Sunteți pe pagina 1din 3

ANALISIS KASUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PERJANJIAN

UTANG-PIUTANG
( Studi Kasus Perbuatan Melawan Hukum Oleh Sujiwo Kepada Sujatmiko Melalui
Perjanjian Utang-Piutang)
Moh. Faiq Ya’sub Bahron, Yanie Mahmudah, Firman Pramudya, Lingga Parama Liofa,
Nabrina Nur Zeninda, Nadya Fatma Kholili, Neny Arianti, Nurul Mumayyiza, Qurrotul
Badi’ah, Roisatul Maghfirah, Eko Waluyo Nanda R., Hendri Susanto, M. Bayu Mustofa Nur,
Wulan Alifa Maulidia, Amelia Indah Sari, Amilia Rizqi Nur R.
Jl. Ahmad Yani No.117, Jemur Wonosari, Kec. Wonocolo, Kota SBY, Jawa Timur 60237
Bayumustofa21@gmail.com

Abstract

The Act of the Civil Law makes a clear distinction between the engagement that is born of the agreement and
engagement that is born of the legislation. The legal consequences are born of an engagement agreement is desired by the
parties, because memng agreement based on the agreement that a rapprochement between the parties will make
arrangements. While the legal consequences of an engagement that is born of a statute may not be desired by the parties,
but the relationship of law and the legal consequences prescribed by law. Legal issues that arise in case there is a contractual
relationship between the parties and the event of default can filed a lawsuit against the law. Based on the identification and
analysis, the authors conclude that the draft Civil Code distinguishes between tort lawsuit is based on the contractual
relationship between the Plaintiff and the Defendant and tort claims where there is no contractual relationship between
the Plaintiff and the Defendant. Developments in the practice of court decisions indicate that a shift in the theory because
of the contractual relationship between the Plaintiff and Defendant did not preclude the filing of a lawsuit against the law.
For this reason, this basic difference has become a serious reading by litigants and legal experts as well, so that this detailed
and classified explanation minimizes the same cases.

Key Word: Stangnant Payment, Act Against The Law, Agreement

Abstrak

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan secara jelas mengenai perikatan yang lahir dari perjanjian
dengan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang
dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara
para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin
tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.
Permasalahan hukum yang timbul adalah dalam hal ada hubungan kontraktual antara para pihak dan terjadi wanprestasi
dapatkah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan identifikasi dan analisis, penulis berkesimpulan bahwa
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan antara gugatan wanprestasi yang didasarkan pada hubungan
kontraktual antara Penggugat dan Tergugat dan gugatan perbuatan melawan hukum di mana tidak ada hubungan
kontraktual antara Penggugat dan Tergugat. Perkembangan dalam praktik putusan-putusan pengadilan menunjukkan
bahwa terjadi pergeseran teori tersebut karena hubungan kontraktual antara Penggugat dan Tergugat tidak menghalangi
diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum. Untuk itu perbedaan yang sebenarnya sudah mendasar ini menjadi bacaan
yang serius kembali oleh orang-orang yang berperkara maupun ahli-ahli hukum juga, supaya penjelasan yang sudah terinci
dan terklasifikasikan ini meminimalisir perkara-perkara yang sama

Kata kunci: Wanprestasi, Perbuatan Melawan Hukum, Perjanjian


I. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya di
masyarakat, menuntut setiap orang melakukan hubungan dengan orang lain, hubungan ini bisa saja
menimbulkan hubungan hukum. Misalnya dalam Hukum Perdata hubungan hukum yang terjadi antara
kedua belah pihak terjadi karena adanya perikatan. Perikatan terjadi ketika kedua belah pihak
melakukan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan. Pihak yang satu bertindak sebagai
debitur yaitu berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak lain bertindak sebagai kreditur.
Dengan adanya hubungan hukum antara kreditur dan debitur, maka hak kreditur dijamin
dalam Undang-undang dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang menyatakan bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, berdasarkan
hal ini maka apabila salah satu pihak melakukan tindakan yang melanggar perjanjian yang dibuatnya,
maka dapat dituntut dengan gugatan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum (PMH) diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku
III pasal 1365-1380 KUHPer, termasuk kedalam perikatan yang timbul dari undang-undang.
Perbuatan melawan hukum sendiri dimuat dalam Pasal 1365 KUHPer yang berbunyi: “Tiap perbuatan
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahanya utuk menggantikan kerugian tersebut”.1
Definisi perbuatan melawan hukum yang dimuat didalam Pasal 1365 KUHPer tidaklah
dirumuskan secara eksplisit, dalam pasal ini hanya mengatur apabila seseorang mengalami kerugian
karena perbuatan melawan hukum pada dirinya. Perbuatan melawan hukum kemudian juga diartikan
tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah subjektif pihak lain, tetapi juga bisa
perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah yang tidak tertulis, yaitu antara lain kaidah yang mengatur
tata susila, ketelitian, kepatutan, dan kehatia-hatian yang harus dimiliki setiap orang dalam pergaulan
dalam masyarakat atau juga terhadap harta benda warga masyarakat.2
Mengenai kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan Sujiwo terhadap Sujatmiko diawali
dengan perjanjian hutang-piutang yang dilakukan oleh Sujiwo dan Sujatmiko. Perjanjian hutang-
piutang yang dilakukan Sujiwo dan Sujatmiko disepakati tertanggal 26 September 2011. Dimana dalam
perjanjian telah disepakati bahwa Sujiwo meminjamkan uang kepada Sujatmiko dengan besaran
piutang sebesar Rp. 100.000.000.000,- (seratus juta rupiah) yang disertai kewajiban membayar dengan
cara mengangsur sebesar Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).
Perjanjian hutang-piutang tersebut Sujatmiko menjaminkan sertifikat rumah miliknya yang
memiliki nilai sebesar Rp. 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), pembayaran hutang-
piutang mulai mengalami gangguan pada bulan ke 6 pembayaran. Sujatmiko berdalih bisnisnya sedang
bangkrut dan meminta dispensasi pembayaran hutang kepada Suwijo, dengan belum terpenuhinya
kewajiban Sujatmiko, Sujiwo menggadaikan sertifikat rumah milik Sujatmiko ke bank.

1
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III pasal 1365, tentang tindakan melawan hukum.
2
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004),
Dari di gadaikannya sertifikat rumah Sujatmiko ke bank, Sujiwo mendapatkan uang sebesar
Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah) yang digunakan untuk menutup sisa hutang Sujatmiko. Dan
sisa penggadaian sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah) diberikan kepada Sujatmiko.

S-ar putea să vă placă și