Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
SKRIPSI
OLEH :
ASRANDI
H1A1 15 054
FAKULTAS HUKUM
KENDARI
2019
ABSTRACT
Asrandi, Stambuk: H1A1 15 054, Juridical Review Sanctions for Chemical
Castration Act in Law Number 17 of 2016 Against Actors of Child Sexual Violence,
under the guidance of mother Sabrina Hidayat, as mentor I and Sitti mother Aisah
Abdullah as counselor II.
The purpose of this study was to find out the ratio of legislation determined
by Article 81 Paragraph (7) of Law Number 17 of 2016 which formulated additional
criminal acts in the form of chemical castration.
This type of research is normative legal research, which seeks to find out
whether the rule of law is in accordance with legal norms and whether the norm in
the form of an order or prohibition is in accordance with legal principles.
Based on the results of the study, the authors concluded that the legislation
ratio stipulated Article 81 Paragraph (7) of Law Number 17 of 2016, which
formulated additional criminal acts in the form of chemical castration, which can be
explained through the consideration of Act No. 17 of 2016 concerning the
Establishment of Government Regulations Substitution of Law Number 1 Year 2016
concerning the Second Amendment to Law Number 23 Year 2002 concerning Child
Protection becomes Law, which basically attempts to explain that philosophically
departs from the mandate of the constitution, which refers to one of the objectives of
the Indonesian state, namely protect all the Indonesian people and all the bloodshed
of Indonesia, therefore, the state's efforts to eradicate the perpetrators of child sexual
violence through the punishment of chemical castration are part of the manifestation
of the country's own goals, then sociologically the punishment for chemical
castration is the government's response to the the challenge of sexual violence against
children, which is increasing both from the perpetrators and the victims, and
judicially based on Article 28B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia which states that the state guarantees the rights of children to
survival, growth and development and has the right to protection from violence and
discrimination as stated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia,
meaning that there is protection of children's rights guaranteed in the constitution,
further juridically namely that criminal sanctions imposed on perpetrators of sexual
violence against children have not provided a deterrent effect and have not been able
to comprehensively prevent the occurrence of sexual violence against children.
However, in its development sanctions for chemical castration have given rise to a
number of problems both in the regulatory and conceptual aspects, including the
absence of Government Regulation as implementing regulations for chemical
castration, disharmony towards the concept of Human Rights and the development of
the purpose of punishment.
iv
ABSTRAK
Asrandi, Stambuk: H1A1 15 054, Tinjauan Yuridis Sanksi Tindakan Kebiri
Kimia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terhadap Pelaku Kekerasan
Seksual Anak, di bawah bimbingan ibu Sabrina Hidayat, sebagai pembimbing I dan
ibu Sitti Aisah Abdullah sebagai pembimbing II.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio legis
ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang
merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia.
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni berupaya
menemukan apakah aturan hukum sesuai norma hukum dan apakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa rasio legis
ditentukannya Pasal 81 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang
merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia, yakni dapat diterangkan
melalui telaah konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak menjadi Undang-Undang, yang pada pokoknya berupaya menerangkan bahwa
secara filosofis berangkat dari amanat konstitusi, yang merujuk pada salah satu
tujuan negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, oleh karena itu, upaya negara untuk melakukan
pemberantasan terhadap pelaku kekerasan seksual anak melalui penghukuman kebiri
kimia, merupakan bagian dari pengejawantahan tujuan negara itu sendiri, kemudian
secara sosiologis penghukuman kebiri kimia merupakan respons pemerintah terhadap
perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang semakin meningkat
baik dari pelaku maupun korbannya, serta secara yuridis berdasar pada Pasal 28B
ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945,
artinya adanya perlindungan terhadap hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi,
lebih lanjut secara yuridis yakni bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu
mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Akan
tetapi dalam perkembangannya sanksi tindakan kebiri kimia tersebut melahirkan
beberapa problematika baik dari aspek regulasi maupun secara konseptual, yang di
antaranya yakni belum di bentuknya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana kebiri kimia, disharmonisasi terhadap konsep Hak Asasi Manusia dan
perkembangan tujuan pemidanaan.
v
KATA PENGANTAR
menyelesaikan hasil ini, shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
seluruh keluarganya, sahabatnya dan kita umat muslim sampai akhir hayat.
Seksual Anak”. Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan tantangan
yang penulis dapatkan, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang
tiada henti, disertai harapan yang optimis dan tekad yang kuat sehingga penulis
tingginya pula kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Lukman dan Ibunda
tercinta Ranti. yang telah melahirkan, membesarkan dengan seluruh cinta dan
kasih sayang, juga memberikan bantuan, serta dorongan kepada penulis dalam
keluarga yang telah memberikan ketenangan hati dan kesabaran kepada penulis
vi
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
kepada Ibu Dr. Sabrina Hidayat, S.H., M.H., selaku pembimbing I dan Ibu Sitti
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.Sc selaku Rektor
2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Halu Oleo.
3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang
4. Ibu Heryanti S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Perencanaan
5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
6. Ibu Nur Intan, S.H., M.H. sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas
7. Bapak Asri Sarif, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum
vii
8. Bapak Dr. Oheo, K.H, S.H., Msc., LL.M. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M.,
serta Bapak Ayib Rosidin, S.H., M.H. selaku penguji yang telah memberikan
9. Dosen Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah
penulis untuk menjadi mahasiswa hukum yang baik selama 4 (empat) Tahun
ini.
Halu Oleo yang tidak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu terima
kenangannya.
Semu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Terima kasih atas semua
lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, penulis
viii
ucapkan terimakasih telah menemani penulis di masa perkuliahan sebagai
lawan bicara dan kawan berpikir, serta terima kasih kepada Harsintan Sesky
Permata, yang telah menjadi seseorang yang istimewa bagi penulis di akhir
14. Tim Delegasi Inkracht, Tim Delegasi Grundnorm, Tim Delegasi Hugo
membantu penulis dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................iii
ABSTRACT............................................................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................................................vi
DAFTAR ISI...........................................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian................................................................................................4
D. Manfaat Penelitian.............................................................................................4
BAB V PENUTUP..............................................................................................................63
A. Kesimpulan.......................................................................................................63
B. Saran...................................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945, menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai akibat hukum dari ketentuan
hukum yakni perlindungan hak asasi manusia (HAM), pembagian atau pemisahan
bagian dari upaya pengejawantahan hukum sebagai landasan tindakan negara dan
1
Berdasarkan data jumlah korban kejahatan kekerasan seksual terhadap
Nomor 17 tahun 2016 mengalami peningkatan, pada tahun 2018 kasus Anak
urutan pertama yaitu sebanyak 1.434 kasus, anak yang berhadapan dengan hukum
Pada tahun 2018 kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak laki-laki
58 anak. ABH sebagai korban juga masih didominasi oleh kasus kekerasan
1
korban dan laki-laki berjumlah 75 korban, .
kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai
pelaku. Dalam data yang ditemukan oleh KPAI dinyatakan bahwa pelaku
merupakan orang terdekat anak, yang masuk dalam kategori dewasa seperti ayah
tiri dan kandung, keluarga terdekat, dan teman, guru di sekolah serta orang-orang
sekitar korban. Dalam menjalankan perannya KPAI memang tidak memiliki data
anak dengan mendeteksi jumlah korban yang bertambah dari tahun ke tahun.
masuk di KPAI, tahun 2015 berjumlah 4.309 kasus, tahun 2016 mencapai 4.622
1 http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-meningkat
2
kasus, tahun 2017 berjumlah 4.579 kasus dan tahun 2018 meningkat sebanyak
4.885 kasus. Dari catatan pelanggaran hak anak di tahun 2018, KPAI mendapati
dua kasus yang berada diurutan teratas, yakni kasus Anak Berhadapan dengan
Hukum (yang disingkat ABH) dan kasus terkait keluarga dan pengasuhan
2
alternatif .
pelaku pelanggaran hak anak, khususnya dalam upaya memberikan efek jera bagi
mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu
hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 (dua puluh) tahun penjara,
juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi
elektronik. Terkhusus saksi tindakan kebiri kimia merupakan inovasi baru dalam
tindakan berupa kebiri kimia sebagai inovasi baru dalam hukum positif Indonesia,
perlunya upaya untuk menelaah kembali rasio legis lahirnya sanksi tindakan
kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak, khusus dalam ketentuan Pasal 81
2
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke : www.kekerasanseksual.komnasperempuan
.or.id
3
ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Serta menganalisis koherensi
dengan judul “Tinjauan Yuridis Sanksi Tindakan Kebiri Kimia Dalam Undang-
B. Rumusan Masalah
Tahun 2016 yang merumuskan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia ?
C. Tujuan Penelitian
dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui rasio legis ditentukannya Pasal 81
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
4
2. Manfaat Praktis
bahan tambahan perpustakaan atau bahan informasi bagi ahli hukum, aparat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Pemidanaan
without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana
tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang
3
maka di sini pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan” tersebut.
tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
penghukuman.
6
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam
masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana
dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi
4
berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa .
2. Tujuan Pemidanaan
Bahwa tujuan pidana secara garis besar juga dibagi menjadi tiga teori
yakni
a. Teori absolut
5
perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi .
b. Teori relatif
4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hlm 33
5 Eddy O.S. Hiarriej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, 2016. hlm.
37
7
Pencegahan terhadap kejahatan dalam teori relatif pada dasarnya dibagi
6
menjadi pencegahan umum dan pencegahan khusus.
c. Teori gabungan
berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari suatu
adegium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat
yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang yang berbuat kejahatan,
maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata
tegas menyatakan selain teori absolut dan teoeri relatif juga terdapat
7
kombinasi antar pembalasan dan ketertiban masyarakat .
Menurut Eddy O.S. Hiarriej Selain teori absolut, teori relatif dan teori
baru yang disebut sebagai teori kontemporer, yang bila dikaji lebih mendalam,
8
atas dengan beberapa modifikasi diantaranya sebagai berikut :
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid.
8
a. Teori Efek Jera
b. Teori Edukasi
c. Teori Rehabilitasi
double track system (sistem dua jalur) yaitu model pemberian sanksi hukum
pidana dengan menggunakan dua macam sanksi pidana yang terdiri dari
antara dua jenis sanksi itu. sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis
9
penting .
system) penulis menganalisis bahwa sistem dua jalur (double track system)
9 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada:2002. hlm. 28.
9
adalah sistem pemberian sanksi dalam hukum pidana terhadap pelaku tindak
pidana yang menerapkan dua macam sanksi sekaligus yang terdiri dari
sanksi pidana dan juga sanksi tindakan. Dengan tujuan di satu sisi sanksi
dan disisi lain tujuan sanksi tindakan adalah untuk pemberian pelajaran,
dirinya sendiri maupun bagi masyarakat hal ini akan lebih positif
Secara garis besar sanksi pidana dapat dibagi dua macam yaitu
masyarakat tidak meniru perbuatan tersebut, selain itu sanksi pidana dengan
dengan pemberian sanksi pidana tersebut si pelaku merasa jera dan tidak
10
aman terhadap masyarakat.
10
Bahwa menurut M. Sholehuddin, dalam bukunya yang berjudul
Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track Sistem &
tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak
dan jenis sanksi tindakan di pihak lain, Sanksi pidana bersumber pada ide
pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Sehingga sanksi
Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan
pelakunya.
4. Sanksi Pidana
a. Pengertian Pidana
11
sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum terhadap seorang
oleh negara
sanksi pidana yang diberikan oleh negara diatur dan ditetapkan secara
11
rinci.
b. Jenis-Jenis Pidana
terbagi atas 2 (dua) yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan
d) Pidana denda
pidana pokok. Oleh karena itu ancaman pidana dalam KUHP pada
12
umumnya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda .
12
Kemudian dalam pemidanaan juga berlaku pidana tambahan, pada
tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari
bersesuaian dengan suatu postulat yang menyatakan Ubi non est principalis,
non potest esse accessoriou: di mana tidak ada hal pokok, maka tidak
mungkin ada hal tambahan. Demikian postulat yang melandasi hal-hal yang
bersifat pokok dan hal-hal yang bersifat tambahan. Namun tidak sebaliknya,
13
pidana pokok boleh dijatuhkan tanpa pidana tambahan .
5. Sanksi Tindakan
14
menepati janji atau menaati ketentuan undang-undang. Sedangkan
15
dilaksanakan untuk mengatasi sesuatu. Secara umum sanksi tindakan
13 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 391.
14 https://kbbi.web.id/sanksi.
15 https://kbbi.kata.web.id/tindakan/.
13
memperbaiki dan atau mendidik kembali pelaku agar mampu menyesuaikan
dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Oleh karena itu sanksi tindakan
tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar
16
masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.
17
memasukan kedalam rumah sakit dan lainnya yang bersifat memperbaiki.
18
sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat .
14
b. Jenis-Jenis Sanksi Tindakan Peraturan Perudang-Undangan
positif Indonesia masih sangat minim atau jauh dibanding eksistensi sanksi
Indonesia yakni
atau;
15
negara yang penyelenggaraanya diatur dalam peraturan pendidikan
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (f) pencabutan surat izin
dalam hukum positif Indonesia, hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat
komplemen atau pelengkap. Jadi, tak ubahnya sama dengan fungsi jenis
16
pemberlakuan sanksi tindakan dan pidana dalam pembentukan kebijakan
hukum pidana.
dibandingkan yang jantan. Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada
manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang
dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada
majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM,
penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran
20
Tiongkok.
dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta
17
pada berbagai kelompok seperti homoseksual, transgender, pemerkosa dan
21
pedofil sering dengan imbalan pengurangan hukuman.
22
Oregon, Texas dan Wisconsin.
Namun untuk tindak pidana kedua, hukuman kebiri diberlakukan secara paksa
Lousiana dan Iowa telah mengadopsi kebiri sebagai bagian dari treatment dan
tentang kebiri ini sejak tahun 1980 bahkan jauh di era sebelumnya.
Penyuntikan cairan kimia kepada pelaku kejahatan seksual anak dalam bentuk
pemberian MPA pada pelaku kejahatan seksual anak ditolak oleh The Food
and Drug Administration, alasan yang dikemukakan oleh FDA adalah untuk
mengurangi hasrat seksual ini, maka pelaku kejahatan seksual anak harus
disuntik chemical castration dengan dosis 500 miligram dan diberikan setiap
21 Ibid.
22 Ibid.
18
minggu dalam jangka waktu tertentu hingga mengakibatkan pelaku impoten.
Menurut institusi ini, tidak perlu membuat pelaku kejahatan seksual anak
fungsi organ reproduksi pada pelaku disamping itu juga akan menimbulkan
problem yang lebih serius yang sulit diprediksi sebagai implikasi dari suntikan
23
MPA ini.
fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat
24
dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.
kebiri fisik dan kebiri kimia. Kebiri fisik seperti yang diterapkan di Republik
Ceko dan Jerman, dilakukan dengan cara mengamputasi testis pelaku pedofili
25
dorongan seksualnya.
bisa lewat pil ataupun suntikan. Apabila hormon testosteron melemah, maka
23 Ibid.
24 https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri.
25 Nuzul Qur’aini Mardiya Op. Cit, hlm. 219.
19
kemampuan ereksi, libido, atau hasrat seksual seseorang akan berkurang
26
bahkan hilang sama sekali.
acetate (MPA) dan cyproterone acetate (CPA). Pengaruh obat ini ada dalam
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor terpenting ialah hormon
27
testosteron.
terhadap berbagai negara tercatat ada tiga jenis pelaksanaan hukuman kebiri.
Yang diantaranya :
1) Mandatory (wajib)
kebiri jenis ini diberikan kepada pelaku bersamaan dengan putusan hakim.
26Ibid.
27Ibid.
20
2) Discretionary
yang menangani perkara dan bentuknya pidana tambahan. Jenis ini dianut
Korea Selatan.
Nomor 17 Tahun 2016. Akan tetapi belum adanya Peraturan Pemerintah yang
secara khusus terkait pelaksanaan kebiri kimia tersebut, sehingga sekilas terkait
pengaturan terkait pengenaan dan atau penjatuhan kebiri kimia dapat dilihat
dalam Pasal 81 ayat (7), ayat (8), ayat (9) Undang-Undang Nomor 17 tahun
Pasal 81
ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
pendeteksi elektronik.
21
ayat (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-
tindakan.
ayat (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.
dapat dilihat dalam 81A ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-
Pasal 81A
ayat (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
ayat (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
dan kesehatan.
ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
metode pelaksanaan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak
22
(8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa
pengenaan pidana pokok. Kedua, yakni sanksi tindakan kebiri kimia dalam
ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
Dan Pasal 81
ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
pendeteksi elektronik.
pendeteksi elektronik. Akan tetapi dalam pidana tambah dan tindakan tersebut
23
apabila pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut juga masih dalam
Tahun 2016.
dahulu perlu untuk diketahui aspek pengenaan maupun dasar hukum sanksi
tertuang dalam Pasal 81 ayat (7). Akan tetapi dalam pengenaannya dapat
anak terbukti melanggar Pasal 81 ayat (4) atau ayat (5) Peraturan Pemerintah
meninggal dunia.
24
: pelaksanaan tindakan kebiri kimia ini akan diberikan paling lama 2 tahun dan
seksual anak menjalani pidana pokoknya atau saat terpidana menjalani masa
ketentuan Pasal 81A ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
diterbitkan, terkait tindakan kebiri kimia ini sampai saat ini masih banyak
kimianya. Karena dalam proses tindakan kebiri kimia tersebut juga harus
pedofilia atau pelaku kekerasan seksual anak, sekalipun itu perintah undang-
undang.
25
perbuatan yang merusak organ manusia, dan itu jelas bertentangan dengan
sumpah dokter dalam kode etik kedokteran dan merupakan sebuah pelanggaran
sebab sanksi tindakan kebiri kimia merupakan bentuk mengamputasi dan atau
pasiennya dan bukan untuk merusaknya. Pendapat yang sama juga diutarakan
pengebirian kimia sudah pasti jelas akan menurunkan hormon testosteron yang
pedofilia ini di kebiri secara kimia setelah menjalani pidana pokok penjara,
datang ke dokter untuk minta disuntik agar nafsu seksual kembali bangkit”.
26
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Seksual
sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang
mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Sedangkan seksual memiliki arti
hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hak yang berkenaan dengan
28
perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan .
berarti suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang
27
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
unsur yang sama yaitu perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan serta
disimpulkan bahwa dalam hal tindak pidana kekerasan seksual, terdakwa dapat
289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, dan
dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda Rp.
28
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
a. Merusak Kesusilaan di depan umum (Pasal 281, Pasal 283, dan Pasal
283 bis):
d. Pencabulan (Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293(1), Pasal 294,
pun mulai bertambah. Komisi Nasional Perempuan mencatat sedikitnya ada lima
belas bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang pernah terjadi
29
di Indonesia, yaitu : a) Pemerkosaan, b) Intimidasi Seksual Termasuk Ancaman
29
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
29
D. Definisi Anak Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan
yang dimaksud dengan anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia
termasuk dalam kategori anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem
generally under the age of puberty (under forteen)” (anak diartikan sebagai
seorang yang usianya belum mencapai empat belas tahun). dalam hal ini
seorang anak.
undangan :
di bawah umur apabila belum berumur 16 tahun pada saat ia melakukan suatu
tindak pidana.
(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, definisi
30
pengertian anak ini juga masih dipakai pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
Peradilan Pidana Anak menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang
selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana, angka 4 menyatakan anak yang menjadi korban tindak pidana yang
selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
dalam pasal 4 huruf h menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum
31
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak di mata hukum positif
person under uge), orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur
(minderjarighaid/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah
30
pengawasan wali (minderjarige ondervoordij) .
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma
yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah
tindakan (act) seseorang sesuai dengan Norma Hukum (bukan hanya sesuai aturan
31
hukum) atau prinsip hukum . Istilah (legal research) atau bahasa Belanda
32
rechtsonderzoek selalu normatif.
33
Hukum Normatif , yaitu penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan
cara mengumpulkan data dan bahan dari buku-buku, jurnal, artikel ilmiah, dari
B. Metode Penelitian
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
31 Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group, Jakarta,
2005. hlm. 47.
32Ibid, hlm. 55.
33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. 2013, hlm. 23.
33
34
hukum yang sedang ditangani . Pendekatan perundang-undangan dalam
konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.
35
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
36
penelitian. Yaitu:
34
1. Bahan Hukum Primer
artinya otoritas. Bahan-bahan hukum primer antara lain terdiri atas peraturan
37
komentar-komentar atas putusan pengadilan . Bahan hukum sekunder pula
diketahui bahwa bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena
buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-
38
pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi . Di
samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan baik
39
bidang tertentu . Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan-bahan non hukum
35
tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari peneliti terhadap bahan-
bahan itu.
(library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-
literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai
dasar analisis terhadap substansi penulisan ini. Tujuan dari tinjauan kepustakaan
(library research) ini adalah untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer yang
Bahan hukum yang diperoleh dari Bahan hukum primer dan sekunder
sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis Bahan hukum
yang digunakan adalah analisis Bahan hukum yang memberikan gambaran secara
jelas dan konkret terhadap objek yang dibahas secara kuantitatif dan selanjutnya
36
dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang sangat erat kaitannya
37
BAB IV
Kebiri Kimia
seksual anak. Salah satu upaya memahami ratio legis dari di regulasinya
Undang Nomor 17 Tahun 2016, sebagaimana arti dari sebuah konsideran yakni
unsur filosofis, sosiologis dan yuridis yang menjadi latar belakang dan alasan
dari pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, perlu diuraikan terlebih dahulu
40
2016 tersebut, yang pada pokoknya menyatakan :
a. Bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
40
Konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
38
b. Bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara
signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak
kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat;
Lebih lanjut, secara yuridis dasar pertimbangan terkait ratio legis dari
Tahun 2016 yakni adalah upaya untuk menjalankan amanat konstitusi atau
pada bagian “mengingat”, yang secara limitatif merumuskan Pasal 22 ayat (1) dan
Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, adapun rumusan ketentuan kedua pasal
tersebut yakni :
Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti
41
undang-undang :
Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 : setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
42
dari kekerasan dan diskriminasi
39
Tahun 2016 dan atau dalam landasan hukum di regulasinya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 pada sub bagian “mengingat”, maka menurut hemat
penulis beberapa argumentasi yang dapat diberikan dalam upaya mengurai rasio
legis ketentuan pidana tambahan berupa kebiri kimia, yakni dapat diurai melalui
dalil-dalil secara filosofis, secara yuridis dan secara sosiologis. Adapun ulasan
lengkap terkait rasio legis sanksi tindakan kebiri kimia secara filosofis, secara
1. Landasan Filosofis
bagian dari pengejawantahan tujuan negara itu sendiri, terlebih lagi apabila
salah satu nilai Pancasila yang tertuang dalam sila ke dua yakni kemanusiaan
40
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang secara mutatis mutandis
kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sudah barang tentu menabrak
Pancasila.
2. Landasan Sosiologis
Tahun 2016, maka salah satu acuan yang dapat menjadi referensi untuk
merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
suatu Perpu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, oleh sebab itu
41
respons pemerintah terhadap perkembangan kejahatan kekerasan seksual
terhadap anak, yang semakin meningkat baik dari pelaku maupun korbannya.
3. Landasan Yuridis
landasan yuridis untuk menguraikan rasio legis sanksi tindakan kebiri kimia
yang pada pokoknya menyatakan “Bahwa negara menjamin hak anak atas
secara mutatis mutandis merupakan redaksi kalimat Pasal 28B ayat (2) UUD
NRI. Jikalau hendak diuraikan maksud dan tujuan Pasal 22 ayat (1) 28B ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 kaitannya dengan rumusan sanksi tindakan kebiri
42
Lebih lanjut, huruf c dalam konsideran Undang-Undang Nomor 17
regulasinya pidana tambahan berupa kebiri kimia, yakni bahwa sanksi pidana
B. Analisis Penulis
43
a. Adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
pelaku kekerasan seksual anak, telah ada dan masih berlaku yakni
44
b. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
45
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016, tidak ada kebutuhan
penegakkannya, jika aturannya telah ada dan jelas, tahap selanjutnya yang
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sangatlah tidak tepat jikalau
penulis akar permasalahan dari lemah dan atau tidak efektifnya aturan
46
undang-undang pornografi tersebut dilakukan secara maksimal maka
perilaku yang melanggar norma kesusilaan yang menjadi asal usul lahirnya
anak. Sehingga sekali lagi tidaklah tepat apabila menyatakan bahwa telah
perumusan sanksi kebiri kimia. Sebab Hukum positif Indonesia sendiri telah
pengakkannya.
tidak dapat dihindari atau harus terpenuhi dalam pelaksanaan kebiri kimia
47
pada pelaku tindak pidana. terlebih lagi jika menelaah berbagai ketentuan
Pasal 81A ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pelaksanaan kebiri kimia
rehabilitasi kepada pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri adalah
menyatakan :
merupakan upaya memperbaiki pelaku ke arah yang lebih baik, agar ketika
48
kembali ke masyarakat ia dapat diterima komunitasnya dan tidak lagi
seseorang pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri kimia, maka
dia akan dilatih atau dibina tentang tata cara mengengendalikan jiwa dan
atau pasien tidak terlatih atau terbina dalam mengengendalikan jiwa dan
Lebih lanjut jika melihat ketentuan pasal 81A ayat (1) yang
dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan
kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke
perbuatan.
49
3. Analisis Subtansi Sanksi Tindakan Kebiri Kimia Dalam Undang-
44
anak yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu : (1) Pemerkosaan, (2)
untuk Tujuan Seksual, (6) Prostitusi Paksa, (7) Perbudakan Seksual, (8)
agama.
44
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
50
kekerasan seksual yang dirumuskan oleh Komnas Perempuan terdapat 13
(tiga belas) bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang
51
seksual, sebab sanksi tindakan kebiri kimia ditujukan untuk menurunkan
52
tindakan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
kebiri kimia itu sendiri, sebab sasaran utama dari penghukuman kimia
manusia.
53
peran alat kelamin atau organ reproduksi dalam kasus kekerasan seksual
Sehingga dianggap bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah jaminan utama
45
warga negaranya .
tulang. Obat itu juga mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak
yang menaikan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka secara
diantaranya Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI Tahun
45
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm 45.
54
1945, yang pada intinya kedua ketentuan pasal tersebut menghendaki
bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
ketentuan 28I ayat (2) yang menyatakan beberapa hak seperti hak untuk
tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
55
pemenuhannya dalam keadaan apapun), sehingga tidak dapat dirampas
diri seseorang merupakan yang hak dasar setiap orang yang tidak boleh
undang terkait yang mengatur tetang hak asasi manusia seperti Pasal 7
Hak Sipil dan Politik yang menyatakan “bahwa tidak seorang pun yang
dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji,
tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah
eksperimen medis. oleh karena itu sanksi tindakan kebiri kimia yang
56
belum pernah dilakukan di Indonesia dan tidak memiliki peraturan
dalam kode etik kedokteran, maka terlihat bahwa sanksi tindakan kebiri
dikaitkan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka sanksi tindakan kebiri
57
masalah kekerasan seksual dengan pemberian hukuman tambahan
ingin dicapai.
fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia
46
dibebankan kepada seorang pelanggar.
pemidanaan. Yakni dalam substansi teori absolute dan teori relative yang
58
merupakan pembalasan dari kesalahan yang telah dilakukan. Teori
47
dibenarkan secara moral.
adalah agar setiap orang tidak lagi melakukan kejahatan, prevensi umum
48
pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya .
49
si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.
47 Ibid
48 Ibid
49 Eddy O.S. Hiarriej. Loc. Cit., hlm 55.
59
melahirkan suatu nestapa, yang di mana pembalasan atau pemberian
efek negatif atau kerusakan pada organ tubuh manusia yang diantaranya
telah kembali pada paradigma masa lampau yakni aliran klasik atau teori
lebih menuntut agar pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih
60
memberikan jaminan efek jera bagi pelaku, sebab permasalahan pada
pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan cip tidak akan menimbulkan efek jera
bagi pelaku kekerasan seksual pada anak karena kekerasan seksual pada
61
yang lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan
Indonesia.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
yang pada pokoknya bahwa secara filosofis berangkat dari amanah konstitusi,
yang menisbatkan salah satu tujuan negara Republik Indonesia, yang pada
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, oleh karena itu,
sendiri, terlebih lagi apabila berangkat dari dasar negara Republik Indonesia
yakni Pancasila dalam sila ke dua yakni kemanusiaan yang adil dan beradab,
63
perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, yang semakin
Secara yuridis rasio legis dirumuskannya sanksi tindakan kebiri kimia dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, tertuang dalam Pasal 28B ayat (2)
UUD NRI 1945 yang menyatakan “Bahwa negara menjamin hak anak atas
bentuk kekerasan seksual, lebih lanjut secara yuridis yakni bahwa sanksi
pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum
tujuan pemidanaan.
64
B. Saran
dan atau membuat disfungsi organ reproduksi manusia. Oleh karena itu,
Nomor 17 Tahun 2016, baik sanksi tindakan maupun pidana agar senantiasa
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006.
Eddy O.S. Hiarriej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,
1976.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
https://kbbi.web.id/sanksi
https://kbbi.kata.web.id/tindakan/
Jurnal
Web Site
http://www.kpai.go.id
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
Lihat laporan kasus kekerasan seksual ke :
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-meningkat
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri