Sunteți pe pagina 1din 7

Semudah memahami NLP

Beberapa saat setelah lengsernya Gusdur sebagai presiden, saya diundang untuk menjadi
fasilitator suatu pertemuan 2 hari -semacam retreat- di daerah sekitar Puncak, untuk menggodok
proses awal mula berdirinya suatu organisasi yang akan melanjutkan perjuangan Gusdur. Di situ
hadir para Jubir, orang-orang dekat Gusdur, perwakilan Keluarga, tim Pusat Data dan Informasi
untuk Juru Bicara pada saat era pemerintahan Gusdur, beberapa rekan LSM/Ormas, dll.

Dari proses itu, kemudian lahirlah apa yang dikenal sebagai Wahid Institute (WI) saat ini. Proses
berikutnya saya tidak terlalu terlibat lagi, lebih banyak melibatkan orang-orang yang kemudian
akan menjadi pengelola dan aktivis di WI tersebut. Sekarang WI sudah berjalan dengan baik
sekali, selain menjalankan misi utamanya, WI memiliki perpustakaan dokumentasi politik dan
perjuangan Gusdur, toko buku, dll. Beberapa dari Anda yang pernah ikut sharing NLP atau
LingkarLOA, yang dimotori oleh Heni Budi, umumnya sudah mengenal kantor WI yang terletak
di daerah Taman Amir Hamzah seputar daerah Matraman itu.

Perlu diketahui, saya bukan pendukung Gusdur secara politis, bukan pula anggota PKB maupun
simpatisannya, bukan juga anggota NU. Bahkan saya sendiri berasal dari lingkungan
Muhammadiyah, saya tergerak dan menyatakan bersedia saat diminta menjadi Staf Ahli Ibu
Negara RI, untuk membantu Ibu Nuriyah Wahid karena terkesan dan kagum dengan perjuangan
mulia Beliau dalam hal penyetaraan dan mengangkat hak-hak bagi kaum terpinggir, seperti
perempuan, anak jalanan, pekerja anak, orang cacat, tuna wisma, dan para pengungsi. Tahun
berikutnya pada pemerintahan Gusdur kemudian saya diminta menjadi anggota Tim Pusat Data
dan Informasi untuk mensupport Tim Juru Bicara Presiden waktu itu. Banyak pengalaman
berharga yang saya petik dan menjadi guru saya serta berguna dalam kehidupan.

Salah satu aktivitas WI tadi adalah pengelolaan web site yang cikal bakalnya sudah dimulai
semenjak masih berkantor di Wisma Negara waktu itu, alamatnya adalah www.gusdur.net. Pada
waktu penggodokan, saya masih ingat dengan jelas, bagaimana beberapa orang mengusulkan
adanya kolom berjudul “Memahami Gusdur“. Rencananya akan berisi tulisan yang membahas
pemikiran-pemikiran Gusdur dari waktu ke waktu.

Saya mendukung rencana keberadaan kolom itu, namun saya dengan tegas menolak judul
“Memahami Gusdur”. Alasan saya sudah tentu dilandasi dengan disiplin ilmu NLP, bahwa judul
“Memahami Gusdur”, adalah mempresuposisikan bahwa Gusdur itu sulit dipahami, dan hanya
akan makin mengukuhkan stigma itu saja.

Saya mengusulkan judul “Memahami Gusdur” itu diganti dengan judul “Pemikiran Gusdur“,
sehingga presuposisi bahwa Gusdur sulit dipahami tidak diperkuat oleh tim itu sendiri. (Catatan :
presuposisi = asumsi).

Atau jika masih senang dengan kata “memahami”, maka bolehlah dibuat judul “Memahami
Pemikiran Gusdur“. Judul baru ini setidaknya mereduksi stigma bahwa Gusdur (secara pribadi)
sulit dipahami, dan kemudian menggeser dan membatasi stigma itu hanya dalam hal
pemikirannya saja. Namun saat itu, tidak semua orang setuju dengan usul saya tadi, karena
judul “Memahami Gusdur”, nampaknya cukup manis dan seksi di telinga sementara orang.
Proses berikutnya saya sudah tidak terlalu terlibat lagi, sampai kemudian di hari Selasa malam
ini, setelah lebih dari 7 tahun setelah peristiwa itu. Entah kenapa, saya tiba-tiba ingin menengok
website itu. Saya tertegun dan senang sekali, bahwa kolom yang ada di kanan bawah adalah
berjudul “Pemikiran Gusdur“. Keren Man!

Ups, kawan…, stop dulu…! Artikel ini bukan dimaksudkan untuk melakukan klaim bahwa ide
itu adalah berasal dari saya, dan ingin mendapatkan credit / pengakuan / pujian dari sejarah itu.
Saya mengerti, mungkin saja sebenarnya ide awal saya itu sudah dilupakan dan terpendam dalam
lautan aktivitas WI. Kemungkinan lebih kuat yang terjadi adalah justru ada seseorang lain yang
datang dan mengusulkan ide yang memang bagus itu. Apapun dan bagaimanapun itu, selamat !!

Presuposisi dan Submodality

Kisah di atas, kami angkat dalam artikel ini dengan tujuan untuk menunjukkan bagaimana
NLP tidak hanya berkutat pada masalah terapi, parenting, time line dan sebagainya. Namun NLP
benar-benar seluas kehidupan itu sendiri, karena NLP memang dimaksudkan untuk membuat kita
lebih smart dalam hidup ini, setidaknya itu yang dikatakan Dr. Bandler di pelatihan-
pelatihannya. Pada kisah di atas, NLP dipergunakan di area politik, khususnya komunikasi
politik. Bahkan sebenarnya, di negara maju, para Spinning Doctor ataupun Politisi umumnya
adalah praktisi komunikasi politik yang belajar NLP. Anda tentu telah mendengar bahwa
Anthony Robbins adalah coach bagi Gorbachev, George Bush, Lady Di, Nelson Mandela, dll.

Jadi tulisan ini membahas salah satu ujung kuku dalam NLP yaitu aspek Language/ Bahasa,
khususnya adalah mengenai presuposisi. Pegiat NLP tentunya sudah hafal dan sering
mempraktekkan penggunaan presuposisi ini saat mengaplikasikan Meta Model maupun Milton
Model, benar begitu kan kawan-kawan?

Yuk, kita bereksperimen sebentar…

Duduklah rileks, mungkin tutup mata jika Anda ingin. Sekarang katakan dalam hati Anda
beberapa kali kata “Memahami Gusdur” di dalam hati Anda…, kemudian elicit submodality-nya.
Ups, kok pakai istilah rumit?!

Mari kita ganti, setelah Anda mengatakan dalam hati “Memahami Gusdur”, kenalilah gambaran
apa yang muncul di kepala Anda? Apakah gambaran itu bergerak atau diam, di mana lokasinya,
besar atau kecil gambarnya? Berwarna atau hitam putih? Bagaimanakah nada suara Anda dalam
mengatakan hal itu? Bagaimana pula perasaan Anda saat mengatakan dan membentuk gambaran
itu? Oke, stop sebentar…, tarik dapas dalam-dalam, lihat kanan kiri, dan tepuk tangan untuk
membuat break state….

Sekarang, pikirkan suatu pengalaman dimana Anda merasa sulit memahami sesuatu, boleh
apa saja: aljabar, matrix, kimia fisika, pemanasan global, atau memahami pacar Anda, hehehehe.
Perhatikan gambaran apa yang muncul di kepala Anda? Apakah gambaran itu bergerak atau
diam, di mana lokasinya, besar atau kecil gambarnya? Berwarna atau hitam putih?
Bagaimanakah nada suara Anda dalam mengatakan hal itu? Bagaimana pula perasaan Anda saat
mengatakan dan membentuk gambaran itu?

Nah sekarang silahkan diperbandingkan, apakah gambaran, suara dan perasaan yang Anda alami
tentang judul “Memahami Gusdur “, ternyata cenderung sama dengan saat Anda mengenerate
suatu perasaan sulit mengerti akan suatu hal? Lho, kok gitu yaaaaa?

Amazing khan!?

Well, sekarang kita mengerti kenapa kata “Memahami Gusdur” sebaiknya tidak dijadikan judul
artikel, karena membentuk submodality yang sama dengan “perasaan sulit mengerti” suatu hal.

Nah bagaimana jika artikel ini saya beri judul “Memahami Submodality“, atau “Memahami
Anchor“? Cukup membuat orang ter-install keyakinannya dan mungkin menjadi yakin bahwa
submodality atau anchor itu sulit dipahami.

Bagaimana jika judul “Memahami Submodality” diubah menjadi “Semudah memahami


Submodality“, atau judul “Memahami Anchor” diubah menjadi “Semudah memahami
Anchor“… Lihat, rasakan , dan dengarkan di pikiran Anda, bagaimana perubahan submodality
dengan mengganti judul-judul ini.

Oooh, jadi submodality itu penting ya?

Ya iya laaaah! Submodality itu penting, bahkan “Sepenting mempelajari NLP itu sendiri”.

Well,

Saya juga pernah mengagumi sepak terjang Tim PDI Perjuangan di awal terbentuknya dulu, saya
bukan simpatisan, bukan anggota bahkan tidak terlalu mengenal orang-orang di Partai ini. Yang
saya kagumi adalah kemampuan mereka merumuskan nama yang sangat cantik jika ditinjau dari
sisi linguistic NLP.

Tentunya Anda masih ingat, peristiwa pecahnya PDI menjadi 2 partai di era pemerintahan Orde
Baru. PDI terpecah dalam : PDI di bawah kepemimpinan Suryadi (Soerjadi), dan kemudian PDI
di bawah kepemimpinan Megawati yang mengubah nama dan logo partainya menjadi PDI
Perjuangan. Indah sekali namanya… Well, please dicatat, saya tidak ingin ikut campur mengenai
mana yang sah dan mana yang tidak…, sebab artikel ini bukan wacana politik, namun linguistic.

Coba kita rasa-rasakan, kata “perjuangan” mengandung konotasi positif atau negatif,
mempresuposisikan suatu perasaan , suara dan gambaran apa di pikiran kita?
Apakah kata perjuangan lebih mempresuposisikan suatu gerakan pembelaan kaum tertindas,
ataukah mencerminkan tempat berkumpulnya golongan tidak puas? Jangan berpendapat,
silahkan tutup mata, dan bereksperimen dengan submodality dan linguistic acuity Anda.

Apa yang terjadi jika diberi nama PDI Tandingan?

Silahkan di tes pula dengan submodality dan linguistic acuity Anda.

Oke,

Saya teringat bahwa salah ada salah satu periode pemerintahan di Indonesia yang sebenarnya
paling pintar dan lincah memainkan presuposisi. Tebak sendiri deh, periode siapa/kapan?

Hanya saja, mungkin karena saking senangnya dengan kesuksesan bermain kata-kata, kemudian
mereka kadang-kadang terlalu berlebihan, sehingga menjadi basi dan lantas bahkan jadi bahan
lelucon.

Misal pemerintah waktu itu sepertinya hobby penggunaan kata “harga disesuaikan“, untuk
menggantikan kata “harga naik “.

Kata “harga disesuaikan”, merupakan kata yang memiliki presuposisi yang amat baik, bahkan
submodality yang di-create juga positif. Saya teringat, bahwa kata-kata ini memang benar-benar
pernah berguna, dan berhasil membujuk rakyat untuk bersabar pada saat itu…….

Sayangnya, sekali lagi, kata-kata itu lantas menjadi basi karena pemerintah waktu itu lantas
sepertinya terlalu senang dengan hasilnya, dan mulai keranjingan “menyesuaikan harga” lagi dan
lagi dan lagi…

Hmmm, masih ingat peristiwa penangkapan para tokoh politik atau agama yang pernah santer
saat silang pendapat mengenai azas politik di era pemerintahan yang sama? Peristiwa itu
diwarnai dengan penggantian istilah “ditangkap” dengan istilah “diamankan“. Tentunya
dengan mudah Anda menebak, bahwa kata diamankan mengandung presuposisi yang sifatnya
ambigu: “mengamankan apa/siapa dari apa/siapa?” Apakah tokoh politik itu diamankan supaya
tidak diamuk massa, atau diamankan supaya tidak membuat onar lagi atau apa? Dengan
mengunakan kata ini, pemerintah berhasil memuluskan tindakan penangkapan tadi…

Sampai hari ini, salah satu lembaga di Indonesia masih rajin menggunakan kata “diamankan” ini.
Silahkan saja disimak di berita-berita. Demikian juga kata “pemeriksaan yang intensif “,
silahkan ditebak, kata ini menggantikan kata apa?

Uuuuuuuuuuuh…,
Mungkin baik jika kita ngolet sebentar. Gerakkan pinggang Anda, agar nyaman untuk berganti
contoh pembahasan di bidang yang lainnya.

Minggu lalu saya diminta memberikan pelatihan untuk Direksi dan Manajemen di sebuah Bank
Buuesar di Indonesia. Saat menjelaskan mengenai topik presuposisi ini, saya mengajukan contoh
pemberian nama untuk Kredit Usaha Kecil.

Peserta pelatihan lantas kami minta bereksperimen bagaimana jika kata Usaha Kecil diganti
dengan Usaha Berkembang dan atau Usaha Bertumbuh.

Silahkan para pembaca melakukan eksperimen untuk menjajaki perubahan presuposisi dan
submodality akibat pergantian ini. Nah, kira-kira belief system apa yang terinstall pada para
pengusaha itu, saat usahanya dijuluki dengan nama Usaha Kecil, dibandingkan dengan Usaha
Berkembang?

Oke,

Jadi mari kita periksa kebiasaan kita berkata-kata dengan anak kita, pasangan kita, orang tua kita,
anak buah kita, tetangga kita, dan seterusnya…

Misal kita katakan pada anak : “Kamu ini kok semakin nakal sih?”.

Ups, presuposisi apa yang sedang Anda install?

Misal kita katakan pada pasangan : “Berapa kali lagi saya harus mengatakan untuk membuatmu
mau mendengarkanku?”

Ups, presuposisi apa yang sedang Anda install?

Misal kita katakan pada anak buah : “Sebaiknya kali ini kamu langsung bicara jujur saja pada
saya?”

Ups, presuposisi apa yang sedang Anda install?

Jadi,

Apakah kita ternyata terbiasa mengembangkan kata-kata yang membangun suatu presuposisi
yang berguna atau sebaliknya?

Apakah submodality yang dihasilkan sesuai dengan yang kita harapkan, atau malahan ternyata
kita semua ini masih suka berbicara asal bunyi saja?
Mungkin ini saatnya kita semua perlu mengantongi ego kita dan kembali belajar…, mumpung
masih tahun ajaran baru…

Hmmm, hehehe…

Tiba-tiba saya teringat John LaValle bercanda di kelas Trainer’s Training, sehari sebelum hari
terakhir. Saat itu ia sedang mengumumkan bahwa besok akan diselenggarakan tes akhir
presentasi di depan kelas dengan menggunakan semua NLP tools yang sudah dipelajari selama
ini. Lantas ia mengatakan demikian :

“When you receive your NLP Trainer’s Training Certification…, ups….. No No No… wrong
word, Let me change! ………. “

Sambil tersenyum dan terkekek kecil ia melanjutkan :

“If you receive your NLP Trainer’s Training Certification, then you blah blah blah….”

Ups, saya tertegun, kok hanya sebagian kecil dari peserta yang tertawa ngakak.

Nah apa presuposisi dari kata-kata John La Valle itu, apa presuposisi dari kisah / peristiwa itu,
dan apa juga presuposisi dari kalimat yang saya tulis terakhir di atas kalimat ini?.

Saya juga bertanya-tanya, berapa banyak peningkatkan kualitas kehidupan yang akan dialami
pembaca, setelah membaca artikel ini?

Ronny F. Ronodirdjo

Sungguh, di atas langit masih ada langit.

Dan kata-kata dalam Kitab Suci akan selalu tetap saja lebih indah dari kata apapun di dunia ini…

Filed Under: NLP

Comments (26)
sigit

August 13th, 2008 at 12:13 AM


Bener Mas Ronny.. saya jadi teringat sama pepatah yang intinya berpikirlah seribu kali sebelum
kau berbicara, karena mulutmu harimaumu. Thanks inspirasinya

Untuk info lebih lengkap tentang NLP klik : www.belajarNLP.com

S-ar putea să vă placă și