Sunteți pe pagina 1din 22

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Harga diri merupakan suatu nilai yang terhormat atau rasa hormat yang

dimiliki seseorang terhadap diri mereka sendiri. Hal ini menjadi suatu ukuran yang berharga bahwa mereka memiliki sesuatu dalam bentuk kemampuan dan patut dipertimbangkan (Townsend, 2005). Harga diri rendah adalah suatu masalah utama untuk kebanyakan orang dan dapat diekspresikan dalam tingkat kecemasan yang tinggi. Harga diri rendah kronik merupakan suatu keadaan yang maladaptif dari konsepdiri, dimana perasaan tentang diri atau evaluasi diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Termasuk didalam harga diri rendah ini evaluasi diri yang negatif dan dihubungkan dengan perasaan lemah, tidak tertolong, tidak ada harapan, ketakutan, merasa sedih, sensitif, tidak sempurna, rasa bersalah dan tidak adekuat. Harga diri rendah kronik merupakan suatu komponen utama dari depresi yang ditunjukkan dengan perilaku sebagai hukum dan tidak mempunyai rasa (Stuart & Laraia, 2001). Jika individu sering mengalami kegagalan maka gangguan jiwa yang sering muncul adalah gangguan konsep diri harga diri rendah, yang mana harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa gagal mencapai keinginan (Kelliat, 1999). Perawat akan mengetahui jika perilaku seperti ini jika tidak segera ditanggulangi sudah tentu berdampak pada gangguan jiwa yang lebih berat. Beberapa tanda- tanda harga diri rendah yaitu rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu, gangguan hubungan sosial, kurang percaya diri kadang sampai mencederai diri sendiri (Townsend, 1998). Dalam hal ini penulis mengambil kasus harga diri rendah dikarenakan masalah- masalah kejiwaan bisa muncul lebih serius itu dimulai dari harga diri rendah. Kasus ini juga dapat memberikan gambaran bagaimana seseorang

mengalami gangguan pada konsep dirinya yaitu harga diri rendah dan dampak apa saja yang bisa ditimbulkan jika masalah tersebut tidak teratasi.

B. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Tujuan penulisan yang ingin penulis dapatkan adalah diperolehnya pengalaman secara nyata dalam melakuka asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah di Ruang Indragiri Rumah Sakit Jiwa Tampan.

2. Tujuan Khusus a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. b. Mampu merumuskan diagnose keperawatan pada klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. f. Mampu mengidentifikasi fakto pendukung dan penghambat serta mencari solusi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan, serta mampu memberikan masukan kepada pihak tim kesehatan yang ada di rumah sakit. g. Mampu mengidentifikasi kesenjangan antara teori dengan kasus dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. h. Mampu mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan dalam bentuk narasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Konsep Diri

Gangguan konsep diri merupakan suatu kondisi dimana individu mengalami atau berisiko mengalami kondisi perubahan perasaan pikiran atau pandangan dirinya sendiri yang negatif (Carpenito, 2001). Gangguan konsep diri meliputi gangguan pada : gambaran diri, ideal diri, penampilan peran, identitas diri dan harga diri. 1. Gambaran diri Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar.Sikap tersebut mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Disaat seseorang lahir sampai mati, maka selama 24 jam sehari individu hidup dengan tubuhnya, sehingga setiap perubahan tubuh akan mempengaruhi kehidupan individu. Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses didalam kehidupan sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga dirinya (Stuart, 2007). 2. Ideal diri Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri : kecenderungan individu menetapkan ideal diri pada batas kemampuannya, faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri, ambisi dan keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri (Stuart & Sunden, 1998). 3. Penampilan peran Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial

berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terilih atau dipilh oleh individu (Stuart, 2007).

4. Identitas diri Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart, 2007). Pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, keimbangan, konsistensi dan keunikan individu. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek terhadap diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. 5. Harga diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri ( Stuart, 2007). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kekalahan dan kegagalan tetapi tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga ( Carpenito, 2001) Ada 4 cara untuk meningkatkan harga diri pada individu (Stuart & Sunden, 1998) yaitu : memberi kesempatan untuk berhasil, menanamkan gagasan, mendorong aspirasi, membantu membentuk pertahanan diri (koping). Harga diri yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk yang mengakibatkan individu cenderung melakukan kesalahan-kesalahan yang berangkat dari sebab-sebab internal (Carpenito, 2001). Faktor predisposisi gangguan harga diri, (Suliswati,dkk 2005): a. Penolakan dari orang lain. b. Kurang penghargaan. c. Pola asuh yang salah: terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten. d. Persaingan antar saudara. e. Kesalahan dan kegagalan yang berulang.

f. Tidak mampu mencapai standart yang ditentukan. Karakteristik gangguan harga diri meliputi : tampak atau tersembunyi, menyatakan kekurangan dirinya, mengekspresikan rasa malu atau bersalah, menilai diri sebagai individu yang tidak memiliki kesempatan, ragu-ragu untuk mencoba sesuatu/situasi yang baru, mengingkari masalah yang nyata pada orang lain, melemparkan tanggung jawab terhadap masalah, mencari alasan untuk kegagalan diri, sangat sensitive terhadp kritikan, merasa hebat (Stuart, 2007). Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah meliputi: mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, gangguan dalam berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negative mengenai tubuhnya sendiri, pandangan hidup yang pesimis, kecemasan (Stuart, 2007)

B. Harga Diri

1. Pengertian Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri ( Stuart, 2007). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kekalahan dan kegagalan tetapi tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga ( Carpenito, 2001) Harga diri rendah merupakan bagian masalah psikososial yang banyak ditemukan di tengah - tengah masyarakat menunjukkan grjuti oungu, penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi oteh lisien harga diri rendah adalah pasien cenderung untuk menilai dirinya negatii dan merasa lebih rendah dari orang lain (Departemen Kesehatan RI, 2000). Harga diri adalah pandangan keseluruhan dari individu tenang dirinya sendiri. Penghargaan diri juga kadang dinamakan martabat diri atau gambaran diri. Misalnya, anak dengan penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang, tetapi juga sebagai seseorang yang baik (Santrock, 2010).

Harga diri merupakan suatu nilai yang terhormat atau rasa hormat yang dimiliki seseorang terhadap diri mereka sendiri. Hal ini menjadi suatu ukuran yang berharga bahwa mereka memiliki sesuatu dalam bentuk kemampuan dan patut dipertimbangkan (Townsend, 2005).

2. Pembentukan Harga Diri Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998). Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).

3. Klasifikasi Harga Diri Harga diri ada 2 macam: harga diri rendah kronis dan harga diri rendah situasi (Carpenito, 2001 ). a. Harga diri rendah kronis adalah suatu kondisi penilaian diri yang negatif berkepanjangan pada seseorang atas dirinya.

Karakteristiknya antara lain : Mayor: untuk jangka waktu lama / kronis : Pernyataan negatif atas dirinya, ekspresi rasa malu/ bersalah, penilaian diri seakan-akan tidak mampu menghadapi kejadian tertentu, ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru. Minor: Seringnya menemui kegagalan dalam pekerjaan, tergantung pada pendapat orang lain, presentasi tubuh buruk, tidak asertif bimbang,dan sangat ingin mencari ketentraman. b. Harga diri rendah situasional suatu keadaan dimana seseorang memiliki perasaanperasaan yang negatif tentang dirinya dalam berespon terhadap peristiwa (kehilangan, perubahan). Karakteristiknya : Mayor : Kejadian yang berulang / berkala dari penilaian diri yang negatif dalam berespon terhadap peristiwa yang pernah dilihat secara positif, menyatakan perasaan negatif tentang dirinya ( putus asa, tidak berguna). Minor : Pernyataan negatif atas dirinya, mengekspresikan rasa mal/bersalah, penilaian diri tidak mampu mengatasi peristiwa/situasi kesulitan membuat keputusan, mengesolasi diri.

4. Aspek-aspek Harga Diri Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).

Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998). Ada 4 cara untuk meningkatkan harga diri pada individu (Stuart & Sunden, 1998) yaitu : memberi kesempatan untuk berhasil, menanamkan gagasan, mendorong aspirasi, membantu membentuk pertahanan diri (koping). Harga diri yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk yang mengakibatkan individu cenderung melakukan kesalahan-kesalahan yang berangkat dari sebab-sebab internal (Carpenito, 2001).

C. Konsep Harga Diri Rendah

1. Pengertian Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadp diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai dengan ideal diri (Keliat, 1998). Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Harga diri meningkat bila diperhatikan/dicintai dan dihargai atau dibanggakan. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harga diri tinggi/positif ditandai dengan ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman sedangkan

individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman (Yoseph, 2009).

2. Proses Berdasarkan hasil riset Malhi (2008, dalam http:www.tqm.com)

menyimpulkan bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya, hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan, atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya. Dalam Purba (2008), ada empat cara dalam meningkatkan harga diri yaitu: 1) Memberikan kesempatan berhasil 2) Menanamkan gagasan 3) Mendorong aspirasi 4) Membantu membentuk koping.

3. Faktor terjadinya Menurut Fitria (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain ideal diri yang tidak realistis.

b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah hilannya sebagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, mengalami

kegagalan serta menurunya produktivitas. Sementara menurut Purba, dkk (2008) gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronik. Gangguan harga diri yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga menyebabkan rendahnya harga diri seseorang diakibatkan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang mengharagai klien dan keluarga. Sedangkan gangguan harga diri kronik biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat. Menurut Peplau dan Sulivan dalam Yosep (2009) mengatakan bahwa harga diri berkaitan dengan pengalaman interpersonal, dalam tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia seperti good me, bad me, not me, anak sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan amannya tidak terpenuhi dan merasa ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif akan menimbulkan harga diri rendah. Menurut Caplan, lingkungan sosial akan mempengaruhi individu, pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah. Caplan (dalam Keliat 1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman individu dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah.

4. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala harga diri rendah Keliat (2009) mengemukakan beberapa tanda dan gejala harga diri rendah adalah: a. Mengkritik diri sendiri b. Perasaan tidak mampu c. Pandangan hidup yang pesimis d. Penurunan produkrivitas e. Penolakan terhadap kemampuan diri. Selain tanda dan gejala tersebut, penampilan seseorang dengan harga diri rendah juga tampak kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan bicara lambat dengan nada suara lemah.

5. Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori

Harga Diri Rendah

Koping Individu Tidak Efektif

Traumatik Tumbuh Kembang Sumber: Yosep (2009)

Berdasarkan jurnal psikologi yang dilampirkan, Hubungan Antara Kebiasaan Berpikir Negatif Tentang Tubuh Dengan Body Esteem Dan Harga Diri, dinyatakan bahwa kebiasaan berpikir negative mengenai diri sendiri dapat

mengakibatkan individu merasa harga diri rendah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan: Tubuh memang merupakan bagian penting dalam pembentukan konsep diri seseorang, karena kesadaran awal manusia mengenai dirinya dimulai dari kesadaran akan tubuhnya, pengenalan ini semakin lama akan semakin menjadi bagian yang intim dari konsep diri secara umum (James, 1999). Oleh karena itu, selama ini sudah banyak penelitian mengenai body esteem yang dikaitkan dengan harga diri secara keseluruhan; baik melalui studi lintas budaya maupun lintas jender. Dari hasil-hasil penelitian tersebut ditemukan adanya indikasi bahwa body esteem yang rendah berhubungan dengan rendahnya harga diri seseorang; gangguan makan; serta kerentanan terhadap depresi dan gangguan kecemasan (Henriques & Calhoun, 1999; Klaczynski, et al., 2004; Matz, et al., 2002; Verplanken, et al., 2005). Ditemukan pula bahwa hasil-hasil tersebut bervariasi tergantung dari kelompok yang merupakan sasaran studi, berdasarkan jenis kelamin, usia maupun budaya/etnis. Seperti misalnya penelitian yang menemukan bahwa perempuan memiliki body esteem yang lebih rendah dibadingkan laki-laki; dan bahwa perubahan body esteem perempuan akan berkontribusi terhadap perubahan harga diri secara keseluruhan; serta bahwa efek body esteem terhadap harga diri secara keseluruhan ini bervariasi antar berbagai kelompok usia dan budaya/etnis (McKinley, 1998; Henriques & Calhoun, 1999; Klaczynski, et al., 2004). Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orangorang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan social semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang

ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Baru-baru ini Verplanken (2006) melakukan penelitian mengenai kebiasaan seseorang untuk berpikiran negatif dalam menilai dirinya sendiri (negative self-thinking habit). Negative self-thinking yang menjadi kebiasaan serta terus menerus muncul secara otomatis, sering dan menetap dalam benak seseorang, tentunya tidak lagi berkontribusi terhadap pembentukan konsep diri yang sehat. Sebaliknya hal tersebut merupakan suatu disfungsi psikologis, yang selanjutnya dapat menurunkan harga diri serta membuat seseorang rentan untuk mengalami gangguan kecemasan dan depresi (Verplanken, 2006). Negative self-thinking habit yang disfungsional memiliki tiga aspek sebagai berikut: (1) pemikiran tentang diri yang muatannya negatif; (2) frekuensi munculnya pemikiran serupa itu secara sering; dan (3) pemikiran ini muncul tanpa disadari, tanpa disengaja, serta sulit untuk dikontrol (e.g., Haaga et al.; Moretti & Shaw dalam Verplanken, 2006).

BAB III Tinjauan Kasus

Pada hari Rabu, 5 April 2012, mulai dilakukan pengkajian dengan Ibu K. Pada pertemuan pertama ini, Ibu K tampak kumal, jorok, bau, sering menunduk, tidak ada kontak mata, ngomong lambat, suara pelan, dan tidak banyak bicara. Dalam komunikasi, diperoleh hasil wawancara dengan klien bahwa klien bernama K, belum menikah, pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar, dan tinggal di Indragiri Hilir. Dan saat melakukan kegiatan, Ibu K sering mengatakan tidak bisa atau tidak tahu apabila diminta untuk melakukan sesuatu. Ibu K mengatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki dan Ibu K tidak menyukai laki-laki karna punya hubungan yang tidak baik antara klien dengan kekasihnya semasa dulu. Ibu K juga mengatakan bahwa ia adalah teman dari Nike Ardila dan Ali Topan, serta mengatakan bahwa klien melihat gumpalan darah di atas matahari. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, diperoleh tekanan darah klien adalah 110/70 mmHg, nadi 75 x/mnt, dan suhu 37. Selain dari hasil observasi dan pernyataan klien, perawat juga memperoleh data dari rekam medis klien. Adapun data yang diperoleh dari rekam m edis bahwa klien dimasukkan ke Rumah Sakit tersebut karena klien mengamuk dan dipasung, kadang ketawa-ketawa sendiri dan bernyanyi. Klien adalah anak ke 3 dari 8 bersaudara dan tidak ada keluarga klien yang memiliki riwayat gangguan jiwa. Klien berumur 23 tahun. Klien dirawat dibawa ke rumah sakit pada tanggal 16 November 2011. Berdasarkan data yang telah diperoleh; Ibu K selalu menunduk, tidak ada kontak mata, dan sering mengatakan tidak bisa saat diminta melakukan sesuatu, sehingga perawat mendiagnosa bahwa Ibu K mengalami gangguan konsep diri: harga diri rendah. Setelah menetapkan daignosa, perawat membuat implementasi untuk membantu Ibu K mengatasi harga diri rendahnya. Perawat berencana untuk mengidentifikasi penyebab harga diri rendahnya, mengidentifikasi aspek &

kemampuan positif Ibu K, membantu Ibu K memilih dan menetapkan kemampuan yang akan dilatih, dan melatih kemampuan yang sudah dipilih. Berhubung Ibu K mengatakan bahwa ia tidak memiliki hobi atau kegiatan lain yang bisa ia lakukan, maka perawat menentukan kegiatan yang akan dilakukan atas persetujuan Ibu K. Kemudian menggambar, mencuci kain dan menyanyi menjadi pilihan kegiatan yang akan dilakukan. Setelah menyusun rencana kegiatan tersebut, perawat membuat kontrak waktu dalam setiap pertemuan yang dilakukan untuk menjalankan kegiatan yang telah dipilih. Dalam kegiatan menggambar dan menyanyi, Ibu K sering kali mengatakan tidak bisa dan pada kenyataannya Ibu K mampu melakukannya dengan baik. Dengan inforcement positif yang diberikan perawat, Ibu K semakin hari terlihat semakin percaya diri untuk melakukan kegiatan yang dilakukan. Setelah kegiatan berlangsung, Ibu K terlihat senang melakukan kegiatan yang telah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari respon Ibu K yang mau melakukan pesan dari perawat, yaitu saat perawat meninggalkan selembar kertas untuk digambar dan Ibu K melakukannya dan Ibu K juga mau menyanyi dan mulai rajin tersenyum kepada orang-orang.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Saat pengkajian penulis mengalami sedikit kesulitan karena pasien kurang kooperatif. Penulis menemuan faktor presipitasi yaitu pengalaman buruk masa lalu klien (Ibu K) terhadap lelaki yang mendustainya. Penulis menekankan komunikasi terapeutik pada klien harga diri rendah agar klien dapat mengungkapkan perasaannya sehingga dapat diketahui masalah-masalah yang ada pada diri klien. Diagnose yang didapat dari pohon masalah adalah gangguan konsep diri: harga diri rendah. Untuk perencanaan pada klien harga diri rendah, prinsip intervensinya adalah jangan memberikan pernyataan negative karena akan menurunkan harga dirinya, memberikan motivasi, menggali kemampuan possitif yang dimiliki klien dan melibatkan klien dalam aktivitas sederhana yang mampu dilakukan klien, seperti menggambar, mencuci kain, merapikan tempat tidur dan menyanyi. Penulis dalam melakukan implementasi, dapat dilakukan tindakan

keperawatan pada diagnose gangguan konsep diri: harga diri rendah. Evaluasi yang didapat dari klien pada saat pertemuan terakhir adalah untuk implementasi keperawatan yang telah dilakukan pada diagnose deficit perawatan diri dan gangguan konsep diri: harga diri rendah.

B. Saran Dalam makalah ini, penulis membuat saran kepada semua pihak yang terlibat dalam perawatan kesehatan jiwa terutama masalah klien dengan harga diri rendah untuk diruangan bagi tim kesehatan maupun mahasiswa yang praktek di rumah sakit jiwa.

Saran untuk perawat ruangan yaitu perawat ruangan terus memotivasi dan melibatkan klien dengan kegiatan sehari-hari seperti membersihkan ruangan, mencuci baju, merapikan tempat tidur, dan lain-lain, pertahankan atau tingkatkan komunikasi terapeutik serta tingkatkan koping individu dan keluarga, pertahankan dan tingkartkan kerjasama antara perawat-klien. Saran untuk mahasiswa yaitu agar melakukan pengkajian sesuai dengan teori dan dapat mendokumentasikan data lengkap, agar dalam melakukan pengkajian perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik , sehingga dapat terbina hubungan saling percaya.

Lampiran 1

JURNAL REFLEKSI

Pertama sekali waktu saya harus menginjakakkan kaki di Rumah Sakit Jiwa Tampan, rasanya menakutkan. Apalagi ditambah dengan teriakan pasien dan panggilan-panggilan dari mereka. Tetapi, itu semua justru hilang begitu saja saat mulai berkomunikasi dengan pasiennya secara langsung. Semuanya menjadi membahagiakan hingga pada pertemuan terakhir. Enggan untuk bertemu, enggan pula untuk berpisah. Saya mendapat tugas untuk preklinik di ruang Indragiri. Di Indragiri semua pasiennya adalah wanita. Hari pertama saat saya harus mencari pasien kelolaan untuk saya angkat kasusnya dalam tugas perkuliahan saya, saya bingung untuk memilih pasien. Yang saya lihat hanyalah dari fisik dan sikap yang kelihatan. Saya sangat menghindari yang berteriak-teriak dan manggil-manggil. Saya cendereung mencari yang tenang dan bisa diajak ngobrol. Akhirnya, saya bertemu dengan seorang ibu, bernama Ibu L. Pertemuan pertama ini, Ibu L terlihat kooperatif dan dia mau bercerita panjang lebar atas pertanyaan yang saya ajukan. Setelah bercakap-cakap sejenak bersama Ibu L, saya segera mencari pasien resume. Kemudian saya punya 1 target pasien yang sedang berbaring di tempat tidur dan terlihat tidak ingin untuk dihampiri. Tetapi saya tetap memberanikan diri untuk menghampiri dan menegurnya. Ternyata hasilnya nol. Kehadiran saya tidak diterima. Hari kedua, Kamis, 5 April, pandangan saya tertuju pada pasien yang sebelumnya menolak saya. Saya kembali menghampiri dan berhasil mendapatkan izinny untuk ngobrol bareng, ternyata namanya Ibu K. Akan tetapi, saya menjadi lupa kepada pasien kelolaan saya,Ibu L. Pertemuan pertama dengan Ibu K, saya langsung diajak jalan keliling rumah sakit sambil menggandeng tangan saya. Saat itu rasanya saya mulai mendapatkan trustnya. Ibu K tidak banyak bicara. Setiap kali diajukan pertanyaan, hampir semua jawabannya tidak tahu. Setelah selesai dari pertemuan

dengan Ibu K, saya mencari Ibu L untuk membina trust. Akan tetapi, saat saya mencoba menegurnya, sepertinya saya sudah kehilangan trust yang kemarin mungkin sudah mulai tumbuh. Ibu L tidak mau lagi ngobrol dengan saya. Hari kedua berada di rumah sakit jiwa ini, saya melihat respon yang tidak baik dari perawat terhadap pasien. Ada salah seorang perawat yang mengatakan masa kamu samain pasien sama perawat. Saya terkejut mendengar ada perawat yang berkata seperti itu hanya karena dia mengira pasien menggunakan gelas perawat. Mungkin memang geli menggunakan peralatan pasien karena gelas dan piring mereka itu pada ga bersih semua. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa sih peralatan pasien itu tidak dicuci bersih? Sementara rumah sakit punya petugas dapur yang saya rasa bisa untuk melakukannya. Saya melihat gelas dan piring pasien itu pada berminyak semua dan tempat air minumnya pun berlumut dan air minum nya keruh. Selain itu, saya juga melihat nasi basi diletakin aja di atas meja atau didekat rak piring. Yang namanya pasien jiwa belum tentu mengerti itu nasinya masih layak makan atau tidak. Bagaimana kalo pasien sampai memakan nasi itu disaat tidak ada perawat yang mengawasi? Dalam pertemuan ketiga, Sabtu, 7 April, Ibu L telah dijemput oleh keluarganya. Kemudian pasien resume saya (Ibu K) saya jadikan pasien kelolaan saya. Saya melanjutkan pertemuan ketiga dengan Ibu K. Kami kembali berjalan mengelilingi rumah sakit. Saya berusaha untuk mengidentifikasi masalahnya, namun masih gagal. Ibu K terlihat selalu menunduk dan tidak mau menatap setiap lawan bicaranya. Setiap kali ditanya oleh orang lain, Ibu K hanya mengabaikannya atau tersenyum miris atau menjawab tidak tahu. Berdasarkan hasil observasi saya ini, saya menyangka bahwa masalahnya Ibu K ini adalah isolasi social. Ternyata saat saya mencoba menggali isolasi sosialnya, Ibu K malah mengatakan bahwa ia mempunyai banyak teman, yaitu Nike Ardila. Lalu saya berpaling dari diagnose sebelumnya, menjadi waham. Pada pertemuan ketiga ini saya juga menduga bahwa Ibu K punya pengalaman buruk terhadap laki-laki sehingga ia sangat benci sekali kepada laki-laki dan menganggap laki-laki itu setan. Hingga saat ini saya belum menegakkan diagnose

yang pasti. Jadi saya mencoba untuk mengajak Ibu K melakukan sebuah kegiatan, yaitu menggambar. Saat menggambar, Ibu K sering sekali mengatakan tidak bisa. Dari hasil observasi ini, saya menjadikan gangguan konsep diri: harga diri rendah sebagai diagnose utama sementara. Pertemuan keempat, Senin, 9 April, saya mencoba untuk menggali mengenai Nike Ardila yang dikatakan Ibu K sebelumnya. Namun, Ibu K tidak lagi mau membahasnya. Lalu saya memutuskan untuk menggali penyebab Ibu tidak menyukai laki-laki melalui kegiatan menggambar. Dari hasil menggambar ini, ternyata Ibu K memang terlihat tidak menyukai laki-laki. Ibu K tidak mau menggambarkan wajah laki-laki, dan mengatakan bahwa ia menyukai wajah perempuan untuk menjadi pasangannya. Hari ke 5 di Rumah Sakit Jiwa Tampan ini, kami bertugas di ruangan UPIP. Di ruangan ini saya mendapat pasien bernama Tn. S yang masi berusia 21 tahun dengan diagnose halusinasi. Berdasarkan hasil wawancara, klien mengatakan bahwa dia sering dicemooh oleh teman-teman sepermainannya dan dianggap gila oleh mereka. Pertemuan dengan Tn. S ini sangat berkesan sekali bagi saya meski hanya dengan sekali pertemuan saja. Hari ke 6 di Rumah Sakit Jiwa Tampan, saya melanjutkan pertemuan yang ke 5 dengan Ibu K. Senang sekali bisa membantunya mandi dan berias diri. Setelah itu, kami melanjutkan kembali kegiatan menggambar yang lalu. Saya mengajarkan Ibu K untuk membedakan antara pria dan wanita. Saya mengajaknya berkeliling rumah sakit untuk memperkenalkannya kepada perawat dan pasien lain, sambil menjelaskan perbedaan antara pria dan wanita. Saya meniggalkannya secarik kertas agar Ibu K bisa menggambarkan apa yang dia rasa dan pikirkan. Siapa tahu Ibu K bisa berbagi cerita lewat gambarannya. Ditengah kegiatan ini, Ibu K kembali mengatakan bahwa ia berteman dengan salah seorang penyanyi tahun 70an, Ali Topan. Namun, Ibu K tidak berkata banyak mengenai itu.

Pertemuan ke 6 dengan Ibu K, saya mulai terbiasa untuk membantunya mandi, namun peralatan mandi yang saya berikan sebelumnya telah dibuang oleh Ibu K. Pertemuan ke 7 dengan Ibu K, disaat ujian revisi tengah berlangsung, Ibu K akhirnya mau berbagi cerita mengenai pengalaman masa lalunya. Ternyata Ibu K memang benar memiliki pengalaman buruk terhadap laki-laki. Ibu K mengatakan bahwa ia telah didustai, namun ia tidak menceritakan lebih lanjutnya lagi. Tetapi kepastian itu sangat membuatku merasa bahagia karena setidaknya rasa penasaranku telah berlalu dan aku bisa lebih membantunya untuk mengatasi masalah ini. Sayang sekali, ini adalah hari terakhir kami preklinik di Rumah Sakit Jiwa Tampan ini. Hampir sedih sebenarnya, tapi semua berubah menjadi kebahagiaan yang luar biasa. Hari ini juga, saya melihat kepulangan Ibu K ke rumahnya dan ternyata Ibu K masih menyimpan peralatan mandi yang saya berikan dan tidak membuangnya. Hari ini juga saya melihat Tn. S dijenguk oleh ibunya. Dan hari ini juga saya bisa menenangkan salah satu pasien di ruang Indragiri yang tengah mengamuk dan ia mempercayakan sebuah pesan yang penting baginya di secarik kertas yang dia berikan padaku. Pasien ini bernama Ibu Kd. Pengalaman preklinik perdana yang sangat menyenangkan. Rasanya masih kurang untuk beramah-ramah kepada pasien-pasien di Rumah Sakit Jiwa ini. Terutama saat trust telah terbina, tidak menutup kemungkinan kita bisa menyayangi mereka selayaknya keluarga. Saya bahagia bisa berada ditengah-tengah mereka selama ini. Saya berharap, kehadiran kami semua bisa berarti buat pasien-pasien jiwa disana. Yang bisa saya petik dari semua kejadian ini adalah Jangan takut dengan pasien jiwa, sekalipun mereka terlihat menakutkan. Justru mereka akan menyambut dengan bahagia dan ikhlas. Begitulah juga seharusnya kita memperlakukan mereka.

BAB IV PEMBAHASAN

Santrock, J. W. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 112-113.

S-ar putea să vă placă și