Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Workshop Memperkuat
Toleransi melalui
Institusi Sekolah
Bogor, 14 – 15 Mei 2011
AKAR
RADIKALISME
KEAGAMAAN
Peran
Aparat
Negara,
Pemimpin
Agama
dan
Guru
untuk
Kerukunan
Umat
Beragama1
Azyumardi
Azra*
Radikalisme,
anarkisme
atau
kekerasan
bernuansa
agama
cenderung
terus
meningkat
atau
setidaknya
timbul
tenggelam
dalam
beberapa
tahun
belakangan
ini.
Radikalisme
keagamaan
yang
memunculkan
konflik
dan
kekerasan
sosial
bernuansa
agama
merebak
tidak
hanya
antar
agama—seperti
Islam
versus
Kristen—
tetapi
juga
intra
agama—seperti
intra
Islam
atau
intra
Kristen.
Dalam
skala
mencemaskan,
kelompok-‐kelompok
dan
sel-‐sel
yang
menampilkan
radikalisme
keagamaan
melakukan
kegiatan
terorisme
dengan
meledakkan
bom
bunuh
diri
di
masjid
al-‐Zikra
Mapolresta
Cirebon
(kasus
Muhammad
Syarif,
14/4/2011);
atau
meletakkan
bom
di
lokasi
strategis
seperti
saluran
pipa
gas
(kasus
Pepi
Fernando
21/4/2011).
Pada
saat
yang
sama
juga
merebak
kasus-‐kasus
menghilangnya
12
mahasiswa
Universitas
Muhammadiyah
Malang
yang
telah
terekrut
ke
dalam
jaringan
Negara
Islam
Indonesia
(NII)
Perkembangan
terakhir
ini
mengindikasikan,
bahwa
walau
Polri—dalam
hal
ini
Densus
88—telah
berhasil
melumpuhkan
sebagian
besar
jaringan
kelompok
radikal
al-‐Jama’ah
al-‐Islamiyah
(JI)
yang
melakukan
berbagai
aksi
pemboman—termasuk
bom
bunuh
diri—khususnya
sejak
Bom
Bali
I,
Oktober
2002,
jelas
kelompok
dan
sel
radikal
tetap
bertahan.
Bahkan
terlihat
bermetamorfosis
ke
dalam
sel-‐sel
baru
yang
cenderung
bergerak
sendiri-‐sendiri
dan
independen—meski
dalam
satu
dan
lain
hal
masih
berkaitan
satu
sama
lain.
1
Makalah disampaikan pada Diskusi ‘Memperkuat Toleransi Melalui Sekolah’
The Habibie Center, Hotel Aston, BogorBogor, 14 Mei 2011
2
Menghadapi
gejala
seperti
ini,
kalangan
figur
publik
dan
masyarakat
menganggap
terus
terjadinya
peningkatan
intoleransi
dan
radikalisme
di
lingkungan
intra
dan
antar
agama
bahkan
dengan
negara.
Gejala
ini
jelas
dapat
mengancam
persatuan
dan
kesatuan
bangsa
serta
eksistensi
negara-‐bangsa
Indonesia.
Akar
Radikalisme
Keagamaan
Peningkatan
radikalisme
keagamaan
banyak
berakar
pada
kenyataan
kian
merebaknya
berbagai
penafsiran,
pemahaman,
aliran,
denominasi,
bahkan
sekte
di
dalam
(intra)
satu
agama
tertentu.
Di
kalangan
Islam,
radikalisme
keagamaan
itu
banyak
bersumber
dari
pemahaman
keagamaan
yang
literal,
sepotong-‐
sepotong
dan
ad
hoc
terhadap
ayat-‐ayat
al-‐Qur’an.
Pemahaman
seperti
itu
hampir
tidak
memberikan
ruang
bagi
akomodasi
dan
kompromi
dengan
kelompok-‐kelompok
Muslim
lain
yang
umumnya
moderat—dan
karena
itu
menjadi
arus
utama
(mainstream)
umat.
Kelompok
umat
Islam
yang
berpaham
seperti
ini
sudah
muncul
sejak
masa
al-‐Khulafa’
al-‐Rasyidun
keempat
Ali
ibn
Abi
Thalib
dalam
bentuk
kaum
Khawarij
yang
sangat
radikal
dan
melakukan
banyak
pembunuhan
terhadap
pemimpin
Muslim
yang
telah
mereka
nyatakan
‘kafir’.
Radikalisme
keagamaan
di
dalam
Islam
juga
dapat
bersumber
dari
bacaan
yang
salah
terhadap
sejarah
Islam
yang
dikombinasikan
dengan
idealisasi
berlebihan
terhadap
Islam
pada
masa
tertentu.
Ini
terlihat
dalam
pandangan
dan
gerakan
Salafi,
khususnya
pada
spektrum
sangat
radikal
seperti
Wahabiyah
yang
muncul
di
Semenanjung
Arabia
pada
akhir
abad
18-‐awal
abad
19
dan
terus
merebak
sampai
sekarang
ini.
Tema
pokok
kelompok
dan
sel
Salafi
ini
adalah
pemurnian
Islam—membersihkan
Islam
dari
pemahaman
dan
praktek
keagamaan
yang
mereka
pandang
sebagai
‘bid’ah’,
yang
tidak
jarang
mereka
lakukan
dengan
cara-‐cara
kekerasan.
Dengan
pemahaman
dan
praksis
keagamaan
seperti
itu,
kelompok
dan
sel
radikal
ini
‘menyempal’
(splinter)
dari
mainstream
Islam
yang
memegang
dominasi
dan
hegemoni
otoritas
teologis
dan
hukum
agama
dan
sekaligus
kepemimpinan
agama.
Karena
itu,
respon
dan
reaksi
keras
sering
muncul
dari
kelompok-‐kelompok
‘mainstream’,
arus
utama,
dalam
agama.
Mereka
tidak
jarang
mengeluarkan
ketetapan,
bahkan
fatwa,
yang
menetapkan
kelompok-‐kelompok
sempalan
tersebut
sebagai
sesat
dan
3
menyesatkan.
Ketetapan
atau
fatwa
tersebut
dalam
prakteknya
tidak
jarang
pula
digunakan
kelompok-‐kelompok
mainstream
tertentu
sebagai
dasar
dan
justifikasi
untuk
melakukan
tindakan
main
hakim
sendiri.
Radikalisme
keagamaan
juga
dapat
mendapat
tambahan
alasan
dari
deprivasi
politik,
sosial
dan
ekonomi
yang
masih
bertahan
dalam
masyarakat.
Pada
saat
yang
sama.
disorientasi
dan
dislokasi
sosial-‐budaya,
dan
ekses
globalisasi,
dan
semacamnya
sekaligus
merupakan
tambahan
faktor-‐faktor
penting
bagi
kemunculan
kelompok-‐kelompok
radikal.
Kelompok-‐kelompok
sempalan
tersebut
tidak
jarang
mengambil
bentuk
kultus
(cult),
yang
sangat
eksklusif,
tertutup
dan
berpusat
pada
seseorang
yang
dipandang
kharismatik.
Kelompok-‐kelompok
ini
dengan
dogma
eskatologis
tertentu
bahkan
memandang
dunia
sudah
menjelang
akhir
zaman
dan
kiamat;
sekarang
waktunya
bertobat
melalui
pemimpin
dan
kelompok
mereka.
Doktrin
dan
pandangan
teologis-‐
eskatologis
seperti
ini,
tidak
bisa
lain
dengan
segera
dapat
menimbulkan
reaksi
dari
agama-‐agama
mainstream,
yang
dapat
berujung
pada
konflik
sosial.
Radikalisme
keagamaan
jelas
berujung
pada
peningkatan
konflik
sosial
dan
kekerasan
bernuansa
intra-‐
dan
antar-‐agama;
juga
bahkan
antar
umat
beragama
dengan
negara.
Ini
terlihat
jelas,
misalnya,
dengan
meningkatnya
aktivitas
penutupan
gereja
di
beberapa
tempat
di
mana
kaum
Muslim
mayoritas,
seperti
di
Bekasi,
Bogor
dan
Temanggung
belum
lama
ini.
Atau
penutupan
masjid/mushala
di
daerah
mayoritas
non-‐Muslim
di
berbagai
tempat
di
tanahair,
seperti
di
Bali
pasca-‐bom
Bali
Oktober
2002;
termasuk
pula
anarkisme
terhadap
berbagai
fasiltas
dan
masjid-‐
masjid
Ahmadiyah
serta
para
jemaatnya.
Berbagai
tindak
kekerasan
terhadap
pengikut
Ahmadiyah
juga
masih
terus
terjadi
di
sejumlah
tempat
mulai
dari
NTB,
Parung,
Cikeusik
dan
berbagai
lokasi
lain.
Lalu
ada
juga
kelompok-‐kelompok
hardliners
di
kalangan
Muslim,
menegakkan
hukumnya
sendiri—atas
nama
syari’ah
(hukum
Islam)—seperti
pernah
dilakukan
Lasykar
Jihad
di
Ambon
ketika
terjadinya
konflik
komunal
Kristen-‐Muslim;
atau
razia-‐razia
yang
dilakukan
Front
Pembela
Islam
(FPI)
dalam
beberapa
tahun
terakhir
ini—khususnya
pada
Ramadhan—atas
diskotik,
dan
tempat-‐tempat
hiburan
lainnya
atas
nama
al-‐amr
bi
al-‐ma’ruf
wa
al-‐nahy
‘an
al-‐munkar
(menyeru
dengan
kebaikan
dan
mencegah
4
kemungkaran).
Bagi
mereka
tidak
cukup
hanya
amar
ma`ruf
dengan
lisan,
perkataan;
harus
dilakukan
pencegahan
terhadap
kemungkaran
dengan
tangan
(al-‐yad),
atau
kekuatan.
Sekali
lagi,
tindakan-‐tindakan
seperti
ini
juga
dapat
memicu
terjadinya
konflik
sosial.
Umat
Islam
mainstream—seperti
diwakili
NU,
Muhammadiyah,
dan
banyak
organisasi
lain—berulangkali
menyatakan,
mereka
menolak
cara-‐cara
kekerasan,
meski
untuk
menegakkan
kebaikan
dan
mencegah
kemungkaran
sekalipun.
Tetapi,
seruan
organisasi-‐organisasi
mainstream
ini
sering
tidak
efektif;
apalagi
di
dalam
organisasi-‐organisasi
ini
juga
terdapat
kelompok
garis
keras
yang
terus
juga
melakukan
tekanan
internal
terhadap
kepemimpinan
organisasi
masing-‐masing.
Masih
berlanjutnya
konflik
sosial
bernuansa
intra-‐
dan
antar-‐
agama
dalam
masa
Reformasi
ini,
sekali
lagi,
disebabkan
berbagai
faktor
amat
kompleks.
Pertama-‐tama,
berkaitan
dengan
euforia
kebebasan,
di
mana
setiap
orang
atau
kelompok
merasa
dapat
mengekspresikan
kebebasan
dan
kemauannya,
tanpa
peduli
dengan
pihak-‐pihak
lain.
Dengan
demikian
terdapat
gejala
menurunnya
toleransi.
Kedua,
masih
berlanjutnya
fragmentasi
politik
dan
sosial
di
khususnya
di
kalangan
elit
politik,
sosial,
militer,
yang
terus
mengimbas
ke
lapisan
bawah
(grassroot)
dan
menimbulkan
konflik
horizontal
yang
laten
dan
luas.
Terdapat
berbagai
indikasi,
konflik
dan
kekerasan
bernuansa
agama
bahkan
diprovokasi
kalangan
elit
tertentu
untuk
kepentingan
mereka
sendiri.
Ketiga,
tidak
konsistennya
penegakan
hukum.
Beberapa
kasus
konflik
dan
kekerasan
yang
bernuasa
agama
atau
membawa
simbolisme
agama
menunjukkan
indikasi
konflik
di
antara
aparat
keamanan,
dan
bahkan
kontestasi
di
antara
kelompok-‐kelompok
elit
lokal.
Keempat,
meluasnya
disorientasi
dan
dislokasi
dalam
masyarakat
Indonesia,
karena
kesulitan-‐kesulitan
dalam
kehidupan
sehari-‐hari.
Kenaikan
harga
kebutuhan
kebutuhan
sehari-‐hari
lainnya
membuat
kalangan
masyarakat
semakin
terhimpit
dan
terjepit.
Akibatnya,
orang-‐orang
atau
kelompok
yang
terhempas
dan
terkapar
ini
dengan
mudah
dan
murah
dapat
melakukan
tindakan
emosional,
dan
bahkan
dapat
disewa
untuk
melakukan
tindakan
melanggar
hukum
dan
kekerasan.
5
Peran
Pemerintah
dan
Aparat
Penegak
Hukum
Dalam
banyak
kasus
radikalisme
dan
anarkisme
keagamaan,
aparat
keamanan
seolah
melakukan
‘pembiaran’.
Memang
Densus
88
berhasil
melumpuhkan
sebagian
besar
sel
JI;
tetapi
pada
saat
yang
sama
seakan-‐akan
membiarkan
terus
tumbuhnya
sel-‐sel
NII.
Mereka
seakan-‐akan
tidak
mampu
menegakkan
tugas
negara
melindungi
warganegara.
Aparat
keamanan
cenderung
selalu
beralasan,
mereka
tidak
bisa
bertindak
keras
menghadapi
massa
yang
jumlahnya
jauh
lebih
banyak
dibandingkan
aparat
keamanan.
Bahkan
sering
juga
terlihat,
mereka
pada
dasarnya
khawatir
pada
munculnya
backlash,
reaksi
balik
yang
keras,
dari
kelompok
dan
ormas
mainstream
yang
menentang
penghentian
kekerasan
secara
keras
oleh
aparat
kepolisian.
Padahal,
ketegasan
aparat
keamanan—dalam
hal
ini
Polri—
merupakan
salah
satu
kunci
terpokok
dalam
prevensi
dan
represi
konflik
dan
kekerasan
bernuansa
agama.
Jika
Polri—dengan
berbagai
alasan
tertentu—tetap
tidak
mau
dan
tidak
mampu
menindak
para
aktor
intelektual
dan
pelaku
radikalisme
keagamaan,
jelas
kekerasan
atas
nama
agama
tetap
berlangsung
dari
waktu
ke
waktu.
Dalam
keadaan
ini,
Indonesia
dapat
mengalami
semacam
‘Pakistanisasi’
yang
boleh
jadi
mengantarkan
Indonesia
menjadi
negara
gagal
(failed
state),
yaitu
negara
yang
gagal
menegakkan
hukum
dan
ketertiban;
dan
melindungi
setiap
warganegara
dan
kelompok
masyarakat
dari
kekerasan.
Aparat
penegak
hukum
sejak
dari
Polri,
Kejaksaan
dan
Peradilan
pada
saat
yang
sama
mestilah
memulihkan
kredibilitas
dalam
penegakan
hukum.
Jika
para
aktor
intelektual
dan
pelaku
kekerasan
atas
nama
agama
tetap
dibiarkan
bebas,
atau
hanya
dijatuhi
hukuman
‘sangat
ringan’
atau
diselesaikan
‘secara
adat’,
bisa
dipastikan
ini
semua
hanya
‘memberi
angin’
kepada
orang-‐
orang
dan
kelompok
anarkis,
bahwa
mereka
pada
dasarnya
memiliki
‘impunitas’—tidak
bisa
dihukum.
Tak
kurang
pentingnya,
para
pejabat
publik
sepatutnya
tidak
memberikan
‘pesan
keliru’
kepada
masyarakat
yang
bernada
condoning
violence—‘merestui’
kekerasan.
Di
antara
contoh
wrong
messages
itu
adalah:
menerima
figur
ormas
yang
diketahui
publik
gemar
melakukan
kekerasan;
atau
melakukan
victimizing
the
victims—menyalahkan
mereka
yang
sudah
menjadi
korban
kekerasan.
6
Padahal,
para
pejabat
publik
ini
seharusnya
menampilkan
diri
sebagai
pelindung
setiap
dan
seluruh
warganegara,
terlepas
dari
apapun
agama
dan
keyakinannya.
Jika
para
pejabat
pemerintah
sudah
bersikap
partisan,
menyalahkan
korban
kekerasan,
dan
‘menyerah’
kepada
tekanan
kelompok
tertentu
dalam
masyarakat,
tidak
bisa
lain
berarti
secara
tersirat
membenarkan
tindakan
kekerasan
atas
nama
agama.
Peran
Kepemimpinan
Agama
Mengingat
faktor-‐faktor
penyebab
radikalisme
keagamaan
yang
sangat
kompleks
dan
rumit
seperti
itu,
patut
diingatkan
kepada
setiap
orang
dan
kelompok
untuk
tidak
secara
tergesa-‐gesa
dan
simplistis
mengambil
kesimpulan
yang
terburu-‐buru,
menjadi
semacam
sweeping
generalization.
Jika
ada
orang-‐orang
dan
atau
kelompok
agama
tertentu
melakukan
kekerasan
atas
nama
agama,
mereka
jelas
bukan
representasi
dari
agama
atau
umat
beragama
secara
keseluruhan.
Karena
itu,
setiap
pihak
sepatutnya
menghindari
diri
daripada
terjerumus
ke
dalam
penciptaan
stigmatisasi
terhadap
kelompok-‐
kelompok
lainnya,
karena
stigmatisasi
itu
selain
hanya
dapat
meningkatkan
mispersepsi
terhadap
agama
tertentu
dan
penganutnya,
sekaligus
juga
mempertinggi
potensi
konflik,
pertikaian
dan
bisa
meletup
sewaktu-‐waktu
menjadi
kekerasan.
Dengan
masih
bertahannya
radikalisme
keagamaan
dan
juga
konflik
dan
kekerasan
sosial-‐keagamaan,
semangat
dialog
intra
dan
antar
agama
perlu
ditingkatkan
di
kalangan
para
pemimpin
agama.
Dialog-‐dialog
intra
dan
antar
agama
hendaknya
tidak
dilaksanakan
secara
ad
hoc
dan
sporadis
untuk
meresponi
situasi
atau
kasus
tertentu
saja;
tetapi
sebaliknya
secara
reguler
dan
terencana.
Dengan
begitu,
penyelesaian
konflik
dan
pertikaian
yang
melibatkan
umat
beragama
dapat
dilaksanakan
secara
lebih
tuntas
dengan
membahas
secara
lebih
menyeluruh
akar-‐akar
dan
aktualisasi
pertikaian
dan
konflik
yang
ada.
Dalam
konteks
itu,
perlu
peningkatan
peran
lembaga
dan
kepemimpinan
yang
dapat
memainkan
peranan
kunci
dalam
masalah
ini
seperti
Kementerian
Agama,
yang
pada
masa
Orde
Baru
memainkan
peran
sentral
dalam
dialog-‐dialog
intra
dan
antar
agama.
Kementerian
Agama
mestilah
menggalang
fokus,
orientasi,
dan
momentum
untuk
mendorong
kehidupan
keagamaan
yang
7
lebih
toleran,
harmonis
dan
hidup
berdampingan
secara
damai.
Karena
itu,
Kementerian
Agama
perlu
menegaskan
kembali
visi
dan
misi
yang
jelas
dan
implementable
tentang
penciptaan
kehidupan
beragama
yang
lebih
kondusif
bagi
kehidupan
sosial-‐politik
bangsa.
Kementerian
Agama
seyogyanya
tidak
berharap
radikalisme
keagamaan
atau
konflik,
pertikaian
dan
kekerasan
di
antara
umat
beragama
diselesaikan
pihak-‐pihak
yang
terlibat
saja
atau
bakal
hilang
dalam
perjalanan
waktu.
Upaya
penyelesaian
konflik
sosial
yang
bernuansa
keagamaan
seperti
Surat
Keputusan
Bersama
Menteri
Agama,
Menteri
Dalam
Negeri,
dan
Jaksa
Agung
tentang
‘Peringatan
dan
Perintah
kepada
Penganut,
Anggota,
dan/atau
Pengurus
Jemaat
Ahmadiyah
Indonesia
(JAI)
dan
Warga
Masyarakat’
(2008)
sebagai
upaya
penyelesaian
Ahmadiyah,
misalnya,
tidak/belum
berhasil
meredam
konflik
sosial
bernuansa
intra-‐agama.
Masih
terdapat
pihak-‐pihak
hardliners
di
kalangan
mainstream
yang
menganggap
SKB
itu
tersebut
sebagai
‘belum
memadai’;
mereka
bahkan
menghendaki
adanya
Keputusan
Presiden
untuk
melarang
dan
membubarkan
JAI.
Dari
waktu
ke
waktu
pihak-‐pihak
hardliners
tersebut
tetap
melakukan
tekanan-‐tekanan
baik
kepada
pemerintah
dan
sekaligus
mengintimidasi
JAI,
yang
bukan
tidak
dapat
berujung
pada
tindakan
kekerasan.
Karena
itu,
berbagai
instansi
pemerintah
ini
sepatutnya
memberdayakan
aparatnya
untuk
menegakkan
hukum.
Pada
saat
yang
sama,
Majelis-‐majelis
keagamaan
yang
sering
dipandang
sebagai
representasi
dari
masing-‐masing
umat
beragama,
seperti
MUI,
PGI,
KWI,
Parisadha
Hindu
Dharma,
Walubi,
dan
Matakin
hendaknya
meningkatkan
élan
vitalnya.
Majelis-‐majelis
agama
hendaknya
jangan
lebih
sibuk
meresponi
perkembangan
politik
dan
isyu-‐isyu
sesaat
atau
bahkan
lebih
sibuk
dengan
konflik
internal
di
antara
berbagai
kelompok
atau
denominasi
yang
terdapat
di
dalamnya.
Majelis-‐majelis
agama
hendaknya
memberdayakan
unit-‐unit
dialog
yang
mereka
miliki
untuk
menjadikan
agenda
dialog
intra
dan
antar
agama
sebagai
skala
prioritas
dan
agenda
yang
berkesinambungan.
Karena
itu,
majelis-‐majelis
agama
hendaknya
mengambil
langkah-‐langkah
lebih
pro-‐aktif
untuk
rejuvenasi
dialog-‐dialog
intra
dan
antar-‐agama,
khususnya
melalui
‘dialog
emansipatoris’.
Dialog
seperti
ini
dapat
diartikan
sebagai
pembicaraan
atau
percakapan
di
antara
dua
pihak
atau
lebih,
yang
dapat
“membebaskan”,
karena
8
terjadinya
pertukaran
dan
pemahaman
timbal
balik
yang
lebih
baik
di
antara
mereka.
Kondisi
terakhir
ini
dapat
‘membebaskan’
pihak-‐
pihak
yang
terlibat
dalam
dialog
dari
prasangka,
bias,
persepsi
tidak
akurat,
kecurigaan
dan
bahkan
sikap
bermusuhan
dan
saling
membenci,
yang
potensial
menciptakan
konflik
yang
dapat
berujung
pada
kekerasan.
Dialog
antar
agama
bisa
betul-‐betul
emansipatoris
tiga
syarat
bisa
dipenuhi.
Pertama,
dialog
dilakukan
dengan
penuh
keterbukaan,
keterusterangan,
keberanian,
dan
kejujuran.
Dialog
antar
agama
tidak
akan
emansipatoris,
jika
para
peserta
tidak
terbuka,
menutupi
hal-‐hal
tertentu,
sehingga
dialog
yang
terjadi
akhirnya
hanya
sekadar
basa
basi.
Kedua,
dialog
disertai
dengan
kemauan
dan
iktikad
baik
untuk
saling
mendengar
dan
mengemukakan
pendapat
dengan
penuh
keseimbangan
dan
kesetaraan.
Ketiga,
dialog
disertai
kesiapan
untuk
mengubah
pandangan
dan
persepsi
yang
selama
ini
keliru,
dan
saling
membuka
diri
untuk
menerima
kebenaran
dari
pihak-‐pihak
yang
terlibat
dalam
dialog.
Jika
dialog-‐dialog
antar
agama
bisa
dilakukan
sesuai
dengan
ketiga
hal
tersebut,
maka
bisa
diharapkan
terciptanya
hubungan
yang
lebih
harmonis,
penuh
toleransi
di
antara
umat
beragama
yang
berbeda.
Dan
ini,
merupakan
mekanisme
internal
umat
beragama
untuk
prevensi
dan
resolusi
konflik
yang
bernuansa
agama.
Selain
perlu
melakukan
revitalisasi
‘dialog
emansipatoris’,
kompetensi
para
pemimpin
dan
fungsionaris
agama
dalam
penyelesaian
masalah
secara
damai
(peaceful
resolution
of
conflict)
perlu
ditingkatkan.
Penyelesaian
konflik
sosial
bernuansa
agama
jelas
tidak
bisa
hanya
secara
instingtif
dan
trial
by
error;
tetapi
sebaliknya
memerlukan
kompetensi,
baik
pada
tingkat
pemahaman
atas
sebab
musabab
konflik
sosial
tersebut
maupun
pada
tingkat
penyelesaiannya.
Dalam
konteks
terakhir
ini,
kompetensi
itu
menyangkut
kemampuan
untuk
membawa
pihak-‐pihak
yang
bertikai
ke
meja
dialog;
kompetensi
untuk
‘menenangkan’
masyarakat
yang
berkonflik;
kompetensi
untuk
membangun
trust
di
antara
pihak-‐pihak
yang
terlibat
konflik;
dan
kompetensi
untuk
menyelesaikan
masalah
secara
adil,
obyektif
dan
bermartabat,
yang
dapat
diterima
pihak-‐pihak
yang
bersengketa.
Peningkatan
kompetensi
seperti
itu
diperlukan
khususnya
bagi
para
pemimpin
dan
fungsionaris
agama
pada
tingkat
menengah
dan
bawah,
karena
mereka
inilah
yang
dalam
kehidupan
9
sehari-‐hari
berada
dalam
kontak
dan
komunikasi
langsung
dengan
masyarakat
akar
rumput
yang
terlibat
dalam
konflik
sosial
bernuansa
agama.
Para
pemimpin
dan
fungsionaris
agama
pada
kedua
level
ini
dapat
memanaskan
dan
bahkan
mencetuskan
konflik;
tetapi
sebaliknya,
mereka
pula
yang
dapat
menyelesaikan
konflik
sosial
yang
terjadi.
Sebab
itulah,
para
pemimpin
dan
fungsionaris
agama
pada
kedua
level
itu
perlu
meningkatkan
kompetensi
mereka
dalam
menghadapi
radikalisme
keagamaan
dan
juga
menyelesaikan
konflik
sosial-‐keagamaan.
Peran
Keluarga,
Sekolah
dan
Pimpinan
PT
Tidak
perlu
dibahas
panjang
lebar,
penyebaran
paham
radikal
dan
tidak
toleran
yang
mengganggu
hubungan
intra
dan
antar-‐umat
beragama
jelas
kian
merambah
ke
keluarga,
sekolah
dan
kampus
perguruan
tinggi.
Berbagai
penelitian
yang
dilakukan
PPIM
dan
CSRC
serta
lembaga-‐lembaga
lain
menunjukkan
kecenderungan
meningkatnya
paham
radikal
di
kalangan
pelajar
dan
mahasiswa.
Bahkan
juga
terungkap
peningkatan
gejala
radikalisme
itu
di
kalangan
para
guru—baik
guru
agama
maupun
guru
umum.
Sejauh
menyangkut
gejala
meningkatnya
radikalisme
dan
intoleransi
di
kalangan
pelajar
dan
mahasiswa,
jelas
tidak
pas
mengaitkan
tindakan
teror
alumni
yang
sudah
lama
meninggalkan
sekolah
dan
kampus
dengan
almamaternya.
Atau
mengaitkan
para
mahasiswa
dan
pelajar
yang
terkesan
begitu
mudah
terekrut
ke
dalam
jaringan
NII
dengan
PT-‐nya.
Dengan
suasana
kebebasan
akademis
dan
juga
kebebasan
sosial
di
kampus
jelas
sangat
sulit
bagi
pimpinan
PT
mengontrol
para
mahasiswa
mereka—apalagi
para
alumni
yang
telah
menyebar
ke
berbagai
sektor
kehidupan
dan
umumnya
tidak
pernah
kembali
ke
almamaternya.
Karena
itu,
sekolah
dan
kampus
sebagai
ranah
publik
dengan
para
pelajar,
mahasiswa
dan
alumni
yang
terkait
kealmamateran
bisa
tidak
imun
terhadap
berbagai
pengaruh
dan
infiltrasi
paham,
wacana
dan
gerakan
dari
luar.
Karena
itu,
dari
waktu
ke
waktu
di
lingkungan
sekolah
kampus
berbagai
PT
hampir
selalu
ada
kelompok-‐kelompok
radikal
dan
ekstrim—baik
ekstrim
kanan
maupun
kiri.
Dengan
demikian
kampus
khususnya
hampir
selalu
menjadi
lahan
subur
bagi
rekrutmen
sel-‐sel
ekstrim
kiri
ataupun
kanan.
Sejak
10
sejak
akhir
1970an,
sel-‐sel
ekstrim
kanan
sangat
giat
melakukan
rekrutmen
di
kampus;
membentuk
kelompok
dan
sel
NII
yang
lazim
dikenal
sebagai
usrah
(keluarga)
yang
menolak
keabsahan
pemerintahan
Soeharto
yang
mereka
sebut
‘thaghut’.
Penolakan
ini
secara
simbolik
mereka
lakukan
misalnya
dengan
membakar
KTP;
menikah
lewat
wali
Amir
(pemimpin)
mereka
sendiri
tanpa
melalui
Kantor
Urusan
Agama
(KUA).
Zaman
kebebasan
dan
demokrasi
pasca-‐Soeharto
membukakan
ruang
sangat
lapang
bagi
berbagai
kelompok
dengan
orientasi
ideologis
ekstrim
kiri
dan
kanan
untuk
kembali
ke
kampus
dan
juga
sekolah.
Kelompok
kiri
tidak
mampu
bertahan
lama,
sehingga
memberikan
ruang
sangat
besar
bagi
kelompok
dan
ekstrim
radikal
Islam
sejak
dari
NII
sampai
kepada
sel-‐sel
radikal
lainnya.
Kelompok
dan
sel
seperti
ini
dengan
pemahaman
keagamaan
yang
jauh
berbeda
dengan
arus
utama
Islam
segera
terlibat
dalam
aksi
pelanggaran
hukum
sejak
dari
penculikan,
pencurian,
perampokan,
terorisme
sampai
upaya
makar
terhadap
NKRI.
Menangkal
terekrut
dan
berkembangnya
paham
radikal
di
kalangan
pelajar
dan
mahasiswa
jelas
memerlukan
peran
keluarga;
karena
di
sinilah
mereka
menghabiskan
lebih
banyak
waktunya.
Lagi
pula,
keluarga
adalah
lembaga
pendidikan
pertama
dan
utama.
Pencegahan
para
pelajar
dan
mahasiswa
untuk
tidak
terjerumus,
dengan
demikian,
harus
dimulai
dari
keluarga.
Untuk
itu,
kedua
orang
tua
dan
anggota
keluarga
senior
lainnya
harus
senantiasa
memantau
remaja
dan
anak
muda
mereka
sehari-‐hari
untuk
melihat
jika
terdapat
perubahan
baik
dalam
perilaku—dari
yang
biasa
pulang
ke
rumah
atau
selalu
memberi
kabar
menjadi
‘menghilang’
dan
tidak
berkabar
selama
berhari-‐hari.
Juga
bisa
diamati
cara
mereka
bersikap,
berpakaian—misalnya
mulai
memakai
‘celana
kutung’;
dan
berbicara
pada
anggota
keluarga,
seperti
tidak
lagi
membalas
ucapan
‘assalamu’alaykum’,
dan
seterusnya.
Jika
gejala-‐gejala
ini
ditemukan,
kedua
orangtua
sepatutnya
mulai
berbicara
baik-‐baik,
dari
hati
ke
hati,
kepada
mereka
dengan
pendekatan
dialogis
dan
empati.
Pembicaraan
yang
bernada
interogasi
dan
marah-‐marah
sebaiknya
dihindari,
yang
sangat
boleh
jadi
membuat
mereka
kian
mengeras
dan
menjauh
dari
keluarga.
11
Jika
tidak
efektif,
orangtua
dapat
minta
tolong
temannya
yang
terpercaya,
dan/atau
guru
dan
dosen.
Dalam
konteks
sekolah
dan
kampus,
ideologi
radikal
dan
teroristik
tidak
bisa
dihadapi
hanya
dengan
wacana;
atau
bahkan
dengan
tindakan
represif
aparat
hukum
sekalipun.
Pertama-‐tama
ideologi
semacam
itu
harus
dihadapi
dengan
kontra-‐ideologi
dan
perspektif
keagamaan-‐keindonesiaan
yang
utuh.
Sebab
itu,
tidak
perlu
‘redesain’
kurikulum
secara
menyeluruh
seperti
dibicarakan
dalam
Kompas,
26/4/11
karena
dapat
mengganggu
stabilitas
akademis-‐keilmuan.
Tetapi
sebaliknya
yang
mendesak
dilakukan
adalah
revitalisasi
beberapa
Mata
Kuliah
(MK)/Mata
Pelajaran
(MP)
yang
relevan
karena
bersifat
‘ideologis’,
yakni
MK/MP
Pancasila,
MK/MP
Pendidikan
Kewargaan,
dan
MK/MP
Agama.
Pancasila
sebagai
dasar
negara
dan
kerangka
ideologis
negara-‐bangsa
Indonesia
telah
marjinal
sejak
masa
reformasi
(lihat
Tajuk
Rencana
Kompas,
26/4/11).
Ini
juga
terjadi
di
lingkungan
PT.
MK
Pancasila
yang
di
beberapa
PTU
dan
PTAI
sejak
masa
awal
Reformasi
telah
diganti
dengan
MK
Falsafat
Pancasila
atau
bahkan
dihapus
sama
sekali.
MK
Filsafat
Pancasila
lebih
merupakan
wacana
akademis
daripada
ideologis.
Padahal,
hanya
dengan
memahami
Pancasila
dapat
ditumbuhkan
semangat
kebangsaan-‐keindonesiaan
dan
kewargaan
aktif
dan
bertanggungjawab.
MK/MP
lain
yang
juga
penting
untuk
memperkuat
wawasan
kebangsaan
adalah
MK/MP
Kewarganegaraan
atau
Pendidikan
Kewargaan
(Civic
Education)
yang
di
banyak
PTAI
dan
PTU
merupakan
pengganti
MK
Kewiraan
yang
dihapus
pasca-‐kekuasaan
Presiden
Soeharto
yang
militeristik.
Silabus
yang
ada
dalam
Pendidikan
Kewargaan
mengandung
substansi
yang
sarat
dengan
penguatan
paham
kebangsaan-‐keindonesiaan
dalam
berbagai
aspeknya.
Terakhir
MK/MP
Agama
yang
semestinya
tidak
hanya
mengulangi
ajaran
teologis-‐normatif
agama,
tetapi
seharusnya
juga
memberikan
penguatan
perspektif
keagamaan-‐kebangsaan.
Lebih
dari
itu,
guru
dan
dosen
seharusnya
mengorientasikan
MK/MP
ini
untuk
penguatan
sikap
intelektual
tentang
keragaman
agama
dan
sekaligus
toleransi
intra
dan
antar-‐agama
serta
antara
umat
beragama
dengan
negara.
Pembelajaran
ketiga
MK/MP
tersebut
oleh
para
guru
dan
dosen
jelas
tidak
bisa
dilakukan
secara
indoktrinatif
ala
penataran
12
P4.
Perlu
terobosan-‐terobosan
baru
dalam
metode
pembelajaran
yang
dialogis,
partisipatif,
analitis
dan
kritikal,
serta
melibatkan
role
playing
dan
role-‐modeling.
Dengan
cara
ini,
pembelajaran
ketiga
MK/MP
tersebut
dapat
bukan
hanya
terhindar
dari
kebosanan,
tetapi
juga
lebih
memungkinkan
terjadinya
internalisasi
ke
dalam
diri
para
pelajar
dan
mahasiswa.
Revitalisasi
Organisasi
Pelajar
dan
Mahasiswa
Yang
tidak
kurang
pentingnya
pula
adalah
revitalisasi
lembaga,
badan
dan
organisasi
mahasiswa
dan
pelajar
baik
intra
dan
ekstra
sekolah/kampus
seperti
OSIS
dan
BEM.
Yang
terakhir
ini
lebih
banyak
terlibat
dalam
aktivisme
politik—dalam
demo
dan
aksi
protes
lain
terkait
isyu
politik
dan
pemerintahan.
Tetapi.
Sedikitnya
dalam
dua
tahun
terakhir,
aktivisme
mahasiswa
cenderung
sangat
menurun.
Banyak
kalangan
menduga
terjadinya
disorientasi
kemahasiswaan
karena
berbagai
faktor
sosial,
budaya,
politik,
ekonomi
dan
bahkan
keagamaan.
Hal
yang
sama
juga
terjadi
pada
organisasi
mahasiswa
ekstra-‐
kampus
PT
seperti
HMI,
PMII,
IMM,
KAMMI,
GMNI,
PMKRI,
GMKI
dan
semacamnya
yang
kebanyakannya
tidak
lagi
terlalu
aktif
dalam
kaderisasi
para
anggotanya.
Bahkan
ada
kecenderungan
kuat,
keanggotaan
sebagian
besar
organisasi
merosot
secara
signifikan.
Padahal,
beberapa
penelitian
PPIM
dan
CSRC
di
UIN
Jakarta
menunjukkan,
keanggotaan
dan
aktivisme
organisasi
merupakan
faktor
penting
mencegah
terjerumusnya
seseorang
ke
dalam
gerakan
radikal
dan
ekstrim.
Sebaliknya
terdapat
gejala
kuat,
para
mahasiswa
‘non-‐aktivis’
dan
‘kutubuku’
untuk
sangat
mudah
terkesima,
sehingga
segera
dapat
mengalami
‘cuci
otak’
dan
indoktrinasi
pemikiran
dan
gerakan
radikal
dan
ekstrim.
Mereka
cenderung
naif
dan
polos
karena
tidak
terbiasa
berpikir
analitis
dan
kritis
seperti
lazim
dalam
dunia
kaum
mahasiswa
aktivis.
Pada
pihak
lain,
OSIS,
khususnya
Rohis,
dalam
beberapa
tahun
terakhir
cenderung
giat
dalam
berbagai
bentuk
kegiatan
keagamaan.
Ini
merupakan
respon
terhadap
kurangnya
jumlah
jam
MP
Agama,
yang
cuma
dua
jam
sepekan.
Apalagi,
organisasi
ekstra-‐
pelajar
seperti
PII,
IPM,
IPNU
dan
semacamnya
kian
menghilang
dari
lingkungan
sekolah.
Akibatnya
para
pelajar
menjadi
kian
rentan
dan
rawan
terhadap
rekrutmen
oleh
sel-‐sel
gerakan
radikal.
13
Di
sinilah
peran
dosen
dan
guru
sangat
penting.
Mereka
sudah
sepatutnya
memberikan
perhatian
lebih
intens
kepada
para
pelajar
dan
mahasiswa
mereka
masing-‐masing.
Jika
mereka
menemukan
gejala-‐gejala
perubahan
cara
berpikir,
bertingkahlaku,
berpakaian,
berbicara
dan
sebagainya,
sepatutnya
dosen
dan
guru
mengajak
mereka
berdialog
dan
bertukar
pikiran.
Karena
para
guru
dan
dosen
memiliki
otoritas
atas
berhasil
atau
tidaknya
mereka
dalam
kemajuan
pendidikan
masing-‐masing
pelajar
dan
mahasiswa,
mereka
biasanya
bisa
lebih
efektif
daripada
orangtua.
Kesimpulan
Rekrutmen
ideologis
kelompok
radikal,
ekstrim
dan
teroristik
hampir
bisa
dipastikan
terus
berlanjut.
Karena
itu,
sudah
saatnya
langkah-‐langkah
tadi
menjadi
prioritas
pihak-‐pihak
terkait
yang
disebutkan
di
atas.
Lembaga
pendidikan
sekolah
dan
PT
khususnya
tidak
hanya
bertugas
dalam
transfer
dan
transmisi
ilmu
pengetahuan,
keahlian
dan
ketrampilan,
tetapi
juga
dalam
membentuk
warganegara
aktif
dan
bertanggungjawab
bagi
masa
depan
negara-‐bangsa
Indonesia.
Karena
itulah,
sekolah
dan
kampus
khususnya
segera
melakukan
langkah
yang
sangat
perlu
dan
mendesak.
Senarai
Bacaan
Azra,
Azyumardi
et.al.,
2008,
Sistem
Siaga
Dini
Untuk
Kerusuhan
Sosial,
Jakarta:
PPIM
dan
Balitbang
Dep.
Agama
RI
Azra,
Azyumardi,
2002a,
Reposisi
Hubungan
Agama
dan
Negara:
Merajut
Kerukunan
Antarumat,
Jakarta:
Penerbit
Buku
Kompas.
Azra,
Azyumardi,
2002b,
Konflik
Baru
Antar-‐Peradaban:
Globalisasi,
Radikalisme
&
Pluralitas,
Jakarta:
RajaGrafindo
Persada.
Azra,
Azyumardi,
“Pengantar”,
2000,
Merajut
Damai
di
Maluku:
Telaah
Konflik
Antarumat
1999-‐2000,
Jakarta:
MUI
dan
Yayasan
Pustaka
Umat.
Azra,
Azyumardi,
1999,
Konteks
Berteologi
di
Indonesia:
Pengalaman
Islam,
Jakarta:
Paramadina.
Bamualim,
Chaider
et
al,
2001,
Laporan
Penelitian
Radikalisme
Agama
dan
Perubahan
Sosial
di
DKI
Jakarta,
Jakarta:
Pusat
Bahasa
dan
Budaya
&
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah.
Effendy,
Bahtiar
&
Soetrisno
Hadi
(eds),
2007,
Agama
dan
Radikalisme
di
Indonesia,
Jakarta:
Nuqtah.
14
Fananie,
Zainuddin,
Atika
Sabardila
&
Dwi
Purnanto,
2002,
Radikalisme
Agama
&
Perubahan
Sosial,
Surakarta:
Muhammadiyah
University
Press
&
The
Asia
Foundation.
Haedar
Nashir,
2007,
Gerakan
Islam
Syariat:
Reproduksi
Salafiyah
Ideologis
di
Indonesia,
Jakarta:
PSAP
Makruf,
Jamhari
&
Jajang
Jahroni
(eds),
2004,
Gerakan
Salafi
Radikal
di
Indonesia,
Jakarta:
RajaGrafindo
Persada.
Zada,
Khamami,
2002,
Islam
Radikal:
Pergulatan
Ormas-‐ormas
Islam
Garis
Keras
di
Indonesia,
Jakarta:
Teraju.
*Azyumardi
Azra,
lahir
4
Maret
1955,
adalah
Gurubesar
sejarah;
dan
Direktur
Sekolah
PascaSarjana
Universitas
Islam
Negeri
(UIN)
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
sejak
Januari
2007
sampai
sekarang.
Ia
juga
pernah
bertugas
sebagai
Deputi
Kesra
pada
Sekretariat
Wakil
Presiden
RI
(April
2007-‐20
Oktober
2009).
Sebelumnya
dia
adalah
Rektor
IAIN/UIN
Syarif
Hidayatullah
selama
dua
periode
(IAIN,1998-‐2002,
dan
UIN,
2002-‐2006).
Memperoleh
gelar
MA,
MPhil
dan
PhD
dari
Columbia
University,
New
York
(1992),
pada
Mei
2005
dia
memperoleh
DR
HC
dalam
humane
letters
dari
Carroll
College,
Montana,
USA.
Ia
juga
gurubesar
kehormatan
Universitas
Melbourne
(2006-‐9);
Selain
itu
juga
anggota
Dewan
Penyantun
International
Islamic
University,
Islamabad,
Pakistan
(2005-‐sekarang);
Komite
Akademis
The
Institute
for
Muslim
Society
and
Culture
(IMSC),
International
Aga
Khan
University
(London,
2005-‐2010).
Dalam
bidang
ilmu
pengetahuan
dan
riset,
dia
adalah
anggota
Akademi
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(AIPI,
2005-‐sekarang);
anggota
Dewan
Riset
Nasional
(DRN,
2005-‐sekarang).
Juga
anggota
Southeast
Asian
Regional
Exchange
Program
(SEASREP,
Tokyo,
1999-‐2001);
Asian
Research
Foundation-‐
Asian
Muslim
Action
Network
(ARF-‐AMAN,
Bangkok,
2004-‐sekarang);
The
Habibie
Center
Scholarship
(2005-‐sekarang);
Ford
Foundation
International
Fellowship
Program
(IFP-‐IIEF,
2006-‐sekarang);
Asian
Scholarship
Foundation
(ASF,
Bangkok,
2006-‐sekarang);
Asian
Public
Intellectual
(API),
the
Nippon
Foundation
(Tokyo,
2007-‐sekarang);
anggota
Selection
Committee
Senior
Fellow
Program
AMINEF-‐Fulbright
(2008).
Selain
itu,
dia
anggota
Dewan
Pendiri
Kemitraan—Partnership
for
Governance
Reform
in
Indonesia
(2004-‐sekarang);
Dewan
Penasehat
United
Nations
Democracy
Fund
(UNDEF,
New
York,
2006-‐8);
International
IDEA
(Institute
for
Democracy
and
Electoral
Assistance),
Stockholm
(2007-‐sekarang);
Multi
Faith
Centre,
Griffith
University,
Brisbane
(2005-‐sekarang);
Institute
of
Global
Ethics
and
Religion,
USA
(2004-‐sekarang);
LibforAll,
USA
(2006-‐
sekarang);
Center
for
the
Study
of
Contemporary
Islam
(CSCI,
University
of
Melbourne,
2005-‐7);
Tripartite
Forum
for
Inter-‐Faith
Cooperation
(New
York,
2006-‐sekarang);
anggota
World
Economic
Forum’s
Global
Agenda
Council
on
the
West-‐Islam
Dialogue
(Davos
2008-‐sekarang).
15
Dia
juga
adalah
pemimpin
redaksi
Studia
Islamika:
Indonesian
Journal
for
Islamic
Studies
(Jakarta,
1994-‐sekarang);
Journal
of
Qur’anic
Studies
(SOAS,
University
of
London,
2006-‐sekarang);
Journal
of
Usuluddin
(Universiti
Malaya,
Kuala
Lumpur,
2006-‐sekarang);
Jurnal
Sejarah
(Universiti
Malaya,
Kuala
Lumpur,
2005-‐sekarang);
The
Australian
Journal
of
Asian
Law
(Sydney,
Australia,
2008-‐sekarang);
IAIS
Journal
of
Civilisation
Studies
(International
Institute
of
Advanced
Studies,
Kuala
Lumpur,
2008-‐sekarang);
Journal
of
Royal
Asiatic
Society
(JRAS,
London,
2009-‐sekarang);
dan
Journal
of
Islamic
Studies
(Oxford
Centre
for
Islamic
Studies,
2010-‐sekarang).
Dia
telah
menerbitkan
lebih
dari
21
buku,
yang
terakhir
adalah
Indonesia,
Islam
and
Democracy:
Dynamic
in
a
Global
Context
(Jakarta
&
Singapore,
TAF,
ICIP,
Equinox-‐Solstice,
2006);
Islam
in
the
Indonesian
World:
An
Account
of
Institutional
Development
(Mizan
International:
2007);
(co-‐
contributing
editor),
Islam
Beyond
Conflict:
Indonesian
Islam
and
Western
Political
Theory
(London:
Ashgate:
2008);
Varieties
of
Religious
Authority:
¨Changes
and
Challenges
in
20th
Century
Indonesian
Islam
(Singapore:
ISEAS,
2010).
Lebih
30
artikelnya
dalam
bahasa
Inggris
telah
diterbitkan
dalam
berbagai
buku
dan
jurnal
pada
tingkat
internasional.
Pada
2005
ia
mendapatkan
The
Asia
Foundation
Award
dalam
rangka
50
tahun
TAF
atas
peran
pentingnya
dalam
modernisasi
pendidikan
Islam;
dalam
rangka
Peringatan
Hari
Kemerdekaan
RI,
pada
15
Agustus
2005
mendapat
anugerah
Bintang
Mahaputra
Utama
RI
atas
kontribusinya
dalam
pengembangan
Islam
moderat;
dan
pada
September
2010,
ia
mendapat
penghargaan
Honorary
Commander
of
the
Order
of
British
Empire
(CBE)
dari
Ratu
Kerajaan
Inggris
atas
jasa-‐jasanya
dalam
hubungan
antar-‐agama
dan
peradaban.
16