Sunteți pe pagina 1din 18

Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan

(Round Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, 24-25 Juli 2009)

URGENSI ECOSYSTEM APPROACH DALAM


PENGELOLAAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI
INDONESIA
OLEH:
Noorsalam R. Nganro dan Gede Suantika (SITH-ITB)

Setidaknya terdapat beberapa konsepsi dasar terkait Pengelolaan Pesisir dan Pulau –Pulau
Kecil Indonesia di Wilayah Tropis yang merupakan bagian dari Ekosistem Global Bumi,
sebagai berikut:
1. Referensi Global Terminologi Ekosistem, Wilayah Pesisir, Negara Kepulauan:
 Alfred George Tansley (1935), pakar ekologi Inggeris pertama mendefinisikan
ekosistem:
o An ecosystem or ecological system is a biotic assemblage and its associated
physical environment in a specific space.
 Ecological Society of America:
o Ecology: is the scientific discipline that is concerned with the relationships
between organisms and their past, present, and future environments.
o Ecosystem: any geographic area that includes all of the organisms and
nonliving parts of their physical environments.
o Biodiversity: biological diversity, or biodiversity for short, refers to the
variety of life forms at all levels of organization, from the molecular to the
landscape level.
 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration):
o Ecosystem is a geographically specified system of organisms (including
humans) and the environment and the processes that control its dynamics.
o The environment is the biological, chemical, physical and social conditions
that surround organisms.
 United Nations (Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea): Key features
of an ecosystem:
o An ecosystem exists in a space with boundaries; ecosystems are
distinguishable base on biophysical attributes and locations;
o An ecosystem includes both living organisms and their abiotic environments;
o The organisms interact with each other and interact with the physical
environments;
o An ecosystem is dynamic – its structure and function change with time;
o An ecosystem exhibits emergent properties that are characteristic of its type,
and invariant within the domain of existence.
 Small Islands Developing States (SIDS) (beranggota 36 negara, tidak termasuk
Indonesia?) mendefinisikan „wilayah pesisir‟:
o The coast can be defined from a spatial point of view as all those areas that
drain out to the sea and those that periodically inundated by the tides or are
permanently covered by the sea, down to the edge of the continental shelf
where the sea bottom slopes rapidly to the deep sea.
2

o This definition embraces the coastal watersheds, plains and shorelines, the
rivers, estuaries, the wetlands that drain them, the beaches, seagrass beds,
coral reefs, and other marine formations occurring on the continental shelf.

 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982. Part IV,
Article 46, mendefinisikan Negara Kepulauan (atas kontribusi besar dari Professor
Dr. Mochtar Kusumaatmadja):
o ”archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other island;
o “archipelago” means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically
have been regarded as such.

 US Environmental Protection Agency: Seven Pillars of Ecosystem Management


Approach (EMA):
1. EMA reflects a stage in the continuing evolution of social values & priorities;
it is neither a beginning nor an end;
2. EMA is place-based and boundaries of the place must be clearly and
formally defined;
3. EMA should be maintain ecosystem in the appropriate condition to achieve
desired social benefits;
4. EMA should take advantage of the ability of ecosystems to respond to a
variety of stressors, natural and man-made, but all ecosystems have limited
ability to accommodate stressors and maintain a desired state;
5. EMA may or may not result in emphasis on biological diversity;
6. The term sustainability, if used at all in ecosystem management should be
clearly defined-specifically the time frame of concern, the benefits and costs
of concern, and the relative priority of the benefits and costs;
7. Scientific information is important for effective ecosystem management, but it
is only one element in a decision-making process that is fundamentally one of
public and private choice.
So, EMA is “the application of ecological and social-economic information,
options, constrains to achieve desired social benefits within a defined geographic
area and over a specified period”.

Pada Bagian 1 ini, secara singkat dapat dinyatakan secara jelas bahwa falsafah konsep
ekosistem meliputi sistem interaksi lingkungan hidup (termasuk manusia) dari skala ruang
geografik yang kecil/terbatas sampai pada skala global Ekosistem Bumi ini. Bukan
pengertian sebaliknya bahwa ekosistem itu adalah bagian dari ruang dan atau lingkungan
hidup. Jadi ekosistem merupakan konsep induk yang meliputi sub-sistem lingkungan hidup
pada ruang.

2. Referensi Nasional, Beberapa Terminologi Dalam PerUndang-Undangan RI

 UU RI No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Catatan: tidak


dijiwai falsafah konsep ekosistem): Pasal 1: Ketentuan Umum

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
3

o Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,


keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lainnya.
o Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup.
o Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
o Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan
utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.

 UU RI No.26/2007 Tentang Penataan Ruang, (tidak dijiwai falsafah konsep


ekosistem) Pasal 1: Ketentuan Umum,
o Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia
dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
o Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan /atau aspek fungsional.
o Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

 UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


(sudah mengakomodasi konsep ekosistem): Pasal 1: Ketentuan Umum,
o Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah statu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah
daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
o Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan, hewan, organisme dan non-
organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan productivitas.
o Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
o Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.
o Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal,
rawa payau dan laguna.
o Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam suatu hamparan
kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam seperti daerah
aliran sungai, teluk, dan arus.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
4

o Kawasan adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi,
sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
o Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui
penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan
daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai suatu
kesatuan dalam ekosistem pesisir.
o Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati,
sumberdaya non-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
o Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove,
dan biota laut lain;
o Sumberdaya non-hayati meliputi pesisir, air laut, mineral dasar laut, udara;
o Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, pemukiman
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
o Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perkehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya.
o Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya
kegiatan orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.

Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan pada Bagian 1 dan 2 diatas, yang terkait
dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, secara internasional „Konsep Ekosistem‟
adalah lebih tepat digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif,
mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dll., secara
saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia
dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands
Development States (SIDS).

Tabel 1 Hubungan Interaksi Fungsional pada Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil :

Tipe-tipe Penjelasan Kemampuan Potensi Potensi


Ekosistem Jasa Pemanfaatan Ancaman
Jasa Ekosistem
1) Pantai Dipantai terbuka, Bisa sebagai Rekreasi Perusakan habitat
berpasir jauh dari muara tempat bersarang Konservasi Tambang pasir
sungai (estuari) penyu Tumpahan
minyak
2) Pantai Terbuka kena Kaya Rekreasi Erosi pantai
berbatu ombak biodiversitas
3) Terumbu Diperairan jernih, Sangat produktif, Konservasi Tangkapan ikan
karang perairan dangkal, tempat berbiak, Pariwisata berlebih, racun
kedalaman 200 m; berlindung Perikanan ikan, pemboman,
sangat peka ikan2, kerapu, Perlindungan penambangan
kekeruhan, tuna, kakap, pantai, pulau- karang, erosi dari

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
5

kenaikan suhu, udang, penyu, pulau kecil dari penggundulan


pencemaran, biota laut lain, gelombang besar vegetasi di darat
sedimentasi; rumput laut dan kenaikan
Jika terumbu muka laut. Jika terumbu
karang hidup sehat karang rusak,
meluas, pertanda pertanda akan
banyak ikan tuna. ”TUNA IKAN ”.
4) Padang Terdapat diantara Sangat produktif, Sumber makanan, Tangkapan ikan
lamun terumbu karang dan tempat berbiak, farmasi, kosmetik, berlebih,
rumput laut mangrove (bakau) tumbuh, industri biotek perusakan karang
berlindung ikan, dan sumber energi dan mangrove,
udang, kepiting biofuel. pencemaran
dan biota laut minyak,
lain, kaya nutrisi sedimentasi
alami
5) Pantai Terdapat disekitar Produktivitas Konservasi Perusakan
berlumpur muara sungai biologis tinggi, habitat,
(estuari), atau kaya siklus pencemaran
delta-delta nutrisi. minyak.
6) Estuari/delta Pertemuan air Sangat produktif, Jalur pelayaran, Sampah,
tawar dan laut kaya nutrisi, Akuakultur, Pencemaran
(perairan payau) berbiak ikan, Perikanan Banjir,
udang, kepiting, tradisionil Sedimentasi.
7) Mangrove Terdapat disekitar Kaya udang, Sumber kayu Tumpahan
(hutan bakau) muara sungai, kepiting, udang; untuk konstruksi, minyak,
tempat berlumpur, tempat beberapa reklamasi lahan, Pestisida-pupuk
bau sulfur, mamalia, reptil, akuakultur, dari pertanian,
perangkap debris burung; produksi pariwisata, Pembabatan kayu
sampah, kaya primer sangat industri biotek mangrove,
nutrisi, pencegah tinggi dan perlindungan Pembukaan
erosi, pelindung bentuk pantai tambak
pantai berlebihan
8) Hutan rawa Sepenuhnya Siklus nutrisi Sumber kayu, Tumpahan
pasang surut mangrove atau tinggi, tempat rumah tradisional. minyak
didominasi makan ikan, Reklamasi lahan Pestisida-pupuk
tumbuhan nipah udang, kepting basah, tempat berlebih dari
saat pasang naik. akuakultur dan pertanian,
Perangkap sumber gula atau Pembabatan
sedimen bioethanol nipah/bakau
9) Laguna Agak tertutup, Produktivitas Pariwisata, Pencemaran
sedikit terbuka, ikan, udang, Navigasi,
jalan masuk dari kepiting, tempat Tangkap ikan,
laut dapat berubah- berbiak secara Budidaya.
ubah alami biota laut
lain
10) Pulau-Pulau Terdiri dari gosong Masing-masing Pariwisata Air tanah minim,
Kecil karang, pulau pulau dianggap Pemukiman intrusi air laut;
karang muncul, mempunyai Stasiun pengamat limbah;
atol, vulkanik; ekosistem unik. Pertanian penduduk padat;
pulau benua; subsisten Penebangan
Ukuran luas kurang Marikultur vegetasi,
dari 2000 km2. Sumber Pemanasan
Jumlah seluruh bioindustri masa Global,
Indonesia > 17000 depan, termasuk lenyapnya pulau-

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
6

ragam pulau-pulau. biofood & biofuel. pulau kecil akibat


kenaikan muka
laut 15-19
mm/tahun.

Informasi ekologis dalam tabel diatas menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut
dangkal (perairan teritorial) dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang
paling produktif karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat
rentan dari dampak degradasi akibat aktifitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut
Zona Ekonomi Ekslusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas perairan
dangkal.
Illustrasi dibawah ini menunjukan interaksi dampak kegiatan buatan manusia atau alam di
wilayah pesisir:

Upstream Development

Coastal Development
Deforestation
Generate
Agriculture Development
Domestic waste
Land KONFLIK Industrial waste
Soil erosion Landslide
Overuse of Loss of soil
KEKOSONGAN HUKUM Deterioration of pesticide & fertilizer
Sedimentation
river water quality
Damage of structure on land Eutrophication of river water on river bed
BANJIR
KERUSAKAN HABITAT Deterioration of river ecosystem

EROSI Construction of
aquafarm
Deforestation of
Mangrove forest
Dredging/
Reclamation Pollution of PENCEMARAN
coastal water

Beach erosion Disappearance of


mangrove forest

Deterioration & Disappearance OVERFISHING


Coral/Sand Mining of Coral Reef

Sea Deterioration of Coastal Ecosystem

Decreasing fishery resources

Deterioration and destruction of coral reef


SEA LEVEL RISE
TSUNAMI
Overfishing
BADAI
Dynamite fishing Use chemicals Oil pollution
Oil spill
Ilegal fishing Accident of vessel Oil spill from
Inappropriate fishing Oil spill from vessel chemicals plant

(Subandono, 2001)

Keterkaitan Dampak Kegiatan Manusia dan Alam dengan Ekosistem Pesisir

Gambar 1. Keterkaitan Dampak Kegiatan Manusia dan Alam dengan Ekosistem Pesisir

3. Mengapa Pendekatan Ekosistem (ecosystem approach) dalam Pengelolaan?

Keberadaan ekosistem-ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa


ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa yang
diperlukan untuk berpenghidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir.
Sehingga jasa-jasa ekosistem itu dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan kegiatan
ekonomi masyarakat.
Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh masyarakat (dalam Millennium Ecosystem
Assessment, 2005), meliputi:
 Keamanan dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan
tercukupi; akses terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari
bencana karena lingkungan disekitarnya tidak rusak.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
7

 Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi untuk berpenghidupan, misalnya mata


pencaharian mudah karena ikan melimpah; makanan bergizi terpenuhi;
pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan barang-barang yang
diperlukan;
 Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat, sehat, mudah mendapatkan air dan
udara bersih;
 Hubungan sosial baik, saling menghormati dan mempunyai kemampuan saling
membantu satu dengan lainnya.

Pertanyaan, mengapa memilih Pendekatan Ekosistem?, karena dalam konsepsi dasar


ekosistem yang sudah dipaparkan diatas, di dalam kompleksitas itu tergambar proses
interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik, adaptif, kolaboratif, dalam suatu area geografik
dengan multifaktor eksternal/internal yang terkait. Oleh karena itu paradigma
pengelolaan sumberdaya pesisir-laut ke depan harus berubah ke pendekatan ekosistem
(NOAA, 2006; UN 2007). Perubahan paradigma itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Paradigma Sekarang Paradigma ke Depan


Dalam Pengelolaan (Pendekatan Ekosistem)

Individual Spesies Multi Spesies (beranekaragam)


Skala & Perspektif Skala & Perspektif Luas
Sempit/Terbatas
Manusia Independen dari Manusia Bagian Integral dari
Ekosistem Ekosistem
Disconnected Pengelolaan SD Integrated Pengelolaan SD
Survei-Observasi untuk Survei-Observasi untuk Berbagi
Pemanfaatan Tunggal Pemanfaatan
Keputusan Tidak Selalu Pengelolaan Adaptif Didasarkan
Didasarkan Observasi Saintifik Observasi Saintifik
Pendekatan Disiplin Terbatas/ Pendekatan Multi-Disiplin
Sektoral (al.ekologi, ekonomi,enjiniring, sosiologi)

Gambar 2. Perbandingan antara Paradigma Pengelolaan Saat ini dengan Pengelolaan Berdasarkan
Pendekatan Ekosistem.

Indikator kunci pengelolaan pendekatan ekosistem adalah membangun keberlanjutan


keseimbangan ekologis dan sosio-ekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar
pemandu dalam strategi perencanaan untuk wilayah Pesisir dan PPK. Pemangku
kepentingan terlibat secara kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan
bermanfaat dan dapat mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan.
Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dinyatakan
sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang
mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, bahwa sesungguhnya para
ekolog membutuhkan ekonom/enjinir, tidak lain bermaksud bersama-sama untuk

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
8

melindungi fungsi sistem alam (ekosistem) untuk secara terus menerus menghasilkan
jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa
membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya alam
(ekosistem) maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem (wilayah)
itu, yang tentu berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini
dapat dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog) –
Adam Smith (ekonom).

4. Terobosan Inovasi Kebijakan Langsung ke Desa Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


Perlunya suatu terobosan inovasi kebijakan yang berwawasan pendekatan ekosistem,
karena kita dihadapkan pada suatu tantangan berat terhadap kenyataan permasalahan-
permasalahan di wilayah ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagai berikut:
Permasalahan lingkungan (ekologi):
 Perubahan iklim dunia (global climate change);
 Ekosistem-ekosistem yang rapuh (fragile ecosystems);
 Erosi tanah, degradasi kualitas lahan karena pencemaran;
 Terbatasnya sumberdaya air tawar,
 Limbah yang tidak diolah dan langsung dibuang ke lingkungan,
 Permasalahan kritis pada kesehatan masyarakat.
Permasalahan ekonomi:
 Pertanian dan perikanan yang subsisten,
 Kapasitas teknologi kurang,
 Infrastruktur dan pemukiman yang tidak memadai,
 Sangat tergantung dari mendatangkan barang dari luar,
 Kurang akses pasar,
 Umumnya kurang kemampuan finansial.
Permasalahan sosial:
 Kurang SDM berkualitas karena kebanyakan kurang berpendidikan,
 Kurang kemapuan, kapasitas institusi,
 Mudah terjadi ketegangan sosial,
 Tata kelola kelembagaan lemah,
 Jejaring masyarakat lemah,
 Kurang inovasi budaya.
Permasalahan-permasalahan diatas tidak dapat diabaikan (ignored). Catatan pengalaman
buruk telah terjadi yakni lepasnya Pulau Sipadan dan P.Ligitan dari NKRI pada tahun
2004.Oleh karena itu, tantangan berat dihadapan kita adalah bagaimana memperbaiki
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya melalui:
 Program peningkatan basis ekonomi lokal,
 Program peningkatan produktivitas yang teritegrasi secara ekologis,
mengurangi kemiskinan dan tetap memperhatikan isu pendidikan dan
kesehatan.
Terobosan inovasi kebijakan itu adalah sesuatu hal penting dan mendesak, dari pusat ke
daerah yang difokuskan langsung pada tingkat Desa Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Program pembangunan pada sector-sektor pemerintahan harus terintegrasi, terencana,
berkesinambungan dan terukur pemberdayaannya, dapat diwujudkan melalui pelaksanaan
amanat UU OTDA No 22/1999, dengan cara memperbanyak program percontohan
”Tugas Pembantuan Pemerintah” langsung ke Desa-Desa Pesisir dan PPK, yang

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
9

tersebar pada hampir 500 Kabupaten di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan jumlah
dan kualitas hidup nelayan.

5. Beberapa Informasi Bermanfaat Tentang Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Tabel dibawah ini memberikan informasi tentang perkiraan kasar “Global Economic
Values of Annual Ecosystem Services” (Costanza et al. 1997):

Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekonomi Rata-rata yang dihasilkan oleh Beberapa Tipe
Ekosistem

Type of Ecosystem Value per Ha Global Value


($US/year) (Billion Main Service
$US/year)
Estuaries 22, 832 4,100 Nutrient cycling
Swamps/Floodplains 19,580 3,231 Water supply,
disturbance
Seagrass/Algae 19,004 3,801 Nurient cycling, Food
Beds
Mangroves/ 9,990 1,648 Waste treatment,
Tidal Marsh disturbance
Lake, Rivers 8,498 1,700 Water regulation
Coral Reefs 6,075 375 Recreation
Tropical Forests 2,007 3,813 Climate regulation,
Nutrient cycling, raw
materials
Coastal Shelf 1,610 4,283 Nutrient cycling
Temperate Forest 302 894 Climate regulation,
nutrient cycling
Open Oceans 252 8,381 Nutrient cycling
Grass/Rangeland 232 906 Waste treatment
Cropland 92 128 Food
Desert - - 1,925 million Ha
Tundra - - 743 million Ha
Ice Rock - - 1,640 million Ha
Urban - - 332 million Ha

Tabel 3. Perkiraan Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan Indonesia (PKSPL – IPB, 2007):
Komoditi Potensi Perkiraan Nilai (US$
(Ton/Tahun) Juta/Tahun)
Perikanan Tangkap Laut 5.006 15.101
Tangkap Perairan Umum 356 1.068
Budidaya Laut (Mariculture) 46.700 46.700
Budidaya Tambak 1.000 10.000
Budidaya Air Tawar 1.039 5.195
Industri Biotek Laut - 4.000
Total Nilai 82.064

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
10

Total Nilai sumberdaya hayati perikanan Indonesia sekitar US$ 82 Milyar per tahun
dengan jumlah tenaga yang dapat diserap sekitar 10 juta orang per tahun, termasuk yang
bekerja pada industri-industri maritim, migas dan perhubungan. Adapun data nelayan
murni Indonesia sekitar 1,96 juta orang (DKP,2007). Data nelayan murni ini kurang dari
1% dari total penduduk Indonesia, keadaan ini belum menunjukkan bahwa negara ini
adalah Negara Kelautan.

Luas wilayah perairan nasional sebagai Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut
PBB (diratifikasi Indonesia dengan UU No 17/1985) adalah mencapai 5,9 juta km
persegi. Jumlah tersebut terdiri dari 3,2 juta km persegi sebagai perairan teritorial dan 2,7
juta km persegi sebagai perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Sedangkan luas daratan pulau
sekitar 1,9 juta km persegi, dengan jumlah pulau-pulau 17.508. Namun jumlah pulau-
pulau itu akan berkurang drastis, sebagai konsekuensi adanya penertibkan administrasi
pengidentifikasian pulau-pulau kecil dan toponim (penamaan pulau) yang belum selesai
untuk seluruh Indonesia (Alex Retraubun, Dirjen PPPK-DKP, Kompas 6-06-2009).
Dari data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di Indonesia sekitar 85.700
hektar. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut pada ekosistem ini mencapai
US$ 520,6 Juta per-tahun. Terumbu karang di Perairan Nusantara ini mencakup fringing
reef seluas 14.542 km persegi; barrier reefs (50.223 km persegi); oceanic platform reefs
(1.402 km persegi) dan atolls (19.540 km persegi). Pada World Ocean Conference
(WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan Nusantara (terutama di Wilayah
Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the World, karena terdapat biodiversitas
karang 500-600 spesies, terbesar di dunia. Sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat
produktivitas ikan tuna dunia. Kalau ekosistem karang ini rusak, maka yang terjadi
adalah akan tertinggal simbol ”TUNA IKAN”.
Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya laut (rumput laut,
ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24,5 juta ha (DKP, 2002). Jika ditaksir
kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al. (1997), maka dapat
diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan tersebut (as coastal shelf) adalah
sekitar US$ 39,4 Milyar per-tahun.
Potensi migas nasional misalnya, diperkirakan menyimpan potensi kandungan 84,48
miliar barrel minyak yang terdapat dalam 60 cekungan migas dimana 40 cekungan berada
di off-shore dan 14 cekungan di pesisir (Kompas: 19-11-2003).
Nilai ekonomi ekosistem perairan laut nasional yang telah digambarkan diatas jika itu
dikelola dengan falsafah pendekatan ekosistem, yang terintegrasi dari darat ke laut,
sungguh peluang kekuatan ekonomi yang amat besar bagi pembangunan kesejahteraan
Bangsa Indonesia.

6. Peningkatan SDM Terdidik Cinta Ekosistem Laut Sebagai Kunci Sukses Mengisi
Visi/Misi Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Mengambil makna Pepatah Cina:
If you are planning for a year, plant rice…
If you are planning for a decade, plant trees…
If you are planning for a lifetime, educate people.

ITB sebagai lembaga pendidikan Ilmu Pengetahuan-Teknologi-Seni dan Manajemen


terkemuka di Indonesia adalah menjadi tugas dan kewajiban terkemuka pula dalam

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
11

membuktikan baktinya terus berkarya mendidik mahasiswa, meneliti dan turut


memberdayakan masyarakat, membangun karakter hidup kerja cinta ekosistem laut
dengan falsafah pengelolaan ekosistem.

Adapun karakter hidup kerja yang menjiwai falsafah ecosystem approach to management
(Anonim, 1998; Wade & Webber, 2002; UN 2007)) adalah :
 Desentralisasi pemecahan masalah,
 Terbuka menerima masukan (feedback) dari semua level,
 Berani mengambil keputusan karena dukungan partisipasi masyarakat,
 Berkehendak kuat melakukan revisi, revisit dan menyatakan salah jika ada
kekeliruan;
 Berbagi visi/misi untuk melindungi dan terus menerus memperbaiki fungsi
ekosistem untuk anak cucu.
 Pengelolaan melintas batas administratif pemerintahan dapat terjadi, karena
masyarakat menikmati manfaatnya secara luas,
 Terbuka untuk bermitra dalam pengelolaan.
Dari uraian yang telah dikemukakan dari awal tulisan ini, secara umum dapat dinyatakan
bahwa bisa terjadi perbedaan pengertian yang sangat prinsip dimana-mana pada setiap
daerah karena perbedaan penggunaan terminologi dalam perUndang-Undangan RI dan
Peraturan Pemerintah, sehingga berimplikasi multitafsir menterjemahkan dalam
Peraturan-Peraturan Daerah, dapat berakibat fatal timbul konflik, tidak konsisten pada
implementasi antar daerah, karena faktor kapasitas kompetensi SDM, terutama pada level
Pemerintahan Daerah ke Desa/Kelurahan, sehingga tentu berimplikasi terhadap sukses
tidaknya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Ditambah faktor ego sektoral dan secara intrinsik birokrsai panjang di pemerintahan,
mulai dari Pusat sampai ke Desa dapat berakibat lebih fatal lagi. Faktor ini sesungguhnya
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari suatu pendekatan ekosistem, yang
berfilosofi sistem kerja berinteraksi, berintegrasi, berinterkoneksi, berjejaring
(networking), bersimbiosis, dalam 4 dimensi (ekologi+ekonomi+sosial+ waktu), yang
dapat menghasilkan jasa-jasa ekosistem bernilai tinggi (direct and indirect values) yang
akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas berpenghidupan manusia dan mahluk-mahluk
hidup lain di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Sebagai usulan strategis untuk membantu mengintegrasikan pengelolaan (perencanaan,
koordinasi, implementasi program, pemantauan, pengawasan, reward dan punishment),
dari tingkat nasional sampai ke wilayah tingkat desa, adalah sangat urgen diperlukan
suatu integrasi informasi (dalam bentuk SIG) yang kontennya dimasukan dimensi
ekologi, ekonomi dan sosial wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Informasi
mudah diakses, mudah diupdate setiap saat, mudah dipantau/diawasi, sekaligus
membuktikan bahwa Sistem Informasi Ekosistem Nasional memang berfungsi.

7. Contoh Hasil Observasi Kenaikan Muka Air Laut Dalam Studi Indeks Kerentanan
Ekosistem Pulau-Pulau Kecil, Studi Kasus di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta (DKP-ITB, 2008).
Dalam studi pertama Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) terhadap kenaikan
muka laut, dimasukkan 8 parameter, yakni:

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
12

 Geomorfologi pembentukan pulau-pulau kecil,


 Tutupan vegetasi,
 Tutupan terumbu karang hidup,
 Tipologi pantai,
 Laju Kenaikan muka laut,
 Significant wave height (bukan mean wave height),
 Mean tidal range (rata-rata pasut),
 Kepadatan penduduk.
Dari parameter tersebut kemudian ditetapkan skor dari 1 hingga 5 yang menunjukkan
tingkat kerentanan. Dari indeks tersebut dapat diketahui pulau-pulau yang memiliki
kerentanan tinggi, dapat dilakukan pemantauan, rencana mitigasi dan adaptasinya.
Sebelum itu telah dilakukan studi pendahuluan oleh Kosasih Prijatna et al.(2006),
Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, telah menunjukkan hasil observasi kecepatan
kenaikan muka laut di beberapa wilayah perairan laut di Indonesia, hasilnya ialah di
Perairan Laut Jawa naik rata-rata 15 millimeter per-tahun, sedangkan di Laut Timur dan
Sulawesi 19 mm dan 16 mm per-tahun. Di Laut Cina Selatan rata-rata 17 mm per-tahun
(lihat Gambar).
Menurut Alex SW. Retraubun (Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Departemen
Kelautan & Perikanan), pulau bertipe daratan rendah merupakan yang paling terancam
lenyap akibat kenaikan muka laut. Ketinggian daratan pulau bertipe ini hanya berkisar
satu meter. Di Indonesia yang bertipe seperti Kepulaun Seribu sangat banyak seperti
Kepulauan Sumenep, Kepulauan Aru, Kepulauan Selayar; diperkirakan sekitar 3000
pulau, bakal lenyap akibat kenaikan muka laut (Kompas: 01-05-2009).

m/yr
Gambar 2. Kecepatan Kenaikan Muka Muka Laut di Wilayah Perairan Indonesia
berdasarkan data TOPEX dan Jason-1 Perioda 1992-2005, (Prijatna et al, 2006)

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
13

Formulasi Gornitz
dan Pengembangannya

MAX

PANGGAN
PRAMUKA G

Indeks Kerentanan
MEAN
KOTOK
SEBARU

PANGGANG
PRAMUKA
MEAN
KOTOK
SEBARU

MIN Hasil Perkalian 8 Parameter


Gornitz Studi DKP-ITB, 2008

Gambar 3 Pengembangan Formulasi Gornitz (1997) untuk Studi Kasus Indeks Kerentanan
Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Pengembangan Formula Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka
Laut (dalam Studi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global
(DKP-ITB, 2008)

MITIGASI PPK KEPULAUAN SERIBU

 INDIKATOR
RENCANA
PENGELOLAAN
WILAYAH PPK
KEPULAUAN
SERIBU
 RENCANA
STRATEGIS
ADAPTASI
TANGGAP
DARURAT

Gambar 4 Model Simulasi dan Mitigasi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta

Peta Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka Laut (dalam Studi
Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (DKP-ITB, 2008)

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
14

8. Contoh Prospek Teknologi untuk Pemberdayaan Ekonomi Desa Pesisir:

1. Penggunan SIG untuk perencanaan dan pengelolaa kawasan budidaya tambak di wilayah
pesisir dengan pendekatan ekosistem.

Pola Distribusi Produksi Tambak Tradisional Skala Kawasan Di Kabupaten Serang, Banten
dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis (2009), Oleh Arif Supendi, Thesis Magister
Biomanajemen SITH ITB (Pembimbing : Dr. Noorsalam R. Nganro & Dr. Akhmad Riqqi)

Visualisasi Pola Distribusi Produksi Tambak Tradisional Skala Kawasan


di kabupaten Serang, Banten Berdasarkan Skor Ekologi Skala Wilayah

Interval skor Ekologi Produksi Tambak Luas


Rangking Keterangan (Ton/Ha/Tahun) (Ha)
Skala Wilayah
A 0,01319 s.d. 0,01889 Baik >1 1.788
B -0,00226 s.d. 0,01319 Menengah 0,5 – 1 1.816
C -0,05598 s.d. -0,00226 Kurang baik < 0,5 4.284

Kriteria yang mempengaruhi :


1. Tata guna lahan pada unit lahan
2. Tata guna lahan pada Daerah Aliran
Sungai

Tirtayasa
Tanara
Keramatwatu
Pontang

Kasemen

Gambar 5. Contoh Aplikasi Berbasis SIG dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir di
Kabupaten Serang.

2. Teknologi ‟Zero-Waste Discharge‟ Budidaya Benih Ikan Laut di Wilayah Pesisir


Pengembangan Sistem Resirkulasi untuk Pembenihan Ikan Kakak Putih (Lates calcarifer
Bloch) pada Tahap Post Weaning (2009), Oleh Tinggal Hermawan, Thesis Magister
Biomanajemen SITH ITB (Pembimbing: Dr.Gede Suantika).

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
15

Gambar 7. Rancangan Sistem Teknologi Akuakultur dengan Menggunakan Resirkulasi.

Gambar 8. Contoh Aplikasi Teknologi Akuakultur yang lebih Ramah Lingkungan dengan
menggunakan Resirkulasi.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
16

Gambar 9. Perbandingan Nilai Ekonomi antara Sistem Tradisional dengan Sistem


Resirkulasi.
Prospek analisis usaha dengan menggunakan sistem resirkulasi ini pada pembenihan ikan
kakap mencapai Benefit/Cost rasio 2,64. Sedangkan dengan sistem Flow Through, hanya
mencapai B/C rasio 1,35. Sistem terakhir ini masih kebanyakan digunakan sekarang.

I. Penutup
NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan Negara Kepulauan (An
Archipelagos State) yang diakuli oleh PBB. Berdasarkan pada falsafah konsep ekosistem,
maka NKRI merupakan suatu kesatuan interkoneksi ekosistem kepulauan tropis Indonesia,
yang terdiri dari lebih sepuluh ribu (17.506?) anekaragam pulau-pulau (sebagai simbol
sejarah kulturalnya yaitu ‟TANAH’ dari pendiri NKRI), yang terintegrasi kuat dengan
Perairan Teritorial dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (sebagai simbol kulturalnya
‟AIR’). Sehingga dalam pengelolaannya untuk Pembangunan Nasional, sangat urgen
memerlukan suatu falsafah dasar dalam strategi perencanaan, yakni paling sedikit dapat
mengadopsi ‟Tujuh Pilar Utama Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (PPK)’.
Ketujuh pilar itu (dalam NOAA, 2002) adalah, sebagai berikut:
1. Merefleksikan suatu tahapan berkesinambungan pada evolusi nilai-nilai sosial budaya
masyarakatnya;
2. Menentukan lokasi/kawasan dan batas-batas ekosistemnya yang jelas dan resmi,
sehingga disepakati dan diakui bersama antara pemerintah dan masyarakat (pemangku
kepentingan);

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
17

3. Keharusan menjaga ekosistem-ekosistemnya pada kondisi yang tepatguna untuk


mencapai kemanfaatannya secara berkelanjutan bagi masyarakat;
4. Keharusan mengambil pembelajaran dari kemampuan ekosistem untuk merespon variasi
cekaman, karena semua macam ekosistem mempunyai keterbatasan kemapuan untuk
mengakomodasi bermacam-macam cekaman;
5. Selalu ditekankan dalam pengeloaan untuk tidak merusak sumberdaya biodivesitas;
6. Istilah ”berkelanjutan” yang digunakan pada semua level pengelolaan ekosistem harus
jelas didefinisikan dengan spesifik, dalam jangka waktu panjang yang disepakati,
termasuk manfaat keuntungan yang dapat diperoleh dan kemungkinan kerugian yang
ditimbulkan;
7. Informasi saintifik multi-disiplin (anatara lain : ekologi, ekonomi, enjiniring, sosiologi)
adalah sangat penting untuk memperkuat efektifitas pengelolaan, sebagai ketentuan
fundamental memperkuat pengambilan keputusan untuk kepentingan publik dan atau
pilihan privat.
Pelaksanaan amanat UU OTDA No. 22/1999 dengan cara memperbanyak program
percontohan ”Tugas Pembantuan Pemerintah” langsung ke Desa-Desa Pesisir & PPK,
yang tersebar pada hampir 500 Kabupaten di seluruh Indonesia adalah merupakan bukti
nyata terobosan inovasi kebijakan pemerintah untuk Pembangunan Kepulauan NKRI, untuk
meningkatkan kualitas hidup nelayan pesisir dan jumlah mereka sebagai nelayan
profesional. Data DKP 2007, menunjukkan jumlah nelayan murni masih kurang 1 % dari
total penduduk Indonesia. Jumlah ini belum menunjukkan sebagai negara kelautan.
Perlunya koreksi penggunaan terminologi yang tidak multitafsir dalam perUndang-
Undangan RI, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan-Peraturan Daerah (PERDA) terkait
pengelolaan pesisir dan PPK. Hal in untuk mencegah meluasnya konsekuensi fatal yang
akan terjadi seperti timbul konflik, tidak konsisten dalam pelaksanaan PERDA antar daerah,
karena faktor kapasitas dan kompetensi SDM, ditambah faktor ego sektoral yang secara
intrinsik birokrasi panjang dari pusat, provinsi, kabupaten sampai ke desa/kelurahan. Oleh
karena itu akan berimplikasi kedepan sukses tidaknya pengelolaan pesisir dan PPK di
Indonesia.
Falsafah pendekatan ekosistem lebih tepat digunakan untuk menjiwai peraturan perundang-
undangan kita sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan dan sudah terbukti luas diadopsi
secara internasional, karena merupakan falsafah induk dengan perspektif lebih luas, saintifik
terukur-terprediksi untuk menggambarkan tentang dinamika sub-sistem lingkungan hidup,
ruang, wilayah, kawasan, zona, karena cakupan pendekatan ekosistem disyaratkan
multidsiplin meliputi interaksi dimensi ekologi, ekonomi/enjiniring, sosial, dalam dimensi
waktu di wilayah pesisir dan PPK.
Indikator kunci pengelolaan pendekatan ekosistem adalah membangun keberlanjutan
keseimbangan fungsi ekologis dan sosial-ekonomi. Pendekatan ini dapat menjadi prinsip
dasar pemandu dalam strategi perencanaan. Pemangku kepentingan di wilayah darat sampai
ke laut pesisir dan PPK akan terlibat secara kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi
mereka akan bermanfaat dan dapat mengerti untuk ikut serta memprediksi strategi adaptasi
dalam pengelolaan ekosistem ke depan. Akhirnya kita semua sebagai anak bangsa menjadi
kewajiban kita turut berkontribusi untuk mengelola, memelihara, dan melindungi
EKOSISTEM TANAH-AIR-INDONESIA dalam SPIRIT BHINNEKA TUNGGAL IKA
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar bagi kemakmuran
rakyat (amanat Pasal 33, ayat 3, UUD 1945).

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
18

Referensi:
1. Anonim, 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu.
Departemen Dalam Negeri RI, Dirjen Pembangunan Daerah – BCEOM, French
Consulting Group.
2. Bass, S & B.Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable Development:
Strategic Issues and Experience. Environmental Planning Issues, No.8, 1995.
3. Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological
Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida.
4. Holling, C.S., 2001 Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and
Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4, 390-405.
5. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005.
www.millenniumassessment.org
6. Nganro, N.R., K. Prijatna, A.Riqqi, M.Ariebowo, Prihadi, A.B.Wospodo, 2008. Indeks
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global. Laporan Kerjasama
Departemen Kelautan dan Perikanan RI – LAPI ITB.
7. NOAA’S Ecosystem Approach To Management, by J.H.Dunnigan, 2006. NOS
Science Seminar. http://ecosystems.noaa.gov/
8. Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
9. Patterson, T., T.Gulden, K.Cousin, & E. Kraev, 2004. Integrating Environmental,
Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica.
Ecological Modeling 175 (2004) 121-136.
10. Pinede, J., 2006. NOAA Ecosystem Program.
11. PKSPL-IPB, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan. Disampaikan oleh
L.Adrianto & Y.Wahyudin, pada Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007.
12. Prijatna, K., K. Wikantika, B. Setyadji, D. Darmawan, F. Hadi, & S.L. Nurmaulia (2006)
: Studi Karakteristik Kenaikan Muka Laut Perairan Indonesia dalam Periode
1992-2006 dengan Teknik Satelit Altimetri. Laporan Riset KK-ITB 2006.
13. Retraubun, A.W., N.R.Nganro, A.B.Wospodo, K.Prijatna, A.Riqqi, & M.Ariebowo,
2008. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil, Manual Perangkat Lunak. DKP-ITB
14. Retraubun, A.W. (2009). Negara Kepualauan, Mengidentifikasi Pulau. Kompas 6 Juli
2009, hal 14.
15. Riqqi, A. & N.R.Nganro (2001). Prototipe Pemanfaatan SIG untuk Pengelolaan
Kawasan Tambak (studi Kasus: Kabupaten Serang). Dokumen Ilmiah di
Perpustakaan Geodesi FITB ITB.
16. Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations.
17. Trefi, J. & R.M. Hazen, 2007 (Eds). The Science: An Integrated Approach. Hohn
Wiley & Sons, Inc.
18. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982.
19. US Environmental Protection Agency, 2002. Seven Pillars Ecosystem Managements.
Landscape and Urban Planning 40 (1-3):21-30b by R.T. Lackey.
http://oregonstate.edu/dep/fw/lackey/RecentPublication.html
20. UU RI No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
21. UU No 22/1999 Tentang Otonomi Daerah.
22. UU RI No.26/2007 Tentang Penataan Ruang.
23. UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
24. Wade,B. & D.Webber, 2002. Coastal Zone Management in Natural Resource
Management for Sustainable Development, by Ivan Goodbody & Elizabeth Thomas,
427-481. Kingstone, Canoe Press.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

S-ar putea să vă placă și