Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
ABSTRACT
The arrival of the Arabs had a strong influence on the progress of the nation in Indonesia. The
immigrants married local women, so interracial marriages of different races gave birth to
“Peranakan Arab”. As a result of these marriages, the original Arabic tradition values began to
change and mix with local traditions. Most Arab immigrants come from Hadramaut whose people
are usually familiarly called Hadrami. The Hadrami people know the class structure as well as
Hinduism. The highest class was occupied by Sayyid's group consisting of nobles and descendants
of the Prophet. Then there are the Shaykh and Qabili groups consisting of religious elites and
traders.
Since migrating to Indonesia, the Hadrami people had tried to eradicate the discrimination of the
social structure and had been relatively successful in adjusting themselves to the local culture. This
created a new movement, namely Arab Nationalists. As with the nationalist Arab group, the group
dominated by the Sayyid group insisted to maintain their traditions by imposing segregation on
local residents. The contradiction between these two groups also includes a sense of nationalism
about their homeland. The Nationalist Arabs who have mingled with local people recognize that
Indonesia is their birthplace. While conservative Arabs consider moderate Arabs has made bad
decision because they exchange their homeland (Hadramaut) with Indonesia. The conflict between
them has been very intense and led birth to resistance movements consisting of PAI (PARTAI
ARAB INDONESIA) and IAB (Indo Arabische Beweging)
ABSTRAK
Kedatangan Bangsa Arab memiliki pengaruh yang kuat terhadap sejarah perkembangan
bangsa Indonesia. Para imigran tersebut menikahi wanita-wanita lokal, sehingga perkawinan
silang berbeda ras tersebut melahirkan peranakan-peranakan arab. Akibat dari perkawinan silang
tersebut menyebabkan nilai-nilai tradisi asli Arab mulai berganti dan bercampur dengan tradisi
lokal. kebanyakan imigran Arab berasal dari Hadramaut yang orang-orangnya biasa disebut
dengan sebutan Hadrami. Orang-orang Hadrami mengenal struktur kelas seperti halnya dengan
agama Hindu. Kelas tertinggi diduduki oleh kelompok Sayyid yang terdiri dari para bangsawan
dan turunan Nabi. Selanjutnya ada kelompok Syeikh dan Qabili yang terdiri dari elit agama dan
para pedagang.
Sejak bermigrasi ke Indonesia, orang-orang Hadrami berusaha menghapus diskriminasi struktur
sosial dan berusaha untuk melebur bersama warga setempat. Hal inilah menciptakan aliran baru
yaitu Arab Nasionalis. Lain halnya dengan golongan Arab nasionalis, golongan yang didominasi
oleh kelompok Sayyid bersikeras untuk mempertahankan tradisi mereka dengan memberlakukan
segregasi terhadap warga lokal. pertentangan antar kedua golongan ini juga meliputi rasa
nasionalisme akan tanah lahir mereka. Golongan Arab Nasionalis yang telah berbaur dengan
warga setempat mengakui bahwa Indonesia merupakan tanah kelahiran mereka. Sementara
Golongan arab konservatif menganggap golongan Arab moderat membuat keputusan buruk karena
menukar tanah kelahirannya (Hadramaut) dengan Indonesia. Pertentangan antar keduanya
sangatlah kuat dan melahirkan pergerakan-pergerakan perlawanan yang terdiri dari PAI (Partai
Arab Indonesia) dan IAB (Indo Arabische Beweging).
Pendahuluan
Kerangka Metode
Metode yang dipakai dalam tulisan ini melalui penelusuran sumber-
sumber tertulis baik dari buku-buku karangan Huub de Jonge, Hamid Algadri,
L.W.C Van Den Berg dan beberapa tulisan-tulisan yang berasal dari jurnal ilmiah,
Tesis, Skripsi, serta beberapa sumber melalui tulisan surat kabar dan website.
Pembahasan
1. Golongan Sayyid
2. Golongan Syeikh
3. Golongan Qabili-Qabail
4. Golongan Masakin
Golongan ini menduduki kelas terbawah dalam pembagian kelas sosial
masyarakat Hadramaut dikarenakan mereka terdiri dari orang-orang
miskin dan tidak mampu. Sebagian besar berprofesi sebagai buruh, pekerja
rendahan, bahkan menjadi seorang budak. Derajat mereka dianggap paling
rendah karena mereka bukan berasal dari Arab murni, melainkan turunan
orang-orang Afrika yang berkulit gelap (Kesheh, 2007).
2
Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta : Rahayu Hidayat, 1989), hal.
191.
ketika Al-Irsyad dalam sebuah kongres menyatakan bahwa gelar Sayyid
bukan lagi menjadi golongan yang istimewa, melainkan sama halnya
dengan sebutan “mister, sir, monsieur, tuan,”.3 Pernyataan itu dilanjutkan
dengan pembolehan setiap orang-orang Hadrami untuk menambahkan
gelar Sayyid. Hal tersebut sangat merugikan golongan sayid karena mereka
sudah tidak bisa membedakan diri mereka dengan golongan Arab lainnya.
Bentuk perlawanan golongan sayid terhadap klaim gelar Sayyid
secara bebas dilakukan dengan mengajukan petisi kepada Gubernur
Jendral untuk meminta perlindungan hukum atas gelar Sayyid. Dengan
sikap demikian menjadikan berita hangat yang diberitakan ke berbagai
koran-koran lokal, dari koran Tionghoa seperti: Siang Po, Sin Tit Po, dan
beberapa koran pers non-Arab lainnya. Pada tahun 1931 kelompok
Rabithah Alawiyah mengirimkan surat ke pemerintah dengan isinya
menegaskan kembali terkait pasal 307 menjelaskan tentang penggunaan
yang tidak sah terkait gelar Belanda ataupun gelar adat dapat dihukum4.
Dalam hal ini golongan sayid berpendapat bahwa pasal tersebut harusnya
berlaku pada permasalahan gelar Sayyid juga. Perselisihan antar orang-
orang Arab di Nusantara tidak hanya terjadi karena permasalahan antar
dua kelas saja. Permasalahan lainnya juga terjadi antara Peranakan Arab di
Nusantara golongan muda dengan orang-orang Arab totok (Orang Arab
yang lahir di negara asalnya).
3
Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000, hlm. 153
4
Ibid., hal. 28
Namun dibentuknya organisasi ini mengundang pro-kontra terkait
misi yang dijalankan. Terbentuknya organisasi ini menyebabkan terjadinya
perubahan hubungan antara golongan Sayyid muda dengan golongan
Syeikh muda. Konflik yang terjadi diantara pendahulu mereka, membuat
mereka menjalin hubungan diplomasi satu sama lain bertujuan untuk
menghapuskan kelas sosial orang-orang Arab di Nusantara dan
mengintegrasikan mereka ke dalam Indonesia. Misi golongan muda
melalui PAI tersebut mendapatkan pertentangan dari golongan tua.
Mereka sangat marah dan tidak terima dengan pandangan golongan muda
yang ingin menukarkan tanah asal mereka “Hadramaut” dengan Indonesia.
Pada tahun 1936, PAI bergabung ke barisan kaum nasionalis
ditandai dengan pengajuan petisi kepada pemerintahan Belanda terkait
penambahan orang-orang Arab ke dalam Volksraad. 5Pada tahun 1939 PAI
mendukung aksi untuk memperjuangkan parlemen Indonesia secara
demokratis yang dilancarkan oleh Gaboengan Politik Indonesia (GAPI),
kumpulan aliansi partai politik di Indonesia.
Menanggapi reaksi PAI, orang-orang Arab yang tidak setuju
dengan misi PAI mendirikan organisasi Indo-Arabische Beweging (IAB),
atau lebih dikenal dengan Gerakan Indo-Arab). golongan ini menentang
ideologi nasionalis PAI, serta memilih menjadi sekutu Belanda. Gerakan
ini didirikan oleh Al-Amoedi berisikan golongan Sayyid tua konservatif.
Gerakan ini bertujuan untuk mempertahakan tradisi Hadramaut dan ikatan
emosional non-politis orang-orang Arab di Indonesia. Selain itu Namun
gerakan ini kehilangan taring menjelang tahun-tahun revolusi dimana lebih
berpihak ke golongan nasionalis.
Sementara itu, pergerakan golongan muda peranakan arab dengan
semangat nasionalisnya membuat mereka berperan besar dalam
pergerakan nasional. salah satu cara mereka berperan dalam pergerakan
nasional adalah melalui media. A.R. Baswedan, pendiri PAI (Partai Arab
Indonesia) aktif mengkritik pemerintah kolonial melalui surat kabar Sin
Tit Po.6 Meskipun surat kabar tersebut milik orang Tionghoa, ia dapat
menjalin hubungan baik dengan mereka. Bahkan ia menduduki jabatan
sebagai redaktur melalui surat kabar tersebut. Pergerakan yang sangat
progresif dilakukan olehnya ketika ia bergabung dengan surat kabar
Matahari. Dalam koran tersebut ia memasang foto dirinya sendiri
menggunakan pakaian khas Indonesia dengan memakai beskap dan
blangkon. Dalam foto tersebut terdapat tujuan tersembunyi olehnya agar
5
Purnawan Basundoro, “A.R. Baswedan : dari Ampel ke Indonesia,” dalam Jurnal Lakon Vol. 1.
No. 1 Mei 2012, hlm. 29.
6
Ibid.,
orang-orang Arab di Nusantara sadar bahwa tanah air mereka yaitu
Indonesia dan mereka tinggal didalamnya, bukan di Hadramaut.
Hamid Al Gadri merupakan sosok lain yang bergerak dalam
bidang media. Sama halnya dengan A.R. Baswedan, ia juga aktif menulis
dalam berbagai surat kabar Insjaf dan Aliran Baroe. Selain itu ia juga
terlibat sebagai penulis buku-buku sejarah seperti: C. Snouck Hurgronje:
Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, Mengarungi
Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan, dan berbagai buku
lainnya”. Sejak pada masa kolonial ia merupakan sosok yang tidak segan
dalam mengkritik kebijakan kolonial. Bahkan pemikiran nasionalisnya ia
tuangkan dalam media massa terkait dengan hukum tata negara dalam
konteks ras dan kebangsaan (natie). Dalam hal ini ia memaparkan bahwa
paham ras haruslah dihilangkan dan wajib diganti dengan paham
kebangsaan.7 Menurutnya hanya ada satu golongan dalam satu negara, satu
kepentingan, satu perjuangan dalam hal kebangsaan.
Pergerakan dalam melawan pemerintah kolonial di bidang lain juga
dilakukan oleh Peranakan Arab di Nusantara dalam seni rupa. Melalui
narasi simboliknya Raden Saleh mengkritik bagaimana kondisi
masyarakat Indonesia yang menderita pada masa kolonial. Salah satu
bentuk perlawanan dilakukannya melalui lukisan “The Arrested of
Pangeran Diponegoro”. Dalam lukisan milik kolonial, Nicolaas Pieneman
menyiratkan bahwa raut muka Pangeran Diponegoro ketika ditangkap oleh
Jenderal De Kock sangat sayu dan tidak berdaya.8 Maksud dari
penggambaran tersebut seolah-olah Pangeran Diponegoro takut dan
akhirnya menyerah terhadap pemerintah kolonial. Akhirnya Raden Saleh
membuat lukisan perlawanan dengan konteks yang sama, yakni
Penangkapan Pangeran Diponegoro. Namun, dalam lukisan tersebut raut
wajah Pangeran Diponegoro seolah-olah tidak takut dan sangat geram
dengan Jendral De Kock. Hal tersebut bisa dilihat dari penggambaran
Raden Saleh akan Pangeran Diponegoro yang membusungkan dadanya
seolah-olah melakukan perlawanan.
7
Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta : UI Press, 1991), hlm. 51.
8
“Raden Saleh dan Lukisan dari Keturunan Arab Anti-Penjajahan,” Republika, Selasa,26 Nov
2019, hal
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Berg, L.W.C van den. 2010. Orang Arab di Nusantara, Jakarta : Komunitas
Bambu.
Damayanti, Imas. 2019. “Raden Saleh dan Lukisan dari Keturunan Arab Anti-
Penjajahan” Dalam Republika, 26 November 2019. Jakarta
Jonge, Huub De. 2019. Mencari Identitas : Orang Arab Hadhrami di Indonesia
(1900-1950), Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Leur, J.C. van. 1967. Indonesian Trade And Society ; Essays in Social and
Economic History.