Sunteți pe pagina 1din 21

Ika nur utami

1410211124
TANATOLOGI
 Adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
kematian dan perubahan yang terjadi setelah
seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya
(Sampurna, 2004)
 Berasal dari kata Thanatos yang artinya berhubungan
dengan kematian, Logos artinya ilmu pengetahuan
PENGERTIAN MATI
 Mati klinik (somatik): berhentinya fungsi sistem SSP,
kardiovaskuler, respirasi, yang irreversibel
 Mati serebral: berhentinya fungsi kedua hemisfer
serebrum
 Mati otak (batang otak?): berhentinya fungsi
keseluruhan otak. Klinis  apneu
 Mati suri
 Mati seluler
PERUBAHAN POST MORTEM
 Dini:
 Kardiovaskuler
 Respirasi
 SSP
 Fragmentasi arteri sentralis retina
 Tonus bola mata menurun
 Lanjut:
 Livor mortis (lebam mayat)
 Rigor mortis (kaku mayat)
 Algor mortis (penurunan suhu)
 Decomposition (pembusukan)
 Mumifikasi
 Adipocere
 Maserasi
LIVOR MORTIS (LEBAM MAYAT)
 Adanya pengaruh gravitasi, darah akan menempati
bagian terendah, membentuk bercak warna merah
ungu (livide), kecuali pada bagian tubuh yang tertekan
alas keras
 Berwarna merah terang pada keracunan CO/CN,
berwarna kecoklatan pada keracunan nitrit, berwarna
biru pada keracunan anilin
 Muncul 30 menit PM, kurang dari 6-8 jam hilang pada
penekanan, lebih dari 8-12 jam tidak hilang dengan
penekanan (menetap)
 Identifikasi posisi saat mati
Lebam mayat
Sering salah interpretasi dianggap sebagai memar
Penekanan pada daerah lebam mayat yang
dilakukan setelah 8 – 12 jam  lebam mayat tidak
hilang
RIGOR MORTIS (KAKU MAYAT)
 Kadar ATP otot habis  aktin miosin menggumpal
 Faktor yang mempercepat: aktifitas, suhu, status gizi,
besarnya otot
 Muncul 2-3 jam PM dimulai dari bagian luar tubuh
(otot-otot kecil) kearah dalam (sentripetal), setelah 12
jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
sampai 24 jam dan kemudian menghilang dalam
urutan yang sama
Kaku Mayat
 Dimulai 2-3 jam postmortal
 Dimulai dari otot yang kecil (rahang, jari-jari,
leher) sampai otot yang besar dan kranio-kaudal
 Kaku mayat menghilang bersama timbulnya
pembusukan
PERBEDAAN
Cadaveric spasme Rigor mortis
 Cenderung intra vital  Post mortal
 Relaksasi primer tidak ada  Relaksasi primer ada
 Timbul cepat  Timbul lambat
 Derajat kaku tinggi  Derajat kaku kurang
 Lambat hilang  Cepat hilang
 Lokasi setempat  Lokasi menyeluruh
CADAVERIC SPASME
ALGOR MORTIS
(PENURUNAN SUHU)
 Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses
pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang
lebih dingin, melalui radiasi, konduksi, evaporasi dan
konveksi
 Faktor mempercepat penurunan suhu: suhu
lingkungan, iklim, bentuk tubuh korban, pakaian yang
menutupi tubuh korban
DECOMPOSITION (PEMBUSUKAN)
 Adanya autolisis sel dan bakteri
 Mulai tampak 24 jam postmortem, warna kehijauan
pada perut kanan bawah (sulf-met-hemoglobin)
 Pembuluh darah bawah kulit tampak melebar dan
berwarna hijau kehitaman (subcutaneus marbling)
 Kulit ari mengelupas atau membentuk bulla
(gelembung)
 Pembentukan gas, rambut mudah dicabut, kuku
mudah lepas, wajah membengkak, lidah menjulur
Pembusukan
Bakteri yang sering menyebabkan destruktif ini sebagian
besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl.
Welchii.

Tanda pertama pembusukan baru


dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48
jam pasca mati berupa warna
kehijauan pada dinding abdomen
bagian bawah.
Pembusukan
MUMIFIKASI
 Matinya sudah lama
 Proses penguapan air
 Suhu realtif tinggi
 Kelembaban udara rendah
 Aliran udara baik
 Kecenderungan tubuh kurus kering
ADIPOCERE
 Suhu rendah
 Kelembaban tinggi
 Lemak cukup
 Aliran udara rendah
 Waktu lama
PERBEDAAN
MASERASI PEMBUSUKAN
 Intra uterine  Ekstra uterine
 Autolisis  Lisis karena pengaruh luar
 Steril  Pengaruh bakteri
PERKIRAAN SAAT KEMATIAN LAIN
 Pengosongan lambung
 Pertumbuhan rambut kumis/jenggot
 Metode entomologik
 Perubahan biokimiawi
 Kekeruhan kornea
 Perubahan retina mata
KEPUSTAKAAN
1. Sampurna, B., Samsu, Z., 2004, PERANAN ILMU FORENSIK
DALAM PENEGAKAN HUKUM: Sebuah Pengantar, Edisi
kedua, Bagian Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
2. TEKNIK AUTOPSI FORENSIK, 2000, Cetakan ke-4, Bagian
Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta.
3. Knight, B., 2003, Simpson’s Forensic Medicine, 11th edition,
London:Arnold.
4. Idram, A., Atmadja, D.S., 2004, Prosedur Pemeriksaan Forensik
Klinik Kasus Perlukaan, Simposium ‘VISUM ET REPERTUM
KORBAN HIDUP PADA KASUS PERLUKAAN &
KERACUNAN DI RUMAH SAKIT’, RS Mitra Keluarga Kelapa
Gading, Jakarta.
KEPUSTAKAAN
5. Dix, J., 2000, COLOR ATLAS of FORENSIC
PATHOLOGY, CRC Press, Boca Raton – London – New
York – Washington, D.C.
6. Shkrum, M.J., Ramsay, D.A., 2007, Forensic Pathology
of Trauma: Common Problems for the Pathologist,
Humana Press Inc., Totowa, New Jersey.
7. Dolinak, D., Matshes, E.W., Lew, E.O., 2005, Forensic
Pathology: Principles and Practice, Elsevier Academic
Press, www.elsevier.com.

S-ar putea să vă placă și