Sunteți pe pagina 1din 12

Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha

Kemanya Karbono, halaman 191-202

KOLABORASI PANDITA DAN LAPAS KLAS IIA PEMUDA


TANGERANG DALAM MEMBINA KEAGAMAAN
NARAPIDANA BUDDHA
A Collaboration Between Priest and The Prison IIA for Youngsters in
Tangerang in Developing Spiritual of Buddhist Prisoners
Kemanya Karbono

Sekolah Tinggi Agama Buddha ABSTRACT


Negeri Tangerang Banten
e-mail: akarbono@yahoo.com This study was held in The Prison IIA for youngtsters in Tangerang in 2012. Using
phenomenology approach and model of Miles and Huberman on data analysis, this
Naskah diterima: 15 September study found the following findings. The implementation of development cooperation with
2015 the organization’s religious Buddhist Youth Association of Indonesian Chinese (IPTI)
Naskah diseleksi: 6 November 2015
is coordinating the priests to perform a guidance. The guidance system used by priests
Naskah direvisi: 17 November 2015
Naskah disetujui penulis: was indirect contact (direct approach to coaching face to face). Judging from the shape,
28 November 2015 materials, processes, methods, evaluation, support others and background builder, tends
to lead to the pattern of top-down approach (coaching from top to bottom). Forms of
guidance given by priests were: (1) Dhamma Desana (religious discourse) about morality
(sila), meditation (samadhi) and wisdom (panna), motivation; (2) Exercise chant and
practice rituals (sembahyang); (3) Vihara Gita (spiritual songs); (4) Dhamma Sadhana
(meditation retreat). The implementation of coaching did not have any curriculum yet, and
the evaluation was done verbally. Supporting factors to the coaching could be classified
into two: external and internal. Internal factors include: (1) Lack of coaching medium; (2)
there was no Buddhism official coach; (3), the quality and variety of coaching; (4) lack of
prisoners motivation. External factors include: (1) lack of coordination and communication
with relevant agencies either governmental or non govermental agencies which concerned
on Buddhists coaching); (2) Lack of public awareness and participation in coaching.
Keywords: Buddha Religious Guidance, pandita, prison

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Lembaga pemasyarakatan Klas IIA Pemuda Tangerang pada
tahun 2012. Dengan menggunakan pendekatan phenomenologic, serta analisis data
mengacu pada model Miles and Huberman, dalam penelitian ini diperoleh temuan sebagai
berikut. Penyelenggaraan pembinaan keagamaan Buddha bekerjasama dengan organisasi
Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) yang mengkoordinir para Romo Pandita.
Sistem pembinaan yang digunakan oleh pandita adalah indirect contact (pembinaan
dengan pendekatan langsung tatap muka). Pembinaan ini cenderung berpola top down
approach (pembinaan dari atas ke bawah). Bentuk pembinaan oleh pandita berupa: (1)
Dhamma Desana (ceramah keagamaan) dengan materi sekitar moralitas (sila), meditasi
(samadhi) dan kebijaksanaan (panna), motivasi; (2) Latihan membaca paritta dan latihan
puja bakti (sembahyang); (3) Vihara Gita (Lagu rohani); dan (4) Dhamma Sadhana (retreat
meditasi). Pelaksanaan pembinaan belum memiliki kurikulum, dan evaluasi dilakukan
hanya secara lisan. Faktor yang mempengaruhi pembinaan meliputi faktor internal dan
eksternal. Faktor internal berupa: (1) minimnya sarana pembinaan, (2) tidak ada petugas
pembina agama Buddha, (3) kualitas dan ragam pembinaan kurang, dan (4) rendahnya
motivasi narapidana. Faktor eksternal berupa: (1) Minimnya koordinasi dan komunikasi
dengan instansi terkait baik instansi pemerintah maupun non pemerintah yang concern
terhadap pembinaan umat Buddha); dan (2) Rendahnya kepedulian dan keikutsertaan
masyarakat dalam pembinaan.
Kata kunci: Pembinaan Keagamaan Buddha, pandita, Lembaga Pemasyarakatan

191
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

PENDAHULUAN masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan amanat


Undang-undang no 12 Tahun 1995 tentang
Pembinaan keagamaan yang dilakukan Pemasyarakatan, yaitu tercapainya reintegrasi
pandita di Lembaga pemasyarakatan (Lapas) sosial. Pembinaan di Lapas harus berupa
Klas IIA Pemuda Tangerang menarik untuk perlindungan bukan penekanan (pembalasan)
dikaji. Kasus-kasus kriminalitas pada penghuni seperti pemerasan dan perlakuan tidak senonoh.
Lapas tersebut telah melampaui batas-batas Walaupun realitasnya masih banyak terjadi
lintas agama, tidak terkecuali tindak kriminal
kekerasan di dalam Lapas, seperti hasil penelitian
yang dilakukan umat Budha dan pada akhirnya
Anton Setiawan yang menyatakan banyak
terkena pidana dan mendekam di penjara.
kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan
Pergeseran nilai budaya dan moral yang yang menyebabkan viktimisasi terhadap para
berujung tindakan kriminal yang berimplikasi terpidana (Setiawan, 2009).
meningkatnya jumlah narapidana dipengaruhi
Ruang lingkup pembinaan untuk narapidana
oleh banyak faktor. Secara khusus pada psikis
di antaranya adalah pembinaan kesadaran
remaja, gejolak emosional relatif lebih labil
beragama. Sesuai regulasi pembinaan dan
dan fluktuatif (Jalaludin, 2007). Kondisi ini
pembimbingan warga binaan pemasyarakatan
lebih mendorong pemuda untuk melakukan
diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan
tindakan kriminal. Faktor-faktor pendorong
oleh petugas pemasyarakatan. Hal tersebut
tindakan kriminal pada dasarnya dikarenakan
berarti setiap Lapas seyogyanya memiliki petugas
aspek struktural dan aspek kultural, seperti
pembina keagamaan dari semua agama agar
yang dinyatakan oleh Rano Karno –dalam
proses pembinaan bisa berjalan dengan baik.
konferensi pers setelah anak angkatnya yaitu
Realitasnya tidak semua Lapas memiliki petugas
Raka Widayarma terjerat kasus narkoba- bahwa
pembina keagamaan dari semua agama, dan
salah satu faktor yang mendorong anaknya
dukungan masyarakat baik secara perorangan
terjerumus narkoba adalah kurangnya perhatian
atau lembaga swadaya masyarakat sangat minim
dia terhadap anak angkatnya (http://www.
sehingga penyelenggaraan pembinaan kurang
kompasiana.com/, diakses 2 Oktober 2012).
optimal. Untuk narapidana yang beragama
Aspek struktural dan kultural menjadi pemicu
Buddha, dukungan dari luar seharusnya muncul,
seseorang untuk melakukan tindakan kriminal
terutama dari majelis-majelis agama Buddha
dan akhirnya masuk Lembaga Pemasyarakatan
yang bertanggung jawab atas pembinaan.
(Lapas).
Di Indonesia, sistem penjara telah dikenal sejak
Sebagai sebuah lembaga pembinaan yang
zaman penjajahan kolonial Belanda. Kemudian
dikonstruksi secara sosial, Lapas memiliki
, dalam perkembangannya sistem kepenjaraan
tanggung jawab yang tidak ringan untuk
normalisasi kehidupan para narapidana. Melalui ini dirubah menjadi sistem pemasyarakatan
penerapan mekanisme pendisiplinan, Lapas yang diperkenalkan mulai tahun 1964 (Priyatno,
diharapkan dapat mengubah warga binaan 2006: 97). Amanat ini dimaksudkan dalam
pemasyarakatan menjadi manusia yang patuh rangka retooling dan reshaping dari sistem
dan berguna, mampu memberikan terapi psikis, kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan
dan menjadi tempat shock therapy psikologis atas adanya ide pengayoman sebagai konsepsi
rasa malu yang ditanggung oleh narapidana dari hukum nasional yang berkepribadian Pancasila.
situasi keterasingan sosial. Program pendidikan Dengan demikian, sistem pemasyarakatan
agama juga menjadi keharusan untuk diberikan. telah memperkenalkan perlakuan (treatment)
Pemberian pembinaan keagamaan dan berbagai ke dalam sistem kepenjaraan Indonesia yang
pengetahuan akan membekali mereka untuk pelaksanaan pembinaannya berdasarkan prinsip-
diterapkan ketika kembali ke tengah-tengah prinsip pemasyarakatan.

192
Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha
Kemanya Karbono, halaman 191-202

Lapas merupakan tempat untuk membina Teori-teori pemidanaan banyak diungkap


narapidana. Pembinaan narapidana dan anak oleh para sarjana dengan mempertimbangkan
didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi penjatuhan pidana. Munculnya berbagai pikiran
pekerti) para narapidana dan anak didik yang mengenai manfaat pidana melahirkan beberapa
berada di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan teori dan konsep pembinaan dalam pemidanaan
(intramural treatment). Penelitian ini terfokus teori-teori tersebut, antara lain: a) Teori Absolut
pada pembinaan keagamaan bagi narapidana atau teori pembalasan (retributive), di mana
yang beragama Buddha. Perlu diketahui juga pidana dimaksudkan untuk membalas tindak
mengenai pengertian keagamaan yaitu segala pidana yang dilakukan seseorang; b) Teori
sesuatu mengenai agama, dalam hal ini keagamaan Relatif atau teori tujuan (utilitarian), di mana
mengandung arti yang sejalan dengan religiusitas. tujuan pidana bukanlah sekedar pembalasan,
Mengikuti pendapat Koentjaraningrat (1987) tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam
bahwa secara umum sistem religi terdiri atas masyarakat; c) Teori Gabungan (integratif), di
lima komponen yang saling berkaitan satu sama mana tujuan pidana selain membalas kesalahan
lain, yakni: (1) emosi keagamaan, (2) sistem pidana juga dimaksudkan untuk melindungi
keyakinan, (3) sistem nilai dan pandangan hidup, masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.
(4) peralatan ritus dan upacara, (5) umat dan Pembinaan terhadap narapidana dapat
institusi keagamaan. Jadi pengertian pembinaan dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dan
keagamaan Buddha adalah pembinaan berkaitan oleh tokoh agama (pandita). Napi yang beragama
dengan agama Buddha; dengan harapan peserta Buddha tentu perlu mendapat pembinaan dari
yang dibina memiliki pengetahuan yang lebih pandita. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
baik tentang agama Buddha (pariyati), kemudian pandita (pandit) diartikan orang ahli dalam ilmu
mempraktekkan ajaran tersebut (patipati) agama dan menerapkannya dalam kehidupan
sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik sehari-hari (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008:
karena memiliki kebijaksanaan (pativedha). 1011).
Sistem pembinaan melalui media massa dan Pengertian pandita dapat ditemukan dalam
elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan “Manggala Sutta, Khudaka Nikaya” (kotbah
dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan tentang 38 berkah utama) salah satunya adalah
langsung (direct contact) dan pendekatan tidak “pandita sevana” (bergaul dengan orang bijak).
langsung (indirect contact) (Sudjana, 2006: Istilah atau gelar “pandita” sesungguhnya
27). Sementara itu, Harsono (Harsono, 1995: mengandung makna agamis yang mengacu
26) mengungkapkan bahwa pembinaan dapat langsung pada keluhuran batin seseorang.
dilakukan dengan: 1) pendekatan dari atas ke Walaupun sebutan pandita pada dasarnya
bawah (top down approach), materi pembinaan diberikan secara selektif, kiranya tidak bisa
berasal dari pembina, atau paket pembinaan seratus persen dijadikan sebagai jaminan
telah disediakan dari atas, narapidana tidak mutlak atas kadar batin seseorang. Pandita yang
ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dimaksud dalam “Mangala Sutta” adalah orang
dijalaninya tetapi langsung menerima pembinaan yang memiliki, mengembangkan, dan senantiasa
dari Pembina, 2) pendekatan dari bawah (bottom mempergunakan kebijaksanaan atau kearifan
up approach), suatu cara pembinaan dengan dalam segala hal, orang bijak bisa dijadikan
memperhatikan kebutuhan pembina atau padanan dari pandita (Sanjivaputta, 1991).
kebutuhan belajar narapidana, narapidana ikut Dalam kitab Paramatthajotika,
serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan Buddhaghosa Thera mendefinisikan pandita
dan evaluasi pembelajaran. sebagai orang yang menempuh kehidupan

193
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

dengan kebijksanaan demi kemanfaatan dalam METODE PENELITIAN


kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Penelitian ini merupakan qualitative research
Beliau mencontohkan para Sammasambuddha,
dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini
Pacceka Buddha, para Asitimaha-savaka (80
berusaha mengungkap dan menggambarkan
siswa utama) dan savaka lainnya (Sanjivaputta,
tentang pelaksanaan pembinaan keagamaan
1991: 12).
Buddha oleh pandita di Lapas Pemuda
Pandita yang dimaksud dalam penelitian Tangerang. Analisis data untuk memperoleh
ini adalah pandita dalam pengertian gelar yang kesimpulan menggunakan metode induktif.
diberikan oleh badan atau organisasi keagamaan Analisis permasalahan menggunakan orientasi
Buddha kepada seseorang yang dinilai pendekatan sociologic phenomenologic.
mempunyai kemampuan yang cukup memadai Penelitian dilaksanakan selama empat bulan
dalam membabarkan ajaran Sang Buddha, dari bulan September-Desember 2012 di Lapas
yang bersifat fungsional tanpa didasarkan pada Klas IIA Pemuda Tangerang, jalan Lapas Pemuda,
pendidikan akademis yang ditempuh pada Kelurahan Pabuaran, Kota Tangerang.
jenjang pendidikan tinggi tertentu. Tugas utama
pandita sebenarnya adalah menyebarkan Buddha Peneliti sebagai human instrument terjun
Dhamma dan membantu anggota Sangha langsung di dalam kancah penelitian. Metode
(bhikhu) untuk memberikan pelayanan tertentu pengumpulan data yang digunakan adalah
kepada umat Buddha yang tidak bisa dilakukan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
oleh para bhikhu, misalnya memimpin ritual Observasi dilakukan dengan cara mengamati
perkawinan, ritual perayaaan hari raya, dan secara langsung dan pengamatan secara
lain-lain (Megabudhi Kota Tangerang, 2012). partisipatif (participation observation), yaitu
Sang Buddha dalam Udayi Sutta, Anguttara pengamat terlibat langsung secara aktif dalam
Nikaya, Pancaka Nipata menganjurkan agar subjek penelitian (Spradley dalam Moleong,
dalam mengajarkan Dhamma seseorang harus 2006: 38). Adapun wawancara dilakukan
membangun lima standar atau lima sifat yang terhadap informan kunci, yaitu: Kepala Lapas
harus dimiliki, yakni: (1) Saya akan memberikan Klas IIA Pemuda Tangerang atau staff yang
khutbah yang bertingkat; (2) Saya akan memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan,
memberikan khutbah yang masuk akal; (3) Saya Romo Pandita dan narapidana.
berbicara karena tergerak simpati; (4) Saya akan Proses analisis data dalam penelitian ini
berbicara bukan demi keuntungan duniawi; (5) dengan mereduksi data, penyampaian data,
Saya akan berbicara tanpa menyindir diri sendiri dan membuat simpulan. Hal ini sebagaimana
atau orang lain (Nyanaponika, 2003: 221). alur yang dikemukakan oleh Miles & Huberman
(dalam Suprayogo, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
pelaksanaan pembinaan keagamaan Buddha di HASIL DAN PEMBAHASAN
Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang; mengetahui Gambaran Umum Lapas Klas IIA Pemuda
faktor penghambat dan faktor pendukung; dan Tangerang.
mengetahui upaya yang dilakukan oleh pandita
dan Lapas dalam mengatasi hambatan. Adapun Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang
signifikansi penelitian ini adalah sebagai bahan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri
masukan bagi Lapas dan Kementerian Agama Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03.
dalam mengevaluasi pelaksanaan pembinaan UM.01.06 tanggal 16 Desember 1983 Tahun
kerohanian, khususnya pembinaan keagamaan 1983 tentang Penetapan Lapas Tertentu Sebagai
Buddha. Rumah Tahanan Negara. Dalam Lampiran II dari

194
Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha
Kemanya Karbono, halaman 191-202

Surat Keputusan tersebut Lapas Klas IIA Pemuda Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI). Hal
Tangerang, di samping ditetapkan sebagai Lapas, itu sesuai penjelasan dari petugas lapas sebagai
juga sebagian ruangannya ditetapkan sebagai berikut;
Rumah Tahan Negara (Tetra Destorie Imantoro,
“Untuk pembinaan narapidana Buddhis ada,
wawancara 3 Desember 2012). Bangunan Lapas kita kerjasama dengan IPTI, ya itu dilakukan
didirikan di areal tanah seluas 385.420 M², karena Lapas tidak memiliki petugas yang
dengan luas tanah bangunan sebesar 28.610 M² khusus melakukan pembinaan untuk narapidana
dan luas bangunan sebesar 10.312 M². Bentuk yang beragama Buddha, kalau petugas yang
bangunan model kipas, yang terdiri dari enam membina narapidana Islam ada” (Imantoro, Kasi
blok sebanyak 120 kamar dengan kapasitas 1.356 Pembinaan, wawancara 10 Nopember 2012).
orang. Dalam pelaksanaanya, IPTI yang mengatur
Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang juga dan membuat jadwal pembina keagamaan
difungsikan sebagai Lapas penyangga dari Buddha, jadwal dibuat pertiga bulan. IPTI
kelebihan kapasitas di berbagai Lapas di Provinsi bekerjasama dengan para Romo Pandita dari
Banten. Akibatnya, fungsi sebagai Lapas yang berbagai majelis agama Buddha di Indonesia ,
khusus menampung dan membina narapidana di antaranya Majelis Agama Buddha Theravada
pemuda sudah tidak murni lagi. Hal ini Indonesia (MAGABUDHI), Majelis Agama
diperkuat dengan ditetapkannya Lapas Pemuda Buddha Mahayana Indonesia, dan lain-lain.
sebagai Rutan yang notabene tidak mengenal Namun demikian, kerjasama antara IPTI dengan
pengklasifikasian dari aspek umur. Romo Pandita secara pribadi, bukan kerjasama
Sarana dan prasarana yang ada di Lapas antara organisasi IPTI dengan majelis agama
Klas IIA Pemuda Tangerang di antaranya yaitu: Buddha tertentu. Hal tersebut pernah ditawarkan
(1) Tempat ibadah, terdiri dari: Masjid, Gereja, oleh IPTI kepada salah satu majelis keagamaan
Vihara (Cetiya); (2) Sarana olah raga, terdiri dari: Buddha, tetapi Romo Pandita tidak bersedia
lapangan futsal, lapangan bulu tangkis, lapangan dengan berbagai alasan. Pembinaan keagamaan
basket, lapangan volley, dan tenis meja. Buddha di Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang
Penghuni Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dilakukan seminggu sekali, yaitu setiap hari
sampai saat penelitian ini dilakukan berjumlah Sabtu 09.00-12.00 WIB, bertempat di Cetiya
2.002 orang yang terdiri dari 1.173 orang Kusala Cetana, yang terdapat di blok E Lapas
narapidana dan 830 orang tahanan dengan agama Klas IIA Pemuda Tangerang (Hendra, Ketua
yang bervariasi. Mereka terdiri dari umat Islam IPTI, wawancara 24 Nopember 2012).
1760 (87.9%), Kristen 133 (6.64%), Khatolik 27 Bentuk Pembinaan Keagamaan Buddha di
(1.34%), Hindu 5 (0.24%), dan umat Buddha 77 Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang antara lain
(3.84%). Jenis tindak pidana yang dilakukan oleh sebagai berikut. Pertama, pengajaran tentang tata
narapidana di Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang
cara ritual (puja bakti), dari sarana perlengkapan
cukup beragam, namun kasus terbesar adalah
ritual, cara membaca parita dan jenis-jenis Parita
tindak pidana narkotika, sebesar 1.294 orang
atau Sutta yang dibaca ketika melakukan Puja
(64.6%) (Dokumentasi Lapas Tangerang 2012).
Bakti. Hal ini dinyatakan salah satu pembina
Agama Budha, Romo Adi Triswantoro sebagai
Pelaksanaan dan Bentuk Pembinaan berikut:
Keagamaan Buddha “Bentuk pembinana antara lain ceramah, ada
pertanyaan juga, saya pernah juga beberapa kali
Pelaksanaan pembinaan keagamaan Buddha, mengajarkan cara membaca Paritta, masalahnya
Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang bekerja banyak dari mereka yang gak hafal parita sama
sama dengan organisasi sosial kemasyarakatan sekali, Mas” (wawancara 3 Desember 2012).

195
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

Kedua, Ceramah Dhamma atau ama ngomong kasar sering banget, tapi setelah
dhammadesana, dengan materi sekitar dana, beberapa kali dengerin ceramahnya romo agak
moralitas (sila), meditasi (Samadhi), motivasi mendingan, ya masih suka ngomong jorok sih
tapi jarang” (Toni, narapidana, wawancara 15
untuk melupakan kesalahan yang telah diperbuat.
Desember 2012). “Saya pernah mengontrol pada
Materi pembinaan diserahkan sepenuhnya saat pembinaan, yang saya lihat para narapidana
kepada para pandita disesuaikan dengan situasi sih bersikap tenang dan duduk dengan rapih,
dan kondisi tanpa ada kurikulum yang baku. mungkin ini slaah satu efek dari pembinaan
Ketiga, latihan meditasi, pelaksanaanya di Cetiya tersebut” (Imantoro, petugas lapas, wawancara 13
Kusala Cetana pada waktu jadwal pembinaan di Desember 2012).
bawah bimbingan para Romo Pandita. Hal ini Penghambat Pelaksanaan Pembinaan
diungkapkan oleh Romo Kartika Yos: “Saya selalu Keagamaan Buddha
mengajak mereka meditasi lagi di akhir ceramah
Aspek yang menjadi penghambat terdiri dari
saya” (wawancara, 10 Oktober 2012).
faktor internal dan faktor eksternal sebagaimana
Keempat, Vihara Gita, di mana beberapa paparan berikut.
romo membawa alat musik (gitar), dan
A. Aspek Internal
mengajarkan lagu-lagu Buddhis kepada para
narapidana. Menurut beliau, bernyanyi lagu-lagu Aspek internal yang menjadi penghambat
rohani membuat narapidana lebih senang. Hal pembinaan Keagamaan Buddha di Lapas Klas
tersebut dinyatakan oleh Romo Adi Triswantoro: IIA Pemuda Tangerang terdiri atas lima faktor.
“... Kalau ceramah pasti, tapi saya selalu selingi Pertama, sarana/fasilitas pembinaan yang kurang
dengan lagu lagu Buddhis di tengah-tengah serta tidak ada pembina khusus bagi narapidana
ceramah, lah wong saya kan suka main gitar, jadi beragama Buddha, hal tersebut dinyatakan oleh
ya nyanyi itu wajib dalam setiap ceramah saya, Kasi Pembinaan:
di samping itu mas, kalau diajak nyanyi paling
gak kan mengurangi stress para narapidana” “...Tapi ya itu mas, kamu lihat sendiri kan tempat
pembinaanya tidak terlalu luas, sarananya juga
(wawancara 3 Desember 2012).
cuma ada sound sistem yang tidak terlalau bagus.
Pembinaan keagamaan Buddha di Lapas Kendala lainnya mas, kita tidak punya petugas
khusus untuk yang Buddha dan Kristen, kalau
Klas IIA Pemuda Tangerang membawa manfaat
yang bina Islam sih ada” (Imantoro, wawancara
yang sangat banyak bagi para narapidana, di 10 Oktober 2012).
antaranya narapidana dapat menghapal Paritta,
Kedua, kuantitas petugas sedikit,
mendapatkan ketenangan, dan mengubah
perilaku, seperti dalam beberapa kutipan sebagaimana disampaikan oleh Kasie Pembinaan,
wawancara berikut. Imantoro (wawancara 13 Oktober 2012)

“Meskipun beragama Buddha saya tidak hafal Ketiga, kualitas dan ragam program
satupun Paritta dalam puja bakti (sembahyang), pembinaan keagamaan Buddha yang tidak
setelah beberapa kali ikut pembinaan agama bervariasi, program yang selama ini sudah
saya mulai hafal beberapa Paritta di antaranya, berjalan mayoritas hanya ceramah keagamaan
namakarapatha, Vandana, Tisarana dan
(Toni, narapidana, wawancara 15 Desember
Pancasila, untuk Paritta yang lain perlu belajar
lebih lama dan lebih keras lagi (Dede, narapidana, 2012).
wawancara 24 Nopember 2012). Keempat, variasi tingkat pendidikan dan
“Saya merasakan ketenangan ketika masuk pemahaman Dhamma narapidana. Hal ini
ke ruang vihara (dharmasala) dan mengikuti menimbulkan kesenjangan tingkat intelektual
pembinaan, karena dapat berlatih meditasi,
narapidana sehingga berpengaruh dalam
ruangannya juga lebih luas dan segar di banding
sel saya” (Rudi, narapidana, wawancara 8 hasil pembinan keagamaan. Data narapidana
Desember 2012). “Dulu gua ngomong jorok yang tidak sekolah sebanyak 86 (4.29%),

196
Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha
Kemanya Karbono, halaman 191-202

lulusan sekolah dasar sebanyak 256 orang pemasyarakatan, narapidana, dan masyarakat.
(12.78%), termasuk dalam hal ini terdapat 3 Kalau tiga jalan maka pembinaan pasti berjalan
baik” (Imantoro, wawancara 15 Desember 2012).
narapidana beragama Buddha yang tidak lulus
sekolah dasar (Toni, narapidana, wawancara Imantoro dan Suratmin juga menjelaskan
15 Desember 2012). Tingkat pemahaman bahwa selain faktor penghambat, ada sebenarnya
Dhamma para narapidana juga sangat rendah. juga sudah terdapat faktor pendukung
Dari wawancara dengan beberapa narapidana, penyelenggaran pembinaan keagamaan Buddha
mereka mengatakan belum pernah ke tempat di Lapas Pemuda Tangerang yaitu; 1) Sudah
ibadah (Vihara) sebelumnya. Memasuki tempat ada sarana ibadah narapidana yang beragama
ibadah (Cetiya Kusala Cetana) yang ada di Lapas Buddha sejak akhir tahun 2012, yaitu Cetiya
Pemuda Tangerang adalah pengalaman pertama. Kusala Cetana; 2) Adanya kerjasama dengan
Dede, Toni, dan Rudi menyampaikan pernyataan pihak ketiga dalam hal ini adalah IPTI yang
yang hampir sama: mengkoordinir pelaksanaan pembinaan
keagamaan Buddha (Imantoro dan Suratmin,
“Dulu kita mah gak pernah ke vihara, males,
sekarang giliran di penjara agak sering, ya
wawancara 15 Desember 2012).
menyesal juga kenapa dulu gak sering ke vihara” Upaya Mangatasi Hambatan Pembinaan
(wawancara, 22 Desember 2012).
Keagamaan Buddha
Kelima, rendahnya motivasi narapidana
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Lapas
dalam mengikuti pembinaan keagamaan, seperti
Pemuda Tangerang dalam mengatasi hambatan
diungkapkan Dede dan Toni berikut.
antara lain sebagai berikut.
“Anak-anak banyak yang males, Pak” (Dede,
wawancara 22 Desember 2012). “Ada berapa Pertama, pihak Lapas akan menginventarisasi
temen, Pak, yang mengikuti pembinaan kebutuhan fasilitas pembinaan keagamaan dari
keagamaan Kristen, di sono kalau dah selesai
semua agama, dan akan mencoba memenuhi di
diberi bingkisan Pak, ada sabun mandi, sikat gigi,
pasta gigi, enak dah pokoknya” (Toni, wawancara tahun depan.
22 Desember 2012). “...ya kita inventarisasi dulu mas kebutuahnnya
apa, yang urgent kita anggarkan di anggran tahun
b. Aspek Eksternal berikutnya, walaupun nanti pelaksanaannya
Aspek eksternal yang menjadi penghambat tidak semudah itu mas” (Imantoro, wawancara 15
Desember 2012).
Pembinaan Keagamaan Buddha di Lapas Klas
IIA Pemuda Tangerang sebagai berikut. Kedua, pihak Lapas bekerjasama dengan
IPTI mengadakan perayaan hari raya Waisak di
Pertama, minimnya koordinasi dan
Cetiya Kusala Cetana. Selain itu tiap tiga bulan
komunikasi penyelenggaraan pembinaan
akan diadakan perayaan ulang bersama di Cetiya
keagamaan Buddha dengan instansi pemerintah
untuk para narapidana yang beragama Buddha
maupun non pemerintah yang concern terhadap
pada saat jadwal pembinaan.
penyuluhan agama Buddha (Imantoro,
“Untuk perayaan ulang tahun bersama sudah
wawancara 15 Desember 2012). dijalankan sejak April 2012” (Imantoro,
Kedua, rendahnya kepedulian masyarakat. wawancara, 15 Desember 2012).
Masyarakat baik perorangan maupun secara Ketiga, pihak Lapas bekerja sama dengan
organisasi (lembaga swadaya masyarakat) harus Dinas Pendidikan mengadakan program
ikut berperan dalam pembinaan narapidana, pendidikan penyetaraan yaitu Kejar Paket
tentunya setelah ada kerja sama dengan pihak A (setara SD), Kejar Paket B (setara SMP),
Lapas. dan Kejar Paket C (setara SMA) (Imantoro,
“...Mas, kalau mau pembinaan berhasil, paling wawancara 15 Desember 2012). Sementara itu
tidak ada tiga yang mendukung, pihak lembaga untuk meningkatkan pengetahuan Dhamma

197
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

pihak Lapas bekerja sama dengan IPTI untuk secara konseptual dan historis sangatlah berbeda.
menyediakan buku-buku yang berkaitan dengan Asas yang dianut sistem pemasyarakatan
pendidikan agama Buddha di Cetiya Kuasala menempatkan tahanan, narapidana, anak
Cetana. negara, dan klien pemasyarakatan sebagai subjek
dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara
Keempat, Berkaitan dengan hambatan faktor
biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang
motivasi narapidana, pihak Lapas dan para
pembalasan, tetapi dengan pembinaan dan
pembina tidak bosan-bosannya mengingatkan
pembimbingan. Perbedaan kedua sistem tersebut
para narapidana untuk mengikuti kegiatan
berimplikasi pada perbedaan dalam cara-cara
pembinan keagamaan Buddha setiap hari
pembinaan dan pembimbingan serta membawa
sabtu, selain itu sosialisasi kegiatan ini ke para
dampak mengedepankan demokrasi pembinaan
narapidana beragama Buddha yang berada di sel-
yang mengutamakan penghormatan dan
sel juga dilakukan.
penegakan hak asasi manusia (para narapidana).
“Para Romo Pandita dan Pembina keagamaan
lain ini yang mengeluarkan keterangan perubahan Dalam pelaksanaan pembinaan keagamaan
perilaku narapidana. Surat itu akan berguna bagi Buddha di Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang,
sebagai syarat pengajuan cuti, diharapkan dengan
telah dilakukan pola baru yaitu sistem
cara ini akan memotivasi narapidana untuk
mengikuti pembinaan keagamaan” (Suratmin, pemasyarakatan dengan fokus pembinaan
wawancara 13 Desember 2012). reintegrasi sosial sebagai perubahan dari sistem
lama kepenjaraan yang menekankan pembalasan
Kelima, Berkaitan dengan hambatan
kepada para narapidana. Pada prinsipnya pola
faktor eksternal, Pihak Lapas mengajukan
pembinaan sesuai dengan teori-teori pembinaan
surat permohonan kepada Pembimbing
yang telah dikemukakan di landasan teori. Teori
Masyarakat Buddha Kantor Wilayah Banten)
yang digunakan dalam pembinaan keagaman
untuk mengirimkan tenaga penyuluh agama
Buddha di Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang
Buddha melakukan pembinaan di Lapas Pemuda
adalah Teori Relatif (Utilitarian) dan Teori
Tangerang minimal tiga bulan sekali. Hasilnya
Gabungan (integratif). Teori Relatif (Utilitarian)
Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang mendapat
dikatakan sesuai dengan pola pembinaan di Lapas
jadwal penyuluh agama dari Bimas Buddha
Pemuda Tangerang karena penjatuhan hukuman
setiap dua bulan sekali. Selain itu Lapas juga
bagi para narapidana sebagai upaya membuat
akan menjalin kerjasama dengan Majelis-
efek jera yang berguna mencegah terulangnya
majelis agama Buddha (Imantoro, wawancara 15
kembali tindak kejahatan yang pernah diperbuat
Desember 2012).
dan untuk menjaga ketertiban umum, meskipun
realitasnya masih ada residivis. Terkait hal
Pola Pembinaan Keagamaan tersebut Kasi Pembinaan Narapidana, Imantoro,
Pembinaan keagamaan bagi narapidana menyatakan sebagai berikut.
di dalam Lapas tidak terlepas dari dinamika “Kalau untuk mengetahui apakah narapidana
yang bertujuan memberikan bekal kepada yang keluar dari Lapas Pemuda ini menjadi
narapidana dalam menyongsong kehidupan baru residivis atau tidak itu susah mas. Masalahnya
kalau narapidana tersebut melakukan kejahatan
setelah bebas untuk mencapai reintegrasi sosial
lagi tapi di luara daerah Tagerang, kan itu susah
atau pulihnya hubungan dengan masyarakat.
melacaknya” (wawancara, 15 Desember 2012).
Diharapkan para narapidana dapat lebih giat
mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan Teori Gabungan juga sesuai dengan pola
sehari-hari sehingga mampu menjalani pembinaan narapidana di Lapas Pemuda
kehidupan normal dan turut serta berkontribusi Tangerang. Hal tersebut tampak pada penempatan
dalam pembangunan masyarakat. Perubahan dari narapidana di Lapas Pemuda Tangerang yang
sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan membatasi kemerdekaan mereka dengan

198
Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha
Kemanya Karbono, halaman 191-202

tujuan mencegah kejahatan, menjaga ketertiban tetapi belum sepenuhnya berjalan. Hal ini karena
masyarakat, dan untuk memeperbaiki pelaku kurang baiknya komunikasi dan koordinasi antar
kejahatan agar berperilaku wajar dan pantas pihak terkait. Solusi lain yang bisa diambil di
dengan mengajarkan nilai-nilai keagamaan. antaranya pihak Lapas mengangkat pegawai
pembina agama Buddha dengan latar belakang
Kerjasama yang dibangun antara Lapas pendidikan yang sesuai (misalnya yang berlatar
Pemuda Tangerang dengan pihak ketiga (IPTI) belakang pendidikan tinggi psikologi dan agama
yang mengatur jadwal Romo Pandita dari Buddha) agar pembinaan bisa maksimal.
berbagai majelis agama Buddha di Indonesia
Berdasarkan temuan penelitian, jenis
untuk melakukan pembinaan keagamaaan pembinaan keagamaan Buddha di Lapas Pemuda
Buddha di Lapas Pemuda Tangerang di bawah Klas IIA Tangerang antara lain ceramah agama
pengawasan pihak Lapas adalah salah satu untuk meningkatkan pengetahuan dan keyakinan,
bentuk pertanggungjawaban Lapas atas tidak latihan pembacaan Paritta, latihan Puja Bakti
adanya petugas pembina agama Buddha. Hal ini (sembahyang), praktek meditasi (samadi), dan
sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik sedikit Vihara Gita (lagu-lagu Buddhis). Dalam
Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang hal ini Romo Adi Triswantoro menyatakan:
Pemasyarakatan, Pasal 9 yang berbunyi: “Tujuan pembinana kegaamaan Buddha, baik
Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan di Lapas maupun di luar Lapas, paling tidak
pembimbingan Warga Binaan pemasyarakatan bertujuan memperkuat keyakinan (saddha),
(WBP), Menteri dapat mengadakan kerjasama mengajarkan tatacara ritual (puja bakti),
dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang membentuk moralitas, dan agar umat bertambah
kegiatannya seiring dengan penyelenggraan pengetahuan dhammanya. Dengan memberikan
sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksdud pembinaan keagamaan terhadap narapidana
dlam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan diharapkan akan terjadi perubahan ke arah sikap
Pemerintah.
religi yang lebih baik, diharapkan mereka menjadi
Meskipun demikian, penyelenggaraan bertobat setelah mendengarkan ajaran Buddha
pembinaan keagamaan Buddha di Lapas secara bersama-sama dengan narapidana lain
Pemuda Tangerang berdasarkan hasil dan akan timbul emosi keagamaan” (wawancara
pengamatan dan wawancara dengan beberapa 3 Desember 2012).
informan menunjukan bahwa peran Lapas Hal ini senada yang diungkapkan
dalam mengkoordinasikan program-program Koentjaraningrat (1987) bahwa kelakuan
pembinaan dengan unsur-unsur pendukung manusia yang bersifat religi bisa terjadi karena
sistem pemasyarakatan di luar Lapas dirasa adanya suatu getaran atau emosi yang timbul
belum optimal. Ketua IPTI menyatakan sebagai dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh
berikut. rasa persatuan sebagai warga masyarakat.
“Peran Lapas perlu ditingkatkan terutama dalam Jenis pembinan keagamaan Buddha yang
menjembatani kebutuhan-kebutuhan bagi sudah berjalan tersebut dirasa kurang optimal.
narapidana sehingga ada kegiatan pembinaan Menurut penulis, pembinaan keagaman Buddha
keagamaan Buddha yang meningkatkan animo
untuk para narapidana, agar mencapai hasil lebih
narapidana, misalnya kerjasama dengan majelis
agama Buddha untuk melakukan perayaan hari maksimal, paling tidak ada beberapa jenis.
raya Waisak di Lapas, kayak Islam itu loh, kalau 1. Dhammadesana (ceramah Dhamma), sebagai
Maulud Nabi kan dirayakan di Lapas, malah metode penerangan agama Buddha dengan
para narapidana yang jadi panitianya” (Hendra,
tujuan meningkatkan pengetahuan untuk
wawancara 14 Desember 2012).
penghayatan, pengamalan, dan keyakinan
Penting untuk diketahui bahwa dukungan (meningkatkan saddha) serta meningkatkan
dari instansi pemerintah (dalam hal ini bakti kepada agama, masyarakat, bangsa dan
Kementerian Agama) meskipun sudah ada, negara.

199
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

2. Dhammasakaca (diskusi Dhamma), bisa Bentuk ataupun metode pembinaan


dilakukan dengan cara membahas tema keagamaan Buddha, baik di dalam Lapas
tertentu dan didiskusikan bersama-sama maupun di luar Lapas, bertujuan meningkatkan
para narapidana, atau dengan melakukan kedalaman spiritualitas secara individu, jangan
bimbingan dan konseling, dengan sampai hanya terjebak dalam euforia semu,
metode ini diharapkan narapidana dapat pelaksanaan agama jangan hanya didominasi oleh
mengungkapkan permasalahannya secara unsur ekspresi kemeriahan fisik, meningkatnya
terbuka dan para Romo Pandita dapat kuantitas pelaksanaaan sembahyang (pujabakti),
menyampaikan Dhamma secara implisit dan ramainya Vihara oleh umat.
sehingga mudah diterima.
Pembinan keagamaan Buddha di Lapas Klas
3. Vihara Gita, atau lagu-lagu Buddhis (lagu- IIA Pemuda Tangerang yang dilaksanakan oleh
lagu kerohanian) ini digunakan sebagai para Romo Pandita tanpa honor sedikitpun.
media untuk menyampaikan ajaran Buddha Hal tersebut merupakan loyalitas dan bentuk
dan memperdalam keyakinan umat dirasa pengabdian serta kewajiban sebagai Romo
sangat efektif. Pandita. Hal ini sesuai dengan 5 cara benar
mengajarkan Dhamma/5 sifat yang harus dimiliki
4. Dharma Yatra, metode ini memiliki
oleh pembabar Dhamma (dhammakathika)
pengertian usaha untuk meningkatkan
menurut Udayi Sutta seperti yang sudah dibahas
pemahaman, pengamalan dan keyakinan
di landasan teori. Namun demikian, pembinan
para narapidana melalui kunjungan untuk
keagamaan Buddha di Lapas Klas IIA Pemuda
melakukan ritual ke tempat suci yang
Tangerang belum memiliki kurikulum, ini dirasa
berkaitan dengan agama Buddha. Metode
sebagai salah satu titik lemah. Salah satu fungsi
ini sebagai bentuk pembinaan ektramural
kurikulum adalah sebagai alat atau jembatan
(pembinaan di luar Lapas) seperti yang telah
untuk mencapai tujuan pendidikan, jika tujuan
dikemukakan pada landasan teori. Metode
pendidikan tidak tercapai maka yang ditinjau
ini hanya khusus untuk narapidana yang
kembali adalah alat untuk mencapai yaitu
sudah mendapat cuti bebas. Akan tetapi,
kurikulum. Penyususnan kurikulum pembinaan
metode ini bisa diterapkan dengan bantuan
keagaaan Buddha di Lapas dapat dilakukan oleh
media elektronik yaitu dengan menayangkan
Kementerian Agama, dalam hal ini adalah Dirjen
film-film tentang tempat suci agama Buddha.
Bimas Buddha, sebagai pihak pembuat kebijakan.
5. Dharma Sadhana (praktek/retreat meditasi), Selain kurikulum pembinaan keagamaan
metode ini juga dirasa sangat tepat untuk seharusnya, dalam perencanaan, pelaksanaan
para narapidana yang memiliki waktu luang maupun evaluasi melibatkan narapidana baik.
banyak.
Komponen yang mendukung keberhasilan
6. Dharma Santi (perayaan hari-hari besar pembinaan narapidana setidaknya ada empat hal
keagamaan), selain untuk meningkatkan yakni: (1) diri narapidana sendiri; (2) keluarga;
keyakinan dengan melakukan upacara (3) masyarakat; dan (4) petugas, yang dalam hal
perayaan hari besar keagamaan ini juga ini dapat berupa polisi, pengacara, petugas Lapas,
bermanfaat sebagai sarana interaksi para petugas keagamaan dan lain-lain (Priyanto, 2006).
narapidana satu dengan yang lainnya. Jenis Keempat komponen ini harus dioptimalkan agar
pembinaan ini memerlukan dana yang cukup tujuan dari pembinaan dapat tercapai. Rendahnya
besar, tetapi hal tersebut dapat diwujudkan tingkat pendidikan, rendahnya pemahaman
dengan kerjasama yang baik antara, pembina, Dhamma, rendahnya motivasi mengikuti
narapidana, Lapas, keluarga narapidana dan pembinaan adalah faktor-faktor penghambat
masyarakat. yang dapat diinventarisasi dalam penelitian ini,

200
Kolaborasi Pandita dan Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dalam Membina Keagamaan Narapidana Buddha
Kemanya Karbono, halaman 191-202

yang mana faktor penghambat tersebut berasal PENUTUP


dari narapidana sendiri. Solusi yang paling tepat
Pembinaan keagamaan Buddha di Lapas
untuk mengatasi hal ini tentu harus muncul dari
Klas IIA Pemuda Tangerang sudah berjalan dan
narapidana sendiri, sedangkan pihak luar seperti
terintegrasi dalam program pembinaaan Lapas.
Romo Pandita dan petugas Lapas hanya sebagai
Seminggu satu kali setiap hari Sabtu pukul
stimulan saja.
08.00-12.00 WIB, bertempat di Cetiya Kusala
Jumlah narapidana beragama Buddha di Cetana yang terletak di dalam Lapas. Dalam
Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang sebanyak 77 pelaksanaannya, Lapas bekerja sama dengan
orang (3.84%) merupakan angka yang cukup lembaga luar yakni, Ikatan Pemuda Tionghoa
tinggi mengingat pemeluk agama Buddha Indonesia (IPTI) yang mengkoordinir para Romo
adalah minoritas di Tangerang. Oleh karenanya, Pandita dari berbagai majelis agama Buddha.
sudah selayaknya pihak Lapas meningkatkan Model pembinaan adalah direct contact yaitu
pembinan keagamaan Buddha. Salah satu cara Romo Pandita melakukan pembinaan dengan
adalah mengangkat petugas pembina agama bertatap muka langsung dengan narapidana.
Buddha di lingkungan Lapas Klas IIA Pemuda Sistem yang digunakan adalah top down
Tangerang. Dengan mengatasi hambatan dari approach, dalam hal ini narapidana tidak ikut
beberapa komponen tersebut maka keberhasilan terlibat dalam menentukan jenis pembinaan.
pembinaan keagamaan Buddha dapat tercapai. Bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain: (1)
Pada hakikatnya, manusia itu dapat berubah, Dhammadesana (ceramah Dhamma); (2) latihan
dalam artian pribadi manusia dapat dan mudah membaca Paritta dan Puja Bhakti (sembahyang);
dipengaruhi oleh sesuatu. Adanya faktor (3) Vihara Gita (lagu rohani); dan (4) Dhamma
penghambat dan faktor pendukung, seperti Sadhana (retreat meditasi).
yang sudah diinventarsisasi dalam penelitian Pelaksanan pembinan dipengaruhi oleh
ini, seharusnya mendorong para pegawai secara adanya faktor penghambat dan faktor pendukung.
struktural di jajaran lembaga pemasyarakatan Faktor penghambat terdiri dari: (1) Minimnya
untuk meningkatkan faktor pendukung dan sarana pembinaan; (2) Tidak ada petugas khusus
meminimalisasi serta mencari solusi dari Pembina agama Buddha dari Lapas; (3) Kualitas
hambatan dalam pembinaan keagamaan Buddha. dan ragam pembinaan yang kurang bervarian;
Dengan demikian, tujuan penyelenggaraan (4) Pendidikan dan pemahaman Dhamma para
pemasyarakatan yaitu reintegrasi sosial dapat narapidana rendah; (5) Motivasi narapidana
tercapai. mengikuti pembinaan rendah; (6) Beberapa
Pihak Lapas harus menjalin komunikasi dan narapidana mengalami kendala bahasa dalam
koordinasi dengan instansi lain (pemerintah pembinaan (terutama narapidana Buddhis yang
maupun non pemerintah) yang concern terhadap berasal dari luar negeri); (7) Koordinasi dengan
pembinaan keagamaan Buddha. Publikasi pihak lain untuk melakukan pembinaan masih
pembinaan keagamaan Buddha dirasa penting minim; (8) Publikasi pembinaan keagamaan
untuk menghilangkan stigma buruk yang masih Buddha di Lapas minim, implikasinya dukungan
melekat di masyarakat terhadap narapidana. masyarakat terhadapa pembinaan rendah.
Dengan demikian diharapkan masyarakat Hambatan dalam pembinaan keagamaan
peduli dan ikut berkontribusi dalam pembinaan Buddha diatasi oleh pihak Lapas Klas IIA Pemuda
narapidana. Kementerian Agama (dalam hal ini Tangerang dengan dilakukan berapa hal-hal,
Dirjen Bimas Buddha) harus segera menyusun antara lain: (1) Menambah sarana pembinaan
kurikulum pembinaan keagamaan Buddha untuk termasuk penyediaan buku-buku keagamaan
para narapidana. Buddha; (2) Bekerjasama dengan Romo Pandita

201
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 02 Desember 2015

dan para narapidana dalam penyusunan program Suprayogo, Tobroni, 2003. Metodologi Penelitian
pembinaan agar lebih efektif dan variatif; (3) Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja
Menjalin komunikasi dan koordinasi dengan Rosdakarya.
Bimas Buddha Banten untuk penjadwalan rutin
Syukur, Ellyna. 2011. Sitem pemasyarakatan
Penyuluh Agama Buddha, menjalin kerjasama
di Indonesia (Sistem Penjara ke Sistem
dengan majelis-majelis agama Buddha dalam hal
pemasyarakatan). Jurnal Penelitian Hukum
penjadwalan pembinaan.
APHI, DE JURE. ISSN 1410-5632 Vol. 11.
No.2, Maret – Mei 2011.
DAFTAR PUSTAKA Perundang-undangan
FISIP UI. 1974. Diktat Tentang Pembinaan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Deliquensi, Seri Bacaan Wajib No 6. Jakarta:
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
UI Press.
Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan
Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun
Narapidana. Jakarta: Djambatan.
1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana.
Jalaludin, 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Raja
Grafindo. Internet:
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitet Magabudhi Kota Tangerang. 2012. “Sejarah
dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Magabuddhi” http://magabudhi-kotang.
Gramedia. org/ diakses, 13 Oktober 2012.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Anak Angkat, Rano Karno dan Obat Terlarang.
Kualitatif (edisis revisi). Bandung: PT http://www.kompasiana.com/ diakses, 2
Rosadakarya. Oktober 2012.
Nyanaponika, Bodhi. .2003. Numerical
Discourses of The Buddha. terjemahan Referensi Lain
Wena, Lanny. Klaten: Vihara Bodhivamsa Dokumentasi Lapas Tangerang Tahun 2012
Wisma Dhammaguna Klaten.
Priyatno, 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Informan
Penjara di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama. Tetra Destorie Imantoro, Kasi Pembina
Narapidana dan anak didik.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Suratmin, Kasi Pembina Narapidana
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hendra, Ketua IPTI
Sanjivaputta, Jan. 1991. II-1. Mangala Berkah Romo Adi Triswantoro (rohaniawan)
Utama. Lembaga Pelestari Dhamma. Romo Kartika Yos (rohaniawan)
Setiawan, Anton. 2009. Pelaksanaan Pembinan Romo Adi Triswantoro (rohaniawan)
Menurut Undang–Undang Nomor 12 Tahun
Dede, Rudi, Toni, (narapidana).
1995 tentang pemasyarakatan (Studi di Lapas
Klas IIA Binjai). Tesis: Pasca Sarjana USU.
Sudjana, Djuju. 2006. Evaluasi Program
Pendidikan luar Sekolah: Untuk Pendidikan
Nonformal dan Pengembangan Sumber
daya Manusia. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya

202

S-ar putea să vă placă și