Sunteți pe pagina 1din 11

Peranakan Arab di Nusantara : Transisi dari Identitas Etnik Menuju

Identitas Nasional dan Peran dalam Pergerakan Nasional

Dawami Sabri Zein


Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya, Surabaya
dawamisabrizein@gmail.com

ABSTRACT
The arrival of the Arabs had a strong influence on the progress of the nation in Indonesia. The
immigrants married local women, so interracial marriages of different races gave birth to
“Peranakan Arab”. As a result of these marriages, the original Arabic tradition values began to
change and mix with local traditions. Most Arab immigrants come from Hadramaut whose people
are usually familiarly called Hadrami. The Hadrami people know the class structure as well as
Hinduism. The highest class was occupied by Sayyid's group consisting of nobles and descendants
of the Prophet. Then there are the Shaykh and Qabili groups consisting of religious elites and
traders.
Since migrating to Indonesia, the Hadrami people had tried to eradicate the discrimination of the
social structure and had been relatively successful in adjusting themselves to the local culture. This
created a new movement, namely Arab Nationalists. As with the nationalist Arab group, the group
dominated by the Sayyid group insisted to maintain their traditions by imposing segregation on
local residents. The contradiction between these two groups also includes a sense of nationalism
about their homeland. The Nationalist Arabs who have mingled with local people recognize that
Indonesia is their birthplace. While conservative Arabs consider moderate Arabs has made bad
decision because they exchange their homeland (Hadramaut) with Indonesia. The conflict between
them has been very intense and led birth to resistance movements consisting of PAI (PARTAI
ARAB INDONESIA) and IAB (Indo Arabische Beweging)

Keywords : Arab ; Race ; Hadrami ; Sayyid ; Syeikh

ABSTRAK
Kedatangan Bangsa Arab memiliki pengaruh yang kuat terhadap sejarah perkembangan
bangsa Indonesia. Para imigran tersebut menikahi wanita-wanita lokal, sehingga perkawinan
silang berbeda ras tersebut melahirkan peranakan-peranakan arab. Akibat dari perkawinan silang
tersebut menyebabkan nilai-nilai tradisi asli Arab mulai berganti dan bercampur dengan tradisi
lokal. kebanyakan imigran Arab berasal dari Hadramaut yang orang-orangnya biasa disebut
dengan sebutan Hadrami. Orang-orang Hadrami mengenal struktur kelas seperti halnya dengan
agama Hindu. Kelas tertinggi diduduki oleh kelompok Sayyid yang terdiri dari para bangsawan
dan turunan Nabi. Selanjutnya ada kelompok Syeikh dan Qabili yang terdiri dari elit agama dan
para pedagang.
Sejak bermigrasi ke Indonesia, orang-orang Hadrami berusaha menghapus diskriminasi struktur
sosial dan berusaha untuk melebur bersama warga setempat. Hal inilah menciptakan aliran baru
yaitu Arab Nasionalis. Lain halnya dengan golongan Arab nasionalis, golongan yang didominasi
oleh kelompok Sayyid bersikeras untuk mempertahankan tradisi mereka dengan memberlakukan
segregasi terhadap warga lokal. pertentangan antar kedua golongan ini juga meliputi rasa
nasionalisme akan tanah lahir mereka. Golongan Arab Nasionalis yang telah berbaur dengan
warga setempat mengakui bahwa Indonesia merupakan tanah kelahiran mereka. Sementara
Golongan arab konservatif menganggap golongan Arab moderat membuat keputusan buruk karena
menukar tanah kelahirannya (Hadramaut) dengan Indonesia. Pertentangan antar keduanya
sangatlah kuat dan melahirkan pergerakan-pergerakan perlawanan yang terdiri dari PAI (Partai
Arab Indonesia) dan IAB (Indo Arabische Beweging).

Kata Kunci : Arab ; Ras ; Lokal ; Hadrami ; Sayid ; Syeikh

Pendahuluan

Bangsa Arab merupakan bangsa yang gemar melakukan migrasi ke


berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Di Indonesia jumlah imigran Arab
termasuk menjadi yang terbesar selain dari Tiongkok. Imigran Arab memiliki
peran penting baik dalam penyebaran agama islam, maupun kondisi
perekonomian Negara Indonesia. Kebanyakan dari imigran Arab berprofesi
sebagai pengusaha, pemberi pinjaman, pedagang, dan ulama. Mereka dengan
lihainya berbaur dan melebur bersama warga setempat menjadikan mereka
sebagai minoritas asing yang cepat dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Sejak zaman kolonial, Bangsa Arab diklasifikasikan kedalam golongan Timur
Asing.
Mayoritas imigran bangsa Arab di Indonesia berasal dari Hadramut, suatu
wilayah di sekitar Yaman Selatan. Dahulu wilayah ini merupakan wilayah yang
kosong tak berpenghuni dikarenakan kondisi geografisnya yang kurang
mendukung. Akibat dari perpecahan antar bangsa Arab sejak Dinasti Abbasiyah
menyebabkan beberapa golongan melarikan diri dan terpaksa menetap di
Hadramaut. Tanah yang gersang, cuaca yang ekstrim, ditambah dengan
keterbatasan sumber air membuat wilayah ini sering menjadi tempat perebutan
antar beberapa suku yang tinggal disana. Situasi yang demikian itu menyebabkan
wilayah tersebut rawan akan konflik. Hal inilah menyebabkan mereka sering
melakukan migrasi guna mempertahankan diri dari kerasnya hidup.
Sejak abad X Bangsa Arab melakukan migrasi ke wilayah Nusantara guna
mendapatkan hidup yang lebih baik.1 Para imigran Arab hanya terdiri dari Laki-
laki dengan niatan untuk mencari nafkah agar dapat menghidupi keluarganya yang
ada di Hadramaut. Pada abad selanjutnya jumlah mereka semakin meningkat dan
berkembang pesat di berbagai wilayah pesisir Nusantara (Van Leur, 1967). Pada
abad XVI ditemukan berbagai negara perniagaan Islam di pesisir pantai Jawa
yang didirikan oleh orang-orang Arab. Jumlah tersebut menjadi meningkat pesat
1
Huub de Jonge, Mencari Identitas : Orang Arab Hadrami di Indonesia, diterjemahkan oleh Arif
Bagus ( Jakarta : KPG, 2019), hal. 1
sejak dibukanya Terusan Suez oleh Inggris pada tahun 1869. (Van den berg,
2010)
Semula mereka hanya berniat untuk berdagang dan menyebarkan agama
Islam untuk membantu kerabatnya yang miskin di Hadramaut, Namun seiring
berjalannya waktu sebagian besar dari mereka menetap dan menikahi perempuan-
perempuan lokal. mereka lebih memilih tinggal dan memiliki kehidupan yang
lebih baik di Nusantara daripada kembali ke Hadramaut. Pernikahan pria Arab
dengan wanita lokal melahirkan golongan Arab baru yakni Peranakan Arab (Arab
campuran) yang terdiri dari Arab-Jawa, Arab-Sumatera, maupun Arab-Sulawesi.
Sebelum terjadinya Perang Dunia Kedua, hubungan laut antar Arab
Nusantara dengan Arab Hadramaut membaik membuat mobilitas mereka untuk
pergi-pulang sering terjadi. Beberapa imigran bahkan memiliki rumah kedua dan
istri kedua disana. Banyak dari keluarga di Hadramaut mendapatkan kiriman uang
dari kerabatnya yang berada di Nusantara berdasarkan laporan orang-orang Eropa
yang melakukan perjalanan ke Hadramaut. Bahkan menurut orang-orang Eropa
disana banyak berjumpa dengan orang-orang Hadramaut yang pernah ke Jawa dan
berbicara bahasa Melayu.
Hubungan antar orang-orang Hadramaut dengan orang-orang Nusantara
yang terjalin baik membuat terciptanya percampuran tradisi antar kedua budaya
tersebut. Sehingga terkadang budaya utama Arab seringkali melebur bersama
budaya lokal. hal ini membuat orang-orang asli Hadramaut yang lebih konservatif
menjadi geram terhadap mereka yang tidak bisa menjaga tradisi asli Arab.
Seringkali orang-orang Hadramaut asli berselisih paham dengan peranakan arab
menyebabkan antar mereka saling bermusuhan.
Selain terjadinya konflik antar etnis Arab akibat dari ras yang dianut,
konflik antar etnis Arab juga melibatkan struktur kelas sosial yang dianut. Dalam
tradisi Hadramaut, bangsa Arab mengenal sistem kelas sosial seperti halnya yang
ada di agama Hindu. sistem sosial Hadramaut juga bersifat kaku dan terikat,
dimana antar mereka diharuskan menikahi dari golongan yang sama.
Dalam tulisan ini akan menjawab berbagai permasalahan sebagai berikut.
Pertama, Bagaimana pembagian kelas sosial yang dianut oleh orang-orang
Hadramaut di Nusantara. Kedua, Bagaimana konflik yang terjadi dengan orang-
orang Hadramaut di Nusantara melalui kelas sosial sosial yang dianut dan konflik
antar orang-orang Hadramaut asli dengan Peranakan arab, Ketiga, bagaimana
terjadinya perbedaan pandangan politik antar etnis Arab di Nusantara
mempengaruhi hubungan mereka dalam pergerakan nasional dan urusan terkait
cinta tanah air

Kerangka Metode
Metode yang dipakai dalam tulisan ini melalui penelusuran sumber-
sumber tertulis baik dari buku-buku karangan Huub de Jonge, Hamid Algadri,
L.W.C Van Den Berg dan beberapa tulisan-tulisan yang berasal dari jurnal ilmiah,
Tesis, Skripsi, serta beberapa sumber melalui tulisan surat kabar dan website.

Pembahasan

A. Pembagian Kelas Sosial Orang-orang Hadramaut

Dalam tradisi masyarakat Hadramaut mengenal sistem pembagian


kelas layaknya seperti agama Hindhu. Pembagian kelas dalam masyarakat
Hadramaut juga bersifat kaku dan terikat. Dalam hal ini masyarakat
Hadramaut hanya diperbolehkan menikahi golongan yang sama dengannya
dan melarang keras untuk menikahi orang-orang yang kelasnya berbeda.
Macam-macam pembagian kelas masyarakat Hadramaut terdiri dari :

1. Golongan Sayyid

Golongan ini merupakan kelas tertinggi dikarenakan golongan ini


masih terikat dengan darah Rasulullah (Muhammad SAW) melalui anak
dari khalifah Ali bin Abi Thalib, Husein. Golongan ini dikenal dengan
sebutan “Ba-‘Alawi atau Alawi”. Golongan ini pada umumnya terdiri dari
bangsawan agama yang berperan penting dalam urusan keagamaan dan
sosial, memimpin upacara-upacara adat dan kegiatan keagamaan.
Golongan Sayyid juga berperan sebagai mediator (penengah) dari konflik
antar kelas yang terjadi di Hadramaut. Golongan ini menjadi golongan
yang paling dihormati dan menjadi golongan yang paling berpengaruh.
Mereka yang berasal dar non-Sayyid diwajibkan untuk taat dan patuh
terhadap kelompok Sayyid.

2. Golongan Syeikh

Golongan ini bergerak dalam bidang yang sama halnya dengan


golongan Sayyid. Mereka pada umumnya berprofesi sebagai elit agama,
keturunan teolog, dan menjadi tokoh pemikir (orang-orang bijak dan
penasehat pemerintahan). Namun jumlah mereka yang sangat sedikit
menjadikan golongan mereka diakui sebagai golongan dibawah Sayyid.
Lain halnya dengan Sayyid yang berasal dari keturunan nabi, golongan ini
merupakan keturunan dari leluhur Arab Selatan, Qahtan. Meskipun
pekerjaan mereka sama seperti sayid, perbedaan mencolok antara kedua
golongan ini terlihat dari perlakuan yang didapat dari masyarakat. Jika
golongan Sayyid berada di tempat umum, maka orang-orang sekitar wajib
mencium tangan golongan Sayyid tersebut, termasuk golongan syeikh juga
wajib mencium tangan kelompok sayid. Maka dalam kelas sosial yang
dianut, kedudukan golongan Syeikh setara dengan golongan Qabilah.

3. Golongan Qabili-Qabail

Hadramaut merupakan wilayah yang penuh dengan pembagian


kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini menjadikan Hadramaut sebagai
wilayah yang terpecah-pecah. Antar wilayah memiliki suku yang berkuasa
yang mendiami daerah tersebut. Qabili dalam bahasa arab memiliki
makna suku. Jika jamak menjadi “qabail” yang berarti suku-suku.
Golongan ini merupakan turunan Qahtan, seperti halnya golongan Syeikh.
Jumlah mereka yang sangat besar menjadikan golongan ini menjadi
golongan yang terbesar di Hadramaut. Tugas masing-masing suku yang
menjaga wilayah mereka, menjadikan golongan ini merupakan golongan
yang paling kompetitif. Hubungan antar-suku yang kurang harmonis
membuat golongan ini sering mengalami konflik antar-suku.

4. Golongan Masakin
Golongan ini menduduki kelas terbawah dalam pembagian kelas sosial
masyarakat Hadramaut dikarenakan mereka terdiri dari orang-orang
miskin dan tidak mampu. Sebagian besar berprofesi sebagai buruh, pekerja
rendahan, bahkan menjadi seorang budak. Derajat mereka dianggap paling
rendah karena mereka bukan berasal dari Arab murni, melainkan turunan
orang-orang Afrika yang berkulit gelap (Kesheh, 2007).

B. Konflik antar Peranakan Arab di Nusantara

Wilayah yang gersang dan rawan akan konflik membuat orang-orang


Hadramaut melakukan migrasi guna memperoleh hidup yang lebih layak.
Salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat berlabuh orang-orang
Hadramaut adalah Nusantara (Hindia-Belanda). Tak perlu waktu yang
cukup lama, orang-orang Hadramaut berhasil melebur bersama penduduk
setempat dan melakukan amalgamasi (pernikahan berbeda etnis), sehingga
memunculkan etnis baru bagi mereka yaitu Peranakan Arab. 2 hal tersebut
menyebabkan posisi mereka di wilayah Nusantara berkembang sangat
pesat. Akhirnya pada tahun 1905 didirikanlah Jamiat Kheir.
Sejak dibentuknya Jamiat Kheir, beberapa orang-orang Hadrami
merasa perlu adanya persatuan antar merek, sehingga pembatas-pembatas
yang memisahkan mereka haruslah dihancurkan. Salah satu pembatas
tersebut yaitu kelas sosial yang masih mereka terapkan. Ditambah lagi
dengan perilaku golongan Sayyid yang penuh dengan keangkuhan
membuat kelompok dari non-sayid semakin kesal. Rencana penghapusan
kelas oleh golongan non-Sayyid mengundang konflik antara golongan
Sayyid dengan golongan non-Sayyid. Salah satu tokoh revolusioner dalam
kelompok tersebut, Soerkati menyatakan bahwa pernikahan perempuan
golongan sayid dengan pria non sayid boleh dilakukan dan menganjurkan
untuk penghapusan tradisi cium tangan. Ia juga menerangkan bahwa
seorang muslim dengan muslim lainnya merupakan sama derajatnya.
Pernyataan Soerkati memicu perpecahan di dalam kelompok tersebut.
Orang-orang Sayyid sangat murka dan merasa terhina dengan ucapan
Soerkati yang menyudutkan golongannya. Kelompok golongan non-
Sayyid melalui pernyataan Seorkati akhirnya menyatakan untuk setuju dan
memisahkan diri dari kelompok Jamiat Kheir. Kelompok yang
memisahkan diri akhirnya membentuk Jamiyah Al Islah-wal-Irsyad
(Perhimpunan untuk Reformasi dan Kepemimpinan) pada tahun 1914.
Jamiyah Al Islah-wal-Irsyad yang dikenal dengan Al-Irsyad mulai
mendirikan berbagai lembaga pendidikan memiliki tujuan untuk
memurnikan Islam dari tahayul dan bid’ah, serta berusaha menghapus
kelas sosial Hadrami dengan menyatakan “kesetaran semua orang-orang
Arab”. Kelompok ini juga berniat ingin memajukan mobilitas sosial orang-
orang Arab di Nusantara, terutama di Jawa. Al-Irsyad sendiri akhirnya
menjadi lawan bagi orang-orang Arab yang tergabung dalam Jamiat
Kheir. Perlawanan antar pihak terjadi di bidang media, dimana koran-
koran Arab lokal saling menyerang dan memberitakan keburukan berbagai
pihak. Orang-orang dari golongan sayid menyebut golongan non-Sayyid
sebagai komunis, tukang fitnah, ahli bid’ah. Sementara golongan non-
Sayyid menyebut Sayyid sebagai sosok yang penuh dengan kesombongan,
keangkuhan, dan berdosa. Perlawanan antara kedua pihak menjadi
tereskalasi ketika terjadi kontak langsung. Mulai pengusiran dari masjid,
dilempari batu, dan dihadang di jalan. Bahkan di beberapa daerah sebuah
gedung sekolah dibakar. Pertikaian antara kedua golongan ini memuncak

2
Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta : Rahayu Hidayat, 1989), hal.
191.
ketika Al-Irsyad dalam sebuah kongres menyatakan bahwa gelar Sayyid
bukan lagi menjadi golongan yang istimewa, melainkan sama halnya
dengan sebutan “mister, sir, monsieur, tuan,”.3 Pernyataan itu dilanjutkan
dengan pembolehan setiap orang-orang Hadrami untuk menambahkan
gelar Sayyid. Hal tersebut sangat merugikan golongan sayid karena mereka
sudah tidak bisa membedakan diri mereka dengan golongan Arab lainnya.
Bentuk perlawanan golongan sayid terhadap klaim gelar Sayyid
secara bebas dilakukan dengan mengajukan petisi kepada Gubernur
Jendral untuk meminta perlindungan hukum atas gelar Sayyid. Dengan
sikap demikian menjadikan berita hangat yang diberitakan ke berbagai
koran-koran lokal, dari koran Tionghoa seperti: Siang Po, Sin Tit Po, dan
beberapa koran pers non-Arab lainnya. Pada tahun 1931 kelompok
Rabithah Alawiyah mengirimkan surat ke pemerintah dengan isinya
menegaskan kembali terkait pasal 307 menjelaskan tentang penggunaan
yang tidak sah terkait gelar Belanda ataupun gelar adat dapat dihukum4.
Dalam hal ini golongan sayid berpendapat bahwa pasal tersebut harusnya
berlaku pada permasalahan gelar Sayyid juga. Perselisihan antar orang-
orang Arab di Nusantara tidak hanya terjadi karena permasalahan antar
dua kelas saja. Permasalahan lainnya juga terjadi antara Peranakan Arab di
Nusantara golongan muda dengan orang-orang Arab totok (Orang Arab
yang lahir di negara asalnya).

C. Perbedaan ideologi orang-orang Arab di Nusantara terkait pergerakan


nasional dan patriotisme.

Pernikahan campuran antara orang-orang Arab dengan penduduk


lokal melahirkan generasi baru bagi mereka yakni Peranakan Arab.
Meskipun pada umumnya paras dominan lebih ke Arab, namun mereka
sendiri lahir di Indonesia. Hal tersebut membuat mereka tidak terlalu
mengenal Arab dan menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka.
Mereka juga terlalu jenuh dengan konflik kelas yang masih dianut oleh
leluhur mereka. Oleh karena itu, golongan tersebut dikenal sebagai Arab
Progresif kemudian membentuk organisasi baru yaitu PAI (Partai Arab
Indonesia). Organisasi ini dibentuk bertujuan untuk mendamaikan dan
mempersatukan orang-orang Arab di Nusantara. Organisasi ini didirikan
oleh A.R Baswedan dan didominasi oleh golongan muda dari Peranakan
Arab.

3
Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000, hlm. 153
4
Ibid., hal. 28
Namun dibentuknya organisasi ini mengundang pro-kontra terkait
misi yang dijalankan. Terbentuknya organisasi ini menyebabkan terjadinya
perubahan hubungan antara golongan Sayyid muda dengan golongan
Syeikh muda. Konflik yang terjadi diantara pendahulu mereka, membuat
mereka menjalin hubungan diplomasi satu sama lain bertujuan untuk
menghapuskan kelas sosial orang-orang Arab di Nusantara dan
mengintegrasikan mereka ke dalam Indonesia. Misi golongan muda
melalui PAI tersebut mendapatkan pertentangan dari golongan tua.
Mereka sangat marah dan tidak terima dengan pandangan golongan muda
yang ingin menukarkan tanah asal mereka “Hadramaut” dengan Indonesia.
Pada tahun 1936, PAI bergabung ke barisan kaum nasionalis
ditandai dengan pengajuan petisi kepada pemerintahan Belanda terkait
penambahan orang-orang Arab ke dalam Volksraad. 5Pada tahun 1939 PAI
mendukung aksi untuk memperjuangkan parlemen Indonesia secara
demokratis yang dilancarkan oleh Gaboengan Politik Indonesia (GAPI),
kumpulan aliansi partai politik di Indonesia.
Menanggapi reaksi PAI, orang-orang Arab yang tidak setuju
dengan misi PAI mendirikan organisasi Indo-Arabische Beweging (IAB),
atau lebih dikenal dengan Gerakan Indo-Arab). golongan ini menentang
ideologi nasionalis PAI, serta memilih menjadi sekutu Belanda. Gerakan
ini didirikan oleh Al-Amoedi berisikan golongan Sayyid tua konservatif.
Gerakan ini bertujuan untuk mempertahakan tradisi Hadramaut dan ikatan
emosional non-politis orang-orang Arab di Indonesia. Selain itu Namun
gerakan ini kehilangan taring menjelang tahun-tahun revolusi dimana lebih
berpihak ke golongan nasionalis.
Sementara itu, pergerakan golongan muda peranakan arab dengan
semangat nasionalisnya membuat mereka berperan besar dalam
pergerakan nasional. salah satu cara mereka berperan dalam pergerakan
nasional adalah melalui media. A.R. Baswedan, pendiri PAI (Partai Arab
Indonesia) aktif mengkritik pemerintah kolonial melalui surat kabar Sin
Tit Po.6 Meskipun surat kabar tersebut milik orang Tionghoa, ia dapat
menjalin hubungan baik dengan mereka. Bahkan ia menduduki jabatan
sebagai redaktur melalui surat kabar tersebut. Pergerakan yang sangat
progresif dilakukan olehnya ketika ia bergabung dengan surat kabar
Matahari. Dalam koran tersebut ia memasang foto dirinya sendiri
menggunakan pakaian khas Indonesia dengan memakai beskap dan
blangkon. Dalam foto tersebut terdapat tujuan tersembunyi olehnya agar

5
Purnawan Basundoro, “A.R. Baswedan : dari Ampel ke Indonesia,” dalam Jurnal Lakon Vol. 1.
No. 1 Mei 2012, hlm. 29.
6
Ibid.,
orang-orang Arab di Nusantara sadar bahwa tanah air mereka yaitu
Indonesia dan mereka tinggal didalamnya, bukan di Hadramaut.
Hamid Al Gadri merupakan sosok lain yang bergerak dalam
bidang media. Sama halnya dengan A.R. Baswedan, ia juga aktif menulis
dalam berbagai surat kabar Insjaf dan Aliran Baroe. Selain itu ia juga
terlibat sebagai penulis buku-buku sejarah seperti: C. Snouck Hurgronje:
Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, Mengarungi
Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan, dan berbagai buku
lainnya”. Sejak pada masa kolonial ia merupakan sosok yang tidak segan
dalam mengkritik kebijakan kolonial. Bahkan pemikiran nasionalisnya ia
tuangkan dalam media massa terkait dengan hukum tata negara dalam
konteks ras dan kebangsaan (natie). Dalam hal ini ia memaparkan bahwa
paham ras haruslah dihilangkan dan wajib diganti dengan paham
kebangsaan.7 Menurutnya hanya ada satu golongan dalam satu negara, satu
kepentingan, satu perjuangan dalam hal kebangsaan.
Pergerakan dalam melawan pemerintah kolonial di bidang lain juga
dilakukan oleh Peranakan Arab di Nusantara dalam seni rupa. Melalui
narasi simboliknya Raden Saleh mengkritik bagaimana kondisi
masyarakat Indonesia yang menderita pada masa kolonial. Salah satu
bentuk perlawanan dilakukannya melalui lukisan “The Arrested of
Pangeran Diponegoro”. Dalam lukisan milik kolonial, Nicolaas Pieneman
menyiratkan bahwa raut muka Pangeran Diponegoro ketika ditangkap oleh
Jenderal De Kock sangat sayu dan tidak berdaya.8 Maksud dari
penggambaran tersebut seolah-olah Pangeran Diponegoro takut dan
akhirnya menyerah terhadap pemerintah kolonial. Akhirnya Raden Saleh
membuat lukisan perlawanan dengan konteks yang sama, yakni
Penangkapan Pangeran Diponegoro. Namun, dalam lukisan tersebut raut
wajah Pangeran Diponegoro seolah-olah tidak takut dan sangat geram
dengan Jendral De Kock. Hal tersebut bisa dilihat dari penggambaran
Raden Saleh akan Pangeran Diponegoro yang membusungkan dadanya
seolah-olah melakukan perlawanan.

7
Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta : UI Press, 1991), hlm. 51.
8
“Raden Saleh dan Lukisan dari Keturunan Arab Anti-Penjajahan,” Republika, Selasa,26 Nov
2019, hal
KESIMPULAN

Kedatangan Bangsa Arab di Nusantara dimulai pada Abad ke 10


dan menjadi sangat progresif pada abad ke-18 hingga 19. Motif
kedatangan Bangsa Arab didorong oleh keadaan geografis dari negara asal
dengan tanah kering dan tandus, serta terjadinya konflik antar suku yang
berkepanjangan membuat mereka melakukan migrasi besar-besaran ke
penjuru dunia, termasuk Nusantara. Sementara kondisi Nusantara dengan
berbagai kelebihan didalamnya, membuat mereka menetap disana dan
melakukan pernikahan dengan penduduk lokal. hal tersebut membuat
munculah Peranakan Arab di Indonesia.
Tradisi kelas sosial yang dianut orang-orang Arab yaitu pembagian
kelas terdiri atas : Sayyid, Syekh, Qabili, dan Masakin. Munculnya
Peranakan Arab menjadikan ancaman bagi tradisi kelas sosial tersebut. Hal
ini dikarenakan Peranakan Arab menganggap pembagian kelas sosial itu
sudah tidak relevan jika diterapkan di Nusantara. Selain itu, golongan non-
Sayyid juga ingin melepaskan diri dari diskriminasi kelas tersebut akhirnya
menyebabkan konflik berkepanjangan diantara mereka. Perlawanan antara
keduanya diwujudkan dalam bentuk organisasi yaitu Jamiat Kheir dan
Jamiyah Al Islah-wal-Irsyad.
Selain konflik berkepanjangan terkait dengan sistem kelas sosial,
konflik juga terjadi dalam ideologi yang dianut oleh orang-orang Arab di
Nusantara. Konflik terjadi antara golongan tua Arab menganut semangat
tanah leluhur mereka, Hadramaut dengan golongan muda Arab menganut
semangat nasionalis, tanah air Indonesia. Perbedaan ideologi tersebut
menyebabkan orang-orang Arab menjadi terpecah sehingga didirikanlah
PAI (Partai Arab Indonesia) oleh A.R. Baswedan dengan bertujuan
mempersatukan orang-orang Arab di Nusantara. Namun, golongan
konservatif tetap menolak bergabung dan memilih menjadi pro pemerintah
kolonial. Perlawanan ideologi ini dimenangkan oleh golongan nasionalis
Arab dikarenakan keadaan memihak mereka.

Daftar Pustaka

Algadri, Hamid. 1991. Suka-Duka Masa Revolusi, Jakarta : UI Press.

Basundoro, Purnawan. 2012 “A.R. Baswedan : dari Ampel ke Indonesia,” dalam


Jurnal Lakon Vol. 1. No. 1, hal. 29.
Berg, L.W.C van den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta :
Rahayu Hidayat.

Berg, L.W.C van den. 2010. Orang Arab di Nusantara, Jakarta : Komunitas
Bambu.

Damayanti, Imas. 2019. “Raden Saleh dan Lukisan dari Keturunan Arab Anti-
Penjajahan” Dalam Republika, 26 November 2019. Jakarta

Jonge, Huub De. 2019. Mencari Identitas : Orang Arab Hadhrami di Indonesia
(1900-1950), Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Kesheh, Natalie. 2007. Hadhrami Awakening Kebangkitan Hadhrami Indonesia,


Jakarta : Akbar.

Leur, J.C. van. 1967. Indonesian Trade And Society ; Essays in Social and
Economic History.

Maryam, Lathifah. 2018. “Perjuangan Hamid Algadri Pada Masa Pergerakan


Dan Pasca Kemerdekaan” Tesis Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Suratmin, 1989. Abdul Rahman Baswedan : Karya dan Pengabdiannya, Jakarta :


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ucu, Kartaraharja. 2019. “Kiprah Keturunan Arab di Perjuangan Kemerdekaan


Indonesia” Dalam Republika, 9 Mei 2019. Jakarta

Hendri F. Isnaeni. 2018. Awal Mula Datangnya Orang-orang Arab ke Nusantara


dari https://historia.id/agama/articles/awal-mula-datangnya-orang-orang-arab-ke-
nusantara-DnEMo (di akses 14 Februari 2020)

S-ar putea să vă placă și