Sunteți pe pagina 1din 15

FRAKTUR PANFACIAL

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin MRS : Dani Fitra Kurniawan : 14 tahun : Laki-laki : 13 Desember 2011

II.

ANAMNESIS KU: Nyeri Kepala AT: Dialami sejak 3 jam yg lalu SMRS. Riw.muntah (-), Riw.pingsan (-), Riwayat pengobatan sebelumnya di RS.Gowa MT: Pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba pasien menabrak mobil yang sedang berhenti di depannya.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Status generalis: Sakit sedang/gizi cukup/sadar

Status vitalis: TD: 100/70 mmHg P: 24x/i N: 82x/i S: 36,7C Status Lokalis Regio Palpebralis (D) et (S) Inspeksi: Tampak edema ada, hematoma ada,luka Palpasi : Nyeri tekan ada,krepitasi sulit dinilai Regio Nasalis Inspeksi: Tampak bekuan darah,perdarahan aktif ada Palpasi : Nyeri ada,krepitasi ada Thorax Inspeksi : Tampak luka lecet ukuran 5x2 cm, simetris hemithorax kiri= hemithorax kanan Palpasi Perkusi : Nyeri tekan tidak ada : Sonor, hemithorax kiri= hemithorax kanan tidak ada

Auskultasi

: BP; vesikuler, hemithorax kiri= hemithorax kanan

Abdomen : datar, ikut gerak nafas, darm contour tidak ada, darm stuifung tidak ada

Inspeksi

Palpasi Perkusi Auskultasi

: Nyeri tekan tidak ada, defans lokal tidak ada : Tymphani : Peristaltik ada, kesan normal

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium

Pemeriksaan WBC RBC Hb PLT HCT

Hasil 13,35 2,62 6,95 139 20,52

FOTO RADIOLOGI

Foto Skull AP/Lateral

CT-SCAN 3D: Kesan: Fraktur Zygomatica (D) Fraktur Maxilla (D) et (S)

Fraktur Nasal

V.

RESUME Seorang laki-laki 14 tahun dibawa ke RSWS dengan keluhan nyeri kepala.Dialami sejak 3 jam yg lalu SMRS. Riw.muntah (-), Riw.pingsan (-), Riw. pengobatan sebelumnya di RS.Gowa. MT: Pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba pasien menabrak mobil yang sedang berhenti di depannya. Pada pemeriksaan fisis pada regio palpebra (D) et (S) tampak edema, hematoma ada,luka tidak

ada, nyeri tekan ada. Pada regio nasal tampak bekuan darah, perdarahan

aktif ada nyeri ada, krepitasi ada. Pada thorax Tampak luka lecet ukuran 5x2 cm. Pada pemeriksaan fisis abdomen dalam batas normal.

VI.

DIAGNOSIS Fraktur Panfasial

VII.

DISKUSI
Fraktur didefenisikan sebagai terputusnya kontinuitas tulang

(jaringan keras) oleh berbagai sebab, merupakan kondisi yang umumnya disebabkan oleh benturan kecelakaan lalu lintas (KLL), kecelakaan kerja serta aktifitas fisik lain seperti olahraga, kekerasan fisik, dan lain-lain. Fraktur Panfacial merupakan fraktur wajah yang kompleks yang melibatkan tulang wajah 1/3 bagian atas, tengah, dan bawah ANAMNESA : . Riwayat trauma . Nyeri . Visus - diplopia . Perdarahan dari

hidung mulut . Hypersalivasi . Parestesia anesthesia . Hidung mampet PEMERIKSAAN FISIK Edema deformitas wajah Perdarahan dari hidung-mulut Perbedaan tinggi axis mata Hematom septum nasi Jarak inter cantus medialis yang menjauh Hematom kaca mata , echimosis sub conjunctiva Gangguan pergerakan bola mata

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS FOTO POLOS KEPALA : . AP LATERAL CT SCAN

CT SCAN 3 D PENATALAKSANAAN ABC KADANG DIPERLUKAN ETT ATAU TRACHEOSTOMI PADA SAAT MASUK BARTON BANDAGE PENGHENTIAN PERDARAHAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan klinis trauma maksilofasial Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik wajah diperlukan, karena beberapa cedera mudah terjadi. Bagian dari pemeriksaan khusus untuk tulang wajah ditandai dengan asterisk. Inspeksi simetris wajah, cara yang mudah untuk melakukannya adalah dengan melihat kebawah dari ujung atas tempat tidur. Inspeksi luka terbuka untuk mencari kedua benda asing dan meraba untuk cedera tulang. Palpasi struktur tulang supraorbital dan tulang frontal untuk fraktur step-off. Seksama memeriksa mata untuk melihat cedera, kelainanan gerakan mata, dan ketajaman visual. Periksa hidung untuk deviasi dan pelebaran jembatan hidung, dan untuk meraba permukaan mukosa dan krepitus.

Periksa hidung untuk septum untuk hematoma dan rhinorea yang mungkin melibatkan kebocoran LCS. Palpasi zygoma sepajang lengkungan serta artikulasi dengan tulang frontal, tulang temporal dan maksila. Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit secara keras dan lembut dengan mendorong maju dan mundur. Lalu naik dan turun, perasaan untuk gerakana dan ketidakstabilan midface. Periksa gigi untuk melihat patah tulang dan perdarahan di garis gusi (tanda fraktur melalui alveolar), dan uji stabilitas. Periksa gigi untuk memeriksa maloklusi dan step-off, periksa juga perdarahan antara gigi pada garis gusi (tanda fraktur mandibula). Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri, bengkak, dan step-off sepanjang simfisis, tubuh, sudut, dan anterior condilus ke meatus acusticus externus. Evaluasi supraorbital infraorbital, alveolar inferior, dan distribusi saraf mental untuk memeriksa adanya hiperestesia dan anesthesia. Pada patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, ketegangan dan krepitasi pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami epistaksis namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF. Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telechantus, pelebaran jembatan hidung, dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhonorea CSF. Fraktur zygoma pada : temuan fisik tampak bukti malar tertekan dengan regangan kea rah zygoma atau fraktur arch zygomatic. Seringkali ditandai dengan edema yang dapat mengaburkan adanya depresi tulang. Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang. Pasien memiliki trismus atau kesulitan membuka mulut dari kontak dengan otot temporalis saat lewat dibawah zygoma tersebut Fraktur tripod terjadi jika terdapat benturan benda tumpul langsung ke pipi dengan temuan fisik berupa edema periorbital ditandai dengan ekimosis. Malar difus yang dapat dilihat awalnya, tetapi pembengkakan jaringan atasnya

sering mengaburkan temuan ini. canthus lateral mungkin tertekan jika zygoma tersebut bergeser ke inferior. Hipestesia dari syaraf infraorbital sering muncul, karena faktor dapat meluas melalui orbita ke daerah zygomaticomaxillary, dimana tempat keluarnya saraf. Palpasi lengkung zygomaticomaxillary step-off, dari dalam mulut pada dapat sutura mengungkapkan fraktur step-off ditemukan

zygomaticofrontal atau pada lengkungan zygomatic juga. Cedera mata dapat berhubungan dengan patah tulang ini, dengan demikian, pemeriksaan mata menyeluruh adalah penting didokumentasikan dan sebagai tindakan. Fraktur le fort Temuan fisik fraktur le fort I : meliputi edema wajah dan mobilitas dari palatum durum, hal ini di evaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut. Fraktur Le Fort II: temuan meliputi edema wajah ditandai dengan telechantus, pendarahan subjunctional bilateral, dan mobilitas rahang atas. Epistaksis dan rhinorea CSS perlu diperhatikan. Fraktur Le Fort III : temuan meliputi penampilan perpanjangan wajah dan merata (yaitu deformitas dishface). Rahang sering bergeser ke belakang, menyebabkan maloklusi terbuka ke anterior. Memegang gigi dan palatum durum serta menggeraknnya secara lembut dapat menggerakan semua tulang wajah dalam kaitannya dengan cranium. Rhinorea CSF hampir selalu tampak namun mungkin tidak jelas karena adanya epistaksis. 2. Pemeriksaan Radiologis trauma maksilofasial a. Fraktur nasal Patah tulang hidung dapat didiagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Foto polos hidung terdiri dari sudut lateral mengerucut di bawah hidung dan foto waters dapat mengkonfirmasikan diagnosis terapi kegunaan praktis bernilai kecil. Jika edema telah diselesaikan dan tidak ada keluhan lain yang ditemukan x-ray tidak diperlukan. b. Fraktur nasoethmoidal

Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan tulang ethmoidal, seperti rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang digunakan. CT scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan dalam membantu konsultan dalam operasi. c. Fraktur Zygoma Jenis foto terbaik untuk mengevaluasi arkus zygomatic adalah sudut submental, juga dikenal dengan bucket handle view, karena lengkungan tampak seperti pegangan ember. Kasus ini dapat dilihat dengan foto waters dan beberapa kasus dengan foto towne d. Fraktur Tripod Jika dicurigai fraktur tripod, foto polos harus disertai foto waters, cladwell,dan posisi submental underexposed. Posisi waters posisi terbaik untuk mengevaluasi rima orbital inferior, perpanjangan rahang atas dari zygoma, dan sinus maksilaris. Posisi cladwell dapat mengevaluasi bagian frontal dari zygoma dan sutura zygomaticofrontal. Posisi submental underexposed dapat megevaluasi arkus zygomatic. CT scan coronal tulang wajah sering digunakan untuk lebih mengevaluasi fraktur, terutama dengan menggunakan rekonstruksi 3-D untuk meningkatkan visualisasi dari reduksi fraktur. Jika diduga kuat fraktur tripod, memeriksa CT scan secara langsung tanpa pemeriksaan foto polos dapat mengurangi biaya. e. fraktur Le Fort CT scan koronal tulang wajah telah menggantikan foto polos dalam evalusi fraktur Le fort, terutama dengan penggunaan rekonstruksi 3-D. karena fraktur le fort sering bercampur dari satu sisi ke sisi lainnya, CT scan lebih unggul daripada foto polos dan membuat visualisasi dari yang lebih mudah dalam rekonstruksi fraktur.

Jika CT scan tidak tersedia dapat dilakukan foto lateral, waters dan cladwell untuk mengevaluasi fraktur. Hampir semua fraktur Le fort menyebabkan darah berkumpul di sinus maksilaris. Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di mandibula inferior, kadang kadang termasuk fraktur dari dinding lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid. Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan dari pelek orbital inferior lateral saluran orbital dan patah tulang dari dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas posterior kedalam piring pterygoid. Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial orbita, dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di sutura pterygomaksilaris ke fosa sphenopalatina. 3. Penatalaksanaan trauma maksilofasial ABC adalah prioritas utama, jika perlu nafas terus dijaga dengan chin lift atau jaw thrust, hindari rute intubasi nasotrakeal karena resiko masuknya tabung ke intracranial. Tempatkan pasien papan dan colar brace jika dicurigai cedera tulang belakang dan servikal.. perlakukan hipoventilasi dengan intubasi dan kantung ventilasi. Control luka dengan perdarahan aktif dengan bebat tekan. Meninjau kembali saluran nafas, jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan, maka dilakukan cricotiroidotomi untuk mengamankan jalan nafas. Sebelum menggunakan pelumpuh otot pada saat sebelum intubasi, secara hati-hati mengevaluasi jaln nafas dengan kantung masker atau pipa laring, jika tidak dapat mengelola jaln nafas, jangan menggunakan pelumpuh otot. Panduan serat optic atau intubasi bronchoscopic bisa menjadi pilihan.

Hindari godaan untuk focus pemeriksaan deformitas wajah, sehingga gagal melakukan survey primer secara lengkap. Kondisi yang mengancam jiwa lain yang perlu didiagnosis dengan cepat dan tepat disertai resusitasi secara kontinuitatum. Ikuti dengan survey sekunder secara lengkap. Evaluasi fraktur maksilofasial merupakan bagian dari survey sekunder. Setelah tulang servikal aman, pasien dapat diposisikan dalam posisi setengah duduk dan boleh digunakan suction. Pada epistaksis mungkin diperlukan tampon anterior untuk mengontrol perdarahan, tampon posterior kadang-kadang bisa diperlukan. Tangani hematoma septum untuk menghindari nekrosis tulang rawan septum. Konsultasi Rujuk pasien dengan patah tulang wajah pada ahli bedah mulut dan rahang atas, ahli bedah telinga, THT atau ahli bedah plastic yang berpengalaman. Konsultasikan dengan ahli bedah saraf jika didiagnosis atau dicurigai terdapat kebocoran CSS. Insiden gangguan stress pasca trauma yang tinggi pada pasien dengan luka wajah, maka harus dipertimbangkan konsultasi dengan seorang psikiater. Medikamentosa Dengan memberikan analgetik yang memadai, termasuk opioid, NSAID, atau anestesi lokal. Pemberian antibiotik profilaksis merupakan hal yang controversial ketika diidentifikasi terdapat kebocoran CSF atau ketika fraktur melibatkan sinus. Hal ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan asumsi spesialis. Jika hidung telah ditampon untuk epistaksis, antibiotic profilaksis harus digunakan untuk mencegah infeksi termasuk toxic shock syndrome, jika pasien memiliki luka terbuka, dilakukan imunisasi tetanus. Penggunaan NSAID yaitu ibuprofen biasanya DOC untuk terapi awal, pilihan lainnya terdiri dariflurbiprofen, ketoprofen, dan naprosen.

Penatalaksanaan operatif Terapi penatalaksanaan dengan menggunakan introseous wiring sampai saat ini masih cukup efektif untuk penanganan fraktur maksilofasial. Akan tetapi dengan harus dipasangnya juga interdental wiring pada fraktur mandibula dan maksila yang memerlukan interroseous wiring akan jadi berbagai masalah akibatt pemakaian interdental wiring. Penggunaan miniplate pada pembedahan memberikan fiksasi yang stabil sehingga pada umumnya tidak diperlukan lagi interdental wiring pada fraktur mandibula dan maksila, dengan demikian penderita terbebas dari akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh interdental wiring. Kosmetik akan lebih baik karena pendekatan operasi melalui intraoral. Satu-satunya kendala penggunaan miniplate ialah harga plat yang relative mahal, sehingga penggunannya masih selektif bagi mereka yang mampu.

DAFTAR PUSTAKA Brian Eurle MD, Maxillofacial injuries : clinical characteristic and initial management, 2005. American health consultant. Pada tanggal 20 mei 2011. Jhon H haris, Panoramic zonography in the delineation of midface fractures. 1995, Radiographic (the radiological society of north america). Richard A hopper. Radiografics. Pi yun chui. Clinical Assessment of the Diagnostic Value of Facial Radiography in Facial Trauma Patients at the Emergency Department. 2005. Chin J radiol. Diagnostic of midface fractures with CT . 2006.

Tania parsa. Initial evaluation and management of maxillofacial injuries. 2010, medscape. Gulilermo E chacon. A comparative study of 2 imaging technique for the diagnosis of condylar fracture in children. 2003. American association of oral and maxillofacial surgeons.

Jose Louis. Risk factors for maxillofacial injuries in a Brazilian emergency hospital sample. 2010, my scielo.

David b powers, Maxillofacial trauma treatment protocol. 2005. Oral and maxillofacial surgery clinics of north America.

Charles stewart. Maxillofacial trauma. Challenges in ED diagnosis and management. 2008. EBmedicine.

Amir a krausz. Maxillofacial trauma patient: coping with the difficult airway.2009. World journal of emergency surgery.

S-ar putea să vă placă și