Sunteți pe pagina 1din 15

POTRET KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI AGAMA


Dzakiyyah Fauziyah Rif’at
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo
Email: dzakiyyah27fauziyah@gontor.ac.id

Abstract
Indonesia is a country that has a variety of tribes, culture, language, traditions,
arts, way of life and even the diversity of religions. Religion as an important
element that regulates, binding and control the society with values has the
distinction of the concept. Sense of responsibility in the religions to defend and
maintain the value of their respective religions, when met with the familiar
differences and opinions without grounded with good understanding, could trigger
disputes and conflicts between people of religion. The religion accused of being
the cause of splits that occur in Indonesia. Through with this article, the author
wants to describe about the conflicts that occur in Indonesia. To analyze the
factors that become the cause of conflict. From the results of the study showed
that the conflicts that occur in general due come from within and outside of the
religion itself, as a factor of social, economic, and even political. Truth claims and
the doctrine of jihad adding by wrong understood to indicate that a believer may
have been stuck in their dogma. Then grow a shallow interpretation without
backing up adequate intellectual attitude coupled with the excessive fanaticism.
The differences there are good feelings, dissent from the background, interests and
changes in value that occurs, when addressed with professional, rational and cool
head, it will not cause a troubling conflict and detrimental to many people. Then
in an attempt to help minimize the occurrence of conflicts, the Government plays
an important role in making the wisdom which is not leaning on one of the parties.
Thus, the harmony and peace in a plural society can be realized.
Keyword: Conflict, People of Religion, Sosiology of Religion, Problem, Religion

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan suku, budaya, bahasa,
tradisi, kesenian, cara hidup dan bahkan agama yang beranekaragam. Agama
sebagai elemen penting yang mengatur, mengikat dan mengontrol masyarakat
dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya memiliki perbedaan konsep. Rasa
tanggung jawab para pemeluk agama untuk membela dan menjaga nilai agama
mereka masing-masing, apabila bertemu dengan perbedaan-perbedaan paham dan
pendapat tanpa dilandasi dengan pemahaman yang baik dapat memicu
perselisihan dan konflik antar umat beragama. Agamapun dituduh menjadi sebab
terjadinya perpecahan yang terjadi di Indonesia. Melalui dengan artikel ini,
penulis ingin mendeskripsikan mengenai konflik yang terjadi di Indonesia. Untuk
kemudian menganalisa faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Dari hasil
pengkajian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi pada umumnya dikarenakan
berasal dari dalam maupun luar agama itu sendiri, seperti faktor sosial, ekonomi,

1
dan bahkan politik. Klaim kebenaran dan doktrin jihad yang salah dipahami
menunjukkan bahwa suatu penganut telah terjebak dalam dogma. Kemudian
menumbuhkan intepretasi yang dangkal tanpa back up intelektual yang memadai
ditambah dengan sikap fanatisme yang berlebihan. Perbedaan-perbedaan yang ada
baik dari perbedaan pendapat perasaan, latar belakang, kepentingan dan
perubahan nilai yang terjadi, apabila disikapi dengan profesional, rasional dan
kepala dingin, maka tidak akan menimbulkan konflik yang meresahkan dan
merugikan banyak orang. Maka dalam upaya untuk membantu meminimalisir
terjadinya konflik, pemerintah berperan penting dalam pengambilan
kebijaksanaan yang tidak condong pada salah satu pihak. Dengan demikian,
keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat yang plural dapat terwujud.
Kata Kunci: Konflik, Umat Beragama, Sosiologi Agama, Problem, Agama

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki banyak pulau, suku


budaya, juga memiliki kemajemukan bahasa, tradisi, kesenian, cara hidup dan
bahkan agama. Telah tercatat ada lima agama yang telah diresmikan oleh
pemerintah yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha.
Selebihnya, ia hanya merupakan aliran kepercayaan dan kebatinan yang belum
memiliki legalitas dari pemerintah.

Kemajemukan agama dan keyakinan yang dimiliki Indonesia mengandung


nilai positif dan negatif. Kemajemukan ini merupakan sumber nilai dan local
wisdom bagi keutuhan bangsa ini. Pun juga ia memiliki kendala yang sama
banyaknya dalam hal negatif bahkan lebih dari keuntungan yang ada. Salah satu
yang menjadi persoalan diantara negara yang memiliki kemajemukan agama
adalah adanya konflik antar umat beragama. Tak dapat dipungkiri, bahwa hal
tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara Barat konflik tetap
tidak dapat terhindarkan.1

Agama memiliki fungsi sebagai pedoman hidup seseorang yang mengatur


nilai-nilai dan cara pandang seseorang. Agama dianggap sakral dan suci hingga
patut untuk terus dilindungi. Hingga muncullah rasa fanatisme dan eksklusivisme

1
Abu Hapsin, dkk., 2014, “Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat Beragama:
Perspektif Tokoh Lintas Agama”, dalam Wali Songo, Vol. 22, Nomor 2, Institut Agama Islam
Negreri Wali Songo, November, 325

2
berlebihan pada masing-masing penganut agama tersebut. 2 Maka kedua rasa yang
dimiliki penganut agama tersebut yang nantinya dapat memicu konflik yang
terjadi antar umat beragama khususnya di Indonesia. Mereka tidak ingin agama
yang mereka junjung tinggi dihina ataupun disakiti oleh pihak lain hingga pada
taraf berburuk sangka terhadap umat agama lain.

Dalam hal ini, perbedaan persepsi antar umat beragama dapat


menimbulkan benih-benih konflik. Meskipun permasalahan tidak berakar
langsung terhadap agama tersebut. Namun persepsi yang berbeda dalam
memandang suatu hal dapat menimbulkan perselisihan yang berujung pada
adanya konflik meski tidak dimaksudkan sebelumnya. Hal ini ditambah dengan
perbedaan cara memandang orang lain dalam perbedaan perspesi tersebut.
Contoh, orang Batak dari sudut pandang orang Batak dikenal dengan pribadi yang
terbuka dan blak-blakan, tapi bagi orang Jawa maupun Sunda, hal tersebut
dianggap kasar. Prasangka inilah yang apabila terjadi dalam konteks keagamaan
akan menimbulkan konflik.3

Konflik yang ada dalam umat beragama tak ayal menjadi sesuatu yang
amat pelik untuk diselesaikan karena beberapa hal. Pertama, menguatnya
fundamentalisme, radikalisme bahkan terorisme di tanah air. Kedua, kedewasaan
beragama belum optimal ditambah dengan rendahnya peran serta masyarakat
dalam menciptakan kerukunan intern dan antar umat beragama. Ketiga, belum
adanya undang-undang organik yang berfungsi sebagai pelaksanaan dari pasal 29
UUD Negara Republik Indonesia. Keempat, kegamangan pemerintah dalam
menegakkan hukum di masyarakat apabila terjadi konflik bernuansa agama.4

Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia bernuansa agama, seperti


Konflik Poso, konflik Maluku dan Maluku Utara, konflik Kalimantan dan kasus-
kasus lain. Fenomena ini menggambarkan suatu ironi di satu pihak dikatakan
bahwa kehidupan beragama di Indonesia moderat, toleran dan damai. Akan tetapi

2
Taufiqurrahman, Kerukunan dalam Beragama, Makalah, Seminar Kerukunan Umat
Beragama di MUI Jawa Tengah, 8-9 November 2013, 3
3
Suwarsih Warnaen, Stereotip Etnik Suatu Bangsa Multi Etnik, (Jakarta: tp., 1979), hlm.
457
4
Abu Hapsin, dkk., ”Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik ...”, hlm. 325

3
di pihak lain, justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu munculnya ekskusivat
keberagaman dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk.

Konflik-konflik yang terjadi ini dapat memicu terjadinya perpecahan


dalam tubuh Indonesia sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
akan terancam dan rentan oleh serangan dari luar, baik berupa ideologi maupun
benturan fisik. Maka, melihat kepada pentingnya pemahaman mengenai konflik-
konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya perbincangan mengenai agama, maka
akan dibahas pada makalah kali ini tentang konflik yang terjadi di Indonesia,
faktor dan pengaruhnya.

Tinjauan Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren. Ini artinya konflik akan senantiasa ada dalam
setiap ruang dan waktu, dimana dan kapan saja, tidak dapat dihindari
kemunculannya. Dalam pandangan ini, masyarkat merupakan arena konflik atau
arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selaly mengisi setiap
kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah
adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan
sosial tidak ada satupun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari
unsur jenis, etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari
konflik yang ada beberapa diantaranya ada yang dapat diselesaikan, akan tetapi
ada pula yang tidak dapat terselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi
kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik
sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang kecil hingga
peperangan. Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.5

Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian


fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui konflik kelas sampai
pada peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu
5
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalah Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), 345

4
perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian
kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisisr atau dilangsungkan atau
dieliminir saingannya.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konflik


berarti percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial
yaitu pertentangan antara anggota atau masyarakat yang besifat menyeluruh di
kehidupan.7 Sedangkan dalam kamus sosiologi konflik adalah proses pencapaian
tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan
nilai yang berlaku.8

Dalam pengertian lain, konflik adalah suatu proses sosial yang


berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
saling menentang dengan ancaman kekerasan.9

Menurut Robert M.Z Lawang, konflik diartikan sebagai perjuangan untuk


memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan dan lain
sebagainya. Dimana dalam hal tersebut memiliki tujuan yang tidak hanya
memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik
dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok
dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan,
baik ekonomi, politik, budaya dan sosial, yang relatif terbatas.10

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan dapat diambil kesimpulan


bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi
antar anggota atau masyarakat denga tujuan untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. Konflik
sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain
di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap mengancam, menekan,
hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu
6
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1998), 156
7
Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 587
8
Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 99
9
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), 68
10
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1994), 53

5
proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang relatif
sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik
itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan
eksistensi. Akan tetapi juga bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi
orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

Indonesia dikenal sebagai suatu dodok masyarakat dan negara yang


pluralistik. Yang mana memiliki kemajemukan dan keberagaman dalam hal
agama, tradisi, kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut
oleh kelompok-kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia.11 Pada suatu sisi
pluralistik dalam bangsa Indonesia bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi
disisi lain juga menjadis sebuah kekuatan yang negatif dan destruktif yang dapat
berakibat pada disintegrasi bangsa. Kenyataannya sejarah masyarakat adalah
mutli-complex yang mengandung religious pluralism. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, mengakui adanya
religious pluralism di dalam masyarakat Indonesia.12

Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya


benturan-benturan atau konflik yang terjadi di antara mereka. Konflik antar umat
beragama yang terjadi di tanah air semakin memprihatinkan. Bahkan dengan
adanya konflik-konflik baru akan bisa merambah ke daerah lain kalau masyarakat
mudah menerima isu dan terprovokasi.13

Dari konflik-konflik yang terjadi saat ini sebenarnya dapat terbagi menjadi
dalam dua tipe, yaitu konflik vertikal dan horizontal. Koflik vertikal merupakan
konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada
penguasa. Sedangkan konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antar
komunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek. Misalnya komunitas lain yang

11
Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yigya, 1999), 193
12
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan dalam
Bingkai Persatuan), (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 11
13
Hamdan Daulay, Dakwah di Tengan Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Lesti,
2001), 137

6
dianggap mengancam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas
kelompok.14

Pada era reformasi ini, konflik-konflik antar umat beragama sangat


kompleks di Indonesia. Karena konflik antar umat beragama meningkat dan
terjadi di berbagai daerah. Hal tersebut dibuktikan dengan survey yang dilakukan
oleh Dr. Nawari Ismail, M.Ag. dalam survey yang dilakukan olehnya, konflik
antar umat beragama sangat mecemaskan karena telah mencapai prosentasi
sebesar 73%. Dan koflik antar umat beragama ini terus terjadi sampai saat ini.
Menurutnya konflik antar umat beragama ini terjadi dan melibatkan aspek-aspek
lainnya, seperti persoalan politik, kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi,
pendidikan dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah.15

Masyarakat Indonesia di hampir semua suku, agama, etnik dan golongan


serta daerah, bagaikan ilalang kering yang sangat mudah terbakar atau dibakar.
Seperti konflik yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Sangat sulit
diterima akal sehat seorang ibu keturunan etnik Tionghoa (Cina) yang datang ke
Masjid untuk memprotes karena kumandang azan mengganggu yang
bersangkutan, kemudian masyarakat Muslim di sekitar itu marah dan membakar
puluhan Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Menurut Marsudi
Utoyo, tidak mungkin terjadi konflik “SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan) yang terjadi begitu hebat di Tanjung Balai, Sumatera Utara, jika tidak
ada prolog yang membuat masyarakat Islam disana tidak suka, benci, anti dan
marah terhadap etnik Tionghoa (Cina).16

Di dalam koflik antar agama itu sendiri, muncul tindakan yang justru
bertentangan dengan ajaran agama. Dikarenakan emosi yang tidak dapat
terkendali sehingga dengan mudahnya mereka bertindak anarki dan tidak rasional
diluar ajaran agama. Jika dikaitkan antara ajaran agama dan tingkah laku umat
yang membakar tempat ibadah dan membunuh sesama umat sungguh sangatlah

14
Stev Koresy Rumagit, 2013, “Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di
Indonesia”, dalam Jurnal Lex Administratum, Vol. 1, No. 2, Januari-Maret, 57
15
Nawari Ismail dan Muhaimin AG, Konflik Umat Beragama dan Budaya Lokal, Lubuk
Agung, 2011
16
Marsudi Utoyo, 2016, “Akar Masalah Konflik Keagamaan di Indonesia”, dalam Jurnal
Lex Librum, Vol. 3, No. 1, Desember, 369

7
kontroversional. Padahal semua agama mengajarkan betapa penting dan urgen
suatu kedamaian dan kerukunan. Kalaupun terjadi konflik antar umat beragama,
maka bukanlah ajaran agamanya yang salah, tetapi umat beragamanya yang
sempit dalam memahami ajaran.

Konflik dalam Pandangan Umat Beragama

Konflik antar umat beragama selalu dipandang sebagai sesuatu yang


berkonotasi negatif. Karena akibat yang ditimbulkan selalu membuat kerugian
dibanyak pihak. Juga tidak adanya keuntungan dari terjadinya konflik. Namun,
ditinjau dari pandangan umat beragama, terdapat beberapa motivasi dan alasan
yang tidak bisa dihindari, sehingga memicu terjadinya konflik.

Pada peristiwa Maulaboh di Aceh Barat, umat Islam melakukan protes


atas dibangunnya sebuah gereja di tengah-tengah perkampungan kaum muslimin
yang tidak ada pemeluk Kristennya, tetapi golongan Kristen tidak
mengacuhkannya. Maka terjadilah peristiwa Meulaboh itu. Juga peristiwa
Makassar yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1967, ketika sebuah gereja
dilempari batu-batu. Suatu peristiwa yang diawali penghinaan oleh seorang
pendeta Kristen kepada Nabi Muhammad, yang berkata pada murid-murid yang
beragama Islam pada suatu sekolah bahwa Muhammad adalah seorang pezina,
seorang yang bodoh dan tolol, dan tidak pandai menulis dan membaca.17

Konflik berkepanjangan yang terjadi di Poso dari tahun 1992-2001 18


adalah bagian dari konflik individu yang kemudian merembes lebih luas sampai
menyetuh level agama. Padahal bila merujuk pada akar sejarahnya, bahwa awal
mula terjadinya konflik bertumpu pada sistem budaya, dalam hal ini menyangkut
soal suku dan agama. Dua unsur inilah yang kemudian muncul ke permukaan dan
menjadi bom waktu bagi perpecahan umat beragama di Poso.

Juga konflik yang terjadi antara umat Islam dan Kristiani di Bogor,
kiranya sudah bukan murni lagi masuk dalam ranah agama. Ia kemudian
berkembang menjadi permasalahan politik. Konflik tersebut diawali dengan

17
Khotimah, 2011, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Jurnal
Ushuluddin, Vol. 17, No. 2, Juli, 215
18
Konflikposo.blogspot diakses pada 22 April 2018

8
protes sebagian umat Islam dari forum ulama dan ormas Islam se-Bogor atas
dibangunnya GKI Yasmin yang telah berdiri sejak tahun 2000. Yang kemudian
izinnya dibekukan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamana Bogor, Yusman
Yopi. Protes terjadi karena penggugat menyebut pihak Gereja telah memalsukan
tanda tangan dukungan warga soal bangunan pada tahun 2006.

Dalam hal tersebut terdapat beberapa sebab musabab yang melatar


belakangi terjadinya ketegangan, baik intern umat beragama, maupun antar umat
beragama. Sebagaimana yang dikutip oleh Marzuki dari Departemen Agama
mengenai pedoman dasar kerukunan hidup beragama, yaitu: 1) Sifat dari masing-
masing agama yang mengandung tugas dakwah atau misi; 2) Kurangnya
pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain;
3) Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri sehingga kurang menghormati
bahkan memandang rendah agama lain; 4) Kaburnya batas anatara sikap
memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat; 5)
Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama,
antar umat beragama, maupun antar umat beragama dengan pemerintah; dan 6)
Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat.19

Harus diakui bahwa meski diantara penganut agama yang berbeda-beda


terdapat perbedaan konsep. Hal itu tidak dapat sepenuhnya dapat dianggap
sebagai satu-satunya pemicu munculnya konflik antar umat beragama. Begitu juga
dengan ketegangan yang sering muncul antara kelompok-kelompok inter umat
beragama itu sendiri. Hal tersebut tidak bisa dipandang semata-mata karena
adanya perbedaan persepsi diantara mereka. Justru konflik yang paling sering
terjadi, baik intern umat beragama ataupun antar umat beragama bermula dari
faktor-faktor yang bersifat non-agamis. Kemudian konflik tersebut terus
berkembang meluas dan sulit diprediksi kapan selesainya. Hal ini menurut
Taufiqurrahma, Kasubbag Hukmas dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil
Kemenag Provinsi Jawa Tengah, disebabkan oleh adanya fanatisme dan
eksklusivisme yang berlebihan pada masing-masing penganutnya. Kedua faktor

19
Marzuki, “Konflik Antar Umat Beragama di Indonesia dan Alternatif Pemecahannya,
hlm. 3

9
tersebut bukanlah faktor agama, tetapi merupakan faktor sikap yang ditunjukan
oleh umat atau penganut agama.20

Menurut Yusdani21 muculnya cara pandang bahwa konflik bernuansa


agama adalah karena: 1) Konflik merupakan respon terhadap kondisi yang sedang
berlangsung. Respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau
bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide,
lembaga atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
keadaan yang ditolak. 2) Konflik tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan
terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam
konflik terkandung suatu program atau world view tersendiri. Umat beragama
berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang
sudah ada. 3) Pemeluk agama memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran
program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, mereka
memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional
yang menjurus pada kekerasan.

Semua orang atau kemlompok berupaya menafsirkan kembali ajaran


agama menurut pemahamannya masing-masing. Harus disadari bahwa agama
pada level eksoteris atau syariat memang berbeda, namun pada level esoteris atau
budaya adalah sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang
sama-sama sah menuju kepada Tuhan yang satu. Realitas menunjukkan bahwa
ketegangan yang terjadi antar umat beragama justru berkaitan erat denga faktor-
faktor yang berada diluar lingkup agama itu sendiri. Karena agam sifatnya
sensitif, maka semua orang bersandar dengan mengatasnamakan agama. Itulah
problem pelik yang dihadapi oleh berbagai agama.

Faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Melihat beberapa tinjauan mengenai kasus yang terjadi diantara umat


beragam, pasti dipelopori oleh faktor-faktor yang tidak sedikit. Telah banyak
cendikiawan yang mencoba mengkaji dan mendalami akar konflik yang terjadi di
Indonesia ini.
20
Abu Hapsin, dkk., “Urgensi Regulasi Penyelesaian ...”, 353
21
Yusdani, 2013, “Book Review: Pengelolaan Konflik Umat Beragama di Indonesia”,
dalam Jurnal Jurnal Millah, Vol. 12, No. 2, Februari, 619

10
Menurut Firdaus M. Yunus, ada 2 faktor yang menyebabkan konflik antar
umat beragama, yaitu: 1) Klaim Kebenaran (Truth Claim). Masing-masing agama
memiliki ajaran yang dianggap benar oleh para pengikut dan pemeluknya. Namun
masing-masing dari tiap individu memiliki penafsiran yang berbeda satu dengan
lainnya. Bahkan dalam intern agama itu sendiri terkadang memiliki beberapa beda
pendapat. Bagi pengikut suatu agama yang sangat fanatis, kekurang pahaman
dalam mengintepretasikan agama inilah yang kemudian melahirkan bentuk
paksaan untuk menerima kebenaran kepada orang yang bahkan berbeda agama.
Hal tersebut didukung dengan adanya kekurang pahaman dalam menolerir
keberadaan agama lain; 2) Doktrin Jihad. Dalam kasus ini, teks-teks dalam agama
disalah artikan menjadi suatu kewajiban yang harus diemban oleh tiap
pengikutnya dan bersifat wajib, bahkan sampai pada taraf kafir ataupun murtad.
Ajaran agama memang doktrin, dan agama memberikan kebebasan dalam
menafsirkannya. Namun yang kemudian terjadi adalah kekerasan yang mengatas
namakan Tuhan dan agama. Padahal, kekerasan tidak dibenarkan dalam ajaran
manapun.22 Maka sekali lagi, dogma dan ajaran agam dikambing hitamkan dengan
kesalahan dalam pemahaman dan intepretasi pemeluknya sendiri.

Masing-masing dari pemeluk agama menganggap kelompok di luar


kelompok mereka sebagai yang lain atau the other. Menurut Ahmad Riyadi, hal
tersebut terjadi karena mereka sudah terjebak dalam koloni dogma masing-
masing, yang mengakibatkan pola pikir dan tindakannya juga anti keagamaan.
Mereka saling menutup kemungkinan-kemungkinan yang bisa dipertemukan
antara kedua belah pihak, sehingga polarisasi menjadi tidak sehat. Pemahaman
yang dangkal akan selalu melahirkan sikap fanatik dan akan selalu melahirkan
kekerasan. Ia mengutip Hannah Arendt dalam bukunya The Origins of
Totalitarianisme yang mengatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan
manifestasi dari upaya untuk menemukan identitas, kekerasan antara satu dan
lainnya harus dilakukan.23

22
Firdaus M. Yunus, 2014, “Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi
Pemecahannya”, dalam Jurnal Substansia Vol. 16, No. 2, Oktober, 220-221
23
Ahmad Riyadi dan Hendris, 2016, “Konflik Antar Agama dan Intra Agama di
Indonesia”, dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10, No.2, April 2016, 201

11
Hal senada juga seperti yang dikemukakan oleh St. Aisyah BM, konflik
sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena
beberapa faktor seperti: 1) Perbedaan pendirian atau perasaan individu.
Globalisasi komunikasi informasi memberi pengaruh luar biasa kepada cara
pandang, perasaan bahkan keputusan-keputusan seseorang. Perbedaan ini akan
mampu menyulut konflik apabila tidak dinegosiasikan dengan baik. 2) Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Perbedaan nilai-nilai kebudayaan ini dapat memicu timbulnya konflik. 3)
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik,
ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik. 4) Perubahan-
perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.24

Berdasarkan faktor yang dikemukakan diatas, menurut Rini Fidiyani


politik ikut melatar belakangi munculnya konflik, dalam hal ini pemerintah yang
menetapkan pengekangan atau pembatasan kebebasan beragama. Bentuk
kekangan tersebut berupa Perda atau Perwali, seperti di Tegal berupa Edaran
Walikota tentang waspada aliran Syiah (Februari 2011), Banda Aceh berupa
Perwali tentang aliran sesat dan pendangkalan aqidah (Maret 2011), Provinsi
Nangro Aceh Darussalam berup Pergub dan SKB tentang Larangan Kegiatan
Aliran Millata Abraham di Aceh (April 2011).25 Dilihat dari beberapa keputusan
pemerintah daerah yang terkesan mendiskriminasikan suatu kelompok masyarakat
dan agama, menimbulkan persepsi kebencian dan rasa tidak suka kepada
kelompok lain. Adapun kelompok yang terdiskriminasi oleh keputusan
pemerintah, tidak serta merta nantinya akan mengikuti keputusan dan kebijakan
pemerintah apabila timbul ketegangan dan konflik antara umat beragama yan
bersangkutan. Akibatnya, pemerintah gagal dalam memerankan tugasnya sebagai
penengah dan pemberi kebijaksanaan bagi masyarakat. Dan konflik pun tidak
dapat dihindari akibat dari hal tersebut.

Penutup

24
St. Aisyah BM, 2014, “Konflik Sosial dalam Hubungan Antar Umat Beragama”, dalam
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2, Desember, 195-196
25
Rini Fidiyani, 2013, “Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Belajar Keharmonisan
dan Toleransi Umat Beragama di Desa Cikakak, Kec. Wangon, Kab. Banyumas)”, dalam Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3, September, 470

12
Setelah pembahasan panjang mengenai konflik yang terjadi di Indonesia,
penulis menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan potret konflik antar
umat beragama di Indonesia. Bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki
kemajemukan hampir disetiap lini kehidupan tidak lepas dari adanya konflik,
khususnya yang terjadi di kalangan umat beragama, baik bersifat intern maupun
antar mereka. Hal tersebut merupakan gejala sosial yang lumrah terjadi di
masyarakat yang plural. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apabila
konflik-konflik tersebut tak kunjung menuai penyelesaian dan mufakat antar umat
beragama. Dimana dalam kondisi terburuknya dapat mengakibatkan terjadinya
perpecahan di Indonesia, dan bahkan peperangan yang mampu memakan banyak
korban jiwa.

Dalam hal ini, banyak sekali pendapat baik dari kalangan agamawan itu
sendiri maupun pengamat dan cendikiawan yang berusaha menyumbangkan
gagasan mengenai faktor-faktor yang menimbulkan ketegangan dan konflik.
Karena dengan memahammi faktor yang menjadi pemicu, dapat meminimalisir
terjadinya konflik dan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan demi kemaslahatan banyak orang.

Adapun faktor penting yang dapat memicu konflik berasal dari dalam
maupun luar agama itu sendiri, seperti faktor sosial, ekonomi, dan bahkan politik.
Klaim kebenaran dan doktrin jihad yang salah dipahami menunjukkan bahwa
suatu penganut telah terjebak dalam dogma. Kemudian menumbuhkan intepretasi
yang dangkal tanpa back up intelektual yang memadai ditambah dengan sikap
fanatisme yang berlebihan. Karena seharusnya perbedaan-perbedaan yang ada
baik dari perbedaan pendapat perasaan, latar belakang, kepentingan dan
perubahan nilai yang terjadi, apabila disikapi dengan profesional, rasional dan
kepala dingin, maka tidak akan menimbulkan konflik yang meresahkan dan
merugikan banyak orang. Maka dalam upaya untuk membantu meminimalisir
terjadinya konflik, pemerintah berperan penting dalam pengambilan
kebijaksanaan yang tidak condong pada salah satu pihak. Dengan demikian,
keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat yang plural dapat terwujud.

Daftar Pustaka

13
Hapsin, Abu dkk. 2014. “Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat
Beragama: Perspektif Tokoh Lintas Agama” dalam Wali Songo. Vol. 22
No. 2. Institut Agama Islam Negreri Wali Songo, November.

Riyadi, Ahmad dan Hendris. 2016. “Konflik Antar Agama dan Intra Agama di
Indonesia” dalam Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. 10 No.2, April

Balai Pustaka. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalah Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Soekanto, Soejono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Warnaen, Suwarsih.1979. Stereotip Etnik Suatu Bangsa Multi Etnik. Jakarta: tp.

Taufiqurrahman. 2013. Kerukunan dalam Beragama. Makalah dalam Seminar


Kerukunan Umat Beragama di MUI Jawa Tengah. 8-9 November.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 68

Lawang, Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Ismail, Faisal. 1999. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yigya.

Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan


dalam Bingkai Persatuan). Jakarta: Gema Insani Press.

Daulay, Hamdan. 2001. Dakwah di Tengan Persoalan Budaya dan Politik.


Yogyakarta: Lesti.

Rumagit, Stev Koresy, 2013. “Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama
di Indonesi” dalam Jurnal Lex Administratum. Vol. 1 No. 2, Januari-Maret.

14
Ismail, Nawari dan Muhaimin AG. 2011. Konflik Umat Beragama dan Budaya
Lokal. Lubuk Agung

Utoyo, Marsudi. 2016. “Akar Masalah Konflik Keagamaan di Indonesia” dalam


Jurnal Lex Librum. Vol. 3 No. 1, Desember.

Khotimah. 2011. “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Jurnal
Ushuluddin. Vol. 17 No. 2, Juli.

Konflikposo.blogspot diakses pada 22 April 2018

Marzuki, Konflik Antar Umat Beragama di Indonesia dan Alternatif


Pemecahannya

Yusdani. 2013. “Book Review: Pengelolaan Konflik Umat Beragama di


Indonesia” dalam Jurnal Jurnal Millah. Vol. 12 No. 2, Februari.

Yunus, Firdaus M. 2014. “Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi


Pemecahannya” dalam Jurnal Substansia. Vol. 16 No. 2 Oktober, 2014.

BM, St. Aisyah. 2014. “Konflik Sosial dalam Hubungan Antar Umat Beragama”
dalam Jurnal Dakwah Tabligh. Vol. 15 No. 2, Desember.

Fidiyani, Rini. 2013. “Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Belajar


Keharmonisan dan Toleransi Umat Beragama di Desa Cikakak, Kec.
Wangon, Kab. Banyumas)” dalam Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 3,
September.

15

S-ar putea să vă placă și