Sunteți pe pagina 1din 44

ASPEK SELULER PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Dr. VICTOR JANSEN PANGGABEAN

PENDAHULUAN Kulit memberikan berbagai fungsi termasuk mencegah kehilangan cairan, melindungi infeksi, mempertahankan suhu tubuh, membrikan stimulus sensorik, menghasilkan vitamin D dan menentukan identifikasi individual. Dengan demikian, manajemen untuk pasien luka bakar masih sangat menantang dan pendekatan terbaiknya adalah penanganan bersama tim multidisipiner yang melibatkan anestesiologis, dokter bedah, intensivist, dan perawat.(1) Angka mortalitas masih tetap tinggi, dalam tahun 1998-2003 di RSUPN Cipto Mangunkusumo tercatat sekitar 36,5%. Di Amerika Serikat, sekitar 1,25 juta orang dirawat karena luka bakar tiap tahunnya, 50.000 pasien harus dirawat dirumah sakit, dan 5.500 pasien meninggal karena luka bakar tiap tahunnya. Luka bakar termal mempengaruhi lebih dari 2 juta orang pertahun, dengan 4% nya harus dirawat di rumah sakit dan 0,5% meninggal. Keberhasilan dari penyelamatan luka bakarberhubungan dengan umur penderita, ukuran luka bakar, dan ada atau tidaknya cedera inhalasi. Luka bakar menyebabkan banyak komplikasi dan kematian. Luka bakar berat (primary insult) dapat menyebabkan lepasnya mediator inflamasi massif yang selanjutnya menyebabkan lingkaran setan inflamasi yang menyebabkan immunosupresi meningkatkan kepekaan pasien terhadap infeksi dan kegagalan multi-organ diikuti kematian. (2,3,4) Paradigma penatalaksanaan luka bakar mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran (iptekdok), khususnya bidang biomolekular dan traumatologi. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi memerlukan pendekatan beberapa disiplin ilmu (multidisipliner), secara terpadu bersama-sama mengupayakan penurunan mortalitas luka bakar. Setiap fase luka bakar diwarnai oleh permasalahan spesifik dan perubahanInfeksi terutama pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Pasien luka bakar tanpa inhalation injury yang memerlukan ventilasi mekanik menunjukkan kemungkinan mendapat pneumonia yang tinggi. Meskipun banyak kemajuan dalam memperbaiki hasil

akhir dan angka harapan hidup pasien luka bakar, penatalaksanaan pasien ini masih banyak membutuhkan tantangan bagi seluruh unit perawatan yang terlibat. LUKA BAKAR Luka bakar cedra yang cukup sering dihadapi para dokter jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedra oleh sebab lain. Ketika terjadi luka bakar kulit merupakan salah satu organ yang pertama kali mengalami paparan zat pembakar. Otomatis akan mempengaruhi fungsi-fungsi kulit sesuai dengan berat ringannya luka bakar. Tiga faktor penting yang harus menjadi perhatian pada kejadian luka bakar adalah: (2,4,5) 1. Etiologi 2. Kedalamanan Luka Bakar 3. Luas Luka Bakar Etiologi Berdasarkan etiologinya pembagian luka bakar berhubungan dengan pembagian jenis atau macam luka bakar, yaitu : a. Luka Bakar yang disebabkan api (Flame) b. Luka Bakar yang disebabkan air panas c. Luka Bakar yang disebabkan bahan kimia d. Luka Bakar yang disebabkan radiasi e. Luka Bakar yang disebabkan listrik (Electrical) Derajat Kedalaman (6) Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Dahulu Dupuytren membagi atas 6 tingkat, sekarang lebih praktis hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu: 1. Luka bakar derajat I :

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperficial), kulit hipermik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.

Gambar 1. Kedalaman Luka Bakar Derajat Satu Sumber: Moossa et al, 1997; Sunarso Kartohatmodjo, 2006 2. Luka bakar derajat II

Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Dibedakan atas 2 (dua) bagian : A. Derajat II dangkal/superficial (IIA) Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Organ organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak. Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk cicatrik. B. Derajat II dalam / deep (IIB)

Gambar 3. Kedalaman Luka Bakar Derajat Dua Sumber: Moossa et al, 1997; Sunarso Kartohatmodjo, 2006 Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan. 3. Luka bakar derajat III Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

Gambar 3. Kedalaman Luka Bakar Derajat Tiga Sumber: Moossa et al, 1997; Sunarso Kartohatmodjo, 2006 Luas Luka Bakar (6) Wallace membagi tubuh atas bagian bagian 9 % atau kelipatan dari 9 terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace. Kepala dan leher . Lengan . Badan Depan . Badan Belakang . Tungkai . Genitalia/perineum . Total . 9% 18 % 18 % 18 % 36 % 1% 100 %

Gambar 4. Perhitungan Luas Luka Bakar Sumber: Moossa et al, 1997 Menentukan luka bakar menurut Lund dan Browder: (7) 0-1 1-4 5-9 10-14 15 Dewasa 2 % 3 % Total Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Kepala 19 17 13 11 9 7 Leher 2 2 2 2 2 2 Dada 13 13 13 13 13 13 Punggung 13 13 13 13 13 13 Lengan kanan atas 4 4 4 4 4 4 Lengan kiri atas 4 4 4 4 4 4 Lengan kanan 3 3 3 3 3 3 bawah Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3 3 Area luka bakar

Tangan kanan Tangan kiri Genetalia Bokong kanan Bokong kiri Paha kanan Paha kiri Tungkai kanan Tungkai kiri Kaki kanan Kaki kiri

2,5 2,5 1 2,5 2,5 5,5 5,5 5 5 3,5 3,5

2,5 2,5 1 2,5 2,5 6,5 6,5 5 5 3,5 3,5

2,5 2,5 1 2,5 2,5 8 8 5,5 5,5 3,5 3,5

2,5 2,5 1 2,5 2,5 8,5 8,5 6 6 3,5 3,5

2,5 2,5 1 2,5 2,5 9 9 6,5 6,5 3,5 3,5

2,5 2,5 1 2,5 2,5 9,5 9,5 7 7 3,5 3,5

Berdasarkan lokasi tempat yang terkena pada tubuh, luka bakar terbagi menjadi: (8) Wajah Luka Bakar karena inhalasi Mata Corneal scarring, disfungsi pada mata, kebutaan Tangan dan kaki jaringan parut dan kontraktur Circumferential burns :

- Neck ----> Laryngeal edema, obstruksi jalan napas - Ekstremitas ----> Iskemia - Chest wall ----> Respirasi failure Kriteria berat ringan luka bakar menurut American Burn Association : 1. 2. 3. Luka bakar ringan Luka bakar derajat II < 15 % Luka bakar derajat II < 10 % pada anak-anak Luka bakar derajat III < 1 % Luka bakar sedang Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak Luka bakar derajat III < 10% Luka bakar berat Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa

Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak Luka bakar derajat III 10% atau lebih Luka bakar mengenai tangan, wajah telinga, mata, kaki dan

genitalia/ perineum Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain. Kategori Luka Bakar Mayor jika didapatkan : Luka Bakar derajat Dua >25% luas permukaan tubuh pada dewasa Luka Bakar derajat Dua >20% luas permukaan tubuh pada anak-anak Luka Bakar derajat Tiga >10% luas permukaan tubuh Mengenai wajah, kedua mata, kedua tangan, kaki atau perineum Semua luka bakar listrik/elektrik Semua luka bakar inhalasi Luka bakar komplikasi dengan trauma mayor lain

Permasalahan Luka Bakar (2,9,10,11) Luka bakar merupakan suatu keadaan yang sangat jauh berbeda dengan penyakit atau kelainan yang ada/diketahui di dunia kedokteran. Kompleksitas permasalahan yang ada pada setiap fase menyebabkan kesulitan dalam menyusun suatu bentuk standar pelayanan baku, sehingga memerlukan beberapa alternatif. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan standar pelayanan ini, maka penyusunan standar kembali mengacu pada evidence-based medicine yang terdiri dari beberapa kategori; menghasilkan beberapa kelas rekomendasi. Fase akut berlangsung selama 0-48jam bila mengacu pada proses penyembuhan luka, namun bila mengacu pada gangguan permeabilitas kapilar, fase akut dapat berlangsung lebih dari waktu tersebut. Demikian pula halnya dengan fase subakut: bila mengacu pada konsep SIRS, maka fase subakut berlangsung s/d hari ke-32 karena SIRS dapat dijumpai sampai dengan 32 hari pasca cedera. a. Permasalahan tahap awal

10

Sebagaimana diketahui, masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan gangguan jalan nafas (cedera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi; ketiganya menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat; atau bila korban dapat bertahan (hidup) selama fase akut disertai kemungkinan timbulnya SIRS dan MODS yang berakhir fatal. Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran nafas akibat paparan atau kontak dengan sumber termis (sangat jarang), sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes), berbagai zat toksik seperti CO dan zat kimia lainnya. Cedera inhalasi ini umumnya dijumpai pada luka bakar yang disebabkan api, terperangkap di ruang tertutup, atau terpapar pada zat kimia. Dugaan kuat mengenai adanya cedera inhalasi ini bila dijumpai luka bakar mengenai muka dan leher, serta adanya tanda bulu hidung terbakar, sputum dan liur mengandung karbon. Kerusakan mukosa sebagaimana dijelaskan juga dapat terjadi pada kasus luka bakar yang disebabkan minyak panas, air panas atau bahan kimia yang mengenai muka, leher dan dada bagian atas. Terjadi edema mukosa mulai dari daerah orofaring dan laring (saluran nafas bagian atas) sampai membran alveoli (saluran nafas bagian bawah). Gejala yang timbul sangat bervariasi tergantung derajat paparan dan penyebab. Edema yang bermakna pada saluran nafas bagian atas dapat menyebabkan obstruksi, ditandai dengan perubahan suara (serak, stridor), kesulitan bernafas, dan pasien tampak gelisah (hipoksik). Obstruksi seperti ini relatif jarang dijumpai, umumnya terjadi dalam waktu kurang dari 8jam pasca cedera dan bersifat fatal bila tidak ditangani segera. Proses inflamasi pada mukosa disertai produksi sekret yang banyak (hipersekresi) merupakan hal yang umum dan menyebabkan masalah pada saluran nafas. Inflamasi pada mukosa berlanjut dengan disrupsi; silia pada mukosa mengalami nekrosis yang kemudian lepas (sloughing mucosa), disertai fibrin-fibrin yang terbentuk pada proses dan atau partikel karbon bereaksi dengan sekret membentuk cast (mucus plug) yang sulit dilepaskan; menyebabkan obstruksi lumen. Obstruksi seperti ini lebih sering dijumpai, umumnya terjadi hari kedua-keempat pasca cedera (1,12,13,14)

11

Pada luka bakar kimia (baik dalam bentuk cedera inhalasi maupun kontak dengan bahan kimia) dan luka bakar listrik seringkali disertai bronkospasme yang bukan merupakan hal yang umum terjadi pada luka bakar oleh sebab lainnya. Bronkospasme terjadi akibat kerusakan atau reaksi inflamasi yang melibatkan otot polos bronkus (proses inflamasi akibat luka bakar kimiawi lebih hebat dibandingkan cedera termis lainnya; sedangkan pada luka bakar listrik spasme timbul sebagai reaksi akibat aliran listrik). Gangguan mekanisme bernafas Terbatas/menurunnya kemampuan bernafas oleh karena berkurangnya daya ekspansi dinding toraks disebabkan adanya eskar melingkar dan atau adanya cedera toraks yang menyebabkan gangguan pernafasan (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb). Kondisi ini menyebabkan gangguan mekanisme respirasi yang berdampak pada penurunan compliance paru dan berkurangnya suplai oksigen yang diperlukan oleh sel/jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari cedera pada sel/jaringan. Eskar melingkar di dinding dada menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga toraks yang menyebabkan penurunan kapasitas bernafas (penurunan compliance paru).(15,16,17)

Gambar 5. Eskar melingkar di dada menghalangi gerakan ekspansi rongga toraks digambarkan sebagai jeratan tambang, menyebabkan penurunan compliance paru.

12

b. Permasalahan tahap lanjut Sloughing mucosa dan jaringan nekrosis merupakan pemicu dilepaskannya mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sistemik menyerang organ-organ lain, terutama parenkim paru. Parenkim paru yang terkena umumnya jaringan interstisiel disekitar pembuluh kapilar perialveolar, menyebabkan gangguan perfusi-difusi (V/Q mismatch).(2) Edema mukosa di saluran nafas bagian bawah, yang juga melibatkan alveoli tidak bermanifestasikan obstruksi, namun gangguan ini biasanya timbul pada 4-5 hari pasca cedera (mungkin dijumpai sampai dengan hari ke10-15) dalam bentuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).(14,15) Reaksi inflamasi yang timbul disebabkan beredarnya makrofag di alveolus (lihat gambar 4 di halaman sebelumnya), menyebabkan kerusakan surfaktan dan proliferasi fibrin di permukaan alveoli yang berlanjut dengan pembentukan membran serupa dengan Membrane Hyaline Disease pada neonatus (Neonatal Respiratory Distress Syndrome atau Congenital Respiratory Distress Syndrome).(13,15,16)

13

Gambar 6. Perubahan patologik membran basalis alveolus pada ARDS. Kerusakan surfaktan disertai pembentukan membran hialin yang menghalangi proses perfusi difusi; terjadi karena proses inflamasi sistemik dengan fokus primer di luar paru. PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS), secara khusus menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) dijabarkan sebagai berikut: (16, 18) A. Survai Primer 1. Penilaian jalan nafas (Airway) Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang berhubungan dengan adanya riwayat paparan saluran nafas terhadap suhu tinggi dan atau asap/sisa pembakaran yang terhisap. Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus seperti dibawah ini: 1. Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup

14

2. Riwayat terpapar pada ledakan 3. Luka bakar mengenai muka 4. Bulu hidung dan alis terbakar 5. Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah orofaring 6. Sputum mengandung karbon. Komplikasi jalan napas dapat terbagi pada 3 fase sindrom : a. Komplikasi dini (0-24 jam post trauma) meliputi keracunan carbon monoxide dan direct inhalation injury, dan bisa berlanjut menjadi obstruksi airway dan edema pulmonal. b. c. Delayed injury (2-5 hari post trauma) terjadi respiratory distress sndrome Komplikasi lanjut, muncul setelah hitungan hari atau minggu, terjadi pneumonia, atelektasis, danemboli pulmonal. 2. Penilaian mekanisme bernafas (Breathing) Perhatian utama ditujukan pada gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dinding dada dan atau ada cedera toraks (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb).(16, 19)

Cedera Inhalasi Adalah suatu terminologi cedera mukosa akibat paparan terhadap cedera termis dan atau kimiawi yang terjadi pada luka bakar. Cedera panas secara langsung yang menyebabkan edema yang dapat berlanjut menjadi suatu bentuk obstruksi saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis) Inhalasi sisa pembakaran yang tidak sempurna (misalnya partikel-partikel karbon dan gas toksik, cedera kimiawi) yang menyebabkan (cedera di bawah glotis): edema: edema laring, - trakeobronkitis dan pneumonia Kondisi patologik ini menyebabkan gangguan suplai oksigen yang diperlukan oleh sel/jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari cedera pada sel/jaringan.

15

Cedera inhalasi asap panas Insidensinya berkisar 5 35% dari semua pasien luka bakar. Angka kematian pada cedera inhalasi terisolasi sekitar 10 %, tetapi akan meningkat menjadi 2 kali lipat apabila disertai luka bakar ditempat lain. Cedera inhalasi menimbulkan efek berbahaya pada saluran nafas atas dan bawah. Produk kimiawi pada asap (seperti amonia, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan klorida) yang bereaksi dengan uap air pada saluran nafas akan menghasilkan asam dan basa kuat (misalnya sulfur dioksida akan membentuk asam sulfur). Hasil akhir ini akan menyebabkan bronkospasme, udema jalan nafas, dan ulkus membran mukosa. Gas lain seperti nitrogen oksida, fosgen, asam hidroklorid, dan asam sulfur dapat menembus jalan nafas lebih dalam, sehingga dapat merusak membran alveoli, dan mengganggu aktivitas surfaktan. Hasil akhir cedera inhalasi adalah nekrosis epitel trakhea dan bronkus, sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial atau komplit, dan merusak sistem pertahanan jalan nafas terhadap infeksi. (2, 15, 19) Senyawa aldehida seperti akrolein yang dihasilkan oleh terbakarnya katun, kayu, dan bermacam serabut sintetik akan mengganggu fungsi silier dan merusak permukaan mukosa (terjadi udema dan transudasi mukus). Kadar akrolein hanya 10 ppm sudah dapat menimbulkan udema pulmo. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengarahkan secara akurat terjadinya cedera inhalasi. Pasien yang ditemukan pada lingkungan api di ruang tertutup atau terjebak (misalnya di rumah atau dalam mobil) merupakan resiko tinggi terjadinya cedera inhalasi. Luka bakar pada wajah, dahak berwarna hitam (karbon), dan gangguan bernafas merupakan tanda penunjang. Pemeriksaan gas darah sangat membantu dalam penatalaksanaan berikutnya, dengan mengetahui tekanan parsial oksigen dan karbondioksida, saturasi oksigen, dan lain-lain. Pemeriksaan lainnya yang diperlukan yaitu rontgen thorak dan bronkoskopi fiberoptik. Terdapat hubungan antara gambaran bonkoskopi dengan faktor resiko cedera inhalasi yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis. Gambaran

16

bronkoskopi yang positif menunjukkan terjadinya cedera inhalasi didapatkan pada 96 % pasien yang memiliki trias: api di ruang tertutup, kadar karboksihemoglobin >10 %, dan dahak berwarna hitam karbon. Gambaran positif muncul sebesar 70% pada pasien yang hanya memiliki 2 parameter klinis cedera inhalasi, dan hanya <30% pada pasien dengan 1 parameter klinis cedera inhalasi. Penatalaksanaan cedera inhalasi yang terpenting adalah intubasi trakheal seawal mungkin, dengan bantuan ventilasi mekanik dan perawatan intensif untuk mengantisipasi terjadinya bronkospasme berat, kerusakan alveolar, dan udema paru-paru. Komponen senyawa kimiawi khusus, seperti karbonmonoksida dan sianida, memerlukan penanganan yang lebih spesifik. Cedera sistem respirasi yang tidak langsung terjadi pada pasien luka bakar di kulit tanpa ada bukti klinis terjadi cedera inhalasi. Mekanismenya bermacammacam, misalnya akibat resusitasi cairan yang masif, atau akibat terjadinya penurunan tekanan onkotik plasma melalui kehilangan protein plasma melalui jaringan luka bakar. Mediator inflamasi (lipid peroksida, prostanoid, komplemen) yang dilepaskan oleh jaringan yang terbakar juga ikut berperan dalam terjadinya udema paru-paru. (2, 15) Penatalaksanaan Jalan Nafas Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya abnormalitas jalan nafas sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Setelah informasi terkumpul, maka rencana terbaik dalam penatalaksanaan jalan nafas dapat segera disusun saat pasien datang ke rumah sakit. Meskipun jalan nafas pasien tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi endotrakheal profilaktik. Tidak semua cedera jalan nafas bermanifestasi segera. Udema jalan nafas yang berhubungan dengan resusitasi cairan masif dapat mengganggu jalan nafas dan mempersulit dilakukannya intubasi trakhea. Sebagai kaidah umum, lebih baik melakukan intubasi pasien luka bakar secepatnya daripada terlambat melakukannya. (2,3,11,12) Apabila terdapat cedera jalan nafas atas dengan tanda obstruksi jalan nafas, pasien memerlukan intubasi trakheal sesegera mungkin. Sehingga

17

diperlukan tenaga dan sarana yang mencakup anestesiolog yang berpengalaman, peralatan untuk berbagai macam teknik intubasi, mesin anestesi, dan termasuk kemungkinan dilakukannya pembebasan jalan nafas secara operatif. Patofisiologi kerusakan parenkim paru sampai saat ini penyebabnya belum jelas, apakah disebabkan langsung oleh panas (thermal) atau bahan-bahan kimia (chemical) atau karena efek tidak langsung akibat terapi cairan yang berlebihan, infeksi sekunder, ARDS ataupun karena edema paru. Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan termal atau kemikal pada permukaan epitel pada saluran napas. Kerusakan sekunder disertai pneumonia bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah terpapar, yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sitotoksik. Proses inflamasi akan menyebabkan infiltrasi neutrofil, merusak makrofag dalam alveoli, sehingga memudahkan berkembang biak. Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang dihisap pasien ditempat kejadian, sumbatan jalan napas, kerusakan parenkim paru atau toksn-toksin (sianida dan CO) yang menghambatan transport oksigen ke jaringan. Disfungsi multi organ yang sering timbul akibat hipoksia tersebut akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat tajam. Penatalaksanaan luka bakar tanpa distress pernapasan : 1. Intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) tanpa menggunakan pelumpuh otot dan tanpa ventilator 2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakeal 3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan pemberian nebulizer setiap 6 jam 5. Pemberian bronkodilator (Ventolin inhalasi) dilakukan bila jelas dijumpai gejala dan tanda distress pernapasan 6. Pemantauan gejala/tanda distress pernapasan : a. b. c. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernapasan (>30 x/menit), Untuk pemantauan ini dilakukan pemeriksaan : bakteri

sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan bertambah

18

Analisis gas darah : - pada pertama kali penderita ditolong (saat resusitasi) - pada 8 jam pertama - dalam 24 jam pasca cedera - selanjutnya sesuai kebutuhan

Foto thorax 24 jam pasca cedera

7. Pemeriksaan radiologi 8. Pelaksanaan dilakukan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat Penatalaksanaan Cedera Inhalasi Kasus luka bakar dengan kecurigaan/bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi (seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema mukosa hidung) tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. Pada kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan secara khusus dalam 8 (delapan) jam pertama pasca kejadian, didasari pemikiran bahwa obstruksi akibat edema mukosa saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis) biasanya terjadi dalam kurun waktu tersebut; meskipun obstruksi dapat terjadi dalam 24-36 jam pertama (edema jalan nafas dengan diameter lebih kecil). Pada umumnya kondisi ini disebabkan oleh cedera termis. 2,16,17,20 Prosedur yang dilakukan, antara lain: 1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi: Bila dijumpai distres pernafasan, kerjakan krikotiroidotomi Bila tidak dijumpai distres pernafasan, kerjakan intubasi

dan atau krikotiroidotomi Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) tanpa menggunakan pelumpuh otot sebagai premedikasi, dilanjutkan perawatan dengan atau tanpa ventilator 2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakea 3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan melalui pipa endotrakea dan atau kanula krikotiroidotomi selama 24 jam

19

5. Lavase bronko-alveolar (bronchial washing, pulmonary toilet) untuk melepaskan sekret kental yang melekat dan mengencerkannya serta membersihkan sloughing mucosa yang memicu terbentuknya cast penyebab obstruksi. 6. Pemberian bronkodilator-selektif secara inhalasi: 1 ampul diuapkan dalam nebulizer, 3 kali sehari; dilakukan bila cedera inhalasi disebabkan oleh sisa pembakaran tak sempurna yang berasal dari bahan-bahan kimiawi (luka bakar kimia dan luka bakar listrik). 7. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan: Gejala subyektif: gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu). Pada penderita yang gelisah selalu dipikirkan kemungkinan pertama telah terjadi hipoksemia khususnya pada sirkulasi serebral sebagai penyebab kegelisahan. Kemungkinan oleh sebab lain dipikirkan kemudian. Gejala obyektif: Klinis: peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), pernafasan dangkal, sianotik, stridor, aktivitas otot-otot pernafasan tambahan, Pemeriksaan bantuan: perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah (yang terjadi pada masa akut/8 jam pertama pasca kejadian) sementara gambaran perselubungan/infiltrat pada paru biasanya baru dijumpai >24jam s/d 4-5 hari (biasanya dikaitkan dengan entitas Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS), untuk pemantauan ini , maka dilakukan pemeriksaan : a. Analisis gas darah serial 1. Pertama kali pasien ditolong (saat resusitasi) 2. Dalam 8jam pertama 3. Dalam 24jam pasca cedera 4. Selanjutnya sesuai kebutuhan b. Foto toraks/paru, 24jam pasca cedera dan 3-4 hari pasca cedera. Pemeriksaan radiologik (foto toraks/paru) dikerjakan bila masalah pada jalan nafas, pernafasan dan gangguan sirkulasi telah diatasi. 8. Pelaksanaan intubasi-krikotiroidotomi dan perawatan jalan nafas dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)

20

9. Tindakan resusitasi jalan nafas dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan 10. Penatalaksanaan di ruang intensif selanjutnya adalah perawatan saluran nafas (trakeostomi atau krikotiroidotomi) dengan penghisapan sekret secara periodik, humidifikasi dan lavase bronkial (bronchial-washing, pulmonary toilet). Seringkali dijumpai sekret kental bercampur dengan sloughing mucosa yang dapat menyebabkan obstruksi (cast, mucus plug) dengan gejala distres pernafasan; dalam hal ini diperlukan prosedur pembersihan kanula trakeostomi trakeostomi/ krikotiroidotomi secara periodik. 11. Prosedur rehabilitasi pernafasan dilakukan dengan cara mengatur posisi pasien (duduk atau setengah duduk, pronasi), vibrasi dan latihan otot-otot pernafasan baik secara pasif maupun aktif, latihan refleks batuk dsb dimulai sejak awal. Penatalaksanaan cedera inhalasi tanpa distres pernafasan diperlakukan sebagai cedera inhalasi dengan distres pernafasan (lebih agresif), sampai terbukti tidak ada distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Intubasi dan atau krikotiroidotomi disini bukan merupakan sarana mengatasi obstruksi jalan nafas akut, namun untuk memfasilitasi perawatan jalan nafas. Dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, perawatan jalan nafas (penghisapan sekret, humidifikasi, lavase bronko-alveolar, dsb) dapat dikerjakan secara optimal. Penatalaksanaan cedera inhalasi dengan distres pernafasan yang bersifat gawat darurat memerlukan tindakan agresif agresif untuk mengatasi distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Yang terbaik adalah melakukan trakeostomi/ krikotoroidotomi. Distres pernafasan merupakan suatu kondisi yang membahayakan jiwa pasien karena terjadi hipoksia jaringan (khususnya membahayakan sel-sel glia/otak yang akan menyebabkan gangguan sentral dan sistemik). Upaya memelihara tersedianya suplai oksigen dilakukan secara maksimal dengan menjaga patensi saluran nafas (baik dengan intubasi maupun trakeostomi/krikotiroidotomi), perawatan saluran nafas dengan melakukan penghisapan sekret secara berkala, humidifikasi (menggunakan uap air) untuk mengencerkan sekret kental; serta menyediakan suplai oksigen 2-4 liter per menit.

21

Dengan perawatan ini, proses inflamasi pada mukosa akan diredam, saluran nafas bebas dan suplai oksigen akan terselenggara baik. Proses pembuktian (sekaligus perawatan saluran nafas) terbaik dikerjakan menggunakan bronkoskop, sehingga diagnosis cedera inhalasi dapat ditegakkan lebih awal dan penatalaksanaan selanjutnya menjadi lebih tepat. Bila kasus ini diabaikan (tidak melakukan tindakan perawatan secara agresif, hanya melakukan observasi saja) pada saat proses inflamasi semakin hebat dan manifestasi distres pernafasan menjadi nyata, pertolongan (resusitasi) jarang memberikan hasil baik. Penatalaksanaan eskar melingkar di dada Kasus luka bakar dengan kecurigaan/bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema mukosa hidung; tanpa gejala dan tanda distres pernafasan.(2,4,5) 1. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan: Gejala subyektif : gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu) Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), dangkal, disertai tanda-tanda distres pernafasan lain sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 2. Untuk pemantauan ini, dilakukan pemeriksaan sebagaimana penatalaksanaan cedera inhalasi. 3. Sayatan-sayatan pada kulit menembus seluruh ketebalan eskar (eskarotomi) untuk melepaskan jeratan eskar yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga toraks di beberapa tempat; dengan atau tanpa anestesi lokal menggunakan pisau dengan bilah no 10, 22 atau 24. 4. Tindakan ini dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan 5. Pelaksanaannya dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) 6. Penatalaksanaan di ruangan selanjutnya adalah melakukan perawatan luka sayatan Kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan khusus terutama pada kesempatan pertama pasca kejadian, didasari pemikiran: Suplai oksigen yang adekuat harus terselenggara dalam memperbaiki perfusi selular/jaringan untuk mencegah disfungsi organ yang akan berlanjut dengan kerusakan yang bersifat

22

ireversibel. Suplai oksigen terganggu bukan hanya disebabkan karena adanya gangguan jalan (saluran) nafas semata, namun juga karena adanya gangguan mekanisme respirasi (ekspansi rongga toraks) yang disebabkan adanya eskar melingkar di dinding rongga toraks. Beberapa sayatan pada eskar (eskarotomi) akan melepaskan jeratan eskar sehingga gerakan ekspansi rongga toraks dapat terselenggara dengan baik. Penatalaksanaan eskarotomi dikerjakan sebagai prioritas kedua setelah resusitasi saluran nafas. Sebagai dasar ilmiah bahwa Complance paru dipengaruhi oleh gerakan dinding dada pada proses respirasi. Adanya eskar khususnya melingkar akan menyebabkat limitasi gerakan dinding dada sehingga menurunkan kapasitas pengembangan paru 1,3,21. B. Penilaian Sirkulasi (Circulation) Perhatian utama ditujukan pada adanya manifestasi klinik syok hipovolemia intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka bakar (yaitu: gangguan kesadaran, pucat, takikardi, nadi cepat dan tidak teratur disertai pengisian kapilar yang tidak adekuat atau uji pengisian kapilar > 2detik, suhu tubuh turun baik suhu sentral maupun perifer).(2,11) Patofisiologi gangguan sirkulasi pada luka bakar Setelah suatu cedera termis, terjadi pelepasan histamin yang diikuti oleh aktivasi faktor komplemen yang mengakibatkan perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif melepaskan radikal bebas, diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi metabolisme asam arakidonat. Hal ini menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin, khususnya interleukin (IL1 dan IL6) serta tumor necrotizing factor (TNF). Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel (membulat) dengan jarak interselular membesar, mengakibatkan perubahan keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular dan interstisiel dan keluarnya cairan ke ruang interstisiel (patogenesis edema interstisiel). Edema interstisiel menyebabkan hipovolemia dengan dampak gangguan sirkulasi, dengan akibat hipoksia (gangguan perfusi) jaringan dengan

23

dampak terganggunya metabolisme sel (metabolisme aerob berubah menjadi metabolisme anaerob); sementara penimbunan cairanpun merupakan penyebab terjadinya gangguan perfusi distal dari daerah edema. Hipoksia jaringan berlanjut diperberat dengan beredarnya hasil metabolisme anaerob, pelepasan radikal bebas dan mediator-mediator pro-inflamasi lainnya menyebakan gangguan perfusi bertambah berat (cedera reperfusi) dengan akibat disfungsi organ yang berakhir dengan kegagalan organ menjalankan fungsinya. (2,11) Ernest H Starling (1866-1927, Physiologist di London, UK) menjelaskan faktor yang menentukan perpindahan cairan melalui endotel kapilar. Menurutnya, perpindahan cairan ke ruang interstisiel dikendalikan oleh gradien tekanan hidrostatik yang dilawan oleh gradien tekanan osmotik dari koloid; dikenal sebagai hukum Starling (Starlings forces) : (2) Jv = Kf (PMV PIS) - (COPMV COPIS) Jv Kf PMV PIS S mencerminkan kecepatan filtrasi cairan melalui kapilar koefisien ultrafiltrasi (ukuran permeabilitas) tekanan hidrostatik di dalam kapiler tekanan hidrostatik di ruang interstitiel koefisien-refleksi dan nilai relativ yang menggambarkan kemampuan membran semipermeabel mencegah berpindahnya cairan COPMV : tekanan onkotik di kapiler COPis : tekanan onkotik koloid di jaringan Peningkatan permeabilitas dari tempat yang mengalami luka bakar dan melalui jalur mikrovaskular menyebabkan pergeseran cairan dari volume plasma ke ruang interstitial. Terjadi destruksi sel darah merah, hematokrit akan meningkat karena kontraksi dari volume intravaskular. Penurunan volume intravaskular paling sering terjadi pada 24 jam pertama dan digantikan dengan cairan kristaloid (seperti Ringer Laktat 2-4 ml/kg per persentasi luas luka bakar). Cardiak output akan menurun seiring terjadinya kontraksi dari volume plasma dan faktor yang mendepresi sirkulasi miokardial. Perfusi dari organ vital dimonitor dengan mengukur urine output lewat folley kateter. Jika volume replacement tidak adekuat maka pemberian supportif obat inotropik dengan Dopamine dapat dipertimbangkan. Untuk dapat mempertahankan keseimbangan (cairan tetap : : : : :

24

berada di dalam ruang intravaskular), harus mempunyai nilai besar (mendekati 1.0). Nilai berbeda pada tiap jaringan; misalnya, paru tergolong moderately permeable (= 0.6); otot tergolong moderately impermeable ( = 0.9); otak dan glomerulus sangat impermeable terhadap protein (= 0.99 dan 1.0). Nilai pada jaringan lain misalnya hati sangat rendah (= 0). (2,3,10) Pada syok luka bakar, terjadi kerusakan endotel yang diikuti oleh perubahan nilai Kf. Dengan sendirinya terjadi perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisiel. Starling equation ini berlaku untuk semua jenis cairan yang diberikan, misalnya cairan koloid. Maka COPMV dan COPis adalah nilai-nilai cairan koloid, demikian pula halnya dengan nilai . Bila nilai koloid adalah sama dengan 1.0, maka cairan tersebut akan tetap dipertahankan di dalam ruang intravaskular. Kristaloid memiliki nilai kecil, sehingga pemberian cairan kristaloid akan diikuti perpindahan cairan ke ruang intrerstisiel. Gangguan perfusi merupakan suatu kondisi penyebab hipoksemia yang menjadi fokus perhatian pada patofisiologi syok mengikuti suatu cedera berat. Kerusakan organ yang terjadi sangat tergantung dari waktu karena masing-masing organ mempunyai batas toleransi tertentu untuk kondisi hipoksia ini (waktu iskemik). Sel-sel glia hanya memiliki waktu iskemik 4 menit. Degenerasi sel-sel glia terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui, dengan akibat edema serebri disertai gangguan sistim autoregulasi (dengan gejala perubahan derajat kesadaran, hipotensi, takikardia, hiponatremiahipomagnesia dan hipo-atau hipertermi). Sel-sel tubulus ginjal memiliki waktu iskemik 8jam; nekrosis tubular akut yang berlanjut sebagai gagal ginjal akut terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui. (3) Sel-sel otot polos memiliki waktu iskemik berbeda dengan otot lurik; otot polos memiliki waktu iskemik 4jam sedangkan otot lurik lebih lama dari itu (kurang lebih 8-10jam). Bila waktu iskemik ini dilampaui, terjadi penguraian aktin dan miosin diikuti peningkatan aktivitas siklus urea dan pelepasan oksida nitrit (NO, radikal bebas, modulator sepsis). Sel-sel mukosa usus memiliki waktu iskemik 4jam; disrupsi mukosa usus diikuti gejala sindroma malobsorpsi dengan intoleransi, diare dan enterokolitis, perdarahan saluran cerna dan translokasi bakteri.(2,5)

25

Hipoperfusi splangnikus menjadi fokus perhatian utama karena disebutsebut sebagai motor penggerak timbulnya MODS. Sirkulasi splangnikus merupakan bagian dari sirkulasi perifer yang pada keadaan normal menyerap 25% sirkulasi sistemik (sementara sirkulasi renal hanya 20%). Segera setelah makan, terjadi peningkatan sirkulasi di daerah splangnikus (30-40% sirkulasi sistemik beredar di mukosa saluran cerna) untuk proses digesti (hal ini menjelaskan berkurangnya sirkulasi ke serebral yang menyebabkan timbulnya rasa kantuk setelah makan). (3,15) Pada kondisi syok (hipovolemia), perfusi splangnikus jauh berkurang karena berperan sebagai kontributor utama dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral (serebral, kardial dan pulmonal); mengikuti kompensasi tubuh berupa peningkatan aktivitas kardial dan pulmonar; mendahului kontribusi sirkulasi renal. Pelepasan radikal bebas dan mediator pro-inflamasi dari mukosa disruptif ke sirkulasi, diikuti peningkatan netrofil yang beredar di sirkulasi (peningkatan neutrophil recruitment) dengan dampak timbulnya gejala di luar saluran cerna seperti : 1. Beredarnya netrofil dan makrofag di pembuluh peri-alveolar, dengan akibat proses inflamasi dan pembentukan membran di mukosa alveolus yang menyebabkan gangguan perfusi-difusi, dikenal sebagai Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang bersifat fatal. 2. kerusakan hepatosit, juga secara langsung disebabkan adanya hipoperfusi splangnikus, dengan dampak gangguan hepatik: a) Gangguan sintesis protein, ditandai dengan penurunan kadar albumin yang memperberat kebocoran protein dengan adanya gangguan permeabilitas kapilar. Selain albumin, faktor pembekuan, anti-thrombin III dan Protein C terganggu menyebabkan kekacauan metabolisme bertambah berat. b) Gangguan sintesis enzimatik, ditandai dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Disamping itu, timbul resistensi insulin yang menjadi topik diskusi pada tahun-tahun terakhir. 3. iskemi dan aktivasi Myocardial Depressant Factor (MDF) yang

26

menyebabkan infark miokard, berakhir fatal.

Gambar 13. Iskemia miokardium berlanjut menjadi infark akibat pelepasan Myocardial Depressant Factor (MDF) (3,15) 4. Kerusakan organ sistem lain (termasuk sistim hematologi) 5. Kerusakan tubulus ginjal (nekrosis tubular akut) dapat disebabkan oleh dua hal, pertama karena proses iskemi (hipoperfusi renalis) dan kedua akibat pelepasan mediator pro-inflamasi yang menyebabkan kerusakan endotel pembuluh aferen dan eferen. 6. Gangguan elektrolit yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari gangguan sirkulasi dan menjadi salah satu fokus utama pada resusitasi, selain masalah volume. Natrium, kalium dan klorida adalah 3 (tiga) elektrolit utama Gangguan sirkulasi Pada luka bakar terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke rongga interstisiel akibat gangguan permeabilitas kapilar (kebocoran kapilar), menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskular (syok hipovolemik). Bila seorang dewasa mengalami kehilangan volume cairan tubuh mencapai 20-25% (10% pada anak), maka timbul manifestasi klinik syok. Sirkulasi inadekuat disertai edema interstisiel menyebabkan gangguan transportasi oksigen; sehingga sel yang tidak memperoleh perfusi dan oksigenasi tidak dapat menjalankan fungsi metabolisme secara normal (syok selular). Penurunan sirkulasi ke serebral menyebabkan ensefalopati dan degenerasi sel-sel glia, diikuti terganggunya sistim autoregulasi serebral. Secara klinis ditandai dengan timbulnya kegelisahan dan disorientasi. (1,8,11)

27

Petunjuk Praktis pada gangguan sirkulasi Bila terjadi syok, tubuh mengadakan kompensasi dengan meningkatkan aktifitas jantung (takikardia) dan pernafasan (takipnu) untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi khususnya di sirkulasi sentral (serebral, kardial dan pulmonal) agar organ-organ vital ini berfungsi normal. Sirkulasi perifer dengan sendirinya mengalami gangguan; hipoperfusi perifer ini menyebabkan gangguan organ-organ perifer (ginjal, saluran cerna dan hati, sistim muskulatur, integumentum, dsb). Hipoperfusi splangnikus merupakan suatu topik yang bersifat revolusioner membawa perubahan paradigma penatalaksanaan luka bakar dan memperoleh perhatian khusus. Hipoperfusi ke sirkulasi splangnikus menyebabkan disrupsi mukosa (iskemianekrosis mukosa bila mengalami hipoksia dalam waktu >4jam) yang menimbulkan gangguan fungsi saluran cerna seperti malabsorpsi, diare (enterokolitis), perdarahan saluran cerna yang dahulu disebut tukak stres (stress ulcer, Curlings ulcer), ileus dan translokasi bakteri yang memicu sepsis. Tes Retensi atau penilaian kuantitas dan kualitas cairan lambung bermanfaat sebagai salah satu cara klinis dalam melakukan penilaian adanya hipoperfusi splangnikus. Penilaian lain yang lebih baik adalah dengan melakukan pengukuran keasaman (pH) submukosa dengan tonometer (sulit diperoleh) dan melakukan penilaian mukosa melalui pemeriksaan endoskopi. Berkurangnya perfusi ke sirkulasi renal menyebabkan gangguan fungsi ginjal akibat iskemia tubulus yang berlanjut menjadi Acute Tubular Necrosis, secara klinis ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria, gangguan sistim autoregulasi ginjal (produksi renin-angiotensin), penurunan fungsi ginjal (peningkatan ureum/kreatinin darah, gangguan keseimbangan asam-basa) dan berakhir dengan gagal ginjal yang membawa pasien pada kondisi uremia dan kematian. Gangguan perfusi ke sistim muskulatur mengaktivasi produksi oksida nitrit (Nitrit Oxide, NO) yang merupakan radikal bebas dan berperan sebagai modulator sepsis.

28

Efek Luka Bakar pada Hematologi Efek luka bakar terhadap parameter hematologi tergantung pada derajat luka bakar dan lamanya terjadi luka bakar.(2,12) Eritrosit Kadar hematrokit meningkat segera setelah terjadi luka bakar akibat translokasi plasma darah ke ekstravaskuler. Transfusi darah umumnya tidak diperlukan saat resusitasi awal luka bakar, kecuali ada trauma penyerta. Anemia pada luka bakar terjadi setelah beberapa minggu, akibat kehilangan darah yang merembes dari luka, dari seringnya diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium, atau saat operasi untuk penanganan luka bakar. Penelitian menunjukkan terdapatnya pemendekan waktu paruh umur eritrosit, yang dihubungkan dengan kerusakan eritrosit oleh kenaikan suhu saat terjadi luka bakar dan juga disebabkan oleh mediator kimiawi.

Trombosit Terjadi penurunan kadar trombosit yang disebabkan oleh dilusi selama resusitasi, tetapi yang terpenting adalah trombositopenia karena pembentukan mikroagregat di kulit yang terbakar dan paru-paru yang terkena cedera inhalasi. Angka trombosit kembali normal pada akhir minggu pertama pasca terjadi luka bakar, dan akan terus normal kecuali terjadi sepsis atau gagal multi organ. Perdarahan yang disebabkan trombositopenia jarang terjadi. Sistem koagulasi Mekanisme trombotik dan fibrinolitik teraktivasi setelah terjadi luka bakar. Secara umum terjadi terjadi penurunan faktor koagulasi oleh karena dilusi atau konsumsi oleh kerusakan kapiler, venula, dan arteriola di kulit. DIC jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada luka bakar mayor yang luas. Setelah itu akan terjadi penurunan antitrobin III dan protein, yang dapat menyebakan emboli pulmo. Selama periode ini semua pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan propilaksis tromboemboli seperti low dose heparin subkutaneus.

29

Baseline determinations untuk luka bakar mayor adalah pemeriksaan laboratorium darah terdiri dari fungsi hati. darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, protein total (albumin dan globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan Pada penilaian adanya asidosis, maupun melakukan koreksi, perhatikan kadar hemoglobin dan mekanisme kompensasi tubuh. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tekanan parsial CO2, HCO3, Base excess, Na K dan cl, pH dan saturasi oksigen. Pemeriksaan radiologik (misal foto toraks atau kepentingan diagnostik lainnya), bila diperlukan, dapat dilakukan setelah diyakini tidak ada masalah/ gangguan jalan nafas, mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi. Resusitasi Cairan Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada ABC penatalaksanaan kasus luka bakar akut (setelah tatalaksana gangguan jalan nafas dan gangguan mekanisme bernafas), ditujukan melakukan koreksi volume (syok hipovolemik) yang terjadi akibat ekstrapasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan interstisiel dalam upaya memperbaiki perfusi. (2,12,20) Tatalaksana resusitasi cairan Syok pada luka bakar merupakan suatu hal yang umum terjadi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, syok menjadi faktor utama berperan pada timbul dan berkembangnya SIRS, dan MODS, sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Resusitasi adekuat dengan pemberian cairan kristaloid merupakan prosedur resusitasi yang dianggap paling aman untuk substitusi cairan namun harus disadari bahwa penggunaan larutan kristaloid bukan yang terbaik; meskipun masih dijumpai kontroversi mengenai penggunaan koloid untuk resusitasi. Untuk mencapai tujuan resusitasi, diperlukan pemilihan cairan yang tepat namun harus didasari pemahaman mengenai jenis cairan yang dibutuhkan. Berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik dan koloid masing-masing memiliki kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian) bahkan bahaya penggunaannya pada saat yang tidak tepat.

30

Regimen resusitasi Regimen Parkland sampai saat ini merupakan metode resusitasi yang paling umum diterapkan untuk resusitasi cairan pada kasus luka bakar; menggunakan cairan kristaloid. Namun, sebagaimana disampaikan sebelumnya, resusitasi cairan dengan metode Parkland (hanya) mengacu pada waktu iskemik ginjal (<8jam) sehingga lebih tepat disebut sebagai suatu metode resusitasi renal; dengan sendirinya metode ini akan tepat bila diterapkan pada kasus luka bakar tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan. (2, 12) Pengertian keterlambatan disini bukan dimaksudkan dalam pengertian keterlambatan penanganan di rumah sakit (hospital delay) tetapi merujuk pada waktu iskemik organ (khususnya hipoperfusi splangnikus dengan waktu iskemik 4 jam) Dasar pemilihan cairan Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu : 1) Efek hemodinamik 2) Distribusi cairan dikaitkan dengan 3) Oxygen carrier 4) pH buffering 5) Efek hemostasis 6) Modulasi respons inflamasi 7) Faktor keamanan 8) Metode eliminasi 9) Praktis dan efisien Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar: 1. Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik, sekurangnya pada taraf fisiologik, baik cepat maupun lambat. 2. Minimalisasi dan eliminasi administrasi cairan bebas yang tidak perlu, garam-garam anorganik, molekul-molekul protein koloid, transfusi yang

31

bersifat patogen dan dapat menimbulkan perubahan-perubahan patologik yang bersifat latrogenik. 3. Optimalisasi status volumedan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival maksimal dari seluruh sel (dengan menggunakan kelebihankeuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid dan sebagainya) pada waktu yang tepat. 4. Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik yang dapat dipengaruhi melalui upaya resusitasi dengan menggunakan kelebihan-keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid dan sebagainya. 5. Mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologi dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti; memang dalam beberapa tahun terakhir diperoleh informasi yang menggembirakan, khususnya mengenai efek koloid. Selain itu, beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik tertentu (lanjut). Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada entitas klinik lain, yang berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan karakteristik masing-masing cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki manfaat (kelebihan, keuntungan) dan risiko (kekurangan, kerugian) pada kondisi-kondisi klinik tertentu yang bersifat sangat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol. (2,3,18) Pastikan harus dilakukan akses vena : akses vena perifer akses vena sentral

-----> lakukan monitoring dan pengukuran CVP Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama A. Resusitasi syok

32

Menggunakan larutan kristaloid Ringers Lactate atau Ringers Acetate 1. Pemasangan satu atau beberapa jalur intravena. Bila dijumpai kesulitan melakukan pemasangan jalur vena biasa, lakukan vena seksi pada beberapa tempat. Catatan: a) jangan memilih jalur vena pada tungkai bawah karena terdapat hipoperfusi perifer dan banyaknya sistm klep pada vena-vena ekstremitas bawah, b) hindari pemasangan pada daerah luka. 2. Pemberian cairan pada syok atau pada kasus dengan luas >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam waktu <4jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak: 70% adalah volume total cairan tubuh 25% adalah jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat Untuk melakukan resusitasi cairan (melakukan koreksi volume)

menimbulkan gejala klinik dari sindroma syok menggunakan kristaloid, diperlukan 3 kali jumlah cairan yang diperlukan : 3 [ 25% ( 70%XBBkg ) ] ml Misal BB 70 kg, volume cairan (70%) adalah 4,9 liter (dibulatkan menjadi 5 liter). 25% dari jumlah cairan yang hilang adalah kurang lebih 1.250ml maka jumlah cairan kristaloid yang diperlukan untuk resusitasi awal adalah 3.750ml. Prinsip resusitasi cairan yang terbaik adalah memenuhi kebutuhan defisit cairan, sementara mengenai jenis cairan resusitasi tetap masih dijumpai kontroversi: kristaloid, koloid, larutan fisiologik atau hipertonik. Dalam pemilihan jenis cairan agar diperhatikan masing-masing cairan memiliki kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian); adalah penting mengetahui kelebihan/kekurangan masing-masing, dikaitkan dengan resiko yang mungkin terjadi pada pemberian masingmasing jenis cairan. Pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan disertai perilaku dan kesadaran masyarakat akan kesehatan

33

khususnya pelayanan gawat darurat diragukan, tampaknya keampuhan (ketepatan) regimen Parkland dipertanyakan kembali. Hal ini juga dijumpai di negara maju seperti Canada.(2) Pemberian cairan dilakukan dalam waktu cepat (kurang dari 4jam atau waktu iskemik mukosa saluran cerna), menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Dengan catatan khusus untuk akses vena, hindari vena-vena di tungkai bawah karena terlalu banyak klep (valve) dan kolaps venosa yang akan menghambat prosedur pemberian cairan. Akses vena juga perlu dihindari pada daerah cedera; edema interstisiel yang timbul pada pemberian kristaloid akan menyebabkan gangguan aliran (sirkulasi) sehingga mengganggu perfusi ke daerah cedera dan mengakibatkan degradasi luka.(2) Setelah syok teratasi, pemberian cairan mengacu kepada kebutuhan cairan berdasarkan pemantauan klinik dari waktu ke waktu. Sebagai patokan kasar, produksi urin dapat dijadikan pegangan: a) pada saat resusitasi produksi urin 0.5ml/kgBB, b) pada hari pertama, produksi urin antara 0.5-1ml.kgBB, c) pada hari pertama-kedua, produksi urin berkisar antara 1-2ml/kgBB dan d) pada hari ketigaempat, produksi urin berkisar antara 3-4ml/kgBB. Pegangan lainnya adalah nilai-nilai tekanan vena sentralis (CVP) dan nilai-nilai laboratorik darah (darah tepi, fungsi hepar, fungsi ginjal, analisis gas darah, dsb) .Volume Ringers Lactate dihitung berdasarkan kebutuhan mengatasi syok: 3kali jumlah 25% dari volume cairan tubuh (5000ml untuk BB 70kg); pemberiannya sebelum 4jam (waktu iskemik mukosa saluran cerna). Selanjutnya pemberian cairan (Ringers Lactate ditambah Glukosa 5% untuk manintenance) disesuaikan kebutuhan yang diketahui berdasarkan pemantauan produksi urin. Setelah delapan-duabelas jam, Ringers Lactate tidak diberikan lagi, digantikan dengan koloid.

34

B. Resusitasi tanpa syok Resusitasi cairan tanpa gejala klinik syok atau pada kasus dengan luas <25- 30%, tanpa keterlambatan atau dijumpai keterlambatan <2jam Kebutuhan cairan sehari dihitung berdasarkan Rumus Baxter sebagai berikut: Pemberiannya mengikuti metode yang ditentukan berdasarkan formula Parkland. Pemberian cairan resusitasi menggunakan formula Parkland. Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8jam pertama, sisanya diberikan dalam 16jam berikutnya. 1. Pada bayi dan anak, orang tua kebutuhan cairan adalah 4ml, a. b. Bila dijumpai cedera inhalasi, maka kebutuhan cairan adalah 4ml, ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan ditambahkan 1% dari kebutuhan. 2. Untuk memperbaiki perfusi sirkulasi perifer diberikan zat vasoaktif (Dopamine atau Dobutamin, vasodilator perifer) dengan dosis 3 g/kgBB (dosis rendah, dosis renal) dengan titrasi (menggunakan syringepump) atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% dengan jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam. Pemantauan Pemantauan bertujuan menilai sirkulasi sentral, Central Venous Pressure diupayakan minimal berkisar 6-12cmH2O dan pemantauan sirkulasi perifer yaitu sirkulasi renal, jumlah produksi urin dipantau melalui kateter : Saat resusitasi : 0.5-1ml/kgBB/jam, kemudian hari 1-2 : 1-2 ml/kgBB/jam. Bila produksi urin <0.5ml/kg/jam, maka jumlah cairan diberikan ditingkatkan sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Bila produksi urin >1ml/kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Lakukan juga pemeriksaan laboratorium, Fungsi renal: Ureum dan Kreatinin, Berat jenis dan sedimen urin. Selain itu tetap melakukan pemantauan sirkulasi splangnikus : - Penilaian kualitas dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik, penilaian

35

fungsi hepar (fungsi enzimatik, fungsi sintetik dan metabolik). Diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah perifer lengkap. Komposisi nilai hemoglobin dan hematokrit darah menggambarkan hemokonsentrasi (hipovolemia, cairan yang diberikan kurang) atau hemodilusi (kelebihan cairan, atau permeabilitas kapilar mulai kembali normal ditandai oleh meningkatnya volume cairan). Nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ini harus dikonfirmasi pula dengan nilai lekosit dan trombosit; karena pada umumnya terjadi kerusakan endotel pembuluh darah, yang menyebabkan perlekatan komponen-komponen darah tersebut pada dinding vaskular. Penatalaksanaan dalam 24 jam kedua 1. Pada 24 jam kedua, cairan yang diberikan berupa cairan mengandung glukosa. 2. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24jam. 3. Jenis cairan yang diberikan pada hari kedua: a. Glukosa 5% atau 10%, 1500-2000ml b. Batasi/kurangi pemberian Ringers Lactate karena akan menyebabkan edema interstitial bertambah dan sulit diatasi 4. Pemantauan: a. Pemantauan sirkulasi Nilai CVP, bila volume cairan intravaskular tetap rendah (CVP di bawah +2) pemberian HES akan bermanfaat. Jumlah produksi urin: 1-2 ml/kgBB/jam. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, namun produksi urin tidak sesuai (<1-2ml/kgBB/jam) nilai kembali apakah zat vasoaktif (Dopamine, Dolbutamine) sudah diberikan dengan dosis cukup. Bila dengan dosis 3g belum memberikan efek yang diinginkan, dosis dapat dinaikkan sampai 5g/kgBB. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, zat vasoaktif sudah diberikan, produksi urin masih belum sesuai, maka tindakan selanjutnya merubah regimen pemberian cairan menggunakan larutan hipertonik (Nacl 3-6%) atau koloid jangan meningkatkan dosis zat vasoaktif karena justru akan menyebabkan vasokonstriksi.

36

Bila produksi urin <1ml/kg/jam dan CVP meningkat >12cmH20, dapat diberikan diuretikum (khusus untuk pemberian furosemid, tambahkan kalium). Bila pada pemeriksaan urinalisis dijumpai pigmen, berikan Mannitol 20% per infus 0.5gm/kg. b. Pemantauan perfusi: Perfusi ke jaringan dipantau dengan menilai analisis gas darah, dengan perhatian khusus pada kadar HCO3, H2CO3, tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbondioksida (PaCO2), nilai pH dan defisit basa (base excess/BE), serta konsentrasi elektrolit. Nilai-nilai ini harus dikonfirmasi dengan menilai kadar hemoglobin darah dan kadar glukosa darah. Jangan melakukan penilaian analisis gas darah dengan hanya memperhatikan pH dan BE saja; dan berupaya melakukan koreksi BE dengan pemberian bicarbonas natricus, karena hanya akan mengaburkan kondisi hipoksia yang sebenarnya terjadi. Pemberian bicarbonas natricus untuk koreksi BE hanya dilakukan bila BE melebihi minus 5, dimana pada nilai tersebut dianggap kemampuan jaringan melakukan kompensasi diatas batas maksimal. Kondisi abnormal pada analisis gas darah mencerminkan gangguan/ hambatan perfusi; sehingga harus dinilai kembali. Asupan oksigen yang terjamin baik (tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada edema paru, gerakan respirasi baik); dengan kata lain tidak dijumpai distres pernafasan Vasokonstriksi perifer yang (masih) berlangsung. (2) Jumlah cairan resusitasi adekuat, sudah diberikan dan tidak ada masalah dengan akses jalur vena. Edema interstisiel yang masif Nyeri hebat Bila kadar glukosa darah melebihi >150-200mg/dl, berikan insulin 5unit subkutan, dilanjutkan pemberian per drip atau melalui syringe-pump. Pemberian insulin harus selalu dilakukan dengan memantau kadar glukosa darah dan kadar elektrolit. Pada pemantauan kadar elektrolit bila pada pemantauan dijumpai abnormalitas kadar natrium dan kalium, pemikiran pertama tertuju pada gangguan soudium-pump yang timbul akibat gangguan perfusi selular, umumnya hiponatremia terjadi akibat edema selular yang mendorong kalium keluar sel.

37

Penatalaksanaan setelah 48 jam 1. Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance. 2. Pemantauan sirkulasi: a. b. Komposisi Hemoglobin terhadap hematokrit mulai mendekati Jumlah produksi urin: 3-4ml/kgBB/jam Produksi urin tidak adekuat (tidak sesuai target resusitasi) mencerminkan perfusi ke sirkulasi renal tidak baik. Dalam hal ini perlu dipikirkan penyebabnya, yaitu keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular terganggu, demikian pula halnya dengan keseimbangan di jaringan interstisiel. Perbandingan tekanan onkotik intravaskular dengan tekanan onkotik di ruang interstisiel tidak seimbang akibat gangguan permeabilitas kapilar yang masih berlangsung; menyebabkan perfusi tidak terselenggara termasuk ke sirkulasi renal yang mengakibatkan anuria. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah mengupayakan pengembalian keseimbangan tekanan hidrostatik-onkotik; dengan pemberian koloid. Pemberian koloid akan memperbaiki keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular, melalui proses penarikan cairan dari jaringan interstisiel.(2,16) Cara perhitungan lain tentang kebutuhan cairan pada pasien luka bakar adalah dengan perhitungan Formula Baxter : a. Kebutuhan cairan hari Pertama : Dewasa : RL 4 CC X BB X% Luas LB / 24 jam Anak : RL : DEXTRAN=17:3 Kebutuhan Faali < 1 tahun : BB X 100 CC 1-3 tahun : BB X 75 CC 3-5 tahun : BB X 50 CC -----> Jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama -----> Diberikan 16 jam berikutnya b. Kebutuhan cairan hari Kedua : normal, cenderung menurun. Kadang dijumpai anemia relatif.

38

Dewasa : diberikan sesuai kebutuhan Anak : diberikan sesuai kebutuhan faali - Pemasangan nasogastrik tube - Pemasangan urine kateter - Assessment perfusi ekstremitas - Continued ventilatory assessment - Paint management - Psychosocial assessment Monitoring resusitasi cairan : 1. Anak Urine produksi setiap jam : 1 cc/kg/jam Dewasa : 0,5 cc/kg/jam (30-50 cc/jam) 2. Oligouria Berhubungan dengan sistemik vaskular resistensi dan reduksi cardiac output) 3. Haemochromogenuria (Red Pigmented Urine) 4. Blood pressure 5. Heart Rate 6. Hematokrit dan hemoglobin Resusitasi cairan menggunakan cara lain: 1. Larutan Nacl 0.9% Merupakan alternatif bila cairan RL tidak tersedia. Penggunaan larutan ini dihadapkan pada kemungkinan timbulnya asidosis hipernatremia dengan segala bentuk resikonya; sehingga diperlukan pemantauan yang lebih terfokus pada keseimbangan elektrolit utama ini. 2. Larutan hipertonik (Nacl 3-6%) Resusitasi menggunakan larutan hipertonik masih tetap kontroversi bahkan sebagian mengatakan berbahaya khususnya bila diterapkan pada kondisi syok. Pemberiannya harus dilakukan dengan pemantauan khusus. Resusitasi Lakukan :

39

dilakukan dengan pemberian 500ml Nacl 3-6% dalam 24jam dengan pemantauan produksi urin dalam 24jam pertama 1ml/kgBB/jam, dan 0.5ml/kgBB/jam untuk 24 jam kedua. 3. Koloid Pada formula Evans, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1 ml/ kgBB/ %luas luka bakar ditambah larutan fisiologi (Nacl 0.9%) 1ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. Pada formula Brooke, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1.5 ml/ kgBB/%luas luka bakar ditambah larutan RL 0.5ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. Pemberian HES dipertimbangkan lebih awal (8-12jam pertama pasca cedera), karena koloid ini memiliki efek antiinflamasi yang dapat memperbaiki gangguan permeabilitas kapilar, disamping efek pengembang plasma. Acuan dalam melakukan prosedur resusitasi cairan adalah mengupayakan pengembalian perfusi agar gangguan/kerusakan sel/jaringan/organ berlangsung sesingkat mungkin/seminim mungkin. Berdasarkan hal tersebut, resusitasi cairan mutlak diperlukan bila terjadi gangguan sirkulasi, khususnya pada luka bakar dimana terdapat suatu keadaan hipovolemia. Yang perlu digarisbawahi adalah resusitasi cairan merupakan upaya melakukan koreksi volume cairan (khususnya intravaskular); namun harus dicatat bahwa cairan resusitasi yang diberikan (khususnya kristaloid) bukan merupakan suatu oxygen carrier. Pedoman resusitasi cairan yang ada hanya merupakan panduan untuk memberikan sejumlah cairan yang diperlukan, bukan suatu hal yang mutlak; oleh karenanya dijumpai beragam regimen yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kon, dan karena tidak ditunjang oleh suatu bentuk RCT maka protokol resusitasi cairan yang ada hanya merupakan guidelines.

40

Pemberian koloid/plasma, menyebabkan penarikan cairan dari jaringan interstisiel ke intravaskular. Peningkatan volume intravaskular dengan sendirinya meningkat (dipantau melalui peningkatan CVP, preload jantung meningkat), sehingga harus diyakini bahwa jantung dan ginjal dalam keadaan baik.

ANESTESI UNTUK PASIEN LUKA BAKAR Pasien luka bakar akan menjalani berbagai prosedur pembedahan dan anestesi. Cidera dengan ketebalan penuh akan membutuhkan grafting yang luas untuk perbaikannya. Terapi definitif untuk luka bakar ketebalan partial meliputi pembuangan eskar, yang dapat berperan sebagai media kultur yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bedah perbaikan dapat dilakukan pada luka bakar ketebalan penuh, yang biasanya diambil dari kulit paha, aksila atau spit thickness dari berbagai area. Kosmetik, durabilitras dan massa jaringan akan lebih baik dengan menggunakan grafting full thickness, meskipun lokasi donornya terbatas. Tanpa melihat pendekatan apa yang dilakukan, eksisi segera (dalam 7-10 hari) dari eskar, serta grafting, memberikan penurunan kemungkinan komplikasi, menurunkan perumahsakitan dan mempercepat mulainya terapi fisik. Teknik anestesi harus meliputi sedasi, amnesia, analgesia, dan stabilitas hemodinamik. Perhatian pada jalan napas didiskusikan pada bagan lain dari bab ini. Pada umunya balans anestesi dengan menggunakan oksigen, narkotik, relaksan otot, dan agen volatile digunakan. Kehilangan darah yang bermakna harus diantisipasi dan perhatian khusus harus ditujukan untuk pemberian ventilasi yang adekuat, oksigenasi, pembuangn sekresi dan pertahanan ginjal. Dengan luka bakar yang ekstrim, torniquert dapat digunakan untuk meminimalisir perdarahan. Normothermia pada pasien luka bakar kurang lebih berada pada 38,50C, yang disebabkan karena penyesuaian pada pusat pengaturan suhu di hypothalamus dan hipermetabolisme setelah luka bakar. Hipotermia menyebabkan peningkatan stresss fisiologis, penurunan metabolisme obat, peningatan komplikasi perdarahan dan sukarnya penyebuhan luka. Suhu ruangan harus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya gradien pendinginan yang berlebihan. Selimut penghangat, cairan

41

penghangat dan gas yang dilembabkan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia. Labilitas hemodinamik selama resusitasi awal diperkirakan dapat menjadi penyulit pada saat operasi. Monitor hemodinamik tambahan direkomendaikan pada kondisi ini. Tekanan jalan napas yang tinggi dapat diantisipasi selama ventilasi mekanis akibat penyakit restriktif pada dinding dada dari eskar yang berkontraksi, bronkospasme, sekresi pulmoner dan kemungkinan pneumonia. KESIMPULAN Trauma dan luka bakar merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dan merupakan penyebab kematian utama pada usia muda. Anestesiologis merupakan bagian pertama dalam evaluasi dan penanganan cidera traumatic yang parah. Evaluasi awal yang sukses, manajemen jalan napas, resusitasi, dan pertahanan oragan khusus sangat penting bagi pasien untuk dapat bertahan hidup pada hari-hari pertama setelah kejadian. Meskipun banyak kontroversi yang belum terpecahkan, seperti formula resusitasi yang ideal, perawatan prehospital, standarisasi protocol ACLS, perluasan ilmu kedokteran dan peningkatan modalitas diagnostik dan terapeutik telah memperbaiki harapan hidup untuk pasien luka bakar.

42

DAFTAR PUSTAKA 1. Roberta.,L. H., 2004, Adult Perioperative Anesthesia, Elsevier Mosby, Philadelphia. 2. Moenadjat, Y., 2005. Petunjuk Praktise Penatalaksanaan Luka Bakar. Asosiasi Luka Bakar Indonesia Diterbitkan oleh Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia 3. American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units. Reprinted from Resources for Optimal Care of the Injured Patient, Chapter 14: Committee on Trauma, 1999. Available in website:http://www.ameriburn.org/ guidelinesops.pdf 4. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn Association. Vancouver: 2004 5. Moossa A.R., Hart M. E., Easter D.W., Surgical complication. In: Sabiston DC Jr, Lyery HK, editors. Textbook of surgery; 15th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997; 347 6. Sunarso Kartohatmodjo, 2006. Penanganan Luka Bakar, Airlangga University Press, Surabaya 7. http://harnawatiaj.files.wordpress.com/2008/05/luka-bakar4.doc 8. Sutjahjo, R. A. 2004. Nyeri pada Luka Bakar. Departement of Anesthesiology & Reanimation School of Medicine. Airlangga University. Dr. Soetomo General Hospital. Surabaya 9. Perdanakusumah, D. S., 2004, Wound Management in Burn. SMF Bedah Plastik FK UNAIR-RSU Dr. Soetomo Unit Luka Bakar. Surabaya 10. Noer, S.M., 2004 Acute Burn Management dalam Luka Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. p. 5-13 Penanganan

11. Duke, J., 2000 Anesthesia and Burns in Anesthesia Secrets. Second Edition. Hanley & Belfus. Inc Philadelphia. p. 292-7 12. Song, C. 2004 Recent Advance in Burn Management dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar. p. 18-22 13. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www.home.mdconsult.com/ das/article/body/1/jorg

43

14. Tomashefsky J.F., Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of acute respiratory distress syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www. home. mdconsult.com/das/article/ body/1/jorg 15. Moenadjat Y. Sindroma respons inflamasi sistemik (SRIS), sindroma disfungsi organ multipel (SDOM) dan sepsis pada kasus luka bakar. Disampaikan pada Pertemuan ilmiah tahunan (PIT) IV Perhimpunan dokter spesialis bedah plastik Indonesia (Perapi). Bandung 1999; Dalam: Moenadjat Y. Luka Bakar: Pengetahuanklinis praktis, edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28 16. Marzoeki, D., 2004 Overview in Burn Management dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar . p 1-2. 17. Naguib, M. and Lien C. A., 2005 Pharmacology of Muscle Relaxants and Their Antagonists in Millers Anesthesia sixth edition. p. 530-1 18. Prayitno, W. B., 2004. Respiratory Problem in Burn dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. p. 48- 53 19. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www. home.mdconsult.com/ das/article/body/1/jorg

44

S-ar putea să vă placă și