Sunteți pe pagina 1din 67

Hari/tanggal : Kamis, 23 Januari 2020

Pukul : 13.00
Tempat : R. Ilmiah Gd. Radioputro Lt. 3
Moderator : Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono Sp.KK(K)
Presenter : Nita Damayanti
Book Reading Stase Dermatologi Tropis I

Infeksi Kulit Superfisial dan Pioderma

Lloyd S. Miller

Diterjemahkan dari Buku Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 9th Ed

Bab 150 Halaman 2719-2745

oleh:

Nita Damayanti

18/437276/PKU/17741

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. SARDJITO

YOGYAKARTA

2019
Infeksi Kulit Superfisial dan Pioderma

Lloyd S. Miller

Infeksi Kulit oleh Staphylococcus

Selayang pandang

▪ Staphylococcus aureus adalah penyebab tersering dari infeksi kulit purulen

superfisial (pioderma).

▪ Tiga puluh persen individu secara berkelanjutan terkolonisasi oleh S. aureus, dan

terkadang ditemukan pada 60% orang sehat. Hal ini merupakan penyebab umum

dan faktor risiko terjadinya infeksi.

▪ Faktor-faktor yang berkontribusi termasuk gangguan imunosupresif, diabetes

melitus, dermatitis atopik, dan cedera jaringan sebelumnya.

▪ Manifestasi lokal meliputi impetigo, ektima, folikulitis, dan furunkulosis.

▪ Reaksi sistemik termasuk staphylococcal scalded skin syndrome, demam scarlet

stafilokokus, dan sindrom syok toksik stafilokokus.

▪ Patologi: infiltrasi neutrofilik yang padat.

▪ Terapi: antibiotik topikal, oral, atau parenteral; mengubah kondisi predisposisi,

jika memungkinkan. Saat merencanakan terapi, pertimbangkan pola resistensi

antimikroba.

Kulit manusia secara normal segera setelah lahir terkolonisasi oleh sejumlah besar

bakteri yang hidup sebagai komensal pada epidermis dan pada pelengkap epidermis

(mikrobiom kulit). Sebagai contoh, Staphylococci-koagulase-negatif (Staphylococcus

epidermidis) diinokulasi selama kelahiran saat bayi melewati vagina dan bakteri

2
coryneform menempati kulit neonatal segera setelah lahir. Dalam beberapa minggu

setelah kelahiran, kulit neonatal terkolonisasi banyak spesies bakteri, jamur dan virus

yang terdiri dari mikrobiom kulit manusia (lihat Bab 16).

Bab ini membahas infeksi kulit superfisial dan pioderma. Pioderma adalah infeksi

pada kulit yang bersifat piogenik (berisi nanah). Mayoritas pioderma pada kulit

disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau grup A Streptococcus (GAS) (juga dikenal

sebagai Streptococcus pyogenes). Bakteri Gram positif ini menyebabkan spektrum klinis

infeksi yang luas, mulai dari pioderma superfisial hingga skin and soft-tissue infections

(SSTI; lihat Bab 151 hingga 153) tergantung pada organisme, lokasi anatomi infeksi, dan

pada faktor inang. Selain itu, bab ini juga membahas infeksi kulit bakteri superfisial

umum lainnya, termasuk pitted keratolisis yang diduga disebabkan oleh Kytococcus

sedentarius, Dermatophilus congolensis atau spesies Corynebacterium spp; eritrasma,

yang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum, dan trichobacteriosis, yang

disebabkan oleh Corynebacterium spp. Staphylococci diklasifikasikan menjadi 2

kelompok besar: (a) Staphylococci koagulase-negatif (S. epidermidis) dan (b)

Staphylococci koagulase-positif (S. aureus). S. epidermidis biasanya merupakan bakteri

komensal yang tidak berbahaya yang ditemukan di permukaan kulit manusia, S. aureus

dapat ditemukan sebagai bakteri komensal yang tidak berbahaya tetapi dapat juga

menjadi patogen yang agresif dan mematikan. Pada tahun 1928, Alexander Fleming

menemukan bahwa koloni S. aureus berwarna emas terlihat tumbuh di seluruh cawan

petri, kecuali di satu daerah yang terkontaminasi oleh jamur Penicillium chrysogenum

(juga dikenal sebagai Penicillium notatum). Hal ini mengarah pada penemuan penting

Fleming yaitu penisilin dan memulai era keemasan antibiotik. Namun, seiring dengan

penggunaan antibiotik yang semakin luas, terjadi juga perkembangan resistensi

3
antibiotik, yang membuat pengobatan infeksi bakteri menjadi lebih rumit. Bakteri yang

resisten terhadap antibiotik ini termasuk penyebaran luas dari methicillin-resistant S.

aureus (MRSA) baik yang didapat di rumah sakit dan didapat dari masyarakat, serta

resistensi antibiotik yang berkembang pada bakteri komensal seperti S. epidermidis.

Sebagai hasilnya, bab ini membahas terapi yang direkomendasikan saat ini untuk

mengatasi resistensi antibiotik.

EPIDEMIOLOGI

S. epidermidis adalah bakteri komensal terbanyak yang ditemukan pada

permukaan kulit manusia. Individu membawa banyak strain S. epidermidis baik yang

bersifat transien atau menetap, dan kolonisasi yang paling umum didapatkan adalah jenis

koagulase-negatif. S. epidermidis merupakan koloni paling umum pada kulit tetapi juga

mampu menyebabkan infeksi superfisial dan invasif, terutama pada material benda asing

yang diimplankan seperti implan bedah dan kateter atau dalam kasus imunosupresi.

Dengan teknik mikrobiologi tradisional, S. aureus ditemukan secara permanen

berkoloni di nares anterior pada sekitar 30% populasi.1 Pembawa/karier bersifat transien

pada individu lain. Kira-kira 60% individu sehat adalah karier S. aureus intermiten di

beberapa tempat di kulit atau mukosa.1 Tempat umum kolonisasi biasanya mencakup area

lembab pada kulit, seperti daerah inguinal, aksila, dan kulit perirektal, serta mukosa

hidung, faring, atau rektum.2 Kondisi yang menjadi predisposisi kolonisasi S. aureus

termasuk dermatitis atopik, diabetes melitus, pasien insufisiensi ginjal dengan dialisis,

penggunaan obat intravena, disfungsi hati, dan kelainan imunosupresif genetik atau

didapat, termasuk infeksi HIV. Kolonisasi S. aureus ditemukan di beberapa lokasi tubuh

4
pada 37 % pasien yang mengalami infeksi purulen oleh community-acquired

methicillinresistant S. aureus (CA-MRSA).

S. aureus adalah penyebab paling umum dari pioderma primer dan SSTI, serta

infeksi sekunder (superinfeksi) pada penyakit yang mendasari perubahan kulit (Tabel

150-1). Di Amerika Serikat, SSTI menyebabkan sekitar 14,2 juta kunjungan rawat jalan

dan gawat darurat dan hampir 870.000 rawat inap per tahun.4,5 Selain itu, CA-MRSA

adalah penyebab paling sering dari SSTI yang muncul di gawat darurat di Amerika

Serikat. 6,7 S. aureus sebagai penyebab pioderma dan SSTI, dapat masuk ke aliran darah

serta mengakibatkan bakteremia dan infeksi metastasis seperti osteomielitis, endokarditis

infektif akut, dan abses pada banyak organ dan jaringan. Resistensi antibiotik telah

menjadi masalah serius, terutama MRSA, yang menyebabkan antara 80.000 dan 111.000

infeksi invasif per tahun di Amerika Serikat.8,9 Beberapa strain S. aureus juga

memproduksi eksotoksin, yang dapat menyebabkan kumpulan gejala kulit dan sistemik,

seperti pada staphylococcal scalded-skin syndrome, demam scarlet stafilokokal, dan

sindrom syok toksik stafilokokal (lihat Bab 152).

Penularan bakteri S. aureus pada pasien terjadi terutama melalui kontak dengan

kulit orang lain atau fomites daripada melalui udara.10 Setiap individu dengan infeksi

stafilokokal yang terbuka merupakan karier potensial dan berisiko tinggi sebagai

penyebar infeksi. S. Aureus pada hidung tampaknya menjadi faktor risiko utama untuk

infeksi luka bedah paska operasi.11 Kolonisasi hidung pada neonatus dikaitkan dengan

infeksi S. aureus pada bayi baru lahir di ruang perawatan dan unit perawatan intensif

neonatal serta pediatrik.12 Tingkat bakteremia S. aureus juga lebih tinggi pada karier

hidung S. aureus.12 Terdapat kekhawatiran khusus dengan meningkatnya angka strain S.

aureus yang resisten terhadap antibiotik seperti MRSA yang telah menjadi endemik di

5
rumah sakit di seluruh dunia mulai tahun 1960-an. Penanganan pasien yang hati-hati,

prosedur cuci tangan yang ketat, dan isolasi pasien dengan infeksi stafilokokus terbuka

penting dalam pengurangan penularan stafilokokus. Selain itu, sejak akhir 1990-an telah

terjadi epidemi dari strain CA-MRSA, seperti US300 di Amerika Serikat, yang

menyebabkan SSTI pada individu sehat di luar seting rumah sakit dan tanpa faktor risiko

infeksi yang diketahui.13-15

6
GAMBARAN KLINIS

PENEMUAN KUTAN

Impetigo : Terdapat dua pola klinis impetigo : non bulosa dan bulosa. Jenis non

bulosa didapatkan pada 70% kasus impetigo dan dapat disebabkan oleh S. aureus (paling

umum), GAS, atau kombinasi keduanya. Impetigo non bulosa sering terjadi pada anak-

anak, tetapi dapat juga terjadi pada dewasa dari semua usia. Umumnya, impetigo non

bulosa muncul di wajah (terutama di sekitar nares/hidung) atau ekstremitas setelah

trauma. Awal lesi berupa papul eritematosa kemudian berubah menjadi vesikel dan

pustula yang pecah dan membentuk krusta berwarna madu dengan dasar eritematosa

(Gbr. 150-1). Pada karier nares dari S. aureus, impetigo non bulosa sering disertai dengan

papul transien atau pustula di area di dalam atau sekitar nares dengan pruritus atau nyeri

(Gambar 150-2), yang berubah menjadi lesi tipikal berupa krusta berwarna madu.

Gambar 150-1 Staphylococcus aureus: impetigo. Eritema dan krusta berwarna madu

pada daerah hidung dan bibir atas (A), yang dapat menyebar melibatkan seluruh daerah

sentrofasial (B).

7
Impetigo bulosa disebabkan oleh strain S. aureus yang mengekspresikan toksin

eksfoliatif tertentu (lihat bagian “Etiologi dan Patogenesis”) yang memecah desmoglein

1 pada epidermis, sehingga menghasilkan kelompok bula beratap tipis, vesikel, dan / atau

pustula. Bula biasanya muncul pada area kulit normal dan mudah pecah, menciptakan

krusta dan erosi eritematosa yang mempunyai skuama collarete sebagai sisa dari bekas

bula dan vesikel sebelumnya. Impetigo bulosa paling sering terjadi pada bayi baru lahir

dan bayi yang lebih besar, ditandai oleh perkembangan vesikel yang cepat berubah

menjadi bula kendur (Gbr. 150-3).

Gambar 150-2 Staphylococcus aureus: Karier nasal dengan impetigo.

Eritema dengan pustula kecil pada ujung hidung nares pada individu dengan

kolonisasi S. aureus.

Beberapa dekade yang lalu, impetigo bulosa yang luas (istilah lama: pemfigus

neonatorum atau penyakit Ritter) menjadi epidemi pada ruang perawatan neonatal. Bula

biasanya muncul pada area kulit normal. Tanda Nikolsky (pengelupasan seperti lembar

kertas pada epidermis dengan tekanan geser) tidak ditemukan. Awalnya bula

mengandung cairan kuning jernih yang kemudian menjadi kuning gelap dan keruh

8
(Gambar 150-3A), tepi bula berbatas tegas tanpa adanya halo eritematosa. Bula

merupakan bula superfisial, yang kemudian pada satu atau dua hari akan pecah,

membentuk krusta tipis berwarna coklat muda hingga kuning keemasan (Gbr. 150-3B).

Varicella bulosa merupakan superinfeksi lesi varicella oleh strain S. aureus yang

mengekspresikan racun eksfoliatif (impetiginisasi bulosa).

Gambar 150-3 Staphylococcus aureus: impetigo bulosa. Banyak vesikel

dengan isi jernih dan keruh (A) menyatu dengan cepat sehingga membentuk

bula kendur (B).

Kulit yang intak biasanya resisten terhadap “impetiginisasi.” Namun, kondisi

dengan sawar atau integritas epidermis yang terganggu mempunyai predisposisi untuk

terjadinya impetiginisasi S. aureus seperti pada dermatitis atopik, gigitan serangga,

dermatofitosis epidermal, herpes simpleks, varicella, abrasi, laserasi, dan luka bakar

termal. Gejala konstitusional biasanya tidak ditemukan Limfadenopati regional dapat

terjadi pada 90% pasien dengan infeksi yang berkepanjangan dan tidak diobati. Jika tidak

9
diobati, lesi dapat perlahan-lahan membesar dan berkembang menjadi lesi baru selama

beberapa minggu. Pada beberapa individu, lesi sembuh secara spontan; pada yang lain,

lesi meluas ke dalam dermis, membentuk ulkus (lihat “Ektima” di bawah).

Ektima: Ektima dapat disebabkan oleh S. aureus dan / atau GAS yang secara

klasik berkembang dari impetigo yang tidak diterapi yang teroklusi oleh alas kaki dan

pakaian hingga meluas lebih dalam, menembus epidermis dan menghasilkan ulkus

“punched-out” dengan krusta berwarna kuning keabu-abuan dan material purulent yang

dapat didebridasi (Gbr. 150-4).

Gambar 150-4 Staphylococcus aureus: Ektima:. Ulkus multipel berkrusta

tebal di kaki pasien dengan diabetes dan gagal ginjal. Lesi eksimatik juga

terdapat pada tungkai lain, lengan, dan tangan.

10
Tepi ulkus berindurasi, terangkat, violaceous, dan dasar granulasi meluas ke

dalam dermis. Biasanya terdapat edema di sekitar lesi. Lesi ektimatosa yang tidak diobati

membesar dari minggu ke bulan hingga diameter 2 sampai 3 cm atau lebih, dan tidak

seperti impetigo, sering sembuh dengan jaringan parut. Ektima paling sering terjadi pada

ekstremitas bawah anak-anak, pasien lanjut usia yang terabaikan, dan individu dengan

diabetes. Kebersihan dan pengabaian yang buruk adalah elemen kunci dalam patogenesis.

Lesi ektima juga dapat berkembang dari pioderma primer atau dari dermatosis yang sudah

ada sebelumnya atau lokasi trauma. Ektima harus dibedakan dari ektima gangrenosum,

yang merupakan ulkus kulit yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan

menyerupai ektima stafilokokus atau streptokokus (lihat Bab 154).

Folikulitis: Folikulitis adalah pioderma yang berasal dari folikel rambut, dan

diklasifikasikan menurut kedalaman invasi (superfisial dan dalam), serta etiologi mikroba

(Tabel 150-2).

11
Folikulitis superfisial juga disebut folikular atau impetigo Bockhart. Pustula

kecil yang rapuh dan berbentuk kubah terjadi pada infundibulum (ostium ) folikel rambut,

sering terjadi pada kulit kepala anak-anak dan di daerah jenggot (Gambar 150-5), aksila,

ekstremitas, dan pantat orang dewasa. Folikulitis stafilokokus yang terisolasi biasanya

terjadi pada bokong orang dewasa.

Gambar 150-5 Staphylococcus aureus: folikulitis superfisial. Beberapa

pustula terbatas pada area jenggot

Periporitis staphylogenes merupakan infeksi sekunder pada miliaria neonatus

yang disebabkan oleh S. aureus. Blepharitis stafilokokus adalah infeksi S. aureus pada

kelopak mata, yang ditandai adanya pengelupasan ataupun krusta pada batas kelopak

mata, dan seringkali berkaitan dengan konjungtivitis; Diagnosis banding meliputi

dermatitis seboroik dan rosasea pada kelopak mata. Sikosis barbae adalah folikulitis

dalam dengan peradangan perifolikular yang terjadi di daerah berjanggut pada wajah dan

bibir atas (Gbr. 150-6). Apabila tidak diobati, lesi dapat menjadi lebih dalam dan kronis.

Sikosis Lupoid adalah bentuk sikosis barbae yang dalam dan kronis serta terkait dengan

jaringan parut, biasanya terjadi sebagai lesi sirsinata. Sikatrik sentral yang dikelilingi oleh

pustula dan papula memberikan tampilan lupus vulgaris (lihat Bab 157).

12
Gambar 150-6 Sikosis barbae. Folikulitis stafilokokus yang dalam pada

daerah kumis

Folikulitis S.aureus harus dibedakan dari infeksi folikulosentrik lainnya. Ini

termasuk 3 kelainan folikel non infeksius dan inflamasi yang lebih sering terjadi pada

laki-laki ras kulit hitam: (a) pseudofolikulitis barbae, yang terjadi pada daerah jenggot

segmen bawah (Gambar 150-7); (b) folikulitis keloidalis atau akne keloidalis nuchae, di

tengkuk; dan (c) perifolikulitis kapitis, pada kulit kepala. S. aureus dapat menyebabkan

infeksi sekunder pada kelainan inflamatori ini. Paparan terhadap minyak mineral, produk

tar, dan minyak cukur dapat menyebabkan iritan folikulitis. Akne vulgaris, erupsi

akneiformis yang diinduksi obat, rosasea, hidradenitis supurativa, jerawat nekrotika pada

kulit kepala, dan folikulitis eosinofilik dari penyakit HIV juga harus dibedakan dari

folikulitis infeksius. Folikulitis "hot tub" dapat disebabkan oleh P. aeruginosa (lihat Bab

154). Folikulitis dermatofit harus dibedakan dari folikulitis S. aureus. Pada infeksi jamur,

rambut biasanya patah atau rontok, dan terdapat nodul supuratif atau granulomatosa

dibandingkan pustula. Selain itu, pada folikulitis dermatofit, mencabut rambut biasanya

tidak menimbulkan rasa sakit (lihat Bab 160).

13
Gambar 150-7 Pseudofollikulitis barbae. Beberapa papula di daerah

janggut bawah disebabkan oleh ingrowing batang rambut pada pria kulit hitam

yang bercukur. Jika terdapat pustula, infeksi Staphylococcus aureus sekunder

harus disingkirkan.

Furunkel: Furunkel atau bisul adalah nodul inflamasi yang berada di sekitar

folikel rambut, biasanya berasal dari folikulitis sebelumnya yang lebih dangkal dan sering

berevolusi menjadi abses. Furunkel dimulai sebagai nodul folikulosentris berwarna

merah, keras, lunak, pada kulit dengan rambut dan berfluktuasi setelah beberapa hari

(mengalami pembentukan abses; Gambar 150-8A). Furunkel yang pecah disertai

keluarnya nanah, dan seringkali merupakan inti dari bahan nekrotik. Rasa sakit di sekitar

lesi menjadi reda, kemerahan dan edema berkurang selama beberapa hari hingga beberapa

minggu. Furunkel dapat terjadi sebagai lesi soliter atau lesi multipel misalnya pada area

pantat(Gbr. 150-8B). Furunkel biasanya terjadi pada lokasi dengan rambut, terutama di

daerah yang mengalami gesekan, oklusi, dan keringat, seperti leher, wajah, aksila, dan

bokong. Furunkel bisa menjadi komplikasi lesi yang sudah ada sebelumnya seperti

14
dermatitis atopik, eksoriasi, lecet, skabies, atau pedikulosis, tetapi lebih sering terjadi

tanpa adanya penyebab predisposisi lokal. Selain itu, berbagai faktor host sistemik terkait

dengan furunkulosis, termasuk disebabkan oleh glukokortikoid sistemik, kemoterapi,

atau defisiensi imunoglobulin. Furunkulosis dapat terjadi lebih luas pada pasien dengan

diabetes. Namun, sebagian besar pasien dengan furunkulosis ditemukan pada individu

sehat.

Gambar 150-8 A. Furunkel pada bibir atas. Lesi berupa nodul, dan plug

nekrotik sentral ditutupi oleh krusta purulen. Beberapa pustula kecil terlihat lateral

dari pusat lesi. B. Furunkel multipel. Beberapa abses pada pantat yang sudah lama

pada seorang pria muda dengan penyakit radang usus. Lesi sembuh dengan

jaringan parut setelah pemberian antibiotik sistemik dalam waktu lama.

15
Karbunkel: Karbunkel adalah lesi inflamasi serius yang lebih luas, lebih dalam,

saling berhubungan, infiltratif, yang terjadi akibat adanya supurasi pada kulit tebal

inelastik yang terjadi akibat kumpulan furunkel. Karbunkel secara khas muncul sebagai

lesi yang sangat nyeri pada tengkuk, punggung, atau paha (Gbr. 150-9). Demam dan

malaise sering terjadi, dan pasien mungkin tampak sakit. Daerah yang terlibat berwarna

merah, terdapat indurasi, beberapa pustula segera muncul di permukaan, drainase

eksternal terdapat di sekitar beberapa folikel rambut. Lesi segera berkembang dengan

terdapat kawah kuning-abu-abu ireguler pada tengah lesi, yang kemudian dapat

menyembuh lambat dengan meninggalkan jaringan granulasi, serta area tersebut masih

akan berwarna violaceous untuk jangka waktu yang lama. Bekas luka permanen yang

dihasilkan biasanya padat.

Gambar 150-9 Karbunkel. Lesi ini menunjukkan beberapa furunkel yang

konfluen serta mengeluarkan nanah.

Abses: Abses dermis dan subkutan oleh S.aureus biasanya terjadi pada infeksi

folikulosentris yaitu, folikulitis, furunkel, dan karbunkel seperti telah dijelaskan

sebelumnya. Abses juga dapat terjadi pada lokasi trauma, benda asing, luka bakar, atau

tempat pemasangan kateter intravena. Lesi awal berupa nodul eritematosa. Jika tidak

diterapi, lesi sering membesar dengan ditemukan adanya formasi dari pus atau nanah

16
(Gambar 150-10). CA-MRSA harus dicurigai pada semua pasien dengan abses kulit

karena merupakan presentasi umum untuk strain S. aureus yang virulen ini.15,16

Gambar 150-10 Abses yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.

Abses yang besar serta nyeri pada tumit pasien dengan diabetes, membaik

secara klinis; namun, rasa nyeri yang tinggi masih ada. Radiografi tumit menunujkan

adanya bagian dari jarum jahit yang patah. Pasien memiliki neuropati sensoris dan

tidak menyadari menginjak benda asing tersebut.

Botriomikosis: Botriomikosis adalah penyakit piogenik langka yang muncul

sebagai infeksi subkutan yang purulen dan kronis. Faktor predisposisi termasuk trauma,

imunosupresi (penyakit HIV, sindrom hiperimunoglobulin E), alkoholisme kronis, dan

diabetes melitus. Lesi (biasanya soliter) dapat terjadi pada kulit, tulang, dan hati.

Botriomikosis kutan biasanya muncul sebagai lesi soliter atau beberapa lesi, sering terjadi

di daerah genital. Lesi memiliki penampilan tegas dari pecahnya kista inklusi epidermis

(nodul lunak yang dibatasi eritematosa), atau prurigo nodularis (Gbr. 150-11). Pada

17
sebagian besar kasus yang dilaporkan, benda asing telah memainkan peran dalam

memulai atau mempertahankan lesi.

Gambar 150-11 Botriomikosis oleh Staphylococcus aureus. Plak di dada

telah ada selama beberapa bulan pada orang yang terinfeksi HIV ini. Diagnosis

dikonfirmasi berdasarkan temuan biopsi dan kultur lesi.

Paronikia Staphylococcal : Individu yang terpapar trauma pada tangan atau

kelembaban yang kronis cenderung mengalami paronikia staphylococcal, atau penyebab

paronikia lainnya (misalnya, Candida, Pseudomonas, Streptococcus, dermatophytes). S.

aureus adalah penyebab infeksi utama dari paronikia akut, biasanya di sekitar kuku,

sering berasal dari kerusakan pada kulit, seperti hangnail. Secara klinis, kulit dan jaringan

lunak lipatan kuku proksimal dan lateral berwarna merah, panas, lunak, dan jika tidak

diterapi dapat berkembang menjadi abses (Gbr. 150-12). Sebaliknya, paronikia kronis

atau berulang yang disebabkan oleh Candida albicans adalah infeksi pada ruang celah

yang disebabkan oleh pemisahan lempeng kuku dorsal proksimal dan permukaan bawah

18
lipatan kuku proksimal. Paronikia candida paling sering terjadi pada tangan individu

yang sering terpapar dalam air untuk waktu yang lama (lihat Bab 161).

Gambar 150-12 Paronikia disebabkan oleh Staphylococcus aureus .

Abses terlihat di dorsum jari, dimulai dengan sedikit retakan pada kutikula.

Sebaliknya, Paronikia Candida adalah infeksi pada celah, terjadi pada ruangan

celah yang diciptakan oleh pemisahan lempeng kuku dorsal proksimal dan

lipatan kuku proksimal di atasnya.

Staphylococcal Whitlow: Infeksi purulen atau abses yang melibatkan

ujung distal jari. Penyebab paling umum adalah S. aureus dan virus herpes

simpleks. Portal masuknya S. aureus adalah cedera traumatis atau kemungkinan

perluasan paronikia akut. Infeksi ini biasanya sangat nyeri. Portal masuk yang

jelas sering terlihat. Ujung distal jari berwarna merah, panas, lunak, edematosa,

dengan kemungkinan pembentukan abses (Gbr. 150-13). Sebaliknya, individu

dengan herpetic whitlows biasanya memiliki riwayat lesi yang terjadi di lokasi

yang sama dan hadir dengan vesikel hemoragik berkelompok, yang dapat menjadi

konfluen dan membentuk satu bula tunggal (lihat Bab 164).

19
Gambar 150-13 Staphylococcus aureus whitlow. Sebuah granuloma

piogenik muncul 1 minggu setelah trauma pada ujung ibu jari. Seminggu

kemudian, ujung jari menjadi bengkak, eritematosa, dan sangat lunak.

Pembentukan abses terlihat dengan lokalisasi nanah. Radiografi menunjukkan

osteomielitis awal, sebagai komplikasi whitlow.

TEMUAN NON KUTAN

Respon dari SSTI S. aureus yang lebih parah, yang biasanya terjadi dengan

furunkulosis dalam dan abses, biasanya terdapat tanda-tanda infeksi sistemik (misalnya,

demam, menggigil, kekakuan, mialgia, perubahan status mental, ketidakstabilan

hemodinamik) atau sindrom respons inflamasi sistemik, yang mencakup suhu lebih tinggi

dari 38 ° C (100,4 ° F) atau lebih rendah dari 36 ° C (96,8 ° F), takipnea melebihi 24 nafas

per menit, takikardia melebihi 90 denyut per menit, atau jumlah sel darah putih lebih

tinggi dari 12.000 atau kurang dari 400 sel / μL.6,17 Kasus-kasus ini membutuhkan terapi

antibiotik sistemik segera (lihat bagian "Manajemen").

20
KOMPLIKASI

Jika tidak diterapi, infeksi invasif dapat menjadi komplikasi dari semua infeksi

kulit S. aureus dan mengakibatkan selulitis, limfangitis, dan bakteremia, yang dapat

menyebabkan infeksi S. aureus di banyak organ dan jaringan sehingga mengancam jiwa,

termasuk osteomielitis, artritis septik, abses dari berbagai organ (otak, hati, dll),

endokarditis, pneumonia, dan sepsis. Lesi di bibir dan hidung meningkatkan risiko

penyebaran melalui vena angular emisari wajah ke sinus kavernosa. Untungnya,

komplikasi ini jarang terjadi. Namun, risiko infeksi invasif lebih tinggi dengan infeksi

yang lebih dalam, seperti furunkel, karbunkel, dan abses, dengan cara yang tidak terduga,

dan manipulasi lesi tersebut sangat berbahaya dan dapat memfasilitasi penyebaran infeksi

melalui aliran darah. Eksotoksin S. aureus dapat menyebabkan staphylococcal scalded

skin syndrome (S4), erupsi scarlatiniform staphylococcal, sindrom syok toksik,

eritematosa rekalsitran, gangguan deskuamasi, dan eritema perineum yang dimediasi

toksin yang berulang (lihat Bab 152). Staphylococcal scalded skin syndrome lebih

mungkin terjadi pada bayi dan orang dewasa yang imunokompromis atau mempunyai

kerusakan fungsi ginjal.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Faktor risiko untuk SSTI S. aureus, termasuk kolonisasi oleh S. aureus di area

mukosa (terutama nares) dan pada kulit, yang mungkin bersifat sementara atau sebagai

karier yang berkepanjangan. Selain itu, pasien dengan cedera jaringan atau peradangan

yang sudah ada sebelumnya (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis atopik, sisa benda

asing) semuanya berisiko lebih tinggi terhadap SSTI oleh S. aureus.18 Pasien dengan

gangguan defisiensi imun, seperti HIV dan AIDS, serta individu dengan pemakaian

21
kortikosteroid sistemik cenderung untuk mengalami SSTI oleh S. aureus. Setiap kondisi

yang menyebabkan jumlah atau fungsi neutrofil menurun, termasuk kelainan genetik

(misalnya, penyakit granulomatosa kronis) atau didapat (misalnya, orang dengan

diabetes, pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi) sangat rentan terhadap SSTI

oleh S. aureus dan infeksi invasif serta sistemik dari S. Aureus. 18 Hal ini menyebabkan,

pasien langka dengan defisiensi interleukin (IL) -17 yang jarang terjadi secara genetik

atau didapat (misalnya, sindrom Job’s) menjadi rentan terhadap SSTI oleh S. aureus.19

Patogenesis SSTI oleh S. aureus melibatkan banyak faktor virulensi yang berbeda

yang mendorong kolonisasi dan infeksi menghindari deteksi dan fungsi kekebalan tubuh

inang. Misalnya, S. aureus mengeluarkan toksin yang melisiskan sel inang seperti

neutrofil dan makrofag, sehingga mencegah inang mempertahankan fungsi dari sel-sel

ini.20 Terdapat 2 famili utama toksin pembentuk pori pada S. aureus: (a) komponen

tunggal α-hemolisin (juga dikenal sebagai α-toksin) dan (b) biokomponen leukotoksin,

termasuk Panton-Valentine leucocidin (PVL atau LukSF-PV), γ-hemolisin AB dan γ-

hemolisin CB (HlgAB dan HlgCB), leukosidin ED (LukED) dan leukosidin AB (LukAB;

juga dikenal sebagai LukGH) .20 Toksin ini memiliki target sel inang spesifik. Misalnya,

α-toksin menargetkan ADAM10, PVL menargetkan reseptor C5a, LukAB menargetkan

CD11b dan target LukED adalah CCR5, CXCR1, dan CXCR2.20 Secara khusus, α-toksin

dan PVL dikaitkan dengan virulensi S. aureus, termasuk CA-MRSA.1 Titer antibodi

serum yang tinggi terhadap α-toksin berkorelasi dengan perlindungan terhadap SSTI oleh

S. aureus yang berulang.23 Selain itu, S. aureus mengeluarkan modulin yang larut dalam

fenol (PSMs), termasuk PSMα1-PSMα4, PSMβ1, PSMβ2, dan PSMδ (δ- toksin), yang

melisiskan leukosit manusia dan eritrosit.24 PSMα dikaitkan dengan peningkatan

virulensi CA-MRSA.24

22
Strain S. aureus tertentu memproduksi dan mengeluarkan toksin eksfoliatif.

Impetigo bulosa disebabkan beberapa jenis toksin eksfoliatif (termasuk jenis ETA, ETB,

dan ETD [ETC tidak memiliki aktivitas pada manusia]). Toksin eksfoliatif ini adalah

protease serin yang menargetkan desmoglein 1,25 desmosomal cadherin yang juga

menjadi target autoantibodi dalam pemfigus foliaceus (lihat Bab 52) .26 ETA dan ETB

adalah yang paling umum dan berlokasi di bakteriofag S. aureus (yaitu , phage group II)

sedangkan ETD terletak di kromosom bakteri.25 Toksin eksfoliatif ini menghasilkan

pembentukan bula intraepitel pada impetigo bulosa ketika toksin disekresikan secara

lokal di kulit, dan pada S4, didapatkan toksin secara sistemik ( lihat Bab 152) .25

Setidaknya terdapat 24 superantigen berbeda yang diproduksi oleh S. aureus yang

merupakan enterotoksin (juga disebut superantigen toksin pirogenik), termasuk toksin

dari toksik syok sindrom-1 (TSST-1), enterotoksin (serotipe A, Bn, Cn, D, E, dan G [n

mengacu pada beberapa varian]), superantigen seperti SE (SE-1) (serotipe H, I, J, dan K)

.21 Superantigen memiliki kemampuan secara tidak spesifik mengaktifkan sel T dengan

berinteraksi pada antigen leukosit manusia- molekul DR (kompleks histokompatibilitas

utama II) pada sel penyaji antigen dan wilayah variabel dari subunit β dari reseptor sel T

tanpa kehadiran antigen, menghasilkan aktivasi sel CD4 + T yang tidak spesifik. TSST-

1 adalah toksin yang sebagian besar bertanggung jawab untuk sindrom syok toksik S.

aureus, yang ditandai dengan demam tinggi, hipotensi, ruam seperti demam merah,

deskuamasi kulit, dan disfungsi multiorgan. Dengan relevansi SSTI oleh S. aureus, S.

aureus superantigen (terutama SEB) dapat meningkatkan keparahan dermatitis atopik

dengan mendorong peradangan kulit, mempromosikan respons T-helper tipe 2 (Th2), dan

mendorong produksi antibodi imunoglobulin (Ig) E ( beberapa IgE diarahkan melawan

superantigen itu sendiri) .21

23
S. aureus memiliki banyak mekanisme berbeda untuk menghambat fungsi

neutrofil, meningkatkan virulensi dan patogenisitas hal ini dijelaskan secara rinci di bab

lain.22 Namun, beberapa contoh termasuk S. Aureus menghambat kemotaksis neutrophil

melalui produksi protein penghambat kemotaksis oleh S. aureus / chemotaxis inhibitory

protein of S. aureus (CHIPS) atau staphopain A (ScpA), yang memblokir komplemen dan

reseptor formil peptida atau kemokin penarik neutrofil CXCR2, masing-masing. S.

aureus juga menghambat ekstravasasi neutrofil dari pembuluh darah melalui produksi

staphylococcal superantigen-like 5 dan 11 (SSL5, SSL11) dan extracellular adherence

protein (Eap), yang memblokir P-selectin dan molekul adhesi antar sel (ICAM) -1,

masing-masing, untuk menghambat penarikan neutrofil dan adhesi pada endotelium.22 S.

aureus juga menghasilkan beberapa faktor virulensi yang menghambat fungsi neutrofil,

termasuk katalase, alkil hidroperoksida reduktase dan staphyloxanthin (pigmen

karotenoid kuning yang bertanggung jawab atas warna keemasan koloni S. aureus), yang

mana semua menghambat pembunuhan akibat oksigen yang reaktif. S. aureus juga

memproduksi adenosin sintase A (AdsA) dan stafilokokus nuklease (Nuc), yang

mendegradasi perangkap ekstraseluler neutrofil/ neutrophil extracellular traps (NET)

untuk mencegah pembunuhan S. aureus yang dimediasi oleh NETosis.22 S. Aureus juga

mengekspresikan protein A pada permukaannya, yang mengikat antibodi dalam orientasi

yang salah, yang secara efektif memblokir fagositosis yang dimediasi-antibodi oleh

neutrofil dan makrofag.

IMUNITAS

Kulit memiliki mekanisme imun bawaan yang melindungi diri terhadap

kolonisasi dan infeksi . Hal ini akibat adanya induksi dari produksi peptida antimikroba

(oleh keratinosit, sel stroma dan kekebalan tubuh lainnya di kulit), yang memiliki

24
aktivitas bakteriostatik atau bakterisida terhadap S. aureus (misalnya, β-defensin 2 dan 3

manusia, cathelicidin, dan RNase7).18 Selain itu, sel kulit dan imunitas yang menetap

direkrut untuk mengekspresikan reseptor pengenalan pola yang mengenali komponen S.

aureus selama infeksi untuk memulai respons imun inflamasi, terutama perekrutan

neutrofil dan pembentukan abses, yang diperlukan untuk mengendalikan infeksi dan

klirens dari bakteri.27 Hal ini termasuk Toll-like receptor 2 (TLR2), yang mengenali

lipoprotein dari S. aureus, asam lipoteichoic, peptidoglikan, dan nukleotida terikat

domain oligomerasi yang mengandung protein 2/ nucleotide binding oligomerization

domain-containing protein 2 (NOD2), serta mengenali muramyl dipeptidase (produk

pemecahan peptidoglikan S. aureus). Selain itu, S. aureus mengaktifkan inflammasome

melalui toksin pembentuk pori dan pecahnya fagosom, menghasilkan aktivasi caspase-1

dan pemrosesan proteolitik IL-1β ke dalam bentuk aktif dan disekresikan. IL-1β adalah

sitokin penting untuk menginduksi perekrutan neutrofil dan pembentukan abses pada

tempat infeksi S. aureus di kulit.18 Selain itu, IL-17 kemungkinan diproduksi oleh sel

Th17 (yang sebagian diinduksi oleh IL-1β) juga memainkan peran kunci dalam

mempromosikan perekrutan neutrofil selama infeksi kulit S. aureus.18 Infeksi kulit S.

aureus berulang sering terjadi, hal ini menunjukkan bahwa respons imun adaptif, seperti

respons antibodi dan respon sel T, tidak sepenuhnya mampu mencegah semua infeksi

ulang kulit S. aureus. Hal ini menjadi sorotan dalam kegagalan strategi vaksinasi berbasis

antibodi dalam uji klinis yang menargetkan komponen permukaan S. aureus untuk

memfasilitasi fagositosis yang dimediasi-antibodi.18 Namun, diperkirakan bahwa

generasi sel Th17 dan sel Th1 kemungkinan memberikan beberapa tingkat perlindungan

terhadap infeksi kulit S. aureus berulang

25
DIAGNOSIS

PENGUJIAN LABORATORIUM

Untuk impetigo dan ektima, diagnosis biasanya ditegakkan melalui penampilan

klinis. Namun, pewarnaan Gram dan kultur nanah atau eksudat umumnya

direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab infeksi sebagai S. aureus (termasuk

MRSA) dan / atau GAS.17 Untuk kasus impetigo atau ektima yang khas dan tidak

bermasalah, terapi empiris dapat dimulai tanpa melakukan tes ini. Untuk furunkel besar,

karbunkel, dan abses, diagnosis juga dibuat secara klinis. Namun, kultur nanah setelah

insisi dan drainase terbuka sangat dianjurkan.17 Pengecatan gram biasanya akan

memperlihatkan kokus Gram-positif dalam kelompok (S. aureus) atau rantai (GAS) atau

kombinasi kokus dalam kelompok dan rantai ketika kedua organisme terlibat. Uji kultur

bakteri dan sensitivitas akan memberikan informasi penting untuk mengarahkan cakupan

antibiotik yang tepat dan untuk membantu memantau kemungkinan komplikasi S. aureus

(lihat bagian “Komplikasi”) atau infeksi GAS (lihat bagian “Infeksi Kulit Streptococcal -

Komplikasi”). Pasien dengan furunkel yang luas, karbunkel, atau abses; suhu tubuh, laju

pernapasan, dan hitung jenis darah harus diperiksa untuk mengevaluasi infeksi sistemik

atau sindrom respons inflamasi sistemik (lihat bagian “Temuan Non kutan”) karena

pasien ini memerlukan terapi antibiotik parenteral yang lebih agresif.17 Infeksi yang luas

ini paling sering disebabkan oleh jenis CA-MRSA, yang sering kali merupakan jenis yang

resisten terhadap multi-obat dan uji kepekaan antibiotik sangat penting untuk menentukan

cakupan antibiotik yang memadai. Kultur darah juga dapat diperoleh jika ada kecurigaan

untuk bakteremia atau infeksi invasif.

26
PATOLOGI

Secara umum, biopsi kulit biasanya tidak dilakukan pada kasus impetigo, ektima,

folikulitis / furunkulosis, karbunkel, atau abses yang tidak bermasalah. Namun, biopsi

atau aspirasi furunkel yang luas, karbunkel, atau abses direkomendasikan pada pasien

yang mengalami gangguan kekebalan dan pada pasien dengan demam serta neutropenia

untuk evaluasi histologis(termasuk pewarnaan mikroorganisme), kultur mikrobiologi dan

kepekaan antibiotik untuk membantu diagnosis dan menentukan kerentanan antibiotik.17

Pemeriksaan histologis furunkel menunjukkan proses inflamasi polimorfonuklear yang

padat pada dermis dan lemak subkutan. Pada karbunkel, beberapa abses yang dipisahkan

oleh trabekula jaringan ikat terdapat pada dermis (terutama di sepanjang tepi folikel

rambut) dan mencapai permukaan kulit melalui lubang epidermis yang rusak.

PENCITRAAN

Pencitraan biasanya tidak diindikasikan kecuali dalam kasus-kasus pasien

neutropenia yang demam dengan furunkel yang luas, karbunkel, atau abses.

Ultrasonografi dapat digunakan untuk mengarahkan aspirasi jarum dari furunkel,

karbunkel, atau abses untuk kultur dan uji kerentanan antibiotik. Selain itu, pencitraan

radiografi (X-ray, CT, atau MRI) dapat dilakukan untuk menentukan kedalaman dan

tingkat infeksi. Hal ini sangat penting jika ada kekhawatiran untuk osteomielitis yang

mendasarinya (misalnya, dalam kasus ulkus kaki yang terinfeksi S. aureus pada pasien

diabetes) atau jika terdapat dugaan infeksi S. aureus, paru indolen yang dapat menyebar

ke kulit dan jaringan lunak di atasnya.17

27
ALGORITMA DIAGNOSTIK

Gambar 150-14 menunjukkan algoritma diagnostik dan manajemen untuk

S. aureus dan GAS SSTI.

Gambar 150-14 Algoritma diagnostik dan manajemen untuk infeksi kulit

dan jaringan lunak (SSTI) Staphylococcus aureus dan grup A Streptococcus

(GAS). Singkatan: C&S, culture and sensitivity; CBC, complete blood count;

CMP, comprehensive metabolic panel; I&D, incision and drainage; MRSA,

methicillin-resistant S. aureus; SIRS, severe inflammatory response syndrome;

SSSS, staphylococcal scalded-skin syndrome; TSS, toxic shock syndrome.

28
DIAGNOSIS BANDING

Tabel 150-3 menguraikan diagnosis banding dari impetigo, ektima, dan

furunkulosis.

PERJALANAN DAN PROGNOSIS KLINIS

Sebagian besar infeksi kulit dan pioderma superfisial oleh S. aureus berhasil

diobati dengan penatalaksanaan yang tepat (lihat “Penatalaksanaan” di bawah). Namun,

terdapat rekurensi tinggi infeksi kulit S. aureus yang dapat berlanjut selama bertahun-

tahun. Hal ini terutama terjadi pada furunkulosis dan abses kulit yang disebabkan oleh

29
CA-MRSA, yang dilaporkan berulang pada 30% hingga 50% pasien. Jika tidak diobati,

terdapat potensi penyebaran infeksi yang invasif, yang mengakibatkan selulitis ,

limfangitis, dan bakteremia. Dari aliran darah, S. aureus dapat menyebar dan

menyebabkan infeksi pada banyak organ dan jaringan seperti osteomielitis, artritis septik,

abses berbagai organ, endokarditis, pneumonia, dan sepsis.

PENATALAKSANAAN

Masalah utama dalam mengobati infeksi stafilokokus adalah munculnya jenis

yang resisten terhadap antibiotik.13-15 MRSA yang didapat di rumah sakit dan MRSA

yang didapat dari lingkungan/komunitas mempunyai resistensi terhadap metisilin, yang

mengindikasikan bahwa strain ini resisten terhadap semua antibiotik β-laktam (yaitu,

penisilin dan sefalosporin). Banyak dari strain ini juga resisten multi-obat dan memiliki

variasi resistensi terhadap makrolida, fluoroquinolon, tetrasiklin, klindamisin, dan

trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) .13-15 Terdapat peningkatan jumlah laporan

strain S. aureus yang memiliki resistensi menengah terhadap vankomisin, yang

berdampak pada efektivitas terapi vankomisin. Namun, strain S. aureus yang resistan

sepenuhnya terhadap vankomisin jarang terjadi dengan hanya beberapa kasus yang

dilaporkan.

INTERVENSI, OBAT, DAN PROSEDUR

Impetigo, Ektima, dan Folikulitis: Impetigo (non bulosa dan bulosa) dapat

diobati dengan antimikroba oral atau topikal (Tabel 150-4). Perawatan topikal lokal

termasuk salep topikal mupirocin 2% atau salep retapamulin 1% dua kali sehari selama 5

hingga 7 hari, bersamaan dengan pengangkatan secara lembut pada krusta superfisial

dengan pembersihan menggunakan sabun dan air.17 Asam fusidat adalah agen topikal

30
yang sama efektifnya untuk impetigo lokal dan memiliki sedikit efek samping yang

merugikan, tetapi saat ini tidak tersedia di Amerika Serikat. Terapi oral dapat digunakan

untuk impetigo dan direkomendasikan untuk ektima dan folikulitis tanpa komplikasi.17

Karena isolat S. aureus dari impetigo, ektima dan folikulitis lebih sering disebabkan oleh

S. aureus yang sensitif terhadap metisilin, maka direkomendasikan dicloxacillin (atau

penisilinase semisintetik sejenis yang resisten terhadap penisilin), (orang dewasa: 250

hingga 500 mg per oral 4 kali sehari; tidak biasa digunakan pada anak-anak) atau

cephalexin (dewasa: 500 mg per oral 4 kali sehari; anak-anak 50 hingga 100 mg / kg /

hari dibagi 3 hingga 4 kali per hari).17 Secara umum, pengobatan antibiotik oral harus

dilanjutkan 7 hari (10 hari jika terbukti adanya isolat streptokokus; lihat di bawah). Untuk

pasien yang alergi terhadap penisilin atau β-laktam, eritromisin dapat berfungsi sebagai

pengganti (orang dewasa: 250 hingga 500 mg per oral 4 kali sehari; anak-anak: 40 mg /

kg / hari dibagi 3 hingga 4 kali per hari) .17 Namun, S. aureus yang resisten terhadap

eritromisin sering dijumpai di antara isolat yang menyebabkan impetigo pada anak-anak.

Pilihan perawatan oral lainnya untuk impetigo karena S. aureus pada anak-anak termasuk

amoksisilin plus asam klavulanat (25 mg / kg / hari diberikan 3 kali sehari) atau

klindamisin (15 mg / kg / hari 3 atau 4 kali sehari). Jika CA-MRSA dicurigai sebagai

organisme penyebab, doksisiklin (dewasa: 100 mg dua kali sehari; anak-anak: tidak

direkomendasikan untuk anak-anak di bawah 8 tahun), klindamisin (dewasa: 300 hingga

450 mg 3 hingga 4 kali sehari; anak-anak: 20 hingga 40 mg / kg / hari dalam dosis terbagi)

atau TMP-SMX (1 tablet kekuatan ganda dua kali sehari; anak-anak: 8 hingga 12 mg / kg

/ hari [komponen trimetoprim] dibagi 2 kali per hari) direkomendasikan untuk terapi

empiris awal, tetapi pilihan antibiotik mungkin perlu diubah berdasarkan respons klinis

dan hasil sensitivitas antibiotik.17 Sebagai catatan, tetrasiklin (termasuk doksisiklin) tidak

31
boleh digunakan pada anak di bawah 8 tahun, dan studi terbaru menemukan bahwa

klindamisin dan TMP-SMX sangat efektif untuk SSTI tanpa komplikasi pada pasien

anak-anak. 30

Furunkel, Karbunkel, dan Abses: Untuk simpel furunkel, karbunkel, dan abses,

insisi dan drainase (I&D) saja sering dilakukan dan biasanya cukup adekuat tetapi

tambahan terapi antibiotik memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik (lihat Tabel 150-

4) .17 Aplikasi lokal kompres panas lembab, dapat membantu drainase. Meskipun I&D

dapat efektif sendiri tanpa terapi antibiotik, terapi antibiotik tambahan harus ditambahkan

seperti yang dijelaskan di atas untuk impetigo / ektima / folikulitis jika pasien gagal dalam

perawatan sebelumnya dengan I&D saja, jika ada penyakit parah atau luas dengan

beberapa tempat infeksi, selulitis atau tanda-tanda infeksi atau peradangan sistemik (lihat

bagian “Temuan Nonn Kutan”) dan pada pasien yang cenderung mengalami SSTI seperti

pasien dengan imunosupresi (misalnya, HIV / AIDS, pasien diabetes, pasien kemoterapi

kanker, dan pasien dengan agen imunosupresif sistemik, dan jika pasien sangat muda atau

sangat tua), dan di daerah di mana I&D sulit (misalnya, wajah, tangan, dan genitalia).6,17

Penambahan antibiotik sistemik tampaknya memiliki manfaat tambahan karena pasien

dengan abses kulit yang diobati dengan I&D ditambah TMP-SMX memiliki tingkat
32
kesembuhan yang lebih baik daripada I & D plus plasebo. Untuk infeksi parah atau

infeksi di daerah berbahaya, dosis antibiotik maksimal harus digunakan melalui rute
6
parenteral. CA-MRSA harus dicurigai pada semua infeksi purulen yang serius.

Vankomisin atau agen parenteral sistemik lainnya (misalnya, daptomycin, linezolid, atau

ceftaroline), yang semuanya memiliki aktivitas anti-CA-MRSA, diindikasikan untuk

pasien ini.6 Linezolid juga tersedia sebagai agen oral dan memiliki bioavailabilitas yang

sangat baik (100%) ketika diberikan secara oral atau intravena.6 Agen parenteral lain

32
dengan aktivitas melawan MRSA, seperti telavancin dan quinupristin-dalfopristin,

dicadangkan hanya untuk terapi penyelamatan untuk kegagalan pengobatan dan kasus

komplikasi.6 Sebagai catatan, S. aureus yang mempunyai resistensi menengah terhadap

vankomisin dimana konsentrasi penghambatan minimal vankomisin sama dengan atau

lebih besar dari 2 μg / mL, alternatif untuk vankomisin harus digunakan seperti linezolid

atau daptomycin.6 Pengobatan antibiotik harus dilanjutkan untuk setidaknya 7 hingga 14

hari dan, secara umum, terapi antimikroba harus dilanjutkan sampai semua bukti

peradangan telah menurun. Pilihan antibiotik mungkin harus diubah ketika hasil

sensitivitas kultur tersedia. Lesi drainase harus ditutup dengan perban kering untuk

mencegah autoinokulasi dan cuci tangan yang rajin.

Untuk furunkel, karbunkel dan abses dengan rekurensi pada tempat infeksi

sebelumnya yang sama, sumber etiologi lain harus dipertimbangkan, seperti hidradenitis

supurativa, kista pilonidal, atau benda asing.17 Anak-anak atau orang dewasa dengan

abses berulang yang dimulai pada masa kanak-kanak harus dievaluasi untuk gangguan

neutrofil atau sindrom imunodefisiensi.17 Pengobatan kekambuhan harus didasarkan pada

hasil sensitifitas antibiotik, biasanya dengan pemberian antibiotik oral selama 5 hingga

10 hari terhadap patogen penyebab, walaupun durasi pengobatan harus individual dan

berdasarkan respons klinis. 6,17 Regimen dekolonisasi harus dipertimbangkan pada pasien

yang menderita infeksi berulang (lihat “Pencegahan / Penapisan” di bawah).

Botriomikosis, Paronikia, dan Whitlow: Untuk botriomikosis, perawatan lokal

dengan kompres salin hangat untuk meningkatkan drainase dan antibiotik lokal

(misalnya, mupirocin atau klindamisin) mungkin cukup untuk mengendalikan infeksi.

Kasus yang lebih luas memerlukan terapi antibiotik sistemik seperti dijelaskan di atas

(lihat Tabel 150-4). Penatalaksanaan paronikia yang disebabkan oleh S. aureus termasuk

33
antibiotik oral dan topikal, dan I&D abses. Penatalaksanaan staphylococcal whitlow

membutuhkan I&D abses yang terlokalisasi dalam jaringan dan terapi antibiotik

intravena. Pencitraan X-ray (atau MRI) dari jari yang terlibat diindikasikan untuk

menentukan keberadaan osteomielitis. CA-MRSA harus dicurigai dalam semua kasus.

ALGORITMA PENGOBATAN

Tabel 150-4 menguraikan pengelolaan infeksi kulit S. aureus.

34
PENCEGAHAN / SKRINING

Semua pasien dengan SSTI oleh S. aureus harus diedukasi tentang langkah-

langkah untuk mencegah autoinokulasi dan penyebaran infeksi S. aureus ke kontak dekat

lainnya dan individu. Luka kering harus dijaga bersih dan kering dengan perban bersih

dan kering. Pencucian tangan yang sering dengan sabun dan air dan / atau gel tangan yang

terbuat dari alkohol sangat penting setelah berkontak dengan kulit yang terinfeksi. Pasien

harus menghindari penggunaan atau berbagi barang pribadi yang telah bersentuhan

dengan kulit yang terinfeksi, seperti pisau cukur sekali pakai, linen, dan handuk. Karena

fomites di lingkungan dapat digunakan sebagai sumber infeksi, permukaan yang sering

disentuh oleh kulit terbuka, termasuk kenop pintu, meja, bak mandi, dan dudukan toilet,

harus secara rutin dan berulang kali dibersihkan dengan deterjen dan pembersih

antimikroba.6

Pada kasus SSTI oleh S. aureus yang berulang meskipun pengobatan yang tepat

dan langkah-langkah higienis pribadi dan lingkungan yang disebutkan di atas,

dekolonisasi pasien dapat diupayakan. Dekolonisasi hidung dari S. aureus dapat

dilakukan dengan salep mupirocin yang diberikan ke hidung dua kali sehari selama 5

sampai 10 hari bersama dengan dekolonisasi tubuh dengan larutan pembersih

klorheksidin setiap hari selama 5 hingga 14 hari atau mandi dengan pemutih. Prosedur

dekolonisasi hidung dan tubuh dapat diulang setiap bulan selama 3 bulan. Regimen

khusus untuk rendaman pemutih adalah 1 sendok teh pemutih per 1 galon air atau

seperempat cangkir pemutih per seperempat air bak mandi (sekitar 13 galon air) dan dapat

dilakukan selama 15 menit dua kali seminggu selama 3 bulan. Jika langkah-langkah

dekolonisasi ini tidak efektif, pengobatan antibiotik oral sesuai dengan rejimen

pengobatan di atas dapat digunakan bersama dengan rifampisin (biasanya 300 mg dua

35
kali sehari). Sebagai catatan, rifampisin hanya dapat digunakan dalam kombinasi dengan

antibiotik sistemik lainnya karena resistensi antibiotik yang cepat berkembang jika

rifampisin digunakan sebagai agen tunggal.

Dalam kasus terdapat bukti penularan dari barang rumah tangga atau

interpersonal, di samping langkah-langkah kebersihan pribadi dan lingkungan yang

dijelaskan di atas, kontak simptomatik harus diobati dan dekolonisasi kontak rumah

tangga asimptomatik juga dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dekolonisasi hidung

dan tubuh di atas. Kultur surveilans dari nares atau lokasi tubuh setelah prosedur rejimen

dekolonisasi biasanya tidak diperlukan tanpa adanya infeksi berulang.

INFEKSI KULIT STREPTOCOCCAL

Selayang Pandang

▪ Grup A Streptococcus (contoh: Streptococcus pyogenes) adalah penyebab umum

infeksi kulit purulen superfisial (pioderma). Infeksi kulit lebih jarang disebabkan oleh

Streptococcal spp non-Grup A.

▪ Grup A Streptococcus adalah penyebab utama faringitis bakteri dan sekitar 20%

hingga 30% individu yang pulih dari infeksi adalah pembawa asimptomatik dan dapat

menjadi sumber penularan dan infeksi berulang.

▪ Manifestasi lokal meliputi impetigo, ektima, intertrigo, dan daktilitis distal berlepuh.

▪ Dapat terjadi infeksi kulit invasif, seperti erisipelas, selulitis, dan fasiitis nekrotikans.

▪ Patologi: infiltrasi neutrofilik yang padat

▪ Terapi : antibiotik topikal, oral, atau parenteral; mengubah kondisi predisposisi.

Terapi secara empiris untuk S. aureus (karena resistensi antibiotik lebih umum)

sampai etiologi diketahui.

36
GAS adalah patogen bakteri ekstraseluler Gram-positif yang merupakan

penyebab umum infeksi kulit piogenik, konsisten dengan nama ilmiahnya

Streptococcus pyogenes dari bahasa Latin untuk "menghasilkan nanah." Infeksi

kulit superfisial yang disebabkan oleh GAS termasuk impetigo, ektima, intertrigo,

dan daktilitis distal berlepuh, dan merupakan penyebab paling umum dari

faringitis bakterial (yaitu, "radang tenggorokan") (Tabel 150-5).33 Demam scarlet

paling sering dikaitkan dengan faringitis GAS dan termasuk ruam morbiliformis,

lidah stroberi, dan deskuamasi dari kulit yang disebabkan oleh eksotoksin

pirogenik streptokokus (lihat Bab 152) .33 GAS juga menyebabkan SSTI yang

lebih invasif, seperti erisipelas, yang merupakan infeksi pada lapisan permukaan

kulit dan limfatik, serta selulitis, yang merupakan infeksi yang menyebar melalui

jaringan dermal dan subkutan yang dalam (lihat Bab 151) .33 GAS juga dapat

menyebabkan necrotizing fasciitis, yang merupakan infeksi jaringan lunak yang

dalam yang mengakibatkan nekrosis lemak subkutan dan fasia, sering

menyebabkan sepsis, syok, kegagalan multiorgan, dan kematian (lihat Bab. 153).

Infeksi parah lainnya yang disebabkan oleh GAS termasuk limfangitis,

bakteremia, artritis septik, osteomielitis, pneumonia, meningitis, dan sindrom

syok toksik streptokokus.33 Setelah infeksi GAS, penyakit yang diperantarai

imunologis seperti psoriasis gutata, demam rematik akut, penyakit jantung

rematik, dan glomerulonefritis dapat terjadi.

37
Pengelompokan Lancefield menggunakan perbedaan antigenik dalam dinding sel

karbohidrat, telah mengidentifikasi 20 spesies berbeda dari spesies streptokokus

koagulase-negatif, β-hemolitik. GAS diklasifikasikan sebagai grup A sedangkan

Streptococcus agalactiae dan Enterococcus faecalis masing-masing diklasifikasikan

sebagai grup B dan grup D. Isolat GAS dapat diklasifikasikan lebih lanjut menggunakan

serotipe terhadap protein M, faktor virulensi kunci dari infeksi GAS. 34 Dengan kemajuan

dalam biologi molekuler, strain GAS saat ini diklasifikasikan menggunakan sekuens dari

wilayah variabel 5’ dari gen emm yang mengkode untuk protein M dan lebih dari 200

jenis emm telah diidentifikasi. Meskipun terdapat variabilitas temporal dan geografis

38
yang substansial dari tipe emm, tipe emm tertentu berhubungan dengan berbagai

manifestasi penyakit. Misalnya, impetigo dikaitkan dengan emm tipe 33, 41, 42, 52, 53,

dan 70, dan necrotizing fasciitis dikaitkan dengan emm tipe 1, 3, dan 28.34

EPIDEMIOLOGI

Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun

terdapat lebih dari 100 juta infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh GAS dan lebih

dari 600 juta kasus faringitis.33 Sumber utama penularan GAS adalah dari droplet

pernapasan pasien dengan infeksi atau kolonisasi di saluran pernapasan atas.35,36

Diperkirakan bahwa 15% anak sekolah dan 4% hingga 10% orang dewasa di negara

industri menderita faringitis GAS, yang bisa lebih dari 5 kali lebih tinggi di negara

berkembang.35,36 Setelah pemulihan dari faringitis oleh GAS, GAS dapat bertahan pada

sekitar 20% hingga 30% individu dan karier asimptomatik ini dapat berfungsi sebagai

sumber penularan GAS.35,36 Sumber lain infeksi GAS adalah dari pasien dengan infeksi

kulit GAS seperti impetigo dan luka yang terinfeksi. Faktor utama dalam penyebaran dari

karier atau orang yang terinfeksi adalah kedekatan dengan individu yang menyebarkan

bakteri. Dengan demikian, anggota keluarga atau kontak dekat berada pada risiko infeksi

yang lebih besar daripada populasi umum selama wabah. Impetigo oleh GAS terutama

terjadi pada anak-anak prasekolah dan lebih sering terjadi di daerah yang lebih hangat

dan lebih lembab daripada di daerah beriklim sedang. Puncaknya adalah insiden musiman

pada akhir musim panas dan awal musim gugur. Streptokokus non-kelompok A

(misalnya, kelompok B, C, dan G) adalah penyebab impetigo yang kurang umum, seperti

streptokokus kelompok B, yang dapat menyebabkan impetigo pada bayi baru lahir.

39
GAMBARAN KLINIS

TEMUAN KUTAN

Impetigo: GAS adalah penyebab umum dari impetigo non bulosa yang muncul

sebagai infeksi krusta superfisial pada kulit dengan gambaran klinis yang sama dengan

impetigo yang disebabkan S. aureus (lihat “Impetigo” di atas) (lihat Gambar 150-1).

Proses inflamasi pada impetigo adalah superfisial dan dimulai dengan vesikopustula

unilokular yang terletak di antara stratum korneum pada bagian atas dan stratum

granulosum pada bagian bawah dan biasanya terletak di dekat pembukaan folikel rambut.

Organisme, serta leukosit dan debris sel, kemudian mengisi vesikopustula, yang dengan

cepat berkembang menjadi papula berkulit berwarna madu. Pruritus dan rasa terbakar

dapat terjadi, tetapi lesi biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Lesi yang sudah ada

sebelumnya, seperti skabies, varicela, atau eksim, merupakan predisposisi superinfeksi

dengan impetigo GAS. Kepadatan , kebersihan yang buruk, dan trauma kulit minor yang

diabaikan berkontribusi terhadap penyebaran impetigo streptokokus dalam keluarga.

Wabah kecil juga terjadi di antara atlet yang terlibat dalam olahraga kontak. Meskipun

sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak usia prasekolah, anak-anak yang lebih tua

dan orang dewasa dari segala usia juga dapat terinfeksi

Ektima Streptokokal: GAS juga merupakan penyebab ektima yang tidak dapat

dibedakan dari ektima oleh S. aureus (lihat “Ektima” di atas).

Infeksi Intertriginosa Streptokokal: Pioderma oleh GAS dapat terjadi di tempat

yang tertutup, seperti perineum / daerah perianal, vulva / vagina, aksila (Gambar 150-15),

daerah inframammari, pangkal paha, kantung preputium, dan daerah kaki.

40
Gambar 150-15 Intertrigo oleh streptokokus Grup A. Sebuah plak

eritematosa batas tegas dan oozing pada aksila, juga terdapat pada aksila sisi

lain, area lipat bawah payudara , dan lipatan inguinal, terasa sangat nyeri pada

wanita yang terinfeksi HIV ini.

Gambar 150-16 Intertrigo disebabkan streptokokus Grup A: selulitis

streptokokus perianal. Eritema erosif yang berbatas tegas pada daerah perianal

dan perineum pada anak laki-laki berusia 8 tahun yang mengeluh nyeri.

41
“Selulitis” oleh streptokokus (grup A) pada perianal terjadi terutama pada anak-

anak, menunjukkan eritema perianal yang intens (Gbr. 150-16), nyeri saat buang air besar,

feses dengan bercak darah yang berhubungan dengan fisura anus, dan kronisitas jika tidak

diobati.37 Hal ini sering dibingungkan dengan psoriasis, kandidiasis, dermatitis seboroik,

penyakit radang usus, infeksi cacing kremi, atau masalah perilaku. Infeksi juga dapat

melibatkan penis dan vulva.

Daktilitis Distal Berlepuh : GAS dan S. aureus bertanggung jawab atas sebagian

besar kasus daktilitis distal berlepuh, juga disebut bula repens, biasanya terjadi pada

anak-anak dan remaja. Namun, Streptococcus grup B telah dilaporkan jarang

menyebabkan infeksi ini. Lepuh besar dan tegang yang terbentuk, berisi cairan

seropurulen, di atas bantalan kulit volar jari tangan atau kaki bagian distal (Gbr. 150-17).

Lepuh sering dikelilingi oleh dasar eritematosa. Lesi mungkin terletak lebih proksimal

pada jari atau memanjang hingga melibatkan lipatan kuku.

Gambar 150-17 Daktilitis distal berlepuh oleh streptokokus grup A.

Lepuh terlihat di jari kaki yang berdekatan dengan lipatan kuku; pasien juga

memiliki intertrigo streptokokus grup A pada lipatan kulit perut.

42
Limfangitis Akut: Limfangitis akut adalah proses inflamasi yang melibatkan

saluran limfatik subkutan. Biasanya disebabkan oleh GAS, tetapi kadang-kadang dapat

disebabkan oleh S. aureus atau organisme lain, seperti Pasteurella multocida (misalnya,

dari gigitan hewan) atau virus herpes simpleks. Portal masuknya organisme infeksius

biasanya berupa luka pada ekstremitas, lepuh yang terinfeksi, atau paronikia. Secara

klinis, limfangitis akut muncul sebagai onset cepat dari garis-garis linier merah, yang

mungkin beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter lebarnya, memanjang dari

portal masuk lokal menuju kelenjar getah bening regional, yang biasanya membesar dan

lunak (Gambar 150-18) .

Gambar 150-18 Limfangitis akut lengan bawah akibat Staphylococcus aureus. Terdapat

garis linear lunak yang memanjang secara proksimal dari area kecil selulitis pada

pergelangan tangan volar

43
Manifestasi infeksi sistemik dapat terjadi baik sebelum ada bukti infeksi yang ada di

tempat inokulasi atau setelah lesi awal mereda. Pasien mungkin merasakan sakit di atas

area kemerahan, proksimal dari area yang terkena pada kulit. Gejala sistemik seringkali

lebih menonjol daripada yang diperkirakan dibandingkan dengan derajat nyeri dan

eritema lokal. Pada ekstremitas atas, limfangitis akut biasanya dapat dibedakan dari

sindrom sporotrichoid subakut atau kronis yang disebabkan oleh organisme seperti

Sporothrix schenckii. Pada ekstremitas bawah, tromboflebitis superfisial dapat

menghasilkan area linear dengan eritema lunak yang serupa. Tidak adanya portal masuk

dan adenopati regional yang lunak sangat membantu dalam membedakan tromboflebitis

superfisial dari limfangitis akut.

Penyebaran infeksi limfangitis oleh GAS atau S. aureus yang tidak biasa pada

ibu jari (paronikia) atau jaringan interdigital antara ibu jari dan jari telunjuk dapat terjadi

sesekali. Drainase limfatik dari area ini dapat mem-bypass kelenjar getah bening di siku

dan mengalir ke kelenjar getah bening aksila, yang pada gilirannya, berhubungan dengan

kelenjar subpektoralis dan limfatik pleura. Akibatnya, abses subpektoral dan efusi pleura

dapat terjadi. Infeksi subpektoral dapat menyebar ke bawah dan muncul di dada bagian

bawah serta perut bagian atas sebagai area selulitis. Ini merupakan penyakit yang sangat

serius. Petunjuk klinis untuk pengembangan urutan kejadian ini ditunjukkan dengan

lokasi infeksi awal pada ibu jari atau permukaan medial jari telunjuk dan awal timbulnya

nyeri aksila.

44
TEMUAN NON KUTAN

Dalam respon terhadap pioderma oleh GAS yang lebih parah, mungkin terdapat tanda

dan gejala infeksi sistemik atau peradangan dan ini sama dengan temuan nonkutan pada

pioderma oleh S. aureus (lihat “Gambaran Klinis” di atas).

KOMPLIKASI

Infeksi kulit superfisial oleh GAS dapat menjadi lebih invasif dan menyebabkan

erisipelas dan selulitis GAS (lihat Bab 151) atau infeksi parah seperti gangren

streptokokus dan fasciitis nekrotikans (lihat Bab 153). Sekuele kulit terkait lainnya,

termasuk eritema nodosum (lihat Bab 73), lesi mirip eritema multiforme (yang dapat

terjadi selama bakteremia oleh GAS atau S. aureus pada bayi dan anak kecil) (lihat Bab

43), dan eritema marginatum (yaitu, lesi kulit demam rematik akut) (lihat Bab 152).

Demam scarlet dan sindrom streptokokus toksik yang disebabkan oleh toksin GAS juga

dapat terjadi selama dan setelah faringitis GAS atau infeksi kulit (lihat Bab 152). Jarang,

selama atau setelah faringitis GAS atau infeksi kulit, pasien (terutama anak-anak dan

remaja) dapat berkembang menjadi psoriasis gutata akut (lihat Bab 28).

Setelah faringitis atau infeksi kulit oleh GAS, dapat terjadi endemik dan epidemi

glomerulonefritis poststreptococcal akut sama seperti demam rematik akut dan penyakit

jantung rematik.38 Glomerulonefritis poststreptococcal biasanya terjadi 1 hingga 3

minggu setelah faringitis oleh GAS dan 3 sampai 6 minggu setelah impetigo oleh GAS.

Jarang terjadi di negara maju (terjadi pada 0,3 per 100.000 orang) dan lebih umum di

negara berkembang (terjadi pada 9,5 hingga 28,5 per 100.000 orang). Namun, frekuensi

terjadinya glomerulonefritis poststreptococcal akut oleh strain GAS nephritogenic,

adalah 10% sampai 15% secara keseluruhan dan insidensi lebih tinggi terjadi mengikuti

45
infeksi kulit GAS (25%) dibandingkan setelah faringitis GAS (sekitar 5%).

Glomerulonefritis poststreptococcal adalah penyebab paling umum nefritis akut pada

anak-anak (biasanya 3 hingga 12 tahun), tetapi juga dapat terjadi pada orang dewasa.

Secara klinis, biasanya disertai edema, hematuria, dan hipertensi. Meskipun entitas ini

biasanya sembuh tanpa perawatan khusus, gagal ginjal dapat terjadi dalam beberapa

kasus.38

Demam rematik akut terjadi pada kurang dari 1% pasien dengan infeksi GAS, dan

biasanya terjadi 2 minggu setelah infeksi faringitis GAS. Dalam kasus yang jarang terjadi

atau lokasi geografis tertentu, demam rematik telah dilaporkan terjadi setelah infeksi kulit

GAS. Diagnosis dibuat sesuai dengan kriteria Jones, yang terdiri dari manifestasi utama

pada organ dan jaringan (persendian [artritis], jantung [endokarditis], otak [chorea], kulit

[eritema marginatum], dan jaringan subkutan (nodul] serta kriteria minor. Meskipun

karditis dapat terjadi pada 60% kasus demam rematik akut (dengan katup mitral dan aorta

biasanya terlibat), perkembangan penyakit jantung rematik kurang dipahami, tetapi

tampaknya berkorelasi dengan tingkat keparahan perjalanan penyakit demam rematik

akut dan frekuensi kekambuhan.38 Penyakit jantung rematik memiliki perjalanan klinis

yang bervariasi mulai dari penyakit katup asimptomatik hingga menjadi gagal jantung,

dan memiliki komplikasi jangka panjang infeksi endokarditis akut, penyakit

tromboemboli, fibrilasi atrium, dan inkompetensi serta stenosis progresif dari katup, serta

membutuhkan manajemen medis seumur hidup dan bedah. Sydenham chorea (gerakan

tak sengaja, cepat, dan tanpa tujuan dari wajah atau anggota badan yang terkait dengan

emosi yang labil) dapat muncul pada demam rematik akut dan hingga 6 bulan setelah

infeksi GAS sebelumnya. Akhirnya, harus diperhatikan bahwa gangguan neuropsikiatrik

autoimun pediatrik dengan infeksi streptokokus (PANDAS) dengan gejala

46
choreoathetosis, kelainan obsesif-kompulsif, atau kelainan tic (misalnya, sindrom

Tourette) telah dihipotesiskan dikaitkan dengan infeksi GAS.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Pioderma streptokokus invasif primer hampir secara eksklusif merupakan hasil

dari GAS, yang biasanya jauh lebih invasif daripada streptokokus lainnya. Komplikasi

paska infeksi nonsupuratif sebagian besar terbatas pada yang diproduksi oleh GAS.

Faktor risiko untuk infeksi kulit GAS termasuk kolonisasi oleh GAS di nasofaring dan

kulit, serta kepadatan, kebersihan yang buruk, dan kemiskinan.33 Seperti S. aureus,

individu dengan cedera atau peradangan jaringan yang sudah ada sebelumnya (luka

bedah, luka bakar, trauma, dermatitis atopik , skabies, infeksi dermatofit, sisa benda

asing) semuanya beresiko lebih tinggi untuk infeksi kulit oleh GAS.33 Trauma tumpul ke

dalam otot adalah faktor risiko necrotizing fasciitis yang disebabkan oleh GAS.33

Klasifikasi Lancefield menggunakan dinding sel yang mengandung karbohidrat

untuk membedakan 20 spesies yang berbeda dari spesies koagulase negatif, β-hemolitik

streptokokus (A ke H dan K ke V).34 Kehadiran kelompok streptokokus selain A dalam

lesi kulit dapat mewakili kolonisasi permukaan atau infeksi sekunder aktual pada

dermatosis yang sudah ada sebelumnya. Streptokokus grup C dan streptokokus grup G

kadang-kadang terlibat dalam lesi impetiginosa, dermatitis dengan infeksi sekunder, dan

infeksi luka dengan limfangitis, dan bahkan pada erisipelas dan selulitis (lihat Bab 151).

Streptokokus grup B (misalnya, S. agalactiae) dan D (misalnya, E. faecalis) telah

diisolasi dari infeksi lesi kulit sekunder akibat iskemia atau stasis vena, dan khususnya

melibatkan daerah perineum dan tempat luka operasi. Seperti kebanyakan infeksi

sekunder, yang disebabkan oleh streptokokus grup B dan grup D sering infeksi campuran

47
dengan bakteri enterik atau S. aureus. Streptokokus Grup B dapat menyebabkan selulitis

dan otitis pada neonatus dan, kadang-kadang, pada orang dewasa. Streptokokus Grup L

(Streptococcus dysgalactiae) (sering dibawa oleh babi, sapi, dan unggas) bertanggung

jawab atas impetigo, luka dengan infeksi sekunder, dan paronikia pada pengolah daging.

Seperti disebutkan di atas, terdapat lebih dari 200 subtipe GAS yang dapat

diklasifikasikan dengan mengurutkan daerah 5 ′ pada gen emm, yang mengkode protein

M, struktur fibrillate yang memanjang dari permukaan sel bakteri. Selain itu, pengaturan

kromosom dari gen emm juga dapat diklasifikasikan ke dalam pola A hingga E.34 Pola A,

B, dan C dikaitkan dengan faringitis; pola D dikaitkan dengan infeksi kulit; dan pola E

dikaitkan dengan faringitis dan infeksi kulit.34 Protein M adalah faktor virulensi penting

dari GAS dan merupakan protein multifungsi yang dapat menghambat pertahanan

kekebalan tubuh inang yang berbeda.34 Misalnya, protein M dapat mengikat regulator dari

protein, sistem komplemen (termasuk faktor H dan faktor H- like protein 1 dan protein

pengikat C4), yang menghasilkan penurunan aktivasi jalur komplemen klasik dan

alternatif, serta dalam penghambatan fagositosis yang dimediasi oleh komplemen (C3b),

protein juga berinteraksi dengan daerah Fc dari IgG, yang menghasilkan penghambatan

fagositosis yang dimediasi-antibodi. Protein M dapat menginduksi peradangan dengan

berinteraksi dengan TLR2 pada monosit manusia yang mengarah ke produksi sitokin

proinflamasi (misalnya, IL-6, IL-1β, dan faktor nekrosis tumor - α) .34 Akhirnya, protein

M dapat memfasilitasi invasi sel inang dengan mengikat komponen matriks ekstraseluler,

seperti fibronektin, dan kompleks ini dapat dikenali oleh integrin yang diekspresikan pada

sel inang, menghasilkan invasi sel inang dan patogenisitas.34 Mekanisme lain dimana

protein M dapat memfasilitasi invasi ke dalam sel inang adalah melalui pengikatan CD46

pada keratinosit manusia, yang menghasilkan invasi sel-sel ini.

48
Serupa dengan S. aureus, GAS juga menghasilkan toksin pembentuk pori. Dua

dari toksin pembentuk pori utama adalah streptolisin O dan streptolisin S.34 Streptolisin

O dan streptolisin S berkontribusi terhadap hemolisis β yang dimediasi GAS pada media

agar darah.34 Streptolisin O menghasilkan pori-pori besar di membran sel inang, yang

mengarah pada apoptosis dari neutrofil, makrofag, dan sel-sel epitel.34 Streptolisin S

memiliki aktivitas sitolitik terhadap berbagai jenis sel inang, termasuk neutrofil, limfosit,

eritrosit, dan platelet, yang mengarah pada fungsi kekebalan tubuh yang rusak dan

peningkatan peradangan yang berkontribusi terhadap cedera vaskular dan nekrosis

jaringan. 34

GAS menghasilkan hingga 11 superantigen yang dikenal (juga disebut eksotoksin

pirogenik streptokokus). Ini termasuk serotipe eksotoksin pirogenik streptokokus A, C,

dan G ke M, serta SMEZn mitogenik streptokokus.21 GAS superantigen ini secara tidak

spesifik mengaktifkan sel T dan berkontribusi pada patogenesis infeksi ini. Selain itu,

superantigen GAS juga bertanggung jawab untuk sindrom syok toksik streptokokus dan

manifestasi demam scarlet, dan mereka dianggap berkontribusi terhadap patogenesis

erisipelas dan infeksi GAS yang lebih invasif.

Neutrofil merupakan sel penting dalam pertahanan host terhadap GAS. dan

infeksi S. aureus. Seperti S. aureus, GAS memiliki beberapa mekanisme untuk

menghindari fungsi kekebalan neutrofil. Misalnya, GAS menghasilkan glutathione

peroksidase, superoksida dismutase, alkylhydroperoxidase dan alkylhydroperoxidase

reduktase, yang semuanya menghambat pembunuhan yang dimediasi oksigen reaktif.

Lebih lanjut, baik cell wal -anchored nuclease A (SpnA) dan bakteriofag yang dikode

DNase Sda1 mendegradasi NET untuk mencegah pembunuhan GAS yang dimediasi oleh

NETosis .33

49
IMUNITAS

Respon imun bawaan terhadap GAS, melibatkan peptida antimikroba dan mirip

dengan S. aureus (lihat “Imunitas” di bagian “Etiologi dan Patogenesis” infeksi kulit

Staphylococcal). Sebagai catatan, GAS rentan terhadap pemusnahan oleh β-defensin 1

sampai 3 dan cathelicidin pada manusia.33,39 Namun, selain pengenalan komponen GAS

oleh TLR2, NOD2, dan inflammasome, TLR9 tampaknya memainkan peran kunci dalam

pertahanan tuan rumah terhadap infeksi kulit oleh GAS.33,39 TLR9 ditemukan dalam

membran endosom sel inang dan mengenali DNA yang dihipometilasi dari bakteri,

seperti pada DNA GAS, untuk memperoleh respons imun tipe mediator interferon tipe I

(IFNα / β). Selain itu, TLR9 mempromosikan ledakan oksidatif dan klirens dari infeksi

GAS.33,39 Perekrutan neutrofil ke lokasi infeksi adalah respons imun penting untuk

mengendalikan SSTI oleh GAS (dan S. aureus), yang sebagian dimediasi oleh reseptor

pengenalan pola TLR2 , NOD2, dan TLR9.33,39 Mengenai kekebalan adaptif dalam

menghadapi GAS, baik respon antibodi dan sel-T kemungkinan berkontribusi pada

pertahanan inang.33 Secara khusus, respon antibodi dan sel-T diarahkan langsung

melawan protein M dari GAS yang melindungi dari perlawanan pada kolonisasi dan

proteksi .40, 41 Respons antibodi ini efektif terhadap strain tertentu yang mengekspresikan

protein M yang sama. Namun, karena terdapat lebih dari 200 jenis emm berbeda yang

diidentifikasi di antara isolat klinis, kekebalan terhadap satu jenis protein M tidak selalu

memberi perlindungan pada protein M yang terdiri dari urutan asam amino yang

berbeda.40,41 Demikian pula, vaksin manusia yang efektif terhadap protein M dan

komponen lain atau toksin dari GAS telah menjadi tantangan karena keragaman genetik

yang substansial di antara isolat klinis. 40,41

50
DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Seperti halnya yang disebabkan oleh S. aureus, untuk impetigo dan ektima yang

disebabkan oleh GAS, diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penampilan klinis. Namun,

pewarnaan Gram dan kultur bakteri serta sensitivitas nanah atau eksudat umumnya
17
direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab infeksi. Ini penting karena GAS

memerlukan perjalanan pengobatan yang lebih lama dan berhubungan dengan sekuele

yang diperantarai imunologis sehingga perlu dipantau. Pewarnaan Gram biasanya akan

mengungkapkan kokus Gram-positif dalam rantai (GAS), atau bergerombol (S. aureus),

atau kombinasi keduanya dalam infeksi yang melibatkan kedua patogen. Pada pasien

dengan infeksi yang luas, kekhawatiran infeksi sistemik, atau dalam kasus limfangitis

akut, suhu tubuh, laju pernapasan, dan hitung darah tepi harus dipeeriksa untuk

mengevaluasi infeksi sistemik atau peradangan (sindrom respons inflamasi sistemik),

karena pasien-pasien ini akan memerlukan terapi antibiotik sistemik yang lebih agresif.
17
Pada kasus limfangitis akut, kultur dari kulit sering negatif (karena infeksi terbatas

pada saluran limfatik), tetapi kultur dari cairan aspirasi atau dari biopsi pada portal masuk

atau kelenjar getah bening supuratif mungkin dapat mengungkapkan agen etiologi. Kultur

darah juga dapat diperiksa pada semua kasus limfangitis atau jika terdapat kecurigaan

untuk bakteremia atau infeksi invasif. Pada pasien yang mengalami glomerulonefritis

poststreptococcal, demam rematik, penyakit jantung rematik atau psoriasis gutata, anti

streptolisin O dan titer antibodi anti-deoksiribonuklease B sangat membantu untuk

menentukan apakah ada atau tidak adanya infeksi GAS anteseden.42 Sebagai catatan, titer

anti streptolisin tinggi lebih umum setelah faringitis GAS, sedangkan titer B

51
antideoksiribonuklease yang tinggi lebih umum terjadi setelah infeksi kulit GAS dan

setidaknya 1 antibodi biasanya positif pada 95% kasus.42

PATOLOGI

Secara umum, biopsi kulit biasanya tidak dilakukan pada kasus impetigo tanpa

komplikasi, ektima , infeksi intertriginosa, daktilitis distal berlepuh atau limfangitis akut.

Namun, biopsi direkomendasikan pada pasien imunokompromis atau pada pasien dengan

demam dan neutropenia untuk evaluasi histologis (termasuk pewarnaan mikroorganisme)

dan kultur mikrobiologi serta sensitivitas antibiotik untuk mendiagnosis organisme

patogen dan untuk membantu mengarahkan terapi antibiotik yang tepat.17

PENCITRAAN

Pencitraan biasanya tidak diindikasikan kecuali dalam kasus limfangitis akut di

mana terdapat bukti penyebaran ke kelenjar aksila, yang akan menimbulkan kecurigaan

abses subpektoral dan efusi pleura, terutama jika selulitis diamati pada dada bagian bawah

dan perut bagian atas. Dalam kasus ini, pencitraan radiografi (yaitu, rontgen dada atau

pencitraan CT) diindikasikan untuk menentukan tingkat infeksi pada dada.

ALGORITMA DIAGNOSTIK

Gambar 150-14 menunjukkan algoritma diagnostik dan manajemen untuk S. aureus dan

SSTI oleh GAS.

52
DIAGNOSIS BANDING

Tabel 150-3 menguraikan diagnosis banding untuk impetigo dan ektima. Tabel

150-6 menguraikan diagnosis banding dari intertrigo, daktilitis distal berlepuh, dan

limfangitis akut.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS

Jika tidak diobati, impetigo oleh GAS dapat bertahan dan lesi baru dapat

berkembang selama beberapa minggu. Setelah itu, infeksi cenderung sembuh secara

spontan kecuali terdapat beberapa gangguan kulit yang mendasarinya seperti dermatitis

atopik. Jika tidak diobati, beberapa lesi menjadi kronis dan menjadi lebih dalam, seperti

53
ektima. erisipsipelas, selulitis, atau jarang bisa terjadi bakteremia. Ektima oleh GAS,

intertrigo, dan daktilitis distal berlepuh biasanya berhasil diobati dengan penatalaksanaan

yang tepat (lihat “Penatalaksanaan”). Namun, GAS dapat bertahan pada sekitar 20%

hingga 30% individu dan karier asimptomatik ini dapat berfungsi sebagai sumber umum

untuk penularan GAS dan infeksi berulang yang potensial.35,36 Jika infeksi tidak diobati

atau diabaikan, ada potensi penyebaran invasif dari infeksi, mengakibatkan erisipelas,

selulitis, limfangitis, bakteremia, dan fasciitis nekrotikans. Limfangitis akut adalah

infeksi invasif serius yang memerlukan perawatan segera karena sering dapat

menyebabkan bakteremia dengan infeksi metastasis dari berbagai organ. Komplikasi

potensial lain dari infeksi kulit GAS dibahas di atas (lihat “Gambaran Klinis”).

PENATALAKSANAAN

INTERVENSI, OBAT, DAN PROSEDUR

Terapi topikal untuk impetigo oleh GAS sama dengan S. aureus (salep topikal

mupirocin 2% atau salep retapamulin 1% dua kali sehari selama 5 hari dengan
17
pengangkatan krusta superfisial melalui pencucian menggunakan sabun dan air).

Dengan temuan klinis saja, penyebab impetigo non bulosa tidak dapat secara akurat

dibedakan antara GAS dan S. aureus. Karena sebagian besar kasus impetigo non bulosa

disebabkan oleh S. aureus, dan jika etiologinya tidak diketahui serta diperlukan adanya

terapi sistemik, maka secara empiris dapat diberikan terapi yang sensitif terhadap S.

aureus menggunakan dicloxacillin atau cephalexin (dijelaskan di atas).17 Namun, berbeda

dengan S. aureus, pengobatan antibiotik sistemik dari pioderma superfisial (mis.

Impetigo, ektima, dan intertrigo) yang diketahui disebabkan oleh GAS adalah penisilin

dan pengobatan harus dilanjutkan selama 10 hari untuk memastikan pemberantasan

54
infeksi (Tabel 150-7). Pemberian oral penicillin V kalium (penicillin VK) selama 10 hari

dapat diberikan pada orang dewasa (250 hingga 500 mg 4 kali sehari) atau anak-anak

(250 hingga 500 mg 2 hingga 3 kali sehari [25 hingga 45 mg / kg / hari dibagi 2 hingga 3

kali / hari]).17 Pada anak muda, pemberian selama 10 hari dengan amoksisilin-asam

klavulanat (250 hingga 500 mg dua kali sehari [25 hingga 45 mg / kg / hari komponen

amoksisilin dua kali sehari]) dapat digunakan sebagai pengganti penisilin oral V. Sebagai

alternatif, dosis tunggal dari long acting benzathine penicillin G dapat diberikan secara

intramuskuler (1.200.000 unit untuk orang dewasa atau 600.000 unit untuk anak-anak).

Pada pasien dengan hipersensitivitas atau alergi penisilin / β-laktam, pemberian

eritromisin selama 10 hari dapat diberikan, dosis orang dewasa (250 hingga 500 mg per

oral 4 kali / hari) atau anak-anak (30 hingga 50 mg / kg / hari per oral dosis terbagi) dosis

4 kali / hari), yang dapat diterima mengingat bahwa resistensi eritromisin di antara isolat

GAS di sebagian besar wilayah Amerika Serikat kurang dari 7% .33 Namun, harus dicatat

bahwa 20% atau lebih dari strain GAS tahan terhadap eritromisin di area geografis

tertentu (misalnya, Polandia [42%], Hong Kong [28%], Italia [25%], Portugal [24%], dan
33
Spanyol [21%] dan alternatif lain harus digunakan, seperti klindamisin secara oral

untuk 10 hari pada orang dewasa (300 hingga 450 mg 3 kali sehari) atau anak-anak (20

hingga 30 mg / kg / hari dibagi 3 hingga 4 kali sehari). Daktilitis distal berlepuh dapat

diterapi dengan cara yang sama seperti pioderma oleh GAS tetapi I&D sering diperlukan

untuk mengeluarkan nanah subungual.

Pada limfangitis akut oleh GAS, anak-anak yang lebih tua dari usia 3 tahun atau

orang dewasa tanpa komorbiditas yang tampak tidak toksik dapat diobati dengan

antibiotik di atas dalam pengaturan rawat jalan. Namun, jika pasien memiliki tanda-tanda

infeksi sistemik (misalnya, demam, menggigil, kekakuan, mialgia, perubahan status

55
mental, ketidakstabilan hemodinamik) atau peradangan (sindrom respons inflamasi

sistemik), mereka harus dirawat di rumah sakit dan dirawat secara agresif dengan

antibiotik intravena sesuai kebutuhan untuk erisipelas atau selulitis yang bermasalah

(lihat Bab 151).

ALGORITMA PENGOBATAN

Tabel 150-7 menguraikan manajemen infeksi kulit yang disebabkan oleh GAS.

PENCEGAHAN / SKRINING

Secara umum, pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi GAS harus

diisolasi sampai organisme telah dieradikasi dengan pengobatan antibiotik. Meskipun

pengobatan awal dengan antibiotik dapat membersihkan lesi pioderma oleh GAS dan

mencegah kekambuhan untuk waktu yang singkat, GAS dapat bertahan atau membentuk

koloni baru pada kulit yang tidak terpengaruh terlepas dari terapi ini. Individu dengan

satu kali kekambuhan dapat diobati dengan terapi antibiotik oral yang sama dengan

56
pioderma GAS awal (lihat Tabel 1507). Namun, pasien dengan episode berulang infeksi

GAS juga dapat diobati dengan pemberian klindamisin selama 10 hari (dewasa: 300

hingga 450 mg dua kali sehari; anak-anak: 20 hingga 30 mg / kg / hari dalam 3 dosis

terbagi) atau amoksisilin asam klavulanat (dewasa: 875/125 mg dua kali sehari; anak-

anak: 40 mg / kg / hari dalam 3 dosis terbagi sama). Klindamisin atau asam amoksisilin-

klavulanat juga telah digunakan secara efektif sebagai profilaksis sekunder terhadap

faringitis GAS berulang. Selain itu, penisilin profilaksis (atau antibiotik GAS lain yang

sesuai) diindikasikan untuk kontak keluarga dekat (terutama anak-anak) dari pasien

dengan infeksi kulit oleh GAS berulang atau faringitis . Tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa pengobatan pioderma oleh GAS dapat mencegah glomerulonefritis

poststreptococcal berikutnya pada setiap individu. Namun, antibiotik sistemik harus

digunakan untuk semua infeksi GAS selama berjangkitnya glomerulonefritis

poststreptococcal untuk membantu menghilangkan strain GAS nefritogenik dari

komunitas.

PITTED KERATOLISIS

SELAYANG PANDANG

▪ Pitted keratolisis melibatkan pembentukan formasi lubang lubang kawah ukuran kecil

yang menyatu untuk membentuk defek diskrit besar dengan batas serpiginosa pada

permukaan plantar kaki.

▪ Lebih sering ditemukan pada pria muda dan berhubungan dengan kulit lembab yang

hangat dan sepatu tertutup.

57
▪ Agen etiologi tidak sepenuhnya jelas tetapi banyak di antaranya adalah Kytococcus

sedentarius (sebelumnya Micrococcus sedentarius), Dermatophilus congolensis, dan

Corynebacterium spp.

▪ Terapi biasanya mencakup tindakan dan agen untuk menjaga kaki tetap kering dan

mengurangi hiperhidrosis dalam kombinasi dengan antibiotik topikal (misalnya,

klindamisin atau eritromisin) serta keratolitik.

Pitted keratolisis melibatkan stratum korneum pada sela jari dan permukaan plantar

kaki. Awalnya bernama keratoma plantare sulcatum oleh Castellani pada tahun 1910,

penyakit ini menjadi lebih umum disebut dengan nama saat ini setelah Taplin dan Zaias

menciptakannya pada tahun 1967. Penyakit ini pertama kali terlihat pada mereka yang

bertelanjang kaki selama musim hujan.

EPIDEMIOLOGI

Pitted keratolisis terjadi pada orang dewasa dan anak-anak dari kedua jenis

kelamin, tetapi pria dewasa dengan kaki berkeringat paling rentan (sekitar 90% kasus)

dengan rasio pria-wanita sekitar 8: 1.44 Pitted keratolisis jauh lebih umum di iklim tropis

daripada di daerah beriklim sedang.

GAMBARAN KLINIS

Pitted keratolisis muncul sebagai erosi superfisial dari stratum korneum, yang

terdiri dari banyak lubang seperti kawah kecil yang bergabung membentuk defek diskrit

besar dengan batas serpiginosa pada permukaan plantar kaki. Lubang biasanya lebih besar

dari 0,7 mm, tetapi kadang-kadang lebih kecil dari 0,5 mm. Lubang-lubang memiliki

konfigurasi memanjang sepanjang alur plantar dan terletak terutama pada bantalan

tekanan daerah hiperkeratotik pada kaki, seperti aspek ventral dari jari kaki, ball of the

58
foot dan tumit, tetapi dapat juga terdapat pada daerah yang bukan penahan tekanan.44

Sela jari kaki merupakan area yang sering terlibat, dan mungkin merupakan satu-satunya

manifestasi (Gbr. 150-19). Diagnosis dibuat secara klinis. Kulit yang menipis, sering

dimanifestasikan oleh kaki yang menempel pada kaus kaki, juga merupakan keluhan yang

sering ada (70% kasus). Kaki biasanya sangat berbau busuk (dua pertiga pasien) dan

sepertiga pasien mengeluh nyeri, terbakar, atau iritasi.

Gambar 150-19 Pitted keratolisis. Ruang di antara sela jari kaki dengan

erosi batas tegas . Tinea pedis interdigital dan eritrasma dapat terjadi bersamaan.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Spesies bakteri spesifik yang menyebabkan pitted keratolisis tidak sepenuhnya

jelas. Namun, K. sedentarius (sebelumnya Micrococcus sedentarius), D. congolensis dan

Corynebacterium spp dimungkinkan sebagai agen etiologi penyakit ini. Diperkirakan

bahwa kulit yang hangat dan lembab sebagai akibat dari sepatu pelindung atau tertutup di

iklim yang lebih hangat menyebabkan pelunakan stratum korneum dan pH yang lebih

netral dari permukaan kulit, sehingga meningkatkan aktivitas proteolitik dari bakteri ini

yang menyebabkan invasi ke stratum korneum dan menghasilkan lesi klinis yang khas.

59
Dengan mikroskop elektron, organisme bakteri dapat ditemukan di dalam keratinosit di

stratum korneum dan stratum granulosum.

DIAGNOSIS

Diagnosis dibuat secara klinis. Namun, pewarnaan Gram dari kerokan dapat

mendeteksi mikroorganisme lebih mudah daripada pemeriksaan kalium hidroksida.

Kultur bakteri sering tidak membantu karena banyak spesies bakteri tumbuh. Biopsi

biasanya tidak diperlukan tetapi jika dilakukan, pewarnaan Gram, PAS, dan methenamine

silver dapat memperlihatkan organisme bakteri pada dinding dan dasar dari defek kawah

pada lapisan atas stratum korneum. Organisme terlihat sebagai bentuk coccoid yang

terletak lebih superfisial dan berbentuk filamen dengan cabang dan septa terlihat di lokasi

yang lebih dalam.44

DIAGNOSIS BANDING

Tinea pedis interdigital dapat muncul dengan lesi erosif pada sela jari sehingga

sering menjadi salah diagnosis pada kasus pitted keratolisis. Eritrasma pada sela sela

jari biasanya hiperkeratotik tetapi dapat juga erosif.

PENATALAKSANAAN

Langkah-langkah profilaksis ditujukan untuk menjaga kaki sekering mungkin dan

memakai sepatu yang pas dan tidak oklusif ..44 Serbuk antiseptik sering membantu. Kaus

kaki dan sepatu juga harus sering diganti dan kaus kaki harus dicuci setidaknya pada suhu

60 ° C (140 ° F) untuk membantu membunuh bakteri.44 Solusio aluminium klorida 20%

dapat mengurangi hiperhidrosis sehingga bisa membantu terapi, Selain itu, toksin

botulinum telah digunakan untuk mengurangi hiperhidrosis untuk membantu mengobati

60
pitted keratolisis. Pembersih benzoil peroksida atau gel / krim 5% adalah terapi yang

efektif dalam banyak kasus. Zat tambahan lain yang umum digunakan termasuk larutan

klindamisin dan eritromisin, serta turunan imidazol (mis., Mikonazol) dan asam fusidat

Agen topikal ini dapat dikombinasikan dengan keratolitik untuk mengurangi

hiperkeratosis dan meningkatkan penetrasi obat topikal ke dalam kulit. Penggunaan

klindamisin dan eritromisin secara sistemik dapat dicoba pada kasus yang parah.44

ERITRASMA

SELAYANG PANDANG

▪ Eritrasma adalah infeksi bakteri superfisial pada kulit yang ditandai dengan patch

coklat kemerahan batas tegas dengan tepi ireguler, terjadi di daerah intertriginosa,

atau dengan fisura dan maserasi putih pada celah jari kaki.

▪ Lebih sering terjadi di daerah beriklim tropis dan pada pasien dengan obesitas,

diabetes, atau imunosupresi (misalnya, penyakit HIV).

▪ Agen etiologi adalah Corynebacterium minutissimum, yang menghasilkan

coproporphyrin III dan fluoresensi coral red yang dapat dilihat pada efloresensi

lampu Wood’s.

▪ Pengobatan biasanya meliputi klindamisin topikal atau eritromisin, dan antibiotik

oral, seperti eritromisin oral 2 minggu atau klaritromisin dosis tunggal, dapat

digunakan untuk keterlibatan luas atau kasus yang tidak berespons terhadap terapi

topikal.

Eritrasma adalah infeksi bakteri superfisial pada kulit yang ditandai dengan

patch coklat kemerahan yang berbatas tegas dengan tepi ireguler, terjadi di daerah

intertriginosa, atau dengan fisura dan maserasi putih pada sela jari kaki. Pada area

61
pangkal paha, biasanya salah didiagnosis sebagai tinea cruris selama berbulan-bulan

sebelum diagnosis yang tepat dibuat.

EPIDEMIOLOGI

C. minutissimum, agen etiologi eritrasma, adalah Gram-positif batang pendek

dengan granula subterminal. Infeksi lebih sering terjadi di daerah tropis daripada di

daerah beriklim sedang dan pada pasien obesitas dan diabetes. Eritrasma luas jauh lebih

sering terjadi di daerah tropis. Eritrasma lebih sering terjadi pada pria dan dapat terjadi

dalam bentuk tanpa gejala di area genitokural. Dalam kasus yang melibatkan pasien

imunokompromis, seperti pasien dengan penyakit HIV, C. minutissimum dapat

berkembang menjadi bakteremia, selulitis, abses costochondral, dan pielonefritis.

GAMBARAN KLINIS

Lokasi keterlibatan yang paling umum adalah sela jari kaki, di mana eritrasma

muncul sebagai plak maserasi putih hiperkeratotik (Gambar 150-20), terutama di antara

jari kaki keempat dan kelima. Di daerah genitokural, aksila, dan inframammary, lesi hadir

dengan batas yang jelas, berwarna coklat kemerahan, dangkal, bersisik halus, dan

berkerut halus tampak setipis kertas rokok (Gbr. 150-21). Pada lokasi ini, patch memiliki

tampilan yang relatif seragam dibandingkan dengan tinea korporis atau kruris, yang

sering memiliki central clearing. Infeksi bersamaan dapat terjadi dengan Candida atau

dermatofita. Pemeriksaan lampu wood dari eritrasma memberikan fluoresensi coral-red

yang disebabkan oleh produksi coproporphyrin III oleh bakteri. Fluoresensi dapat

bertahan setelah eradikasi Corynebacterium karena pigmen tetap bertahan dalam stratum

korneum yang tebal. Gejalanya bervariasi dari bentuk yang sama sekali tanpa gejala,

bentuk genitokural yang sangat gatal, hingga bentuk umum dengan plak lamelar bersisik

62
pada batang tubuh, area inguinal, dan sela jari kaki. Saat pruritus, iritasi pada lesi dapat

menyebabkan perubahan sekunder membentuk ekskoriasi dan likenifikasi.

Gambar 150-20 Eritrasma. Hiperkeratosis dengan rona kekuningan di sela

jari kaki. 3 sela jari kaki lateral kedua kaki terlibat. Pemeriksaan kalium

hidroksida negatif; Pemeriksaan lampu Wood’s menunjukkan fluoresensi coral

red yang cerah.

Gambar 150-21 Eritrasma. Bercak coklat kemerahan berbatas tegas pada

aksila (A) dan selangkangan (B). Pemeriksaan kalium hidroksida negatif;

Pemeriksaan lampu Wood’s menunjukkan fluoresensi coral red yang cerah.

63
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Kulit yang hangat dan lembab pada area lipatan kulit menciptakan lingkungan di

mana eritrasma dapat berkembang.

DIAGNOSIS

Kultur Corynebacterium spesifik dari lesi dapat menguatkan diagnosis.

Pengecatan Gram dapat mewarnai stratum korneum, menunjukkan organisme gram

positif seperti batang dalam jumlah besar. Bakteri dalam stratum korneum juga dapat

dilihat pada biopsi kulit yang diwarnai dengan periodic acid–Schiff (PAS), methenamine

silver, atau pewarnaan Gram. Diagnosis sangat didudukung oleh lokasi dan karakter

superfisial dari proses, tetapi dapat dikonfirmasikan dengan mendemonstrasikan

karakteristik fluoresensi merah koral dengan pencahayaan lampu Wood.

DIAGNOSIS BANDING

Tinea versikolor dibedakan dari eritrasma oleh lokasi lesi paling banyak pada

batang tubuh dan bukan pada lokasi intertriginosa . Tinea cruris cenderung memiliki tepi

skuama aktif dengan central clearing. Psoriasis inversa biasanya menunjukkan plak batas

tegas dengan warna merah mengkilap di celah intergluteal, lipatan inguinal, dan aksila

PERJALANAN DAN PROGNOSIS KLINIS

Penyakit ini dapat tetap tanpa gejala selama bertahun-tahun atau dapat mengalami

eksaserbasi berkala. Kekambuhan kadangkala terjadi bahkan setelah keberhasilan terapi

antibiotik.

64
PENATALAKSANAAN

Pada eritrasma terlokalisasi, terutama sela jari kaki, pembersih benzoil peroksida

atau krim/gel 5% efektif dalam banyak kasus.44,45 Klindamisin atau eritromisin (larutan

2%) atau krim azole adalah beberapa dari banyak agen topikal yang efektif. Asam fusidat

telah digunakan di luar Amerika Serikat. Untuk keterlibatan luas, eritromisin oral 250

mg, 4 kali sehari selama 14 hari efektif. Alternatif, termasuk klaritromisin 1 g yang

diberikan sebagai dosis oral tunggal, serta tetrasiklin oral atau kloramfenikol, telah

berhasil digunakan.44,45 Untuk profilaksis sekunder, pembersih anti bakteri benzoil

peroksida yang digunakan saat mandi efektif.

TRICHOBACTERIOSIS

SELAYANG PANDANG

▪ Trichobacteriosis adalah infeksi bakteri pada batang rambut.

▪ Secara klinis, biasanya mempengaruhi rambut aksila atau kemaluan dan terdiri dari

konkret berwarna cokelat, kemerahan, kuning, atau hitam pada permukaan batang

rambut, yang mewakili biofilm Corynebacterium spp.

▪ Trichobacteriosis tidak menunjukkan gejala selain dari penampilannya.

▪ Terapi mencakup menghilangkan rambut dengan mencukur, mengurangi

hiperhidrosis, dan benzoil peroksida topikal, antibiotik, dan antiperspiran.

GAMBARAN KLINIS

Trichobacteriosis (sebelumnya disebut trikomikosis) adalah infeksi bakteri pada

batang rambut (bukan jamur seperti yang tersirat dari namanya sebelumnya) ditandai oleh

65
adanya penebalan nodular pada batang rambut yang terdiri dari koloni aerob

Corynebacterium spp. Trichobacteriosis lebih sering terjadi pada aksila, tetapi juga dapat

terjadi di daerah kemaluan. Bakteri menghasilkan berbagai pigmen, memberikan

berbagai warna pada nodul. Konkresi pada batang rambut biasanya berwarna cokelat

tetapi mungkin kemerahan, kuning, atau hitam (Gbr. 150-22). Lesi paling padat dan

mungkin hanya ada di bagian tengah rambut aksila. Trichobacteriosis tidak menunjukkan

gejala kecuali perhatian pasien mengenai penampilan mereka dan karena berbau busuk.

Gambar 150-22 Trichobacteriosis. concretions berwarna kuning pada

batang rambut aksila.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Meskipun etiologi yang tepat tidak jelas, gangguan dalam produksi keringat dan

proliferasi bakteri mungkin diperlukan dalam perkembangan trichobacteriosis. Selain itu,

lingkungan lembab yang hangat dan kebersihan yang buruk adalah faktor predisposisi.

Nodul itu sendiri disebabkan oleh biofilm terkapsulasi dari corynebacteria yang melekat

pada batang rambut tanpa penetrasi.

66
DIAGNOSIS

Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan temuan klinis. Konkretnya dapat

divisualisasikan menggunakan preparat kalium hidroksida. Lampu Wood’s sering dapat

mengungkapkan fluoresensi kekuningan pucat. Visualisasi yang disempurnakan dengan

sinar ultraviolet mewakili modalitas diagnostik yang lebih baru dan menyoroti

keberadaan biofilm corynebacteria pada batang rambut. Infestasi pedikulosis pubis

dengan banyak telur pada batang rambut harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding

dan disingkirkan.

PENATALAKSANAAN

Rambut yang terlibat bisa dihilangkan dengan mencukur. Pembersih dan gel /

krim Benzoil peroksida efektif sebagai pengobatan dan pencegahan terhadap

kekambuhan trichobacteriosis. Klindamisin atau larutan eritromisin topikal (dan turunan

imidazol) juga dapat digunakan. Peningkatan praktik kebersihan dan pembersihan dan

penggunaan antiperspiran secara teratur seperti aluminium klorida dapat mengurangi

kekambuhan.

67

S-ar putea să vă placă și