Sunteți pe pagina 1din 42

PRESEPTOR:

Indrianto, dr., SpAn

PRESENTAN:
Ayi Abdul Basith (12100117058)
Reva Anggarina Japar (12100117093)

INSTALASI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD AL-IHSAN BANDUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017
The upper airway consists of the nose, mouth, pharynx, larynx, trachea, and
main-stem bronchi. The mouth and pharynx are also a part of the upper
gastrointestinal tract.

The pharynx is a U-shaped fibromuscular structure that extends from the base
of the skull to the cricoid cartilage at the entrance to the esophagus.

The larynx is composed of nine cartilages thyroid, cricoid, epiglottic, and (in
pairs) arytenoid, corniculate, and cuneiform.
The larynx (LAIR-inks), or voice box,
is a short passageway that connects
the laryngopharynx with the trachea.
It lies in the midline of the neck
anterior to the esophagus and the
fourth through sixth cervical
vertebrae (C4–C6).

The trachea or windpipe, is a tubular


passageway for air that is about 12
cm long and 2.5 cm in diameter. It is
located anterior to the esophagus
and extends from the larynx to the
superior border of the fifth thoracic
vertebra (T5), where it divides into
right and left primary bronchi
UPPER TRACT
• Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran  CONDUCTING ZONE
yang meneruskan udara menuju saluran nafas  RESPIRATORY ZONE
bagian bawah untuk pertukaran gas
• Protection (perlindungan), sebagai perlindungan
saluran nafas bagian bawah agar terhindar dari
masuknya benda asing
• Warning, filtrasi, dan humudifikasi yakni sebagai
bagian yang menghangatkan, menyaring, dan
memberi kelembaban udara yang diinspirasi
(dihirup).

LOWER TRACT
• Saluran udara konduktif, seing disebut sebagai
percabangan trakheobronkhialis yang terdiri dari
trakea, bronkus, dan bronkhiolus.
• Saluran respiratori terminal yang berfungsi sebagai
penyalur (konduksi) gas yang masuk dan keluar dari
satuan respiratori terminal, yang merupakan tempat
pertukaran gas sesungguhnya.
The glossopharyngeal nerve also innervates the roof
of the pharynx, the tonsils, and the under surface of
the soft palate.
The vagus nerve (the tenth cranial nerve) provides
sensation to the airway below the epiglottis.
Routine airway management associated with general anesthesia consists of:
• Airway assessment
• Preparation and equipment check
• Patient positioning
• Preoxygenation
• Bag and mask ventilation (BMV)
• Intubation (if indicated)
• Confirmation of endotracheal tube placement
• Intraoperative management and troubleshooting
• Extubation
AIRWAY ASSESSMENT
LOOK-LISTEN-FEEL

1. Mouth opening: an incisor distance of 3 cm or greater is desirable in an adult.


2. Upper lip bite test: the lower teeth are brought in front of the upper teeth. The degree to
which this can be done estimates the range of motion of the temporomandibular joints.
3. Mallampati classification: a frequently performed test that examines the size of the
tongue in relation to the oral cavity. The greater the tongue obstructs the view of the
pharyngeal structures, the more difficult intubation may be.
4. Thyromental distance: the distance between the mentum and the superior thyroid
notch. A distance greater than 3 fingerbreadths is desirable.
5. Neck circumference: a neck circumference of greater than 27 in is suggestive of
difficulties in visualization of the glottic opening.
Mallampati classification:
• Class I: the entire palatal
arch, including the
bilateral faucial pillars,
are visible down to their
bases.
• Class II: the upper part of
the faucial pillars and
most of the uvula are
visible.
• Class III: only the soft and
hard palates are visible.
• Class IV: only the hard
palate is visible.
SUMBATAN JALAN NAFAS
■ Sumbatan jalan nafas partial
1. Stridor
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraklavikular, suprasternal, sela iga dan
epigastrium sela inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung atau datar
bukannya mengembang atau membesar)
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot pernafasan meningkat)
6. Sianosis merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih berat
■ Sumbatan jalan nafas total
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalannya lebih hebat dan stridor justru
menghilang.
1. Retraksi lebih jelas
2. Gerakan paradoksal lebih jelas
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi
5. Sianosis lebih cepat timbul
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia, henti nafas dan henti jantung
dalam waktu 5-10 menit.
Menurut The Commite on Trauma: American College of
Surgeon tindakan paling penting untuk keberhasilan
resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan,
yaitu dengan cara:

TRIPLE MANUVER
Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:
1. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di
bawah leher, sedangkan tangan yang lain pada dahi.
Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala
ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain
2. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan
mencegah obtruksi hipofarings oleh dasar lidah. Kedua
gerakan ini meregangkan jaringan antara laring dan
rahang bawah.
3. Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx
posterior.
MANUVER HEIMLICH
Metode yang paling efektif untuk mengatasi obstruksi
saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda
asing yang terperangkap dalam pharynx posterior
atau glottis. Kekurangannya apabila pasien gemuk
dan penolong kecil.
Preparation is mandatory for all airway management scenarios. The following
equipment is routinely needed in airway management situations:
• An oxygen source
• BMV capability
• Laryngoscopes (direct and video)
• Several endotracheal tubes of different sizes
• Other (not endotracheal tube) airway devices (eg, oral, nasal airways)
• Suction
• Oximetry and CO2 detection
• Stethoscope
• Tape
• Blood pressure and electrocardiography (ECG) monitors
• Intravenous access
Oral & Nasal Airways
Pipa nasofaring atau orofaring, biasanya digunakan
pada pada pasien teranestesi, kehilangan tonus otot
dari jalan napas atas seperti otot genioglossus,
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang
yaitu ke dinding posterior faring. Pada pasien
teranestesi ringan lebih baik digunakan alat bantu
jalan napas melalui hidung.
Alat apapun yang akan dimasukkan ke hidung seperti
contohnya pipa nasofaring, kateter nasogastric dan
pipa nasotrakea harus diberi lubrikasi dan dimasukkan
pada sudut yang tegak lurus dengan wajah untuk
menghindari trauma terhadap atap dari hidung.
Karena resiko epistaksis, alat bantu jalan napas
hidung tidak boleh digunakan pada pasien dengan
penyakit koagulasi, anak-anak dengan adenoid
menonjol dan pasien dengan fraktur basis cranii.
Face Mask Design & Technique
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi transportasi oksigen atau gas anestesi dari mesin ke
pasien. Face mask menutupi mulut dan hidung serta dapat menyesuaikan terhadap struktur wajah.
Bagian atasnya disambungkan kepada konektor mesin anestesi.

Indikasi face mask :


• Untuk menyediakan anestesi inhalasi untuk prosedur singkat pada pasien
• Untuk pre-oksigenasi (denitrogenasi) pada pasien sebelum intubasi endotrakeal
• Untuk menilai atau mengontrol ventilasi sebagai bagian dari awal resusitasi.
Positioning
Laryngeal Mask (LMA)
LMA berguna untuk memfasilitasi ventilasi,
menggantikan fungsi ETT pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit dan memventilasi saat fiberoptic
bronchoscopy (FOB) juga membantu penempatan
dari broncoscope-nya.

4 tipe LMA:
1. LMA yang dapat dipakai ulang
2. LMA yang tidak dapat dipakai ulang
3. Pro Seal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukan pipa nasogastrik dan dapat
digunakan dengan ventilasi tekanan positif
4. Fastrach LMA yang digunakan untuk
memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan
jalan nafas yang sulit
Indikasi LMA :
• Sebagai alternative untuk mask ventilasi atau intubasi endotrakeal pada
manajemen jalan nafas
• Pada penatalaksanaan dari jalan nafas yang sulit
• Pada penatalaksanaan selama resusitasi pada pasien yang tidak sadar

Kontraindikasi LMA:
• Pasien dengan kelainan faing (misalnya, abses)
• Sumbatan faring
• Lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal)
• Compliance paru rendah (misalnya, penyakit retraksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30cmHg
TEKNIK PEMASANGAN
Persiapan :
a. Preoksigenasi pasien dengan 100%
oksigen melalui nonbreather mask
b. Pilih LMA sesuai ukuran
c. Cek cuff/balon LMA dari kebocoran
d. Mengempiskan cuff LMA. Pengempisan
harus bebas dari lipatan dan sisi kaf
sejajar dengan sisi lingkar kaf.
e. Berikan water-soluble lubricant pada
baian belakang sungkup
f. Berikan sedasi bila perlu
g. Posisikan pasien
1. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan
“air sniffing” dengan cara menekan kepala dari
belakang dengan menggunakan tangan yang tidak
dominan.
2. Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah
atau dengan jari ketiga tangan yang dominan.
3. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada
perbatasan antara pipa dan kaf.
4. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas,
menyusur palatum dan dengan bantuan jari telunjuk
LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri
palatum.
5. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga
hipofaring. Tahanan akan terasa bila sudah sampai
hipofaring.
6. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak
dominan untuk mempertahankan posisi, dan jari
telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita.
7. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
8. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan
dilakukan pernafasan bantu. Bila ventilasi tidak
adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan
kembali.
9. Setelah itu lakukan fiksasi.
Esophageal-Tracheal Combitube
Memiliki 2 pipa yang bersatu dengan konektor
ukuran 15 mm di ujungnya. Di sepanjang pipa yang
berwarna biru ada lubang-lubang yang
menyebabkan gas keluar. Pipa yang bening tidak
ada lubang-lubang ini.
Penggunaannya tidak bisa sebagai penuntun FOB
fleksibel atau pemandu intubasi karena ada lubang-
lubang sepanjang lumen pipa. Tidak boleh
digunakan pada pasien dengan gag refleks yang
intak, patologi esofagus, atau riwayat makan
makanan pedas.
King Laryngeal Tube
King laryngeal tubes (LTs) consist of tube with a
small esophageal balloon and a larger balloon for
placement in the hypopharynx. Both tubes inflate
through one inflation line. The lungs are inflated
from air that exits between the two balloons.
INTUBATION
Tujuan intubasi:
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam
• Mempermudah pemberian anestesi.
rongga tubuh melalui mulutatau hidung. Intubasi
• Mempertahankan jalan nafas agar
terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
tetap bebas serta mempertahankan
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal.
kelancaran pernapasan.
• Intubasi endotrakeal adalah tindakan
• Mencegah kemungkinan terjadinya
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
aspirasi lambung (pada keadaan tidak
melalui rima glottis dengan mengembangkan
sadar lambung penuh dan tidak ada
cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-
refleks batuk).
kira di pertengahan trakea antara pita suara
• Mempermudah pengisapan secret
dan bifurkasio trakea.
trakeobronkial.
• Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan
• Pemakaian ventilasi mekanis yang
memasukan pipa nasal melalui nasal dan
lama.
nasopharing ke dalam oropharing.
• Mengatasi obstruksi laring akut.
Kesulitan Intubasi:
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila atau gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporomandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Endotracheal Tube (ETT)
Intubasi endotrakeal adalah proses memasukan
pipa endotrakeal kedalam trakea pasien. ETT dapat Indikasi:
digunakan untuk memasukkan gas langsung ke • Henti jantung
trakea dan dapat mengontrol ventilasi dan • Korban sadar tidak mampu
oksigenasi. bernafas dengan baik. Co/
edema paru
• Pelindungan jalan nafas tidak
Keuntungan: memadai. Co/ koma
• Terpeliharanya jalan nafas • Penolongan tidak mampu
• Dapat memberi oksigen dengan konstrasi tinggi memebrikan bantuan nafas
• Menjamin tercapainya volume tidak yang dengan konvensional
diinginkan
• Mencegah terjadinya aspirasi
• Mempermudah penghisapan lendir dari trakea
• Merupakan jalur masuk beberapa obat resusitasi
Peralatan ETT: Komplikasi:
■ Laringoskop (lengkap) ■ ETT masuk ke esofagus: hipoksia
■ Pipa ETT ■ Luka bibir
- Perempuan: no. 7,0; 7,5; 8,0 ■ Gigi patah
- Laki-laki: no. 8,0; 8,5 ■ Laserasi pada faringan dan trakea
- Emergensi: no. 7,5 ■ Kerusakan pita suara
■ Slite (madrin) ■ Perforasi pada faring dan esofagus
■ Forsep margil ■ Muntah dan aspirasi
■ Jeli ■ Intubasi menyebabkan pelepasan
adrenalin dan noradrenalin
■ Spuit 20cc/ 10cc
menyebabkan hipertensi, takikardi,
■ Bantal aritmia
■ Plester ■ Masuk ke bronkus
■ suction
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam
pemakaian intubasi ini yaitu:
Seorang dokter terlatih dan berpengalaman
dalam intubasi endotrakeal dan seorang asisten
yang mengetahui tentang peralatannya.
Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea,
dapat diingat kata STATIC.

S = scope, laringoskop dan stetoskop.


T = tubes, pipa endotrakeal.
A = airway tubes, pipa orofaring/nasofaring.
T = tape, plester.
I = introducer, stilet, mandren.
C = connector, sambungan-sambungan.
S = suction, penghisap lendir.
TEKNIK PEMASANGAN:
• Cek alat sesuai pengukuran • Waktu untuk intubasi tidak boleh lebih dari 30
• Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik detik
• Berikan pelumas pada ujung ETT didaerah cuff • Lakukan ventilasi dengan menggunakan baging
• Letakan bantalan setinggi kurang lebih 10cm di dan lakukan auskultasi pertama pada lambung
oksiput pertahankan kepala ekstensi kemudian pada paru-paru kanan dan kiri
• Bila perlu dilakukan penghisapan lendir pada sambil memperhatikan pengembangan dada
mulut dan faring • Kembangkan balon dengan menggunakan
• Buka mulut dengan cross finger dan tangan kiri spuit 20 atau 10 cc, dengan secukupnya
memegang laringoskop sampai tidak terdengar lagi suara kebucoran
• Masukan laringoskop menelusuri mulut sebelah dimulut korban saat dilakukan ventilasi
kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukan laringoskop • Lakukan fiksasi ETT dengan plester agar tidak
sampai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau terdorong atau dicabut
bibir tidak terjepit diantara laringoskop dan gigi • Lakukan ventilasi dengan oksigen 100% (aliran
pasien 10-12 liter/menit)
• Angkat laringoskop ke depan (30-40’) jangan
gunakan gigi sebagai tumpua
• Bila pita sudah terlihat masukan ETT sambil
pertahankan bagian proksimal dai cuff ETT
melewati pita suara kurang lebih 1-2 cm atau pada
orang dewasa kedalaman ETT kurang lebih 19-
23cm
Alat untuk memeriksa laring dan memfasilitasi intubasi, pegangannya
memiliki batre untuk lampu pada blade. Macintosh dan Miller adalah jenis
yang bengkok atau lurus yang sering digunakan.

Ada dua jenis laringoskop, yaitu:


• Blade lengkung (Macintosh),
Biasanya digunakan pada
laringoskop dewasa
• Blade lurus, Laringoskop dengan
blade lurus (misalnya blade Magill)
mempunyai teknik yang berbeda.
Teknik ini biasa digunakan pada
bayi dan anak karena mempunyai
epiglotis relatif lebih panjang dan
kaku. Trauma pada epiglotis lebih
sering terjadi pada laringoskop
dengan blade lurus.
Video- or optically based laryngoscopes have either a
video chip (DCI system, GlideScope, McGrath, Airway)
or a lens/mirror (Airtraq) at the tip of the intubation
blade to transmit a view of the glottis to the operator.
Flexible Fiberoptic Brochoscopes (FOB)
Pada situasi tertentu, seperti pasien dengan
vertebrae cervical tidak stabil atau pada
gerakan sendi temporomandibular yang terbatas
atau pada kelainan kongenital anomali jalan
napas atas.
FOB yang dibuat dari fiber glass ini mengalirkan
cahaya dan gambar oleh refleksi internal
contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam
fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang
berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundle dan fiber,
masing-masing berisi 10.0000 – 15.000 fiber.
Satu bundle menyalurkan cahaya dari sumber
cahaya yang terdapat diluar alat atau berada di
dalam handle dan memberikan gambaran
resolusi tinggi
any questions?

S-ar putea să vă placă și