Sunteți pe pagina 1din 23

Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies

Volume xx Nomor x (xxxx) xx-xx


DOI: 10.15575/idajhs.vxxix.xxx
http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/idajhs
ISSN 1693-0843 (Print) ISSN 2548-8708 (Online)

Implementasi Sistem Komunikasi Moderasi Beragama Pada


Pondok Pesantren Al Zatami Kabupaten Bandung

Ikbalul Anwar,1 Khoeruddin Muchtar2


Kelas 3A : 2210100011
1Magister Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, Indonesia
2
ikbalulanwar@gmail.com

ABSTRACT
The his studies aims to describe the shape of implementation of a non secular moderation communication
gadget within the al-Zatami Islamic boarding college, Bandung Regency. This research method makes
use of descriptive analysis which refers to qualitative statistics in the form of spoken or written phrases
that are tested by using researchers and items which are considered in element to seize conclusive meanings.
based totally on research findings that examine the software of spiritual moderation at al-Zatami Islamic
boarding school, ustadz are the key in constructing religious moderation. fair (Adl), balanced (tawazun),
simple (i'tidal), team spirit, and brotherhood (ittihad wa ukhuah) are some of the values that are carried
out by means of ustadz. Ustadz have the capability and enjoy to build non secular moderation, that's
Communication System Religious Moderation. even as the age of the santri is an inhibiting aspect within
the implementation of the education program, the new santri nevertheless will be predisposed to conform to
the pesantren, which is an obstacle to enforcing a spiritual moderation communication device.
Keywords: Communication System, Religious Moderation, Islamic Boarding School
ABSTRAK
Riset ini bertujuan buat menggambarkan bentuk implementasi sistem komunikasi
moderasi agama pada lingkungan pondok pesantren al-Zatami Kabupaten Bandung.
Pendekatan penelitian ini menggunakan analisis naratif yang mengacu di data kualitatif
berbentuk istilah-kata mulut atau tulisan yang ditinjau sang peneliti serta item-item yang
dilihat secara rinci buat menangkap makna yang mampu disimpulkan. sesuai temuan
penelitian yang menyelidiki penerapan moderasi beragama di pondok pesantren al-
Zatami, ustadz menjadi kunci pada menciptakan moderasi beragama. Adil (Adl),
seimbang (tawazun), sederhana (i'tidal), persatuan, dan persaudaraan (ittihad wa ukhuah)
adalah beberapa nilai yang pada terapkan ustadz. Ustadz mempunyai kemampuan serta
pengalaman untuk membentuk moderasi beragama, yang artinya sistem komunikasi pada
pelaksanaannya. ada interim usia santri ialah faktor penghambat pada aplikasi program
training, santri baru masih mempunyai kesamaan buat beradaptasi menggunakan
pesantren, yang sebagai hambatan buat menerapkan sistem komunikasi moderasi
beragama.
Kata Kunci: Sistem Komunikasi, Moderasi Beragama, Pondok Pesantren
1
PENDAHULUAN
Indonesia ialah bangsa yang majemuk, terlihat asal keragaman suku,
agama, serta ras yang ada. Keberagaman ini tentu saja memiliki akibat positif
serta negatif. dampak positifnya diantaranya keluarnya budaya baru dalam
struktur sosial serta dapat dilihat menjadi bukti oleh bangsa lain bahwa bangsa
ini mampu mengelola kebhinekaan negara Indonesia. perseteruan berdasarkan
faktor ras atau agama contohnya, artinya dampak negatif dari pluralisme yg
dapat membahayakan kedaulatan negara.
Daerah Indonesia yang ketika ini terbentang berasal Sabang sampai Merauke
mempunyai potensi akan keberagaman serta kemajemukan masyarakatnya yg
sangat akbar, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam
pengelolaannya. Terutama pada hal memberdayakan kemajemukan
masyarakat, suku, etnik, kepercayaan , bahasa, budaya, grup sosial.
oleh karena itu, negara membutuhkan suatu rencana buat menghentikan
perselisihan yang dibenarkan oleh agama tertentu. menggunakan
mengedepankan praktik keagamaan menggunakan pemikiran moderat, atau
lebih dikenal dengan Moderasi Beragama, Kementerian agama di Indonesia
sekarang berupaya mewujudkannya.
Moderasi beragama sendiri dapat diartikan menjadi konsep pengamalan,
dimana seorang pemeluk agama itu melaksanakan atau mengamalkan ajaran
kepercayaan yg dianutnya secara moderat atau tak ekstrem, baik itu ekstrem
kanan atau liberal juga tidak ekstrem kiri atau secara hiperbola (radikal)
sehingga mengancam keutuhan negara. Tentu saja moderasi beragama perlu
diajarkan semenjak dini buat memupuk nilai-nilai moderasi beragama itu, salah
satunya melalui lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren.
Masuknya pemuda menjadi generasi penerus bangsa tidak bisa dilepaskan asal
pemberdayaan keragaman serta kemajemukan masyarakat. Faktor penting
lainnya artinya kiprah generasi belia dalam menumbuhkan nilai-nilai
demokrasi pada lingkungan pesantren, khususnya santri. Pengelolaan
kebhinekaan dan pluralisme yang sudah terdapat mempunyai kekhasan
tersendiri dalam konteks pesantren. Ustadz serta staf guru pada pondok
pesantren memainkan kiprah yg sangat kritis dalam memutuskan kebijakan
2
pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan di forum-forum tersebut.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang berpusat pada proses
pengembangan potensi santri yg notabene warga negara Indonesia, sehingga
seharusnya sebagai forum yg bisa memberikan penguatan bagi moderasi
beragama serta memajukan demokrasi.( M. Redha Anshari, 2021).
Secara Tujuan moderasi kepercayaan dalam konteks ini ialah buat membujuk
individu untuk memiliki sudut pandang moderat, bersikap moderat pada
keyakinan agama mereka, menghindari ekstrem, dan menghindari
mengangkat pemikiran yg tidak terkendali. ( Kementrian kepercayaan
Republik Indonesia, 2019 )
Beberapa Fifi Rosyidah, keberadaan peran Pesantren pada Mewujudkan
Moderasi Keberagamaan, Prosiding Nasional Vol 4: 2021. menerangkan Islam
moderat pada pesantren tidak bisa dipisahkan asal kiprah Wali Songo yg
membuatkan agama Islam di kepulauan dengan menjaga ekuilibrium
penalaran fiqh dan tasawuf; menjadikan teologi Ahlussunah pendekatan
monoteistik; mempertahankan tradisi yg ada pada masyarakat. Pesantren
membuatkan nilai-nilai pada merawat pemahaman pemikiran keagamaan
Islam; nilai-nilai pada merawat pemahaman pemikiran di antara umat
beragama; nilai-nilai dalam merawat pemahaman kepercayaan serta budaya.
Nilai-nilai ini selalu dipertahankan serta dilestarikan sang pesantren pada
proses pemikiran keagamaan, pendidikan serta pemberitaan. (Fifi Rosyidah,
2021 ).
Begitu pula Darlis Darlis, kiprah Pesantren AS’adiyah Sengkang dalam
membentuk Moderasi Islam di Tanah Bugis (Sebuah Penelitian Awal), Al-
Misbah Volume 12 angka 1, 2016. pada penelitian ini penulis menyelidiki
bagaimana Pesantren Alaihi Salam'adiyah Sengkang membantu mendirikan
bentuk Islam moderat di wilayah Bugis. Kajian ini menunjukkan bagaimana
pesantren Alaihi Salam'adiyah yg tersebar di pulau Sulawesi membentuk serta
menyebarkan Islam moderat pada Sulawesi Selatan melalui 2 jalur: pertama,
jaringan pesantren cendekiawan Muslim Bugis lulusan pesantren AS'adiyah,
dan ke 2, doktrin agama Alaihi Salam'adiyah yang diresapi Ahlussunnah wal
jama'ah dalam hal keyakinan (tawazun). (Darlis Darlis, 2016 ).
Yang terakhir Masturaini, Yunus, Nilai-Nilai Moderasi Beragama di
3
Pondok Pesantren Shohifatusshofa NW Rawamangun, Tadarus Tarbawy. Vol.
4 No. 1 2022. hasil penelitian terhadap aktivitas Pondok Pesantren
Shohifatusshofa Nahdatul Wathan memberikan efek yang baik terhadap
masyarakat yang beragam pada Kecamatan Sukamaju Selatan. Ajaran moderasi
Islam sudah dikembangkan sebagai kerangka berpikir pendidikan serta pada
berbagai bidang serta strata sosial. Berikut nilai-nilainya: Tawassut; Tawazun;
Tasamuh; Musawah; Syura; Islam; Tathawwur wa ibtikar; Tahaddur;
Wataniyah wa muwatanah; dan Qudwatiyah. Menerapkan banyak sekali seni
manajemen pada Pondok Pesantren Shohifatusshofa pada rangka
menanamkan nilai-nilai moderasi Islam, antara lain pertama metode kelas
madrasah/formal, yaitu pembelajaran pada kelas yg menganut sistem
pendidikan nasional menggunakan mata pelajaran yg diselenggarakan sinkron
dengan kurikulum. ke 2, kurikulum nasional.( Masturaini, Yunus, 2022 )
2 riset pertama yg dilakukan di Pondok hanya melihat aktivitas
keberadaan serta peran yang memakai metode penerapan kebudayaan yg ada
pada melakukan perubahan perilaku Moderasi beragama. Sedangkan riset yang
terakhir Masturaini, Yunus, lebih melihat kepada nilai-nilai moderasi beragama
yg dilakukan santri Pondok Pesantren Shohifatusshofa Nahdatul Wathan.
Sedangkan dalam riset ini, metode yang diterapkan yaitu sistem komunikasi
moderasi dibutuhkan mampu dijadikan panutan santri melalui Implementasi
sistem komunikasi moderasi beragama.
Riset ini akan mengkaji aktivitas implementasi komunikasi moderasi
beragama para santri pondok pesantren Al-Zatami agama pada tengah
masyarakat cibiru watan yg majemuk dalam profesinya, tetapi lebih banyak
didominasi mereka memiliki basic keagamaan yg cukup indah. Hal ini tidak
terlepas dari adanya linkungan DKM wahabiyah.
Pondok Pesantren Al-Zatami sebagai target tolak ukur pada
memperluas moderasi beragama dengan kapasitas mempunya banyak santri
Mahasiswa Universitas Sunan Gunung Djati Bandung serta Kiyai yg aktif pada
Kemenag Jawa Barat balai Diklat Kota Bndung. Selama ini Komunikasi
Moderasi beragama secara rutin disampaikan pada santri-santri buat setiap
hari sesudah shalat Berjamaah baik pada masjid juga Mushalla buat
mengimplementasikannya. namun menggunakan perubahan sikap yg terjadi
4
pada Desa Cibiru Wetan RW 05, kegiatan Moderasi Beragama sedikit bisa
mendominasi gerombolan -kelompok Wahabiyah. tidak hanya disampaikan
secara lisān, tetapi sudah merambah pada tulisān dan juga melalui tindakan
yang bisa memotivasi serta mengubah pemahaman atas Moderasi Beragama
dari teks menuju konteks.
Sistem Komunikasi Moderasi beragama yang disampaikan para santri
pun cenderung majemuk, ada yang selalu berbicara tentang toleransi, ada jua
yg mengkaitkan antara tradisi lokal di indonesia dengan konteks kekinian,
bahkan sebagian santri mulai menyampaikan materi Moderasi Beragama
dengan muatan motivasi rakyat buat saling menciptakan kerukunan dalam
beragama.
Penelitian ini menggunakan data kualitatif buat memperoleh gosip.
Tampilan berupa kata-istilah mulut atau tulisan yang diamati peneliti, serta
item-item yang bisa dicermati secara detail sebagai akibatnya makna yg
disampaikan pada dokumen atau beberapa objek bisa dikumpulkan,
merupakan asal data penelitian kualitatif. (Suharsimi Arikunto, 2013 ).
Sumber utama dalam penelitian ini adalah data pada betuk lisan ataupun
perkataan yang diucapkan secara lisan, atau perilaku yang dilakukan oleh
subjek yg dapat dianggap, pada hal ini merupakan subjek penelitian (informan)
yg berkenaan menggunakan variabel yang diteliti, (Suharsimi Arikunto, 2013 ).
Data sekunder merupakan data yg diperoleh berasal dokumen-dokumen grafis
(tabel, catatan, notulen kedap, SMS, buku-kitab , jurnal, dan lain-lain), foto-
foto, film, rekaman vidio, benda-benda dan lain-lain yg bisa memperkaya data
primer. (Suharsimi Arikunto, 2013 ).
PEMBAHASAN
Yang akan terjadi dan rakyat majemuk atau masyarakat plural tak jarang
dibicarakan bersama-sama menggunakan konsep rakyat multikultural, sebab
keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman sosial dan
kebudayaan. akan tetapi, bila istilah plural dan multikultural ini ditambahi
imbuhan isme maka pengertian keduanya akan tidak selaras.
Pluralisme berarti pemahaman atau cara pandang keanekaragaman yg
menekankan entitas bhineka setiap masyarakat satu sama lain dan kurang
memperhatikan interaksinya, sedangkan multikulturalisme merupakan
5
pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi dengan
memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang
mempunyai hak- hak yang setara. berasal konsep multikulturalisme inilah lalu
timbul gagasan
normatif tentang kerukunan, toleransi, saling menghargai bhineka serta hak-
hak masing- masing kebudayaan penyusun suatu bangsa. Indonesia dipandang
sebagai model warga beragam dengan pandangan pluralisme karena
anekaragam rakyat serta kebudayaannya, setidak-tidaknya pada masa lampau,
kurang berinteraksi satu sama lain, antara lain karena faktor geografis
kepulauan.
Kebudayaan-kebudayaan penyusun rakyat majemuk dicermati menjadi entitas
otonom, distinktif, yg berbeda satu sama lain.
Batas-batas antara kebudayaan- kebudayaan satu sama lain tegas, dan
hubungan pada antaranya minimal kecuali dalam arena pasar atau arena publik
lainnya yg memungkinkan orang bertemu karena kepentingan eksklusif.
Multikulturalisme lebih menekankan relasi antar-kebudayaan menggunakan
pengertian bahwa eksistensi suatu kebudayaan wajib mempertimbangkan
keberadaan kebudayaan lainnya. dari sini lahir gagasan kesetaraan, toleransi,
saling menghargai, serta sebagainya. menciptakan warga multikulturalisme
Indonesia berarti membentuk suatu ideologi yang menempatkan kesetaraan
dalam perberbedabhineka pada posisi sentral.Multikulturalisme ialah suatu
ideologi jalan keluar asal persoalan mundurnya kekuatan integrasi dan
kesadaran nasionalisme suatu bangsa menjadi dampak asal perubahan
perubahan di tingkat dunia. Indonesia, khususnya, mengalami perubahan tadi
belakangan ini.
Setidak-tidaknya kekhawatiran terjadinya kemunduran dalam kesadaran
nasionalisme sudah terbukti akhir-akhir ini. model yg paling nyata artinya
semakin meningkatnya harapan beberapa daerah eksklusif buat memisahkan
diri asal Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun sebegitu jauh
pemerintah masih mampu meredam kehendak tadi sehingga perceraian
wilayah-daerah tadi belum terwujud di waktu ini. Selain itu, permasalahan-
konflik yg terjadi akibat ketidaksetaraan sosial serta ekonomi jua meningkat di
awal abad keduapuluh satu ini.
6
Toleransi, berarti batas ukur buat penambahan atau pengurangan yang
masih diperbolehkan. Pemahaman terhadap toleransi sangat krusial pada
perjuangan membentuk warga yang tenang, dan penuh kasih, lebih-lebih
warga yg multikultural. pada warga multikultur mirip Indonesia gerakan
dialog antaragama wajib ditopangkan sang toleransi kultural, yakni tata laris
kehidupan. dia bukan semata-mata berdasarkan pada toleransi
antarkeberimanan, namun seyogyanya dibingkai dalam toleransi
antarkemanusiaa. Bukan hanya toleransi pada pengertian pasif, tapi toleransi
aktif yaitu kesediaan untuk secara aktif menghormati, mengakui serta secara
partisipatif membagun perdamaian.
Pemahaman antar bangsa dan antar budaya ( international and intercultural
understanding) memberikan penyadaran bahwa pada setiap bangsa atau daerah
mempunyai kekhasannya masing-masing. Bahkan sering saling bertolak
belakang. di satu budaya sikap tertentu dapat diterima, namun pada budaya yg
lain tidak. oleh karena itu, pemahaman terhadap lintas bangsa dan budaya
akan menghantarkan kepada toleransi lintas budaya sebagai akibatnya
perberbedabhineka itu tidak menyebabkan persoalan atau kesalahpahaman.
dalam banyak perkara, permasalahan budaya praktis ditemui pada berbagai
tempat rendezvous multi budaya. dengan pemahaman ini pertarungan-
permasalahan tersebut dapat tereliminir. Pemahaman bhineka budaya dan
bahasa (cultural and linguistic diversity) menghantarkan kepada pencerahan akan
keanekaragaman budaya dan bahasa dan dialek. Keragaman budaya serta
bahasa tadi satu sisi artinya kekayaan yg sangat berharga, akan tetapi di sisi lain
bisa berpotensi menjadi pemicu permasalahan dan tidak selaras. sehingga
pemahaman terhadap perberbedabhineka budaya serta bahasa (cultural and
linguistic diversity) dimaksudkan buat menyadari keragaman serta dikelola
sebagai kekayaan serta rahmat.
Islam Inklusif Adapaun yg dimaksud menggunakan Islam Inklusif
artinya pemahaman atau wawasan keislaman yg terbuka, luwes, serta toleran.
dalam bahasa Gaber Asfour diistilahkan dengan Islam Sungai (Gaber Asfour
pada Umat, September 1999). Pemahaman yang demikian bertolak berasal
nilai-nilai dasar Islam, menggunakan inspirasi yang utama “Islam sebagai
ajaran afeksi untuk global” (rahmatan li al- „alamin). ada kriteria tertentu yg
7
menjadi indikator pemahaman Islam Inklusif, sehingga pada sini terlihat
kentara dasar pemikirannya, dan arah serta tujuannya, pada antaranya ialah:
Pertama, Islam Inklusif lebih menekankan pada nilai-nilai dasar Islam bukan
kepada simbol-simbol belaka. menekankan elemen-elemen yang lazim pada
keimanan masing-masing orang khususnya ihwal ruhani yang menuju yg Maha
Tinggi, sedangkan aktualisasi diri keimanan yg bersifat lahiriah dalam hukum-
hukum kepercayaan , ritus, dan doktrin ketuhanan, tidak ditinjau menjadi hal
yang paling penting. Matori Abdul Jalil menambahkan, implikasinya ialah
keberanian buat membongkar selubung kusam berupa global penghayatan
Islam yang bercorak doktrinal serta dogmatis (Jalil, pada Marzuki Wahid, dkk,
1999).
Islam tidak hanya ditafsirkan lewat penekanan yang berlebihan atau
keterjebakan terhadap simbol-simbol keagamaan justru mengandung bahaya,
kontraksi, distorsi, serta reduksi ajaran agama itu sendiri, semangat penekanan
terhadap simbol-simbol agama tadi acapkali sekali tidak sesuai dengan
substansi ajaran kepercayaan itu sendiri. ke 2, menghendaki interpretasi non
ortodoks terhadap kitab kudus al-Qur‟an serta dogma Islam, supaya jalan
keselamatan tersedia jua melalui kepercayaan selain Islam.
Meskipun teks al-Qur‟an tuntas diturunkan sebelum wafatnya Nabi
Muhammad s.a.w., namun ketiadaan satu-satunya otoritas mufassir
membentuk tak sahihnya segala klaim yg mengatakan bahwa dia sudah
mencapai pemahaman al-Qun’an yang paling sahih. menggunakan
berkembangnya warga Islam serta semakin besarnya persyaratan moral dan
sah, karya-karya intelektual yg didapatkan sah Islam diubah sang kebutuhan
yang terus membesar untuk mencari konteks histories wahyu pada rangka
mendapatkan aturan-aturan simpel bagi ditelurkannya keputusan-keputusan
aturan. Ketiga, skeptis terhadap argumentasi rasional demi kepentingan
superioritas keyakinan Islam. Para inklusifis Islam meyakini benar bahwa
secara konsep Islam lah yang terbaik serta paling sempurna sebagaimana
dinyatakan sang al-Qur‟an: "... di hari ini, telah Ku-sempurnakan buat kamu
agamamu, serta sudah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku ...." (QS al-
Ma'idah/5: tiga). tetapi hal itu tidak cukup, kesempurnaan Islam tersebut wajib
dibuktikan lewat karya konkret asal kaum Muslim itu sendiri. Karya tadi
8
tercermin dalam aneka ragam kebaikan, karena itu inklusifis Islam sejati selalu
membangun aneka ragam kebaikan, fastabiqu al-khairat, berlomba-lombalah
kalian semua pada kebaikan. serta merekapun tidak segan-segan buat memuji,
membanggakan, bahkan meniru kebaikan kebaikan yg tiba berasal pihak lain.
Keempat, menganjurkan prinsip-prinsip dialog, toleransi, dan menolak
berpretensi.
Para inklusifis Islam meyakini bahwa kebaikan itu tidak hanya dimiliki
sang Islam dan kaum Muslim, namun umat-umat yg lain pun mempunyai
nilai-nilai kebaikan, sebab itu sebelum memutuskan sahih atau keliru terhadap
pihak lain terlebih dahulu melakukan dialog menggunakan mereka, sebagai
akibatnya tercipta kehidupan yg penuh toleransi serta terhindar berasal
berpretensi-prasangka buruk . Kelima, menganjurkan prinsip-prinsip moral
modern wacana domokratisasi, hak azasi manusia, persamaan kedudukan
dalam aturan, dan lainnya. Kemajuan zaman sudah “memaksa” para inklusifis
Islam buat mengkaji wawasan-wawasan baru dan menyesuaikannya dengan
prinsip- prinsip Islam, baik yg bersumber dari al-Qur‟an, Hadits Nabi
Muhammad s.a.w., juga karya- karya para intelektual Muslim
Pesantren Dan Semangat Moderasi
Sebagaimana dikemukakan sang Dhofier yang di kutip oleh Luhfiansyah
Hadi Ismail, pesantren berarti kawasan para santri. Sedangkan berdasarkan
Soegarda Purbakawarja, istilah pesantren berasal dari kata santri yang berarti
orang yang mempelajari agama Islam, sehingga bisa diartikan bahwa pesantren
ialah daerah berkumpulnya banyak orang buat belajar agama Islam.
Adapun pendapat yang lain mendefinisikan bahwa pesantren adalah forum
pendidikan Islam menggunakan sistem asrama di mana kiai sebagai tokoh
sentral serta masjid menjadi pusat aktivitas, serta pedagogi kepercayaan Islam
di bawah bimbingan kiai ialah aktivitas utama. oleh sebab itu, pesantren
mengandung makna dalam empat unsur, yaitu: kiai, masjid, ajaran Islam, dan
santri.
Sistem pendidikan pada pesantren bersifat mandiri. Hal ini bisa tercermin
berasal gaya pedagogi sorogan. pengajaran sorogan adalah seorang kiai
mengajar murid-muridnya secara bergiliran asal satu santri ke santri lainnya.
saat sampai pada gilirannya, para santri mengulangi dan menafsirkan kata-kata
9
persis mirip yg dikatakan kiai kepadanya. ada satu karakteristik tradisi yg terus
dipertahankan pada pesantren, yaitu pembacaan buku-buku Islam tradisional
atau yang lebih dikenal dengan buku kuning. dalam konteks Indonesia, para
cendekiawan Islam abad ke-19 berakibat kitab kuning sebagai kurikulum
wajib buat diajarkan pada pesantren. buku kuning artinya karya intelektual
Muslim yang sangat berharga. namun, setiap pesantren mengajarkan jenis
kitab kuning yang berbeda. karena buku kuning terdiri dari poly cabang ilmu
yang, sedangkan kiai terkenal dengan kekhususannya dalam studi eksklusif
sebab kiai menguasai bidang itu.
Secara awam pesantren dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu:
a) pesantren salafiyah, b) pesantren khalafiyah, dan c) pesantren
adonan/gabungan. Ketiga kategorisasi ini diklaim masih relevan sang penulis
pada menilai perkembangan pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren
salafiyah, salaf berarti "usang", "dulu", atau "tradisional". Pondok Pesantren
Salafiyah ialah pondok pesantren yg melaksanakan pembelajaran dengan
pendekatan tradisional, seperti yang telah terdapat sejak awal berdirinya.
Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individu atau grup
dengan konsentrasi pada kitab -buku klasik berbahasa Arab.
karakteristik yang menonjol umumnya bahwa di pesantren salafiyah,
pembelajaran lebih ditekankan di kompetensi bahasa Arab pasif, yaitu
keterampilan membaca dan menerjemahkan teks-teks Arab klasik. Pesantren
ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan hanya mengajarkan buku-
buku fikih menggunakan bahasa Arab dan menerapkan sistem halakah yg
diterapkan di masjid-masjid atau surau. Kurikulumnya permanen tergantung
pada kiai.
Pesantren khalafiyah. Khalaf berarti "nanti" atau "belakang", sedangkan 'ashri
berarti "sekarang" atau "terkini". Pesantren khalafiyah ialah pesantren dengan
pendekatan terbaru, melalui satuan pendidikan formal baik madrasah (MI,
MTs, MA atau bunda), atau sekolah (SD, SMP, SMU serta Sekolah Menengah
kejuruan), atau nama lain, tetapi menggunakan pendekatan klasikal. pada tipe
ini, pondok lebih berfungsi menjadi asrama yang menyediakan lingkungan
yang kondusif buat pendidikan agama.
Umumnya fokus pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris diarahkan di
10
penguasaan aktif, menggunakan membiasakannya pada kehidupan sehari-hari
menjadi sarana komunikasi. Kurikulum yg dipergunakan merupakan
kurikulum sekolah atau madrasah yg berlaku secara nasional.
Pesantren campuran/gabungan. Pondok pesantren salafiyah serta khalafiyah
sebagaimana diuraikan di atas adalah salafiyah dan khalafiyah dalam bentuk
ekstrimnya. di kenyataannya, beberapa pesantren yang ada artinya pesantren
yang terletak di antara kedua istilah pada atas. Sebagian akbar pesantren yg
mengaku menjadi pesantren salafiyah pada umumnya pula menyelenggarakan
pendidikan klasikal dan berjenjang, meskipun tidak menggunakan nama
madrasah atau sekolah. Begitu pula pesantren khalafiyah di umumnya jua
menyampaikan pendidikan menggunakan pendekatan pengajian kitab klasik,
sebab sistem pengajian kitab kuning ini telah diakui menjadi keliru satu ciri-
ciri pesantren. Tanpa mengadakan pengajian kitab klasik, meskipun agak aneh
disebut pesantren.
Jadi, pesantren campuran ialah pesantren yang memakai pola
pembelajaran buku kuning serta menggunakan sistem klasikal atau tidak dalam
proses belajar mengajarnya. umumnya santri dituntut untuk aktif berbahasa
Arab dan Inggris pada pergaulan sehari-hari. (Luhfiansyah Hadi Ismail, 2022
).
Secara umum , moderat berarti mengedepankan ekuilibrium pada hal
keyakinan, moral, dan tabiat, baik ketika memperlakukan orang lain menjadi
individu, maupun ketika berhadapan menggunakan institusi negara.
Sedangkan pada bahasa Arab, moderasi dikenal menggunakan kata wasath
atau wasathiyah, yg memiliki padanan makna dengan istilah tawassuth (tengah-
tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yg menerapkan prinsip
wasathiyah mampu diklaim wasith.
Dalam bahasa Arab pula, istilah wasathiyah diartikan menjadi “pilihan
terbaik”. Apa pun kata yg dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang
sama, yakni adil, yang pada konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di
antara banyak sekali pilihan ekstrem. kata wasith bahkan sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia sebagai istilah “wasit” yg mempunyai 3 pengertian,
yaitu: 1) penengah, perantara (contohnya pada perdagangan, bisnis); dua)
pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan 3) pemimpin pada
11
pertandingan. (Kementerian agama RI, 2019 ).
Sehingga "wasatiyah" merupakan suatu pandangan ataupun sikap yang
senantiasa berupaya mengambil posisi tengah asal dua sikap yg berseberangan
serta kelewatan sehingga salah satu asal kedua sikap yang diartikan tak
mendominasi dalam benak dan perilaku seseorang. Sebagaimana pendapat
Khaled Abou el Fadl pada The Great Theft “moderasi” ialah pemahaman yg
mengambil jalur tengah, merupakan pemahaman yg tidak ekstem kanan serta
tidak pula ekstrem kiri. ( Zuhairi Misrawi, 2010 )
Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dibagun Oleh Ustadz
Adl (Adil)
Pondok persantren selalu menerapkan nilai adil. asal beberapa pondok
pesantren nilai adil merupakan nilai pertama yg diterapkan pada memahami
sikap antara satu kepercayaan menggunakan kepercayaan yang lain.
Hal ini mengambarkan bahwa adil artinya nilai yang utama dalam moderasi
beragama buat membentuk moderasi beragama di santri-santri di pondok
pesantren. Bentuk Adil yg dibangun sang pondok pesantren dalam pernyataan
wawancaranya ialah sesama manusia tidak pilih-pilih mitra pada bergaul.
Pondok pesantren tak pernah melarang para santri buat bergaul kepada siapa
saja, tanpa memandang agamanya.
Tawazun (berkeseimbangan)
Pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi
seluruh aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas pada
menyatakan prinsip yang bisa membhinekakan antara inhira, (penyimpangan,)
serta ikhtilaf (bhineka). ( Mohamad Fahri, 2019 ). Nilai seimbang dalam artian
mendeskripsikan cara pandang, perilaku, dan komitmen buat selalu berpihak
di keadilan. Nilai ini berkaitan dengan nilai sebelumnya, dimana pondok
pesantren menanamkan nilai seimbang buat diberikan kepada santri sebagai
bentuk batasan pada beriteraksi sang santri-santrinya untuk tidak
menyinggung keyakinan kawan yg berbeda kepercayaan . Pondok pesantren
perlu menyampaikan batasan-batasan dengan tegas terkait aturan main pada
berkomunikasi serta beriteraksi menggunakan kepercayaan lain. Para ustadz
pada pondok pesantren menjadikan santri segan terhadapnya juga dalam
berkawan pada mitra-kawan buat seimbang dalam menjaga keyakinan masing-
12
masing.
I’tidal (kesederhanaan)
Menempatkan sesuatu di tempatnya serta melaksanakan hak serta
memenuhi kewajiban secara proporsional atau mampu pada sebut juga
kesederhanaan dalam moderasi beragama, tidak berlebihan terhadap agama
sendiri serta kepercayaan yg bukan dianutnya. Pondok pesantren perlu
menyampaikan bekal kepada santri buat saling menghargai dan menghormati
kepercayaan lain, santri harus tetap diberikan pemahaman dan peningkatan
iman serta takwa terhadap keyakinan islamnya sendiri. Hal ini bertujuan
menjadi bekal santri-santri agar tidak mudah terbawa arus dalam jenjang
pendidikan lebih lanjut. Pondok pesantren perlu menciptakan nilai ini pada
pembelajaran di kelas juga pada luar dan jua melalui inovasi dengan
bimbingan pembelajaran kepercayaan Islam tambahan yang telah
diprogramkannya dengan membawa santri kajian buku-kitab lingkungan
pondok pesantren. Sedangkan pada menyampaikan pemahaman di dalam
kelas agar santri-santri tidak lupa bahwa tujuan sebenarnya berasal moderasi
beragama merupakan saling menghargai dan mempertinggi takwa, seperti
peningkatan keimanan santri-santri, serta pemahaman moderasi atau sifat
mode
Ittihad wa Ukhuah (Kesatuan dan Persaudaraan)
Nilai kesatuan serta persaudaraan dapat dibangun melalui aneka macam
cara, semua tergantung penemuan-inovasi antar pondok pesantren. Beberapa
pondok pesantren menciptakan nilai ini melalui upacara hari senin dengan
ikrar janji santri yang dibacakan bersama-sama seluruh santri. Janji santri itu
berisikan perihal bagaimana menjunjung tinggi kebhinekaan dan persatuan.
Selain itu terdapat nilai-nilai sosial yang santri lakukan mirip saling
mengingatkan saat ada yang sakit atau terkena musibah, serta juga santri-santri
lain turut mendoakan. perilaku yg terjadi di pondok pesantren pun sama, pada
mana santri-santri memiliki solidaritas yang kuat membuktikan persatuan serta
persaudaraannya yg kokoh.
Sistem Komunikasi Moderasi Beragama Ustadz di Pesantran
Setiap kegiatan pasti ada yang nammya unsur komunikasi, adapun
sistem komunikasi beragama dalam pelaksanaannya. Menciptakan moderasi
13
beragama juga ditentukan sang faktor-faktor pendukung dan penghambat.
Faktor yg bisa mensugesti peran ustadz pada membangun moderasi beragama
di pondok pesantren. Faktor yang mampu mensugesti kiprah ustadz pada
membentuk moderasi beragama pada pondok pesantren, yaitu: langsung
Ustadz (kapasistas diri serta pengalaman), Santri (Hereditas serta Usia),
Pondok pesantren (dukungan setiap ustadz serta fasilitas) dan masyarakat.
Tetapi setiap pondok pesantren memiliki faktor pendukung serta
penghambat yang majemuk dalam hal sistem komunikasi yang dibangun, yang
dipengaruhi oleh keadaan geografis pondok pesantren. sesuai hasil analisis
peneliti, faktor pendukung serta penghambat pada pondok pesantren dapat
dijabarkan pada uraian berikut ini:
Pertama Ustadz
Faktor ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu; kapasitas diri dan pengalaman.
Kedua Kapasitas diri
Kapasitas diri artinya kemampuan (rasio) pada menerima ajaran-ajaran
itu terlihat perberbeda-bedaannya antara seorang berkemampuan dan kurang
berkemampuan. Para ustadz harus selalu mengupgrade atau menggunakan
menaikkan kapasitas diri supaya tidak tertinggal dengan perkembangan zaman.
Jumlah ustadz dan kemampuan ustadz juga sangat berpengaruh pada
perkembangan pemikiran para santri, peneliti menemukan bahwa latar
belakang pendidikan beberapa ustadz di pondok pesantren tidak mencapai S1,
tetapi tak sebagai faktor penghambat standar keilmuan keagamaannya karena
mereka artinya alumni pondok pesantren serta telah lama mengabdi.
Pondok pesantren selalu melakukan training-pelatihan pada para ustadz,
sebagai akibatnya mereka selalu meng-update keilmuwan dan skill dalam
pemahaman keagamaan. Hal ini menggunakan aktivitas khusus bagi para
ustadz yg dilakukan sang pondok pesantren secara rutin.
Ketiga Faktor pengalaman
Pengalaman mengajar seorang ustadz sebagai galat satu faktor yang bisa
mendukung pelaksanaan aktivitas belajar mengajar. Pengalaman mengajar
yang dimiliki sang seorang ustadz menjadi penentu pencapaian yang akan
terjadi belajar yg akan diraih sang santri. Pengalaman mengajar yg relatif,
dalam arti ketika yang telah dilewati sang seseorang ustadz pada melaksanakan
14
tugasnya akan mendukung pencapaian prestasi belajar santri yang aporisma
menjadi tujuan yg akan diraih oleh pondok pesantren.
Pengalaman mengajar adalah suatu hal yang dijadikan perhatian yg tidak
kalah pentingnya pada menentukan prestasi belajar santri. Ustadz yang
mempunyai pengalaman mengajar yg memadai, secara positif akan
mendukung santri buat lebih praktis tahu materi yg diajarkan ustadz.
sebaliknya Bila pengalaman mengajar yg dimiliki sang ustadz tidak memadai,
maka kurang mendukung keberhasilan santri dalam mencapai prestasi yg
diinginkan.
Semakin luas pengalaman seseorang pada bidang keagamaan maka
semakin mantap serta stabil pada bidang keagamaan. rata-homogen masa
mengabdi para ustadz di pondok pesantren telah sangat lama , hal ini
membukti pengalaman yg dimiliki sang para ustadz telah berpengalaman. Para
ustadz yang berpengalaman akan merasa lebih mudah dalam menghadapi
masalah-problem santri pada proses belajar mengajar yg berkaitan
menggunakan bahan ajar, bahkan ustadz mampu memotivasi serta
mendorong semangat belajar santri dan mampu memberdayakan kemampuan
ustadz seoptimal mungkin. dalam beberapa hal, ustadz yg memiliki masa kerja
lebih lama akan lebih berpengalaman pada melakukan pembelajaran
dibanding dengan ustadz yg masih cukup baru.
Santri
Heterogenitas adalah keliru satu tantangan primer pada abad ke-21 bagi
Indonesia. Indonesia yg memiliki lebih berasal tiga belas ribu pulau dengan
enam ribu pulau dihuni oleh insan menyampaikan akibat taraf heterogenitas
yg tinggi. bhineka budaya, bahasa, kemampuan ekonomi, juga tingkat
pendidikan yang beragam sebagai tantangan besar bagi bangsa Indonesia
untuk dapat menemukan cara pengelolaan keberagaman yg terdapat sehingga
dapat dimanfaatkan menggunakan aporisma bagi kemajuan Indonesia.
Pengelolaan keberagaman ini tentu membutuhkan asal daya insan (sendok
makan) yg berkualitas.
Dilihat dari sudut santri, faktor yang mempengaruhinya juga terbagi
sebagai 2 yaitu internal serta eksternal. Santri menjadi keliru satu faktor yang
mensugesti proses membentuk moderasi ini terbagi menjadi; hereditas dan
15
tingkat usia. Heterogenitas bukan sebagai halangan bagi ustadz pada
membentuk moderasi beragama di pondok pesantren. heterogen setiap santri
cenderung sama, maka moderas beragama sudah menjadi hal yang biasa pada
pondok pesantren.
Selain asal santri, taraf usia juga kadang menjadi hambatan bagi seorang
ustadz dalam memberikan penguatan karakter religius serta nasionalisme
dalam membentuk moderasi beragama di pondok pesantren. hambatan
dirasakan ketika tidak seluruh kelas bisa pribadi diberikan kegiatan bimbingan,
mirip tingkat Aliyah serta Tsanawiyah, ustadz masih memerlukan adaptasi
terhadap santri buat menyampaikan nilai-nilai moderasi dan religius yg lain
secara khusus dan pembiasaannya.
Keempat Lingkungan Pondok pesantren
Pondok pesantren artinya forum pendidikan yg mempengaruhi
pembentukan nilai-nilai kepada santri. Keterlibatan ustadz di pondok
pesantren pada menciptakan moderasi beragama juga menjadi faktor
pendukung. Kekompakan para ustadz dalam melaksanakan kegiatan
bimbingan menjadi faktor pendukung buat lancarnya penyelenggaraan
aktivitas. Koordinasi antar ustadz pada kegiatan penguatan dalam membentuk
moderasi beragama di pondok pesantren, selalu mendapat dukungan berasal
seluruh ustadz. kiprah ustadz dalam menciptakan moderasi beragama sebagai
sangat terbantu dengan ustadz-ustadz yang memberi dukungan tersebut.
Pondok pesantren memiliki tututan dalam menunjang wahana prasarana pada
setiap aktifitas edukasi maupun membangun moderasi beragama.
Pondok pesantren mempunyai tututan pada menunjang wahana
prasarana pada setiap aktifitas edukasi juga membentuk moderasi beragama.
Walaupun harus diakui beberapa pondok pesantren masih mempunyai
kekurangan dalam fasilitas pembelajaran, mirip belum adanya musholla dan
keterbatasan air bersih. Masjid menjadi senter kajian keagamaan pada pondok
pesantren masih sangat sempit, dan air higienis buat aplikasi praktik
keagamaan.
Kelima, Lingkungan masyarakat
Dampak masyarakat terhadap lapangan pendidikan, sangat
menghipnotis terjadap timbulnya jiwa beragama. rakyat menjadi lapangan buat
16
menerima ilmu tambahan buat santri. Lapangan warga pula sebagai galat satu
wadah buat santri mampu mengimplementasikan nilai-nilai moderasi yang
didapatkannya. sesuai yang akan terjadi wawancara bersama menggunakan
keliru satu ustadz, menyatakan bahwa warga tidak menjadi kendala.
Lingkungan warga pada lebih kurang pondok pesantren sangat mengapresiasi
setiap aktivitas multi kepercayaan di pondok pesantren seperti upacara
sumpah pemuda menggunakan konsep berbeda-bedabhineka tunggal ika,
menjadi sorotan warga serta orang tua santri. keliru satu bentuk apresiasi
masyarakat terhadap kiprah ustadz pada menciptakan moderasi beragama
merupakan menggunakan meminjamkan musholla buat sebagai kawasan
pembimbingan keagamaan.
Warga menjadi lapangan buat mendapatkan ilmu tambahan untuk
santri. Lapangan rakyat jua menjadi galat satu wadah buat santri bisa
mengimplementasikan nilai-nilai moderasi yg didapatkannya.
Lebih banyak didominasi masyarakat kurang lebih pondok pesantren yg
masih memegang utuh budaya keislamannya dan masih sedikit ekstrim pada
beragama. sebagai akibatnya masyarakat tidak memiliki imbas negatif, karena
warga juga bersal dari kapasitas diri rakyat yg mana lebih banyak didominasi
rakyat mempunyai latar belakang pendidikan yg minim. Latar belakang
pendidikan masyarakat desa dan orang tua santri, ini jua sinkron
menggunakan data desa yg mengambarkan data latar belakang pendidikan
masyarakat desa kebayakan tidak tamat SLTP.
Faktor yang sebagai penghambat buat ustadz dalam membentuk
moderasi beragama pada pondok pesantren faktor eksternal merupakan famili.
famili menjadi faktor yg berpotensi merusak kiprah ustadz dalam membentuk
moderasi beragama. Orang tua santri yang menurut data pondok pesantren
kebanyakan bekerja menjadi petani dan swasta, menghasilkan pengulangan
pembelajaran pada tempat tinggal acapkali tidak terjadi. Orang tua pula
menggunakan keterbatasan ilmu kepercayaan membuahkan santri tak mampu
membuatkan pembelajaran yang didapatkan di pondok pesantren dari ustadz.
Selain dari sisi kemampuan pemahaman kepercayaan asal keluarga, ada jua
orang tua yang perpandangan keras serta cenderung masih sempit pada
memaknai agama.
17
kiprah pondok pesantren pada menciptakan moderasi beragama pada
Kabupaten Bandung Cibru Wetan, ada beberapa peran yg dilakukan, yakni:
kiprah Pondok Pesantren sebagai Conservator
Peran pondok pesantren dalam menciptakan moderasi beragama di
Pondok Pesantren Al-Zatami tak hanya dibatasi menggunakan pembelajaran
atau kajian, tetapi pula harus berperan aktif di luar, bahkan pada luar jam
Proses Belajar Mengajar (PBM). kiprah tadi dapat berupa motivator,
fasilitator, konselor bahkan menjadi model atau figur yg kemudian
mengakibatkan proses imitasi dari ustadz pada santri. kiprah dasar seorang
ustadz di pondok pesantren merupakan menjadi seorang conservator,
mengingat bahwa moderasi beragama ialah hal baru buat didengarkan
masyarakat. Pondok pesantren (para ustadz) dituntut wajib mampu
memahami terlebih dahulu, bagaimana moderasi beragama. Moderasi
beragama pada aspek ibadah ini tak mencampur adukan pemahaman asal
setiap agama, tetapi permanen berpegang teguh dengan keyakinan agama yg
dimiliki masing-masing, dan moderasi beragama memungkinkan buat
meningkatkan kualitas beribadah seseorang. Dr. A Saepudin, M.Ag selaku
Pimninan di pondok pesantren menyatakan pandangannya terhadap moderasi
beragama, dengan berkata menjadi berikut: Moderasi beragama itu,
berdasarkan aku sama saja tidak jauh berbeda dengan toleransi beragama.,
yang kita kenal dari jaman dulu kita rasakan kan pada PPKN. Sebenarnya itu
sudah ada, namun dengan nama yg baru, tetapi semua nilai yang diinginkan
sudah diberikan kepada santri-santri. bila menurut saya eksistensi atau
eksistensi moderasi beragama ini meluputi semua baik fiqih, akidah, tafsir,
pemikiran, serta dakwah. sebagai ustadz saya menjaga nilai-nilai moderasi
melalui kumpul pagi sebelum masuk ke kelas. karena itu kami lakukan setiap
sore, di situ waktu aku memberikan betapa pentingnya nilai-nilai toleransi
atau moderasi beragama. (Kristen (Wawancara, Kamis, 8 Desember 2022
18.00-19.00 wib).
Kiprah Pondok Pesanter menjadi Innovator
Pondok Pesantren seyogianya mempunyai peran menjadi innovator
yaitu mampu memberi inovasi pada membangun moderasi beragama.
inovasi seorang ustadz di Pondok Pesantren tidak luput dari perannya menjadi
18
sentral dalam training kepribadian terutama karakter pada membangun
moderasi beragama. Nilai-nilai moderasi beragama pada pembinaan karakter
mampu dilakukan pada penguatan spiritual juga nasionalisme yg terintegrasi
alam penguatan karakter sesuai RPJMN 2019-2020 alam turunan kegiatan
Prioritas (KP) yakni penguatan cara pandang, perilaku, dan praktik beragama
jalan tengah di poin tiga dalam KP.1: Penguatan sistem pendidikan yg
berperspektif moderat seperti pengembangan kurikulum, materi dan proese
pengajaran, pendidikan ustadz serta energi kependidikan, dan rekrutmen
ustadz (Kementrian agama, 2019: 131). Nilai-nilai moderasi beragama adalah
sesuatu prinsip yg baik serta krusial, yang wajib diyakini dalam melakukan dan
menerapkan sikap moderasi tadi.
Pertama, Kiprah Pondok Pesantren sebagai Transmiter
Sesuai akibat wawancara bersama subjek penelitian perihal peran
Pondok Pesantren menjadi transmiter dalam menciptakan moderasi beragama
di kabupaten/kota artinya meneruskan paham moderasi beragama.
Meneruskan pahamtentang moderasi beragama dilakukan ustadz dengan galat
atu cara yaitu memotivasi, atau menjadi motivator pada antri-santri di pondok
pesantren.
Kedua, Peran Ustadz sebagai Transformator
Program yang diinovasikan selain berbentuk kegiatan, pula terkadang
terdapat suatu acara yg tak terjadwal dan tidak berbentuk aktivitas, yg mana
sebagai suatu kiprah ustadz yaitu transformator melalui memotivasi dan
menjadi figur. Memotivasi serta sebagai figur ialah acara diri sendiri yang
menjadi beban moral seorang ustadz kepercayaan , agar mampu menyebabkan
proses imitasi positif pada para santri di pondok pesantren. Transformasi yang
dilakukan ustadz dalam membentuk moderasi beragama yaitu, ustadz sebagai
seseorang figur (contoh/panutan). Memotivasi serta memberi bimbingan
menjadi usaha meneruskan sistem nilai, menjadi kiprah juga tidak tanggal asal
bagaimana sikap ustadz memberi contoh dan menjadi figur buat setiap
santrinya. Ustadz menjadi figur memberikan tanggung jawab pada seseorang
ustadz agar bisa bersikap denga n baik, supaya santri tidak keliru dalam
mendapatkan sikapnya.
Kiprah Pondok Pesantren pada Menguatkan Moderasi Beragama
19
peran pada Kamus akbar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
perangkat tingkah laris yang diperlukan dimiliki sang orang yg berkedudukan
pada warga .Perangkat tingkah laku yg dimiliki sebagai peran memberi
tanggung jawab terhadap siapa saja yang memilikinya. Ustadz dari Muhaimin
dalam Sary (2019: 14) menyatakan; Bila diartikan secara harfiah pada literatur
kependidikan Islam, ustadz artinya seseorang ustadz yang biasa dianggap
menjadi mu’alim, murabbiy, mursyid, mudarris, serta mu’addid. adalah
menyampaikan ilmu pengetahuan menggunakan tujuan mencerdaskan dan
membina akhlak santri, supaya menjadi orang yg berkepribadian baik.
Seseorang ustadz merupakan pelaku proses pembelajaran (transfer
ilmu), pembimbingan santri baik bersifat kognitif, apektif maupun
psikomotorik. Bertujuan, berakibat santri sebagai insan kamil yang berakhlak
mulia dan selalu bertakwa kepada Allah SWT.
Ketiga, Peran Ustadz menjadi Conservator
Sesuai akibat wawancara menggunakan dapat disimpulkan bahwa
pandangan atau cara pandangan ustadz menjadi conservator terhadap sesuatu
yg baru pada pondok pesantren dasar kabupaten murung raya yaitu, sebagai
pemelihara nilai moderasi (conservator) Kiyai pada pondok pesantren Al-
Zatami mengartikan lebih kepada bingkai toleransi beragama, dalam
membangun nilai-nilai adil, seimbang, kesederhanaan, kesatuan serta
persaudaraan sudah menjadi identitas asal pondok pesantren-pondok
pesantren dan lingkungan masing. Hal ini selaras menggunakan nilai moderasi
yg diusung sang kementrian agama.
Keempat, Kiprah Ustadz sebagai Innovator
Ustadz sebagai Innovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan.
penemuan adalah indikator yg membuktikan perkembangan asal suatu peran
atau tingkah laku , yang seharusnya sebagai kompetensi bagi setiap pelaku
kiprah tadi. kiprah ustadz pada pondok pesantren pada menciptakan moderasi
beragama yaitu, mencakup Conservator (pemelihara system nilai yg
merupakan esensi berasal moderasi beragama), innovator (pembelajaran,
pembimbingan atau aktivitas pada luar kelas), Transmiter (penerus sistem-
sistem tersebut kepada santri), transformator (Mentransfer nilai nilai moderasi
beragama melalui kegiatan yg diorganisir) serta orgenizer (Pelaksana asal
20
inovasi yang dilakukan baik pada kelas serta di luar kelas; guru, motivator dan
figur).
Kelima, Peran Ustadz menjadi Transmiter
Nilai tersebut lalu diteruskan ustadz, sebagaimana peran transmiter
(penerus) sistem-sistem nilai kepada santri. peran ini tidak begitu sulit buat
dilakukan sang ustadz, sesuai menggunakan yang akan terjadi wawancara
menggunakan menggunakan para ustadz dan hasil observasi juga memberikan
bahwa para ustadz pula berfungsi menjadi transmiter pada pengalaman ajaran
agama. pada dasarnya, walaupun hadir dengan nama yang baru, yaitu
“moderasi beragama”, sesungguhnya moderasi beragama tadi telah akrab
menggunakan kultur pondok pesantren, juga tetap menggunakan tujuan
meluruskan pandangan beragama. Guna menjaga berasal ekstrimnya santri
pada menganut agamanya, dan bisa membuahkan santri-santri mampu
mengikuti keadaan, dengan menempatkan diri dimanapun dan bagaimanapun
tanpa menghilangkan eksistensi agama yang dianut dalam praktik moderasi.
Ustadz menjadi penerus (transmiter) yg bertingkah laris meneruskan esensi
nilai moderasi beragama tadi.
Keenam, Epilog
Nilai-nilai moderasi beragama yang pada bangun sang ustadz pada
pondok pesantren al-zatami Adil (Adl); santri bebas dalam berteman serta
diberikan kesempatan penuh dalam bermain bersama. Seimbang (Tawazun);
santri tidak saling menyinggung agama kepercayaan kawannya yg berbeda
keyakinan. Sederhana (I’tidal); santri dibekali menggunakan ilmu agama agar
menjadi bekal pada jenjang lebih lanjut supaya tidak praktis dibawa arus
hiperbola pada beragama. Kesatuan dan Persaudaraan (Ittihad wa Ukhuah)
santri saling peduli pada santri yang lain.
Sistem komunikasi pada mengimplementasikan moderasi beragama di
pondok pesantren al-Zatami kabupaten Bandung artinya: Ustadz pada pondok
pesantren mempunyai kapasitas diri serta pengalaman yang sangat mendukung
buat membentuk moderasi beragama; lingkungan warga , apresiasi lingkungan
kurang lebih serta wali santri yg selaku rakyat setempat sangat mendukung
terhadap aktivitas pondok pesantren, terkhusus aktivitas keagamaan.
Sedangkan galat satu faktor penghambat mengimplementasikan moderasi
21
beragama pada pondok pesantren al-Zatami kabupaten Bandung merupakan
usia santri sangat berpengaruh buat pelaksanaan acara bina keagamaan, sebab
santri baru cenderung masih mengikuti keadaan untuk berpondok pesantren
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, M. Redha. dkk. (2021) Moderasi Beragama pada Pondok Pesantren.
Yogyakarta: K-Media.
Arikunto, Suharsimi. 2013 Mekanisme Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fahri, Mohamad. Zainuri, Ahmad (2019). “Moderasi Beragama di Indonesia”,
Intizar Vol. 25, No. 2,
Kementrian kepercayaan Republik Indonesia. (2019) Moderasi Beragama.
Jakarta: Badan Litbang serta Diklat Kementerian kepercayaan RI,.
Masturaini. Yunus. “Nilai-Nilai Moderasi Beragama pada Pondok
Pesantren
Shohifatusshofa NW Rawamangun” (2022)., Tadarus Tarbawy. Vol. 4 No. 1
Ismail, Luhfiansyah, Hadi. (2022). “Moderasi Beragama pada Lingkungan
Pesantren: Pengalaman Pesantren pada Bandung Barat, Jawa Barat”,
Definisi: Jurnal agama dan Sosial-Humaniora Volume 3, angka 2,
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. (2010). Moderasi,
Keutamaan, dan Kebangsaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
Nugraha, Dera. (2021). “Nilai-Nilai Moderasi Beragama di Pondok
Pesantrensalaf Al- Falah Kabupaten Cianjur”, Al Amar Vol. dua No. 1,
Susanti, Liana Dewi. dkk. (2021). “Moderasi agama pada Pondok Pesantren
Raudlatul Qur’an Kota Metro”, Moderatio: Jurnal Moderasi Beragama
Vol. 01, No, 1,
Rosidah, Fifi. (2021). “keberadaan kiprah Pesantren dalam Mewujudkan
Moderasi Keberagamaan”, Prosiding Nasional Pascasarjana IAIN
Kediri Vol 4,
Darlis, Darlis. (2016). “kiprah Pesantren Alaihi Salam’adiyah Sengkang pada
membentuk Moderasi Islam pada Tanah Bugis (Sebuah Penelitian
Awal)”, Al-Misbah Volume 12 angka 1,
Setia, P. (2021). Kampanye Moderasi Beragama Melalui Media Online: Studi
kasus Harakatuna Media. In P. Setia & R. Rosyad (Eds.), Kampanye
22
Moderasi Beragama: berasal Tradisional Menuju Digital (I, pp. 167–
180). Prodi P2 Studi kepercayaan -kepercayaan UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
Suharto, B. (2019). Islam Profetik: Misi Profetik Pesantren menjadi asal Daya
Ummat. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(1), 96–114.
Syafe’i, I. (2017). contoh Kurikulum Pesantren Salafiyah pada Perspektif
Multikultural. Al Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8(dua), 127–1
Tambunan, A. (2019). Islam Wasathiyah to Build a Dignified Indonesia
(Efforts toPrevent Radical-Terrorism). ADI Journal on Recent
Innovation, 1(1), 54–61.
Van Bruinessen, M. M. (1994). Pesantren and kitab kuning: Continuity and
change in a tradition of religious learning.
Vann, B. A. (2011). Puritan Islam: the geoexpansion of the Muslim world.
Prometheus Books.
Völker, K. (2016). The Humanisti Heritage of Muhammad Arkoun. In The
Name Of, 203.
Wiranata, R. R. S. (2019). Tantangan, Prospek serta kiprah Pesantren pada
Pendidikan Karakter pada Era Revolusi Industri 4.0. Al-Manar, 8(1),
61–92.
Yaakub, M. B. B. H., & Othman, K. B. (2017). A conceptual analysis of
wasatiyyah (Islamic moderation-IM) from Islamic knowledge
managemen (IKM) . perspective. Revelation and Science, 7(1).

23

S-ar putea să vă placă și