Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
(Round Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, 24-25 Juli 2009)
Setidaknya terdapat beberapa konsepsi dasar terkait Pengelolaan Pesisir dan Pulau –Pulau
Kecil Indonesia di Wilayah Tropis yang merupakan bagian dari Ekosistem Global Bumi,
sebagai berikut:
1. Referensi Global Terminologi Ekosistem, Wilayah Pesisir, Negara Kepulauan:
Alfred George Tansley (1935), pakar ekologi Inggeris pertama mendefinisikan
ekosistem:
o An ecosystem or ecological system is a biotic assemblage and its associated
physical environment in a specific space.
Ecological Society of America:
o Ecology: is the scientific discipline that is concerned with the relationships
between organisms and their past, present, and future environments.
o Ecosystem: any geographic area that includes all of the organisms and
nonliving parts of their physical environments.
o Biodiversity: biological diversity, or biodiversity for short, refers to the
variety of life forms at all levels of organization, from the molecular to the
landscape level.
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration):
o Ecosystem is a geographically specified system of organisms (including
humans) and the environment and the processes that control its dynamics.
o The environment is the biological, chemical, physical and social conditions
that surround organisms.
United Nations (Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea): Key features
of an ecosystem:
o An ecosystem exists in a space with boundaries; ecosystems are
distinguishable base on biophysical attributes and locations;
o An ecosystem includes both living organisms and their abiotic environments;
o The organisms interact with each other and interact with the physical
environments;
o An ecosystem is dynamic – its structure and function change with time;
o An ecosystem exhibits emergent properties that are characteristic of its type,
and invariant within the domain of existence.
Small Islands Developing States (SIDS) (beranggota 36 negara, tidak termasuk
Indonesia?) mendefinisikan „wilayah pesisir‟:
o The coast can be defined from a spatial point of view as all those areas that
drain out to the sea and those that periodically inundated by the tides or are
permanently covered by the sea, down to the edge of the continental shelf
where the sea bottom slopes rapidly to the deep sea.
2
o This definition embraces the coastal watersheds, plains and shorelines, the
rivers, estuaries, the wetlands that drain them, the beaches, seagrass beds,
coral reefs, and other marine formations occurring on the continental shelf.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982. Part IV,
Article 46, mendefinisikan Negara Kepulauan (atas kontribusi besar dari Professor
Dr. Mochtar Kusumaatmadja):
o ”archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other island;
o “archipelago” means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically
have been regarded as such.
Pada Bagian 1 ini, secara singkat dapat dinyatakan secara jelas bahwa falsafah konsep
ekosistem meliputi sistem interaksi lingkungan hidup (termasuk manusia) dari skala ruang
geografik yang kecil/terbatas sampai pada skala global Ekosistem Bumi ini. Bukan
pengertian sebaliknya bahwa ekosistem itu adalah bagian dari ruang dan atau lingkungan
hidup. Jadi ekosistem merupakan konsep induk yang meliputi sub-sistem lingkungan hidup
pada ruang.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
3
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
4
o Kawasan adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi,
sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
o Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui
penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan
daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai suatu
kesatuan dalam ekosistem pesisir.
o Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati,
sumberdaya non-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
o Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove,
dan biota laut lain;
o Sumberdaya non-hayati meliputi pesisir, air laut, mineral dasar laut, udara;
o Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, pemukiman
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
o Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perkehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya.
o Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya
kegiatan orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan pada Bagian 1 dan 2 diatas, yang terkait
dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, secara internasional „Konsep Ekosistem‟
adalah lebih tepat digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif,
mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dll., secara
saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia
dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands
Development States (SIDS).
Tabel 1 Hubungan Interaksi Fungsional pada Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil :
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
5
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
6
Informasi ekologis dalam tabel diatas menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut
dangkal (perairan teritorial) dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang
paling produktif karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat
rentan dari dampak degradasi akibat aktifitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut
Zona Ekonomi Ekslusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas perairan
dangkal.
Illustrasi dibawah ini menunjukan interaksi dampak kegiatan buatan manusia atau alam di
wilayah pesisir:
Upstream Development
Coastal Development
Deforestation
Generate
Agriculture Development
Domestic waste
Land KONFLIK Industrial waste
Soil erosion Landslide
Overuse of Loss of soil
KEKOSONGAN HUKUM Deterioration of pesticide & fertilizer
Sedimentation
river water quality
Damage of structure on land Eutrophication of river water on river bed
BANJIR
KERUSAKAN HABITAT Deterioration of river ecosystem
EROSI Construction of
aquafarm
Deforestation of
Mangrove forest
Dredging/
Reclamation Pollution of PENCEMARAN
coastal water
(Subandono, 2001)
Gambar 1. Keterkaitan Dampak Kegiatan Manusia dan Alam dengan Ekosistem Pesisir
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
7
Gambar 2. Perbandingan antara Paradigma Pengelolaan Saat ini dengan Pengelolaan Berdasarkan
Pendekatan Ekosistem.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
8
melindungi fungsi sistem alam (ekosistem) untuk secara terus menerus menghasilkan
jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa
membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya alam
(ekosistem) maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem (wilayah)
itu, yang tentu berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini
dapat dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog) –
Adam Smith (ekonom).
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
9
tersebar pada hampir 500 Kabupaten di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan jumlah
dan kualitas hidup nelayan.
Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekonomi Rata-rata yang dihasilkan oleh Beberapa Tipe
Ekosistem
Tabel 3. Perkiraan Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan Indonesia (PKSPL – IPB, 2007):
Komoditi Potensi Perkiraan Nilai (US$
(Ton/Tahun) Juta/Tahun)
Perikanan Tangkap Laut 5.006 15.101
Tangkap Perairan Umum 356 1.068
Budidaya Laut (Mariculture) 46.700 46.700
Budidaya Tambak 1.000 10.000
Budidaya Air Tawar 1.039 5.195
Industri Biotek Laut - 4.000
Total Nilai 82.064
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
10
Total Nilai sumberdaya hayati perikanan Indonesia sekitar US$ 82 Milyar per tahun
dengan jumlah tenaga yang dapat diserap sekitar 10 juta orang per tahun, termasuk yang
bekerja pada industri-industri maritim, migas dan perhubungan. Adapun data nelayan
murni Indonesia sekitar 1,96 juta orang (DKP,2007). Data nelayan murni ini kurang dari
1% dari total penduduk Indonesia, keadaan ini belum menunjukkan bahwa negara ini
adalah Negara Kelautan.
Luas wilayah perairan nasional sebagai Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut
PBB (diratifikasi Indonesia dengan UU No 17/1985) adalah mencapai 5,9 juta km
persegi. Jumlah tersebut terdiri dari 3,2 juta km persegi sebagai perairan teritorial dan 2,7
juta km persegi sebagai perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Sedangkan luas daratan pulau
sekitar 1,9 juta km persegi, dengan jumlah pulau-pulau 17.508. Namun jumlah pulau-
pulau itu akan berkurang drastis, sebagai konsekuensi adanya penertibkan administrasi
pengidentifikasian pulau-pulau kecil dan toponim (penamaan pulau) yang belum selesai
untuk seluruh Indonesia (Alex Retraubun, Dirjen PPPK-DKP, Kompas 6-06-2009).
Dari data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di Indonesia sekitar 85.700
hektar. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut pada ekosistem ini mencapai
US$ 520,6 Juta per-tahun. Terumbu karang di Perairan Nusantara ini mencakup fringing
reef seluas 14.542 km persegi; barrier reefs (50.223 km persegi); oceanic platform reefs
(1.402 km persegi) dan atolls (19.540 km persegi). Pada World Ocean Conference
(WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan Nusantara (terutama di Wilayah
Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the World, karena terdapat biodiversitas
karang 500-600 spesies, terbesar di dunia. Sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat
produktivitas ikan tuna dunia. Kalau ekosistem karang ini rusak, maka yang terjadi
adalah akan tertinggal simbol ”TUNA IKAN”.
Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya laut (rumput laut,
ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24,5 juta ha (DKP, 2002). Jika ditaksir
kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al. (1997), maka dapat
diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan tersebut (as coastal shelf) adalah
sekitar US$ 39,4 Milyar per-tahun.
Potensi migas nasional misalnya, diperkirakan menyimpan potensi kandungan 84,48
miliar barrel minyak yang terdapat dalam 60 cekungan migas dimana 40 cekungan berada
di off-shore dan 14 cekungan di pesisir (Kompas: 19-11-2003).
Nilai ekonomi ekosistem perairan laut nasional yang telah digambarkan diatas jika itu
dikelola dengan falsafah pendekatan ekosistem, yang terintegrasi dari darat ke laut,
sungguh peluang kekuatan ekonomi yang amat besar bagi pembangunan kesejahteraan
Bangsa Indonesia.
6. Peningkatan SDM Terdidik Cinta Ekosistem Laut Sebagai Kunci Sukses Mengisi
Visi/Misi Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Mengambil makna Pepatah Cina:
If you are planning for a year, plant rice…
If you are planning for a decade, plant trees…
If you are planning for a lifetime, educate people.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
11
Adapun karakter hidup kerja yang menjiwai falsafah ecosystem approach to management
(Anonim, 1998; Wade & Webber, 2002; UN 2007)) adalah :
Desentralisasi pemecahan masalah,
Terbuka menerima masukan (feedback) dari semua level,
Berani mengambil keputusan karena dukungan partisipasi masyarakat,
Berkehendak kuat melakukan revisi, revisit dan menyatakan salah jika ada
kekeliruan;
Berbagi visi/misi untuk melindungi dan terus menerus memperbaiki fungsi
ekosistem untuk anak cucu.
Pengelolaan melintas batas administratif pemerintahan dapat terjadi, karena
masyarakat menikmati manfaatnya secara luas,
Terbuka untuk bermitra dalam pengelolaan.
Dari uraian yang telah dikemukakan dari awal tulisan ini, secara umum dapat dinyatakan
bahwa bisa terjadi perbedaan pengertian yang sangat prinsip dimana-mana pada setiap
daerah karena perbedaan penggunaan terminologi dalam perUndang-Undangan RI dan
Peraturan Pemerintah, sehingga berimplikasi multitafsir menterjemahkan dalam
Peraturan-Peraturan Daerah, dapat berakibat fatal timbul konflik, tidak konsisten pada
implementasi antar daerah, karena faktor kapasitas kompetensi SDM, terutama pada level
Pemerintahan Daerah ke Desa/Kelurahan, sehingga tentu berimplikasi terhadap sukses
tidaknya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Ditambah faktor ego sektoral dan secara intrinsik birokrsai panjang di pemerintahan,
mulai dari Pusat sampai ke Desa dapat berakibat lebih fatal lagi. Faktor ini sesungguhnya
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari suatu pendekatan ekosistem, yang
berfilosofi sistem kerja berinteraksi, berintegrasi, berinterkoneksi, berjejaring
(networking), bersimbiosis, dalam 4 dimensi (ekologi+ekonomi+sosial+ waktu), yang
dapat menghasilkan jasa-jasa ekosistem bernilai tinggi (direct and indirect values) yang
akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas berpenghidupan manusia dan mahluk-mahluk
hidup lain di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Sebagai usulan strategis untuk membantu mengintegrasikan pengelolaan (perencanaan,
koordinasi, implementasi program, pemantauan, pengawasan, reward dan punishment),
dari tingkat nasional sampai ke wilayah tingkat desa, adalah sangat urgen diperlukan
suatu integrasi informasi (dalam bentuk SIG) yang kontennya dimasukan dimensi
ekologi, ekonomi dan sosial wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Informasi
mudah diakses, mudah diupdate setiap saat, mudah dipantau/diawasi, sekaligus
membuktikan bahwa Sistem Informasi Ekosistem Nasional memang berfungsi.
7. Contoh Hasil Observasi Kenaikan Muka Air Laut Dalam Studi Indeks Kerentanan
Ekosistem Pulau-Pulau Kecil, Studi Kasus di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta (DKP-ITB, 2008).
Dalam studi pertama Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) terhadap kenaikan
muka laut, dimasukkan 8 parameter, yakni:
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
12
m/yr
Gambar 2. Kecepatan Kenaikan Muka Muka Laut di Wilayah Perairan Indonesia
berdasarkan data TOPEX dan Jason-1 Perioda 1992-2005, (Prijatna et al, 2006)
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
13
Formulasi Gornitz
dan Pengembangannya
MAX
PANGGAN
PRAMUKA G
Indeks Kerentanan
MEAN
KOTOK
SEBARU
PANGGANG
PRAMUKA
MEAN
KOTOK
SEBARU
Gambar 3 Pengembangan Formulasi Gornitz (1997) untuk Studi Kasus Indeks Kerentanan
Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Pengembangan Formula Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka
Laut (dalam Studi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global
(DKP-ITB, 2008)
INDIKATOR
RENCANA
PENGELOLAAN
WILAYAH PPK
KEPULAUAN
SERIBU
RENCANA
STRATEGIS
ADAPTASI
TANGGAP
DARURAT
Gambar 4 Model Simulasi dan Mitigasi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta
Peta Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka Laut (dalam Studi
Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (DKP-ITB, 2008)
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
14
1. Penggunan SIG untuk perencanaan dan pengelolaa kawasan budidaya tambak di wilayah
pesisir dengan pendekatan ekosistem.
Pola Distribusi Produksi Tambak Tradisional Skala Kawasan Di Kabupaten Serang, Banten
dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis (2009), Oleh Arif Supendi, Thesis Magister
Biomanajemen SITH ITB (Pembimbing : Dr. Noorsalam R. Nganro & Dr. Akhmad Riqqi)
Tirtayasa
Tanara
Keramatwatu
Pontang
Kasemen
Gambar 5. Contoh Aplikasi Berbasis SIG dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir di
Kabupaten Serang.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
15
Gambar 8. Contoh Aplikasi Teknologi Akuakultur yang lebih Ramah Lingkungan dengan
menggunakan Resirkulasi.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
16
I. Penutup
NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan Negara Kepulauan (An
Archipelagos State) yang diakuli oleh PBB. Berdasarkan pada falsafah konsep ekosistem,
maka NKRI merupakan suatu kesatuan interkoneksi ekosistem kepulauan tropis Indonesia,
yang terdiri dari lebih sepuluh ribu (17.506?) anekaragam pulau-pulau (sebagai simbol
sejarah kulturalnya yaitu ‟TANAH’ dari pendiri NKRI), yang terintegrasi kuat dengan
Perairan Teritorial dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (sebagai simbol kulturalnya
‟AIR’). Sehingga dalam pengelolaannya untuk Pembangunan Nasional, sangat urgen
memerlukan suatu falsafah dasar dalam strategi perencanaan, yakni paling sedikit dapat
mengadopsi ‟Tujuh Pilar Utama Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (PPK)’.
Ketujuh pilar itu (dalam NOAA, 2002) adalah, sebagai berikut:
1. Merefleksikan suatu tahapan berkesinambungan pada evolusi nilai-nilai sosial budaya
masyarakatnya;
2. Menentukan lokasi/kawasan dan batas-batas ekosistemnya yang jelas dan resmi,
sehingga disepakati dan diakui bersama antara pemerintah dan masyarakat (pemangku
kepentingan);
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
17
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****
18
Referensi:
1. Anonim, 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu.
Departemen Dalam Negeri RI, Dirjen Pembangunan Daerah – BCEOM, French
Consulting Group.
2. Bass, S & B.Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable Development:
Strategic Issues and Experience. Environmental Planning Issues, No.8, 1995.
3. Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological
Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida.
4. Holling, C.S., 2001 Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and
Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4, 390-405.
5. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005.
www.millenniumassessment.org
6. Nganro, N.R., K. Prijatna, A.Riqqi, M.Ariebowo, Prihadi, A.B.Wospodo, 2008. Indeks
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global. Laporan Kerjasama
Departemen Kelautan dan Perikanan RI – LAPI ITB.
7. NOAA’S Ecosystem Approach To Management, by J.H.Dunnigan, 2006. NOS
Science Seminar. http://ecosystems.noaa.gov/
8. Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
9. Patterson, T., T.Gulden, K.Cousin, & E. Kraev, 2004. Integrating Environmental,
Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica.
Ecological Modeling 175 (2004) 121-136.
10. Pinede, J., 2006. NOAA Ecosystem Program.
11. PKSPL-IPB, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan. Disampaikan oleh
L.Adrianto & Y.Wahyudin, pada Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007.
12. Prijatna, K., K. Wikantika, B. Setyadji, D. Darmawan, F. Hadi, & S.L. Nurmaulia (2006)
: Studi Karakteristik Kenaikan Muka Laut Perairan Indonesia dalam Periode
1992-2006 dengan Teknik Satelit Altimetri. Laporan Riset KK-ITB 2006.
13. Retraubun, A.W., N.R.Nganro, A.B.Wospodo, K.Prijatna, A.Riqqi, & M.Ariebowo,
2008. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil, Manual Perangkat Lunak. DKP-ITB
14. Retraubun, A.W. (2009). Negara Kepualauan, Mengidentifikasi Pulau. Kompas 6 Juli
2009, hal 14.
15. Riqqi, A. & N.R.Nganro (2001). Prototipe Pemanfaatan SIG untuk Pengelolaan
Kawasan Tambak (studi Kasus: Kabupaten Serang). Dokumen Ilmiah di
Perpustakaan Geodesi FITB ITB.
16. Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations.
17. Trefi, J. & R.M. Hazen, 2007 (Eds). The Science: An Integrated Approach. Hohn
Wiley & Sons, Inc.
18. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982.
19. US Environmental Protection Agency, 2002. Seven Pillars Ecosystem Managements.
Landscape and Urban Planning 40 (1-3):21-30b by R.T. Lackey.
http://oregonstate.edu/dep/fw/lackey/RecentPublication.html
20. UU RI No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
21. UU No 22/1999 Tentang Otonomi Daerah.
22. UU RI No.26/2007 Tentang Penataan Ruang.
23. UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
24. Wade,B. & D.Webber, 2002. Coastal Zone Management in Natural Resource
Management for Sustainable Development, by Ivan Goodbody & Elizabeth Thomas,
427-481. Kingstone, Canoe Press.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****