Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Pukul : 13.00
Tempat : R. Ilmiah Gd. Radioputro Lt. 3
Moderator : Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono Sp.KK(K)
Presenter : Nita Damayanti
Book Reading Stase Dermatologi Tropis I
Lloyd S. Miller
oleh:
Nita Damayanti
18/437276/PKU/17741
YOGYAKARTA
2019
Infeksi Kulit Superfisial dan Pioderma
Lloyd S. Miller
Selayang pandang
superfisial (pioderma).
▪ Tiga puluh persen individu secara berkelanjutan terkolonisasi oleh S. aureus, dan
terkadang ditemukan pada 60% orang sehat. Hal ini merupakan penyebab umum
antimikroba.
Kulit manusia secara normal segera setelah lahir terkolonisasi oleh sejumlah besar
bakteri yang hidup sebagai komensal pada epidermis dan pada pelengkap epidermis
epidermidis) diinokulasi selama kelahiran saat bayi melewati vagina dan bakteri
2
coryneform menempati kulit neonatal segera setelah lahir. Dalam beberapa minggu
setelah kelahiran, kulit neonatal terkolonisasi banyak spesies bakteri, jamur dan virus
Bab ini membahas infeksi kulit superfisial dan pioderma. Pioderma adalah infeksi
pada kulit yang bersifat piogenik (berisi nanah). Mayoritas pioderma pada kulit
disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau grup A Streptococcus (GAS) (juga dikenal
sebagai Streptococcus pyogenes). Bakteri Gram positif ini menyebabkan spektrum klinis
infeksi yang luas, mulai dari pioderma superfisial hingga skin and soft-tissue infections
(SSTI; lihat Bab 151 hingga 153) tergantung pada organisme, lokasi anatomi infeksi, dan
pada faktor inang. Selain itu, bab ini juga membahas infeksi kulit bakteri superfisial
umum lainnya, termasuk pitted keratolisis yang diduga disebabkan oleh Kytococcus
komensal yang tidak berbahaya yang ditemukan di permukaan kulit manusia, S. aureus
dapat ditemukan sebagai bakteri komensal yang tidak berbahaya tetapi dapat juga
menjadi patogen yang agresif dan mematikan. Pada tahun 1928, Alexander Fleming
menemukan bahwa koloni S. aureus berwarna emas terlihat tumbuh di seluruh cawan
petri, kecuali di satu daerah yang terkontaminasi oleh jamur Penicillium chrysogenum
(juga dikenal sebagai Penicillium notatum). Hal ini mengarah pada penemuan penting
Fleming yaitu penisilin dan memulai era keemasan antibiotik. Namun, seiring dengan
3
antibiotik, yang membuat pengobatan infeksi bakteri menjadi lebih rumit. Bakteri yang
aureus (MRSA) baik yang didapat di rumah sakit dan didapat dari masyarakat, serta
Sebagai hasilnya, bab ini membahas terapi yang direkomendasikan saat ini untuk
EPIDEMIOLOGI
permukaan kulit manusia. Individu membawa banyak strain S. epidermidis baik yang
bersifat transien atau menetap, dan kolonisasi yang paling umum didapatkan adalah jenis
koagulase-negatif. S. epidermidis merupakan koloni paling umum pada kulit tetapi juga
mampu menyebabkan infeksi superfisial dan invasif, terutama pada material benda asing
yang diimplankan seperti implan bedah dan kateter atau dalam kasus imunosupresi.
berkoloni di nares anterior pada sekitar 30% populasi.1 Pembawa/karier bersifat transien
pada individu lain. Kira-kira 60% individu sehat adalah karier S. aureus intermiten di
beberapa tempat di kulit atau mukosa.1 Tempat umum kolonisasi biasanya mencakup area
lembab pada kulit, seperti daerah inguinal, aksila, dan kulit perirektal, serta mukosa
hidung, faring, atau rektum.2 Kondisi yang menjadi predisposisi kolonisasi S. aureus
termasuk dermatitis atopik, diabetes melitus, pasien insufisiensi ginjal dengan dialisis,
penggunaan obat intravena, disfungsi hati, dan kelainan imunosupresif genetik atau
didapat, termasuk infeksi HIV. Kolonisasi S. aureus ditemukan di beberapa lokasi tubuh
4
pada 37 % pasien yang mengalami infeksi purulen oleh community-acquired
S. aureus adalah penyebab paling umum dari pioderma primer dan SSTI, serta
infeksi sekunder (superinfeksi) pada penyakit yang mendasari perubahan kulit (Tabel
150-1). Di Amerika Serikat, SSTI menyebabkan sekitar 14,2 juta kunjungan rawat jalan
dan gawat darurat dan hampir 870.000 rawat inap per tahun.4,5 Selain itu, CA-MRSA
adalah penyebab paling sering dari SSTI yang muncul di gawat darurat di Amerika
Serikat. 6,7 S. aureus sebagai penyebab pioderma dan SSTI, dapat masuk ke aliran darah
infektif akut, dan abses pada banyak organ dan jaringan. Resistensi antibiotik telah
menjadi masalah serius, terutama MRSA, yang menyebabkan antara 80.000 dan 111.000
infeksi invasif per tahun di Amerika Serikat.8,9 Beberapa strain S. aureus juga
memproduksi eksotoksin, yang dapat menyebabkan kumpulan gejala kulit dan sistemik,
Penularan bakteri S. aureus pada pasien terjadi terutama melalui kontak dengan
kulit orang lain atau fomites daripada melalui udara.10 Setiap individu dengan infeksi
stafilokokal yang terbuka merupakan karier potensial dan berisiko tinggi sebagai
penyebar infeksi. S. Aureus pada hidung tampaknya menjadi faktor risiko utama untuk
infeksi luka bedah paska operasi.11 Kolonisasi hidung pada neonatus dikaitkan dengan
infeksi S. aureus pada bayi baru lahir di ruang perawatan dan unit perawatan intensif
neonatal serta pediatrik.12 Tingkat bakteremia S. aureus juga lebih tinggi pada karier
aureus yang resisten terhadap antibiotik seperti MRSA yang telah menjadi endemik di
5
rumah sakit di seluruh dunia mulai tahun 1960-an. Penanganan pasien yang hati-hati,
prosedur cuci tangan yang ketat, dan isolasi pasien dengan infeksi stafilokokus terbuka
penting dalam pengurangan penularan stafilokokus. Selain itu, sejak akhir 1990-an telah
terjadi epidemi dari strain CA-MRSA, seperti US300 di Amerika Serikat, yang
menyebabkan SSTI pada individu sehat di luar seting rumah sakit dan tanpa faktor risiko
6
GAMBARAN KLINIS
PENEMUAN KUTAN
Impetigo : Terdapat dua pola klinis impetigo : non bulosa dan bulosa. Jenis non
bulosa didapatkan pada 70% kasus impetigo dan dapat disebabkan oleh S. aureus (paling
umum), GAS, atau kombinasi keduanya. Impetigo non bulosa sering terjadi pada anak-
anak, tetapi dapat juga terjadi pada dewasa dari semua usia. Umumnya, impetigo non
trauma. Awal lesi berupa papul eritematosa kemudian berubah menjadi vesikel dan
pustula yang pecah dan membentuk krusta berwarna madu dengan dasar eritematosa
(Gbr. 150-1). Pada karier nares dari S. aureus, impetigo non bulosa sering disertai dengan
papul transien atau pustula di area di dalam atau sekitar nares dengan pruritus atau nyeri
(Gambar 150-2), yang berubah menjadi lesi tipikal berupa krusta berwarna madu.
Gambar 150-1 Staphylococcus aureus: impetigo. Eritema dan krusta berwarna madu
pada daerah hidung dan bibir atas (A), yang dapat menyebar melibatkan seluruh daerah
sentrofasial (B).
7
Impetigo bulosa disebabkan oleh strain S. aureus yang mengekspresikan toksin
eksfoliatif tertentu (lihat bagian “Etiologi dan Patogenesis”) yang memecah desmoglein
1 pada epidermis, sehingga menghasilkan kelompok bula beratap tipis, vesikel, dan / atau
pustula. Bula biasanya muncul pada area kulit normal dan mudah pecah, menciptakan
krusta dan erosi eritematosa yang mempunyai skuama collarete sebagai sisa dari bekas
bula dan vesikel sebelumnya. Impetigo bulosa paling sering terjadi pada bayi baru lahir
dan bayi yang lebih besar, ditandai oleh perkembangan vesikel yang cepat berubah
Eritema dengan pustula kecil pada ujung hidung nares pada individu dengan
kolonisasi S. aureus.
Beberapa dekade yang lalu, impetigo bulosa yang luas (istilah lama: pemfigus
neonatorum atau penyakit Ritter) menjadi epidemi pada ruang perawatan neonatal. Bula
biasanya muncul pada area kulit normal. Tanda Nikolsky (pengelupasan seperti lembar
kertas pada epidermis dengan tekanan geser) tidak ditemukan. Awalnya bula
mengandung cairan kuning jernih yang kemudian menjadi kuning gelap dan keruh
8
(Gambar 150-3A), tepi bula berbatas tegas tanpa adanya halo eritematosa. Bula
merupakan bula superfisial, yang kemudian pada satu atau dua hari akan pecah,
membentuk krusta tipis berwarna coklat muda hingga kuning keemasan (Gbr. 150-3B).
Varicella bulosa merupakan superinfeksi lesi varicella oleh strain S. aureus yang
dengan isi jernih dan keruh (A) menyatu dengan cepat sehingga membentuk
dengan sawar atau integritas epidermis yang terganggu mempunyai predisposisi untuk
dermatofitosis epidermal, herpes simpleks, varicella, abrasi, laserasi, dan luka bakar
terjadi pada 90% pasien dengan infeksi yang berkepanjangan dan tidak diobati. Jika tidak
9
diobati, lesi dapat perlahan-lahan membesar dan berkembang menjadi lesi baru selama
beberapa minggu. Pada beberapa individu, lesi sembuh secara spontan; pada yang lain,
Ektima: Ektima dapat disebabkan oleh S. aureus dan / atau GAS yang secara
klasik berkembang dari impetigo yang tidak diterapi yang teroklusi oleh alas kaki dan
pakaian hingga meluas lebih dalam, menembus epidermis dan menghasilkan ulkus
“punched-out” dengan krusta berwarna kuning keabu-abuan dan material purulent yang
tebal di kaki pasien dengan diabetes dan gagal ginjal. Lesi eksimatik juga
10
Tepi ulkus berindurasi, terangkat, violaceous, dan dasar granulasi meluas ke
dalam dermis. Biasanya terdapat edema di sekitar lesi. Lesi ektimatosa yang tidak diobati
membesar dari minggu ke bulan hingga diameter 2 sampai 3 cm atau lebih, dan tidak
seperti impetigo, sering sembuh dengan jaringan parut. Ektima paling sering terjadi pada
ekstremitas bawah anak-anak, pasien lanjut usia yang terabaikan, dan individu dengan
diabetes. Kebersihan dan pengabaian yang buruk adalah elemen kunci dalam patogenesis.
Lesi ektima juga dapat berkembang dari pioderma primer atau dari dermatosis yang sudah
ada sebelumnya atau lokasi trauma. Ektima harus dibedakan dari ektima gangrenosum,
yang merupakan ulkus kulit yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan
Folikulitis: Folikulitis adalah pioderma yang berasal dari folikel rambut, dan
diklasifikasikan menurut kedalaman invasi (superfisial dan dalam), serta etiologi mikroba
(Tabel 150-2).
11
Folikulitis superfisial juga disebut folikular atau impetigo Bockhart. Pustula
kecil yang rapuh dan berbentuk kubah terjadi pada infundibulum (ostium ) folikel rambut,
sering terjadi pada kulit kepala anak-anak dan di daerah jenggot (Gambar 150-5), aksila,
ekstremitas, dan pantat orang dewasa. Folikulitis stafilokokus yang terisolasi biasanya
yang disebabkan oleh S. aureus. Blepharitis stafilokokus adalah infeksi S. aureus pada
kelopak mata, yang ditandai adanya pengelupasan ataupun krusta pada batas kelopak
dermatitis seboroik dan rosasea pada kelopak mata. Sikosis barbae adalah folikulitis
dalam dengan peradangan perifolikular yang terjadi di daerah berjanggut pada wajah dan
bibir atas (Gbr. 150-6). Apabila tidak diobati, lesi dapat menjadi lebih dalam dan kronis.
Sikosis Lupoid adalah bentuk sikosis barbae yang dalam dan kronis serta terkait dengan
jaringan parut, biasanya terjadi sebagai lesi sirsinata. Sikatrik sentral yang dikelilingi oleh
pustula dan papula memberikan tampilan lupus vulgaris (lihat Bab 157).
12
Gambar 150-6 Sikosis barbae. Folikulitis stafilokokus yang dalam pada
daerah kumis
termasuk 3 kelainan folikel non infeksius dan inflamasi yang lebih sering terjadi pada
laki-laki ras kulit hitam: (a) pseudofolikulitis barbae, yang terjadi pada daerah jenggot
segmen bawah (Gambar 150-7); (b) folikulitis keloidalis atau akne keloidalis nuchae, di
tengkuk; dan (c) perifolikulitis kapitis, pada kulit kepala. S. aureus dapat menyebabkan
infeksi sekunder pada kelainan inflamatori ini. Paparan terhadap minyak mineral, produk
tar, dan minyak cukur dapat menyebabkan iritan folikulitis. Akne vulgaris, erupsi
akneiformis yang diinduksi obat, rosasea, hidradenitis supurativa, jerawat nekrotika pada
kulit kepala, dan folikulitis eosinofilik dari penyakit HIV juga harus dibedakan dari
folikulitis infeksius. Folikulitis "hot tub" dapat disebabkan oleh P. aeruginosa (lihat Bab
154). Folikulitis dermatofit harus dibedakan dari folikulitis S. aureus. Pada infeksi jamur,
rambut biasanya patah atau rontok, dan terdapat nodul supuratif atau granulomatosa
dibandingkan pustula. Selain itu, pada folikulitis dermatofit, mencabut rambut biasanya
13
Gambar 150-7 Pseudofollikulitis barbae. Beberapa papula di daerah
janggut bawah disebabkan oleh ingrowing batang rambut pada pria kulit hitam
harus disingkirkan.
Furunkel: Furunkel atau bisul adalah nodul inflamasi yang berada di sekitar
folikel rambut, biasanya berasal dari folikulitis sebelumnya yang lebih dangkal dan sering
merah, keras, lunak, pada kulit dengan rambut dan berfluktuasi setelah beberapa hari
keluarnya nanah, dan seringkali merupakan inti dari bahan nekrotik. Rasa sakit di sekitar
lesi menjadi reda, kemerahan dan edema berkurang selama beberapa hari hingga beberapa
minggu. Furunkel dapat terjadi sebagai lesi soliter atau lesi multipel misalnya pada area
pantat(Gbr. 150-8B). Furunkel biasanya terjadi pada lokasi dengan rambut, terutama di
daerah yang mengalami gesekan, oklusi, dan keringat, seperti leher, wajah, aksila, dan
bokong. Furunkel bisa menjadi komplikasi lesi yang sudah ada sebelumnya seperti
14
dermatitis atopik, eksoriasi, lecet, skabies, atau pedikulosis, tetapi lebih sering terjadi
tanpa adanya penyebab predisposisi lokal. Selain itu, berbagai faktor host sistemik terkait
atau defisiensi imunoglobulin. Furunkulosis dapat terjadi lebih luas pada pasien dengan
diabetes. Namun, sebagian besar pasien dengan furunkulosis ditemukan pada individu
sehat.
Gambar 150-8 A. Furunkel pada bibir atas. Lesi berupa nodul, dan plug
nekrotik sentral ditutupi oleh krusta purulen. Beberapa pustula kecil terlihat lateral
dari pusat lesi. B. Furunkel multipel. Beberapa abses pada pantat yang sudah lama
pada seorang pria muda dengan penyakit radang usus. Lesi sembuh dengan
15
Karbunkel: Karbunkel adalah lesi inflamasi serius yang lebih luas, lebih dalam,
saling berhubungan, infiltratif, yang terjadi akibat adanya supurasi pada kulit tebal
inelastik yang terjadi akibat kumpulan furunkel. Karbunkel secara khas muncul sebagai
lesi yang sangat nyeri pada tengkuk, punggung, atau paha (Gbr. 150-9). Demam dan
malaise sering terjadi, dan pasien mungkin tampak sakit. Daerah yang terlibat berwarna
eksternal terdapat di sekitar beberapa folikel rambut. Lesi segera berkembang dengan
terdapat kawah kuning-abu-abu ireguler pada tengah lesi, yang kemudian dapat
menyembuh lambat dengan meninggalkan jaringan granulasi, serta area tersebut masih
akan berwarna violaceous untuk jangka waktu yang lama. Bekas luka permanen yang
Abses: Abses dermis dan subkutan oleh S.aureus biasanya terjadi pada infeksi
sebelumnya. Abses juga dapat terjadi pada lokasi trauma, benda asing, luka bakar, atau
tempat pemasangan kateter intravena. Lesi awal berupa nodul eritematosa. Jika tidak
diterapi, lesi sering membesar dengan ditemukan adanya formasi dari pus atau nanah
16
(Gambar 150-10). CA-MRSA harus dicurigai pada semua pasien dengan abses kulit
karena merupakan presentasi umum untuk strain S. aureus yang virulen ini.15,16
Abses yang besar serta nyeri pada tumit pasien dengan diabetes, membaik
secara klinis; namun, rasa nyeri yang tinggi masih ada. Radiografi tumit menunujkan
adanya bagian dari jarum jahit yang patah. Pasien memiliki neuropati sensoris dan
sebagai infeksi subkutan yang purulen dan kronis. Faktor predisposisi termasuk trauma,
diabetes melitus. Lesi (biasanya soliter) dapat terjadi pada kulit, tulang, dan hati.
Botriomikosis kutan biasanya muncul sebagai lesi soliter atau beberapa lesi, sering terjadi
di daerah genital. Lesi memiliki penampilan tegas dari pecahnya kista inklusi epidermis
(nodul lunak yang dibatasi eritematosa), atau prurigo nodularis (Gbr. 150-11). Pada
17
sebagian besar kasus yang dilaporkan, benda asing telah memainkan peran dalam
telah ada selama beberapa bulan pada orang yang terinfeksi HIV ini. Diagnosis
aureus adalah penyebab infeksi utama dari paronikia akut, biasanya di sekitar kuku,
sering berasal dari kerusakan pada kulit, seperti hangnail. Secara klinis, kulit dan jaringan
lunak lipatan kuku proksimal dan lateral berwarna merah, panas, lunak, dan jika tidak
diterapi dapat berkembang menjadi abses (Gbr. 150-12). Sebaliknya, paronikia kronis
atau berulang yang disebabkan oleh Candida albicans adalah infeksi pada ruang celah
yang disebabkan oleh pemisahan lempeng kuku dorsal proksimal dan permukaan bawah
18
lipatan kuku proksimal. Paronikia candida paling sering terjadi pada tangan individu
yang sering terpapar dalam air untuk waktu yang lama (lihat Bab 161).
Abses terlihat di dorsum jari, dimulai dengan sedikit retakan pada kutikula.
Sebaliknya, Paronikia Candida adalah infeksi pada celah, terjadi pada ruangan
celah yang diciptakan oleh pemisahan lempeng kuku dorsal proksimal dan
ujung distal jari. Penyebab paling umum adalah S. aureus dan virus herpes
perluasan paronikia akut. Infeksi ini biasanya sangat nyeri. Portal masuk yang
jelas sering terlihat. Ujung distal jari berwarna merah, panas, lunak, edematosa,
dengan herpetic whitlows biasanya memiliki riwayat lesi yang terjadi di lokasi
yang sama dan hadir dengan vesikel hemoragik berkelompok, yang dapat menjadi
19
Gambar 150-13 Staphylococcus aureus whitlow. Sebuah granuloma
piogenik muncul 1 minggu setelah trauma pada ujung ibu jari. Seminggu
Respon dari SSTI S. aureus yang lebih parah, yang biasanya terjadi dengan
furunkulosis dalam dan abses, biasanya terdapat tanda-tanda infeksi sistemik (misalnya,
hemodinamik) atau sindrom respons inflamasi sistemik, yang mencakup suhu lebih tinggi
dari 38 ° C (100,4 ° F) atau lebih rendah dari 36 ° C (96,8 ° F), takipnea melebihi 24 nafas
per menit, takikardia melebihi 90 denyut per menit, atau jumlah sel darah putih lebih
tinggi dari 12.000 atau kurang dari 400 sel / μL.6,17 Kasus-kasus ini membutuhkan terapi
20
KOMPLIKASI
Jika tidak diterapi, infeksi invasif dapat menjadi komplikasi dari semua infeksi
kulit S. aureus dan mengakibatkan selulitis, limfangitis, dan bakteremia, yang dapat
menyebabkan infeksi S. aureus di banyak organ dan jaringan sehingga mengancam jiwa,
termasuk osteomielitis, artritis septik, abses dari berbagai organ (otak, hati, dll),
endokarditis, pneumonia, dan sepsis. Lesi di bibir dan hidung meningkatkan risiko
komplikasi ini jarang terjadi. Namun, risiko infeksi invasif lebih tinggi dengan infeksi
yang lebih dalam, seperti furunkel, karbunkel, dan abses, dengan cara yang tidak terduga,
dan manipulasi lesi tersebut sangat berbahaya dan dapat memfasilitasi penyebaran infeksi
toksin yang berulang (lihat Bab 152). Staphylococcal scalded skin syndrome lebih
mungkin terjadi pada bayi dan orang dewasa yang imunokompromis atau mempunyai
Faktor risiko untuk SSTI S. aureus, termasuk kolonisasi oleh S. aureus di area
mukosa (terutama nares) dan pada kulit, yang mungkin bersifat sementara atau sebagai
karier yang berkepanjangan. Selain itu, pasien dengan cedera jaringan atau peradangan
yang sudah ada sebelumnya (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis atopik, sisa benda
asing) semuanya berisiko lebih tinggi terhadap SSTI oleh S. aureus.18 Pasien dengan
gangguan defisiensi imun, seperti HIV dan AIDS, serta individu dengan pemakaian
21
kortikosteroid sistemik cenderung untuk mengalami SSTI oleh S. aureus. Setiap kondisi
yang menyebabkan jumlah atau fungsi neutrofil menurun, termasuk kelainan genetik
diabetes, pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi) sangat rentan terhadap SSTI
oleh S. aureus dan infeksi invasif serta sistemik dari S. Aureus. 18 Hal ini menyebabkan,
pasien langka dengan defisiensi interleukin (IL) -17 yang jarang terjadi secara genetik
atau didapat (misalnya, sindrom Job’s) menjadi rentan terhadap SSTI oleh S. aureus.19
Patogenesis SSTI oleh S. aureus melibatkan banyak faktor virulensi yang berbeda
yang mendorong kolonisasi dan infeksi menghindari deteksi dan fungsi kekebalan tubuh
inang. Misalnya, S. aureus mengeluarkan toksin yang melisiskan sel inang seperti
neutrofil dan makrofag, sehingga mencegah inang mempertahankan fungsi dari sel-sel
ini.20 Terdapat 2 famili utama toksin pembentuk pori pada S. aureus: (a) komponen
tunggal α-hemolisin (juga dikenal sebagai α-toksin) dan (b) biokomponen leukotoksin,
juga dikenal sebagai LukGH) .20 Toksin ini memiliki target sel inang spesifik. Misalnya,
CD11b dan target LukED adalah CCR5, CXCR1, dan CXCR2.20 Secara khusus, α-toksin
dan PVL dikaitkan dengan virulensi S. aureus, termasuk CA-MRSA.1 Titer antibodi
serum yang tinggi terhadap α-toksin berkorelasi dengan perlindungan terhadap SSTI oleh
S. aureus yang berulang.23 Selain itu, S. aureus mengeluarkan modulin yang larut dalam
fenol (PSMs), termasuk PSMα1-PSMα4, PSMβ1, PSMβ2, dan PSMδ (δ- toksin), yang
virulensi CA-MRSA.24
22
Strain S. aureus tertentu memproduksi dan mengeluarkan toksin eksfoliatif.
Impetigo bulosa disebabkan beberapa jenis toksin eksfoliatif (termasuk jenis ETA, ETB,
dan ETD [ETC tidak memiliki aktivitas pada manusia]). Toksin eksfoliatif ini adalah
protease serin yang menargetkan desmoglein 1,25 desmosomal cadherin yang juga
menjadi target autoantibodi dalam pemfigus foliaceus (lihat Bab 52) .26 ETA dan ETB
adalah yang paling umum dan berlokasi di bakteriofag S. aureus (yaitu , phage group II)
pembentukan bula intraepitel pada impetigo bulosa ketika toksin disekresikan secara
lokal di kulit, dan pada S4, didapatkan toksin secara sistemik ( lihat Bab 152) .25
dari toksik syok sindrom-1 (TSST-1), enterotoksin (serotipe A, Bn, Cn, D, E, dan G [n
.21 Superantigen memiliki kemampuan secara tidak spesifik mengaktifkan sel T dengan
utama II) pada sel penyaji antigen dan wilayah variabel dari subunit β dari reseptor sel T
tanpa kehadiran antigen, menghasilkan aktivasi sel CD4 + T yang tidak spesifik. TSST-
1 adalah toksin yang sebagian besar bertanggung jawab untuk sindrom syok toksik S.
aureus, yang ditandai dengan demam tinggi, hipotensi, ruam seperti demam merah,
deskuamasi kulit, dan disfungsi multiorgan. Dengan relevansi SSTI oleh S. aureus, S.
dengan mendorong peradangan kulit, mempromosikan respons T-helper tipe 2 (Th2), dan
23
S. aureus memiliki banyak mekanisme berbeda untuk menghambat fungsi
neutrofil, meningkatkan virulensi dan patogenisitas hal ini dijelaskan secara rinci di bab
protein of S. aureus (CHIPS) atau staphopain A (ScpA), yang memblokir komplemen dan
aureus juga menghambat ekstravasasi neutrofil dari pembuluh darah melalui produksi
protein (Eap), yang memblokir P-selectin dan molekul adhesi antar sel (ICAM) -1,
aureus juga menghasilkan beberapa faktor virulensi yang menghambat fungsi neutrofil,
karotenoid kuning yang bertanggung jawab atas warna keemasan koloni S. aureus), yang
mana semua menghambat pembunuhan akibat oksigen yang reaktif. S. aureus juga
untuk mencegah pembunuhan S. aureus yang dimediasi oleh NETosis.22 S. Aureus juga
yang salah, yang secara efektif memblokir fagositosis yang dimediasi-antibodi oleh
IMUNITAS
kolonisasi dan infeksi . Hal ini akibat adanya induksi dari produksi peptida antimikroba
(oleh keratinosit, sel stroma dan kekebalan tubuh lainnya di kulit), yang memiliki
24
aktivitas bakteriostatik atau bakterisida terhadap S. aureus (misalnya, β-defensin 2 dan 3
manusia, cathelicidin, dan RNase7).18 Selain itu, sel kulit dan imunitas yang menetap
aureus selama infeksi untuk memulai respons imun inflamasi, terutama perekrutan
neutrofil dan pembentukan abses, yang diperlukan untuk mengendalikan infeksi dan
klirens dari bakteri.27 Hal ini termasuk Toll-like receptor 2 (TLR2), yang mengenali
melalui toksin pembentuk pori dan pecahnya fagosom, menghasilkan aktivasi caspase-1
dan pemrosesan proteolitik IL-1β ke dalam bentuk aktif dan disekresikan. IL-1β adalah
sitokin penting untuk menginduksi perekrutan neutrofil dan pembentukan abses pada
tempat infeksi S. aureus di kulit.18 Selain itu, IL-17 kemungkinan diproduksi oleh sel
Th17 (yang sebagian diinduksi oleh IL-1β) juga memainkan peran kunci dalam
aureus berulang sering terjadi, hal ini menunjukkan bahwa respons imun adaptif, seperti
respons antibodi dan respon sel T, tidak sepenuhnya mampu mencegah semua infeksi
ulang kulit S. aureus. Hal ini menjadi sorotan dalam kegagalan strategi vaksinasi berbasis
antibodi dalam uji klinis yang menargetkan komponen permukaan S. aureus untuk
generasi sel Th17 dan sel Th1 kemungkinan memberikan beberapa tingkat perlindungan
25
DIAGNOSIS
PENGUJIAN LABORATORIUM
klinis. Namun, pewarnaan Gram dan kultur nanah atau eksudat umumnya
MRSA) dan / atau GAS.17 Untuk kasus impetigo atau ektima yang khas dan tidak
bermasalah, terapi empiris dapat dimulai tanpa melakukan tes ini. Untuk furunkel besar,
karbunkel, dan abses, diagnosis juga dibuat secara klinis. Namun, kultur nanah setelah
insisi dan drainase terbuka sangat dianjurkan.17 Pengecatan gram biasanya akan
memperlihatkan kokus Gram-positif dalam kelompok (S. aureus) atau rantai (GAS) atau
kombinasi kokus dalam kelompok dan rantai ketika kedua organisme terlibat. Uji kultur
bakteri dan sensitivitas akan memberikan informasi penting untuk mengarahkan cakupan
antibiotik yang tepat dan untuk membantu memantau kemungkinan komplikasi S. aureus
(lihat bagian “Komplikasi”) atau infeksi GAS (lihat bagian “Infeksi Kulit Streptococcal -
Komplikasi”). Pasien dengan furunkel yang luas, karbunkel, atau abses; suhu tubuh, laju
pernapasan, dan hitung jenis darah harus diperiksa untuk mengevaluasi infeksi sistemik
atau sindrom respons inflamasi sistemik (lihat bagian “Temuan Non kutan”) karena
pasien ini memerlukan terapi antibiotik parenteral yang lebih agresif.17 Infeksi yang luas
ini paling sering disebabkan oleh jenis CA-MRSA, yang sering kali merupakan jenis yang
resisten terhadap multi-obat dan uji kepekaan antibiotik sangat penting untuk menentukan
cakupan antibiotik yang memadai. Kultur darah juga dapat diperoleh jika ada kecurigaan
26
PATOLOGI
Secara umum, biopsi kulit biasanya tidak dilakukan pada kasus impetigo, ektima,
folikulitis / furunkulosis, karbunkel, atau abses yang tidak bermasalah. Namun, biopsi
atau aspirasi furunkel yang luas, karbunkel, atau abses direkomendasikan pada pasien
yang mengalami gangguan kekebalan dan pada pasien dengan demam serta neutropenia
padat pada dermis dan lemak subkutan. Pada karbunkel, beberapa abses yang dipisahkan
oleh trabekula jaringan ikat terdapat pada dermis (terutama di sepanjang tepi folikel
rambut) dan mencapai permukaan kulit melalui lubang epidermis yang rusak.
PENCITRAAN
neutropenia yang demam dengan furunkel yang luas, karbunkel, atau abses.
karbunkel, atau abses untuk kultur dan uji kerentanan antibiotik. Selain itu, pencitraan
radiografi (X-ray, CT, atau MRI) dapat dilakukan untuk menentukan kedalaman dan
tingkat infeksi. Hal ini sangat penting jika ada kekhawatiran untuk osteomielitis yang
mendasarinya (misalnya, dalam kasus ulkus kaki yang terinfeksi S. aureus pada pasien
diabetes) atau jika terdapat dugaan infeksi S. aureus, paru indolen yang dapat menyebar
27
ALGORITMA DIAGNOSTIK
(GAS). Singkatan: C&S, culture and sensitivity; CBC, complete blood count;
28
DIAGNOSIS BANDING
furunkulosis.
Sebagian besar infeksi kulit dan pioderma superfisial oleh S. aureus berhasil
terdapat rekurensi tinggi infeksi kulit S. aureus yang dapat berlanjut selama bertahun-
tahun. Hal ini terutama terjadi pada furunkulosis dan abses kulit yang disebabkan oleh
29
CA-MRSA, yang dilaporkan berulang pada 30% hingga 50% pasien. Jika tidak diobati,
limfangitis, dan bakteremia. Dari aliran darah, S. aureus dapat menyebar dan
menyebabkan infeksi pada banyak organ dan jaringan seperti osteomielitis, artritis septik,
PENATALAKSANAAN
yang resisten terhadap antibiotik.13-15 MRSA yang didapat di rumah sakit dan MRSA
mengindikasikan bahwa strain ini resisten terhadap semua antibiotik β-laktam (yaitu,
penisilin dan sefalosporin). Banyak dari strain ini juga resisten multi-obat dan memiliki
berdampak pada efektivitas terapi vankomisin. Namun, strain S. aureus yang resistan
sepenuhnya terhadap vankomisin jarang terjadi dengan hanya beberapa kasus yang
dilaporkan.
Impetigo, Ektima, dan Folikulitis: Impetigo (non bulosa dan bulosa) dapat
diobati dengan antimikroba oral atau topikal (Tabel 150-4). Perawatan topikal lokal
termasuk salep topikal mupirocin 2% atau salep retapamulin 1% dua kali sehari selama 5
hingga 7 hari, bersamaan dengan pengangkatan secara lembut pada krusta superfisial
dengan pembersihan menggunakan sabun dan air.17 Asam fusidat adalah agen topikal
30
yang sama efektifnya untuk impetigo lokal dan memiliki sedikit efek samping yang
merugikan, tetapi saat ini tidak tersedia di Amerika Serikat. Terapi oral dapat digunakan
untuk impetigo dan direkomendasikan untuk ektima dan folikulitis tanpa komplikasi.17
Karena isolat S. aureus dari impetigo, ektima dan folikulitis lebih sering disebabkan oleh
penisilinase semisintetik sejenis yang resisten terhadap penisilin), (orang dewasa: 250
hingga 500 mg per oral 4 kali sehari; tidak biasa digunakan pada anak-anak) atau
cephalexin (dewasa: 500 mg per oral 4 kali sehari; anak-anak 50 hingga 100 mg / kg /
hari dibagi 3 hingga 4 kali per hari).17 Secara umum, pengobatan antibiotik oral harus
dilanjutkan 7 hari (10 hari jika terbukti adanya isolat streptokokus; lihat di bawah). Untuk
pasien yang alergi terhadap penisilin atau β-laktam, eritromisin dapat berfungsi sebagai
pengganti (orang dewasa: 250 hingga 500 mg per oral 4 kali sehari; anak-anak: 40 mg /
kg / hari dibagi 3 hingga 4 kali per hari) .17 Namun, S. aureus yang resisten terhadap
eritromisin sering dijumpai di antara isolat yang menyebabkan impetigo pada anak-anak.
Pilihan perawatan oral lainnya untuk impetigo karena S. aureus pada anak-anak termasuk
amoksisilin plus asam klavulanat (25 mg / kg / hari diberikan 3 kali sehari) atau
klindamisin (15 mg / kg / hari 3 atau 4 kali sehari). Jika CA-MRSA dicurigai sebagai
organisme penyebab, doksisiklin (dewasa: 100 mg dua kali sehari; anak-anak: tidak
450 mg 3 hingga 4 kali sehari; anak-anak: 20 hingga 40 mg / kg / hari dalam dosis terbagi)
atau TMP-SMX (1 tablet kekuatan ganda dua kali sehari; anak-anak: 8 hingga 12 mg / kg
/ hari [komponen trimetoprim] dibagi 2 kali per hari) direkomendasikan untuk terapi
empiris awal, tetapi pilihan antibiotik mungkin perlu diubah berdasarkan respons klinis
dan hasil sensitivitas antibiotik.17 Sebagai catatan, tetrasiklin (termasuk doksisiklin) tidak
31
boleh digunakan pada anak di bawah 8 tahun, dan studi terbaru menemukan bahwa
klindamisin dan TMP-SMX sangat efektif untuk SSTI tanpa komplikasi pada pasien
anak-anak. 30
Furunkel, Karbunkel, dan Abses: Untuk simpel furunkel, karbunkel, dan abses,
insisi dan drainase (I&D) saja sering dilakukan dan biasanya cukup adekuat tetapi
tambahan terapi antibiotik memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik (lihat Tabel 150-
4) .17 Aplikasi lokal kompres panas lembab, dapat membantu drainase. Meskipun I&D
dapat efektif sendiri tanpa terapi antibiotik, terapi antibiotik tambahan harus ditambahkan
seperti yang dijelaskan di atas untuk impetigo / ektima / folikulitis jika pasien gagal dalam
perawatan sebelumnya dengan I&D saja, jika ada penyakit parah atau luas dengan
beberapa tempat infeksi, selulitis atau tanda-tanda infeksi atau peradangan sistemik (lihat
bagian “Temuan Nonn Kutan”) dan pada pasien yang cenderung mengalami SSTI seperti
pasien dengan imunosupresi (misalnya, HIV / AIDS, pasien diabetes, pasien kemoterapi
kanker, dan pasien dengan agen imunosupresif sistemik, dan jika pasien sangat muda atau
sangat tua), dan di daerah di mana I&D sulit (misalnya, wajah, tangan, dan genitalia).6,17
dengan abses kulit yang diobati dengan I&D ditambah TMP-SMX memiliki tingkat
32
kesembuhan yang lebih baik daripada I & D plus plasebo. Untuk infeksi parah atau
infeksi di daerah berbahaya, dosis antibiotik maksimal harus digunakan melalui rute
6
parenteral. CA-MRSA harus dicurigai pada semua infeksi purulen yang serius.
Vankomisin atau agen parenteral sistemik lainnya (misalnya, daptomycin, linezolid, atau
pasien ini.6 Linezolid juga tersedia sebagai agen oral dan memiliki bioavailabilitas yang
sangat baik (100%) ketika diberikan secara oral atau intravena.6 Agen parenteral lain
32
dengan aktivitas melawan MRSA, seperti telavancin dan quinupristin-dalfopristin,
dicadangkan hanya untuk terapi penyelamatan untuk kegagalan pengobatan dan kasus
lebih besar dari 2 μg / mL, alternatif untuk vankomisin harus digunakan seperti linezolid
hari dan, secara umum, terapi antimikroba harus dilanjutkan sampai semua bukti
peradangan telah menurun. Pilihan antibiotik mungkin harus diubah ketika hasil
sensitivitas kultur tersedia. Lesi drainase harus ditutup dengan perban kering untuk
Untuk furunkel, karbunkel dan abses dengan rekurensi pada tempat infeksi
sebelumnya yang sama, sumber etiologi lain harus dipertimbangkan, seperti hidradenitis
supurativa, kista pilonidal, atau benda asing.17 Anak-anak atau orang dewasa dengan
abses berulang yang dimulai pada masa kanak-kanak harus dievaluasi untuk gangguan
hasil sensitifitas antibiotik, biasanya dengan pemberian antibiotik oral selama 5 hingga
10 hari terhadap patogen penyebab, walaupun durasi pengobatan harus individual dan
berdasarkan respons klinis. 6,17 Regimen dekolonisasi harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kompres salin hangat untuk meningkatkan drainase dan antibiotik lokal
Kasus yang lebih luas memerlukan terapi antibiotik sistemik seperti dijelaskan di atas
(lihat Tabel 150-4). Penatalaksanaan paronikia yang disebabkan oleh S. aureus termasuk
33
antibiotik oral dan topikal, dan I&D abses. Penatalaksanaan staphylococcal whitlow
membutuhkan I&D abses yang terlokalisasi dalam jaringan dan terapi antibiotik
intravena. Pencitraan X-ray (atau MRI) dari jari yang terlibat diindikasikan untuk
ALGORITMA PENGOBATAN
34
PENCEGAHAN / SKRINING
Semua pasien dengan SSTI oleh S. aureus harus diedukasi tentang langkah-
langkah untuk mencegah autoinokulasi dan penyebaran infeksi S. aureus ke kontak dekat
lainnya dan individu. Luka kering harus dijaga bersih dan kering dengan perban bersih
dan kering. Pencucian tangan yang sering dengan sabun dan air dan / atau gel tangan yang
terbuat dari alkohol sangat penting setelah berkontak dengan kulit yang terinfeksi. Pasien
harus menghindari penggunaan atau berbagi barang pribadi yang telah bersentuhan
dengan kulit yang terinfeksi, seperti pisau cukur sekali pakai, linen, dan handuk. Karena
fomites di lingkungan dapat digunakan sebagai sumber infeksi, permukaan yang sering
disentuh oleh kulit terbuka, termasuk kenop pintu, meja, bak mandi, dan dudukan toilet,
harus secara rutin dan berulang kali dibersihkan dengan deterjen dan pembersih
antimikroba.6
Pada kasus SSTI oleh S. aureus yang berulang meskipun pengobatan yang tepat
dilakukan dengan salep mupirocin yang diberikan ke hidung dua kali sehari selama 5
klorheksidin setiap hari selama 5 hingga 14 hari atau mandi dengan pemutih. Prosedur
dekolonisasi hidung dan tubuh dapat diulang setiap bulan selama 3 bulan. Regimen
khusus untuk rendaman pemutih adalah 1 sendok teh pemutih per 1 galon air atau
seperempat cangkir pemutih per seperempat air bak mandi (sekitar 13 galon air) dan dapat
dilakukan selama 15 menit dua kali seminggu selama 3 bulan. Jika langkah-langkah
dekolonisasi ini tidak efektif, pengobatan antibiotik oral sesuai dengan rejimen
pengobatan di atas dapat digunakan bersama dengan rifampisin (biasanya 300 mg dua
35
kali sehari). Sebagai catatan, rifampisin hanya dapat digunakan dalam kombinasi dengan
antibiotik sistemik lainnya karena resistensi antibiotik yang cepat berkembang jika
Dalam kasus terdapat bukti penularan dari barang rumah tangga atau
dijelaskan di atas, kontak simptomatik harus diobati dan dekolonisasi kontak rumah
tangga asimptomatik juga dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dekolonisasi hidung
dan tubuh di atas. Kultur surveilans dari nares atau lokasi tubuh setelah prosedur rejimen
Selayang Pandang
infeksi kulit purulen superfisial (pioderma). Infeksi kulit lebih jarang disebabkan oleh
▪ Grup A Streptococcus adalah penyebab utama faringitis bakteri dan sekitar 20%
hingga 30% individu yang pulih dari infeksi adalah pembawa asimptomatik dan dapat
▪ Manifestasi lokal meliputi impetigo, ektima, intertrigo, dan daktilitis distal berlepuh.
▪ Dapat terjadi infeksi kulit invasif, seperti erisipelas, selulitis, dan fasiitis nekrotikans.
Terapi secara empiris untuk S. aureus (karena resistensi antibiotik lebih umum)
36
GAS adalah patogen bakteri ekstraseluler Gram-positif yang merupakan
kulit superfisial yang disebabkan oleh GAS termasuk impetigo, ektima, intertrigo,
dan daktilitis distal berlepuh, dan merupakan penyebab paling umum dari
paling sering dikaitkan dengan faringitis GAS dan termasuk ruam morbiliformis,
lidah stroberi, dan deskuamasi dari kulit yang disebabkan oleh eksotoksin
pirogenik streptokokus (lihat Bab 152) .33 GAS juga menyebabkan SSTI yang
lebih invasif, seperti erisipelas, yang merupakan infeksi pada lapisan permukaan
kulit dan limfatik, serta selulitis, yang merupakan infeksi yang menyebar melalui
jaringan dermal dan subkutan yang dalam (lihat Bab 151) .33 GAS juga dapat
menyebabkan sepsis, syok, kegagalan multiorgan, dan kematian (lihat Bab. 153).
37
Pengelompokan Lancefield menggunakan perbedaan antigenik dalam dinding sel
sebagai grup B dan grup D. Isolat GAS dapat diklasifikasikan lebih lanjut menggunakan
serotipe terhadap protein M, faktor virulensi kunci dari infeksi GAS. 34 Dengan kemajuan
dalam biologi molekuler, strain GAS saat ini diklasifikasikan menggunakan sekuens dari
wilayah variabel 5’ dari gen emm yang mengkode untuk protein M dan lebih dari 200
jenis emm telah diidentifikasi. Meskipun terdapat variabilitas temporal dan geografis
38
yang substansial dari tipe emm, tipe emm tertentu berhubungan dengan berbagai
manifestasi penyakit. Misalnya, impetigo dikaitkan dengan emm tipe 33, 41, 42, 52, 53,
dan 70, dan necrotizing fasciitis dikaitkan dengan emm tipe 1, 3, dan 28.34
EPIDEMIOLOGI
terdapat lebih dari 100 juta infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh GAS dan lebih
dari 600 juta kasus faringitis.33 Sumber utama penularan GAS adalah dari droplet
Diperkirakan bahwa 15% anak sekolah dan 4% hingga 10% orang dewasa di negara
industri menderita faringitis GAS, yang bisa lebih dari 5 kali lebih tinggi di negara
berkembang.35,36 Setelah pemulihan dari faringitis oleh GAS, GAS dapat bertahan pada
sekitar 20% hingga 30% individu dan karier asimptomatik ini dapat berfungsi sebagai
sumber penularan GAS.35,36 Sumber lain infeksi GAS adalah dari pasien dengan infeksi
kulit GAS seperti impetigo dan luka yang terinfeksi. Faktor utama dalam penyebaran dari
karier atau orang yang terinfeksi adalah kedekatan dengan individu yang menyebarkan
bakteri. Dengan demikian, anggota keluarga atau kontak dekat berada pada risiko infeksi
yang lebih besar daripada populasi umum selama wabah. Impetigo oleh GAS terutama
terjadi pada anak-anak prasekolah dan lebih sering terjadi di daerah yang lebih hangat
dan lebih lembab daripada di daerah beriklim sedang. Puncaknya adalah insiden musiman
pada akhir musim panas dan awal musim gugur. Streptokokus non-kelompok A
(misalnya, kelompok B, C, dan G) adalah penyebab impetigo yang kurang umum, seperti
streptokokus kelompok B, yang dapat menyebabkan impetigo pada bayi baru lahir.
39
GAMBARAN KLINIS
TEMUAN KUTAN
Impetigo: GAS adalah penyebab umum dari impetigo non bulosa yang muncul
sebagai infeksi krusta superfisial pada kulit dengan gambaran klinis yang sama dengan
impetigo yang disebabkan S. aureus (lihat “Impetigo” di atas) (lihat Gambar 150-1).
Proses inflamasi pada impetigo adalah superfisial dan dimulai dengan vesikopustula
unilokular yang terletak di antara stratum korneum pada bagian atas dan stratum
granulosum pada bagian bawah dan biasanya terletak di dekat pembukaan folikel rambut.
Organisme, serta leukosit dan debris sel, kemudian mengisi vesikopustula, yang dengan
cepat berkembang menjadi papula berkulit berwarna madu. Pruritus dan rasa terbakar
dapat terjadi, tetapi lesi biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Lesi yang sudah ada
dengan impetigo GAS. Kepadatan , kebersihan yang buruk, dan trauma kulit minor yang
Wabah kecil juga terjadi di antara atlet yang terlibat dalam olahraga kontak. Meskipun
sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak usia prasekolah, anak-anak yang lebih tua
Ektima Streptokokal: GAS juga merupakan penyebab ektima yang tidak dapat
yang tertutup, seperti perineum / daerah perianal, vulva / vagina, aksila (Gambar 150-15),
40
Gambar 150-15 Intertrigo oleh streptokokus Grup A. Sebuah plak
eritematosa batas tegas dan oozing pada aksila, juga terdapat pada aksila sisi
lain, area lipat bawah payudara , dan lipatan inguinal, terasa sangat nyeri pada
streptokokus perianal. Eritema erosif yang berbatas tegas pada daerah perianal
dan perineum pada anak laki-laki berusia 8 tahun yang mengeluh nyeri.
41
“Selulitis” oleh streptokokus (grup A) pada perianal terjadi terutama pada anak-
anak, menunjukkan eritema perianal yang intens (Gbr. 150-16), nyeri saat buang air besar,
feses dengan bercak darah yang berhubungan dengan fisura anus, dan kronisitas jika tidak
diobati.37 Hal ini sering dibingungkan dengan psoriasis, kandidiasis, dermatitis seboroik,
penyakit radang usus, infeksi cacing kremi, atau masalah perilaku. Infeksi juga dapat
Daktilitis Distal Berlepuh : GAS dan S. aureus bertanggung jawab atas sebagian
besar kasus daktilitis distal berlepuh, juga disebut bula repens, biasanya terjadi pada
menyebabkan infeksi ini. Lepuh besar dan tegang yang terbentuk, berisi cairan
seropurulen, di atas bantalan kulit volar jari tangan atau kaki bagian distal (Gbr. 150-17).
Lepuh sering dikelilingi oleh dasar eritematosa. Lesi mungkin terletak lebih proksimal
Lepuh terlihat di jari kaki yang berdekatan dengan lipatan kuku; pasien juga
42
Limfangitis Akut: Limfangitis akut adalah proses inflamasi yang melibatkan
saluran limfatik subkutan. Biasanya disebabkan oleh GAS, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan oleh S. aureus atau organisme lain, seperti Pasteurella multocida (misalnya,
dari gigitan hewan) atau virus herpes simpleks. Portal masuknya organisme infeksius
biasanya berupa luka pada ekstremitas, lepuh yang terinfeksi, atau paronikia. Secara
klinis, limfangitis akut muncul sebagai onset cepat dari garis-garis linier merah, yang
portal masuk lokal menuju kelenjar getah bening regional, yang biasanya membesar dan
Gambar 150-18 Limfangitis akut lengan bawah akibat Staphylococcus aureus. Terdapat
garis linear lunak yang memanjang secara proksimal dari area kecil selulitis pada
43
Manifestasi infeksi sistemik dapat terjadi baik sebelum ada bukti infeksi yang ada di
tempat inokulasi atau setelah lesi awal mereda. Pasien mungkin merasakan sakit di atas
area kemerahan, proksimal dari area yang terkena pada kulit. Gejala sistemik seringkali
lebih menonjol daripada yang diperkirakan dibandingkan dengan derajat nyeri dan
eritema lokal. Pada ekstremitas atas, limfangitis akut biasanya dapat dibedakan dari
sindrom sporotrichoid subakut atau kronis yang disebabkan oleh organisme seperti
menghasilkan area linear dengan eritema lunak yang serupa. Tidak adanya portal masuk
dan adenopati regional yang lunak sangat membantu dalam membedakan tromboflebitis
Penyebaran infeksi limfangitis oleh GAS atau S. aureus yang tidak biasa pada
ibu jari (paronikia) atau jaringan interdigital antara ibu jari dan jari telunjuk dapat terjadi
sesekali. Drainase limfatik dari area ini dapat mem-bypass kelenjar getah bening di siku
dan mengalir ke kelenjar getah bening aksila, yang pada gilirannya, berhubungan dengan
kelenjar subpektoralis dan limfatik pleura. Akibatnya, abses subpektoral dan efusi pleura
dapat terjadi. Infeksi subpektoral dapat menyebar ke bawah dan muncul di dada bagian
bawah serta perut bagian atas sebagai area selulitis. Ini merupakan penyakit yang sangat
serius. Petunjuk klinis untuk pengembangan urutan kejadian ini ditunjukkan dengan
lokasi infeksi awal pada ibu jari atau permukaan medial jari telunjuk dan awal timbulnya
nyeri aksila.
44
TEMUAN NON KUTAN
Dalam respon terhadap pioderma oleh GAS yang lebih parah, mungkin terdapat tanda
dan gejala infeksi sistemik atau peradangan dan ini sama dengan temuan nonkutan pada
KOMPLIKASI
Infeksi kulit superfisial oleh GAS dapat menjadi lebih invasif dan menyebabkan
erisipelas dan selulitis GAS (lihat Bab 151) atau infeksi parah seperti gangren
streptokokus dan fasciitis nekrotikans (lihat Bab 153). Sekuele kulit terkait lainnya,
termasuk eritema nodosum (lihat Bab 73), lesi mirip eritema multiforme (yang dapat
terjadi selama bakteremia oleh GAS atau S. aureus pada bayi dan anak kecil) (lihat Bab
43), dan eritema marginatum (yaitu, lesi kulit demam rematik akut) (lihat Bab 152).
Demam scarlet dan sindrom streptokokus toksik yang disebabkan oleh toksin GAS juga
dapat terjadi selama dan setelah faringitis GAS atau infeksi kulit (lihat Bab 152). Jarang,
selama atau setelah faringitis GAS atau infeksi kulit, pasien (terutama anak-anak dan
remaja) dapat berkembang menjadi psoriasis gutata akut (lihat Bab 28).
Setelah faringitis atau infeksi kulit oleh GAS, dapat terjadi endemik dan epidemi
glomerulonefritis poststreptococcal akut sama seperti demam rematik akut dan penyakit
minggu setelah faringitis oleh GAS dan 3 sampai 6 minggu setelah impetigo oleh GAS.
Jarang terjadi di negara maju (terjadi pada 0,3 per 100.000 orang) dan lebih umum di
negara berkembang (terjadi pada 9,5 hingga 28,5 per 100.000 orang). Namun, frekuensi
adalah 10% sampai 15% secara keseluruhan dan insidensi lebih tinggi terjadi mengikuti
45
infeksi kulit GAS (25%) dibandingkan setelah faringitis GAS (sekitar 5%).
anak-anak (biasanya 3 hingga 12 tahun), tetapi juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Secara klinis, biasanya disertai edema, hematuria, dan hipertensi. Meskipun entitas ini
biasanya sembuh tanpa perawatan khusus, gagal ginjal dapat terjadi dalam beberapa
kasus.38
Demam rematik akut terjadi pada kurang dari 1% pasien dengan infeksi GAS, dan
biasanya terjadi 2 minggu setelah infeksi faringitis GAS. Dalam kasus yang jarang terjadi
atau lokasi geografis tertentu, demam rematik telah dilaporkan terjadi setelah infeksi kulit
GAS. Diagnosis dibuat sesuai dengan kriteria Jones, yang terdiri dari manifestasi utama
pada organ dan jaringan (persendian [artritis], jantung [endokarditis], otak [chorea], kulit
[eritema marginatum], dan jaringan subkutan (nodul] serta kriteria minor. Meskipun
karditis dapat terjadi pada 60% kasus demam rematik akut (dengan katup mitral dan aorta
akut dan frekuensi kekambuhan.38 Penyakit jantung rematik memiliki perjalanan klinis
yang bervariasi mulai dari penyakit katup asimptomatik hingga menjadi gagal jantung,
tromboemboli, fibrilasi atrium, dan inkompetensi serta stenosis progresif dari katup, serta
membutuhkan manajemen medis seumur hidup dan bedah. Sydenham chorea (gerakan
tak sengaja, cepat, dan tanpa tujuan dari wajah atau anggota badan yang terkait dengan
emosi yang labil) dapat muncul pada demam rematik akut dan hingga 6 bulan setelah
46
choreoathetosis, kelainan obsesif-kompulsif, atau kelainan tic (misalnya, sindrom
dari GAS, yang biasanya jauh lebih invasif daripada streptokokus lainnya. Komplikasi
paska infeksi nonsupuratif sebagian besar terbatas pada yang diproduksi oleh GAS.
Faktor risiko untuk infeksi kulit GAS termasuk kolonisasi oleh GAS di nasofaring dan
kulit, serta kepadatan, kebersihan yang buruk, dan kemiskinan.33 Seperti S. aureus,
individu dengan cedera atau peradangan jaringan yang sudah ada sebelumnya (luka
bedah, luka bakar, trauma, dermatitis atopik , skabies, infeksi dermatofit, sisa benda
asing) semuanya beresiko lebih tinggi untuk infeksi kulit oleh GAS.33 Trauma tumpul ke
dalam otot adalah faktor risiko necrotizing fasciitis yang disebabkan oleh GAS.33
untuk membedakan 20 spesies yang berbeda dari spesies koagulase negatif, β-hemolitik
lesi kulit dapat mewakili kolonisasi permukaan atau infeksi sekunder aktual pada
dermatosis yang sudah ada sebelumnya. Streptokokus grup C dan streptokokus grup G
kadang-kadang terlibat dalam lesi impetiginosa, dermatitis dengan infeksi sekunder, dan
infeksi luka dengan limfangitis, dan bahkan pada erisipelas dan selulitis (lihat Bab 151).
diisolasi dari infeksi lesi kulit sekunder akibat iskemia atau stasis vena, dan khususnya
melibatkan daerah perineum dan tempat luka operasi. Seperti kebanyakan infeksi
sekunder, yang disebabkan oleh streptokokus grup B dan grup D sering infeksi campuran
47
dengan bakteri enterik atau S. aureus. Streptokokus Grup B dapat menyebabkan selulitis
dan otitis pada neonatus dan, kadang-kadang, pada orang dewasa. Streptokokus Grup L
(Streptococcus dysgalactiae) (sering dibawa oleh babi, sapi, dan unggas) bertanggung
jawab atas impetigo, luka dengan infeksi sekunder, dan paronikia pada pengolah daging.
Seperti disebutkan di atas, terdapat lebih dari 200 subtipe GAS yang dapat
diklasifikasikan dengan mengurutkan daerah 5 ′ pada gen emm, yang mengkode protein
M, struktur fibrillate yang memanjang dari permukaan sel bakteri. Selain itu, pengaturan
kromosom dari gen emm juga dapat diklasifikasikan ke dalam pola A hingga E.34 Pola A,
B, dan C dikaitkan dengan faringitis; pola D dikaitkan dengan infeksi kulit; dan pola E
dikaitkan dengan faringitis dan infeksi kulit.34 Protein M adalah faktor virulensi penting
dari GAS dan merupakan protein multifungsi yang dapat menghambat pertahanan
kekebalan tubuh inang yang berbeda.34 Misalnya, protein M dapat mengikat regulator dari
protein, sistem komplemen (termasuk faktor H dan faktor H- like protein 1 dan protein
pengikat C4), yang menghasilkan penurunan aktivasi jalur komplemen klasik dan
alternatif, serta dalam penghambatan fagositosis yang dimediasi oleh komplemen (C3b),
protein juga berinteraksi dengan daerah Fc dari IgG, yang menghasilkan penghambatan
berinteraksi dengan TLR2 pada monosit manusia yang mengarah ke produksi sitokin
proinflamasi (misalnya, IL-6, IL-1β, dan faktor nekrosis tumor - α) .34 Akhirnya, protein
M dapat memfasilitasi invasi sel inang dengan mengikat komponen matriks ekstraseluler,
seperti fibronektin, dan kompleks ini dapat dikenali oleh integrin yang diekspresikan pada
sel inang, menghasilkan invasi sel inang dan patogenisitas.34 Mekanisme lain dimana
protein M dapat memfasilitasi invasi ke dalam sel inang adalah melalui pengikatan CD46
48
Serupa dengan S. aureus, GAS juga menghasilkan toksin pembentuk pori. Dua
dari toksin pembentuk pori utama adalah streptolisin O dan streptolisin S.34 Streptolisin
O dan streptolisin S berkontribusi terhadap hemolisis β yang dimediasi GAS pada media
agar darah.34 Streptolisin O menghasilkan pori-pori besar di membran sel inang, yang
mengarah pada apoptosis dari neutrofil, makrofag, dan sel-sel epitel.34 Streptolisin S
memiliki aktivitas sitolitik terhadap berbagai jenis sel inang, termasuk neutrofil, limfosit,
eritrosit, dan platelet, yang mengarah pada fungsi kekebalan tubuh yang rusak dan
jaringan. 34
dan G ke M, serta SMEZn mitogenik streptokokus.21 GAS superantigen ini secara tidak
spesifik mengaktifkan sel T dan berkontribusi pada patogenesis infeksi ini. Selain itu,
superantigen GAS juga bertanggung jawab untuk sindrom syok toksik streptokokus dan
Neutrofil merupakan sel penting dalam pertahanan host terhadap GAS. dan
Lebih lanjut, baik cell wal -anchored nuclease A (SpnA) dan bakteriofag yang dikode
DNase Sda1 mendegradasi NET untuk mencegah pembunuhan GAS yang dimediasi oleh
NETosis .33
49
IMUNITAS
Respon imun bawaan terhadap GAS, melibatkan peptida antimikroba dan mirip
dengan S. aureus (lihat “Imunitas” di bagian “Etiologi dan Patogenesis” infeksi kulit
sampai 3 dan cathelicidin pada manusia.33,39 Namun, selain pengenalan komponen GAS
oleh TLR2, NOD2, dan inflammasome, TLR9 tampaknya memainkan peran kunci dalam
pertahanan tuan rumah terhadap infeksi kulit oleh GAS.33,39 TLR9 ditemukan dalam
membran endosom sel inang dan mengenali DNA yang dihipometilasi dari bakteri,
seperti pada DNA GAS, untuk memperoleh respons imun tipe mediator interferon tipe I
(IFNα / β). Selain itu, TLR9 mempromosikan ledakan oksidatif dan klirens dari infeksi
GAS.33,39 Perekrutan neutrofil ke lokasi infeksi adalah respons imun penting untuk
mengendalikan SSTI oleh GAS (dan S. aureus), yang sebagian dimediasi oleh reseptor
pengenalan pola TLR2 , NOD2, dan TLR9.33,39 Mengenai kekebalan adaptif dalam
menghadapi GAS, baik respon antibodi dan sel-T kemungkinan berkontribusi pada
pertahanan inang.33 Secara khusus, respon antibodi dan sel-T diarahkan langsung
melawan protein M dari GAS yang melindungi dari perlawanan pada kolonisasi dan
proteksi .40, 41 Respons antibodi ini efektif terhadap strain tertentu yang mengekspresikan
protein M yang sama. Namun, karena terdapat lebih dari 200 jenis emm berbeda yang
diidentifikasi di antara isolat klinis, kekebalan terhadap satu jenis protein M tidak selalu
memberi perlindungan pada protein M yang terdiri dari urutan asam amino yang
berbeda.40,41 Demikian pula, vaksin manusia yang efektif terhadap protein M dan
komponen lain atau toksin dari GAS telah menjadi tantangan karena keragaman genetik
50
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Seperti halnya yang disebabkan oleh S. aureus, untuk impetigo dan ektima yang
disebabkan oleh GAS, diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penampilan klinis. Namun,
pewarnaan Gram dan kultur bakteri serta sensitivitas nanah atau eksudat umumnya
17
direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab infeksi. Ini penting karena GAS
memerlukan perjalanan pengobatan yang lebih lama dan berhubungan dengan sekuele
yang diperantarai imunologis sehingga perlu dipantau. Pewarnaan Gram biasanya akan
mengungkapkan kokus Gram-positif dalam rantai (GAS), atau bergerombol (S. aureus),
atau kombinasi keduanya dalam infeksi yang melibatkan kedua patogen. Pada pasien
dengan infeksi yang luas, kekhawatiran infeksi sistemik, atau dalam kasus limfangitis
akut, suhu tubuh, laju pernapasan, dan hitung darah tepi harus dipeeriksa untuk
karena pasien-pasien ini akan memerlukan terapi antibiotik sistemik yang lebih agresif.
17
Pada kasus limfangitis akut, kultur dari kulit sering negatif (karena infeksi terbatas
pada saluran limfatik), tetapi kultur dari cairan aspirasi atau dari biopsi pada portal masuk
atau kelenjar getah bening supuratif mungkin dapat mengungkapkan agen etiologi. Kultur
darah juga dapat diperiksa pada semua kasus limfangitis atau jika terdapat kecurigaan
untuk bakteremia atau infeksi invasif. Pada pasien yang mengalami glomerulonefritis
poststreptococcal, demam rematik, penyakit jantung rematik atau psoriasis gutata, anti
menentukan apakah ada atau tidak adanya infeksi GAS anteseden.42 Sebagai catatan, titer
anti streptolisin tinggi lebih umum setelah faringitis GAS, sedangkan titer B
51
antideoksiribonuklease yang tinggi lebih umum terjadi setelah infeksi kulit GAS dan
PATOLOGI
Secara umum, biopsi kulit biasanya tidak dilakukan pada kasus impetigo tanpa
komplikasi, ektima , infeksi intertriginosa, daktilitis distal berlepuh atau limfangitis akut.
Namun, biopsi direkomendasikan pada pasien imunokompromis atau pada pasien dengan
PENCITRAAN
mana terdapat bukti penyebaran ke kelenjar aksila, yang akan menimbulkan kecurigaan
abses subpektoral dan efusi pleura, terutama jika selulitis diamati pada dada bagian bawah
dan perut bagian atas. Dalam kasus ini, pencitraan radiografi (yaitu, rontgen dada atau
ALGORITMA DIAGNOSTIK
Gambar 150-14 menunjukkan algoritma diagnostik dan manajemen untuk S. aureus dan
52
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 150-3 menguraikan diagnosis banding untuk impetigo dan ektima. Tabel
150-6 menguraikan diagnosis banding dari intertrigo, daktilitis distal berlepuh, dan
limfangitis akut.
Jika tidak diobati, impetigo oleh GAS dapat bertahan dan lesi baru dapat
berkembang selama beberapa minggu. Setelah itu, infeksi cenderung sembuh secara
spontan kecuali terdapat beberapa gangguan kulit yang mendasarinya seperti dermatitis
atopik. Jika tidak diobati, beberapa lesi menjadi kronis dan menjadi lebih dalam, seperti
53
ektima. erisipsipelas, selulitis, atau jarang bisa terjadi bakteremia. Ektima oleh GAS,
intertrigo, dan daktilitis distal berlepuh biasanya berhasil diobati dengan penatalaksanaan
yang tepat (lihat “Penatalaksanaan”). Namun, GAS dapat bertahan pada sekitar 20%
hingga 30% individu dan karier asimptomatik ini dapat berfungsi sebagai sumber umum
untuk penularan GAS dan infeksi berulang yang potensial.35,36 Jika infeksi tidak diobati
atau diabaikan, ada potensi penyebaran invasif dari infeksi, mengakibatkan erisipelas,
infeksi invasif serius yang memerlukan perawatan segera karena sering dapat
potensial lain dari infeksi kulit GAS dibahas di atas (lihat “Gambaran Klinis”).
PENATALAKSANAAN
Terapi topikal untuk impetigo oleh GAS sama dengan S. aureus (salep topikal
mupirocin 2% atau salep retapamulin 1% dua kali sehari selama 5 hari dengan
17
pengangkatan krusta superfisial melalui pencucian menggunakan sabun dan air).
Dengan temuan klinis saja, penyebab impetigo non bulosa tidak dapat secara akurat
dibedakan antara GAS dan S. aureus. Karena sebagian besar kasus impetigo non bulosa
disebabkan oleh S. aureus, dan jika etiologinya tidak diketahui serta diperlukan adanya
terapi sistemik, maka secara empiris dapat diberikan terapi yang sensitif terhadap S.
Impetigo, ektima, dan intertrigo) yang diketahui disebabkan oleh GAS adalah penisilin
54
infeksi (Tabel 150-7). Pemberian oral penicillin V kalium (penicillin VK) selama 10 hari
dapat diberikan pada orang dewasa (250 hingga 500 mg 4 kali sehari) atau anak-anak
(250 hingga 500 mg 2 hingga 3 kali sehari [25 hingga 45 mg / kg / hari dibagi 2 hingga 3
kali / hari]).17 Pada anak muda, pemberian selama 10 hari dengan amoksisilin-asam
klavulanat (250 hingga 500 mg dua kali sehari [25 hingga 45 mg / kg / hari komponen
amoksisilin dua kali sehari]) dapat digunakan sebagai pengganti penisilin oral V. Sebagai
alternatif, dosis tunggal dari long acting benzathine penicillin G dapat diberikan secara
intramuskuler (1.200.000 unit untuk orang dewasa atau 600.000 unit untuk anak-anak).
eritromisin selama 10 hari dapat diberikan, dosis orang dewasa (250 hingga 500 mg per
oral 4 kali / hari) atau anak-anak (30 hingga 50 mg / kg / hari per oral dosis terbagi) dosis
4 kali / hari), yang dapat diterima mengingat bahwa resistensi eritromisin di antara isolat
GAS di sebagian besar wilayah Amerika Serikat kurang dari 7% .33 Namun, harus dicatat
bahwa 20% atau lebih dari strain GAS tahan terhadap eritromisin di area geografis
tertentu (misalnya, Polandia [42%], Hong Kong [28%], Italia [25%], Portugal [24%], dan
33
Spanyol [21%] dan alternatif lain harus digunakan, seperti klindamisin secara oral
untuk 10 hari pada orang dewasa (300 hingga 450 mg 3 kali sehari) atau anak-anak (20
hingga 30 mg / kg / hari dibagi 3 hingga 4 kali sehari). Daktilitis distal berlepuh dapat
diterapi dengan cara yang sama seperti pioderma oleh GAS tetapi I&D sering diperlukan
Pada limfangitis akut oleh GAS, anak-anak yang lebih tua dari usia 3 tahun atau
orang dewasa tanpa komorbiditas yang tampak tidak toksik dapat diobati dengan
antibiotik di atas dalam pengaturan rawat jalan. Namun, jika pasien memiliki tanda-tanda
55
mental, ketidakstabilan hemodinamik) atau peradangan (sindrom respons inflamasi
sistemik), mereka harus dirawat di rumah sakit dan dirawat secara agresif dengan
antibiotik intravena sesuai kebutuhan untuk erisipelas atau selulitis yang bermasalah
ALGORITMA PENGOBATAN
Tabel 150-7 menguraikan manajemen infeksi kulit yang disebabkan oleh GAS.
PENCEGAHAN / SKRINING
Secara umum, pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi GAS harus
pengobatan awal dengan antibiotik dapat membersihkan lesi pioderma oleh GAS dan
mencegah kekambuhan untuk waktu yang singkat, GAS dapat bertahan atau membentuk
koloni baru pada kulit yang tidak terpengaruh terlepas dari terapi ini. Individu dengan
satu kali kekambuhan dapat diobati dengan terapi antibiotik oral yang sama dengan
56
pioderma GAS awal (lihat Tabel 1507). Namun, pasien dengan episode berulang infeksi
GAS juga dapat diobati dengan pemberian klindamisin selama 10 hari (dewasa: 300
hingga 450 mg dua kali sehari; anak-anak: 20 hingga 30 mg / kg / hari dalam 3 dosis
terbagi) atau amoksisilin asam klavulanat (dewasa: 875/125 mg dua kali sehari; anak-
anak: 40 mg / kg / hari dalam 3 dosis terbagi sama). Klindamisin atau asam amoksisilin-
klavulanat juga telah digunakan secara efektif sebagai profilaksis sekunder terhadap
faringitis GAS berulang. Selain itu, penisilin profilaksis (atau antibiotik GAS lain yang
sesuai) diindikasikan untuk kontak keluarga dekat (terutama anak-anak) dari pasien
dengan infeksi kulit oleh GAS berulang atau faringitis . Tidak ada bukti yang
komunitas.
PITTED KERATOLISIS
SELAYANG PANDANG
▪ Pitted keratolisis melibatkan pembentukan formasi lubang lubang kawah ukuran kecil
yang menyatu untuk membentuk defek diskrit besar dengan batas serpiginosa pada
▪ Lebih sering ditemukan pada pria muda dan berhubungan dengan kulit lembab yang
57
▪ Agen etiologi tidak sepenuhnya jelas tetapi banyak di antaranya adalah Kytococcus
Corynebacterium spp.
▪ Terapi biasanya mencakup tindakan dan agen untuk menjaga kaki tetap kering dan
Pitted keratolisis melibatkan stratum korneum pada sela jari dan permukaan plantar
kaki. Awalnya bernama keratoma plantare sulcatum oleh Castellani pada tahun 1910,
penyakit ini menjadi lebih umum disebut dengan nama saat ini setelah Taplin dan Zaias
menciptakannya pada tahun 1967. Penyakit ini pertama kali terlihat pada mereka yang
EPIDEMIOLOGI
Pitted keratolisis terjadi pada orang dewasa dan anak-anak dari kedua jenis
kelamin, tetapi pria dewasa dengan kaki berkeringat paling rentan (sekitar 90% kasus)
dengan rasio pria-wanita sekitar 8: 1.44 Pitted keratolisis jauh lebih umum di iklim tropis
GAMBARAN KLINIS
Pitted keratolisis muncul sebagai erosi superfisial dari stratum korneum, yang
terdiri dari banyak lubang seperti kawah kecil yang bergabung membentuk defek diskrit
besar dengan batas serpiginosa pada permukaan plantar kaki. Lubang biasanya lebih besar
dari 0,7 mm, tetapi kadang-kadang lebih kecil dari 0,5 mm. Lubang-lubang memiliki
konfigurasi memanjang sepanjang alur plantar dan terletak terutama pada bantalan
tekanan daerah hiperkeratotik pada kaki, seperti aspek ventral dari jari kaki, ball of the
58
foot dan tumit, tetapi dapat juga terdapat pada daerah yang bukan penahan tekanan.44
Sela jari kaki merupakan area yang sering terlibat, dan mungkin merupakan satu-satunya
manifestasi (Gbr. 150-19). Diagnosis dibuat secara klinis. Kulit yang menipis, sering
dimanifestasikan oleh kaki yang menempel pada kaus kaki, juga merupakan keluhan yang
sering ada (70% kasus). Kaki biasanya sangat berbau busuk (dua pertiga pasien) dan
Gambar 150-19 Pitted keratolisis. Ruang di antara sela jari kaki dengan
erosi batas tegas . Tinea pedis interdigital dan eritrasma dapat terjadi bersamaan.
bahwa kulit yang hangat dan lembab sebagai akibat dari sepatu pelindung atau tertutup di
iklim yang lebih hangat menyebabkan pelunakan stratum korneum dan pH yang lebih
netral dari permukaan kulit, sehingga meningkatkan aktivitas proteolitik dari bakteri ini
yang menyebabkan invasi ke stratum korneum dan menghasilkan lesi klinis yang khas.
59
Dengan mikroskop elektron, organisme bakteri dapat ditemukan di dalam keratinosit di
DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat secara klinis. Namun, pewarnaan Gram dari kerokan dapat
Kultur bakteri sering tidak membantu karena banyak spesies bakteri tumbuh. Biopsi
biasanya tidak diperlukan tetapi jika dilakukan, pewarnaan Gram, PAS, dan methenamine
silver dapat memperlihatkan organisme bakteri pada dinding dan dasar dari defek kawah
pada lapisan atas stratum korneum. Organisme terlihat sebagai bentuk coccoid yang
terletak lebih superfisial dan berbentuk filamen dengan cabang dan septa terlihat di lokasi
DIAGNOSIS BANDING
Tinea pedis interdigital dapat muncul dengan lesi erosif pada sela jari sehingga
sering menjadi salah diagnosis pada kasus pitted keratolisis. Eritrasma pada sela sela
PENATALAKSANAAN
memakai sepatu yang pas dan tidak oklusif ..44 Serbuk antiseptik sering membantu. Kaus
kaki dan sepatu juga harus sering diganti dan kaus kaki harus dicuci setidaknya pada suhu
dapat mengurangi hiperhidrosis sehingga bisa membantu terapi, Selain itu, toksin
60
pitted keratolisis. Pembersih benzoil peroksida atau gel / krim 5% adalah terapi yang
efektif dalam banyak kasus. Zat tambahan lain yang umum digunakan termasuk larutan
klindamisin dan eritromisin, serta turunan imidazol (mis., Mikonazol) dan asam fusidat
klindamisin dan eritromisin secara sistemik dapat dicoba pada kasus yang parah.44
ERITRASMA
SELAYANG PANDANG
▪ Eritrasma adalah infeksi bakteri superfisial pada kulit yang ditandai dengan patch
coklat kemerahan batas tegas dengan tepi ireguler, terjadi di daerah intertriginosa,
atau dengan fisura dan maserasi putih pada celah jari kaki.
▪ Lebih sering terjadi di daerah beriklim tropis dan pada pasien dengan obesitas,
coproporphyrin III dan fluoresensi coral red yang dapat dilihat pada efloresensi
lampu Wood’s.
oral, seperti eritromisin oral 2 minggu atau klaritromisin dosis tunggal, dapat
digunakan untuk keterlibatan luas atau kasus yang tidak berespons terhadap terapi
topikal.
Eritrasma adalah infeksi bakteri superfisial pada kulit yang ditandai dengan
patch coklat kemerahan yang berbatas tegas dengan tepi ireguler, terjadi di daerah
intertriginosa, atau dengan fisura dan maserasi putih pada sela jari kaki. Pada area
61
pangkal paha, biasanya salah didiagnosis sebagai tinea cruris selama berbulan-bulan
EPIDEMIOLOGI
dengan granula subterminal. Infeksi lebih sering terjadi di daerah tropis daripada di
daerah beriklim sedang dan pada pasien obesitas dan diabetes. Eritrasma luas jauh lebih
sering terjadi di daerah tropis. Eritrasma lebih sering terjadi pada pria dan dapat terjadi
dalam bentuk tanpa gejala di area genitokural. Dalam kasus yang melibatkan pasien
GAMBARAN KLINIS
Lokasi keterlibatan yang paling umum adalah sela jari kaki, di mana eritrasma
muncul sebagai plak maserasi putih hiperkeratotik (Gambar 150-20), terutama di antara
jari kaki keempat dan kelima. Di daerah genitokural, aksila, dan inframammary, lesi hadir
dengan batas yang jelas, berwarna coklat kemerahan, dangkal, bersisik halus, dan
berkerut halus tampak setipis kertas rokok (Gbr. 150-21). Pada lokasi ini, patch memiliki
tampilan yang relatif seragam dibandingkan dengan tinea korporis atau kruris, yang
sering memiliki central clearing. Infeksi bersamaan dapat terjadi dengan Candida atau
yang disebabkan oleh produksi coproporphyrin III oleh bakteri. Fluoresensi dapat
bertahan setelah eradikasi Corynebacterium karena pigmen tetap bertahan dalam stratum
korneum yang tebal. Gejalanya bervariasi dari bentuk yang sama sekali tanpa gejala,
bentuk genitokural yang sangat gatal, hingga bentuk umum dengan plak lamelar bersisik
62
pada batang tubuh, area inguinal, dan sela jari kaki. Saat pruritus, iritasi pada lesi dapat
jari kaki. 3 sela jari kaki lateral kedua kaki terlibat. Pemeriksaan kalium
63
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Kulit yang hangat dan lembab pada area lipatan kulit menciptakan lingkungan di
DIAGNOSIS
positif seperti batang dalam jumlah besar. Bakteri dalam stratum korneum juga dapat
dilihat pada biopsi kulit yang diwarnai dengan periodic acid–Schiff (PAS), methenamine
silver, atau pewarnaan Gram. Diagnosis sangat didudukung oleh lokasi dan karakter
DIAGNOSIS BANDING
Tinea versikolor dibedakan dari eritrasma oleh lokasi lesi paling banyak pada
batang tubuh dan bukan pada lokasi intertriginosa . Tinea cruris cenderung memiliki tepi
skuama aktif dengan central clearing. Psoriasis inversa biasanya menunjukkan plak batas
tegas dengan warna merah mengkilap di celah intergluteal, lipatan inguinal, dan aksila
Penyakit ini dapat tetap tanpa gejala selama bertahun-tahun atau dapat mengalami
antibiotik.
64
PENATALAKSANAAN
Pada eritrasma terlokalisasi, terutama sela jari kaki, pembersih benzoil peroksida
atau krim/gel 5% efektif dalam banyak kasus.44,45 Klindamisin atau eritromisin (larutan
2%) atau krim azole adalah beberapa dari banyak agen topikal yang efektif. Asam fusidat
telah digunakan di luar Amerika Serikat. Untuk keterlibatan luas, eritromisin oral 250
mg, 4 kali sehari selama 14 hari efektif. Alternatif, termasuk klaritromisin 1 g yang
diberikan sebagai dosis oral tunggal, serta tetrasiklin oral atau kloramfenikol, telah
TRICHOBACTERIOSIS
SELAYANG PANDANG
▪ Secara klinis, biasanya mempengaruhi rambut aksila atau kemaluan dan terdiri dari
konkret berwarna cokelat, kemerahan, kuning, atau hitam pada permukaan batang
GAMBARAN KLINIS
batang rambut (bukan jamur seperti yang tersirat dari namanya sebelumnya) ditandai oleh
65
adanya penebalan nodular pada batang rambut yang terdiri dari koloni aerob
Corynebacterium spp. Trichobacteriosis lebih sering terjadi pada aksila, tetapi juga dapat
berbagai warna pada nodul. Konkresi pada batang rambut biasanya berwarna cokelat
tetapi mungkin kemerahan, kuning, atau hitam (Gbr. 150-22). Lesi paling padat dan
mungkin hanya ada di bagian tengah rambut aksila. Trichobacteriosis tidak menunjukkan
gejala kecuali perhatian pasien mengenai penampilan mereka dan karena berbau busuk.
Meskipun etiologi yang tepat tidak jelas, gangguan dalam produksi keringat dan
lingkungan lembab yang hangat dan kebersihan yang buruk adalah faktor predisposisi.
Nodul itu sendiri disebabkan oleh biofilm terkapsulasi dari corynebacteria yang melekat
66
DIAGNOSIS
sinar ultraviolet mewakili modalitas diagnostik yang lebih baru dan menyoroti
dengan banyak telur pada batang rambut harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
dan disingkirkan.
PENATALAKSANAAN
Rambut yang terlibat bisa dihilangkan dengan mencukur. Pembersih dan gel /
imidazol) juga dapat digunakan. Peningkatan praktik kebersihan dan pembersihan dan
kekambuhan.
67