Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
This research was aimed to determine the factors that influence the
maintenance management practices in farms which supply fresh milk for cheese
industry. This research was conducted from June 2011 to January 2012. The
respondents were ten fresh milk suppliers. The data was collected by interviewing
using questionnaires. The questionnaires contained some question’s about
farmer’s characteristic, the maintenance management practices, and farmer’s
knowledge about subclinical mastitis and how to control it. The result showed that
profile of dairy cattle farmers which most age were between 30 until 50 years old,
had educated from elementary school and junior high school, and had farming
experience from 1-5 years and >10 years. Half of them had attending the
extention program. All of dairy cattle (100%) showed positive reaction of
subclinical mastitis with IPB-1 mastitis test. The result of observation showed that
respondents with good maintenance management practice were 10%, while
respondents with enough and poor maintenance management practices
respectively by 30%, and 60%. The significant positive correlation with
maintenance management practice (p<0.05) was found between farming
experience, and attending the extention program.
RINGKASAN
ISNA LAILATUR ROHMAH. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah pada Peternak Pemasok Susu Segar Industri
Keju di Kabupaten Sukabumi. Dibawah bimbingan ETIH SUDARNIKA dan
HERWIN PISESTYANI.
Kata kunci: manajemen pemeliharaan, sapi perah, mastitis subklinis, industri keju
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK
MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH PADA
PETERNAK PEMASOK SUSU SEGAR INDUSTRI KEJU DI
KABUPATEN SUKABUMI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Disetujui
Diketahui
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT Rabb semesta alam dan
segala isi di dalamnya, Maha Kuasa dalam menentukan apapun sehingga
kehidupan ini penuh rasa kasih dan sayang. Shalawat semoga tetap terhatur pada
baginda Rasulullah Muhammad SAW, imam dan teladan terbaik bagi kehidupan
ini.
Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir.
Etih Sudarnika, M.Si dan drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku dosen pembimbing
skripsi. Penghargaan dan terima kasih juga terucap kepada Bapak Dr. drh.
Mokhamad Fahrudin, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih
saya ucapkan kepada Dr. drh. Min Rahminiwati, MS dan Dr. drh. Ligaya Ita
Tumbelaka, M.Sc selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih saya ucapkan pula
kepada drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku dosen penilai seminar, dan Dr. drh
Eko Sugeng Pribadi, MS selaku dosen moderator seminar.
Rasa bangga dan kasih sayang dengan tulus penulis persembahkan untuk
Bapak (Basuni, S.Pdi), Ibu (Kasihati), Kakak (Wahid Setia Kurniawan), Adik
(Hayatul Amin) dan keluarga tersayang di rumah yang telah mencurahkan
dukungan dan doa dalam mendidik penulis hingga saat ini. Salam persaudaraan
untuk partner di BEM KATALIS, BEM ADRENALIN, HIMPRO Ruminansia,
IMAKAHI FKH IPB, OMDA Lare Blambangan, LSM KOPPAJA (Komunitas
Peduli Pendidikan Anak Jalanan) serta keluarga besar Queen Castle dan Wisma
Ayu.
Salam kekeluargaan untuk sahabatku AVENZOAR 45 yang telah
memberikan banyak goresan pembelajaran dalam lembar kehidupan, sahabatku
(Rindang, Jasmine, Afdi, dan Rizal), dan Om zu. Terima kasih kepada Mas M.
Anang Zamroni yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama ini.
Salam kekeluargaan untuk Iin Nuraeni dan keluarga yang telah membantu saya
selama penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat menerima kritik atau saran yang
membangun. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat, karena “jika kita
bisa melakukan lebih baik, kenapa kita hanya puas dengan yang baik”. Amin.
PENDAHULUAN............................................................................ 1
Latar Belakang ...................................................................... 1
Tujuan Penelitian .................................................................. 3
Manfaat Penelitian ................................................................ 3
xi
Manajemen Kesehatan .............................................. 31
Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air ...................... 32
Tingkat Pengetahuan Responden .......................................... 34
Praktik Manajemen Pemeliharaan......................................... 35
Hasil Uji Mastitis dengan Metode Tidak Langsung IPB-1
Mastitis .................................................................................. 35
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen
Pemeliharaan ......................................................................... 38
LAMPIRAN ..................................................................................... 47
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuesioner ............................................................................................. 47
2 Hasil Analisis Uji Korelasi................................................................... 55
xii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang sangat penting bagi
pembangunan nasional dan memiliki nilai strategis. Peternakan penting dalam hal
memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertambahan
penduduk, peningkatan pertambahan penduduk, dan penciptaan lapangan kerja
baru. Upaya mencapai peternakan yang dapat memiliki nilai strategis diperlukan
usaha peningkatan populasi dan mutu ternak yang dipelihara oleh peternak. Usaha
ini juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat,
sehingga dapat meningkatkan mutu gizi dan kecerdasan masyarakat Indonesia.
Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung
pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan bergizi tinggi.
Populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2010 menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) (2010) hanya sekitar 495 000 ekor. Secara geografis penyebaran
sapi perah di Indonesia tidak merata. Menurut Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2008), perkembangan populasi sapi perah
di Indonesia didominasi oleh pulau Jawa. Jumlah populasi sapi perah di Indonesia
pada tahun 2002 wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat secara
berturut-turut adalah 131 838, 115 490, dan 89 823 ekor.
Indonesia masih mengimpor hingga 70 persen untuk memenuhi kebutuhan
susu nasional, karena produksi dalam negeri hanyalah 30 persen (Safuan 2011).
Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia baru mencapai 5.79 kg/kapita/tahun
pada tahun 2001. Tingkat pencapaian ini masih jauh dari standar gizi yang
ditentukan yakni 7.2 kg/kapita/tahun. Usaha yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan susu nasional sebanyak 1 167 561 ton/tahun, dengan mengimpor
sekitar 59% atau 687 914 ton/tahun dari luar negeri dalam bentuk bahan baku
maupun bahan jadi seperti susu, mentega, yogurt, whey, dan keju (Nurlina 2004).
Konsumsi susu masyarakat Indonesia yang rendah dapat disebabkan oleh
tingkat kegemaran terhadap susu yang rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan
konsumen kurang menyukai rasa dan bau dari susu segar, atau menderita
intoleransi laktosa. Pengolahan susu merupakan salah satu jalan keluar untuk
2
kematian sapi, adanya residu antibiotik pada susu, dan meningkatnya biaya
pengobatan dan tenaga kerja.
Susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis akan mengalami perubahan
fisik. Perubahan yang terjadi pada susunan susu tersebut dapat menyebabkan
pecahnya susu saat dipanaskan atau terjadi penyimpangan rasa susu (tidak
normal) (Lukman et al. 2009). Banyak penelitian telah dikembangkan untuk
mengetahui dampak mastitis subklinis terhadap kualitas susu dan produk
olahannya seperti keju. Menurut Klei et al. (1998) diacu dalam Mazal et al.
(2007) hasil keju yang diperoleh dengan susu positif mastitis subklinis menjadi
berkurang kualitasnya.
Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan produktivitas sapi perah
sehingga menghasilkan susu dan produk susu yang berkualitas, maka faktor-faktor
yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan sapi perah di tingkat
peternak pemasok susu segar yang merupakan bahan baku untuk pembuatan keju
menjadi suatu topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih dalam.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
praktik manajemen pemeliharaan sapi perah (sanitasi air dan peralatan, sanitasi
kandang, kesehatan ternak, serta cara pemerahan) pada peternak yang merupakan
pemasok susu segar untuk industri keju. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui hubungan pengetahuan, dan karakteristik peternak (pendidikan, lama
beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang didapat) dengan praktik
manajemen pemeliharaan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran
mengenai pentingnya peningkatan usaha ternak melalui peningkatan praktik
manajemen pemeliharaan sapi perah (sanitasi air dan peralatan, sanitasi kandang,
kesehatan hewan, serta pemerahan susu) pada peternak pemasok susu segar untuk
industri keju di Kabupaten Sukabumi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Maria 2012). Menurut
Badran (1995) pengetahuan adalah kapasitas untuk mendapatkan, menahan, dan
menggunakan informasi; sebuah gabungan dari pemahaman, pengalaman,
ketajaman, dan keterampilan.
Kibler et al. (1981) yang diacu dalam Sauri (2011) merinci pendapatnya
dengan mengelompokkan jenis pengetahuan secara hirarkis ke dalam: (1)
pengetahuan yang bersifat spesifik, (2) pengetahuan mengenai terminologi, (3)
pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu, (4) pengetahuan mengenai cara-cara
tertentu, (5) pengetahuan mengenai kaidah, (6) pengetahuan mengenai arah dan
urutan, (7) pengetahuan mengenai klasifikasi dan kategori, (8) pengetahuan
mengenai kriteria, (9) pengetahuan mengenai metode, (10) pengetahuan mengenai
pola, (11) pengetahuan mengenai prinsip dan generalisasi, dan (12) pengetahuan
mengenai teori dan struktur.
c. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
d. Adaptasi (adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya tersebut.
Manajemen Pemeliharaan
Pemeliharaan adalah seni dan ilmu pengetahuan yang mengkombinasikan
ide, fasilitas, materi, dan tenaga kerja dalam menghasilkan suatu produk dalam hal
ini adalah susu (Nurdin 2011). Pengelolaan peternakan sapi perah memerlukan
beberapa hal yang harus dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang. Peternak
harus melakukan manajemen secara optimal pada masa produksi, sehingga hasil
yang diperoleh lebih optimal. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan pada
9
Sanitasi
Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak
dengan menggunakan tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit.
Sanitasi dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak,
kebersihan lingkungan serta kebersihan peternak itu sendiri (Subronto 1985).
Sanitasi Ternak
Sapi perah harus selalu bersih, karena akan berdampak kepada kesehatan
sapi itu tersendiri, caranya yaitu dengan memandikan sapi perah sebelum diperah
susunya. Biasanya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari
(LIPTAN 2000).
Menurut Sunarko et al. (2009) memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap
hari untuk menjaga agar sapi tetap sehat dan bersih sehingga parasit luar tidak
mudah menginfeksi, disamping itu untuk memperlancar proses metabolisme
dalam memproduksi susu yang tetap tinggi dan stabil, serta untuk menjaga agar
susu tetap bersih dari bulu-bulu yang rontok maupun kotoran yang menempel
pada kulit
tempat pakan dan tempat minum, alat pemotong dan pengangkut rumput, alat
pembersih kandang dan pembuatan kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan
pemerahan dan pengolahan susu, peralatan sanitasi kebersihan dan peralatan
pengolahan limbah (Departemen Pertanian (DEPTAN) 2006).
Peralatan pemerahan susu (ember perah, milk can) dan peralatan lainnya
seperti tempat pakan dan tempat minum harus dijaga kebersihannya. Beberapa
tindakan yang dilakukan, antara lain peralatan penampung susu setelah dipakai
harus segera dibersihkan, selanjutnya dibilas dengan air bersih atau dapat
menggunakan deterjen (sabun bubuk) dan dibilas dengan air hangat untuk
melarutkan lemak susu yang masih melekat. Peralatan penampung susu yang
sudah bersih dikeringkan di bawah sinar matahari atau diletakkan terbalik.
Pembersihan peralatan pemerahan susu dapat menggunakan disinfektan (Aryana
2011).
Menurut Gunawan et al. (2011), air sangat dibutuhkan bagi metabolisme
tubuh dan berbagai fungsi biologis, seperti pengaturan suhu tubuh, membantu
proses pencernaan, pengaturan tekanan darah, pertumbuhan fetus, produksi susu
dan pengangkut nutrien, hormon serta zat lain yang diperlukan oleh tubuh. Air
diperlukan bagi ternak sapi perah produksi, karena susu yang dihasilkan 87%
adalah air. Untuk itu, penyediaan air bagi ternak sapi perah sangatlah penting.
Ketersediaan air perlu diperhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha
pemeliharaan sapi dimulai, karena air merupakan suatu kebutuhan mutlak.
Ketersediaan air diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan
kandang atau halaman, serta untuk memandikan sapi. Kebutuhan air minum dapat
berasal dari air minum khusus yang sengaja disediakan pada bak-bak air, baik di
padang penggembalaan maupun di kandang atau pun di halaman pengelolaan.
Oleh karena itu, cara penyediaan, cara pengaliran, maupun cara pemberiannya
memerlukan penataan yang baik. Di Negara-negara maju, pengaliran air sudah
ditata secara mekanis (Santosa 1995).
penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta
memberikan pakan yang cukup (Sembada 2012).
Ternak yang sakit membutuhkan pengobatan, akibatnya hal ini akan
mempertinggi biaya produksi. Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah
pencegahan penyakit dan menjalankan program vaksinasi secara teratur, terutama
di daerah-daerah yang sering terjadi penyakit menular seperti TBC, brucellosis,
PMK, hal ini baru dapat dilakukan apabila peternak mengetahui dan paham
terhadap jenis-jenis penyakit penting yang sering terjadi pada sapi perah, mulai
dari gejala awal, tanda-tanda, dan pencegahannya (Nurdin 2011). Manajemen
kesehatan sapi perah menurut DITJENNAK (2012) terdiri atas:
1. Peternak pembibit sapi perah harus melakukan pemeriksaan dan pengujian
laboratorium terhadap penyakit tertentu (Brucellosis, IBR, BVD, TBC,
ParaTB) secara terprogram sesuai ketentuan.
2. Melakukan biosekuriti (semua tindakan yang merupakan pertahanan
pertama untuk mencegah dan mengendalikan wabah melalui semua
kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular) yang ketat.
3. Melakukan pemberian vitamin, obat cacing dan/atau vaksinasi SE dan
Anthrax dll sesuai pertimbangan petugas kesehatan hewan.
4. Kandang dan peralatan harus didisinfeksi, pembersihan dan penyemprotan
pembasmi serangga (insektisida) secara berkala.
5. Setiap terjadi kasus penyakit terutama penyakit menular harus segera
dilaporkan kepada petugas yang berwenang.
6. Setiap dilakukan pemerahan harus dilakukan uji mastitis.
7. Setiap ternak yang sakit harus segera dikeluarkan dari kandang untuk diobati
atau dikeluarkan dari kelompok ternak atau peternakan.
Gangguan dan penyakit dapat terjadi pada ternak setiap saat sehingga untuk
membatasi kerugian ekonomi diperlukan kontrol untuk menjaga kesehatan sapi.
Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah.
Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan
reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta, kawin
berulang, dan endometritis, sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah
gangguan metabolisme (ketosis, milk fever dan hipocalcemia), enteritis, displasia
13
abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang
disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari
kandang atau culling (afkir). Selain itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan di
dalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin
dan peralatan pemerahan yang baik (Anonim 2009).
Menurut Tyler dan Ensminger (1993) kualitas susu dapat ditentukan oleh
faktor-faktor di bawah ini:
a. Kesehatan sapi perah
Sapi perah harus terbebas dari penyakit yang dapat ditularkan ke manusia.
Bakteri yang berasal dari susu harus dihilangkan.
b. Kebersihan ternak:
Kebersihan flank dan ambing dapat mencegah kuman masuk ke dalam
ambing. Kebersihan alas kandang, dan sistem drainase yang baik akan
membuat sapi menjadi bersih.
c. Kebersihan peralatan
Semua peralatan pemerahan harus dijaga kebersihannya, dan bebas dari
bakteri. Bakteri tumbuh di celah atau tempat kasar pada peralatan jika tidak
dibersihkan.
d. Kamar dingin dan penyimpanan susu
Temperatur penyimpanan susu yang baik adalah -75.6-4.4 °C
e. Kontrol lalat
Kontrol lalat pada peternakan sapi perah sangat penting. Lalat dapat
membawa 1.25 miliar bakteri, yang dapat menjadi sumber penyakit seperti
typoid, disentri, dan penyakit menular lainnya.
f. Menjaga kebersihan gudang susu
Bau pada gudang susu dapat dihilangkan dengan penggunaan ventilasi yang
efektif pada bangunan.
Cara Pemerahan
Menurut Sudono et al. (2003) yang diacu dalam Tristy (2009) pemerahan
yang baik dilakukan dengan cara yang benar dan alat yang bersih. Tahapan-
tahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan
terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya. Tahapan pemerahan
dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:
• Membersihkan kandang dari segala kotoran.
• Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah.
• Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika
dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenang.
15
• Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan
milk can.
• Membersihkan tangan pemerah dengan menggunakan air dan sabun.
• Melakukan pemerahan sampai susu habis (ambing kosong).
• Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang
bersih.
• Membuang pancaran susu pertama dan kedua tanpa ditampung dalam
wadah.
• Melakukan teat dipping setelah pemerahan.
Teat dipping adalah pencelupan puting dengan antiseptik setelah pemerahan.
Setelah selesai memerah, semua puting pada satu ekor sapi harus segera
disucihamakan dengan menggunakan antiseptik. Pencucian ambing dengan
larutan antiseptik sebelum dan sesudah pemerahan dapat menurunkan kejadian
radang ambing (Hidayat 1995 diacu dalam Damayanti 2007).
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Populasi studi
Populasi studi dalam penelitian ini adalah peternak pemasok susu segar
untuk industri keju, di Kabupaten Sukabumi yaitu sepuluh peternak yang terdiri
dari dua peternak berlokasi di Kecamatan Lembur Situ dan delapan peternak
berlokasi di Kecamatan Nyalindung.
Desain Kuesioner
Kuesioner dirancang merujuk pada literatur mengenai profil masyarakat
peternak sapi perah, profil praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan
peralatan, sanitasi kandang, kesehatan hewan, serta pemerahan), serta tingkat
pengetahuan peternak mengenai mastitis subklinis. Sebelum kuesioner digunakan,
dilakukan pretest terlebih dahulu. Pretest dilakukan pada peternak yang berlokasi
18
Definisi operasional
Pengertian setiap peubah penelitian dijelaskan dengan definisi operasional
seperti yang tersaji pada Tabel 1.
Pengolahan Data
Data primer yang diperoleh diolah dan dianalisis melalui beberapa tahap,
yaitu coding data, tabulasi dan analisis. Data ditabulasi dan dianalisis secara
statistik dengan program Microsoft excel 2007 dan SPSS 13.0 for windows.
Data pengetahuan dan praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan
peralatan, sanitasi kandang, kesehatan hewan, serta pemerahan susu)
dikuantifikasikan berdasarkan skor. Tingkat praktik manajemen pemeliharaan
diperoleh dengan menjumlahkan skor untuk tiap-tiap pertanyaan pada masing-
masing kategori. Tingkat pengetahuan contoh mengenai penyakit mastitis diukur
dengan 17 pertanyaan dengan jawaban “ya”, “tidak”, dan “tidak tahu”. Jawaban
yang diperoleh kemudian diolah dengan pemberian skor pada setiap pertanyaan
dengan skor 1 jika jawaban “ya’’ dan skor 0 jika jawaban “tidak” dan “tidak
tahu”. Jumlah skor pengetahuan mengenai penyakit mastitis subklinis berkisar
antara 0-17. Kategori pengetahuan dibagi menjadi baik (79-100%), sedang (56-
78%), dan kurang (<56%).
23
Analisis Data
Hubungan antar variabel berupa karakteristik peternak (pendidikan, lama
beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang didapat), dan pengetahuan
dengan praktik manajemen pemeliharaan, diuji menggunakan uji korelasi Pearson
untuk variabel skala rasio dan interval, serta uji korelasi Spearman untuk variabel
skala ordinal.
24
Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan
dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman
penyuluhan yang pernah didapatkan (Tabel 2).
menyerap bau. Disamping itu, kandang yang kotor juga merupakan sarana yang
sangat baik untuk perkembangan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit,
mikroorganisme dari kandang yang kotor dapat mengontaminasi susu melalui
udara, dan feses. Alasan tersebut yang mendasari bahwa kandang dan lingkungan
sekitarnya harus selalu bersih agar susu yang diproduksi mempunyai kualitas yang
baik pula (Sunarko et al. 2009). Kandang yang bersih membuat sapi nyaman, dan
peternak betah bekerja di kandang (Budi et al . 2006).
Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap timbulnya penyakit
pada sapi perah, misalnya mastitis. Seluruh responden (100%) membuang limbah
tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Limbah peternakan berupa
kotoran ternak langsung disalurkan ke ladang yang digunakan sebagai pupuk
kandang untuk budidaya rumput gajah, dan terletak tidak jauh dari kandang. Jarak
yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan
menyebabkan lingkungan kandang menjadi kotor, dan dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan. Hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan
bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis
subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang
tidak baik atau tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan
antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999
diacu dalam Winata 2011).
Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa seluruh peternak
(100%) membuang kotoran ternak dengan menimbunnya di atas permukaan tanah
atau open dumping. Penanganan kotoran yang buruk dapat meningkatkan
terjadinya mastitis (radang ambing), hal ini disebabkan oleh lingkungan sekitar
kandang menjadi kotor sehingga mikroorganisme-mikroorganisme patogen
tumbuh subur dan dapat bermigrasi ke kandang dan menginfeksi sapi perah.
Menurut Sutarti et al. (2003) dengan tempat pembuangan limbah yang baik, maka
sapi yang terkena mastitis 0.52 kali lebih kecil dibandingkan yang kotor.
produksi susu yang dihasilkan. Tata laksana pemerahan sapi perah di peternakan
sapi perah pemasok susu segar industri keju tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4 Manajemen pemerahan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu
segar industri keju
Variabel Jumlah (%)
Manajemen Kesehatan
Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi
perah. Manajemen kesehatan sapi perah di peternakan pemasok susu segar
industri keju tersaji dalam Tabel 5.
Tabel 5 Manajemen kesehatan dan pemeliharaan sapi perah di peternakan sapi
perah pemasok susu segar industri keju
Variabel Jumlah (%)
3. Hindari sapi bunting makan pakan beracun atau pakan berkadar estrogen
tinggi.
4. Dilakukan vaksinasi terutama pada sapi berumur 4-6 bulan.
Sapi yang baru datang hendaknya dikarantina pada suatu kandang terpisah,
dengan tujuan untuk memonitor adanya gejala penyakit tertentu yang tidak
diketahui pada saat proses pembelian. Hampir semua (90%) responden tidak
melakukan pemisahan sapi yang baru datang. Hal ini memungkinkan terjadinya
perpindahan penyakit dari sapi baru ke sapi lama atau sebaliknya.
Seluruh responden (100%) kepadatan ternaknya baik. Populasi sapi dalam
satu kandang yang terlalu padat (overcrowding) meningkatkan tingkat
kontaminasi dan mempengaruhi tingkat kebersihan kandang secara umum. Bakteri
koliform sebagai salah satu dari penyebab diare yang paling umum membutuhkan
feses untuk memperpanjang siklus perkembangbiakannya. Kepadatan populasi
sapi dalam satu kandang yang tinggi mempermudah proses infeksi oleh bakteri
koliform (Wibowo 1992).
Tabel 6 Sanitasi peralatan dan air di peternakan sapi perah pemasok susu segar
industri keju
Variabel Jumlah (%)
Baik 79-100% 4 40
Cukup 56-78% 2 20
Kurang <56% 4 40
Baik >49 1 10
Cukup 42- 48 3 30
Kurang <41 6 60
Hasil Uji Mastitis Subklinis dengan Metode Tidak Langsung IPB-1 Mastitis
Salah satu ancaman penyakit yang menghambat populasi dan produktivitas
ternak sapi di Indonesia adalah mastitis. Mastitis adalah peradangan jaringan
interna ambing atau mamae, mastitis dibagi menjadi subklinis dan klinis, mastitis
subklinis ditandai dengan kenaikan jumlah sel somatis (>400 000/ml) (Lukman et
al. 2009). Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi
peternak yang berupa penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu,
kematian sapi, adanya residu antibiotik pada susu, dan meningkatnya biaya
pengobatan dan tenaga kerja.
36
ke atas sapi tidak diberikan antibiotik atau pengobatan pada masa kering kandang,
dan hal ini sangat berisiko menimbulkan mastitis subklinis. Manajemen
pemerahan yang dilakukan secara tidak benar akan mengakibatkan jumlah susu
yang keluar berkurang, dan bila pemerahan dilakukan tidak sampai habis akan
berakibat ambing mudah mengalami peradangan (mastitis).
Hasil observasi yang dilakukan di lapangan memperlihatkan mayoritas
peternak tidak membersihkan wadah penampung susu dengan disinfektan dan
peralatan susu hanya dibersihkan dengan air. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan kejadian mastitis karena mikroorganisme patogen dapat tumbuh
subur. Penggunaan pelicin juga merupakan predisposisi terjadinya mastitis.
Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama
pemerahan tidak diperbolehkan menggunakan vaselin karena vaselin akan
menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin),
penularan penyakit sulit dihindari.
Responden dalam penelitian ini merupakan peternak pemasok susu segar
industri keju, sehingga apabila sapi terkena mastitis subklinis akan menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas susu. Hal ini berdampak terhadap
produksi keju yang dihasilkan. Rendahnya kualitas susu pada umumnya
disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri terutama bakteri patogen. Jumlah
bakteri yang meningkat dapat disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan yang
buruk, peralatan yang kurang bersih, kandang yang kotor, dan higiene pemerahan
yang buruk.
Susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis akan mengalami perubahan
fisik. Perubahan yang terjadi pada susunan susu tersebut dapat menyebabkan
pecahnya susu saat dipanaskan atau rasa susu menyingkir (tidak normal) (Lukman
et al. 2009). Banyak penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui dampak
mastitis subklinis terhadap kualitas susu dan produk olahannya seperti keju.
Menurut Klei et al. (1998) diacu dalam Mazal et al. (2007) hasil keju yang
diperoleh dengan susu positif mastitis subklinis menjadi berkurang kualitasnya.
Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang dapat menentukan secara
tepat berapa jumlah sel somatis yang dapat menyebabkan perubahan pada keju.
Jumlah sel somatis yang tinggi menyebabkan penurunan jumlah kasein yang
38
merupakan bahan utama keju. Jumlah sel somatis yang tinggi juga dapat
menyebabkan penurunan usia susu dan peningkatan kelembaban keju. Setiap
kenaikan 100 000 jumlah sel somatis/ml akan memiliki dampak negatif pada keju
(NMC 1991). Menurut Barbano et al. (1991) peningkatan jumlah sel somatis
dapat menyebabkan peningkatan waktu koagulasi keju dan penurunan tingkat
kekerasan keju. Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa mastitis
subklinis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatis dapat
menyebabkan penurunan kualitas keju.
Karakteristik peternak
Umur 0.891
Pendidikan 0.199
Lama beternak 0.731*
Pengalaman mendapatkan 0.884*
penyuluhan atau pelatihan
Pengetahuan 0.252
*
Keterangan: )nyata pada taraf (α<0.05)
Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa umur tidak berhubungan dengan praktik
manajemen pemeliharaan. Hasil ini bertentangan dengan pendapat Havighurst
(1974) yang diacu dalam Nurliana (1999) menyatakan bahwa terdapat periode
sensitif dari umur seseorang untuk belajar pada umur tertentu. Hal ini
menunjukkan adanya kaitan antara umur seseorang dengan kemampuan
intelektualnya karena umur seseorang berkaitan erat dengan wawasan yang
dimiliki. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara umur dengan praktik
manajemen pemeliharaan, hal ini disebabkan peternak dengan usia muda yang
seharusnya lebih dapat menerima informasi lebih banyak, namun peternak tidak
pernah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan sehingga informasi tidak
didapatkan, dan lebih berpedoman terhadap pengetahuan yang diberikan secara
turun-temurun. Hal ini menyebabkan kemampuan praktik manajemen
pemeliharaan yang dimiliki masih kurang.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan
dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan kata lain, pendidikan yang
dimiliki oleh peternak sebagai responden bukan merupakan variabel diskriminatif
yang dapat menunjukkan perbedaan praktik manajemen pemeliharaan antara
individu. Menurut Lionberger (1960) diacu dalam Nurliana (1999) hubungan
antara jumlah tahun sekolah dan adopsi praktik peternakan ada secara tidak
langsung, kecuali pada kasus dimana seseorang mempelajari khusus tentang
praktik baru tersebut di sekolah. Pendidikan responden tidak berhubungan nyata
dengan praktik manajemen pemeliharaan karena pendidikan yang dimiliki tidak
berkaitan dengan manajemen pemeliharaan, atau para peternak yang
berpendidikan rendah lebih banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan
mengenai praktik manajemen pemeliharaan yang baik dan benar atau sebaliknya.
Lama beternak responden dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu rendah
(1-5 tahun), sedang (5-10 tahun), dan tinggi (>10 tahun). Hasil penelitian
memperlihatkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara lama beternak
responden dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan demikian, terdapat
kecenderungan bahwa semakin lama responden beternak, maka praktik
manajemen pemeliharaan yang dimiliki oleh peternak akan semakin tinggi pula.
Hal ini seperti yang dikemukakan Mosher (1981) diacu dalam Nurlina dan Alim
40
(2009) bahwa manusia dapat belajar dari pengalamannya, demikian pula peternak
dapat belajar dari pengalaman beternak pada masa yang lalu. Dalam konteks
penelitian ini, pengalaman dapat menjadi media proses pembelajaran yang efektif
dalam menumbuhkan praktik manajemen pemeliharaan.
Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan non formal yang
ditunjukkan dengan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan. Terdapat
korelasi signifikan antara pengalaman mendapatkan penyuluhan dan pelatihan
dengan praktik manajemen pemeliharaan sapi perah dalam penelitian ini. Dengan
kata lain, semakin banyak penyuluhan yang pernah diikuti responden semakin
baik praktik manajemen pemeliharaan sapi perah. Penyuluhan dapat merubah
perilaku (pengetahuan, sikap, dan praktik) seseorang untuk menghadapi
permasalahan yang ada, sehingga dengan adanya penyuluhan dan pelatihan
diharapkan dapat menambah pengetahuan peternak mengenai manajemen
peternakan yang baik dan benar dan menerapkannya dalam kehidupan nyata
untuk meningkatkan produktivitas ternak (Sembada 2012).
Penelitian ini memperoleh data bahwa pengetahuan dan praktik manajemen
pemeliharaan tidak berhubungan nyata. Peternak umumnya memiliki pengetahuan
yang cukup memadai mengenai syarat-syarat pemerahan yang baik, meliputi
pemeriksaan terhadap penyakit, kesehatan ternak, kebersihan sapi yang akan
diperah, namun dalam sehari-hari kebanyakan kegiatan pemerahan tidak sesuai
dengan faktanya. Peternak mengetahui tentang mastitis subklinis dan cara
pengendaliannya, namun dalam kehidupan nyata faktor-faktor yang dapat
menyebabkan mastitis subklinis tidak dihindari sehingga kasus mastitis subklinis
tetap tinggi.
41
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi
praktik manajemen pemeliharaan yang belum diteliti, misalnya pembibitan
(breeding), dan pakan (feeding).
2. Perlu adanya perbaikan tatalaksana pemeliharaan terutama pada aspek
sanitasi kandang, sanitasi air dan peralatan pemerahan, manajemen
kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan. Perbaikan tersebut
diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas sapi perah dalam
menghasilkan susu dan mencegah terjadinya mastitis subklinis.
3. Perlu diadakan pembinaan dan pendampingan mengenai mastitis subklinis
dan pengendaliannya secara khusus dari instansi manapun baik itu
pemerintah, swasta, maupun dari kalangan akademisi.
4. Perlu diadakan pemeriksaan dan pengobatan secara berkala terhadap mastitis
subklinis untuk mencegah dan mengurangi kejadian mastitis subklinis.
42
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009. Manajemen sapi perah pada peternakan rakyat. [terhubung
berkala]. http://rizqy09.student.umm.ac.id [15 Juni 2012].
Achjadi RK. 1985. Aspek reproduksi sapi perah dan pelayanan kesehatan hewan.
Di dalam: Prosiding Pertemuan Konsultasi Peternakan Sapi Perah
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Salabintana, 19 November 1985. Bogor:
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sukabumi dan Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. hlm 47-59.
Aryana S. 2011. Kondisi sanitasi peralatan dan air terhadap peningkatan jumlah
total mikroorganisme susu individu- susu kandang- susu tempat pengumpul
susu di peternakan Kunak Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Badran GI. 1995. Knowledge, attitude and practice the three pillars of excellence
and wisdom: a place in the medical profession. East Mediterr Health J 1:8-
16.
Barbano DM, Rasmussen RR, Lynch JM. 1991. Influence of milk somatic cell
count and milk age on cheese yield. J Dairy Sci 74:369-388.
Budi U et al. 2006. Buku Ajar Dasar Ternak Perah. Sumatera Utara: Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Etgen WM, James RE, Reaves PM. 1987. Dairy Cattle Feeding and Management.
Ed ke-7. Virginia:Virginia Polytecnic Institute and State University.
Gunawan et al. 2011. Petunjuk Teknis Pemulihan Usaha Tani Sapi Perah Pasca
Erupsi Merapi. Yogyakarta: Aji Kartika.
Hariyono MB. 2006. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu pada
usaha ternak sapi perah rakyat. J Anim Agric Soc Eco 2(2):78-81.
Maria A. 2012. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi seimbang serta hubungannya
dengan status gizi mahasiswa Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Mazal G, Vianna VCB, Santosa MV, Gigante ML. 2007. Effect of somatic cell
count on prato cheese composition. J Dairy Sci 90(2):630-636.
44
[NMC] The National Masitis Council. 1991. Somatic cell count, mastitis, dairy
product quality, and cheese yield. [terhubung berkala].
http://www.nmconline.org/articles/sccquality.htm [13 Juli 2012].
Nurlina L, Alim S. 2009. Respon peternakan sapi perah anggota KUD terhadap
kegiatan penyuluhan peternakan. [terhubung berkala].
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/respon_peternak_sapi
_perah_anggota_kud.pdf [12 Juli 2012].
Safuan A. 2011. RI impor susu untuk penuhi 70 persen kebutuhan susu nasional.
[terhubung berkala]. http://www.mediaindonesia.com/ webtorial/ tanahair/
?bar_id=MjMxMjg3 [ 26 Juni 2012].
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr.
Tim Penyuluh. 2000. Pembinaan kelompok tani ternak sapi potong dalam
menerapkan zooteknik sapta usaha beternak sapi potong [makalah].
Semarang: Universitas Diponegoro.
Tristy NH. 2009. Hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu
sapi perah di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan
Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Tyler DH, Ensminger ME. 1993. Dairy Cattle Science. Ed ke-4. New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Winata F. 2011. Hubungan antara penggunaan metode breed dengan uji mastitis
IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
47
Wilayah Kabupaten :
Kecamatan :
Tanggal Wawancara :
Nama Enumerator :
3. No. Telp/HP :
4. Umur :
5. Pendidikan terakhir :
a. SD 11
b. SMP/MTS 2
c. SMA/MAN 3
d, Perguruan tinggi (D1/D2/D3/S1) 4
6. Lama berternak :
a. < 1 tahun 1
b. 1-5 tahun 2
c. 5-10 tahun 3
d. > 10 tahun 4
7. Apakah Saudara pernah mendapat pelatihan/ penyuluhan:
a. Iya 1
b. Tidak ( Langsung ke pertanyaan no. 9) 0
8. Jika ”Ya”, siapa yang memberi pelatihan/ penyuluhan:
a. Dinas peternakan 1
b. Petugas KUD/ Paramedis 1
c. Perguruan tinggi/ Dosen 1
9. Jumlah sapi : ekor
a. Jumlah sapi laktasi : ekor
b. Jumlah sapi kering kandang : ekor
c. Jumlah pedet : ekor
d. Jumlah dara : ekor
e. Jumlah jantan : ekor
48
Skor
f. Jumlah sapi yang diambil sampel susunya : ekor
10. Rata-rata produksi susu tiap hari(L) :
11. Apakah terdapat recording(pencatatan) tentang ternak yang terkena mastitis :
a. Iya 1
b. Tidak 0
Skor
8. Apakah dilakukan pengolahan limbah cair ( urine, air mencuci kandang) :
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.10) 0
9. Jika ”Ya”, bagaimana cara pengolahan limbah cair (urine) yang dilakukan :
a. Pupuk cair 1
10. Bagaimana keadaan ventilasi kandang:
a. Terbuka 1
b. Dikelilingi tembok setinggi 0,5 meter 2
c. Dikelilingi tembok setinggi 1,0 meter 3
Skor
8. Bagaimana kepadatan ternak/kandang:
a. Baik (ada tempat untuk berbaring sapi) 1
b. Padat 0
Skor
8. Apakah Saudara menggunakan desinfektan untuk membersihkan peralatan perah
( ember, milkcan, saringan susu) :
a. Iya 1
b. Tidak 0
9. Jika ”Ya”, jenis desinfektan apa yang Saudara gunakan:
a. Bayclin 1
b. Sunclin 1
c. Soklin pemutih 1
d. Sanbe 1
Skor
8. Jika ”Ya” bagaimana cara membersihkan ambing sebelum diperah:
a. Dilap pakai tisu 3
b. Dilap pakai kain 2
c. Tidak dilap 0
d. Kadang-kadang dilap 1
9. Jika pembersihan ambing dilakukan dengan menggunakan lap, bagaimana
penggunaan lap tersebut:
a. Lap digunakan untuk per ekor sapi 3
b. Lap digunakan untuk semua sapi 1
c. 4 lap untuk 10 ekor sapi 2
10. Jika pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan, bagaimana cara
pemerahan yang dilakukan:
a. Menggunakan seluruh jari 1
b. Menggunakan dua jari 3
c. Kombinasi 2
11. Apakah dilakukan teat dipping setelah pemerahan:
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no 12) 0
12. Jika ”Ya” apa yang anda gunakan untuk melakukan teat dipping:
a. Iodium 1
b. Klorin 1
c. Natrium klorit 1
. 13. Apakah Saudara menggunakan vaseline pada saat pemerahan:
a. Iya 0
b. Tidak 1
14. Bagaimana urutan pemerahan yang Saudara lakukan:
a. Acak 1
b. Sehat ke sakit 2
c. Sakit ke sehat 1
d. Dari pinggir kiri ke pinggir kanan 1
e. Lain-lain, Sebutkan:..................................
15. Waktu pemerahan:
a. Pagi, pukul :........................
b. Sore, pukul :........................
53
VI. Pengetahuan
No Pernyataan Ya Tidak Tidak
tahu
1 Mastitis adalah penyakit radang ambing yang disebabkan
oleh berbagai macam kuman
2 Mastitis sub klinis adalah peradangan pada ambing tanpa
ditemukan tanda-tanda yang terlihat oleh mata pada ambing
dan susu
3 Mastitis sub klinis hanya dapat diperiksa dengan melakukan uji
laboratorium
4 Saat kering kandang merupakan saat awal kuman penyebab
mastitis menyerang ambing
5 Faktor lingkungan tidak dapat mempengaruhi terjadinya
mastitis sub klinis
6 Mastitis sub klinis banyak menimbulkan kerugian karena
adanya penurunan produksi susu
7 Kerugian akibat mastitis sub klinis lebih kecil daripada kerugian
akibat mastitis klinis
8 Mastitis sub klinis dapat menyebabkan kerugian bagi peternak
karena dapat menyebabkan masa keluarnya air susu menjadi
lebih pendek
9 Dampak negatif lainnya dari mastitis sub klinis adalah
meningkatkan biaya pengobatan dan tenaga kerja
10 Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi tidak
dapat mencegah terjadinya mastitis sub klinis
11 Pencegahan terhadap mastitis sub klinis ditempuh melalui
dipping puting sehabis pemerahan dengan antiseptik
12 Pemberian pakan yang bergizi dan berkualitas tidak dapat
menekan terjadinya mastitis sub klinis
13 Pemberian anitibiotika ke dalam puting pada masa kering
kandang dapat mencegah terjadinya mastitis sub klinis
14 Salah satu metode pencegahan mastitis subklinik adalah
melalui pemeriksaan rutin setiap bulan pada periode laktasi
normal.
15 Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah
pemerahan dengan baik dan benar tidak dapat mencegah
terjadinya mastitis sub klinis
16 Pemberian iodine dapat mengatasi terjadinya mastitis sub klinis
54
Manajemen
Peternakan Lama Beternak
Manajemen Pearson Correlation
1 .731(*)
Peternakan
Sig. (2-tailed) .016
N 10 10
Lama Beternak Pearson Correlation .731(*) 1
Sig. (2-tailed) .016
N 10 10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Manajemen Mendapat
Peternakan Pelatihan
Spearman's rho Manajemen Correlation Coefficient
1.000 .884(**)
Peternakan
Sig. (2-tailed) . .001
N 10 10
Mendapat Pelatihan Correlation Coefficient .884(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 10 10
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
56
Manaajemen
Peternakan Pendidikan
Spearman's rho Manajemen Correlation Coefficient
1.000 .199
Peternakan
Sig. (2-tailed) . .582
N 10 10
Pendidikan Correlation Coefficient .199 1.000
Sig. (2-tailed) .582 .
N 10 10
Manajemen
Peternakan Umur
Spearman's rho Manajemen Correlation Coefficient
1 .050
Peternakan
Sig. (2-tailed) . .891
N 10 10
Umur Correlation Coefficient .050 1
Sig. (2-tailed) .891 .
N 10 10