0 evaluări0% au considerat acest document util (0 voturi)
14 vizualizări24 pagini
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit kusta (Morbus Hansen), yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang saraf, kulit, dan organ lainnya. Pengobatannya dilakukan dengan terapi gabungan obat (MDT) untuk mencegah resistensi obat.
Descriere originală:
ppt kusta terbaru 2019 bahwa indonesia peringkat 3 didunia
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit kusta (Morbus Hansen), yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang saraf, kulit, dan organ lainnya. Pengobatannya dilakukan dengan terapi gabungan obat (MDT) untuk mencegah resistensi obat.
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit kusta (Morbus Hansen), yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang saraf, kulit, dan organ lainnya. Pengobatannya dilakukan dengan terapi gabungan obat (MDT) untuk mencegah resistensi obat.
Satria Eureka N FENOMENA DEFINISI • Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. • Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki etiologi • Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. • Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. • Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro) Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari : • A. Kapsul • Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). • Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae Dinding sel : terdiri dari 2 lapis 1. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya. 2. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik c. membran • Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme. • Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas. d. sitoplasma • Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. • Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum diagnosis Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal, yaitu: A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia). B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa: A. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa. B. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise). C. Gangguan fungsi otonom: kulit kering. C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis klasifikasi • Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi • Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi tipe paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB). • Tipe paucibacillary atau tipekering memiliki ciri bercak atau makula dengan warna keputihan, ukurannya kecildan besar, batas tegas, dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan (pipi,punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung kaki ), dan permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan kecacatan. • Tipe yang kedua yaitu multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri berwarna kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu kasar, batas makula tidak begitu jelas, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan tanda awal terdapat pada telinga dan wajah Klasifikasi bertujuan untuk: • A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi. • B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan. • C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat Klasfikasi menurut WHO dampak • Bagi penderita • Fisik • Psikologis • Ekonomi • sosial • Bagi keluarga • Bagi masyarakat Cara penularan
• Cara penularan penyakit kusta sampai sekarang masih belum diketahui
dengan pasti, namun beberapa ahli mengatakan bahwa penyakit kusta menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006). • penyakit kusta tidak hanya ditularkan oleh manusia tetapi juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan mangabey. • Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh manusiayang memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn, 2010). • Penyakit kusta yang telah menular akan menimbulkan tanda dan gejala pada penderita kusta. Pengobatan Penyakit Kusta Tujuan pengobatan adalah : 1. Memutuskan mata rantai penularan 2. Mencegah resistensi obat. 3. Memperpendek masa pengobatan. 4. Meningkatkan keteraturan berobat. 5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan • Kemoterapi kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterapi DDS). • DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. • Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persister serta terjadinya pasien defaulter. • Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasi pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe MB maupun PB • Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan: • a. Rifampisin : bulanan 10 – 15 mg/kgBB • b. Dapson : bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB • c. Klofazimin : bulanan : 6 mg/kgBB, harian : 1 mg/kgBB