dan prematur yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebab Dalam

menerbitkan perppu, seharusnya pemerintah berpedoman pada putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah

45
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016, tidak ada kebutuhan

mendesak, apalagi kekosongan hukum. Sebab, masalah kejahatan seksual

telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 maupun

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Persoalan masih maraknya

kekerasan seksual terhadap anak, menurut penulis harus dari aspek

penegakkannya, jika aturannya telah ada dan jelas, tahap selanjutnya yang

perlu diperhatikan adalah proses penegakkannya.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sangatlah tidak tepat jikalau

menyatakan bahwa untuk menekan laju pertumbuhan kekerasan seksual

anak dibutuhkan aturan hukum yang lebih efektif untuk memberantas

perilaku kekerasan seksual terhadap anak, sebagaimana yang menjadi dasar

argumentasi dari pembentukan sanksi tindakan kebiri kimia. Sebab menurut

penulis akar permasalahan dari lemah dan atau tidak efektifnya aturan

perundang-undangan yang telah ada dalam menghadapi perilaku kekerasan

seksual anak, sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 serta berbagai

peraturan perundang-undangan lainnya terkait seksualitas, Sesungguhnya

berasal dari lemahnya penegakkan hukum atau aturan perundang-undangan

yang telah ada, sebab jikalau aturan perundang-undangan yang mengatur

tentang kesusilaan atau kekerasan seksual yang telah ada dimaksimalkan

dalam bentuk penegakkan hukum, maka perilaku kekerasan seksual dapat

dicegah atau diturunkan, sebagai contoh apabila Undang-Undang pornografi

yang banyak mengatur terkait penyebarluasan perilaku yang melanggar

norma-norma kesusilaan dalam masyarakat, apabila dalam penegakkan

46
undang-undang pornografi tersebut dilakukan secara maksimal maka

perilaku yang melanggar norma kesusilaan yang menjadi asal usul lahirnya

perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dicegah dan atau di

minimalisir, serta mampu memaksimalkan sanksi maksimum dalam

peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Perlindungan

anak. Sehingga sekali lagi tidaklah tepat apabila menyatakan bahwa telah

terjadi kegentingan yang memaksa terhadap produk hukum Indonesia dalam

menghadapi kekerasan seksual sebagaimana yang dinisbatkan dalam

perumusan sanksi kebiri kimia. Sebab Hukum positif Indonesia sendiri telah

memiliki aturan perundang-undangan yang responsif dalam merespons

kekerasan seksual terhadap anak, namun memiliki kendala dalam

pengakkannya.

2. Analisis Prosedur Pelaksanaan Sanksi Tindakan Kebiri Kimia dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Jikalau menelaah lebih dalam melalui tinjauan yuridis dari prosedur

pelaksanaan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

terlihat jelas adanya kendala yang mengakibatkan berbagai bentuk

ketidakpastian baik dalam hal ketidakpastian hukum maupun ketidakpastian

secara medis. sebab pengaturan pelaksanaan kebiri kimia dalam Undang-

Undang Nomor 17 tahun 2016, tidak mengatur secara komprehensif terkait

pelaksanaan kebiri kimia secara medis, seperti siapa yang menjadi

eksekutor, atau tindakan-tindakan medis seperti apa yang harus dilakukan

dalam penerapan kebiri kimia, pertanyaan-pertanyaan tersebut hal-hal yang

tidak dapat dihindari atau harus terpenuhi dalam pelaksanaan kebiri kimia

47
pada pelaku tindak pidana. terlebih lagi jika menelaah berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan terkait, maka adanya ketidakpastian hukum

dalam pelaksanaan kebiri kimia dapat dibuktikan dengan tidak adanya

peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut terkait pelaksanaan dari

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 sebagaimana esensi dari peraturan

pemerintah adalah peraturan pelaksana dari undang-undang. oleh karena itu

segala bentuk ketidakpastian yang terjadi dalam prosedur pelaksanaan

hukuman kebiri kimia, adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap salah

satu tujuan hukum yakni adanya kepastian hukum.

Kemudian jikalau melihat salah satu substansi pasal dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016, terkait pelaksanaan kebiri kimia, yakni

Pasal 81A ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pelaksanaan kebiri kimia

disertai dengan rehabilitasi”. Menurut menurut hemat penulis melakukan

rehabilitasi kepada pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri adalah

suatu bentuk kemunduran terhadap tujuan dari rehabilitasi, terlebih lagi


43
apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 23 KUHAP yang

menyatakan :

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan


haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Keseluruhan interpretasi dari ketentuan rehabilitasi tersebut

merupakan upaya memperbaiki pelaku ke arah yang lebih baik, agar ketika

43 Pasal 1 angka 23 KUHAP

48
kembali ke masyarakat ia dapat diterima komunitasnya dan tidak lagi

mengulangi perbuatannya. Sebab jikalau rehabilitasi dilakukan terhadap

seseorang pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri kimia, maka

dia akan dilatih atau dibina tentang tata cara mengengendalikan jiwa dan

atau hasrat seksualnya dalam keadaan hormon testosteron pada organ

reproduksi yang tidak normal atau rendah. Sehingga mengakibatkan pelaku

atau pasien tidak terlatih atau terbina dalam mengengendalikan jiwa dan

atau hasrat seksualnya dalam keadaan hormon testosteron yang normal.

Sehingga pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya sebab pelaku tidak

pernah dibina mengendalikan mentalnya dalam kondisi normal seutuhnya

atau tampa adanya efek kebiri kimia.

Lebih lanjut jika melihat ketentuan pasal 81A ayat (1) yang

menyatakan “Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7)

dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan

setelah terpidana menjalani pidana pokok”. Berdasarkan rumusan pasal

tersebut secara sederhana kebiri kimia yang dikenakan terhadap pelaku

kekerasan mempunyai jangka waktu penerapan atau efek Riversible,

sehingga bersifat sementara, oleh karena tidak ada jaminan perubahan

psikologis pelaku ketika kembali dimasyarakat sebagaimana yang dijamin

oleh sanksi tindakan rehabilitasi yang sangat menitikberatkan pada pelaku

kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke

masyarakat ia dapat diterima komunitasnya dan tidak lagi mengulangi

perbuatan.

49
3. Analisis Subtansi Sanksi Tindakan Kebiri Kimia Dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2016.

a. Koherensi Sanksi Tindakan Kebiri Kimia dalam Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2016 dengan Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Semenjak berlakunya sanksi tindakan kebiri kimia dalam

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016, bentuk dan jenis kekerasan

seksual pun mulai bertambah. Komnas Perempuan mencatat sedikitnya

ada 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan

44
anak yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu : (1) Pemerkosaan, (2)

Intimidasi Seksual Termasuk Ancaman Atau Percobaan Perkosaan, (3)

Pelecehan Seksual, (4) Eksploitasi Seksual, (5) Perdagangan Perempuan

untuk Tujuan Seksual, (6) Prostitusi Paksa, (7) Perbudakan Seksual, (8)

Pemaksaan Perkawinan, Termasuk Cerai Gantung, (9) Pemaksaan

Kehamilan, (10) Pemaksaan Aborsi, (11) Pemaksaan Kontrasepsi dan

Sterilisasi, (12) Penyiksaan Seksual, (13) Penghukuman tidak manusiawi

dan bernuansa seksual, (14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang

membahayakan atau mendiskriminasikan perempuan, (15) Kontrol

seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan

agama.

Jika menelaah keseluruhan bentuk-bentuk kekerasan seksual

terhadap perempuan dan anak sebagaimana yang diuraikan di atas maka

terlihat jelas dan gamblang bahwa dari ke 15 (lima belas) bentuk

44
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id

50
kekerasan seksual yang dirumuskan oleh Komnas Perempuan terdapat 13

(tiga belas) bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang

dapat dilakukan tanpa menggunakan alat reproduksi yang di antaranya

yakni: (1) Intimidasi Seksual Termasuk Ancaman Atau Percobaan

Perkosaan, (2) Pelecehan Seksual, (3) Eksploitasi Seksual, (4)

Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, (5) Prostitusi Paksa, (6)

Perbudakan Seksual, (7) Pemaksaan Perkawinan Termasuk Cerai

Gantung, (8) Pemaksaan Kehamilan, (9) Pemaksaan Aborsi, (10)

Penyiksaan Seksual, (11) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa

seksual, (12) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau

mendiskriminasikan perempuan, (13) Kontrol seksual, termasuk lewat

aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Sedangkan dua

bentuk kekerasan seksual lainnya lebih cenderung menggunakan organ

reproduksi yakni (1) pemerkosaan dan (2) Pemaksaan Kontrasepsi dan

Sterilisasi, akan tetapi jika ditelaah lebih jauh dalam pelaksanaannya,

perbuatan perkosaan terhadap seseorang seringkali dibarengi dengan

kekerasan sesksual di luar dari alat reproduksi seperti menggunakan jari

tangan atau benda-benda lainnya. hal tersebut juga berlaku terhadap

bentuk kekerasan pada Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi.

Sehingga realitas hukum setelah diberlakukannya sanksi

tindakan kebiri kimia, menunjukkan peningkatan terhadap modus dan

operandi dari kekerasan seksual terhadap anak, asal-usul dari lahirnya

berbagai bentuk-bentuk kekerasan seksual anak tersebut, yakni adanya

kesalahan dalam menyasar akar permasalahan dari pelaku kekerasan

51
seksual, sebab sanksi tindakan kebiri kimia ditujukan untuk menurunkan

hormon testosteron dari alat reproduksi pelaku kekerasan seksual, yang

pada pokoknya sasaran utamanya adalah alat kelamin atau organ

reproduksi pelaku kekerasan seksual, sedangkan jika melihat kembali

kondisi, fakta beserta data-data yang ditemukan pada praktek kekerasan

seksual terhadap anak, terdapat 13 dari 15 bentuk kekerasan seksual yang

dapat dilakukan dengan tidak menggunakan alat reproduksi. Terlebih lagi

jikalau melihat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan

Seksual, maka akan diketemukan bahwa terdapat 9 (sembilan) bentuk

kekerasan seksual terdiri dari: (1) pelecehan seksual; (2) eksploitasi

seksual; (3) pemaksaan kontrasepsi; (4) pemaksaan aborsi; (5) perkosaan;

(6) pemaksaan perkawinan; (7) pemaksaan pelacuran; (8) perbudakan

seksual; dan (9) penyiksaan seksual. Yang keseluruhan dari bentuk-

bentuk kekerasan tersebut menunjukkan adanya kesadaran dari para

pembentuk undang-undang dan para ahli hukum bahwa kekerasan

seksual bukan hanya semata-mata permasalahan organ reproduksi, tetapi

dibutuhkan lebih dari itu untuk mampu memahami secara komprehensif.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian-uraian di atas yang telah

menunjukkan adanya berbagai peningkatan terhadap problematika

kekerasan seksual terhadap anak, hingga melahirkan berbagai

problematika baru dalam lingkup kekerasan seksual terhadap anak,

khususnya dalam hal perkembangan jenis-jenis kekerasan seksual dengan

berbagai modus operandinya. Sehingga menurut penulis, jikalau hendak

menelaah bentuk-bentuk kekerasan seksual kaitannya dengan sanksi

52
tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

terhadap pelaku kekerasan seksual anak, maka sesungguhnya yang

menjadi salah satu pokok permasalahan adalah substansi sanksi tindakan

kebiri kimia itu sendiri, sebab sasaran utama dari penghukuman kimia

yakni mengamputasi dan atau membuat disfungsi organ reproduksi

manusia.

Padahal dalam perkembangannya kejahatan kekerasan seksual

merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang

perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, intensitas

maupun modus operandinya. Sehingga apabila kekerasan seksual

terhadap anak hanya menitik beratkan pada permasalahan kelamin atau

organ reproduksi seseorang, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk

kekeliruan dalam menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak

yang dapat berakibat pada ketidakefektifan dalam implementasinya,

sebagaimana yang telah dibuktikan sebelumnya, dimulai dari data

bentuk-bentuk dan modus operandi kekerasan seksual terhadap anak,

hingga diagnosa-diagnosa medis terkait dominasi pelaku kekerasan

seksual anak merupakan orang-orang yang mengidap psikologi abnormal

atau abnormalitas seksual. Sehingga rumusan sanksi tindakan kebiri

kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 menyebabkan

penyempitan dalam memahami problematika kekerasan seksual terhadap

anak, yakni sanksi tindakan kebiri kimia menganggap bahwa akar

permasalahan kekerasan seksual terhadap anak adalah masalah organ

reproduksi semata. Padahal berdasarkan fakta hukum yang ditemukan

53
peran alat kelamin atau organ reproduksi dalam kasus kekerasan seksual

terhadap anak merupakan bagian kecil dari ruang lingkup faktor-faktor

kekerasan seksual anak.

b. Koherensi sanksi tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2016 dengan Hak Asasi Manusia (HAM)

UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat lepas dari konsep

Konstitusionalisme, yaitu suatu konsep yang berkembang sebelum UUD

NRI Tahun 1945 pertama dirumuskan. Ide pokok dari konstitusionalisme

adalah pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia.

Sehingga dianggap bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah jaminan utama

melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dengan demikian

timbul konsep the constitusionalisme state, di mana UUD NRI Tahun

1945 dianggap sebagai institusi yang paling efektif untuk melindungi

45
warga negaranya .

Jikalau menelaah ketentuan sanksi tindakan kebiri kimia beserta

dampak-dampak negatifnya seperti mepercepat penuaan tubuh, cairan

antiandrogen yang disuntikan ke dalam tubuh mengurangi kerapatan

massa tulang sehingga tulang kropos dan memperbesar risiko patah

tulang. Obat itu juga mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak

yang menaikan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka secara

jelas dan gamblang telah terjadi pertentangan dan atau inkoherensi

terhadap beberapa unsur-unsur hak asasi manusia dalam konstitusi yang

diantaranya Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI Tahun

45
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm 45.

54
1945, yang pada intinya kedua ketentuan pasal tersebut menghendaki

bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan

yang merendahkan derajat martabat manusia, terlebih lagi dalam

ketentuan 28I ayat (2) yang menyatakan beberapa hak seperti hak untuk

tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun.

Dasar penulis menyatakan hal tersebut adalah adanya

pemahaman penulis bahwa salah satu subtansi negara hukum adalah

perlindungan HAM. Bahwa Pengaturan lebih spesifik tentang hak asasi

manusia dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam ketentuan-

ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, yang menyatakan “Bahwa Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia”. Akan tetapi jikalau negara

hendak melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia demi

mempertahankan integritas Negara dan melindungi warga negaranya,

pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hak-hak yang

tergolong dalam golongan derogable right (hak yang dapat dibatasi

pemenuhannya), akan tetapi, tidak dibenarkan apabila pembatasan

terhadap hak asasi manusia ditujukan pada hak-hak yang termaksud

dalam golongan non-derogable right (hak yang tidak dapat dibatasi

55
pemenuhannya dalam keadaan apapun), sehingga tidak dapat dirampas

atau dihapuskan oleh negara.

Oleh karena itu, jikalau menelaah subtansi dari sanksi tindakan

kebiri kimia yang pokoknya menyasar organ reproduksi manusia dengan

berbagai dampak negatifnya yang menyebabkan seseorang merasakan

kesakitan diberbagai organ tubuh, merupakan bentuk penyiksaan

terhadap tubuh seseorang, yang dimana bebas dari penyiksaan terhadap

diri seseorang merupakan yang hak dasar setiap orang yang tidak boleh

diganggu-gugat. Terlebih lagi bebas dari penyiksaan terhadap diri

manusia adalah hak asasi manusia yang tergolong sebagai non-derogable

right (hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya dalam keadaan

apapun), sehingga tidak dapat dirampas atau dihapuskan oleh negara.

Kemudian sanksi tindakan kebiri kimia juga betentangan dan

atau inkoherensi secara horizontal dengan beberapa peraturan perundang-

undang terkait yang mengatur tetang hak asasi manusia seperti Pasal 7

ICCPR sebagaimana telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-

Hak Sipil dan Politik yang menyatakan “bahwa tidak seorang pun yang

dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji,

tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Terkhusus lagi,

tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah

tanpa persetujuan dari objek tersebut”. Sehingga ketentuan ICCPR

tersebut semakin mempertegas terkait larangan seseorang menjadi objek

eksperimen medis. oleh karena itu sanksi tindakan kebiri kimia yang

56
belum pernah dilakukan di Indonesia dan tidak memiliki peraturan

pelaksana, merupakan bentuk eksperimen medis terhadap seorang

manusia atau pelaku kekerasan seksual.

Bentuk inkoherensi lebih spesifik terhadap hak asasi manusia

dalam bidang medis, yakni jikalau menganalisis poin-poin lafal sumpah

dalam kode etik kedokteran, maka terlihat bahwa sanksi tindakan kebiri

kimia telah bertentangan dengan lafal sumpah dalam kode etik

kedokteran, yaitu lafal sumpah ke 1, ke 5, dan ke 7 kode etik kedokteran,

sebab kebiri kimia merupakan bentuk mengamputasi dan atau membuat

disfungsi organ reproduksi manusia yang pada hakikatnya merupakan

upaya merenggut hak dasar manusia, yang sesungguhnya adalah bagian

dari perbuatan tidak berprikemanusiaan.

Sehingga menurut hemat penulis pemerintah melalui

kekuasaanya telah melegitimasi peraturan yang tidak berprikemanusiaan

karena bertentangan dengan hak asasi manusia, terlebih lagi jika

dikaitkan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka sanksi tindakan kebiri

kimia merupakan bentuk kezaliman terhadap konstitusi.

Lebih lanjut menurut penulis bahwa sebab kekerasan seksual

bukan hanya bersifat biologis namun juga psikologis dan sosial.

Tindakan kekerasan seksual juga bukan hanya penetrasi alat kelamin

semata. Dalam hal ini, selain hukuman berdasarkan undang-undang yang

ada, yang harus diberikan adalah upaya pemulihan melalui rehabilitasi

secara menyeluruh baik medis, psikologis dan sosial dengan tetap

berpedoman pada Hak Asasi Manusia. Dengan demikian penanganan

57
masalah kekerasan seksual dengan pemberian hukuman tambahan

pengebirian (castration) tidak akan menjawab masalah kekerasan seksual

yang dihadapi. Langkah pemberian hukuman melalui pengebirian tidak

proporsional untuk menangani masalah dan menjauh dari tujuan yang

ingin dicapai.

c. Koherensi sanksi tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2016 dengan Tujuan Pemidanaan.

Sanksi pidana bersumber pada ide dasar : "mengapa diadakan

pemidanaan?". Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: "untuk

apa diadakan pemidanaan itu?". Dengan kata lain, sanksi pidana

sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi

tindakan lebih bersifat antisifatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika

fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat

pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka

fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia

berubah. Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur

pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja

46
dibebankan kepada seorang pelanggar.

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan

seperti tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tujuan

pemidanaan. Yakni dalam substansi teori absolute dan teori relative yang

sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar sanksi pidana

dan sanksi tindakan. Teori absolute memandang bahwa pemidanaan

46 M. Shollehuddin, Loc. Cit., hlm 28

58
merupakan pembalasan dari kesalahan yang telah dilakukan. Teori

absolute atau retribusi mencari pendasaran pemidanaan dengan

memandang ke masa lampau (backward looking), yakni memusatkan

argumennya pada tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori

ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu

demi kerugian yang sudah diakibatkan, demi alasan itu pemidanaan

47
dibenarkan secara moral.

Teori relatif (teori tujuan) berporos pada dua tujuan utama

pemidanaan, yaitu. Pertama, pencegahan umum atau prevensi umum

adalah agar setiap orang tidak lagi melakukan kejahatan, prevensi umum

untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, pencegahan khusus atau

prevensi khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan yang telah dijatuhi

48
pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya .

Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai

tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju

kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini muncullah tujuan pemidanaan

sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada

49
si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.

Bahwa berdasarkan tujuan pemidanaan, maka sanksi tindakan

kebiri kimia dalam dalam pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016, pada hakikatnya adalah suatu pembalasan kepada pelaku

tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, dikarenakan mampu

47 Ibid
48 Ibid
49 Eddy O.S. Hiarriej. Loc. Cit., hlm 55.

59
melahirkan suatu nestapa, yang di mana pembalasan atau pemberian

nestapa terhadap pelaku tindak pidana tidak sesuai dengan perkembangan

tujuan pemidanaan saat ini atau ketidaksesuaian secara kontemporer,

yang disebabkan karena sanksi tindakan kebiri kimia memberikan efek-

efek negatif atau kerusakan pada organ tubuh manusia yang diantaranya

adalah risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkatkan risiko

penyakit jantung dan pembuluh darah, bahkan kematian pada pada

pelaku tindak pidana kekerasan seksual.

Oleh karena berdasarakan resiko atau efek negatif tersebut

sehingga dengan meregulasi sanksi tindakan kebiri kimia secara historis

telah kembali pada paradigma masa lampau yakni aliran klasik atau teori

absolut yang fokusnya hanya menitikberatkan pada pembalasan atau

pemberian nestapa dalam hal ini berbentuk penyiksaan, tidak manusiawi,

dan merendahakan martabat manusia, dengan demikian sanksi tindakan

kebiri kima dalam tujuan pemidanaan lebih bersifat primitif yang

kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman moderen ini yakni

pengaruh teori absolut, yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan

tujuan pemidanaan, di mana perkembangan tujuan pemidanaan saat ini

lebih menuntut agar pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih

baik bukan sekedar pemberian nestapa semata. Sehingga dengan di

berlakukannya sanksi kebiri kimia yang pada hakikatnya adalah suatu

pembalasan pada pelaku tindak pidana kekerasan seksual dan merupakan

upaya menakut-nakuti belaka, terlebih lagi upaya pembalasan yang

hendak diberlakukan melalui pemberian hukuman kebiri kimia tidak

60
memberikan jaminan efek jera bagi pelaku, sebab permasalahan pada

pelaku kekerasan seksual adalah kondisi mentalitas yang tidak mampu

mengontrol hasrat seksual pelaku bukan pada kondisi fisiknya. Sehingga

hukuman kebiri kimia pada pokoknya mengakibatkan kemunduran dalam

tujuan pemidanaan, oleh karena itu dengan memaksakan

diberlakukannya sanksi tindakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan

seksual anak adalah suatu bentuk perkosaan terhadap hukum.

Terlebih lagi jika melihat keseluruhan Pidana tambahan pada

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 bertentangan dengan tujuan

pemidanaan Indonesia. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas

pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan cip tidak akan menimbulkan efek jera

bagi pelaku kekerasan seksual pada anak karena kekerasan seksual pada

anak itu merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai,

mengontrol dan mendominasi anak. Pidana tambahan tersebut dipandang

tidak menyasar kepada akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak

namun hanya semata-mata untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku

kekerasan seksual pada anak yang diragukan secara ilmiah. Dengan

demikian pidana tambahan tersebut hanya semata-mata sebagai suatu

tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi

pelaku kekerasan seksual. Sedangkan bagian dari teori relative yang

diterapkan di Indonesia selaras pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tujuan sistem

pemasyarakatan adalah untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan

menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar menjadi manusia

61
yang lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan

Indonesia.

62
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa rasio legis

ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang

merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia yakni dapat

terangkan melalui telaah konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

yang pada pokoknya bahwa secara filosofis berangkat dari amanah konstitusi,

yang menisbatkan salah satu tujuan negara Republik Indonesia, yang pada

pokoknya menyatakan “untuk membentuk pemerintahan melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, oleh karena itu,

upaya negara untuk melakukan pemberantasan terhadap pelaku kekerasan

seksual anak, merupakan bagian dari pengejawantahan tujuan negara itu

sendiri, terlebih lagi apabila berangkat dari dasar negara Republik Indonesia

yakni Pancasila dalam sila ke dua yakni kemanusiaan yang adil dan beradab,

yang dalam penginterpretasiannya tindakan kebiri kimia merupakan respons

terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sudah

barang tentu menabrak nilai-nilai kemanusiaan, kemudian secara sosiologis

bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan

yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi

dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan,

ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat”. Oleh karena itu,

penghukuman kebiri kimia merupakan respons pemerintah terhadap

63
perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang semakin

meningkat baik dari pelaku maupun korbannya. Kemudian secara yuridis

Secara yuridis rasio legis dirumuskannya sanksi tindakan kebiri kimia dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, tertuang dalam Pasal 28B ayat (2)

UUD NRI 1945 yang menyatakan “Bahwa negara menjamin hak anak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, yang secara

komprehensif dapat dipahami bahwa adanya urgensi perlindungan terhadap

hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi, yang disebabkan maraknya

pelanggaran terhadap hak-hak anak khususnya pelanggaran hak anak dalam

bentuk kekerasan seksual, lebih lanjut secara yuridis yakni bahwa sanksi

pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum

memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif

terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Akan tetapi dalam

perkembangannya sanksi tindakan kebiri kimia tersebut melahirkan beberapa

problematika baik dari aspek regulasi maupun secara konseptual, yang di

antaranya yakni belum di bentuknya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan

pelaksana kebiri kimia, bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran serta

disharmonisasi terhadap konsep Hak Asasi Manusia dan perkembangan

tujuan pemidanaan.

64
B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini, adalah :

Bahwa sasaran utama dari penghukuman kimia yakni mengamputasi

dan atau membuat disfungsi organ reproduksi manusia. Oleh karena itu,

seyogyanya diperlukan upaya pembentukan regulasi penghukuman pelaku

kekerasan seksual terhadap anak yang berorientasi pada pembinaan, sebab

tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak merupakan hasil dari

ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol orientasi seksual, serta

semestinya dalam perumusan sanksi khususnya dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016, baik sanksi tindakan maupun pidana agar senantiasa

memperhatikan koherensi peraturan perundang-undangan lainnya khususnya

peraturan perundang-undangan yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM).

65
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010.

__________. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Undip.1984.

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006.

Eddy O.S. Hiarriej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Erna Dewi, Hukum Penitensier Dalam Perspektif, Lembaga Penelitian


Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2013.

Lillik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori Praktik dan


Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005..
__________. Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group,
Jakarta, 2005.

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana Sinar Grafika. Jakarta. 2012.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum pidana, Rineka Cipta. 2009.


M Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP ,
penyidikan dan Penuntutan,edisi kedua, sinar grafika, Jakarta,2009.
M. Sholehuddin Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya), PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,
1976.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5946).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan


Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat
Manusia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3783).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan


International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886).

Konvensi Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum PBB Tanggal 20


November 1987
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882).

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)


Kamus

Qodratullah, M. Taqdir, Kamus Besar Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Badan


Pengembangan Dan Pembinaan bahasa Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 2011.

https://kbbi.web.id/sanksi

https://kbbi.kata.web.id/tindakan/

Jurnal

Nuzul Qur’aini Mardiya, “Implementation of Chemical Castration Punishment


For Sexual Offender”, Jurnal Konstitusi Volume 14 Nomor 1, Maret
2017,

Web Site

http://www.kpai.go.id
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-meningkat

https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri

S-ar putea să vă placă și