Sunteți pe pagina 1din 9

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

DINAMIKA FILARIASIS DI INDONESIA


DYAH HARYUNINGTYAS S dan DIDIK T SUBEKTI

Balai Penelitian Veteriner


Jalan R.E. Martadinata 30, P.O Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Filariasis limfatik yang juga dikenal dengan penyakit kaki gajah (Elephantiasis) beresiko pada lebih dari
1miliar orang pada lebih 80 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 120 juta orang sudah
terinfeksi dan 40 juta orang tidak teratasi secara serius. Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerah
tropis dan subtropis diseluruh dunia termasuk didalamnya Asia, Afrika, Cina, Pasifik dan sebagian Amerika.
Di Indonesia kasus filariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah antara lain di Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebih dari 17 Kabupaten di Jawa
Barat. Filariasis limfatik disebabkan oleh 3 spesies utama cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori Wuchereria bancrofti dan. Brugia Timori tidak memerlukan hewan sebagai
reservoir. Brugia malayi diketahui bersifat zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau dari
manusia ke manusia melalui vektor nyamuk. Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus Anopheles,
Aedes, Culex dan Mansonia dapat mendukung perkembangan cacing filaria. Pengendalian penyakit filariasis
ini adalah perlu segera dilaksanakan mengingat kejadinnya adalah terus meningkat setiap tahunnya. Salah
satu kontrol yang dilakukan adalah deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatan dengan segera
bagi orang yang sudah terinfeksi. Dalam makalah ini akan dibahas etiologi, transmisi, patogenesis, gejala
klinis, dan strategi kontrol dalam penanggulangannya.
Kata kunci: Filariasis, kaki gajah, vektor, zoonosis

PENDAHULUAN nyamuk yang selanjutnya agen infeksi ini


disebarkan dari hewan ke manusia atau dari
Filariasis di dunia dilaporkan manusia ke manusia (ANONIM., 1996;
menghabiskan dana 5 juta US $ setiap tahun SCHMIDT dan ROBERT, 2000).
untuk penanggulangannnya dan menduduki Filariasis di Indonesia sepanjang tahun
ranking 3 setelah malaria dan tubercolosis 2004-2005 ini telah dilaporkan terjadi di
(ANONIM, 2002a). Pada daerah tropis dan Sumatera Selatan sebanyak 48 kasus
subtropis kejadiannya terus meningkat (ANONIM., 2005a), Tangerang 32 kasus
disebabkan oleh karena perkembangan kota (ANONIM., 2005b), Depok 1 kasus, dan lebih
yang cepat dan tidak terencana, yang mencetak 17 Kabupaten di Jawa Barat termasuk Bogor (5
berbagai sisi perkembangbiakan nyamuk yang kasus), Sukabumi (6), Cianjur (6), Garut (7),
akan menularkan penyakit ini. Penyakit ini Tasikmalaya (7), Ciamis (7), Kuningan (4),
menjadi persisten karena kurangya alat kontrol Cirebon (4), Majalengka (1), Subang (6) ,
dan strategi yang efektif dan mudah diterapkan Purwakarta (5), Krawang (2), Bekasi (61),
pada negara endemis (ANONIM., 2000). kota bekasi (18), kota Sukabumi (4), kota
Tiga spesies cacing filaria penyebab Bandung (1) (ANONIM., 2004).
filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Pengendalian yang perlu adalah
Brugia malayi dan Brugia timori. Wuchereria peningkatan pemantauan (surveilans) untuk
bancrofti merupakan spesies yang paling menemukan penderita kaki gajah akut dan
umum ditemukan pada kasus infestasi oleh kronis, serta penatalaksankan pengobatan agar
cacing ini (SCHMIDT dan ROBERT, 2000). penderita mampu merawat dirinya sendiri
Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk (ANONIM., 2005d). Pengobatan dilakukan
sebagai vektor. Cacing dewasa filaria hidup dengan albendazole dan diethylcarbamazine
pada pembuluh limfasedangkan mikrofilaria (DEC) tetapi pengobatan yang lebih ideal
hidup dalam darah (MCMAHON dan SIMONSEN, masih perlu diteliti lebih lanjut (ANONIM.,
1996). Cacing betina melepaskan mikrofilaria 2000; SCHMIDT dan ROBERT, 2000).
dalam pembuluh darah tepi dan dihisap oleh

242
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

ETIOLOGI PENULARAN

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Diperkirakan kurang lebih 77 spesies


Brugia timori sebagai penyebab filariasis nyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex,
limfatik hidup eksklusif dalam tubuh manusia. dan Mansonia dapat mendukung
Cacing berada pada sistem limfatik pada perkembangan Wuchereria bancrofti, tetapi
“network” antara pembuluh limfe dan secara alami hanya sebagian kecil yang dapat
pembuluh darah yang memelihara berlaku sebagai vektor (SCHMIDT dan ROBERT,
keseimbangan cairan tubuh dan merupakan 2000). Nyamuk Culex dan anopheles
komponen yang essensial untuk sistem merupakan vektor utama bentuk periodik
pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama “nocturnal”, sedang bentuk sub periodik
4-6 tahun menghasilkan larva (mikrofilaria) ditransmisikan nyamuk Aedes polynesiensis.
yang akan ikut dalam sirkulasi darah Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal
(ANONIM., 2000). ditemukan pada area dengan banyak sawah
sedangkan bentuk sub periodik nocturnal
ditemukan di desa terpencil, perkebunan dan
SIKLUS HIDUP hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang
berlaku sebagai vektor B. malayi adalah
Siklus hidup ketiga spesies cacing filaria nyamuk malam dari genus Mansonia, Aedes
(Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan dan Culex. Anopheles barbirostris yang
Brugia timori ) adalah hampir mirip. Larva berkembang biak pada area persawahan
infektif stadium 3 (L3i) masuk ke dalam darah diketahui sebagai vektor Brugia timori
melalui luka oleh gigitan nyamuk. Larva (ANONIM., 1996 )
bermigrasi ke kelenjar limfe yang terrdekat
selanjutnya menjadi cacing dewasa dalam
waktu kira-kira 3 bulan-1 tahun. Rata- rata GEJALA KLINIS
waktu inkubasi sebelum menjadi infektif
adalah 15 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 5- Perkembangan penyakit itu sendiri pada
10 tahun dan menyebabkan berbagai masalah manusia adalah masih merupakan teka-teki
karena kerusakan pembuluh limfe dan respon bagi para peneliti. Infeksi umumnya mula-mula
sistem imun yang dihasilkan (ANONIM.,1996). diperoleh pada masa anak-anak selanjutnya
W. bancrofti dan B. timori tidak memerlukan penyakit memerlukan waktu beberapa tahun
reservoir hewan. Sebaliknya pada B.malayi untuk menjadi mantap. Beberapa orang tidak
dilaporkan dapat menginfeksi kera ataupun memperlihatkan manifestasi gejala klinis yang
mamalia lain sehingga bersifat zoonosis nyata Kadang-kadang memang tidak ada gejala
(BUCK, 1991). klinis, penderita tampak sehat tetapi pada
Masing masing penyebab filaria memiliki kenyataannnya mempunyai kerusakan limfatik
periodisitas yang berbeda yang terkait dengan yang tersembunyi dan kerusakan ginjal. Bentuk
prilaku vektor, siklus sikardian inang serta asimtomatik dari infeksi ini paling sering
wilayah kasus (MCMAHON dan SIMONSEN, mempunyai karakteristik dengan adanya ribuan
1996). Periodisitas akan dapat berubaha jika sampai jutaan mikrofilaria dan cacing dewasa
prilaku vektor utama juga berubah akibat yang berlokasi pada sistem limfatik.
tekanan terhadap siklus hidupnya. Tekanan Gejala klinis yang paling parah dari
revolusioner terhadap hidupnya diperkirakan penyakit bentuk kronik umumnya tampak pada
akan mempercepat perubahan prilaku vektor orang dewasa. Pada laki-laki lebih sering
sehingga akan mempengaruhi perubahan daripada wanita. Pada komunitas, 10-50%
penularan dan periodisitas mikrofilaria. Siklus menderita kerusakan genital terutama
sikardian inang justru terkait dengan aktivitas hidocoele (pembengkakan kantong testes berisi
dari inang. Perubahan aktivitas iang juga akan cairan) dan elephantiasis pada penis dan
mempengaruhi siklus sikardian dan periodisitas scrotum (SCHMIDT dan ROBERT, 2000).
mikrofilaria.

243
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi.

Bentuk inflamasi lokal yang akut bulan dan elephantiasis 1 tahun setelah
melibatkan kulit, kelenjar limfe dan pembuluh kedatangan (ANONIM., 2002a). Secara umum
limfatik dan sering diikuti lymphoedema atau terdapat keserupaan gejala klinis antara
elephantiasis. Beberapa dari ini disebabkan filariasis yang disebabkan oleh W. bancrofti
oleh respon imun tubuh terhadap parasit tetapi dengan B. malayi. Namun diantara keduanya
sebagian disebabkan infeksi bakteri pada kulit terdapat gajala klinis yang khas yang dapat
dimana pertahanan normalnya sebagian hilang digunakan untuk diferensiasi. Gejala klinis
karena kerusakan limfatik dibawahnya . yang khas pada B. malayi adalah terjadinya
Pada daerah endemik, manifestasi akut dan kaki gajah pada kaki dibawah lutut sedangkan
kronik dari filariasis cenderung berkembang pada W. bancrofti pada kaki atas maupun
lebih sering dan cepat pada orang baru bawah. Pada B. malayi umumnya jarang
daripada populasi lokal yang telah terus ditemukan hidrokel (hydrocoele) dan tidak
menerus terekspose infeksi. Odema limfatik ditemukan siluria (chyluria) sedangkan pada
(lymphoedema) mungkin berkembang dalam 6 W. bancrofti kedua gejala klinis tersebut umum

244
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

ditemukan. Filariasis brugian (filariasis yang Disisi lain respon imun terhadap cacing dewasa
disebabkan B. malayi) di Indonesia juga menyebabkan terbentuknya granuloma
dilaporkan disertai dengan pernanahan inflamatorik (inflammatory granuloma
(suppurative) pada kelenjar limfe (MCMAHON reaction) disekitar parasit (MCMAHON dan
dan SIMONSEN, 1996). SIMONSEN, 1996) yang diinisiasi oleh reaksi
Simptom pada filariasis brugian muncul antigen-antibodi.
lebih awal kurang lebih 1 bulan daripada Foki granuloma inflamatorik dan kompek
filariasis bancroftian. Respon imun terhadap antigen-antibodi menyebabkan tyerjadinya
cacing dengan cepat menyebabkan obstruksi limfatik dan odema limfa. Gabungan
lymphoedema dan pembengkakan kaki dari dua kondisi patologis yang disebabkan
simptom awal yang utama. Demam dan oleh parasit dan respon imun menyebabkan
lymphangitis adalag umum dan lebih sering terjadinya kaki gajah. Kaki gajah
ditemukan. Berbeda dengan filariasis termanifestasi sebagai konsekuensi karena
bancroftian, lymphoedema pada kaki adalah di adanya obstruksi limfatik yang menyebabkan
bawah lutut dan pada lengan di bawah siku. pembengkakan saluran limfe akibat odem (baik
Elephantiasis adalah sangat umum dan lebih akibat sensitisasi parasit, respon imun atau
cepatr berkembang (1-2 tahun). Pada filariasis keduanya).
bancroftian elephantiasis terjadi lebih dari 3
tahun (ANONIM., 1996).
Filariasis okult (Occult filariasis)
merupakan suatu kondisi dimana filariasis
terjadi didaerah endemik namun gejala
patologis klasik dari filaria tidak terlihat dan
mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah tepi.
Namun sesungguhnya cacing dewasa maupun
stadium larva dan mikrofilaria ditemukan
dalam jaringan atau organ. Contoh klasik dari
filariasis okult adalah TPE (tropical pulmonary
eosinophilia). Gejala klinis TPE adalah batuk
paroksismal, bersin bersin yang semakin parah
pada malam hari, demam, berkurangnya
kapasitas vital paru paru, volume tatal dan
residual paru paru (MCMAHON dan SIMONSEN,
1996). Diagnosa banding pada TP adalah TBC
paru dan miliar, astma bronkiale dan leukemia
eosinofilia serta alergi helmitiasis.

PATOLOGI DAN IMUNOLOGI

Pada filariasis, sebagian besar kerusakan


terjadi pada pembuluh limfe yang disebabkan
oleh cacing dewasa maupun oleh respon imun
inang terhadap cacing dewasa yang hidup
didalamnya. Kondisi patologis yang
disebabkan oleh parasit dan respon imun atau
kombinasi diantara keduanya agak berbeda.
Pada percobaan menggunkan mencit
diperoleh informasi bahwa cacing dewasa
menginduksi proliferasi sel endotel dan dilatasi
limfatik (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996).
Selanjutnya dilatasi limfatik tersebut akan Gambar 2. Infeksi oleh W. bancrofti menyebabkan
pembengkakan unilateral
diikuti dengan odema limfatik (lymphoedema).

245
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Kaki gajah tidak terbentuk seketika secara


akut tetapi terbentuk akibat edema limfatik
intermiten yang terkait dengan reinfeksi
kontinyu (berulang ulang) periodikal yang
menyebabkan kerusakan kolateral pembuluh
limfa dan pembentukan jaringan fibrosa serta
kalsifikasi (ANONIM., 1996, MCMAHON dan
SIMONSEN, 1996).
Terdapat perbedaan imunopatogenesis pada
limfatik filariasis terkait dengan stadium
parasit. Cacing dewasa hidup dalam limfa
sampai beberapa tahun sedangkan mikrofilaria
hanya hidup beberapa bulan dalam darah dan
akan mati jika tidak segera terhisap oleh vektor
(nyamuk). Respon imun yang mucul terhadap
pada cacing dewasa berbeda dengan respon
imun pada mikrofilaria. Implikasi yang
ditimbulkan oleh respon imun diantara kedua
stadium tersebut juga berbeda. Pada cacing
dewasa respon imun akan terkait dengan
formasi kaki gajah sebagai ciri klinis klasik
dari limfatik filariasis. Sebaliknya respon imun
pada mikrofilaria cenderung berimplikasi pada
kejadian amikrofilaremia dan terjadinnya TPE.
Didaerah endemik, individu yang
menunjukkan amikrofilaremia dan tanpa gejala
Gambar 3. Gambaran patologi filariasis yang
klinis memiliki antibodi terhadap selubung
disebabkan B. malayi.
Lymphoedema pada kaki di bawah mikrofilaria lebih tinggi dibanding individu
lutut (PETERS dan GILLES, 1991) yang menunjukkan mikrofilaremia (MCMAHON
dan SIMONSEN, 1996). Didaerah endemik
paparan dan reinfeksi terjadi secara berulang
dan periodik serta bervariasi dalam hal
kuantitas parasit sehingga stimulasi antibodi
berlangsung kontinyu. Namun demikian,
jumlah individu resisten tidak selalu lebih
besar dibanding yang peka. Amikrofilaremia
tidak selalu berarti bahwa mikrofilaria dapat
terliminasi sempurna tetapi mungkin juga
bermigrasi ke jaringan atau organ. Tampaknya
interaksi parasit – inang merupakan kunci dari
imunopatogenesis tersebut, terlebih meskipun
amikrofilaremia, individu tersebut masih
mungkin mengalami TPE.
Meskipun antibodi pada paparan berulang
dalam waktu lama dapat terbentuk tetapi
tampaknya pada awal awal paparan respon
imun terhadap mikrofilaria cenderung tidak
protektif. Hasil penelitian in vitro dengan sel
dendritik manusia memperlihatkan bahwa
Gambar 4. Gambaran patologi filariasis timorian MFAg (antigen solubel dari mikrofilaria)
sangat mirip dengan malayan dengan
mampu menginduksi sel dendritik untuk
lymphangitis akut dan abses filarial
pada saluran limfatik pada kaki mengalami maturasi tanpa disertai peningkatan
(PETERS dan GILLES, 1991) kemampuan sekresi IL 12 dan IL 10 secara

246
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

bermakna dan tidak optimalnya presentasi kompleman melalui jalur klasik yang secara
antigen pada limfosit (SEMNANI et al., 2001). alamiah akan menghasilkan efek samping
Kedua sitokin tersebut bersama dengan produk C2a, C3a dan C5a yang bersifat
presentasi antigen pada limfosit sangat esensial anafilotoksin. Sifat sifat tersebut secara
untuk regulasi dan aktivasi komponen seluler keseluruhan dan integratif sangat terkait
dan humoral pada respon imun adaptif maupun dengan pembentukan granuloma inflamatorik
natural. Fenomena tersebut memberi pada penderita filariasis dan memicu terjadinya
penjelasan atas kemapuan mikrofilaria untuk elefantiasis. Walaupun IgG4 juga dapat
bertahan hidup dalam darah sampai beberapa berikatan dengan komponen seluler dari sistem
bulan tanpa dapat dieliminasi sempurna oleh imun sepertihalnya IgG3 dan IgG1 namun
antibodi. Terstimulasinya sistem imun untuk kemampuannya sangat rendah dibanding kedua
berespon dan menghasilkan antibodi atau subklas IgG tersebut sehingga diperkirakan
komponen seluler adaptif spesifik terhadap tidak banyak terlibat dalam formasi kaki gajah
mikrofilaria diduga terjadi akibat paparan (elefantiasis).
berulang pada individu tersebut dalam jangka Adapun TPE tampaknya terkait dengan IgE
waktu lama seperti terlihat pada sebagian (dominan) dan IgG4 yang telah diketahui
individu yang tinggal didaerah endemik. kemampuannya menembus jaringan lebih
Di daerah endemik, terjadi kenaikan titer tinggi dibanding subklas IgG lainnya. Hal
IgG4 yang lebih tinggi dibanding IgG1, IgG2 tersebut digeneralisir dari sifat IgG4 dan IgG2
dan IgG3 pada individu yang amikrofilaremia, yang mampu menembus plasenta sedang IgG3
mikrofilaremia dan elefantiasis (SUYOKO, dan IgG1 tidak mampu menembus plasenta
komunikasi pribadi). Hal ini tidak mengejutkan (SNAPPER dan FINKELMAN, 1998). Reaksi
mengingat bahwa regulasi pembentukan IgG4 inflamasi jaringan dan persisten
dibawah kendali IL4 sedangkan IgG1 dan IgG3 hipereosinofilia yang menyertai TPE
dibawah kendali IL 10 yang produksinya relatif merupakan penghubung keterkaitan gejala
rendah pada paparan MFAg seperti dilaporkan tersebut dengan keberadaan IgE maupun IgG4
SEMNANI et al. (2001). Sebalinya IgG2 yang yang mampu mengaktivasi komplemen melalui
cenderung kurang protektif dan kurang jalur alternatif.
terstimulasi pada filariasi juga dipandang wajar
mengingat sintesis antibodi tersebut dibawah EPIDEMIOLOGI
regulasi IFNg yang rendah seperti dinyatakan
oleh SEMNANI et al. (2001). Namun pada Wuchereria bancrofti didistribusikan secara
individu yang mengalami elefantiasis tingkat luas di daerah tropis termasuk di dalamnya
kenaikan IgG3 dan IgG1 lebih tinggi dibanding Afrika sub sahara, India, Asia Timur,
individu yang tidak mengalami elefantiasis. kepulauan Pasifik Barat, kepulauan Karibia,
Demikian pula dengan IgE yang meningkat dan Asia Tenggara. Daerah endemis B. malayi
pada individu amikrofilaremia simtomatik adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara dari
dibanding individu mikrofilaria asimtomatik India di barat sampai korea di timur. Infestasi
(SUYOKO, komunikasi pribadi). oleh B. timori ditemukan di sebagian kecil
Terdapat perbedaan umum sifat subklas kepulauan di Timur Indonesia (ANONIM,
IgG terkait dengan proteksi dan progresifitas 1996).
patologi. Peningkatan IgG3 dan IgG1 pada Di Indonesia penyakit kaki gajah tersebar
penderita elefantiasis sangat korelatif dengan luas hampir di seluruh propinsi. Berdasarkan
terjadinya granuloma inflamatorik yang hasil survey pada tahun 2000 tercatat sebanyak
obstruktif pada pembuluh limfe. Hal ini 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
disebabkan karena IgG3 dan IgG1 sangat Kabupaten 26 propinsi sebagai lokasi yang
mudah membentuk komplek antigen-antibodi endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233
dan berikatan secara sangat kuat dengan orang. Hasil survey laboratorium, melalui
komponen seluler (monosit, makrofag, pemeriksaan darah jari rata-rata mikrofilaria
neutrofil) melalui reseptor FcγRI ataupun dalam darah (microfilaria rate = Mf rate)
berekasi lemah dengan FcγRIII (pada monosit, 3,1%, berarti 6 juta orang sudah terinfeksi dan
makrofag, sel NK dan limfosit T). Disisi lain, sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi
IgG3 dan IgG1 mampu mengaktivasi untuk tertular (ANONIM, 2002).

247
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

DIAGNOSIS diantaranya yang sangat simple yaitu “card


test” untuk mendeteksi antigen parasit yang
Terdapat beberapa teknik diagnosis yang bersirkulasi tanpa memerlukan fasilitas
telah dikembangkan dan digunakan secara laboratorium dan hanya perlu tetesan darah
rutin untuk diagnosis filariasis dengan sasaran dari ujung jari telah banyak digunakan untuk
yang beragam. Umumnya diagnosis diarahkan alat diagnosis (ANONIM, 2000). Pada dasarnya
untuk mendeteklsi mikrofilaria atau antigen teknik tersebut berbasis serologis yang secara
yang bersirkulasi dalam darah mengingat riil lebih lem,ah sensitivitas dan spesifisitasnya
sulitnya menemukan cacing dewasa dalam dibanding ELISA. Teknik lain yang ditawarkan
darah. Beberapa diagnosis yang dikembangkan untuk dapat diterapkan adalah menggunakan
diantaranya adalah pemeriksaan mikroskopis Polymerase Chain Reaction yang dapat
dan serologis serta miolekuler. Pemeriksaan mendeteksi 1 pikogram DNA filaria (ZHONG et
serologis dan molekuler umumnya kurang al., 1996). Beberapa kasus terjadi infeksi
praktis untuk dilapangan terutama didaerah amikrofilaremia, sehingga teknik untuk
endemik karena ketidakmampuannya mendeteksi antigen dari cacing dewasa adalah
menentukan status infeksi dan reaksi silang sangat bermanfaat (NICHOLAS, 1997; WEIL et
(untuk serologis) dengan parasit cacing al., 1996).
lainnya. Namun untuk apliksi didaerah yang
non endemik uji serologis merupakan suatu uji
yang bermanfaat. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Pada daerah endemik deteksi yang sangat
bermanfaat dan memiliki sensitivitas yang Strategi umum untuk mengeliminasi
tinggi serta aplikatif dilaboratorium maupun filariasis adalah secara ekstrem relatif sulit,
dilapangan adalah finger prick test dan The walaupun parasit dapat dideteksi secara
DEC provocative test (MCMAHON dan mikroskopis pada darah. Pencegahan utama
SIMONSEN, 1996) yang m,enjadi standar emas yang dilakukan adalah melindungi dari gigitan
pengujian. Oleh karena parasit mempunyai nyamuk pada daerah endemis (SCHMIDT dan
periode nokturnal yang membatasi ROBERT, 2000). Untuk memberantas penyakit
penampakannya dalam darah hanya beberapa filariasis ini sampai tuntas WHO sudah
jam disekitar tengah malam, maka finger prick menetapkan Kesepakatan Global, yaitu The
test hanya efektif dilakukan pada malam hari. Global Goal of Elimination of Lymphatic
Namun keterbatasan finger prick test dapat Filariasis as a Public Health problem by The
diatasi The DEC provocative test dengan yang Year 2020 (ANONIM, 2002). Program eliminasi
memprovokasi mikrofilaria agar bermigrasi ke dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan
darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah dengan kombinasi diethyl carbamazine (DEC)
pemberian DEC sehingga dapat dideteksi dan albendazole (Alb) yang direkomendasikan
dengan finger prick test. setahun sekali selama lima tahun. Indonesia
Namun demikian saat ini telah tersedia dan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah
ditawarkan berbagai alat diagnostik baru secara bertahap mulai tahun 2002. Tahun 2002

248
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Kecamatan Long Ikis di Propinsi Kalimantan ANONIM. 2000. Lymphatic Filariasis. WHO
Timur, ditunjuk sebagai percontohan Mediacentre.http://www.who.int/mediacentre/
pelaksanaan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah factsheets/fs102/en/index.html
tingkat Nasional (ANONIM, 2004b) .Kegiatan ANONIM. 2002a. Disease burden and
ini dilaksanakan atas dasar kesepakatan Global epidemiological trends. WHO Tropical
WHO pada tahun 2002. Kegitan ini bertujuan Diseases Research.
menurunkan angka mikrofilaria (MF. Rate) ANONIM, 2002b. Si Kaki Gajah Yang Bikin Gundah.
menjadi kurang 1% sehingga tidak menjadi http://www.hanyawanita.com/_health/article.p
masalah kesehatan masyarakat di pedesaan. hp?article_id=3688
Untuk melaksanakan Eliminasi ini WHO
ANONIM, 2004a. “Kaki Gajah” Serang 17 Daerah.
menetapkan 2 strategi utama yaitu:
Pikiran Rakyat, Sabtu 5 Juni 2004.
1. Pemutusan rantai penularan dengan cara
pengobatan massal kepada penduduk di ANONIM, 2004b. Eliminasi Penyakit Kaki Gajah
Kecamatan Endemis, dengan (Filariasis) di Kecamatan Long ikis,
menggunakan DEC dan Albendazole Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur.
Republika, 14 Januari 2004.
setahun sekali, selama 5 – 10 tahun.
2. Penatalaksanaan kasus klinis untuk ANONIM,, 2005a. Ditemukan 48 Kasus Kaki Gajah
mencegah kecacatan. di Sumsel. Kompas, 16 Mei 2005
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa dari ANONIM, 2005b. Tangerang Endemis Kaki Gajah.
sasaran penduduk di atas 2 tahun sebanyak Republika, 23 April 2005.
29.205 jiwa di Kecamatan Long Ikis, 24.700
jiwa mendapat pengobatan (84,57%), dan ANONIM, 2005c. Tes Darah Penderita Kaki Gajah.
Suara Merdeka. 12 Mei 2005.
reaksi samping sebanyak 3.624 jiwa (14,79%).
Sedang tata laksana kasus diberikan kepada ANONIM, 2005d. Pemerintah Berupaya Turunkan
penderita akut maupun kronik sebanyak 34 Jumlah Penderita Kaki Gajah.
orang. Evaluasi Epidemiologi dilakukan http://www.depkes.go.id/index.php
setahun kemudian (tahun 2003) dengan BUCK, A.A. 1991. Filariasis. In G.T. Strikland (Ed.).
pemeriksaan darah jari (spot check), dari Hunter’s tropical medicine. (7th ed.; pp. 713-
jumlah sediaan darah diperiksa sebanyak 2.026 727). Philadhelpia: W.B. Saunders Company.
sediaan darah, tidak ditemukan kasus positif MAIZELS, R.M., and R.A. LAWRENCE. 1991.
mikrofilaria (MF. Rate = 0%) Immunological tolerance: The key feature in
Hasil penelitian oleh OQUEKA et al. (2005) human filariasis? Parasitol.Today 11:50-56
pengobatan dengan DEC (6 mg/kg) dan
Albendazole (400 mg) pada kasus filariasis di MC MAHON, J.E and P.E. SIMONSEN. 1996.
Filariases. dalam COOK, G. (Eds). Manson’s
pulau Alor adalah efisien pada filariasis yang
Tropical Diseases 20th. ELBS – W.B.
disebabkan W. bancrofti, B. malayi dan
Saunders, London.
B.timori. Penggunaan single dosis dengan
kombinasi dua macam obat yaitu albendazole NICHOLAS,L. 1997. New tools for diagnosis and
dengan DEC atau albendazole dengan monitoring of branchoftian filariasis
ivermectin, adalah 99% efektif mengeliminasi parasitism: The polinesian experience.
Parasitol. Today 13:370-375.
mikrofilaria dalam darah selama setahun penuh
setelah pengobatan (ANONIM 2000; SCHMIDT OLSZEWSKI , W.L., S. JAMAL, G. MANOKARAN, S.
dan ROBERT, 2000) PANI, V. KUMARASWAMI, U. KUBICKA, B.
LUCOMSKA, A. DWOREZYNSKY , E. SWOBODA,
and F. MEISEL MIKOLAJCZYK. 1997.
DAFTAR PUSTAKA Bacteriologic studies of skin, tissue, fluid,
lymph, and lymph nodes in patients with
ANONIM. 1996. Wuchereria bancrofti: The filarial lymphedema. Am. J. Trop. Med. Hyg.
causative agent of Bancroftian Filariasis 57:7-15.
http://maven.smith.edu/~sawlab/fgn/pnb/wuch
ban.html#bioandepid

249
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

OQUEKA, T, T. SUPALI , I. I. ISMID , PURNOMO, P. SNAPPER, C.M. and F.D. FINKELMAN. 1998.
RUCKERT, M. H BRADLEY and PETER FISCHER. Immunoglobulin Class Switching. In PAUL,
2005. Impact of two rounds of mass drug W.E. (Ed.) Fundamental Immunology. J.W.
administration using diethylcarbamazine Lippincot Williams and Wilkin Co. USA.
combined with albendazole on the prevalence
of Brugia timoriand of intestinal helminths on WEIL, G.J., R.M.R. RAMZY, R. CHANDRASHEKAR,
Alor Island, Indonesia. A.M. GAD, R.C. LOWRIE, J.R. and R. FARIS.
1996. Parasite Antigenemia without
SCHIMDT, G.D., ROBERTS, L.S., 2000. Foundation of microfilaremia in bancroftian Filariasis. Am.
Parasitology. 6thed. The McGraw Hill J.Trop.Med.Hyg. 54:357-363.
Companies, Inc.
ZHONG, M., J. MC CARTHY, L. BIERWERT, M.
SEMNANI, R.T., H. SABZEVARI, R. IYER and T.B. LIZOTTE-WANIEWSKI, S. CHANTEU, T.B.
NUTMAN. 2001. Filarial Antigens Impair the NUTMAN, E.A. OTTESEN, and S.A. WILLIAMS.
Function of Human Dendritic Cells during 1996. A polymerase chain reaction assay for
Differentiation. Infect. Immun. 69: 5813 – detection of the parasite Wuchereria bancrofti
5822. in human blood samples. Am. J. Trop Med.
Hyg. 54: 357 – 363.

250

S-ar putea să vă placă și